Humanisme Eksistensialisme dan Spiritual (2)

1

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Humanisme dan eksistensialisme adalah bagian dari filsafat-filsafat
yang telah ditetapkan dengan baik yang berpengaruh khusus terhadap
pekerjaan sosial dan mempengaruhi teori-teori praktik khusus. Spiritualitas
adalah suatu aspek terkait humanitas berkenaan dengan keadaan dan
kebutuhan manusia untuk mencari arti dan pentingnya kehidupan ini dan
yang lebih penting lagi, yakni naik ke atas atau berhubungan dengan Tuhan.
Semua ide ini memiliki relevansi terhadap praktik pekerjaan sosial.
Mereka berhubungan dengan pendekatan-pendekatan pekerjaan sosial dalam
kelompok-kelompok

etnis

minoritas

dan


khususnya

kebudayaan-

kebudayaan non-Barat yang semakin mempengaruhi pemikiran pekerjaan
sosial. Keprihatinan kita dengan pengalaman-pengalaman manusia dan
aspek-aspek artistik serta budaya dari hubungan sosial adalah bahwa hal ini
terlihat sebagai sesuatu yang radikal, dimana mereka menolak untuk
menerima

anggapan-anggapan

modernis

tentang

profesionalisasi

berdasarkan-bukti; akan tetapi, pendekatannya lebih ke arah refleksif-terapis
karena tujuannya yang utama adalah untuk mencapai potensi tertinggi dan

pertumbuhan manusia, ketimbang perubahan sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas, baik mengenai

humanisme,

eksistensialisme, maupun spiritualitas adalah berhubungan dengan manusia
secara utuh. Oleh karena itu, pekerjaan sosial yang praktiknya memang
berhubungan dengan manusia, tentu perlu memahami secara lebih
mendalam mengenai ketiga pandangan yang saling berkaitan ini. Tujuannya
tidak lain adalah agar pekerja sosial mempunyai pengetahuan tentang
manusia secara utuh sebagai seorang manusia, walaupun pada praktiknya
nanti, pekerja sosial akan menggunakan seluruh pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya baik secara eklektif maupun selektif,
disesuaikan dengan kondisi klien, permasalahannya, nilai-nilai yang dianut

2

klien, nilai-nilai yang ada di masyarakat, nilai-nilai profesional pekerjaan
sosial, dan hal-hal yang berkaitan dengan proses pertolongan terhadap klien.
1. 2 Rumusan Masalah

Di dalam makalah ini, kami akan membahas beberapa hal berkaitan
dengan pandangan-pandangan di atas, kami telah merangkumnya dalam
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, di antaranya:
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan pandangan

humanisme,

eksistensialisme, dan spiritualitas ?
2. Apa isi dari ketiga pandangan tersebut ?
3. Bagaimana hubungan ketiga pandangan tersebut dengan praktik
pekerjaan sosial ?
1. 3 Tujuan Penulisan
Berikut adalah tujuan dari dibuatnya makalah ini, yaitu:
1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Teori Pekerjaan Sosial.
2. Untuk mengetahui dan memahami sejarah perkembangan pandangan
humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas.
3. Untuk mengetahui dan memahami isi dari ketiga pandangan di atas.
4. Untuk mengetahui dan memahami hubungan dari ketiga pandangan
tersebut dengan praktik pekerjaan sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

3

2. 1 Sejarah Perkembangan Pandangan Humanisme, Eksistensialisme, dan
Spiritualitas
Arti istilah humanisme dan eksistensialisme bisa ditinjau dari dua sisi,
pertama dari sisi historis dan kedua dipandang sebagai aliran-aliran dalam
filsafat. Dari sisi yang pertama, humanisme dan eksistensialisme merupakan
gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia
pada paruh abad ke-14 Masehi. Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor
penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Beberapa tokoh yang
sering disebut sebagai pelopor gerakan ini misalnya Dante, Petrarka,
Boccaceu, dan Michael Angelo. Dari sisi yang kedua, humanisme dan
eksistensialisme sering diartikan sebagai paham dalam filsafat yang
menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia
menempati posisi yang sangat penting dan sentral dalam kehidupan. Salah
satu asumsi yang melandasi pandangan filsafat ini adalah manusia pada
prinsipnya merupakan pusat dari realitas, para filsuf humanisme berpegang

teguh bahwa manusia pada hakekatnya adalah bukan Viator Mundi
(peziarah di muka bumi), melainkan Vaber Mundi (pekerja atau
menciptakan dunianya). Gerakan yang berawal dari Italia dan kemudian
menyebar ke seluruh Eropa ini, dimaksudkan untuk membangunkan
manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yang banyak dikuasai dogmadogma agamis dari gereja-gereja. Abad pertengahan adalah masa dimana
otonomi, kreatifitas, dan kemerdekaan berpikir manusia dikungkung oleh
kekuasaan agama melalui gereja-gereja dan lembaga-lembaga keagamaan di
Eropa pada saat itu. Masa ini sering disebut “masa kegelapan (the dark
ages)” karena cahaya akal budi manusia tertutup oleh kabut dogma-dogma
agama disana. Pada masa itu, kuasa manusia dipatahkan oleh pandangan
agama yang menyatakan bahwa hidup manusia telah digariskan oleh
kekuatan Illahi dan akal manusia tidak akan mampu menjelaskan kekuatankekuatan itu. Para kaum spiritual di Eropa pada masa itu, memandang
bahwa pikiran-pikiran manusia harus dikendalikan. Oleh karena itulah,
gerakan humanisme muncul dan gerakan kaum humanis ini pada dasarnya

4

bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan lembaga
keagamaan dan membebaskan kungkungan agama yang mengikat. Pada
perkembangan selanjutnya, muncullah paham sekulerisme dimana terjadi

pemisahan antara agama dan aspek-aspek kehidupan tertentu. Muncul pula
paham liberalisme, dimana manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas
melakukan apapun selama mereka mampu melakukannya.
Di belahan bumi yang lain, tepatnya di Jazirah Arab, dimana
masyarakatnya pada saat itu masih menyandarkan kehidupannya kepada
benda-benda yang justru tidak hidup, perbedaan strata sosial yang mencolok
antara majikan dan budak serta antara laki-laki dan perempuan, judi dan
khamer banyak dilakukan, sehingga kehidupan hanyalah sekadar untuk
kesenangan dan manusia direndahkan seperti barang dagangan. Sampai
pada akhirnya muncul suatu pandangan baru yang dinamakan Islam. Islam
memandang manusia sebagai makhluk yang paling mulia diantara seluruh
makhluk karena memiliki akal yang mampu membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Akan tetapi, ketika akalnya tidak digunakan
sebagaimana mestinya, maka manusia tidaklah jauh berbeda dengan
binatang. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia tidaklah bebas tanpa
batas, ada aturan-aturan yang harus mereka taati, dimana aturannya berasal
dari Tuhan Yang Maha Benar, karena jika aturannya berasal dari manusia
maka akan terjadi subjektifitas yang berisiko menimbulkan kekacauan
dalam kehidupan. Manusia pun mempunyai kedudukan yang sama sebagai
hamba, yang membedakan adalah perbuatan dan tingkah lakunya, apakah

sesuai dengan aturan atau justru melanggar aturan-aturan tersebut. Di dalam
Islam, kehidupan tidak dapat dipisahkan dengan agama, justru agama harus
diimplementasikan pada seluruh aspek kehidupan, mulai dari hubungan
dengan Penciptanya (ibadah), dengan dirinya sendiri (akhlak), sampai
hubungannya dengan sesama (pendidikan, ekonomi, sosial) pun diatur.
2. 2 Hakikat Teori atau Isi Pandangan
A. Humanisme

5

Humanisme berkaitan dengan kapasitas manusia yang sadar untuk
memberikan alasan, membuat pilihan-pilihan, dan bertindak secara
bebas yang tidak dipengaruhi oleh dewa-dewa dan agama. Artinya,
manusialah yang bertanggung jawab penuh atas semua yang
dilakukannya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Karena
pekerjaan sosial merupakan bagian dari sekularisasi kesejahteraan,
artinya dalam praktiknya, pekerjaan sosial selalu dipisahkan dari gerejagereja pada tahun 1800-an. Humanisme berbeda dari being humane,
yaitu praktik memperlakukan orang-orang dengan kebaikan karena kita
menilai mereka sebagai manusia. Humanisme juga berkaitan dengan
demokrasi, dikarenakan isi keyakinannya secara implisit membebaskan

manusia untuk menilai dan berpartisipasi satu sama lainnya dalam
mengendalikan

nasib/takdir

mereka.

Humanisme

memandang

kelompok-kelompok sebagai bagian yang mendukung prinsip-prinsip
demokratis dan humanis karena mereka memungkinkan partisipasi
orang banyak dalam bekerja bersama-sama atas dasar yang sama.
Berdasarkan pandangan yang lain, humanisme tidaklah demikian,
manusia tidaklah hidup sacara bebas, ada aturan-aturan tertentu yang
harus ditaati. Tidak semua hal bisa dikendalikan oleh manusia, ada halhal tertentu dimana tidak ada campur tangan manusia di dalamnya,
artinya manusia dipaksa menerima hal tersebut, contohnya bencana,
kecelakaan, dsb. Di dalam diri manusia terdapat beberapa hal yang pasti
ada dalam dirinya, diantaranya:

a) hajatul ‘udhwiyyah (kebutuhan jasmani), dimana setiap
manusia pasti memilikinya, seperti kebutuhan akan makan,
minum, tidur, buang hajat, dan sebagainya;
b) ghara’iz (naluri), naluri ini terbagi menjadi tiga, yaitu
gharizatun naw’ (naluri untuk melanjutkan keturunan),
gharizatul baqa’ (naluri untuk mampertahankan diri), dan
gharizatut tadayyun (naluri untuk mengagungkan atau
mengidolakan sesuatu); dan

6

c) akal, yang digunakan sebagai pertimbangan dalam melakukan
berbagai hal / perbuatan.
Perwujudan ketiga hal di atas atau pemenuhan ketiganya sangat
ditentukan oleh nizham (peraturan) yang diambil oleh manusia itu
sendiri. Ada manusia yang mengambil aturannya dari aspek-aspek
spiritual, tetapi ada pula manusia yang membuat sendiri aturan-aturan
tersebut, sehingga dalam perkembangannya akan muncul yang namanya
agama, kemudian muncul paham liberalisme dan sekulerisme.
B. Eksistensialisme

Eksistensialisme berkenaan dengan pemaknaan manusia tentang
fakta eksistensi mereka di dalam kehidupan. Hal ini terfokus pada
kapasitas setiap orang untuk memperoleh kekuatan pribadi dalam
mengontrol kehidupan mereka dan merubah ide-ide yang menentukan
bagaimana cara mereka hidup. Pandangan ini juga akan mempengaruhi
bagaimana seseorang menghargai dirinya (self-esteem) dan bangkit dari
keterpurukan yang menghilangkan kepercayaan orang lain terhadap
dirinya, misal seseorang yang masuk lembaga pemasyarakatan karena
kasus tertentu.
C. Spiritualitas
Spiritualitas

merupakan

suatu

pencarian

manusia


untuk

mendapatkan arti dan tujuan dalam kehidupan dan memandang manusia
sebagai pribadi yang utuh dengan berbagai kelebihan dan kekurangan
yang dimilikinya. Walaupun pekerjaan sosial berkaitan dengan
sekularisasi Barat, di banyak negara kesejahteraan masih tetap
bersambungan dengan keyakinan agama, karena banyak individu
menjalankan pekerjaan sosial sebagai suatu cara mempraktikkan
keyakinan mereka, dan banyak agensi/lembaga pekerjaan sosial justru
dikembangkan oleh gereja-gereja dan kelompok-kelompok keyakinan.
Pekerjaan sosial dengan individu-individu juga seringkali mengangkat

7

atau menghadapi isu-isu spiritual dalam kehidupan rakyat, misalnya
berkaitan dengan perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
mitos, dan sebagainya.
Banyak filsafat Timur memiliki hubungan-hubungan dengan
spiritualitas

dan

beberapa

dari

unsur-unsur

humanisme

dan

eksistensialisme, khususnya Zen Buddhism, Hinduism dan aspek-aspek
Islam. Hal ini karena mereka menekankan pada proses dimana manusia
mewujudkan kapasitas mereka untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka sendiri melalui perkembangan diri spiritual yang diwujudkan
melalui terapi-terapi spiritual untuk menyadarkan diri akan pentingnya
kehidupan ini.
Di dalam Islam khususnya, para pemeluknya dituntut untuk tidak
meninggalkan atau memisahkan antara agama dan kehidupan
kesehariannya, walaupun dalam penerapannya tentu ada batasanbatasan toleransi antar sesama. Hal ini tidak lain adalah karena Islam
mengatur semua aspek kehidupan manusia, diantaranya:
a. hubungan manusia dengan Penciptanya, berupa aturan-aturan dalam
ibadah;
b. hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti aturan-aturan
mengenai thoharoh (bersuci), tidur, makan, minum, dsb;
c. hubungan manusia dengan manusia lainnya, berkaitan dengan
aturan-aturan dalam masalah ekonomi, sosial, pemerintahan, dan
sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai ketiga ide/pandangan
tersebut,

ketiganya

menekankan

pada

pentingnya

manusia

mengendalikan kapasitas-kapasitas diri, menggali potensi diri yang
dimiliki, dan hidup selaras dengan lingkungan-lingkungan mereka serta
aturan-aturan agama dan kepercayaan mereka. Ide-ide/pandanganpandangan tersebut juga berdampak pada munculnya rasa kepedulian
manusia terhadap sesamanya.

8

D. Hubungan Ketiganya
Ide-ide/pandangan-pandangan di atas secara tidak langsung
mengisyaratkan bahwa manusia sedang berusaha mencoba untuk
memahami dunia yang mereka alami. Berdasarkan pandanganpandangan tersebut, pekerja sosial sedang berusaha menolong orang
khususnya individu untuk memperoleh keterampilan-keterampilan
dalam menyelidiki/ menelusuri diri mereka sendiri dan arti-arti pribadi
yang mereka lekatkan pada dunia yang mereka rasakan dan yang
mempengaruhi diri mereka. Model-model humanis mengemukakan
bahwa interpretasi-interpretasi orang tentang diri mereka sendiri
sebagai hal yang sah dan berfaedah.
Spiritualitas juga penting untuk dipahami oleh pekerja sosial
khususnya mereka yang melakukan praktik di negara-negara non-Barat
seperti di Afrika dan negara-negara timur lainnya. Banyak ide dari
perspektif-perspektif spiritual pada kebudayaan-kebudayaan negara
non-Barat tersebut mulai mempengaruhi pekerjaan sosial Barat. Mereka
mulai membangkitkan ide-ide tentang kerjasama dengan orang-orang
dalam hal membangun berbagai macam arti-arti terhadap pengalamanpengalaman mereka dan menciptakan suatu ide baru tentang ‘diri’
mereka. Seperti halnya mereka berusaha untuk menggabungkan realitas
diversitas (keanekaragaman) dan ambiguitas (pengartian ganda)
tentang cara kita menggambarkan orang-orang, dunia sosial mereka dan
peranan dari para pekerja sosial melalui bahasa yang berbeda.
E. Politika humanisme, eksistensialisme dan spiritualitas
Ketiga pandangan di atas adalah dasar dalam teori pekerjaan
sosial karena banyak sikap fundamental dari para pekerja sosial yang
dijelaskan dalam pandangan ini khususnya mengenai klien sebagai
manusia secara utuh. Pandangan ini tidak diperlakukan sebagai suatu
perspektif, karena terlihat lebih sebagai suatu filosofis umum yang
menginformasikan

praktik

daripada

pendekatan spesifik untuk dipraktikkan.

suatu

cara

mendefinisikan

9

Dalam praktiknya, mereka (manusia) sedang menegaskan
kembali pentingnya suatu keyakinan dalam kapasitas humanitas untuk
memperbaiki dirinya sendiri, yang seringkali kita lihat sebagai sentral
dari pekerjaan sosial. Mereka juga seringkali tidak mau ditangani oleh
pekerja sosial, khususnya pekerja sosial dari agensi-agensi negara yang
besar karena terlalu teknis, ribet, dan birokratis. Oleh karena itu, perlu
suatu hubungan timbal balik dan saling pengertian antara klien dan
pekerja sosial dalam proses pertolongannya serta lebih menekankan
pada aspek-aspek humanis. Pekerja sosial juga berusaha untuk
menetapkan kembali salah satu fokus pekerjaan sosial sebagai suatu
refleksi-terapis dalam kerangka khusus profesi pekerjaan sosial. Oleh
sebab itu, pandangan humanisme dan eksistensialisme, dalam beberapa
hal ada yang berbeda dengan pendekatan

socialist-collectivist dan

individualist-reformist,

lebih

karena

memang

mengarah

pada

pendekatan reflexive-therapeutic.
Pandangan humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas dalam
pekerjaan sosial ini juga berpengaruh pada harga diri dan pemahaman
diri ke arah pemberdayaan. Hal ini sangat penting ketika menangani
klien-klien yang mengalami penindasan akibat perbedaan etnis.
Humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas terkadang
mendapatkan kritikan publik karena pekerjaan sosial terkesan tidak
jelas dalam menangani klien dan idealistik.

F.

Diskusi dan Analisis (Penggunaan di Dalam Praktik Pekerjaan
Sosial)
Beberapa

pengaruh

dari

ide/pandangan

humanisme

dan

eksistensialisme adalah pandangan-pandangan dari Laing, Bradford,
Krill, dan Thompson tentang kesehatan jiwa, dimana terapi terpusat
pada

klien

kecenderungan

(lebih

terpusat

tertentu

dan

pada

orang),

terapi-terapi

sistem
kejiwaan.

pemikiran,
Analisis

transaksional dari Berne, walaupun asal-muasalnya adalah dari teori

10

psikodinamika, namun juga seringkali dianggap sebagai humanis dalam
hal pendekatannya, dikarenakan oleh fokusnya pada pemahaman sendiri
melalui analisis tentang pola-pola komunikasi dan perilaku seseorang.
Berikut adalah beberapa teknik, prinsip, dan nilai profesi dalam
praktik pertolongan pekerjaan sosial yang ada kaitannya dengan ketiga
pandangan di atas (humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas),
diantaranya:
a) Konseling dan Terapi
Carl Rogers menyatakan bahwa humanisme, eksistensialisme,
dan spirituaitas ini berkaitan dengan keterlibatan para pekerja sosial
dalam proses konseling dan terapi. Dengan demikian, diharapkan
klien-klien akan merasa bahwa para pekerja sosial telah berlaku/
bertindak sebagai berikut:
 Mereka (pekerja sosial) sejati dan kongruen dalam hubungan
terapis mereka (yakni apa yang mereka katakan dan perbuat
mencerminkan kepribadian dan sikap-sikap nyata mereka dan
tidak dibuat-buat untuk mempengaruhi klien-klien).
 Mereka memiliki rasa hormat positif tak bersyarat terhadap
klien-klien.
 Mereka berempati dengan pandangan-pandangan klien tentang
dunia ini.
Harapan-harapan

di

atas

akan

terwujud

ketika

kita

mengedepankan kejujuran dan kesejatian, non-posesif, kehangatan,
rasa hormat dan penerimaan serta pengertian dan empati.
Berdasarkan fakta empiris memang benar bahwa pandangan
humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas merupakan unsurunsur yang efektif dalam hubungan-hubungan konseling dan terapis.
b) Prinsip Individualisasi dan Penanganan Kasus per Kasus
Humanisme khususnya, lebih menekankan pada kondisi ‘disini
dan sekarang’ ketimbang pada catatan-catatan riwayat tentang
masalah-masalah klien yang pernah ditangani sebelumnya. Hal ini
berkaitan dengan keyakinan bahwa klien memiliki keunikan masingmasing, memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lain, juga

11

memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berbeda ketika akan
mengatasi suatu masalah yang menimpanya. Setiap orang haruslah
diperlakukan sebagai individu. Rogers mengemukakan bahwa kita
(manusia) akan menjalankan ‘kekuasaan pribadi’ yang kita miliki
untuk mencapai tujuan dan ini bisa digunakan oleh pekerja sosial
sebagai salah satu sumber, yaitu sumber internal untuk membantu
klien mengatasi masalahnya. Oleh karena itu, dalam menangani
permasalahan klien, pekerja sosial haruslah menyesuaikan dengan
diri klien dan permasalahan yang dihadapinya.
Ide humanisme ini juga memberi pengaruh pada dunia psikologi
dan terapi humanis pada tahun 1960-an dan 1970-an. Carkhuff dan
Berenson (1977) mengemukakan bahwa setidaknya ada lima
keadaan yang mencirikan ide humanisme, diantaranya:
a. Kita dapat memahami diri kita sendiri ketika berhubungan dengan
orang lain.
b. Kecemasan utama kita dalam hidup ini adalah kehilangan orang
lain dan menjadi sendirian.
c. Kita merasa bersalah karena kita tidak dapat mencapai suatu
kehidupan yang kreatif.
d. Kita sendiri yang tanggung jawab untuk bertindak atas keputusankeputusan kita.
e. Terapi bertujuan untuk membantu kita untuk bertindak dan
menerima kebebasan dan tanggung jawab dalam berbuat apapun.

c) Meditasi atau Perenungan Diri
Beberapa ahli memasukkan meditasi/ perenungan diri guna
menyelidiki potensial diri dan kekurangan diri klien ataupun pekerja
sosial itu sendiri serta berupaya meningkatkan kapabilitas para
pekerja sosial, khususnya dalam hal berempati dan memahami apa
saja yang menjadi kebutuhan-kebutuhan klien.
d) Praktik Pertolongan Melalui Seni

12

England

berpendapat

bahwa

dengan

adanya

pandangan

humanisme dan eksistensialisme ini, kita akan melihat pekerjaan
sosial sebagai suatu seni/artistik ketimbang sebagai suatu aplikasi
ilmu pengetahuan sosial. Banyak ahli menggunakan seni dan
literatur artistik untuk memahami pengertian tentang dunia ini dan
membantu dalam proses pertolongan. Contohnya, dalam penanganan
klien tunanetra, pekerja sosial bisa menggunakan musik, buku-buku
braille, dan sebagainya, yang itu semua adalah hasil seni manusia.
e) Clients Centre (Pertolongan Berpusat pada Klien)
Di dalam konteks yang lain, ketiga pandangan ini bisa dikatakan
sebagai suatu cara menghumanisir dan menginterpretasikan klienklien sebagai para kontributor-kontributor di seluruh dunia terhadap
masyarakat.
Laing menyatakan bahwa dengan menggunakan pandangan
eksistensialisme kita dapat memahami beberapa penyakit jiwa
seperti schizophrenia, dan dia memperlihatkan bahwa kita dapat
memahami sakit jiwa psikotis sebagai suatu reaksi seseorang
terhadap suatu lingkungan sosial yang mungkin mengalami
kerusakan. Dia memberikan nilai penting yang besar terhadap “diri”
yang meliputi sistem diri yang salah dan kesadaran diri. Kemudian,
dia mengangkat ide-ide tentang teori-teori komunikasi dalam
keluarga. Dia mengemukakan bahwa gangguan-gangguan dalam
komunikasi-komunikasi keluarga membuat anggota keluarga tertentu
terpaksa malaksanakan tuntutan-tuntutan yang bertentangan dengan
orang lain dan kehendak dirinya, yang menyebabkan timbulnya
reaksi-reaksi tertentu berupa gangguan-gangguan yang didiagnosis
sebagai schizophrenia.
f) Spiritualitas
Praktik pekerjaan sosial juga harus memperhatikan aspek-aspek
spiritualitas dengan adanya faktor-faktor di bawah ini:

13

 Pekerjaan sosial dipraktikkan dalam masyarakat-masyarakat
dimana agama dan spiritualitas merupakan bagian-bagian integral
di dalam kehidupan mereka.
 Kebutuhan untuk menanggapi kaum-kaum minoritas etnis dan
budaya dalam masyarakat-masyarakat Barat.
 Kepentingan politik di dalam komunitas-komunitas keyakinan
dan gereja-gereja yang membuat suatu kontribusi yang lebih kuat
pada layanan-layanan komunitas, dengan demikian mereka
memberikan sumbangsih kepada stabilitas sosial, dan pada
beberapa hal, spiritualitas dan agama mencegah beberapa
kesulitan sosial agar tidak muncul.
 Kritik tentang kecenderungan-kecenderungan materialisme dan
konsumerisme di dalam masyarakat akhir-akhir ini, yakni ingin
mendapatkan segala sesuatu bagaimanapun caranya walaupun
salah. Oleh karena itu, perlu diseimbangkan dengan nilai-nilai
spiritual dan agama.
 Di dalam kehidupan ini, terdapat hal-hal yang tidak dapat
terjangkau oleh manusia, artinya manusia tidak dapat mengontrol
hal-hal tersebut, hal-hal tersebut sering kita sebut takdir. Oleh
karena itu, perlu adanya penjelasan berkaitan dengan takdir
tersebut, sehingga manusia bisa menerimanya dan juga bisa
membedakan mana yang termasuk takdir mana yang tidak, karena
bagi sebagian orang ada yang beranggapan semua yang
menimpanya adalah takdir, anggapan ini membuat mereka
menerima begitu saja tanpa ada usaha untuk merubahnya jika
memang

hal

itu

adalah

buruk,

misalnya

kemiskinan,

pengangguran, dsb.
Consedine berpendapat bahwa spiritualitas memerlukan empat
prinsip untuk dapat diimplementasikan ke dalam praktik-praktik
pertolongan, yaitu:

14

a. Ide tentang suatu common good, yang bertujuan untuk
desentralisasi, solidaritas dan ketersambungan, yang melindungi
hak-hak asasi manusia dan melindungi serta mencari pilihanpilihan bagi orang-orang miskin, tertindas dan kekurangan.
b. Sustainability (kesinambungan), bahwa kita akan bekerja untuk
sistem-sistem ekonomi dan sosial yang tidak mengenakan/
membebankan tuntutan-tuntutan atas negara-negara yang miskin
sumber atau generasi-generasi yang akan datang.
c. Wisdom
(kebijaksanaan),
penggabungan

pertimbangan-

pertimbangan nilai yang telah dipikirkan secara cermat dalam
malakukan suatu praktik pertolongan.
d. Spiritualitas

holistik,

suatu

keprihatinan

untuk

mencari,

mengembangkan, memahami dan mengapresiasikan keutuhan dan
integritas dalam hidup dan tindakan-tindakan kita.
g) Praktik Pekerjaan Sosial di Afrika
Graham memberikan sebuah contoh tentang ide-ide spiritual nonBarat dalam laporannya tentang pandangan-pandangan dunia
terpusat-Afrika, yang didasarkan atas tradisi-tradisi intelektual
Afrika klasik dan sejarah masyarakat Afrika yang kental dengan
perbudakan dan penjajahan. Pendekatan yang digunakan sehubungan
dengan orang-orang Afrika berlaku juga terhadap kelompokkelompok etnis minoritas lainnya.
Berikut adalah implementasi ketiga pandangan di atas khususnya
di negara-negara Afrika:
 memperbaiki penindasan politik, sosial dan budaya dibawah
kolonialisme, imperialisme dan rasisme.
 menganalisis pembatas-pembatas pada masyarakat-masyarakat
Afrika melalui filsafat dan cita-cita Afrika tradisional.
 analisis kritis tentang konsep-konsep Barat tentang ilmu
pengetahuan dan filsafat dalam penghinaannya terhadap orangorang Afrika.

15

Penekanannya

terletak

pada

upaya

mengidentifikasikan,

menganalisis dan menyelenggarakan praktik pekerjaan sosial melalui
simbol-simbol budaya, ritual-ritual, seni, musik dan literatur,
mengenai upaya untuk memperbaiki penghinaan lumrah tentang
Afrika dan masyarakatnya. Ini mengidentifikasikan bahwa praktik
pekerjaan sosial di Afrika berbeda dengan teori-teori dan praktikpraktik sosial yang lebih luas.
Berikut adalah prinsip-prinsip dari suatu pandangan dunia
khususnya di Afrika adalah:
 Semua hal saling terhubung, sebagai contohnya, hubungan antara
orang-orang, hewan-hewan dan obyek-obyek inanimate (yang
tidak bernyawa).
 Manusia adalah spiritual, yakni tersambung dengan orang-orang
lain dan Pencipta mereka.
 Individu-individu tidak dapat dipahami secara terpisah dari
identitas kolektifnya, khususnya tentang pohon keluarga (yakni
memperhitungkan baik asal-usul ayah maupun ibu). Kehidupan
dan pengalaman-pengalaman orang adalah integral dengan
sejarah-sejarah

dan

sambungan-sambungan

keluarga

dan

komunitas mereka, dan komunalitas-komunalitas lebih penting
ketimbang individualitas.
 Pikiran, tubuh dan spirit adalah satu, saling-terkait, masingmasing hendaknya sama-sama dikembangkan ke arah maat, suatu
pengertian yang seimbang tentang kebenaran, hak, harmoni dan
tata tertib.
Maat diekspresikan dalam empat bidang kehidupan:
 mencari keselarasan dan tempat dalam kehidupan kita,
 keadilan sebagai pusat praktik,
 tugas sebagai bagian dari komunitas kita, dan

16

 person-hood (kelompok manusia) yang mengkonkritkan tata
tertib universal dalam diri kita sendiri.
h) Pekerjaan sosial Gandhi
Gandhi adalah seorang pemimpin India yang merumuskan suatu
filsafat perkembangan sosial yang telah mempengaruhi pekerjaan
sosial di India, khususnya terhadap kesejahteraan uncountables
(orang-orang dari kasta sosial yang terendah), kaum wanita dan
daerah-daerah perdesaan. Kumar meringkaskan pokok-pokok utama
dari filsafat Gandhi sebagai berikut:
 bersandar pada pandangan-pandangan humanisme;
 orang-orang saling bergantung maupun mengandalkan diri
sendiri;
 spiritual itu penting dalam semua urusan di dunia ini;
 keyakinan dan kemurnian cara-cara dalam mencapai tujuantujuan akhir adalah penting;
 totalitas atau ide-ide holistik itu penting, khususnya berkaitan
dengan kemerdekaan politik; perkembangan sosial; relevansi-diri
dan pendidikan hendaknya berjalan bersama dengan kemerdekaan
politik – ide-ide tersebut penting dalam perkembangan sosial; dan
 wewenang hukum formal ditentang, saling-ketergantungan dan
reliansi-diri, sebagaimana ditunjukkan oleh point sebelumnya,
lebih penting.
Masyarakat idealnya hendaknya mengandung:
 Ram rajya: suatu sistem sosial yang berdasarkan moral; baik
keadilan maupun keadilan sosial terjalin dalam suatu keadaan
demokratis.

Kesederhanaan

dan

perkembangan

yang

berkesinambungan hendaknya merupakan sasaran dalam suatu
keadaan minimal yang bakal berkaitan dengan suatu masyarakat
dimana orang-orang terfokus pada tugas-tugas mereka ketimbang
pada hak-hak mereka.
 Sawraj: kemerdekaan, terutama kemerdekaan dari keadaankeadaan yang mengganggu juga dari individu-individu yang

17

memunculkan keadaan tersebut. Gandhi melihat keadaan tersebut
sebagai

suatu

bentuk

kekejaman

yang

terorganisir

dan

tersentralisir. Dia mencari suatu keadaan minimal yang dicirikan
oleh tanggung jawab pribadi.
 Swadeshi: relevansi-diri dalam hubungan-hubungan ekonomi,
politik dan sosial. Produksi keperluan-keperluan hidup hendaknya
berkaitan erat dengan konsumsi.
 Village republics: desentralisasi dan penyerahan kekuasaan
terhadap tingkat yang mungkin terendah.
 Trusteeship: dalam suatu upaya untuk mengawinkan sosialisme
dan kapitalisme, Gandhi mengusulkan suatu sistem regulasi
hukum dari sistem ekonomi.
Ide-ide

ini

penting

memperlihatkan bahwa

bagi

perkembangan

sosial.

Kumar

filsafat-filsafat romantis ini berkaitan

dengan nilai-nilai pekerjaan sosial dalam hal memajukan relevansidiri, saling tolong-menolong dan perkembangan pribadi dan sosial
yang mengandalkan kelompok-kelompok lokal/ kecil ketimbang ke
arah top-down. Proses dan cara melalui mana aktivitas-aktivitas
dilaksanakan dan nilai tinggi yang dilekatkan pada kolaborasi dan
penghindaran pemaksaan juga merupakan filsafat-filsafat bersama.
i) Pekerjaan Sosial Kelompok Humanistik - Glassman dan Kates
Kelompok-kelompok mempunyai proses, yang mana disini adalah
‘bantuan

yang

saling

demokratis’ diantara

anggota-anggota

kelompok, yaitu perubahan-perubahan yang kita inginkan terhadap
proses yang akan ditimbulkannya. Laporan tentang pekerjaan
kelompok ini berasal dari nilai-nilai demokratis dan humanistik,
yang menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan diantara anggotaanggota kelompok memperkaya semua dan melukiskan:
 harga dan kapasitas hubungan banyak orang,
 tanggung jawab terhadap satu sama lainnya dalam kehidupan
sosial,
 hak memiliki termasuk bagian didalamnya,
 hak berpartisipasi dan didengarkan,

18

 hak kebebasan bicara dan mengekspresikan diri,
 hak kebebasan memilih, dan
 hak mempertanyakan dan menantang para professional.
Teori

humanistik

memungkinkan

para

anggotanya

untuk

menggunakan perkembangan kelompok-kelompok secara aktif
dalam upaya mengejar perkembangan pribadi mereka.
Tujuan kelompok di sini adalah untuk mengembangkan sistem
saling-bantu yang demokratis dan secara serentak membantu
anggota-anggota

kelompok

untuk

mengekspresikan

dan

melaksanakan/ mengaktualisir maksud mereka. Dua fungsi utama ini
menggunakan

berbagai

macam

interaksi-interaksi

untuk

mengembangkan rasa saling bantu yang demokratis dan dalam
mengaktualisir maksudnya tidaklah perlu disejajarkan.
j) Thompson: eksistensialisme dan pekerjaan sosial
Thompson memberikan penilaian luas tentang nilai eksistensialis
yang dipikirkan terhadap praktik pekerjaan sosial. Karena hal itu
terletak di pusat eksistensialisme, maka dia terfokus pada ontology,
yaitu kajian keadaan adanya. Ini berarti cara dimana kita memikirkan
tentang seperti apa itu manusia. Akan tetapi, dia juga menyelidiki
implikasi-implikasi untuk mempraktikkan epitemologi pekerjaan
sosial, yakni pandangannya tentang pengetahuan. Pandangannya
tentang sifat dasar masyarakat itu adalah sama pentingnya.
Suatu pengertian utamanya adalah ‘being’ (adanya). Adanya
dalam diri itu sendiri (being in itself) semata-mata adalah eksistensi.
“Being for itself” adalah eksistensi dimana kita sadar dan oleh sebab
itu, dapat berpotensi, sebagai contohnya, dengan cara membuat
rencana-rencana dan mengambil keputusan-keputusan tentang
bagaimana caranya kita ingin berada.
Eksistensialisme menolak segala

pengharapan-pengharapan

sebelumnya tentang bagaimana manusia atau masyarakat seharusnya
hidup. Banyak orang mempunyai intensionalitas, yakni mereka
memiliki kemampuan untuk mengandalkan sasaran-sasaran pikiran

19

tentang bagaimana mereka menginginkan gambaran itu adanya. Ini
berbeda dari pandangan dari teori behaviourism atau psikodinamis,
yang mengkalim bahwa masa lampau berpengaruh penting terhadap
masa kini. Blom membahas kesulitan-kesulitan memahami apa
hubungan terapis yang ada dalam perspektif ini.
Eksistensialisme menekankan bahwa adalah interpretasi kita
tentang masa lampau yang penting. Oleh sebab itu, cara kita
menginterpretasikannya dan bertindak ke arah masa depan
memberikan arti bagi kehidupan kita. Sebagai akibatnya, melalui
kebebasan pribadi mereka manusia sanggup menciptakan atau
mendefinisikan diri mereka sendiri. Kepribadian dan strukturstruktur sosial merupakan produk-produk dari pilihan-pilihan yang
dibuat oleh manusia bebas. Akan tetapi, orang lain menerapkan
label-label terhadap perilaku kita, dan ini memberi kita sesuatu yang
menggantung padanya. Demikianlah, kita mulai menerima batasanbatasan dari pengharapan-pengharapan sosial yang diterapkan pada
apa yang kita perbuat dan apa yang ada pada diri kita. Ini adalah
salah satu cara dimana kita menanggulangi perasaan bahwa hidup itu
‘absurd’ (tidak masuk akal). Perasaan ini timbul karena para
existentialist memandang bahwa hidup ini kita yang menentukan.
Oleh sebab itu, banyak orang sepenuhnya bertanggung jawab
terhadap tindakan-tindakan mereka sendiri. Ini merupakan suatu
aspek penting dari etika eksistensial. Kita bebas untuk bertindak,
tetapi tidak bebas dari tanggung jawab untuk menanggapi
lingkungan kita dan tekanan-tekanan terhadap kita. Terkadang,
realitas dari hal-hal eksternal berbeda dari rencana awal merubah
kondisi-kondisi

tersebut.

Merealisasikan

hal

ini

dapat

memberdayakan tetapi juga mengganggu dan menakutkan.
Pendekatan ini mempunyai banyak hubungan dengan ide-ide
kognitif

dimana

pemikiran-pemikiran

‘irasional’

dianggap

menyesatkan kita dalam pertimbangan kita tentang situasi-situasi.
Oleh sebab itu, kita dituntut memiliki kemampuan untuk

20

menanggapi secara tepat kondisi-kondisi yang ada. Jika kita dapat
menerima dan menggunakan kebebasan kita, maka kita dapat
melihat ke depan secara optimis terhadap ‘definisi-diri’ atau ‘kreasidiri’,

sebagaimana

kita

membangkitkan

atau

menyokong

kepribadian kita dan situasi sosial kita yang senantiasa berubah.
Dalam kebebasan tersebut ada tanggung jawab untuk menciptakan
diri kita sendiri, dan menyadari bahwa kita telah menciptakan halhal yang negatif serta hal-hal yang positif dalam kebebasan yang kita
miliki.
Akan tetapi, sementara ini mungkin masih berada di tingkat
pribadi, kita harus melihat ide-ide yang membatasi kebebasan
individual

seperti

ideologi-ideologi,

yakni

konsepsi-konsepsi

bersama tentang dunia yang mempunyai daya sosial atas nama
kepentingan-kepentingan sosial tertentu. Ini memerlukan tindakan di
tingkat politik untuk diliberalisasi. Sebaliknya, pembatas-pembatas
politik dan sosial mencegah orang agar tidak menggunakan
kebebasan pribadi mereka. Ide-ide ini mempunyai hubunganhubungan dengan materialisme dialektik Marxist. Akan tetapi,
terdapat kekuatan-kekuatan tertentu yang seringkali terlihat sebagai
pengendali sejarah, yang membatasi kapasitas manusia untuk
membuat sejarah secara bebas.

BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan

21

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketiga pandangan tersebut memberikan
pengaruh yang besar terhadap profesi pekerjaan sosial, dimana pekerja
sosial dituntut untuk memahami klien sebagai seorang manusia secara utuh
yang keberadaannya perlu dihargai, dihormati, dan dilindungi, serta
memiliki nilai-nilai spiritual sebagai pedoman hidupnya. Oleh karena itu,
dalam menangani klien sebaiknya secara individual dan manusiawi, artinya
orang per orang dan kasus per kasus serta mempertimbangkan aspek-aspek
klien sebagai seorang manusia, tidak disamaratakan semuanya.
3. 2 Saran
Ketiga pandangan tersebut tentu memiliki kekurangan, yaitu
kurangnya kejelasan dan kesulitan membentuk target-target yang jelas dan
menyepakati keterangan-keterangan tentang perilaku tersebut. Ini berarti
bahwa, walaupun ketiga pandangan ini memiliki daya penjelas yang
potensial dalam proses pertolongan bagi klien-klien, tetapi mungkin saja
tidak diterima secara luas diantara kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat dimana nilai-nilai pribadi dan kolektifnya berbeda satu sama
lain. Oleh karena itu, perlu adanya hubungan timbal-balik antara klien dan
pekerja sosial yang menanganinya, sehingga terbentuk keselarasan dalam
penanganan masalah klien tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Allan, Graham. 1983. Informal Networks of Care : Issues Raised by Barclay.
London : British Journal of Social Work.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta : HTI
Press.

22

Brandon, David. 1976. Zen in the Art of Helping. London, Routledge and Kegan
Paul Press.

Carkhuff, Robert R and Bernard C. Berenson. 1977. Beyond Counseling and
Therapy. New York, Holt, Rinehart and Winston Press.
Iskandar. Arief B. 2012. Materi Dasar Islam, Islam Mulai Akar Hingga Daunnya.
Bogor : Al-Azhar Press.
Kode Etik Ikatan Pekerjaan Sosial Profesional Indonesia (IPSPI).
Payne, Malcolm. 1991. Modern Social Work Theory, the 3rd edition. Great Britain
: Palgrave Macmillan.

Pincus, Allen & Minahan, Anne. 1970. Social Work Practice – Model and
Method. University of Wisconsin, Madison. F. E. Peacock Publishers, Inc.
Siporin, Max. 1970. Introduction to Social Work Practice. New York : Macmillah
Publishing Co. Inc. London : Collier Macmillah Publisher.
Sukoco, Dwi Heru. 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses
Pertolongannya. Bandung : Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial.