Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Te (1)

PENDAHULUAN

“But I don’t want to go among mad people,” Alice remarked.
“Oh, you can’t help that,” said the Cat: “We’re all mad here. I’m mad. You’re mad.”
“How do you know that I’m mad?” said Alice.
“You must be,” said the Cat, “or you wouldn’t have come here.”
—Carroll (1865, h. 93)
Dialog Alice dengan Sang Kucing dalam novel Alice’s Adventures in Wonderland
menggambarkan dengan tepat bahwa persepsi sosial rentan mengalami bias. Dalam dialog
tersebut, Alice menilai makhluk-makhluk di sekitarnya sebagai gila (mad) tetapi penilaiannya
tersebut dinilai tidak akurat oleh Sang Kucing, karena Alice sendiri pun dalam kondisi yang
tidak berbeda dengan makhluk di sekitarnya, dan kondisi ”ketidaktahuan Alice” ini menurut
Sang Kucing telah membuatnya bias menilai yang lain.
Moskowitz (2005) menyebut fenomena seperti contoh tersebut sebagai realisme naif. Istilah ini
merujuk pada kegagalan seseorang untuk mengenali bahwa penyimpulannya mengenai orang
lain telah melalui proses subjektif. Dalam tulisannya, Ichheiser (1943, h. 145-146) menyatakan:

Orang-orang yang secara psikologis naif dan tidak reflektif meyakini bahwa ia mengalami
dan mengamati orang lain dengan cara yang objektif dan tidak bias … ia tidak menyadari
fakta bahwa proses-proses (salah interpretasi) tertentu tengah bekerja dalam dirinya. Prosesproses ini mendistorsi dan membuat salah tafsir (falsify) pengalamannya mengenai orang lain
bahkan pada tingkat pengamatan langsung. Proses-proses ini tetap tersembunyi dari orang

tersebut: bahwa yang ia anggap “fakta/kenyataan” telah disusupi atau ditembusi oleh—serta
sebagian merupakan hasil dari—misinterpretasi yang tidak ia perhatikan dan tidak ia sadari
namun yang secara sistematis berproses.
Kendati demikian, perseptor sosial secara umum memiliki motif atau tujuan untuk memiliki
akurasi dalam memandang dunia sosialnya, dalam menilai kualitas orang, tempat, dan objek
dalam lingkungannya (McCaslin, Petty, & Wegener, 2010; Strack, 1992). Apabila perseptor
mengetahui bahwa sejumlah faktor telah membiaskan persepsinya mengenai target persepsi, dan
perseptor merasa bahwa bias ini tidak perlu, mereka dapat menggunakan keyakinan awamnya
mengenai bagaimana faktor pembiasan ini telah mempengaruhi penilaian mereka. Mereka akan
menentukan arah dan tingkat koreksi yang diperlukan guna menyingkirkan pengaruh (bias) yang

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

tidak diinginkan tersebut. Hal ini dinyatakan dalam model koreksi berbasis teori (theory-based
correction models) (Wegener & Petty, 1997; Wilson & Brekke, 1994).
Masalahnya adalah tidak semua orang menyadari faktor-faktor yang berpotensi membiaskan
persepsinya. Orang seringkali tidak menyadari (lack of awareness) bahwa aktivitas mental telah
mempengaruhi kognisi sosialnya (Moskowitz, 2005).
Nisbett dan Wilson (1977) menemukan bahwa orang tidak hanya tidak menyadari bahwa sesuatu

mungkin mempengaruhi persepsi mereka tentang orang lain; tetapi juga orang bahkan tidak
mampu untuk melaporkan secara akurat sifat dari suatu pengaruh ketika mereka secara tepat
mencurigai bahwa sesuatu mempengaruhi persepsi mereka.
Dalam eksperimen Nisbett dan Wilson, partisipan menyaksikan sebuah wawancara dengan
seorang guru yang berbicara dengan aksen asing (foreign accent). Sebagian partisipan
menyaksikan guru yang berbicara dengan cara yang "hangat" dan positif, sedangkan sebagian
lainnya menyaksikan guru yang berbicara dengan cara yang "dingin" dan negatif. Hasil
eksperimen menunjukkan bahwa tingkat kesukaan partisipan terhadap guru akibat manipulasi
eksperimental telah mempengaruhi penilaian mereka dalam dimensi-dimensi yang lain dari guru,
bahkan dalam dimensi-dimensi yang seharusnya tidak terpengaruh (misalnya, tingkat
kemenarikan guru tersebut bagi partisipan, tingkat sejauh mana partisipan menyukai aksen guru
tersebut). Hal yang penting dalam konteks pembahasan ini bukanlah adanya "efek halo",
melainkan bahwa partisipan tidak dapat secara tepat menerka arah dari pengaruh yang
dialaminya. Mereka nampaknya mengetahui bahwa penilaian mereka terhadap guru tersebut
bias. Namun mereka meyakini bahwa kemenarikan sang guru lah yang telah mempengaruhi
tingkat kesukaan mereka terhadap guru tersebut; bukan sebaliknya, bahwa tingkat kesukaan
mereka yang bias oleh pengamatan telah mempengaruhi cara mereka menilai apakah guru
tampak menarik atau tidak. Ini merupakan contoh yang baik tentang bagaimana orang mencoba
untuk memantau proses-proses mental mereka, bahkan mencurigai bahwa mereka mungkin bias
dalam menilai, namun mereka—dalam kondisi ketidaksadaran (lack of awareness) akan suatu

pengaruh—tidak memiliki petunjuk tentang hal apa yang sesungguhnya menentukan cara mereka
mencapai suatu kesimpulan dan penilaian (bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka
ketahui, atau mengapa mereka berperilaku sebagaimana mereka berperilaku).
Penelitian selanjutnya yang meneguhkan peran ketidaksadaran dalam bias persepsi sosial adalah
eksperimen Bargh dan Pietromonaco (1982) yang secara subliminal menyajikan stimulus
Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

terhadap partisipan. Asumsi eksperimen mereka adalah bahwa jika orang tidak pernah menyadari
bahwa ia telah melihat sebuah kata, maka mustahil baginya menyadari pengaruh yang dimiliki
oleh kata tersebut terhadap penilaian dan pembentukan kesan yang dilakukannya. Bargh dan
Pietromonaco memberikan paparan kata-kata sifat kepada partisipan serta memberikan mereka
satu paragraf kalimat untuk dibaca mengenai seseorang bernama Donald. Namun kata-kata sifat
tersebut disajikan secara subliminal (di bawah ambang kesadaran). Kata-kata sifat yang disajikan
secara subliminal terkait dengan konsep “hostilitas” (misalnya, hostile, unkind, punch, hate, hurt,
rude, stab). Selanjutnya, partisipan membaca sebuah deskripsi ambigu tentang Donald yang
mungkin hostil mungkin tidak (ambiguously hostile). Partisipan diminta untuk membentuk kesan
tentang Donald. Mereka menilai Donald dalam serangkaian skala. Sejumlah skala berkaitan
dengan hostilitas, dan sejumlah skala lainnya tidak berkaitan. Hipotesis eksperimen ini adalah
bahwa apabila sebuah konsep dibuat aksesibel oleh penyajian subliminal, maka Donald

seharusnya akan dilihat sebagai lebih hostil karena konsep tersebut dibuat lebih aksesibel.
Berdasarkan prediksi bahwa kekuatan aksesibilitas memiliki pengaruh terhadap asimilasi konsep,
penelitian memanipulasi seberapa kuat konsep-konsep yang disajikan secara subliminal akan
diaktifkan. Ada dua kondisi. Satu kondisi menyajikan secara subliminal 20% kata sifat yang
bersifat hostil, kondisi lainnya 80%. Hasilnya menunjukkan bahwa Donald dinilai lebih hostil
dalam kondisi 80% dibandingkan dengan kondisi 20%.
Jadi, dalam eksperimen-eksperimen di atas, perseptor eksperimental tidak menyadari adanya
kekuatan pengaruh (influencing force) yang berasal dari manipulasi cara guru berbicara (Nisbett
& Wilson, 1977) atau kata-kata yang disajikan secara subliminal (Bargh & Pietromonaco, 1982)
terhadap diri mereka. Partisipan juga tidak melihat bahwa penilaian mereka telah dibentuk oleh
hal-hal yang tidak mereka sadari pengaruhnya tersebut.
Eibach, Libby, dan Gilovich (2003) melengkapi temuan-temuan di atas, bahwa bias dalam
persepsi sosial disebabkan oleh ketidaksadaran perubahan diri. Namun mereka memfokuskan
diri pada target persepsi berupa dunia sosial yang berubah. Sebagai contoh (Eibach, Libby, &
Gilovich, 2003, h. 918):

… ada saat-saat di mana dilema atribusional tidak begitu mudah dipecahkan: … “Apakah
globalisasi telah mereduksi (mengurangi) harga segala sesuatu, ataukah hal ini sebenarnya
perkara saya yang telah menghasilkan uang yang sesungguhnya?”


Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

(… there are occasions in which the attributional dilemma is not so easily resolved: … “Has
globalization reduced the price of everything, or is it that I’m finally making real money?”)
Terhadap pertanyaan di atas, misalnya, tesis mereka menawarkan kemungkinan jawaban bahwa
penurunan harga barang yang nampak di mata perseptor bukan akibat faktual dari globalisasi,
melainkan karena diri perseptor sendiri telah mengalami perubahan menjadi lebih mampu
menghasilkan banyak uang, sehingga harga barang dipersepsikan berkurang.
Topik ini menjadi penting, karena dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menemukan
fenomena sejenis yang disebutkan di atas. Ambil contoh, misalnya, komentar seorang warga
masyarakat, Jaim, sebagai berikut: “Pada Zaman Pak Harto, harga-harga kebutuhan pokok sangat
terkontrol dan belum pernah rakyat antri untuk beli BBM seperti sekarang" (Kompas, 2008).
Pernah juga dilansir hasil survei LSI yang diselenggarakan tanggal 1 sampai 5 Mei 2010 (Dayat,
2010):

Setelah 12 tahun reformasi bergulir dan jatuhnya Soeharto, publik ternyata merindukan
kembali Orde Baru. Hanya 16,9 % dari masyarakat Indonesia yang merasa kondisi di era
reformasi lebih baik. Jauh lebih banyak, 44,5%, yang menyatakan justru kondisi di era Orde
Baru lebih baik. Salah satu penyebabnya, reformasi yang sudah 12 tahun berjalan belum

membuahkan ekonomi rakyat yang lebih baik. Mereka menganggap ekonomi di era Orde
Baru jauh lebih baik.
Perubahan sosial (perubahan orde baru ke orde reformasi) dinilai lebih buruk atau lebih negatif
oleh masyarakat. Fenomena ini sudah lazim di mana-mana dan dijelaskan Schwarz, Wanke, dan
Bless (1994), bahwa perbandingan dengan masa lalu seringkali dilakukan ketika terdapat
problem di masa sekarang yang dahulunya tidak ada. Padahal, terdapat pula problem-problem
yang ada di masa lalu dan tidak terdapat lagi di masa sekarang. Dengan demikian, pengurangan
kesalahan atribusi ini adalah dengan melakukan perbandingan dengan arah sebaliknya, yakni
bukannya membandingkan masa sekarang dengan masa lalu, melainkan membandingkan masa
lalu dengan masa sekarang. Dengan melakukan perbandingan terbalik berarti bahwa orang dibuat
sadar mengenai perubahan dirinya yang terjadi di antara masa lalu dan masa sekarang.
Perubahan sosial (Jordan & Pile, 2002, h. xiv) dalam hal ini merupakan:

[Perubahan] waktu dan tempat bilamana dan di mana masyarakat menjadi berbeda …
[Orang-orang] berurusan dengan situasi di mana hal-hal menjadi asing (strange), ketika halIni adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

hal baru dan hal-hal lama bersentuhan satu sama lain atau mengalami evolusi menjadi bentuk
sosial yang lain.
Memang, dalam tinjauan sosiologi, dimensi kunci dari perubahan sosial yang signifikan adalah

aspek kekinian (kekontemporeran)-nya. Seringkali dinyatakan bahwa periode saat ini merupakan
satu dari perubahan sosial substansial apabila dibandingkan dengan era sebelumnya.
Namun demikian, Matthew Adams (2007) menunjukkan bahwa apabila sejumlah orang ditanyai
mengenai perubahan sosial apa sajakah yang signifikan dalam 50 tahun terakhir, maka orangorang tersebut dapat tidak memberikan jawaban yang serupa. Penjelasannya adalah bahwa, pada
kenyataannya, apa yang dipersepsikan orang sebagai perubahan sosial yang penting akan
bervariasi bergantung pada sejarah pribadi, relasi-relasi, dan konteks kekinian orang tersebut.
Perubahan sosial, seperti misalnya jatuhnya tembok Berlin, dapat dialami sebagai sangat
signifikan bagi sejumlah orang, namun tidak relevan bagi orang yang lain. Generalisasi yang
disepakati bersama sejak dini mengenai perubahan sosial yang penting sangatlah sulit. Inilah
sebabnya perubahan sosial dalam penelitian ini diperlakukan secara perseptual.
Menurut Adams (2007), terdapat relasi antara perubahan sosial dan diri-identitas (self-identity).
Adams melakukan kajian spekulatif dan mengemukakan bahwa terdapat ragam diri (self) yang
dapat menjelaskan hubungan mutual antara kedirian (selfhood) dengan perubahan sosial, serta
bahwa diri sangat mungkin diganggu oleh pengalaman ketidakpastian (uncertainty) dan
ketiadaan kendali (lack of control) yang timbul dari peristiwa perubahan sosial.
Diri (self) dalam hal ini merupakan konstruk sentral yang mewarnai cara orang mempersepsikan
tentang sesuatu, berpikir, dan bertindak (Banaji & Prentice, 1994; Baumeister, 1998). Guna
mengerti kesadaran perubahan diri, perlu dipahami terlebih dahulu apa itu kesadaran diri. Untuk
memahami kesadaran diri dalam penelitian ini digunakan definisi proses, bahwa kesadaran diri
merupakan sebuah proses dinamis, bukan sebuah fenomena statis. Sebagaimana dinyatakan oleh

Rochat (2003, h. 728):

Sebagai orang dewasa, kita secara konstan bergerak-gerak dalam tingkat kesadaran kita: dari
bermimpi atau kehilangan kesadaran tentang diri kita selama tidur, sampai dengan sadar diri
yang tinggi (highly self-conscious) dalam situasi publik atau dalam keadaan kebingungan dan
disosiasi ketika kita “menyelamkan” diri kita dalam film atau bacaan novel.

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Penelitian ini hendak menguji pendapat Adams (2007) serta kemampuan prediksi dari model
teoretis Eibach, Libby, dan Gilovich (2003) sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya pada
mahasiswa di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, "perubahan sosial" atau "perubahan dunia" secara operasional dibatasi
sebagai "perubahan dunia kampus". “Dunia kampus” sendiri merupakan istilah yang sudah
dikenal luas oleh mahasiswa dan komunitas perguruan tinggi lainnya untuk menggambarkan
kehidupan formal, informal, dan nonformal yang terkait dengan perguruan tinggi. Sebagai

buktinya, elisitasi istilah yang dilakukan melalui mesin pencari Google saat ini menunjukkan
bahwa istilah “dunia perguruan tinggi” memunculkan 100.000 entri, “kehidupan kampus”
250.000 entri, dan “dunia kampus” memunculkan lebih dari 300.000 entri hasil pencarian (jadi:
paling banyak). Istilah “kesadaran perubahan diri” merujuk pada kesadaran mengenai diri yang
berubah. Dalam konteks penelitian ini, "perubahan diri" dibatasi sebagai "perubahan diri dalam
kaitannya dengan dunia kampus".
Partisipan studi ini terdiri atas 40 orang (14 laki-laki, 26 perempuan) untuk penelitian pilot, dan
143 orang (57 laki-laki, 86 perempuan, M usia = 20.23, SD usia = 0.89) untuk penelitian
pelaksanaan. Seluruh partisipan untuk penelitian pilot maupun penelitian pelaksanaan merupakan
mahasiswa, dari Universitas Bina Nusantara, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, dan
Universitas Mercu Buana Jakarta yang berasal dari berbagai program studi. Seluruh partisipan
diambil dengan metode penyampelan insidental.
Partisipan diberikan skala baik dalam penelitian pilot maupun penelitian pelaksanaan. Skala
kesadaran perubahan diri berjumlah 8 butir, memiliki rentang respons dari Sangat Tidak Sesuai
(1) sampai dengan Sangat Sesuai (5), dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori diri (self
theory) dari William James (1890). Contoh pernyataan dalam skala ini: “Selama berada di dunia
kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam penampilan” (diri material); “Selama berada
di dunia kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam pergaulan” (diri sosial); “Selama
berada di dunia kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam cita-cita” (diri spiritual); dan
“Selama berada di dunia kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam pemikiran dan

perasaan mengenai identitas diri” (ego murni). Berdasarkan data uji coba yang diperoleh dari
Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

partisipan, skala ini menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (α = 0.690) dengan menghapus
2 butir. Seluruh butir skala memiliki corrected item total di atas 0.30.
Skala persepsi terhadap perubahan sosial berjumlah 10 butir, dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan aspek-aspek pemangku kepentingan sebuah perguruan tinggi, yakni (1) Dosen, (2)
Mahasiswa, (3) Karyawan, dan (4) Institusi Universitas. Contoh pernyataan dalam skala ini:
“Selama ini, dunia kampus banyak mengalami perubahan dalam kualitas dosen”; “Dunia kampus
banyak mengalami perubahan dalam pergaulan antar mahasiswa”; “Dunia kampus banyak
mengalami perubahan dalam pelayanan terhadap mahasiswa”; “Dunia kampus banyak
mengalami perubahan dalam materi pelajaran”. Berdasarkan data uji coba yang diperoleh dari
partisipan, skala ini menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (α = 0.815), tanpa ada butir
pernyataan yang harus dieliminasi untuk meningkatkan koefisien reliabilitas. Seluruh butir skala
memiliki corrected item total di atas 0.30.
Desain studi ini adalah desain korelasional, dengan prediktor kesadaran perubahan diri, serta
variabel dependen persepsi terhadap perubahan dunia/sosial. Data dianalisis dengan
menggunakan analisis regresi linear berganda.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Regresi linear berganda menunjukkan hasil R2 = 0.144, F(1, 142) = 24.690, p < .01. Rincian
analisis nampak dalam Tabel 1.

Tabel 1.
Hasil Analisis Regresi Linear Berganda untuk Memprediksi Persepsi Terhadap Perubahan
Sosial (n = 143)
Variabel
Kesadaran perubahan diri

B
-0.753

SE B
0.155

ß
-0.379**

Catatan. **p < .01.

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Ditemukan bahwa semakin tinggi kesadaran perubahan diri, maka persepsi perubahan sosial
semakin rendah (ß = -0.379, p < .01). Dengan perkataan lain, dunia sosial dipandang berubah lebih
banyak pada orang yang mengalami kesadaran perubahan diri yang rendah.
Temuan penelitian ini menguatkan tesis Eibach, Libby, dan Gilovich (2003) bahwa diri yang
tidak sadar (unaware/blind self) mengenai perubahannya akan memberikan penilaian yang
berlebihan mengenai jumlah perubahan yang terjadi di dunia sosialnya. Kelompok orang yang
tidak atau kurang menyadari perubahan dirinya menilai bahwa dunia telah berubah, atau bahwa
dunia telah berubah lebih banyak, dibandingkan dengan kelompok orang yang sadar tentang
perubahan dirinya.
Penjelasannya adalah karena perubahan diri seringkali bersifat subtil atau samar, gradual,
perlahan-lahan, tidak menonjol (nonsalient), sehingga sering tidak disadari. Jadi, perubahan yang
terkait dengan bagaimana dunia nampak pada diri seseorang yang sedang atau telah berubah
diatribusikan orang itu sebagai perubahan aktual (sebagaimana adanya) dunia.
Eibach dan Libby (2009) pernah melakukan analisis terhadap ketakutan akan kemerosotan moral
dalam masyarakat guna menjelaskan daya tarik psikologis dari nostalgia, tradisi, dan opini-opini
konservatif secara politis. Mereka menemukan bahwa, misalnya, ketika orang menjadi orangtua,
mereka melihat dunia sebagai tempat yang lebih berbahaya, namun gagal mengenali bahwa
perubahan dirinya lah yang bertanggung jawab terhadap persepsi itu. Oleh karena orangtua mulai
memiliki anak, dunia ini nampak lebih berbahaya untuk keselamatan anak-anak mereka. Uraian
Eibach dan Libby kongruen dengan temuan penelitian ini. Orang juga gagal menyadari bahwa
pandangannya mengenai kemerosotan sosial (social decline) dewasa ini dipengaruhi oleh kondisi
fisik dan mentalnya yang mengalami perubahan yaitu penurunan karena penuaan (aging),
sehingga mereka merasa mengalami lebih banyak frustrasi dengan perubahan-perubahan dunia.
Sebagai hasilnya, orang mengalami “gravitasi” ke arah posisi yang lebih konservatif dan
menjustifikasi sistem yang sudah ada serta menolak gagasan perubahan.
Dalam kehidupan sehari-hari, temuan penelitian ini dapat digunakan dalam rangka pendidikan,
konseling, maupun psikoterapi terhadap orang-orang yang mengalami frustrasi terhadap
lingkungan sesungguhnya disebabkan oleh perubahan diri sendiri yang tidak disadari. Ambil
contoh, seorang Indonesia yang baru lulus sarjana di dalam negeri kemudian melanjutkan studi
pascasarjana di luar negeri dan sempat bekerja di sana. Ketika ilmuwan ini pulang ke Indonesia,
ia merasa kecewa karena merasa kurang atau tidak dihargai di tanah air (dibandingkan dengan di
Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

luar negeri) dari sisi ganjaran finansial maupun non-material. Sangat mungkin bahwa taraf
penghargaan terhadap ilmuwan di tanah air tetap atau tidak mengalami perubahan signifikan.
Orang tersebut dapat dibantu untuk menyadari bahwa ketidakterlibatan dirinya dengan Indonesia
selama tidak berada di tanah air telah menyebabkan pelemahan kesadaran tentang perubahan
dirinya. Dirinya sangat mungkin telah berubah dalam hal kemampuan dan dalam hal aspirasi
akan apresiasi terhadap kualifikasi/kemampuannya. Peningkatan aspirasi ini serta merta
dijadikan patokan oleh orang tersebut untuk menilai sejauh mana orang/lembaga lain di tanah
airnya menghargainya. Hal ini akan memicu kekecewaan yang berkepanjangan, frustrasi, bahkan
depresi klinis, atau reaksi lari (flight) keluar dari tanah air, apabila orang tersebut gagal
mengenali bahwa bukan tanah air yang berubah menjadi kurang atau pun tidak apresiatif
terhadap dirinya, melainkan bahwa aspirasi dirinya lah yang mengalami kenaikan kualitas.
Dalam kehidupan profesional, terutama profesi-profesi yang bersifat “menentukan nasib” orang
lain, seperti hakim, bias ini dapat juga berakibat merugikan orang lain. Yusti Probowati Rahayu
mengungkapkan salah satu hasil wawancara dalam rangka disertasi doktoralnya di Universitas
Gadjah Mada yang dilakukan dengan seorang hakim di Yogyakarta (HukumOnline, 2008).
Dalam wawancara, hakim tersebut menunjukkan bahwa ada seorang hakim memutuskan
hukuman yang sangat berat kepada terdakwa perkara pencurian, bila dibandingkan dengan
putusan yang lazim untuk kasus pencurian. Putusan itu disebabkan karena pada malam sehari
sebelum

membuat

keputusan,

rumah

hakim

tersebut

tiba-tiba

kemalingan.

Rahayu

menjelaskannya sebagai berikut:

Nah, saya pikir ini kondisi emosi, kan? Pada saat hakim itu ada dalam kondisi emosional
harusnya hakim tak boleh membuat putusan. Sayang, kadang-kadang mereka tidak sadar.
Mereka selalu mengklaim, “Kita tidak bias, kok”.
Apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, hal yang dipaparkan Rahayu di atas sesungguhnya
dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada saat mengambil keputusan, sang hakim tidak menyadari
bahwa dirinya mengalami perubahan (kehilangan harta benda dan segala akibatnya terhadap
psike hakim) dan bahwa hal tersebut berimplikasi pada caranya melihat dunia sosial, dalam hal
ini orang lain (terdakwa pencuri). Kesalahan yang dilakukan terdakwa menjadi nampak lebih
banyak atau lebih tinggi kualitasnya di mata hakim, sehingga putusan yang dijatuhkannya pun
menjadi jauh lebih berat.
Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Koefisien determinasi (R2) 0.144 berarti bahwa 14.4% dari variasi persepsi terhadap perubahan
sosial dapat dijelaskan oleh kesadaran perubahan diri, sedangkan 85.6% sisanya dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak menjadi fokus penelitian ini. Foster dan Caplan (1994) dalam
penelitiannya menemukan bahwa orang menilai tinggi (overestimate) tingkat perubahan dunia
ketika hal yang dinilai tersebut tidak stabil dan ambigu. Dengan demikian, persepsi terhadap
perubahan sosial juga dapat disumbang oleh variabel kejelasan objek yang dipersepsikan.
Penjelasannya adalah karena eksagerasi (pembesaran) persepsi tentang tingkat perubahan sosial
(yang tidak terkait dengan tingkat perubahan aktual atau sesungguhnya) merupakan metode
penanggulangan (coping) terhadap ambiguitas dan ketidakstabilan, guna memelihara konsep diri
yang positif.
Selanjutnya, Lieberman dan Pfeifer (2005) dalam risalahnya memberikan kita penerangan bahwa
dewasa ini tiga aspek pemrosesan diri (self-processing) yang bertanggungjawab terhadap
persepsi sosial adalah kesadaran diri (self-awareness), pengenalan atau pengetahuan diri (selfrecognition, self-knowledge), dan pengendalian diri (self-control). Kesadaran diri adalah
kapasitas untuk merefleksikan dan mengidentifikasikan diri dengan pengalaman dan tindakan
sendiri. Pengetahuan diri adalah kapasitas untuk mengenali diri sendiri serta gudang informasi
menyangkut kepribadian, preferensi/pilihan, dan sejarah otobiografis. Pengendalian diri adalah
kapasitas pengaturan untuk secara strategis mengatasi dorongan atau impuls dan kebiasaan
sendiri. Menariknya, ketiga aspek diri ini bahkan telah dibuktikan keberadaan jejaring neuralnya
dan proses-proses neurokognitifnya dalam penelitian-penelitian neurosains kognitif.
Yang menjadi fokus penelitian kali ini adalah kesadaran diri, dan secara spesifik: kesadaran
perubahan diri (self-change awareness). Penelitian ini menduga bahwa variasi persepsi tentang
perubahan dunia antara lain dapat diprediksi juga oleh pengenalan/pengetahuan diri dan
pengendalian diri. Namun demikian, yang tetap perlu digarisbawahi adalah bahwa diri
mengalami konstruksi dan rekonstruksi sepanjang waktu sebagai fungsi dari konstrain situasional
dan interpersonal.

SIMPULAN DAN SARAN

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang menyelidiki persepsi terhadap
perubahan sosial ditinjau dari kesadaran perubahan diri. Penelitian ini menemukan bahwa
keduanya berkorelasi negatif.
Sebagai saran metodologis, penelitian ini menganjurkan dilakukannya studi eksperimental guna
lebih memastikan relasi kausal antara kesadaran perubahan diri dan persepsi terhadap perubahan
sosial. Setelah dilakukan randomisasi menjadi dua kelompok dan kontrol kondisi, eksperimenter
dapat membagikan kuesioner yang diadaptasi dari Eibach, Libby, dan Gilovich (2003, h. 924).
Kuesioner ini bertujuan memanipulasi dan mengukur kesadaran perubahan diri. Instrumen ini
terdiri atas dua versi. Versi pertama diberikan kepada kelompok eksperimen, versi kedua
diberikan kepada kelompok kontrol. Pada kuesioner versi pertama, partisipan diminta untuk
mendaftarkan tiga hal mengenai diri mereka yang telah berubah sejak mereka menjadi
mahasiswa. Instruksinya adalah sebagai berikut:

Buatlah daftar 3 (tiga) hal atau aspek tentang diri Anda (misalnya: Kepribadian, Sikap,
Pandangan terhadap sesuatu, dan sebagainya) yang telah berubah sejak Anda berada di
dunia kampus / menjadi mahasiswa. Selanjutnya, ceritakan satu hal tentang diri Anda yang
telah berubah pada masing-masing aspek tersebut. Tuliskan dengan sespesifik / serinci
mungkin dalam menggambarkan tiap-tiap perubahan tentang diri Anda sejak Anda berada
di dunia kampus.
Instrumen versi kedua sama dengan versi pertama, kecuali bahwa instruksi dalam instrumen ini
meminta partisipan untuk mendaftarkan 12 hal yang berubah dari diri mereka sejak mereka
menjadi mahasiswa. Pengisian kuesioner ini dapat mengambil waktu kira-kira 7 sampai 10
menit. Asumsinya, pemberian kuesioner versi pertama (instruksi mendaftarkan 3 hal) akan
memanipulasi kondisi partisipan, dalam hal mana partisipan akan menemukan bahwa dirinya
relatif mudah untuk menghasilkan daftar hal-hal yang berubah pada dirinya sejak menjadi
mahasiswa. Dengan demikian, mereka akan menyimpulkan bahwa mereka telah berubah cukup
banyak. Sebaliknya, partisipan yang diminta untuk mendaftarkan 12 hal (kuesioner versi kedua)
akan menemukan bahwa dirinya relatif sulit untuk menghasilkan daftar dua belas hal yang
berubah pada dirinya. Sebagai konsekuensinya, mereka akan menyimpulkan bahwa mereka telah
berubah relatif sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Adams, M. 2007. Self and social change. Sage Publications, London.
Banaji, M. R., & Prentice, D. A. 1994. “The self in social context.” Annual Review of
Psychology vol. 45, pp. 297–332.
Bargh, J. A., & Pietromonaco, P. 1982. “Automatic information processing and social
perceptions: The influence of trait information presented outside of conscious awareness on
impression formation.” Journal of Personality and Social Psychology vol. 43, pp. 437-444.
Baumeister, R. F. 1998. The self. Dalam D. T. Gilbert, S. T. Fiske, & G. Lindzey (Eds.),
Handbook of social psychology (4th ed., h. 680–740). McGraw-Hill, New York.
Carroll, L. 1865. Alice’s adventures in wonderland. Penguin Group, New York.
Dayat. 2010, 19 Mei. Survei LSI: Publik rindukan orde baru. Diakses pada 26 Mei 2010, dari
http://www.tribunnews.com/2010/05/19/survey-lsi-publik-rindukan-orde-baru
Eibach, R. P., & Libby, L. K. 2009. Ideology of the good old days: Exaggerated perceptions of
moral decline and conservative politics. Dalam J. T. Jost, A. C. Kay, & H. Thorisdottir
(Eds.), Social and psychological bases of ideology and system justification. Oxford
University Press, New York.
Eibach, R. P., Libby, L. K., & Gilovich, T. D. 2003. “When change in the self is mistaken for
change in the world.” Journal of Personality and Social Psychology vol. 84, pp. 917-931.
Foster, D. A., & Caplan, R. D. 1994. “Cognitive influences on perceived change in social
support, motivation, and symptoms of depression.” Applied Cognitive Psychology vol. 8, pp.
123-139.
HukumOnline. 2008, 25 Februari. Yusti Probowati Rahayu: Kalau sedang tidak mood, hakim
jangan

ambil

putusan.

Diakses

pada

31

Mei

2010,

dari

http://hukumonline.com/berita/baca/hol18596/yusti-probowati-rahayu-kalau-sedang-tidakimoodi-hakim-jangan-ambil-putusan
Ichheiser, G. 1943. “Misinterpretations of personality in everyday life.” Character and
Personality vol. 11, pp. 145-160.
James, W. 1890. The principles of psychology. Holt, New York.
Jordan, T. & Pile, S. (Eds.). 2002. Social change. Blackwell, Oxford.
Kompas. 2008, 28 Januari. Soeharto di mata rakyat. Diakses pada 26 Mei 2010, dari
http://travel.kompas.com/read/2008/01/28/1531559/Soeharto.di.Mata.Rakyat
Lieberman, M. D., & Pfeifer, J. H. 2005. The self and social perception: Three kinds of questions
in social cognitive neuroscience. Dalam A. Easton & N. Emery (Eds.), Cognitive

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

neuroscience of emotional and social behavior (pp. 195-235). Psychology Press,
Philadelphia.
McCaslin, M. J., Petty, R. E., & Wegener, D. T. 2010. Self-enhancement and theory-based
correction processes. Journal of Experimental Social Psychology vol. 46, pp. 830–835.
Moskowitz, G. B. 2005. Social cognition: Understanding self and others. Guilford Press, New
York.
Nisbett, R. E., & Wilson, T. D. 1977. “Telling more than we can know: Verbal reports on mental
process.” Psychological Review vol. 84, pp. 231-259.
Rochat, P. 2003. “Five levels of self-awareness as they unfold early in life.” Consciousness and
Cognition vol. 12, 717–731.
Schwarz, N., Wanke, M., & Bless, H. 1994. “Subjective assessments and evaluations of change:
Some lessons from social cognition research.” European Review of Social Psychology vol. 5,
181–210.
Strack, F. 1992. The different routes to social judgments: Experiential versus informational
based strategies. Dalam L. L. Martin & A. Tesser (Eds.), The construction of social
judgments (h. 249–275). Erlbaum, Hillsdale, NJ.
Wegener, D. T., & Petty, R. E. 1995. “Flexible correction processes in social judgment: The role
of naive theories in corrections for perceived bias.” Journal of Personality & Social
Psychology vol. 68, pp. 36–51.
Wilson, T. D., & Brekke, N. 1994. “Mental contamination and mental correction: Unwanted
influences on judgments and evaluations.” Psychological Bulletin vol. 116, pp. 117–142.

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya
dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit