Perjanjian Internasional dan Hukum Kebia

PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN HUKUM KEBIASAAN
INTERNASIONAL

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional)

Oleh:
VIENNA NOVIA LURIZHA ADZA

(1306380935)

RAHMI INTAN JEYHAN

(1306450456)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persetujuan atau consent merupakan dasar dari adanya hukum internasional, dan perjanjian
internasional adalah salah satu bentuk paling mengikat yang merupakan hasil dari negara yang
menyatakan persetujuannya, secara logis perjanjian internasional ini merupakan salah satu
sumber hukum internasional.1 Perjanjian Internasional terkadang diartikan sebagai tidak lebih
dari suatu kontrak antara dua negara yang kemudian mengadakan sejumlah peraturan untuk
ditaati dalam keadaan tertentu yang berlaku sejak perjanjian tersebut dibuat. Negara-negara
yang menandatangani perjanjian internasional itu, mengikatkan dirinya untuk memenuhi
segala peraturan yang terdapat dalam perjanjian internasional yang bersangkutan.2 Kedaulatan
negaranya masing-masing dianggap tunduk terbatas pada hal-hal yang diatur dalam suatu
perjanjian internasional.
Namun ternyata, perjanjian internasional bukanlah satu-satunya sumber hukum yang
diakui oleh negara-negara atau setidak-tidaknya oleh Mahkamah Internasional. Pasal 38
Statuta Mahkamah Internasional menyatakan bahwa sumber hukum bagi ICJ dalam memutus
perkara adalah a) konvensi internasional, b) kebiasaan internasional, c) norma hukum umum
yang diakui oleh bangsa beradab, d) keputusan pengadilan dan pendapat ahli hukum. Pada
dasarnya keseluruh sumber hukum tersebut ternyata memiliki keterkaitan. Suatu perjanjian
internasional dapat menjadi kebiasaan internasional apabila terus menerus dilakukan oleh
semua negara dan dilengkapi dengan norma hukum umum. Pun sebaliknya, suatu kebiasaan
internasional dapat dikodifikasi dalam suatu perjanjian internasional. Hubungan antara sumber

hukum internasional lainnya dengan perjanjian internasional dapat dijelaskan dikarenakan
pada dasarnya segala norma yang disusun dalam suatu perjanjian internasional, biasanya
memiliki prinsip umum dan adanya kebiasaan dari suatu bangsa.

1

Edwin Maxey, “Treaties as Sources of International Law”, Virginia Law Register, Vol. 11, No. 11, (1906), 863-

2

W. R. Bisschop, “Source of International Law”, Cambridge University Press, 1940, 235-60.

866.

1

Uraian yang terdapat dalam tulisan ini akan menjelaskan bagaimana hubungan perjanjian
internasional (treaty atau international convention) dan kebiasaan internasional (customary
international law).


B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah definisi dan penggolongan perjanjian internasional?
2. Bagaimana hubungan antara hukum kebiasaan internasional (customary international
law) dengan Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT)?

3. Bagaimana contoh praktik yang menggambarkan hubungan antara hukum kebiasaan
internasional dan perjanjian internasional?
4. Bagaimanakah posisi VCLT sebagai suatu bentuk kodifikasi hukum internasional dan
sebagai suatu pengembangan progresif (progressive deevelopment)?

C. Metode dan Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan melakukan penelitian hukum normatif. Data yang digunakan
adalah data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan, berupa bukubuku, artikel dan jurnal, serta bahan dari internet yang terkait dengan masalah yang sedang
diteliti. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, yaitu Vienna Convention
on the Law of Treaties, Statute of International Court of Justice, United Nations Charter , serta

peraturan lain yang terkait baik berupa hukum nasional maupun hukum internasional. Selain
itu, akan digunakan pula bahan hukum sekunder dan tersier yang memberi informasi dan
penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku, makalah, kamus, dan seterusnya.


2

BAB II
PEMBAHASAN

Perjanjian Internasional dan Hukum Kebiasaan Internasional
Traktat atau selanjutnya disebut sebagai Perjanjian Internasional merupakan salah satu
sumber hukum internasional yang digunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court
of Justice, selanjutnya disebut ICJ) dalam mengadili perkara-perkaranya. Hal ini didasarkan pada

Pasal 38 ayat 1 Statuta ICJ (International Court of Justice Statute). Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat hukum tertentu.3 Terminologi dalam menyebut perjanjian ini pun beragam.
Lord McNair dalam bukunya The Law of Treaties menyebutkan terminologi-terminologi yang
biasa digunakan pada praktiknya yaitu treaty, convention, declaration, protocol, act, final act, dan
general act.4 Ia juga mengungkapkan beberapa terminologi lainnya seperti accord, additional
articles, agreement, arrangement, avenant, compromis atau special agreement, exchange of notes,
letrres reversales, modus vivendi, statute, covenant, pact, dan concordat.5


Hukum perjanjian internasional yang pada mulanya tumbuh dan berkembang dalam bentuk
hukum kebiasaan internasional, sudah diformulasikan ke dalam bentuk hukum tertulis yang berupa
dua konvensi, yaitu Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang hanya
mengatur perjanjian internasional antara negara saja, dan Konvensi Wina 1986 tentang Hukum
Perjanjian Internasional antara Organisasi Internasional dan Negara dan antara Organisasi
Internasional dan Organisasi Internasional yang sesuai dengan namanya mengatur tentang
perjanjian internasional antara organisasi internasional dan negara ataupun perjanjian internasional

3

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional , (Bandung: PT Alumni, 2012),

hlm.110.
4

Lord McNair, The Law of Treaties, (Oxford: Clarendon Press, 1961), hlm.22-23.

5

Ibid., hlm.24-25.


3

antara sesama organisasi internasional.6 Kedua konvensi ini merupakan hasil pengembangan
progresif hukum internasional dan pengkodifikasiannya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 13
ayat 1 butir a Piagam PBB (UN Charter ):
“The General Assembly shall initiate studies and make recommendations for the purpose
of:
a. Promoting international cooperation in the political field and encouraging the

progressive development of international law and its codification…….”

Penggolongan Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional mewakili sumber material yang penting dari hukum internasional.
Pengaruh dari suatu traktat dalam memberi arahan kepada pembentukan kaidah hukum
internasional bergantung pada sifat hakikat perjanjian internasional yang bersangkutan.7 Dalam
kaitan ini J.G. Starke menulis bahwa perlu untuk membuat perbedaan meskipun tidak bersifat
kaku, antara:
a. traktat-traktat ‘yang membuat hukum’ (law-making treaty), yang menetapkan kaidah
yang berlaku secara universal dan umum;

b. ‘traktat-traktat kontrak’ (treaty contracts), misalnya suatu traktat antara dua atau hanya
beberapa negara yang berkenaan dengan suatu pokok permasalahan khusus yang secara
eksklusif menyangkut negara-negara ini.
Pada persoalan traktat yang membuat hukum, ketentuannya secara langsung menjadi
sumber hukum internasional. Sejak pertengahan abad kesembilan belas telah terjadi perkembangan
yang pesat. Kemajuan pesat dari apa yang disebut perundang-undangan internasional tersebut
disebabkan oleh tidak memadainya kebiasaan dalam memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat

6

I Wayan Parthiana, “Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional.” Jurnal Hukum Internasional, (Volume 5
Nomor 3 April 2008), hlm. 460.
7

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International Law], cet. 8, diterjemahkan oleh

Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 51


4

internasional negara-negara untuk mengatur kepentingan bersama mereka yang timbul dari
perubahan-perubahan mendalam yang kemudian merombak keseluruh struktur kehidupan
internasional. 8
Namun terdapat kritik bahwa sebutan yang benar adalah normative treaties yang akan
meliputi: a) traktat yang berlaku sebagai instrumen aturan standar umum atau yang dipakai negara
baik atas dasar de facto maupun sementara; b) konvensi yang tidak diratifikasi tetapi penting
karena memuat pernyataan tentang prinsip yang disetujui oleh sejumlah besar negara; c) traktat
yang merumuskan kaidah hukum regional atau komunitas; d) traktat yang tertutup atau berpeserta
terbatas yang hanya ditandatangani oleh sejumlah negara tertentu saja; e) traktat yang menciptakan
suatu status atau rezim yang diakui secara internasional, yang hingga taraf tertentu berlaku erga
omnes; dan f) instrumen seperti ketentuan penutup yang padanya dilampirkan Pengaturan

Internasonal yang dimaksudkan untuk dipakai oleh negara peserta sebagai kaidah hukum inter se.9
Starke juga menyatakan bahwa adalah suatu kenyataan bahwa adanya sejumlah besar
peserta pada suatu konvensi multilateral tidak berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi
itu dengan sendirinya merupakan hukum internasional yang mengikat negara bukan peserta. Pada
umumnya, negara bukan peserta harus membuktikan dengan tindakan mereka kehendak untuk
menerima ketentuan-ketentuan tersebut sebagai kaidah-kaidah umum hukum internasional. Hal ini

seperti yang dijelaskan oleh ICJ dalam North Sea Continental Shelf Case, bahwa Pasal 6 Konvensi
Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen, yang menetapkan aturan kesamaan jarak untuk membagi
secara adil suatu landas kontinen yang dimiliki bersama, tidak diterima oleh Republik Federal
Jerman dengan sikapnya yang jelas.10
Sedangkan traktat-traktat kontrak tidak secara langsung menjadi sumber hukum
internasional. Namun demikian, traktat ini di antara para peserta atau penandatanganan traktat
dapat menjadi hukum yang khusus; oleh karena itu dipakai istilah konvensi khusus dalam Pasal 38
ayat 1 Statuta ICJ. Traktat tersebut memberi arahan kepada perumusan ketentuan hukum

8

Ibid,. hlm. 52

9

Ibid., hlm. 54.

10

Ibid ., hlm. 55.


5

internasional melalui pemberlakuan prinsip-prinsip yang mengatur perkembangan kaidah
kebiasaan. Tiga hal yang seyogianya diperhatikan adalah:
a.

Serangkaian traktat yang mennetapkan aturan yang sama secara berulang-ulang dapat
membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasional yang maksudnya sama.

b.

Traktat yang pada mulanya dibentuk hanya di antara sejumlah peserta terbatas kemudian
kaidah yang dimuat dalam traktat itu digeneralisasikan dengan adanya penerimaan atau
dipakai contoh sebagai kaidah yang berdiri sendiri.

c.

Suatu traktat dapat dianggap mempunyai nilai pembukti (evidentiary value) mengenai
adanya suatu kaidah yang dikristalisasi menjadi hukum melalui prose perkembangan yang

berdiri sendiri.11
Namun, menurut Mochtar Kusumaatmadja pembedaan kedua istilah ini kurang tepat.

Sebab apabila ditinjau secara yuridis menurut bentuknya setiap perjanjian baik yang dinamakan
treaty contract maupun law-making treaty adalah suatu contract, yaitu suatu perjanjian atau

persetujuan antara para pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak dan
kewajiban bagi para pesertanya. Sedangkan apabila ditinjau dari secara fungsinya sebagai sumber
hukum dalam arti formal, keduanya adalah law making atau artinya menimbulkan hukum.12

Mengapa Perjanjian Internasional untuk mengatur Hukum Perjanjian Internasional?
Pembahasan mengenai hukum perjanjian internasional muncul pada program kerja
International Law Comission (Komisi Hukum Internasional) pada sidang pertama tahun 1949 dan

ditempatkan pada daftar prioritas topik untuk kodifikasi. Perkembangan pada awalnya memang
lamban, salah satunya dikarenakan Komisi tersebut sedang fokus pada persoalan lain. Kemudian
setelah Sir Gerald Fitzmaurice terpilih sebagai Special Rapporteur pada tahun 1955, pada laporan
pertamanya, menjawab pertanyaan paling fundamental mengenai bentuk dari kodifikasi hukum
perjanjian internasional apakah berbentuk Konvensi atau suatu kitab penjelasan (expository code).
Namun pada akhirnya Fitzmaurice lebih memilih expository code dikarenakan oleh dua alasan
yaitu pertama, bahwa akan terlihat tidak tepat ketika suatu peraturan mengenai perjanjian
11
12

Ibid., hlm. 55-56

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes , Op. Cit., hlm. 123-124.

6

internasional diatur oleh suatu perjanjian internasional dan akan terlihat lebih tepat apabila diatur
secara independen; kedua, banyak peraturan atau hukum yang berkaitan dengan perjanjian
internasional yang tidak cocok untuk penyusunan dalam bentuk biasa.13
Kemudian, pada tahun 1961, Komisi Hukum Internasional mengubah rencananya untuk
menyusun kodifikasi hukum perjanjian internasional tersebut dalam suatu pernyataan penjelasan
(expository statement) menjadi persiapan penyusunan draf pasal-pasal yang akan digunakan
sebagai landasan untuk konvensi multilateral. Pertama karena expository code tidak dapat seefektif
konvensi untuk memperkuat hukum perjanjian internasional yang sangat penting terutama ketika
banyak negara baru yang baru menjadi anggota komunitas internasional. Kedua, konvensi
multilateral dalam perjanjian internasional ini memberi kesempatan bagi negara baru untuk
berpartisipasi secara langsung dalam perumusannya yang mana sangat diharapkan demi
terciptanya suatu hukum perjanjian internasional yang luwes dan kuat.14
Komisi Hukum Internasional kemudian memutuskan pada tahun 1961 bahwa kodifikasi
hukum internasional sebaiknya diselesaikan dalam bentuk yang dapat dijadikan landasan bagi
sebuah Konvensi. Keraguan Komisi Hukum Internasional dalam menentukan bentuk yang tepat
didukung pula oleh keraguan beberapa negara. Walaupun sebagian besar memilih untuk menyusun
suatu Konvensi dengan landasan draf pasal yang dibuat oleh Komisi, namun masih terdapat
keraguan hingga akhir tahun 1965. Keraguan tersebut diantaranya yaitu bahwa ‘kekuatan’
perjanjian internasional dapat lebih tercapai dengan suatu code dibandingkan suatu konvensi,
merupakan hal yang tidak esensial untuk lebih memilih konvensi demi menjamin partisipasi
negara-negara baru dalam menyusun kodifikasi, dan terkait pula dengan inkonsistensi yang
bersifat logika dalam menyusun suatu perjanjian internasional dengan metode penyusunan
perjanjian internasional dan bahwa suatu perjanjian internasional mengenai perjanjian
internasional pasti akan membuat sistem yang dualistik karena hal tersebut akan berlaku antara
para pihak, sementara hukum kebiasaan internasional tetap berlaku antara negara lainnya.15

13

I.M. Sinclair, The Vienna Convention on the Law of Treaties, (Manchester: University of Manchester Press,

1973), hlm. 4
14

R.P.Dhokalia, The Codification of Public International Law, (Manchester: University of Manchester Press,

1970), hlm. 322.
15

I.M.Sinclair, Op. Cit., hlm. 5-6.

7

Hukum Kebiasaan Internasinal dan Vienna Convention on the Law of Treaties
Perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional (Customary International
Law, selanjutnya disebut CIL) merupakan bagian dari sumber hukum internasional yang

dipaparkan dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) Statuta ICJ. Meskipun tujuan awalnya kedua bentuk
sumber tersebut untuk mengarahkan sumber hukum bagi ICJ dalam menyelesaikan kasus, pada
pengembangannya pasal tersebut dijadikan sebagai landasan umum mengenai sumber-sumber
hukum internasional.16 Urutan penyebutan sumber hukum dalam pasal tersebut tidak menunjukkan
urutan pentingnya masing-masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal17 sehngga
kedudukan di antaranya tidaklah hirarkial.
Telah dibahas dalam bagian sebelumnya, bahwa VCLT merupakan treaty of treaty yang
artinya objek pembahasan dari VCLT adalah perjanjian internasional. Meskipun demikian,
keberadaan VCLT tersebut juga tidak dapat dipisahkan dengan sumber hukum selain perjanjian
internasional yaitu hukum kebiasaan internasional. Hubungan itu setidaknya da[at dilihat dari
konstruksi Preamble, Pasal 3(b), Pasal 4, Pasal 38, dan Pasal 43 VCLT.
CIL merupakan proses pembentukan hukum yang didasarkan pada praktek negara-negara
yang serupa dan terus menerus.18 Viners Abrigent mengartikannya sebagai suatu adat istiadat yang
telah memperoleh kekuatan hukum. Pasal 38 ayat 1 Statuta ICJ itu sendiri merumuskan kebiasaan
internasional sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum. 19 Pada tataran praktis,
apabila suatu praktik tertentu tersebar luas dan tidak terdapat negara yang menentang
penggunaannya, ICJ sering memandang hal tersebut sebagai bagian dari CIL. Contohnya adalah
(a) memberikan imunitas bagi diplomat; (b) mengakui hak lintas damai kapal asing di laut teritorial
(innocent passage); (c) mengakui yurisdiksi eksklusif dari negara dengan tanda bendera di laut
lepas; (d) memerintahkan otoritas militer untuk menghormati batas-batas wilayah negara tetangga;

16

I.M Sinclair, Op. Cit., hlm. 5-6.

17

McCordquodale dan M. Dixon, Cases and Materials on International Law, (London: Sweet & Maxwell Ltd,

2003), hlm. 19.
18

G.M. Danilenko, Law Making in the International Community, (Dordrecht: Nijhoff, 1993), hlm. 75.

19

J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 45.

8

dan (e) melindungi non-kombatan seperti warga sipil dan tentara yang sakit atau terluka selama
konflik bersenjata internasional berlangsung.20
Sementara itu, VCLT merupakan suatu konvensi yang memberikan ketentuan tentang
sumber hukum internasional lain, yaitu perjanjian internasional. Konvensi tersebut mengatur
mengenai prinsip-prinsip dasar hukum perjanjian, prosedur bagaimana perjanjian internasional
tersebut menjadi mengikat dan mulai berlaku, konsekuensi dari pelanggaran perjanjian
internasional, dan prinsip-prinsip untuk menafsirkan perjanjian internasional.21
Dalam kaitannya dengan pengaturan pada VCLT, CIL tidak dapat dipisahkan begitu saja.
tidak terdapat penjelasan yang pasti mengenai sifat konvensi tersebut sebagai kodifikasi dari CIL
serta sifatnya yang progresif dalam hukum internasional.22 Sedangkan dalam kaitannya dengan
CIL, muatan VCLT seringkali digunakan oleh negara yang bahkan bukan merupakan negara pihak
dari VCLT.23 Keterkaitan CIL dengan VCLT setidaknya dapat dipaparkan pada Pasal 3(b), Pasal
4, Pasal 38, Pasal 43, serta paragraf 8 Preambul Konvensi tersebut.
a. Pasal 3(b) VCLT
Pasal 3 dari VCLT mengatur mengenai International Agreements Not Within the Scope of
the Present Convention. Adapun muatan dari Pasal tersebut adalah:

“The fact that the present Convention does not apply to international agreements
concluded between States and other subjects of international law or between such other
subjects of international law, or to international agreements not in written form, shall not
affect:
a. The legal force of such agreements;

20

Robert

Beckman

dan

Dagmar

Butte,

“Introduction

to

International

Law”,

http://www.ilsa.org/jessup/intlawintro.pdf, diakses pada 24 Februari 2016.
21

Ibid.

22

Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary, (Salzburg:

Springer Science & Business Media, 2011), hlm. 81.
23

Anthony Aust, “Vienna Convention on the Law of Treaties (1969)”, pada Max Planck Encyclopedia of Public

International Law (MPEPIL), Oxford University Press, Juni 2016.

9

b. The application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which
they would be subject under international law independently of the Convention ;
c. he application of the Convention to the relations of States as between them selves
under international agreements to which other subjects of international law are also
parties.

Ketentuan Pasal tersebut menggariskan pengaturan mengenai Perjanjian Internasional
yang tidak menjadi bagian dari ruang lingkup VCLT, dalam kaitannya dengan limitasi bahwa
VCLT hanya melingkupi perjanjian yang dilakukan antarnegara saja serta dalam bentuk
tertulis. Pasal 3(b) menentukan bahwa ketentuan yang terdapat dalam VCLT tersebut dapat
tetap berlaku bagi suatu Perjanjian Internasional yang bukan merupakan ruang lingkup dari
VCLT apabila perjanjian tersebut memang secara sukarela ditujukan untuk mengikuti muatan
dari VCLT oleh para pihak yang membuat perjanjiannya. Pada saat berlangsungnya Vienna
Conference terdapat perbedaan pendapat mengenai muatan pasal tersebut yang menjadikan

adanya perubahan kontruksi pasal. Pada intinya, ketua dari Panitia Pembentukan konvensi
menjelaskan bahwa kata-kata “independently of the Convention” diperlukan untuk
menunjukkan bahwa hukum yang diatur dalam konvensi tersebut dapat berlaku bukan hanya
sebagai pasal dalam konvensi semata, melainkan berlaku atas dasr hal lain seperti kebiasaan.24

b. Pasal 4 VCLT
Keterkaitan antara CIL dan VCLT dapat pula dilihat pada pasal 4 dari VCLT. Pada dasarnya,
Pasal 4 VCLT ini mengatur mengenai non-retroaktifnya konvensi tersebut. Pasal 4 tersebut
yaitu:
“Without prejudice to the application of any rules set forth in the present Convention to
which treaties would be subject under international law independently of the Convention,
the Convention applies only to treaties which are concluded by States after the entry into
force of the present Convention with regard to such States.

24

I M Sinclair, Op.Cit., hlm. 8.

10

Sejalan dengan pengaturan pada pasal 3(b) konvensi ini sebagaimana yang telah
dipaparkan sebelumnya, juga mengatur terkait “treaties would be subject under international
law independently of the Convention ”. Hal tersebut terkait pula dengan sifat non-retroaktif

bukan sebagai muatan pasal dari konvensi semata melainkan sebagai bagian dari CIL.
Jika melihat kepada Konferensi Vienna 1969, pada dasarnya terdapat perdebatan
sehubungan pengaturan non-retroaktif. Pada konferensi tersebut, perwakilan dari Swedia
menyatakan:25 “it was generally agreed that most of the contents of the present Convention
were merely expressive of rules which existed under customary international law. Those rules

obviously could be invoked as custom wihtout any reference tp the present Convention.”
Terkait dengan keberlakuan non-retroaktif sebagai CIL dalam hal tersebut, kemudian untuk
memperjelas ketentuan sebagai muatan konvensi –bukan sebagai kebiasaan saja, maka diatur
ketentuan mengenai non-retroaktif pada Pasal 28 konvensi. Namun, dapat dilihat bahwa nonretroaktif dalam ketentuan tersebut memiliki keberlakuan sebagai muatan konvensi maupun
sebagai bagian dari CIL.

c. Pasal 38 VCLT
Bagian dari VCLT selanjutnya yang juga menunjukkan keterkaitan dengan CIL adalah
ketentuan dalam pasa 38 yang mengatur bahwa peraturan dalam VCLT dapat mengikat pihak
negara ketiga melalui CIL. Pasal tersebut yaitu:
“Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding
upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such.”

Ketentuan dari pasal 34 hingga 37 yang dimaksud adalah ketentuan terkait perjanjian
internasional dengan pihak negara ketiga. Muatan pasal tersebut menegaskan kembali
keberlakuan muatan VCLT kepada pihak ketiga sebagai bagian dari CIL.

d. Pasal 43 VCLT
Selanjutnya, keterkaitan VCLT dan CIL dapat pula dlihat pada Pasal 43 VCLT yaitu:

25

Ibid., hlm. 9.

11

“The invalidity, termination or denunciation of a treaty, the withdrawal of a party from it,
or the suspension of its operation, as a result of the application of the present Convention
or of the provisions of the treaty, shall not in any way impair the duty of any State to fulfil
any obligation embodied in the treaty to which it would be subject under international law

independently of the treaty.”
Pasal 43 tersebut menjadi penegasan atas keberlakukan muatan VCLT atas kesukareralaan
yang berarti pula keberlakuannya sebagai suatu CIL. Sehingga apabila terdapat
ketidakabsahan, penghentian atau penolakan terhadap VCLT, penarikan diri atau
penangguhan pelaksanaan tidak dapat mengganggu pelaksanaan tugas tiap negara yang
tunduk pada muatan VCLT pada perjanjian internasional yang dibentuk dikarenakan
keberlakuannya sebagai suatu CIL.

e. Paragraf 8 Preambul Konvensi
Selain itu, paragraf terakhir dari Pembukaan VCLT juga memberikan muatan terkait
keberlakuan CIL. Dalam pembukaan tersebut dinyatakan:
“Affirming that the rules of customary international law will continue to govern questions
not regulated by the provisions of the present Convention.”
Hal tersebut menegaskan keberlakuan CIL terutama dalam hal yang tidak diatur melalui
konvensi ini sendiri.

Perjanjian Internasional dan Kebiasaan: Relevansinya dengan North Sea Continental Shelf
Case

Suatu aturan yang terdapat dalam suatu Konvensi multilateral dapat diakui dan diterima
sebagai norma hukum kebiasaan oleh suatu negara yang bukan merupakan Pihak dalam suatu
perjanjian internasional. Hal ini dijelaskan pada suatu putusan ICJ dalam kasus Landasan Kontinen
Laut Utara (North Sea Continental Shelf Case).26

26

Ibid., hlm.23-24.

12

Sengketa mengenai North Sea Continental Shelf ini diajukan ke ICJ pada 20 Februari 1967
melalui persetujuan khusus (Special Agreement) berkaitan dengan delimitasi landasan kontinen
antara Republik Federal Jerman dan Denmark dalam satu sisi, dan antara Republik Federal Jerman
dan Belanda pada persoalan lain. Para Pihak mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk
menyatakan prinsip-prinsip dan aturan hukum internasional yang berlaku dan memberlakukannya
sebagai dasar untuk melakukan delimitasi.27
Hal ini berawal dari penandatanganan persetujuan tentang garis batas landas kontinen di
Laut Utara antara Republik Federasi Jerman dan Denmark pada tanggal 9 Juni 1965 dimana dua
negara secara geografi letaknya berdampingan mulai berlaku pada tanggal 27 Mei 1966. Dua tahun
sebelumnya, tepatnya tanggal 1 Desember 1964, Republik Federasi Jerman dan Belanda yang
letaknya juga berdampingan telah menandatangani persetujuan tentang garis batas landas kontinen
di sekitar pantai kedua negara di Laut Utara dan mulai berlaku pada 18 September 1965.
Kesepakatan yang berhasil dicapai oleh para pihak dalam kedua persetujuan tersebut hanyalah
meliputi garis batas landas kontinen dalam jarak sekitar 25-30 mil laut dari pantai negara-negara
yang bersangkutan. Sehingga masih terdapat area landas kontinen di depannya yang belum
ditetapkan garis batasnya.28
Pada 6 Oktober 1965, Belanda dan Inggris yang secara geografi letaknya berhadapan,
menandatangani persetujuan tentang garis batas landas kontinen kedua negara di Laut Utara dan
mulai berlaku pada tanggal 23 Desember 1966. Demikian pula Denmark dan Inggris, pada tanggal
Maret 1966 menandatangani persetujuan garis batas landas kontinen kedua negara di Laut Utara
dan mulai berlaku pada tanggal 6 Februari 1967.29
Pada tanggal 31 Maret 1966, Belanda dan Denmark, dua negara yang sebenarnya secara
geografi tidak berhadapan ataupun berdampingan menandatangani persetujuan tentang garis batas
landas kontinen pada area yang masih belum ada atau belum ditetapkan garis batasnya itu.
Persetujuan ini menganut metode jarak sama (equidistant line) yang membagi area landas kontinen
27

International Court of Justice, North Sea Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Netherlands), diakses

melalui http://www.icj-cij.org/docket/index.php?sum=295&code=cs2&pl+/ pada 23 Februari 2016
28

Ratnaningrum, “Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan

Pulau Ligitan melalui International Court of Justice”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2010), hlm.88
29

Ibid ., hlm. 89.

13

tersebut, sebagian menjadi milik Belanda dan sebagian lagi menjadi milik Denmark. Persetujuan
ini berlaku pada tanggal 1 Agustus 1967.30
Jerman menentang keras persetujuan Belanda-Denmark 1966 ini, karena dianggap sangat
merugikan Jerman. Persetujuan ini menghalangi Jerman untuk memperoleh akses atas landas
kontinen ke arah garis batas landas kontinen Inggris di Laut Utara. Jerman menginginkan agar
batas landas kontinen di area tersebut ditetapkan dalam bentuk suatu perjanjian yang lebih adil.
Hal ini merupakan pokok pangkal dari timbulnya persengketaan antara Jerman pada satu pihak
berhadapan dengan Belanda dan Denmark pada lain pihak.31
Mahkamah dalam putusaannya menolak permohonan Denmark dan Belanda untuk
melakukan delimitasi berdasarkan prinsip ekuidistan (equidistant principle) yang ada dalam Pasal
6 Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen, dengan pendapat:
-

bahwa Republik Federal, yang mana belum meratifikasi Konvensi, tidak secara hukum
terikat dengan peraturan yang ada dalam Pasal 6

-

bahwa prinsip ekuidistan bukanlah suatu konsekuensi yang diperlukan dari konsep
umum mengenai hak landasan kontinental, dan bukan merupakan norma hukum
kebiasaan internasional

Dalam kasus ini, ICJ menyatakan secara tegas pandangannya bahwa sebelum suatu
ketentuan traktat dapat menjalani proses evolusi untuk menjadi kebiasaan, ketetnuan tersebut harus
mempunyai karakter yang mampu menciptakan norma (norm-creating character ) agar dapat
memenuhi syarat untuk dapat dijadikan suatu kaidan hukum yang umum.32

VCLT sebagai Kodifikasi Hukum Internasional atau Perkembangan Bertahap
Paragraf ke-7 Pembukaan VCLT menyebutkan “Believing that the codification and
progressive development of the law of treaties achieved in the present Convention....” dalam hal
tersebut perlu dipaparkan lebih lanjut mengenai codification dan progressive development yang

30

Ratnaningrum, loc. Cit.

31

Ibid., hlm. 90

32

J.G.Starke, Op. Cit., hlm.56.

14

dinyatakan dalam pembukaan tersebut. Kodifikasi dilakukan untuk menjabarkan CIL menjadi
suatu perjanjian dalam bentuk tertulis. Perkembangan bertahap dilakukan untuk melahirkan aturan
dan prinsip-prinsip hukum internasional dan menggambarkannya dalam perjanjian internasional.33
Pengertian lebih jelas dari kodifikasi hukum internasional (codification of international law) serta
perkembangan bertahap (progressive development) adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal
15 Statuta Komisi Hukum Internasional yang menyatakan:
In the following articles the expression “progressive development of international law” is
used for convenience as meaning the preparation of draft conventions on subjects which
have not yet been regulated by international law or in regard to which the law has not yet

been sufficiently developed in the practice of States. Similarly, the expression “codification
of international law” is used for convenience as meaning the more precise formulation and
systematization of rules of international law in fields where there already has been
extensive State practice, precedent and doctrine.

Contoh dari progressive development tersebut antara lain: 34 Pasal 9(2) (adoption of treaty
texts); Pasal 19-23 (reservations); Pasal 40 dan 41 (amendment and inter se modification); Pasal 42-

72 (invalidity, termination and suspension). Misalnya Pasal 9(2) tersebut, mengatur mengenai adopsi
dari perjanjian internasional sebagai berikut:
2. The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by the
vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall
decide to apply a different rule

Ketentuan tersebut merupakan suatu ketentuan yang sebelumnya tidak diatur atau belum
berkembang luas dalam hukum internasional. Sehingga, fungsi pemberlakuan oleh VCLT dalam
hal ini adalah menentukan suatu konsep atau norma baru. Berbeda dengan itu, codification tidak
menciptakan suatu konsep atau norma yang benar-benar baru melainkan mengambil norma yag
telah ada dalam praktek hukum internasional, preseden serta doktrin sehingga menjadi suatu
33

Ademola Abass, Complete International Law: Text, Cases, and Materials , (New York: Oxford University

Press, 2012), hlm. 80.
34

Anonim, The Law of Treaties (Public International Law Lecture Outline for University of Oxford,)

users.ox.ac.uk/~alls0104/fhs_treaty03.doc, diakses pada 24 Februari 2016.

15

kesatuan yang sistematis dalam VCLT itu sendiri. kodifikasi ini terkait pula dengan keberlakuan
hukum kebiasaan internasional yang telah dibahas sebelumnya. Dalam hal ini CIL menjadi muatan
yang dikodifikasikan dalam konvensi ini.
Jika dilihat ketentuan pada Pasal 19-23 VCLT yang mengatur mengenai reservasi, pada
dasarnya praktek reservasi telah ada semenjak akhir abad ke-18, namun baru memiliki definisi
yang jelas pada tahun 1969 melalui pasal dalam konvensi tersebut.35 Hal tersebut menunjukkan
bahwa dimensi antara kodifikasi serta pembentukan norma baru melalui perkembangan bertahap
merupakan dua hal yang sulit dipisahkan satu sama lain. Secara praktis, pengalaman International
Law Commission membuktikan bahwa pemisahan yang tegas antara kodifikasi dan perkembangan

bertahap dalam beberapa kasus mustahil untuk ditetapkan.36
Salah satu yang dapat pula kita cermati terkait hal ini adalah keberlakuan ketentuan pada Pasal
18 dari VCLT yang menyatakan:
“A State is obliged to refrain from acts which would defeat the object and purpose of a treaty
when:
(a) It has signed the treaty or has exchanged instruments constituting the treaty subject to
ratification, acceptance or approval, until it shall have made its in tention clear not to
become a party to the treaty; or
(b) It has expressed its consent to be bound by the treaty, pending the entry into force of the
treaty and provided that such entry into force is not unduly delayed.”

Pasal 18 tersebut pada dasarnya merupakan suatu bentuk dari perkembangan bertahap pada
konvesi. Tahapan lebih lanjut dari perkembangan bertahap tersebut adalah bagaimana pengaturan
berupa norma baru yang ditentukan dalam konvensi tersebut menjadi suatu hal yang diterima
secara internasional secara terus-menerus sehingga pada akhirnya menjadi suatu CIL. Sehingga
arahnya berkebalikan dengan bentuk dari kodifikasi itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya adalah
sejauh mana Konvensi itu sendiri dapat menghasilkan aturan yang akan diterima dan diakui
sebagai CIL.37 Melihat kepada Pasal 18 tersebut yang bermuatan mengenai kewajiban untuk tidak

35

Ko Swan Sik , dkk (ed.), Asian Yearbook of International Law, (Dordrecht: Nujhoff, 1997), hlm. 108.

36

I M Sinclair, Op.Cit., hlm. 13.

37

Ibid., hlm. 23.

16

melakukan tindakan yang bertentangan dengan objek dan tujuan dari suatu perjanjian internasional
hingga saat berlakunya perjanjian tersebut pada pembentukan VCLT cenderung dipandang sebagai
bagian dari perkembangan bertahap. Namun, saat ini hal tersebut telah menjadi suatu norma yang
diterima secara internasional, dipraktekkan oleh negara-negara, serta berjalan terus-menerus
sehingga menunjukkan ciri-ciri dari suatu CIL. Pada akhirnya ketentuan tersebut dapat menjadi
contoh bagaimana suatu norma yang dibentuk pada konvensi dapat menghasilka suatu CIL itu
sendiri.

17

BAB III
KESIMPULAN

1. Perjanjian Internasional dan Hukum Kebiasaan Internasional merupakan dua dari sumber
hukum internasional lainnya yang diakui oleh negara atau setidak-tidaknya oleh ICJ.

2. Hubungan antara Perjanjian Internasional yang diatur oleh VCLT 1969 dan CIL dapat
digambarkan melalui konstruksi dari Pasal 3(b), Pasal 4, Pasal 38, dan Pasal 43, serta paragraf
8 preambul VCLT.
3. Kasus North Sea Continental Shelf menunjukkan bahwa suatu traktat dapat menjalani proses
untuk menjadi kebiasaan dengan memiliki kemampuan atau karakter yang mampu
menciptakan nroma (norm-creating) agar dapat memenuhi syarat untuk dapat dijadikan
sebagai suatu CIL.
4. Kodifikasi CIL dilakukan untuk menjabarkan CIL menjadi suatu perjanjian dalam bentuk
tertulis, sedangkan pengembangan progresif dilakukan untuk melahirkan aturan dan prinsipprinsip hukum internasional dan menggambarkannya dalam perjanjian internasional.

18

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abass, Ademola. 2012. Complete International Law: Text, Cases, and Materials. New York:
Oxford University Press.
Aust, Anthony. 2000. Modern Treaty Law and Practice. United Kingdom: Cambridge University
Press.
Danilenko, G.M.. 1993. Law Making in the International Community. Dordrecht: Nijhoff.
Dhokalia, R.P., 1970. The Codification of Public International Law. Manchester: University of
Manchester Press.
Dorr, Oliver dan Kirsten Schmalenbach. 2011. Vienna Convention on the Law of Treaties: A
Commentary. Salzburg: Springer Science & Business Media.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2012. Pengantar Hukum Internasional. Bandung:
PT Alumni.
McCordquodale dan M. Dixon. 2003. Cases and Materials on International Law. London: Sweet
& Maxwell Ltd.
McNair, Lord. 1961. The Law of Treaties. Oxford: Clarendon Press.
Sinclair, I.M. 1973. The Vienna Convention on the Law of Treaties: Commentaries. Manchester:
University of Manchester Press.
Starke,

J.G. 2008.Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International Law].
Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H,. Jakarta: Sinar Grafika.

Swan Sik, Ko, dkk (ed.). Asian Yearbook of International Law. Dordrecht: Nujhoff, 1997.

Artikel dari Jurnal
Aust, Anthony. (2016) “Vienna Convention on the Law of Treaties (1969)”.pada Max Planck
Encyclopedia of Public International Law (MPEPIL). Oxford University Press, Juni.

19

Bisschop, W. R., “Source of International Law”. Cambridge University Press. 1940, 235-60.
Maxey, Edwin. (1906) “Treaties as Sources of International Law”, Virginia Law Register , Vol.
11. No. 11. 863-866.
Parthiana, I Wayan, (2008) “Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional berdasarkan Hukum Perjanjian
Internasional.” Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5. No. 3.

Situs
Anonim, The Law of Treaties (Public International Law Lecture Outline for University of Oxford)
users.ox.ac.uk/~alls0104/fhs_treaty03.doc, diakses pada 24 Februari 2016.
Beckman, Robert dan Dagmar Butte, “Introduction to International Law”. diakses pada 24
Februari 2016.
http://www.ilsa.org/jessup/intlawintro.pdf.
International Court of Justice, North Sea Continental Shelf (Federal Republic of
Germany/Netherlands). Diakses pada 23 Februari 2016.
http://www.icj-cij.org/docket/index.php?sum=295&code=cs2&pl+/

Disertasi
Ratnaningrum. “Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan melalui International Court of Justice”. Disertasi Doktor
Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.

20