The Effect of Differences in Feed Sources of Energy (Corn and Pollard) on Physiological Response of New Zealand White Female's Rabbit

Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2018
ISSN 1907-1760 E-ISSN 2460-3716

Vol. 20 (1): 1-7

Pengaruh Perbedaan Sumber Energi Pakan (Jagung dan Pollard) terhadap Respon
Fisiologis Kelinci New Zealand White Betina
The Effect of Differences in Feed Sources of Energy (Corn and Pollard) on Physiological
Response of New Zealand White Female's Rabbit
R. Kurniawati*, C. M. S. Lestari, dan E. Purbowati
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang, 50275
E-mail: riskakurniawati416@gmail.com
(Diterima: 4 September 2017; Disetujui: 21 November 2017)

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengkaji respon fisiologis kelinci New Zealand White betina yang
memperoleh pakan pelet dengan sumber energi yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Mei - Juli 2016 bertempat di Meteseh, Tembalang, Semarang. Materi yang digunakan adalah 18 ekor
kelinci New Zealand White betina umur 4–5 bulan dengan rata-rata bobot badan 1,97 ± 0,32 kg
(CV=16,65%). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3
perlakuan dan 6 ulangan. Parameter yang diamati adalah respon fisiologis meliputi denyut nadi,

frekuensi napas dan suhu rektal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan pelet dengan
sumber energi pakan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap respon fisiologis ternak. Respon
fisiologis kelinci New Zealand White hasil penelitian dalam kondisi normal. Rata-rata denyut nadi,
frekuensi napas dan suhu rektal kelinci New Zealand White berturut-turut 140 kali/menit, 80 kali/menit
dan 38,17ᴼC. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian sumber energi
pakan pada kelinci New Zealand White betina menghasilkan respon fisiologis yang sama dan dalam
kisaran normal.
Kata kunci: kelinci New Zealand White, pakan sumber energi, respon fisiologis

ABSTRACT
The aim of this research was to examine the physiological response of New Zealand White female
rabbits which obtain pellet feed with different energy sources (corn and pollard). This research was
conducted from May until July 2016 at Meteseh, Tembalang, Semarang. The material used was 18 New
Zealand White females rabbits aged 4-5 months with an average body weight of 1.97 ± 0.32 kg (CV =
16.65%). The experimental design used was a complete randomized design with 3 treatments and 6
replication. The parameters observed in this study were physiological response including pulse, breath
frequency, and rectal temperature. The results showed that the treatment of different sources of feed
energy did not affect the physiological response of livestock. The physiological response of New Zealand
White rabbits which were fed with different energy sources (corn and pollard) is still in normal
condition. The average pulse rate, respiratory rate and rectal temperature of New Zealand White rabbits

were 140 times/min, 80 times/min and 38.17 ° C, respectively. Based on the results of this study it can be
concluded that the treatment of feed energy source produces the same physiological responses of female
New Zealand White rabbit and within the normal range.
Keywords: different energy sources, physiological response, New Zealand White Rabbit

PENDAHULUAN
Kelinci New Zealand White (NZW)
merupakan
hewan
yang
memiliki
kemampuan tumbuh dan berkembang biak
yang cepat (Kaplan, 1979). Kelinci NZW
merupakan hasil persilangan dari beberapa

bangsa yaitu kelinci Flemish, American
White dan Angora (Arrington dan Kelley,
1976). Menurut Agus dan Masanto (2010),
karakteristik kelinci NZW adalah dada
penuh, badannya medium, kaki depan agak

pendek, kepala besar, bulu halus dan tebal,
telinga besar dan tebal, bobot hidup dapat

Pengaruh Perbedaan Sumber Energi … (Kurniawati et al.)

1

Vol. 20 (1): 1-7

mencapai 5,44 kg dan mampu menghasikan
anak sekelahiran 10–12 ekor. Produktivitas
ternak kelinci dipengaruhi oleh faktor
genetik lingkungan, pakan dan penyakit.
Permasalahan
yang
dihadapi
pada
pemeliharaan kelinci di daerah beriklim
panas adalah cekaman panas, kualitas pakan
rendah dan mudah terserang penyakit

(Nuriyasa et al., 2014).
Pakan mengandung zat nutrisi berupa
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan
dan produktivitas ternak. Pakan dengan
sumber energi yang berbeda dapat
mempengaruhi kondisi fisiologis kelinci
karena perbedaan proses fermentasi atau
metabolisme pakan dalam tubuh ternak.
Jagung dan pollard merupakan bahan pakan
yang tinggi akan kandungan energi.
Kandungan nutrisi jagung adalah 86% bahan
kering (BK), abu 3,3%, lemak 6,9%, serat
kasar (SK) 4,3%, bahan ekstrak tanpa
nitrogen (BETN) 61,8% dan protein kasar
(PK) 9,7%, sedangkan kandungan nutrisi
pollard adalah BK 86%, abu 5,2%, lemak
3,5%, SK 15,7%, BETN 51,9% dan PK
12,9% (Hartadi, 1997).
Respon fisiologis merupakan indikator

bagi ternak apakah ternak dalam kondisi
normal atau tidak yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya pakan dan
temperatur lingkungan. Respon fisiologis
menurut Naiddin et al. (2010) merupakan
aktivitas fisiologis dalam tubuh ternak
meliputi denyut nadi, frekuensi napas dan
suhu rektal yang dipengaruhi oleh konsumsi
pakan. Peningkatan produksi panas dalam
tubuh akibat dari proses metabolisme pakan
menyebabkan ternak akan mempertahankan
temperatur
tubuhnya
melalui
proses
termoregulasi (Frandson, 1992), sehingga
ternak tetap dalam kondisi normal.
Pelepasan panas tubuh ditandai dengan
meningkatnya denyut jantung dan frekuensi
napas.

Peningkatan
frekuensi
napas
bertujuan untuk membantu mengendalikan
suhu tubuh. Suhu rektal merupakan respon
terakhir dari gambaran kondisi fisiologis
seekor ternak.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji respon fisiologis kelinci New
2

Zealand White betina yang memperoleh
pakan pelet dengan sumber energi yang
berbeda. Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah memperoleh informasi
mengenai pengaruh pemberian pakan
sumber energi terhadap respon fisiologis
kelinci NZW, sehingga dapat memberikan
rekomendasi kepada peternak mengenai
pakan sumber energi yang baik untuk kelinci

secara fisiologis.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Mei-Juli 2016, di daerah Meteseh,
Tembalang, Semarang.
Materi penelitian
Materi yang digunakan dalam
penelitian adalah 18 ekor kelinci NZW
betina umur 4–5 bulan dengan rata-rata
bobot badan 1,97 ± 0,32 kg (CV=16,65%).
Pakan yang diberikan berupa pelet yang
disusun dengan kandungan PK 16% dan
digestible energy (DE) 2.500 kkal/kg (iso
protein dan iso energi). Bahan pakan
penyusun pelet berupa jagung dan/atau
pollard, bungkil kedelai, molasses, garam,
arang aktif, wheat bran, dedak kasar dan
dedak halus. Komposisi bahan pakan
penelitian terdapat dalam Tabel 1, sedangkan
kandungan nutrisi pakan pelet dapat dilihat

pada Tabel 2. Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah stetoscop untuk
mengukur denyut nadi ternak, stopwatch
untuk mengukur frekuensi napas ternak,
thermometer klinis untuk mengukur suhu
rektal ternak serta thermohigrometer untuk
mengukur suhu dan kelembapan dalam dan
luar kandang.
Metode penelitian
Penelitian menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan
6 ulangan. Perlakuan yang diterapkan yaitu
TI = (jagung), T2 = (pollard) dan T3 =
(jagung+pollard). Parameter yang diamati
adalah respon fisiologis meliputi denyut
nadi, frekuensi napas dan suhu rektal.
Parameter pendukung yaitu konsumsi bahan
kering (BK) pakan, konsumsi energi, suhu
dan kelembaban kandang. Penelitian
dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap


Pengaruh Perbedaan Sumber Energi … (Kurniawati et al.)

Vol. 20 (1): 1-7

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Pelet yang Digunakan dalam Penelitian.
Bahan Pakan (%)
T1
T2
Jagung
30,0
0,0
Pollard
0,0
30,0
Dedak halus
22,5
18,0
Bungkil kedelai
23,5

18,0
Wheat bran
6,5
19,0
Mollases
1,0
1,0
Dedak kasar
16,5
14,0
Jumlah
100
100

T3
15,0
15,0
25,0
20,5
11,5

1,0
12,0
100

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan Pelet.
Kandungan Nutrisi
GE (kkal/kg)
PK (%)
SK (%)
LK (%)
Abu (%)
T1
3.951
17
13,13
1,98
8,04
T2
4.016
15,07
13,71
1,72
10,98
T3
4.347
14,9
16,27
1,77
9,49
Sumber: Hasil Analisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas
Diponegoro Semarang, 2016.
Perlakuan

persiapan (4 minggu), adaptasi (1 minggu),
pendahuluan (1 minggu) dan perlakuan (9
minggu). Data yang diperoleh dianalisis
dengan analisis variansi (uji F) dengan
membandingkan F hitung dengan F tabel 5%
(Gomez dan Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan
Rata-rata konsumsi BK dan energi
pakan
kelinci
NZW
Betina
yang
memperoleh pakan sumber energi berbeda
seperti pada Tabel 3. Analisis statistik
menunjukkan bahwa perlakuan tidak
berpengaruh terhadap konsumsi BK total
maupun energi pakan. Pakan pelet yang
disusun dengan kandungan PK dan DE yang
sama dengan bahan pakan sumber energi
berbeda tidak mempengaruhi konsumsi BK
pakan.
Rata-rata
Konsumsi
BK
hasil
penelitian sebesar 78,54 g/hari. Konsumsi
BK kelinci NZW pada penelitian tergolong
rendah dengan rata-rata 78, 54 g/hari
dibandingkan dengan penelitian dari
Rizqiani (2011) yaitu sebesar 92,25-117,78
g/hari. Faktor pembatas konsumsi BK ternak
yaitu
kandungan
energi.
Menurut
Pamungkas et al. (2013) bahwa semakin

tinggi penggunaan jagung/pollard dalam
bahan pakan maka akan menurunkan
konsumsi total kelinci, hal ini karena
tingginya
kandungan
energi
pada
jagung/pollard. Konsumsi BK pakan sangat
penting bagi pertumbuhan ternak, karena
menurut Arrington dan Kelley (1976)
kekurangan nutrisi dapat menyebabkan
pertumbuhan lambat, reproduksi yang tidak
efisien dan cenderung sakit. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi konsumsi BK
antara lain palatabilitas, kemampuan ternak
dalam mencerna pakan, serta status
kesehatan ternak (Lubis, 1992). Menurut
Church dan Pond yang disitasi oleh Rizqiani
(2011) palatabilitas meliputi tekstur, bau,
rasa dan suhu dari pakan mempengaruhi
tingkat konsumsi kelinci. Kecernaan pakan
yang tinggi menghasilkan produksi ternak
yang tinggi. Menurut Susanti dan
Marhaeniyanto (2007) bahwa komposisi
ransum, bentuk fisik dari ransum, jumlah
ransum yang diberikan dan kandungan
nutrisi pakan mempengaruhi kecernaan
pakan. Kesehatan ternak mempengaruhi
performa dan produkstivitas ternak. Menurut
Arrington dan Kelly (1976) penyakit
menyebabkan penurunan konsumsi ternak
dan kerugian ekonomi akibat berkurangnya
kinerja ternak bahkan kematian.

Pengaruh Perbedaan Sumber Energi … (Kurniawati et al.)

3

Vol. 20 (1): 1-7

Tabel 3. Konsumsi BK dan konsumsi energi pakan pada kelinci New Zealand White betina.
Perlakuan
Parameter
T1
T2
T3
Konsumsi BK Pakan (g/hari)
77,88
78,68
78,97
Konsumsi Energi (kkal/g)
307,69
315,99
343,29
Konsumsi energi pada kelinci NZW
betina yang diberi pakan dengan sumber
energi jagung dan atau pollard tidak tidak
berbeda nyata (Tabel 3) dengan rata-rata
sebesar 322,34 kkal/g. Konsumsi energi
kelinci NZW pada penelitian tergolong
rendah dengan rata-rata 322,34 kkal/kg
dibandingkan dengan penelitian Rizqiani
(2011) sebesar 46,17-62,74 g/ekor/hari.
Konsumsi energi pakan dipengaruhi oleh
besar kecilnya konsumsi BK. Pakan sumber
energi merupakan komponen penting bagi
tubuh ternak yang digunakan untuk hidup
pokok dan pertumbuhan. Ternak kelinci
mampu memanfaatkan pakan sumber energi
yang berasal dari hijauan maupun konsentrat
karena sistem pencernaan yang sederhana
dengan cecum yang besar (Blakely dan
Bade, 1994). Menurut Tillman et al. (1998)
defisiensi energi dapat menyebabkan
turunnya bobot badan sehingga pertambahan
bobot badan ternak terhambat.
Respon Fisiologis Kelinci New Zealand
White
Respon fisiologis ternak hasil
penelitian meliputi denyut nadi, frekuensi
napas dan suhu rektal pada kelinci NZW
betina yang memperoleh pakan dengan
sumber energi berbeda ditampilkan pada
Tabel 2. Analisis statistik menunjukkan
bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap respon fisiologis ternak. Respon
fisiologis kelinci New Zealand White yang
mendapat pakan dengan sumber energi
berbeda dalam kondisi normal. Hal ini
karena konsumsi BK dan energi yang
berbeda tidak nyata. Pakan sumber energi
baik dari jagung dan atau pollard yang
masuk ke dalam tubuh ternak menghasilkan
panas hasil dari proses metabolisme. Namun
oleh ternak, panas tersebut digunakan untuk
mempertahankan kondisi homeostasis. Hal
ini sesuai dengan pendapat dari Suherman

4

dan Purwanto (2015) bahwa pakan yang
dikonsumsi ternak bisa berpengaruh
meningkatkan laju produksi panas dalam
tubuh atau disebut juga dengan efek
kalorigenik
pakan
dan
untuk
mempertahankan
kondisi
homeostasis,
ternak memerlukan energi yang cukup. Suhu
dan kelembaban rata-rata kandang penelitian
sebesar 27,69ᴼC dan 79%. Suhu dan
kelembaban tersebut masih dalam zona
nyaman bagi ternak kelinci sebesar 21,87–
31,13ºC dan 80-86% (Kamal et al., 2010),
sehingga menyebabkan respon fisiologis
ternak kelinci yang normal. Hal ini karena
suhu
dan
kelembaban
kandang
mempengaruhi respon fisiologis ternak.
Denyut Nadi
Rata-rata denyut nadi kelinci NZW
betina hasil penelitian perlakuan T1 (143
kali/menit), T2 (137 kali/menit) dan T3 (140
kali/menit) pada suhu dan kelembapan
sebesar 27,69ᴼC dan 79% menunjukkan
berbeda tidak nyata. Denyut nadi kelinci
tersebut termasuk normal dengan rata-rata
140 kali/menit. Denyut nadi kelinci yang
normal disebabkan oleh suhu dan
kelembaban kandang yang optimal. Suhu
dan kelembaban kandang
penelitian
termasuk normal. Menurut Nursita et al.
(2013) bahwa suhu dan kelembapan optimal
bagi ternak kelinci yaitu 25ᴼC dan 80%.
Penelitian Arrington dan Kelley (1976)
menunjukkan bahwa denyut nadi kelinci
normal berkisar antara 123-304 kali/menit
dengan rata-rata 205 kali/menit. Pakan
(pelet) yang disusun dengan kandungan PK
dan DE yang sama dengan bahan pakan
sumber energi berbeda tidak mempengaruhi
denyut nadi kelinci. Kelinci yang mendapat
ketiga perlakuan pakan mendapat tambahan
beban panas yang sama yang berasal dari
energi pakan yang berbeda sehingga proses
thermoregulasi tubuh berjalan normal, hal ini

Pengaruh Perbedaan Sumber Energi … (Kurniawati et al.)

Vol. 20 (1): 1-7

Tabel 4. Denyut nadi, frekuensi napas dan suhu rektal kelinci New Zealand White betina yang
memperoleh pakan sumber energi berbeda.
Perlakuan
Parameter
T1
T2
T3
Denyut Nadi (kali/menit)
143,00
137,00
140,00
Frekuensi Napas (kali/menit)
81,00
80,00
80,00
38,12
38,28
38,12
Suhu Rektal (ᴼC)
dikarenakan konsumsi BK dan energi juga
tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dinyatakan
bahwa kemampuan ternak dalam melepas
panas hampir sama. Suherman dan Purwanto
(2015) menyatakan bahwa konsumsi energi
yang tinggi, produksi panas ternak semakin
tinggi pula diakibatkan energi yang berasal
dari ransum merupakan tambahan beban
panas.
Frekuensi Napas
Frekuensi napas kelinci NZW betina
perlakuan T1 (81 kali/menit), T2 (80
kali/menit) dan T3 (80 kali/menit)
menunjukkan berbeda tidak nyata. Frekuensi
napas ternak kelinci New NZW betina
tersebut termasuk normal dengan rata-rata 80
kali/menit. Frekuensi napas dipengaruhi oleh
suhu dan kelembaban kandang. Suhu dan
kelembaban
yang
optimal
akan
menghasilkan frekuensi napas ternak yang
normal. Suhu dan kelembaban yang tinggi
menyebabkan ternak mempercepat proses
pelepasan panas dengan cara evaporasi dari
saluran pernafasan. Nursita et al. (2013)
menyatakan bahwa frekuensi napas kelinci
berkisar antara 70 – 76 kali/menit,
sedangkan frekuensi napas kelinci menurut
Arrington dan Kelley (1976) sebesar 36-56
kali/menit dengan rata-rata 46 kali/menit.
Frekuensi napas kelinci penelitian tergolong
lebih tinggi daripada penelitian dari
Arrington dan Kelley (1976), hal ini
dikarenakan perbedaan iklim yaitu iklim
tropis dan subtropis. Kelinci penelitian hidup
di daerah beriklim tropis sehingga
menghasilkan frekuensi napas yang lebih
tinggi. Perlakuan sumber energi yang
berbeda tidak mempengaruhi frekuensi
napas ternak kelinci. Mardiono (2016)
menyatakan
bahwa
frekuensi
napas
dipengaruhi oleh produksi panas metabolis
dan frekuensi denyut nadi. Produksi panas

metabolis kelinci yang dihasilkan oleh
sumber energi pakan yang berbeda diduga
tidak berbeda karena konsumsi energi kelinci
berbeda tidak nyata. Denyut nadi yang
normal menjadi indikasi frekuensi napas
yang normal pula. Menurut Nuriyasa et al.
(2014) bahwa mempercepat laju respirasi
merupakan cara yang paling efektif untuk
menyeimbangkan panas tubuh. Faktor lain
yang dapat menyebabkan peningkatan laju
respirasi pada ternak kelinci yaitu ternak
dalam keadaan ketakutan yaitu mencapai
200-300 kali/menit (Nursita et al., 2013).
Suhu Rektal
Suhu rektal mewakili temperatur
seluruh bagian tubuh ternak karena
merupakan hasil rata-rata pengukuran semua
jaringan tubuh (Esmay, 1978). Suhu rektal
kelinci New Zealand White betina perlakuan
T1 (38,12ᴼC), T2 (38,28ᴼC) dan T3
(38,12ᴼC) menunjukkan berbeda tidak nyata.
Suhu rektal ternak kelinci tersebut termasuk
dalam kisaran normal dengan rata-rata
38,17ᴼC. Hal ini dikarenakan suhu dan
kelembaban kandang dalam keadaan normal.
Menurut Arrington dan Kelley (1976) suhu
rektal yang normal pada ternak kelinci
sebesar 38,94ᴼC. Perlakuan pakan sumber
energi yang berbeda tidak mempengaruhi
suhu rektal kelinci NZW betina. Menurut
Nuriyasa et al. (2014) apabila perlakuan
ransum yang berbeda tidak mempengaruhi
suhu rektal, hal ini mengindikasikan bahwa
panas metabolisme yang dihasilkan dari
sumber energi pakan yang berbeda oleh
ternak kelinci belum berpengaruh pada suhu
rektal. Panas pada tubuh kelinci yang terukur
sebagai suhu rektal berasal dari panas
metabolisme dan panas dari lingkungan.
Menurut pendapat Suherman dan Purwanto
(2015) suhu rektal ternak akan mencapai
lebih dari 40ºC pada suhu lingkungan yang

Pengaruh Perbedaan Sumber Energi … (Kurniawati et al.)

5

Vol. 20 (1): 1-7

mencapai 32,2ºC. Hal ini mengindikasikan
fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk
mencapai keseimbangan panas yang baik.
KESIMPULAN
Pakan dengan sumber energi berbeda
(jagung dan pollard) menghasilkan respon
fisiologis yang sama pada kelinci New
Zealand White betina yang dilihat dari
denyut nadi, frekuensi napas dan suhu rektal.
Kondisi fisiologis kelinci pada penelitian ini
masih dalam kondisi normal.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, A dan R. Masanto. 2010. Beternak
Kelinci Potong. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Arrington, L.R. dan K.C. Kelley. 1976.
Domestic Rabbit Biology and
Production. The University Presses of
Florida. Gainesville.
Blakely, J dan D.H Bade. 1994. Ilmu
Peternakan. Edisi ke-4. Gadjah Mada
University
Press.
Yogjakarta.
(Diterjemahkan Oleh: B. Srigandono)
Esmay, M.L. 1978. Principles of Animal
Environment.
Avi
Publishing
Company,
Inc.,
Westport,
Connecticut. p. 17-33.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi
Ternak. Edisi ke-4. Gadjah Mada
University
Press,
Yogjakarta.
(Diterjemahkan Oleh: B. Srigandono
dan K. Praseno).
Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995.
Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. Edisis ke-2. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Hartadi, H. 1997. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Cetakan ke-2. UGM
Press. Yogjakarta.
Kamal, A., Yamani, dan M. Hassan. 2010.
Adaptability of Rabbit to the Hot
Climate. http://resource.ciheam.org/
om/pdf/c.08/95605280. Diakses pada
3 Maret 2017 pukul 18.30 WIB.
Kaplan, H.M. 1979. The Rabbit, a Model for
the
Principles
of
Mammalian

6

Physiology and Surgery. Academic
Press. London.
Lubis, D.A. 1992. Ilmu Makanan Ternak.
Cetakan II. PT Pembangunan, Jakarta.
Mardiono. 2016. Respon Fisiologis Sapi
Madura Jantan yang Mendapat Level
Pakan yang Berbeda. Universitas
Diponegoro,
Semarang
(Skripsi
Sarjana Peternakan).
Naiddin,
A.,
M.N.
Rokhmat,
S.
Dartosukarno, M. Arifin dan A.
Purnomoadi. 2010. Respon fisiologis
dan profil darah sapi Peranakan
Ongole (PO) yang diberi pakan ampas
teh dalam level yang berbeda. Dalam:
L. H. Prasetyo, L Natalia, dan S.
Iskandar (Editor). 2010. Prosiding
Seminar
Nasional
Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 3–4
Agustus 2010. Badan Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Hal. 217–223.
Nuriyasa, I.M., N.G.K. Roni, E. Puspani,
D.P.M.A. Candrawati, I.W. Wirawan
dan A.W. Puger. 2014. Respons
fisiologi kelinci lokal yang diberi
ransum menggunakan ampas tahu
yang disuplementasi ragi tape pada
jenis kandang berbeda. Majalah
Ilmiah Peternakan. 17 (2): 61–65.
Nursita, I.W., N. Cholis dan A. Kristianti.
2013.
Status
fisiologi
dan
pertambahan bobot badan kelinci
jantan lokal lepas sapih pada
perkandangan dengan bahan atap dan
ketinggian kandang berbeda. Jurnal
Ilmu Peternakan, 23 (1): 1 – 6.
Pamungkas, G.P.C., Kusmartono dan
Hermanto.
2013.
Pengaruh
suplementasi biji jagung (Zea mays)
terhadap jumlah konsumsi pakan,
konversi pakan dan pertambahan
bobot badan pada kambing Peranakan
Boer. Program Studi Peternakan
Universitas Brawijaya, Malang.
Rizqiani, A. 2011. Performa Kelinci Jantan
Lokal Peranakan New Zealand White
yang Diberi Pakan Silase atau Pellet
Ransum
Komplit.
Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
(Skripsi).

Pengaruh Perbedaan Sumber Energi … (Kurniawati et al.)

Vol. 20 (1): 1-7

Suherman, D. dan B.P. Purwanto. 2015.
Respon fisiologis sapi perah dara Fries
Hollad yang diberi konsentrat dengan
tingkat energi berbeda. Jurnal Sains
Peternakan Indonesia. 10 (1): 13–21.
Susanti, S. dan E. Marhaeniyanto. 2007.
Kecernaan, retensi nitrogen
dan
hubungannya dengan produksi susu
pada sapi peranakan Friesian Holstein

(PFH) yang diberi pakan pollard dan
bekatul. Jurnal Protein. 15 (2): 141–
147.
Tillman, A.D., S. Reksohadiprojdo, S.
Prawirokusumo, H. Hartadi dan S.
Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Edisi ke-6. Gadjah
Mada University, Yogjakarta.

Pengaruh Perbedaan Sumber Energi … (Kurniawati et al.)

7