1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT sebagai
pelengkap kebahagiaan keluarga dan tercapainya tujuan berumah tangga.
Setiap orang tua idealnya menginginkan anak yang terlahir sempurna. Orang
tua mendambakan memiliki anak yang sehat secara jasmani maupun rohani,
harapan terbesar orang tua adalah anak yang dihadirkan oleh Allah SWT
sebagai anak yang sehat secara kognitif maupun emosional. Namun pada
kenyataannya tidak semua anak yang terlahir normal, ada anak yang terlahir
dengan kebutuhan khusus yang membutuhkan pengasuhan dan pendidikan
khusus. Anak dengan karakteristik seperti ini disebut dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK).
Mangunsong (2009) mendefinisikan ABK sebagai anak yang
menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental,
kemampuan-kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial
dan emosional, kemampuan berkomunikasi maupun kombinasi dua atau lebih
dari hal-hal di atas; sejauh mana ia memerlukan modifikasi dari tugas-tugas
sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk
mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal. Hallahan dan
Kaufman (2006) mendefinisikan anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah
anak-anak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk
mengembangkan segenap potensi yang mereka miliki.
1
2
ABK memang sangat berbeda dari anak-anak pada umumnya, karena
ABK tidak bisa dituntut untuk meningkatkan kemampuan dalam menerima
pelajaran di sekolah seperti anak pada umumnya. Mangunsong (2009)
menjelaskan bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus sering dianggap
sebagai “tamu” di kelas reguler, sekedar diberi izin untuk berada di dalam
kelas tanpa hak penuh sebagai anggota kelas. Hal ini bisa menyebabkan anakanak
berkebutuhan
khusus
tidak
bisa
secara
maksimal
dalam
mengembangkan keterampilan yang mereka punya. Oleh karena itu hadirlah
Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk pendidikan ABK. Berdasarkan UU No.20
tahun 2003 pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Dalam pendidikan dan pelayanan penyandang disabilitas atau yang
biasa disebut ABK, ABK memiliki hak yang sama seperti anak-anak pada
umumnya. Berdasarkan UU No.8 tahun 2016 pasal 5 ayat 3 tentang hak
penyandang disabilitas disebutkan bahwa ABK mempunyai hak untuk
perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh
kembang secara optimal. Dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang
penting sebagai salah satu anggota keluarga ABK, karena orang tua
merupakan interaksi sosial pertama yang akan membentuk kepribadian anak.
Dalam hal ini, masing-masing orang tua memiliki cara serta respon yang
berbeda dalam mendidik anak dan merespon suatu keadaan, seperti keadaan
3
anak tunagrahita yang membutuhkan pengasuhan dan perhatian khusus dari
orang tua. Tuntutan akan pekerjaan dan finansial dapat mendorong orang tua
untuk mengurangi jam kerja demi mendidik dan memperhatikan anaknya,
sehingga dengan pengorbanan yang seperti ini orang tua mengharapkan
perubahan yang signifikan pada diri anak.
Secara umum ABK dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu
tunanetra (gangguan fungsi indera penglihatan), tunarungu (gangguan fungsi
indera pendengaran), tunagrahita (keterbelakangan mental), tunadaksa
(gangguan fungsi gerakan motorik), tunalaras (gangguan fungsi emosi dan
sosial). Peraturan menteri No.70 tahun 2009 mengklarifikasikan ABK dengan
lebih rinci yaitu tunanetra, tunarungu, berkesulitan belajar, lamban belajar,
autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba,
tunaganda, dan memiliki kelainan lainnya.
Dalam masing-masing kekhususan ABK yang telah disebutkan
diatas peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai anak tunagrahita.
Karena berdasarkan pengambilan data awal yang peneliti lakukan pada
Rabu(14/12/16) di SLB Negeri 2 Padang terdapat 83 orang ABK dengan
kekhususan tunagrahita. Anak tunagrahita yang terdapat di SLB Negeri 2
Padang berjumlah 83 orang dari total jumlah siswa SLB sebanyak 108.
Berarti dari 108 siswa SLB ada 77% anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang. Seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini :
4
Tabel 1.1 Jumlah Anak Tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang
Jenis kelamin
Jenjang
No
Kelas
C
pendidikan
Jumlah
C1
L
P
L
P
1
7
1
8
1
17
2.
2
2
4
3
4
13
3.
3
-
-
3
2
5
4.
4
1
3
-
-
4
5.
5
5
-
-
-
5
6.
6
-
-
3
3
6
15
8
17
10
50
1
6
9
3
3
21
8.
2
-
4
-
-
4
9.
3
-
-
-
3
3
6
13
3
6
28
1
SDLB
Jumlah SD
7.
SMPLB
Jumlah SMP
10. SMALB
1
-
-
3
2
5
11.
2
-
-
-
-
-
12.
3
-
-
-
-
-
-
-
3
2
5
Jumlah SMA
Jumlah total SD,SMP dan SMA
Sumber : Data Kepala Sekolah
83
5
Keterangan :
C : Lokal Tunagrahita Berat
CI : Lokal Tunagrahita Sedang
Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental yang berarti
keterbelakangan mental. Tunagrahita adalah kelainan pada pertumbuhan
dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi atau
dalam kandungan dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik
biologis maupun faktor fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik.
Anak tunagrahita memiliki tingkat kemandirian yang rendah sehingga
membutuhkan perhatian dan bimbingan orang tua secara khusus agar anak
tunagrahita dapat terlatih dalam mengurus dirinya sendiri.
Observasi pertama yang peneliti lakukan di SLB Negeri 2 Padang
pada Senin (04/07/16) terlihat bahwa orang tua tampak kesulitan
menghadapi anaknya ketika anaknya berlari-lari di sekitar sekolah dan
berbicara dengan suara keras sehingga menggangu orang lain. Selanjutnya,
dalam wawancara yang peneliti lakukan pada Senin (26/09/16) dengan salah
seorang Ibu (IF) yang memiliki anak (FG) dengan gangguan tunagrahita
dinyatakan oleh IF bahwa :
“Pada awalnya ayah FG sering mengeluh karena keadaan anak saya
yang seperti ini, karena ketika bayi anak saya terlihat normal seperti bayi
pada umumnya, namun setelah menginjak usia 5 tahun terlihat
kejanggalan yang membuat saya dan ayah FG khawatir. Masalah seperti
ini berlanjut hingga FG memasuki TK, karena guru TK nya mengeluhkan
FG susah sekali diajar di dalam kelas karena tidak bisa diam dan tidak
konsentrasi. Sudah banyak pengobatan dan pemeriksaan yang dijalankan
oleh FG akan tetapi tidak membuahkan hasil yang maksimal, sampai
akhirnya saya dan ayah FG membawa FG ke psikolog dan mendapatkan
solusi yang terbaik. Mendidik FG memang butuh kesabaran yang ekstra
6
dibanding adiknya yang normal, karena kalau kita tidak sabar maka
emosi saja yang akan timbul, kalau emosi sudah timbul akan berakibat
kita sering memarahi anak jadinya, juga mendidik FG perlu perhatian
khusus sehingga saya sebagai Ibu harus mengurangi jam kerja dan ayah
juga harus mendampingi FG belajar dirumah, begitulah lika-liku saya
sebagai orangtua. Saya merasa bahagia sekarang karena saya sering
merenung bahwa banyak anak orang lain yang lebih parah dari ini,
sehingga saya mampu bersyukur”. (Wawancara pada senin, 26 september
2016 Pukul 12.00 s.d 12.45 WIB).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa IF pada
awalnya tidak menerima keadaan anaknya dan shock ketika menerima hasil
bahwa anaknya mengalami gangguan tunagrahita sehingga IF dan suaminya
harus berjuang untuk mengetahui lebih dalam lagi cara mendidik anak
tunagrahita. IF juga menyatakan bahwa dalam mendidik anak tunagrahita
dibutuhkan kesabaran yang tinggi untuk mengendalikan emosi agar orang
tua tidak mudah marah ketika menghadapi anaknya. Marah merupakan
salah satu ciri-ciri dari adanya afek negatif pada diri seseorang yang ditandai
dengan ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan emosi. Menurut
Diener (2007), Afek negatif salah satunya ditandai dengan seseorang merasa
tidak gembira atau marah. Afek negatif merupakan salah satu aspek dari
kesejahteraan subjektif. Aspek kesejahteraan subjektif terdiri dari adanya
afek positif, afek negatif dan kepuasan hidup.
Kesejahteraan subjektif merupakan evaluasi seseorang terhadap
hidupnya secara kognitif dan afektif. Secara kognitif kesejahteraan subjektif
pada diri seseorang dapat diindikasikan dengan merasakan kepuasan hidup
setelah memikirkan dan mengevaluasi pengalaman-pengalaman pada masa
lalu (Diener, 2000). Secara afektif, kesejahteraan subjektif yang dialami
7
oleh seseorang dapat diindikasikan dengan afek positif dan afek negatif.
Individu yang mengalami afek positif biasanya memiliki ciri-ciri yaitu
gembira, mempunyai semangat yang baik, terlihat sangat bahagia, tenang
dan penuh kedamaian, merasa puas, dan totalitas dalam menjalani
kehidupannya. Sedangkan individu yang memiliki afek negatif memiliki
indikasi sikap tidak memiliki kegembiraan, gelisah, tidak nyaman, tidak
memiliki harapan, tidak berusaha untuk mewujudkan impian, merasa tidak
berharga (Corey & Jeana dalam Snyder, C.R & Lopez, Shane J. 2007:412).
Kepuasan hidup merupakan kesejahteraan yang timbul karena
tercapainya tujuan yang diinginkan. Namun pada kenyataannya, tujuan yang
ingin dicapai oleh individu terkadang tidak sesuai dengan apa yang ia
dapatkan
sehingga
menimbulkan
afek
negatif.
Menurut
Emmons
(Firmansyah & Lisyanti, 2014:4) afek negatif berhubungan dengan
kebingungan seseorang terhadap tujuannya dan konflik dengan tujuannya.
Afek negatif merupakan respon seseorang terhadap segala sesuatu yang
berada di luar dirinya yang menyebabkan individu memiliki perasaan yang
negatif atau bisa dikatakan memiliki emosi negatif. Isen (1997) memakai
istilah “Emosi” sebagai respon spesifik yang disebabkan oleh stimulus yang
datang dari luar. Menurut Isen, emosi merupakan istilah yang berkaitan erat
dengan afek seseorang karena emosi dan afek sama dalam konteks respon
terhadap stimulus. Menurut James-Lange, emosi merupakan akibat atau
hasil persepsi dari keadaan jasmani (dalam Walgito, 2002:223). Emosi yang
positif dapat diartikan sebagai tindakan atau reaksi yang terjadi karena
8
dorongan-dorongan yang positif. Seseorang yang memiliki emosi yang
positif cenderung merasakan kebahagiaan dalam hidup. Jika seseorang lebih
banyak memiliki emosi yang positif dalam dirinya, maka seseorang akan
lebih mudah dalam mengatur dan mengontrol emosi negatif yang tiba-tiba
datang.
Wawancara yang dilakukan pada Senin (01/11/16) di SLB Negeri 2
Padang terhadap salah satu orang tua anak tunagrahita berinisial S
mengatakan bahwa :
“D merupakan anak saya satu-satunya karena kakaknya sudah
meninggal. Anak saya ini memiliki gangguan tunagrahita. Saya
sebenarnya kaget dengan keadaan D yang seperti ini, dia merupakan
harapan satu-satunya saya dan istri yang akan membuat saya bangga
dengan prestasi dan capaian-capaiannya namun ternyata D mempunyai
kelainan. Saya sejak D TK mengurus D secara intens bersama istri, ya
beginilah, kami harus bersabar. Karena jika tidak bersabar maka akan
terjadi pertengkaran antara saya dan istri akibat emosi karena kewalahan
mendidik D. D ini tidak mau diam anaknya, kerjanya berjalan saja terus
kalau dibawa kemana-mana, sangat kewalahan saya rasanya namun
karena D anak saya juga maka saya mempunyai kewajiban untuk
merawatnya walaupun dengan keterbatasan seperti ini, karena menurut
saya banyak orang yang lebih susah hidupnya daripada saya sehingga
dengan mengingat itu saya mampu bersyukur”. (Wawancara pada Senin,
01 November 2016 pada Pukul 07.30 s.d 07.45 WIB).
Kemudian salah satu orang tua anak tunagrahita berinisial Y juga
mengatakan bahwa :
“Anak saya memiliki gangguan tunagrahita sedang menurut diagnosa
dokter, padahal ketika anak saya masih bayi sampai balita dia terlihat
normal. Saya sangat shock ketika menerima hasil asesment mengenai
gangguan yang dialami oleh anak saya, sehingga saya dan ayahnya
kebingungan bagaimana caranya mengasuh dan merawat anak saya ini.
Kebingungan itu yang kadang membuat saya menjadi sering emosi dan
marah-marah, namun setelah terbiasa dengan keadaan seperti ini
akhirnya saya bisa mengerti bagaimana cara memdidik anak saya ini.
Saya cukup bersyukur karena dengan Allah memberikan saya ujian seperti
ini saya mampu mengetahui banyak hal khususnya mengenai ABK”.
9
(Wawancara pada Senin, 01 November 2016 pada Pukul 08.00 s.d 08.32
WIB).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa orang
tua anak tunagrahita bisa menerima keadaan anaknya salah satunya
disebabkan faktor bersyukur dan yakin bahwa anak yang dititipkan oleh
Allah SWT adalah anugerah sekaligus ujian yang menguji keimanannya.
Hal ini dapat menjadi faktor timbulnya kepuasan hidup dalam diri orang tua
ketika mengevaluasi pengalaman-pengalamannya di masa lalu.
Dalam penelitian (Hambali, Adang dkk, 2015) menjelaskan bahwa
orang tua yang memiliki ABK bersyukur disebabkan oleh penerimaan diri
atas keadaan yang dialami sebagai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT, pengetahuan, pengalaman dan kondisi spiritual serta rasa apresiasi
yang hangat untuk sesuatu yang didapatkan, serta kecenderungan untuk
berbuat positif, hal ini merupakan perwujudan dari rasa syukur orang tua
terhadap kehidupan dan takdir yang Allah berikan kepadanya. Dari hasil
penelitian
ini
juga
disimpulkan
bahwa
dengan
bersyukur
maka
kesejahteraan subjektif pada diri orang tua ABK dapat tercipta.
Menjadi orang tua yang memiliki anak tunagrahita tidaklah mudah,
karena anak tunagrahita membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus
dalam mendidik dan membesarkannya. Hal ini merupakan pemicu masalah
bagi orang tua, karena setiap orang tua idealnya menginginkan anak yang
bisa dibanggakan dengan kondisi kognitif maupun fisik yang baik untuk
mewujudkan masa depan yang cemerlang. Karena anak seringkali diartikan
sebagai anugerah dari Allah SWT sebagai pelengkap kebahagiaan orang tua,
10
namun anak bisa menjadi ujian ketika apa yang diharapkan oleh orang tua
terhadap anaknya tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Hal ini berkaitan
dengan Firman Allah dalam surat Al-Anfaal ayat 27-28 mengenai anak
sebagai ujian :
▪
☺
☺
☺
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul-Nya dan (juga) jangan kamu mengkhianati amanat –
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahui
lah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan
Sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang lebih besar”.
Berdasarkan observasi kedua yang peneliti lakukan pada Selasa
(02/11/16) di SLB Negeri 2 Padang terlihat bahwa orang tua anak tunagrahita
tergesa-gesa dalam mengurus kebutuhan anaknya sehingga banyak pekerjaan
yang tidak terselesaikan dengan baik, namun orang tua terlihat tersenyum
ketika melihat anaknya berbaris dengan rapi di lapangan sekolah untuk
mendengarkan pengumuman yang disampaikan oleh guru SLB. Selanjutnya
wawancara yang peneliti lakukan pada waktu yang sama pada ayah dari IS
yang memiliki anak tunagrahita menyatakan bahwa :
“Saya ini hanya nelayan buk, jadi jika saya ingat-ingat masa-masa sulit
kehidupan saya dan isteri apalagi ketika harus menerima kenyataan anak
yang seperti ini, maka bisa menyebabkan kami merasa tidak puas dengan
kehidupan kami. Saya dan isteri shock dengan keeadaan anak saya yang
seperti ini. Saya merasa ada yang salah dalam kehidupan saya, kehidupan
saya tidak sesempurna kehidupan orang lain pada umumnya. Sebenarnya
saya ingin menyekolahkan anak saya di sekolah umum, bukan SLB seperti
11
ini, namun karena isteri mampu memahamkan dan menasehti saya bahwa
semua yang telah terjadi merupakan anugerah dan takdir dari Allah SWT,
jadi kita harus menerimanya agar mendapatkan pahala yang besar dari
sisi Allah SWT”. (Wawancara pada Selasa, 02 November 2016 pada Pukul
07.30 s.d 07.43 WIB).
Maka dari wawancara yang telah peneliti lakukan dapat dijelaskan
bahwa orang tua anak tunagrahita cenderung terkejut ketika menerima
keadaan anaknya sebagai kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Orang
tua tidak puas dengan keadaan anaknya, karena orang tua mengharapkan
anaknya bersekolah di sekolah umum dan bisa membanggakan orang tua.
Namun pada kenyataannya anaknya harus memasuki Sekolah Luar Biasa
(SLB) dan membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, orang tua juga harus
maksimal menunggu anaknya di sekolah sampai pulang sekolah. Hal ini
menyebabkan tersitanya waktu orang tua yang seharusnya bekerja mencari
uang namun karena keadaan anaknya yang membutuhkan perhatian khusus
mendorong orang tua untuk mengurangi jam kerjanya. Dari hasil wawancara
disebutkan bahwa bahwa orang tua anak tunagrahita memiliki kepuasan
hidup yang rendah dan adanya afek negatif yang lebih tinggi daripada afek
positif.
Hasil wawancara pada Rabu (14/12/16) dengan orang tua ABK yang
anaknya memiliki kekhususan dalam tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang
mengatakan bahwa :
“Anak saya ini susah sekali untuk mandiri, bahkan untuk mandi saja saya
masih perlu mengajari dan membimbing agar bisa mandi dengan bersih,
padahal anak saya ini berusia 10 tahun, seharusnya sudah bisa mengatur
dirinya sendiri. Tapi saya harus banyak bersabar karena ini anak saya
juga, dan saya harus bersyukur, karena dengan bersyukur saya bisa
12
menerima keadaan anak saya dan kehidupan saya seperti ini”
(Wawancara pada Rabu, 14 Desember 2016 pukul 10.00 s.d 10.12 WIB).
Hal ini juga dapat dilihat dari data di bawah ini :
Tabel 1.2
Data Awal
Kondisi Kesejahteraan subjektif orang tua anak tunagrahita
No
.
1-
Masalah
Jumlah
Persentase
Emosi Positif
9%
• Merasa berharga 3 Orang
2 orang
6%
• Merasa
bersemangat
29%
• Merasa antusias 10 orang
dalam
mempelajari
tentang
anak
tunagrahita
2.
Emosi negatif
9%
• Mudah marah 3 orang
dalam mendidik
anak
15%
• Merasa cemas 5 orang
membiarkan
anak bermain di
luar rumah
32%
• Merasa karena 11 orang
perekonomian
Jumlah
34 orang
100%
Sumber : Data Awal Penelitian pada 13 Desember 2016
Bersyukur merupakan perwujudan dari rasa sabar dan kasih sayang
terhadap seseorang atau sesuatu yang menyebabkan terciptanya kesejahteraan
subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Rohmah (2013) menyatakan bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kualitas hidup ibu dengan anak
yang memiliki gangguan spektrum austitik ini adalah optimisme yang tinggi.
Pada awalnya ibu tidak menerima keadaan anaknya dengan gangguan
spektrum austistik, namun karena dukungan sosial, dukungan keluarga, dan
13
optimisme yang tinggi mampu membuat ibu menerima keadaan anaknya dan
kemudian merawat anaknya dengan baik. Optimisme yang tinggi akan
mendorong seseorang dalam kesejahteraan subjektif yang menentukan
kualitas hidup seseorang. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa menjadi
orang tua, khususnya menjadi ibu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah,
karena untuk menjalankan peran sebagai ibu harus memiliki rasa sabar dan
kasih sayang yang tinggi terhadap anaknya.
Bersyukur (gratitude) dapat diartikan sebagai keadaan dalam diri
seseorang untuk mengapresiasi segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan atas pengalaman-pengalamannya (Bryant, 1989; Langston,
1994 dalam Snyder, 2007:273). Sedangkan menurut Ibnu Ujaibah (Hambali,
2015), syukur merupakan kebahagiaan hati atas nikmat yang diperoleh yang
diikuti dengan pengarahan seluruh anggota tubuh supaya taat kepada Sang
Pemberi nikmat serta pengakuan atas segala nikmat yang diberi-Nya dengan
rendah hati. Jadi, bersyukur merupakan keadaan dalam diri seseorang untuk
menerima segala peristiwa yang terjadi dan mengakui segala nikmat yang
diberi-Nya dengan melakukan segala sesuatu yang dicintai oleh-Nya.
Fordyce (1997, 1983) menyatakan bahwa bersyukur merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan meningkatnya kesejahteraan subjektif pada
diri seseorang karena dengan bersyukur seseorang mampu melakukan
berbagai kegiatan sosial yang mampu membantu orang lain (Snyder.
2002:328). Perilaku membantu orang lain merupakan perwujudan rasa syukur
yang mampu menciptakan kesejahteraan subjektif pada diri individu.
14
Dalam penelitian Dewanto & Retnowati (2015) dijelaskan bahwa
semakin sering seseorang bersyukur maka semakin bertambah pengalaman
emosi positif dalam kehidupannya, hal ini akan menyebabkan tingginya afek
positif dan munculnya kepuasan hidup dalam diri seseorang. Emmons
(Snyder & Shane, 2002) menyebutkan bahwa seseorang yang penuh rasa
syukur diasumsikan sebagai seseorang dengan motivasi yang tinggi dan
merasakan kepuasan terhadap dirinya sendiri (Snyder & Shane, 2002:275).
Selain itu, Emmons (Snyder & Shane, 2007) juga menyebutkan bahwa
bersyukur merupakan sebuah strategi yang efektif untuk meningkatkan afek
positif yang mampu mengendalikan emosi seseorang. Bersyukur erat
kaitannya dengan kebermaknaan, kebahagiaan, dan harapan (Snyder &
Shane. 2007:330).
Kebahagiaan merupakan nikmat yang Allah berikan
kepada hamba-hambaNya yang mampu bersyukur, sebagaimana dalam
firman-Nya yang berbunyi :
Artinya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
nikmat-Ku, sesungguhnya adzab-ku sangat pedih”
Kesejahteraan subjektif sangat penting dalam kehidupan seseorang.
Menurut beberapa hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa kesejahteraan
subjektif sangat penting disebabkan oleh; Pertama, dapat menimbulkan
motivasi individu yang menyebabkan kehidupan seseorang bermanfaat dan
15
menjadi masyarakat yang memiliki etika (Wei, Lu & Gao, Fangfang. 2016).
Kedua, meningkatkan kinerja yang positif dalam hubungan sosial dan psikis
serta mental yang sehat dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Corey &Jeana
dalam Snyder, C.R & Lopez, Shane. 2007). Ketiga, membentuk kelekatan yang
hangat antara orang tua dan anak (Chen X., Xing Z., Ran, Guangming., Ma,
Yuanxiano, 2016). Keempat, menyebabkan seseorang bersemangat dalam
melakukan
kegiatannya
(Imawati,
Lola.,
Sami’an,
2015).
Kelima,
menyebabkan terciptanya penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan
(Firmansyah, Ibnu & Widuri, Erlina. 2014). Keenam, menyebabkan seseorang
memiliki resiliensi dan altruisme yang tinggi (Yuniana, 2013). Berdasarkan
penjelasan di atas dijelaskan bahwa kesejahteraan subjektif sangat dibutuhkan
seseorang karena salah satunya mampu membentuk kelekatan yang hangat
antara orang tua dan anak.
Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan Faradina (2016) menyatakan
bahwa pada awalnya orang tua sangat shock ketika mengetahui keadaan
anaknya yang sebenarnya namun pada akhirnya orang tua mampu menerima
karena orang tua menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan dan
perhatian dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Rasa kasih sayang dan
kesabaran merupakan perwujudan dari rasa syukur atas segala nikmat yang
Allah berikan. Sehingga dengan rasa syukur yang tinggi akan menyebabkan
terciptanya kesejahteraan subjektif yang tinggi pada diri orang tua yang
memiliki anak tunagrahita.
16
Berdasarkan pembahasan di atas, dikemukakan bahwa kesejahteraan
subjektif sangat dibutuhkan untuk orang tua, terutama pada orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus dengan kekhususan tunagrahita. Dari hal
tersebut
peneliti
tertarik
untuk
mengetahui
“Hubungan
Bersyukur
(Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada
Orang Tua yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang”
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua
anak berkebutuhan khusus cenderung shock ketika pertama kali mengetahui
keadaan anaknya. Orang tua harus bersabar dan menumbuhkan kasih sayang
dalam mendidik anak tunagrahita dengan menciptakan emosi yang positif,
karena jika tidak dengan kesabaran dan kasih sayang maka akan timbul
kemarahan pada diri orang tua yang disebabkan oleh emosi negatif. Terlebih
ketika mendidik dan mengurus anak tunagrahita yang mengalami cacat
mental sangat membutuhkan kesabaran dan terampil dalam mendidiknya.
Untuk menciptakan emosi positif, orang tua berusaha untuk menerima
keadaan anaknya dengan bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh
Allah SWT sehingga orang tua ABK tidak mudah mengeluh atas keadaan
anaknya. Maka berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
identifikasi masalah dari penelitian ini adalah :.
17
1. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita memiliki kesejahteraan
subjektif ketika mampu bersyukur atas kehidupannya sebagai takdir yang
telah diberikan oleh Allah SWT.
2. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita berusaha dalam membesarkan
anak tunagrahita dan mengusahakan pendidikan yang optimal sebagai
wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
3. Orang tua anak tunagrahita merasa shock dan bingung ketika mendidik
ABK sehingga menimbulkan afek negatif di dalam dirinya.
4. Orang tua anak tunagrahita mampu bersabar dalam mendidik anaknya
sehingga menimbulkan afek positif di dalam dirinya.
5. Orang tua anak tunagrahita tidak merasa puas dengan hidupnya ketika
mengevaluasi
pengalaman-pengalamannya
dalam
mendidik
anak
tunagrahita, sehingga dengan hal itu dapat menyebabkan orang tua
memiliki kepuasan hidup yang cenderung rendah dibanding orang tua
anak yang normal.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa batasan masalah dalam penelitian agar fokus penelitian menjadi
lebih terarah, diantaranya adalah :
1. Seberapa tinggi tingkat Bersyukur (Gratitude) pada orang tua yang
memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang?
18
2. Seberapa tinggi tingkat Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being)
pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang?
3. Apa hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif
(Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di
SLB Negeri 2 Kota Padang?
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan
batasan
masalah
di
atas,
maka
perlu
sebuah
pertimbangan untuk merumuskan sebuah masalah agar lebih mudah untuk
melakukan sebuah penelitian. Adapun yang menjadi rumusannya adalah:
“Apakah ada hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan
Subjektif (Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak
tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang?”.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat Bersyukur (Gratitude) orang tua yang
memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.
2. Untuk mengetahui tingkat Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well
Being) orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang.
19
3. Untuk
mengetahui
hubungan
Bersyukur
(Gratitude)
dengan
Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) orang tua yang
memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.
1.6 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Tambahan khazanah keilmuan bagi peneliti sebagai calon sarjana
Psikologi dengan mengkaji tentang hubungan Bersyukur (Gratitude)
dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada orang
tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.
b. Tambahan khazanah keilmuan bagi dosen dan mahasiswa yang
tertarik pada judul ini serta instansi terkait khususnya dalam bidang
psikologi islam dan psikologi positif.
c. Untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya bidang psikologi islam dan psikologi
positif serta menerapkan teori-teori yang sudah dikemukakan
sebelumnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat mengetahui bagaimana Bersyukur
(Gratitude) dan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) orang
tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang,
Sekaligus juga memberikan gambaran mengenai hubungan Bersyukur
(Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada
orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang.
20
3. Manfaat Bagi Peneliti
Penelitian
ini
merupakan
kesempatan
untuk
menerapkan
pengetahuan yang telah diperoleh selama kuliah. Hasil penelitian ini
dapat memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar S.Psi
(Sarjana Psikologi) di Jurusan Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin IAIN
Imam Bonjol Padang.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika penulisan penelitian adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, Definisi Operasional,
penjelasan judul, metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Dalam bab ini berisi tentang landasan teori yang mendasar tiap-tiap
variabel, hubungan antar variabel, pembentukan hipotesa.
BAB III : METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, variabel
penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, validitas dan
reliabilitas, uji coba skala penelitian, dan teknik analisis data.
BAB IV : PEMBAHASAN
Berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan, yang terdiri
dari persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, deskripsi data penelitian,
analisis data, hasil penelitian yang meliputi hubungan antara bersyukur
21
dengan kesejahteraan subjektif orang tua yang memiliki anak tunagrahita
di SLB Negeri 2 Padang. Sumber, hasil uji hipotesis, dan terakhir
pembahasan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengolahan
data dari penelitian. Selain itu, dalam bab ini juga berisi saran-saran bagi
perkembangan profesi auditor di masa depan.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT sebagai
pelengkap kebahagiaan keluarga dan tercapainya tujuan berumah tangga.
Setiap orang tua idealnya menginginkan anak yang terlahir sempurna. Orang
tua mendambakan memiliki anak yang sehat secara jasmani maupun rohani,
harapan terbesar orang tua adalah anak yang dihadirkan oleh Allah SWT
sebagai anak yang sehat secara kognitif maupun emosional. Namun pada
kenyataannya tidak semua anak yang terlahir normal, ada anak yang terlahir
dengan kebutuhan khusus yang membutuhkan pengasuhan dan pendidikan
khusus. Anak dengan karakteristik seperti ini disebut dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK).
Mangunsong (2009) mendefinisikan ABK sebagai anak yang
menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental,
kemampuan-kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial
dan emosional, kemampuan berkomunikasi maupun kombinasi dua atau lebih
dari hal-hal di atas; sejauh mana ia memerlukan modifikasi dari tugas-tugas
sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk
mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal. Hallahan dan
Kaufman (2006) mendefinisikan anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah
anak-anak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk
mengembangkan segenap potensi yang mereka miliki.
1
2
ABK memang sangat berbeda dari anak-anak pada umumnya, karena
ABK tidak bisa dituntut untuk meningkatkan kemampuan dalam menerima
pelajaran di sekolah seperti anak pada umumnya. Mangunsong (2009)
menjelaskan bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus sering dianggap
sebagai “tamu” di kelas reguler, sekedar diberi izin untuk berada di dalam
kelas tanpa hak penuh sebagai anggota kelas. Hal ini bisa menyebabkan anakanak
berkebutuhan
khusus
tidak
bisa
secara
maksimal
dalam
mengembangkan keterampilan yang mereka punya. Oleh karena itu hadirlah
Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk pendidikan ABK. Berdasarkan UU No.20
tahun 2003 pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Dalam pendidikan dan pelayanan penyandang disabilitas atau yang
biasa disebut ABK, ABK memiliki hak yang sama seperti anak-anak pada
umumnya. Berdasarkan UU No.8 tahun 2016 pasal 5 ayat 3 tentang hak
penyandang disabilitas disebutkan bahwa ABK mempunyai hak untuk
perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh
kembang secara optimal. Dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang
penting sebagai salah satu anggota keluarga ABK, karena orang tua
merupakan interaksi sosial pertama yang akan membentuk kepribadian anak.
Dalam hal ini, masing-masing orang tua memiliki cara serta respon yang
berbeda dalam mendidik anak dan merespon suatu keadaan, seperti keadaan
3
anak tunagrahita yang membutuhkan pengasuhan dan perhatian khusus dari
orang tua. Tuntutan akan pekerjaan dan finansial dapat mendorong orang tua
untuk mengurangi jam kerja demi mendidik dan memperhatikan anaknya,
sehingga dengan pengorbanan yang seperti ini orang tua mengharapkan
perubahan yang signifikan pada diri anak.
Secara umum ABK dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu
tunanetra (gangguan fungsi indera penglihatan), tunarungu (gangguan fungsi
indera pendengaran), tunagrahita (keterbelakangan mental), tunadaksa
(gangguan fungsi gerakan motorik), tunalaras (gangguan fungsi emosi dan
sosial). Peraturan menteri No.70 tahun 2009 mengklarifikasikan ABK dengan
lebih rinci yaitu tunanetra, tunarungu, berkesulitan belajar, lamban belajar,
autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba,
tunaganda, dan memiliki kelainan lainnya.
Dalam masing-masing kekhususan ABK yang telah disebutkan
diatas peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai anak tunagrahita.
Karena berdasarkan pengambilan data awal yang peneliti lakukan pada
Rabu(14/12/16) di SLB Negeri 2 Padang terdapat 83 orang ABK dengan
kekhususan tunagrahita. Anak tunagrahita yang terdapat di SLB Negeri 2
Padang berjumlah 83 orang dari total jumlah siswa SLB sebanyak 108.
Berarti dari 108 siswa SLB ada 77% anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang. Seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini :
4
Tabel 1.1 Jumlah Anak Tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang
Jenis kelamin
Jenjang
No
Kelas
C
pendidikan
Jumlah
C1
L
P
L
P
1
7
1
8
1
17
2.
2
2
4
3
4
13
3.
3
-
-
3
2
5
4.
4
1
3
-
-
4
5.
5
5
-
-
-
5
6.
6
-
-
3
3
6
15
8
17
10
50
1
6
9
3
3
21
8.
2
-
4
-
-
4
9.
3
-
-
-
3
3
6
13
3
6
28
1
SDLB
Jumlah SD
7.
SMPLB
Jumlah SMP
10. SMALB
1
-
-
3
2
5
11.
2
-
-
-
-
-
12.
3
-
-
-
-
-
-
-
3
2
5
Jumlah SMA
Jumlah total SD,SMP dan SMA
Sumber : Data Kepala Sekolah
83
5
Keterangan :
C : Lokal Tunagrahita Berat
CI : Lokal Tunagrahita Sedang
Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental yang berarti
keterbelakangan mental. Tunagrahita adalah kelainan pada pertumbuhan
dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi atau
dalam kandungan dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik
biologis maupun faktor fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik.
Anak tunagrahita memiliki tingkat kemandirian yang rendah sehingga
membutuhkan perhatian dan bimbingan orang tua secara khusus agar anak
tunagrahita dapat terlatih dalam mengurus dirinya sendiri.
Observasi pertama yang peneliti lakukan di SLB Negeri 2 Padang
pada Senin (04/07/16) terlihat bahwa orang tua tampak kesulitan
menghadapi anaknya ketika anaknya berlari-lari di sekitar sekolah dan
berbicara dengan suara keras sehingga menggangu orang lain. Selanjutnya,
dalam wawancara yang peneliti lakukan pada Senin (26/09/16) dengan salah
seorang Ibu (IF) yang memiliki anak (FG) dengan gangguan tunagrahita
dinyatakan oleh IF bahwa :
“Pada awalnya ayah FG sering mengeluh karena keadaan anak saya
yang seperti ini, karena ketika bayi anak saya terlihat normal seperti bayi
pada umumnya, namun setelah menginjak usia 5 tahun terlihat
kejanggalan yang membuat saya dan ayah FG khawatir. Masalah seperti
ini berlanjut hingga FG memasuki TK, karena guru TK nya mengeluhkan
FG susah sekali diajar di dalam kelas karena tidak bisa diam dan tidak
konsentrasi. Sudah banyak pengobatan dan pemeriksaan yang dijalankan
oleh FG akan tetapi tidak membuahkan hasil yang maksimal, sampai
akhirnya saya dan ayah FG membawa FG ke psikolog dan mendapatkan
solusi yang terbaik. Mendidik FG memang butuh kesabaran yang ekstra
6
dibanding adiknya yang normal, karena kalau kita tidak sabar maka
emosi saja yang akan timbul, kalau emosi sudah timbul akan berakibat
kita sering memarahi anak jadinya, juga mendidik FG perlu perhatian
khusus sehingga saya sebagai Ibu harus mengurangi jam kerja dan ayah
juga harus mendampingi FG belajar dirumah, begitulah lika-liku saya
sebagai orangtua. Saya merasa bahagia sekarang karena saya sering
merenung bahwa banyak anak orang lain yang lebih parah dari ini,
sehingga saya mampu bersyukur”. (Wawancara pada senin, 26 september
2016 Pukul 12.00 s.d 12.45 WIB).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa IF pada
awalnya tidak menerima keadaan anaknya dan shock ketika menerima hasil
bahwa anaknya mengalami gangguan tunagrahita sehingga IF dan suaminya
harus berjuang untuk mengetahui lebih dalam lagi cara mendidik anak
tunagrahita. IF juga menyatakan bahwa dalam mendidik anak tunagrahita
dibutuhkan kesabaran yang tinggi untuk mengendalikan emosi agar orang
tua tidak mudah marah ketika menghadapi anaknya. Marah merupakan
salah satu ciri-ciri dari adanya afek negatif pada diri seseorang yang ditandai
dengan ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan emosi. Menurut
Diener (2007), Afek negatif salah satunya ditandai dengan seseorang merasa
tidak gembira atau marah. Afek negatif merupakan salah satu aspek dari
kesejahteraan subjektif. Aspek kesejahteraan subjektif terdiri dari adanya
afek positif, afek negatif dan kepuasan hidup.
Kesejahteraan subjektif merupakan evaluasi seseorang terhadap
hidupnya secara kognitif dan afektif. Secara kognitif kesejahteraan subjektif
pada diri seseorang dapat diindikasikan dengan merasakan kepuasan hidup
setelah memikirkan dan mengevaluasi pengalaman-pengalaman pada masa
lalu (Diener, 2000). Secara afektif, kesejahteraan subjektif yang dialami
7
oleh seseorang dapat diindikasikan dengan afek positif dan afek negatif.
Individu yang mengalami afek positif biasanya memiliki ciri-ciri yaitu
gembira, mempunyai semangat yang baik, terlihat sangat bahagia, tenang
dan penuh kedamaian, merasa puas, dan totalitas dalam menjalani
kehidupannya. Sedangkan individu yang memiliki afek negatif memiliki
indikasi sikap tidak memiliki kegembiraan, gelisah, tidak nyaman, tidak
memiliki harapan, tidak berusaha untuk mewujudkan impian, merasa tidak
berharga (Corey & Jeana dalam Snyder, C.R & Lopez, Shane J. 2007:412).
Kepuasan hidup merupakan kesejahteraan yang timbul karena
tercapainya tujuan yang diinginkan. Namun pada kenyataannya, tujuan yang
ingin dicapai oleh individu terkadang tidak sesuai dengan apa yang ia
dapatkan
sehingga
menimbulkan
afek
negatif.
Menurut
Emmons
(Firmansyah & Lisyanti, 2014:4) afek negatif berhubungan dengan
kebingungan seseorang terhadap tujuannya dan konflik dengan tujuannya.
Afek negatif merupakan respon seseorang terhadap segala sesuatu yang
berada di luar dirinya yang menyebabkan individu memiliki perasaan yang
negatif atau bisa dikatakan memiliki emosi negatif. Isen (1997) memakai
istilah “Emosi” sebagai respon spesifik yang disebabkan oleh stimulus yang
datang dari luar. Menurut Isen, emosi merupakan istilah yang berkaitan erat
dengan afek seseorang karena emosi dan afek sama dalam konteks respon
terhadap stimulus. Menurut James-Lange, emosi merupakan akibat atau
hasil persepsi dari keadaan jasmani (dalam Walgito, 2002:223). Emosi yang
positif dapat diartikan sebagai tindakan atau reaksi yang terjadi karena
8
dorongan-dorongan yang positif. Seseorang yang memiliki emosi yang
positif cenderung merasakan kebahagiaan dalam hidup. Jika seseorang lebih
banyak memiliki emosi yang positif dalam dirinya, maka seseorang akan
lebih mudah dalam mengatur dan mengontrol emosi negatif yang tiba-tiba
datang.
Wawancara yang dilakukan pada Senin (01/11/16) di SLB Negeri 2
Padang terhadap salah satu orang tua anak tunagrahita berinisial S
mengatakan bahwa :
“D merupakan anak saya satu-satunya karena kakaknya sudah
meninggal. Anak saya ini memiliki gangguan tunagrahita. Saya
sebenarnya kaget dengan keadaan D yang seperti ini, dia merupakan
harapan satu-satunya saya dan istri yang akan membuat saya bangga
dengan prestasi dan capaian-capaiannya namun ternyata D mempunyai
kelainan. Saya sejak D TK mengurus D secara intens bersama istri, ya
beginilah, kami harus bersabar. Karena jika tidak bersabar maka akan
terjadi pertengkaran antara saya dan istri akibat emosi karena kewalahan
mendidik D. D ini tidak mau diam anaknya, kerjanya berjalan saja terus
kalau dibawa kemana-mana, sangat kewalahan saya rasanya namun
karena D anak saya juga maka saya mempunyai kewajiban untuk
merawatnya walaupun dengan keterbatasan seperti ini, karena menurut
saya banyak orang yang lebih susah hidupnya daripada saya sehingga
dengan mengingat itu saya mampu bersyukur”. (Wawancara pada Senin,
01 November 2016 pada Pukul 07.30 s.d 07.45 WIB).
Kemudian salah satu orang tua anak tunagrahita berinisial Y juga
mengatakan bahwa :
“Anak saya memiliki gangguan tunagrahita sedang menurut diagnosa
dokter, padahal ketika anak saya masih bayi sampai balita dia terlihat
normal. Saya sangat shock ketika menerima hasil asesment mengenai
gangguan yang dialami oleh anak saya, sehingga saya dan ayahnya
kebingungan bagaimana caranya mengasuh dan merawat anak saya ini.
Kebingungan itu yang kadang membuat saya menjadi sering emosi dan
marah-marah, namun setelah terbiasa dengan keadaan seperti ini
akhirnya saya bisa mengerti bagaimana cara memdidik anak saya ini.
Saya cukup bersyukur karena dengan Allah memberikan saya ujian seperti
ini saya mampu mengetahui banyak hal khususnya mengenai ABK”.
9
(Wawancara pada Senin, 01 November 2016 pada Pukul 08.00 s.d 08.32
WIB).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa orang
tua anak tunagrahita bisa menerima keadaan anaknya salah satunya
disebabkan faktor bersyukur dan yakin bahwa anak yang dititipkan oleh
Allah SWT adalah anugerah sekaligus ujian yang menguji keimanannya.
Hal ini dapat menjadi faktor timbulnya kepuasan hidup dalam diri orang tua
ketika mengevaluasi pengalaman-pengalamannya di masa lalu.
Dalam penelitian (Hambali, Adang dkk, 2015) menjelaskan bahwa
orang tua yang memiliki ABK bersyukur disebabkan oleh penerimaan diri
atas keadaan yang dialami sebagai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT, pengetahuan, pengalaman dan kondisi spiritual serta rasa apresiasi
yang hangat untuk sesuatu yang didapatkan, serta kecenderungan untuk
berbuat positif, hal ini merupakan perwujudan dari rasa syukur orang tua
terhadap kehidupan dan takdir yang Allah berikan kepadanya. Dari hasil
penelitian
ini
juga
disimpulkan
bahwa
dengan
bersyukur
maka
kesejahteraan subjektif pada diri orang tua ABK dapat tercipta.
Menjadi orang tua yang memiliki anak tunagrahita tidaklah mudah,
karena anak tunagrahita membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus
dalam mendidik dan membesarkannya. Hal ini merupakan pemicu masalah
bagi orang tua, karena setiap orang tua idealnya menginginkan anak yang
bisa dibanggakan dengan kondisi kognitif maupun fisik yang baik untuk
mewujudkan masa depan yang cemerlang. Karena anak seringkali diartikan
sebagai anugerah dari Allah SWT sebagai pelengkap kebahagiaan orang tua,
10
namun anak bisa menjadi ujian ketika apa yang diharapkan oleh orang tua
terhadap anaknya tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Hal ini berkaitan
dengan Firman Allah dalam surat Al-Anfaal ayat 27-28 mengenai anak
sebagai ujian :
▪
☺
☺
☺
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul-Nya dan (juga) jangan kamu mengkhianati amanat –
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahui
lah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan
Sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang lebih besar”.
Berdasarkan observasi kedua yang peneliti lakukan pada Selasa
(02/11/16) di SLB Negeri 2 Padang terlihat bahwa orang tua anak tunagrahita
tergesa-gesa dalam mengurus kebutuhan anaknya sehingga banyak pekerjaan
yang tidak terselesaikan dengan baik, namun orang tua terlihat tersenyum
ketika melihat anaknya berbaris dengan rapi di lapangan sekolah untuk
mendengarkan pengumuman yang disampaikan oleh guru SLB. Selanjutnya
wawancara yang peneliti lakukan pada waktu yang sama pada ayah dari IS
yang memiliki anak tunagrahita menyatakan bahwa :
“Saya ini hanya nelayan buk, jadi jika saya ingat-ingat masa-masa sulit
kehidupan saya dan isteri apalagi ketika harus menerima kenyataan anak
yang seperti ini, maka bisa menyebabkan kami merasa tidak puas dengan
kehidupan kami. Saya dan isteri shock dengan keeadaan anak saya yang
seperti ini. Saya merasa ada yang salah dalam kehidupan saya, kehidupan
saya tidak sesempurna kehidupan orang lain pada umumnya. Sebenarnya
saya ingin menyekolahkan anak saya di sekolah umum, bukan SLB seperti
11
ini, namun karena isteri mampu memahamkan dan menasehti saya bahwa
semua yang telah terjadi merupakan anugerah dan takdir dari Allah SWT,
jadi kita harus menerimanya agar mendapatkan pahala yang besar dari
sisi Allah SWT”. (Wawancara pada Selasa, 02 November 2016 pada Pukul
07.30 s.d 07.43 WIB).
Maka dari wawancara yang telah peneliti lakukan dapat dijelaskan
bahwa orang tua anak tunagrahita cenderung terkejut ketika menerima
keadaan anaknya sebagai kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Orang
tua tidak puas dengan keadaan anaknya, karena orang tua mengharapkan
anaknya bersekolah di sekolah umum dan bisa membanggakan orang tua.
Namun pada kenyataannya anaknya harus memasuki Sekolah Luar Biasa
(SLB) dan membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, orang tua juga harus
maksimal menunggu anaknya di sekolah sampai pulang sekolah. Hal ini
menyebabkan tersitanya waktu orang tua yang seharusnya bekerja mencari
uang namun karena keadaan anaknya yang membutuhkan perhatian khusus
mendorong orang tua untuk mengurangi jam kerjanya. Dari hasil wawancara
disebutkan bahwa bahwa orang tua anak tunagrahita memiliki kepuasan
hidup yang rendah dan adanya afek negatif yang lebih tinggi daripada afek
positif.
Hasil wawancara pada Rabu (14/12/16) dengan orang tua ABK yang
anaknya memiliki kekhususan dalam tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang
mengatakan bahwa :
“Anak saya ini susah sekali untuk mandiri, bahkan untuk mandi saja saya
masih perlu mengajari dan membimbing agar bisa mandi dengan bersih,
padahal anak saya ini berusia 10 tahun, seharusnya sudah bisa mengatur
dirinya sendiri. Tapi saya harus banyak bersabar karena ini anak saya
juga, dan saya harus bersyukur, karena dengan bersyukur saya bisa
12
menerima keadaan anak saya dan kehidupan saya seperti ini”
(Wawancara pada Rabu, 14 Desember 2016 pukul 10.00 s.d 10.12 WIB).
Hal ini juga dapat dilihat dari data di bawah ini :
Tabel 1.2
Data Awal
Kondisi Kesejahteraan subjektif orang tua anak tunagrahita
No
.
1-
Masalah
Jumlah
Persentase
Emosi Positif
9%
• Merasa berharga 3 Orang
2 orang
6%
• Merasa
bersemangat
29%
• Merasa antusias 10 orang
dalam
mempelajari
tentang
anak
tunagrahita
2.
Emosi negatif
9%
• Mudah marah 3 orang
dalam mendidik
anak
15%
• Merasa cemas 5 orang
membiarkan
anak bermain di
luar rumah
32%
• Merasa karena 11 orang
perekonomian
Jumlah
34 orang
100%
Sumber : Data Awal Penelitian pada 13 Desember 2016
Bersyukur merupakan perwujudan dari rasa sabar dan kasih sayang
terhadap seseorang atau sesuatu yang menyebabkan terciptanya kesejahteraan
subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Rohmah (2013) menyatakan bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kualitas hidup ibu dengan anak
yang memiliki gangguan spektrum austitik ini adalah optimisme yang tinggi.
Pada awalnya ibu tidak menerima keadaan anaknya dengan gangguan
spektrum austistik, namun karena dukungan sosial, dukungan keluarga, dan
13
optimisme yang tinggi mampu membuat ibu menerima keadaan anaknya dan
kemudian merawat anaknya dengan baik. Optimisme yang tinggi akan
mendorong seseorang dalam kesejahteraan subjektif yang menentukan
kualitas hidup seseorang. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa menjadi
orang tua, khususnya menjadi ibu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah,
karena untuk menjalankan peran sebagai ibu harus memiliki rasa sabar dan
kasih sayang yang tinggi terhadap anaknya.
Bersyukur (gratitude) dapat diartikan sebagai keadaan dalam diri
seseorang untuk mengapresiasi segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan atas pengalaman-pengalamannya (Bryant, 1989; Langston,
1994 dalam Snyder, 2007:273). Sedangkan menurut Ibnu Ujaibah (Hambali,
2015), syukur merupakan kebahagiaan hati atas nikmat yang diperoleh yang
diikuti dengan pengarahan seluruh anggota tubuh supaya taat kepada Sang
Pemberi nikmat serta pengakuan atas segala nikmat yang diberi-Nya dengan
rendah hati. Jadi, bersyukur merupakan keadaan dalam diri seseorang untuk
menerima segala peristiwa yang terjadi dan mengakui segala nikmat yang
diberi-Nya dengan melakukan segala sesuatu yang dicintai oleh-Nya.
Fordyce (1997, 1983) menyatakan bahwa bersyukur merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan meningkatnya kesejahteraan subjektif pada
diri seseorang karena dengan bersyukur seseorang mampu melakukan
berbagai kegiatan sosial yang mampu membantu orang lain (Snyder.
2002:328). Perilaku membantu orang lain merupakan perwujudan rasa syukur
yang mampu menciptakan kesejahteraan subjektif pada diri individu.
14
Dalam penelitian Dewanto & Retnowati (2015) dijelaskan bahwa
semakin sering seseorang bersyukur maka semakin bertambah pengalaman
emosi positif dalam kehidupannya, hal ini akan menyebabkan tingginya afek
positif dan munculnya kepuasan hidup dalam diri seseorang. Emmons
(Snyder & Shane, 2002) menyebutkan bahwa seseorang yang penuh rasa
syukur diasumsikan sebagai seseorang dengan motivasi yang tinggi dan
merasakan kepuasan terhadap dirinya sendiri (Snyder & Shane, 2002:275).
Selain itu, Emmons (Snyder & Shane, 2007) juga menyebutkan bahwa
bersyukur merupakan sebuah strategi yang efektif untuk meningkatkan afek
positif yang mampu mengendalikan emosi seseorang. Bersyukur erat
kaitannya dengan kebermaknaan, kebahagiaan, dan harapan (Snyder &
Shane. 2007:330).
Kebahagiaan merupakan nikmat yang Allah berikan
kepada hamba-hambaNya yang mampu bersyukur, sebagaimana dalam
firman-Nya yang berbunyi :
Artinya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
nikmat-Ku, sesungguhnya adzab-ku sangat pedih”
Kesejahteraan subjektif sangat penting dalam kehidupan seseorang.
Menurut beberapa hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa kesejahteraan
subjektif sangat penting disebabkan oleh; Pertama, dapat menimbulkan
motivasi individu yang menyebabkan kehidupan seseorang bermanfaat dan
15
menjadi masyarakat yang memiliki etika (Wei, Lu & Gao, Fangfang. 2016).
Kedua, meningkatkan kinerja yang positif dalam hubungan sosial dan psikis
serta mental yang sehat dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Corey &Jeana
dalam Snyder, C.R & Lopez, Shane. 2007). Ketiga, membentuk kelekatan yang
hangat antara orang tua dan anak (Chen X., Xing Z., Ran, Guangming., Ma,
Yuanxiano, 2016). Keempat, menyebabkan seseorang bersemangat dalam
melakukan
kegiatannya
(Imawati,
Lola.,
Sami’an,
2015).
Kelima,
menyebabkan terciptanya penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan
(Firmansyah, Ibnu & Widuri, Erlina. 2014). Keenam, menyebabkan seseorang
memiliki resiliensi dan altruisme yang tinggi (Yuniana, 2013). Berdasarkan
penjelasan di atas dijelaskan bahwa kesejahteraan subjektif sangat dibutuhkan
seseorang karena salah satunya mampu membentuk kelekatan yang hangat
antara orang tua dan anak.
Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan Faradina (2016) menyatakan
bahwa pada awalnya orang tua sangat shock ketika mengetahui keadaan
anaknya yang sebenarnya namun pada akhirnya orang tua mampu menerima
karena orang tua menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan dan
perhatian dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Rasa kasih sayang dan
kesabaran merupakan perwujudan dari rasa syukur atas segala nikmat yang
Allah berikan. Sehingga dengan rasa syukur yang tinggi akan menyebabkan
terciptanya kesejahteraan subjektif yang tinggi pada diri orang tua yang
memiliki anak tunagrahita.
16
Berdasarkan pembahasan di atas, dikemukakan bahwa kesejahteraan
subjektif sangat dibutuhkan untuk orang tua, terutama pada orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus dengan kekhususan tunagrahita. Dari hal
tersebut
peneliti
tertarik
untuk
mengetahui
“Hubungan
Bersyukur
(Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada
Orang Tua yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang”
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua
anak berkebutuhan khusus cenderung shock ketika pertama kali mengetahui
keadaan anaknya. Orang tua harus bersabar dan menumbuhkan kasih sayang
dalam mendidik anak tunagrahita dengan menciptakan emosi yang positif,
karena jika tidak dengan kesabaran dan kasih sayang maka akan timbul
kemarahan pada diri orang tua yang disebabkan oleh emosi negatif. Terlebih
ketika mendidik dan mengurus anak tunagrahita yang mengalami cacat
mental sangat membutuhkan kesabaran dan terampil dalam mendidiknya.
Untuk menciptakan emosi positif, orang tua berusaha untuk menerima
keadaan anaknya dengan bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh
Allah SWT sehingga orang tua ABK tidak mudah mengeluh atas keadaan
anaknya. Maka berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
identifikasi masalah dari penelitian ini adalah :.
17
1. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita memiliki kesejahteraan
subjektif ketika mampu bersyukur atas kehidupannya sebagai takdir yang
telah diberikan oleh Allah SWT.
2. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita berusaha dalam membesarkan
anak tunagrahita dan mengusahakan pendidikan yang optimal sebagai
wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
3. Orang tua anak tunagrahita merasa shock dan bingung ketika mendidik
ABK sehingga menimbulkan afek negatif di dalam dirinya.
4. Orang tua anak tunagrahita mampu bersabar dalam mendidik anaknya
sehingga menimbulkan afek positif di dalam dirinya.
5. Orang tua anak tunagrahita tidak merasa puas dengan hidupnya ketika
mengevaluasi
pengalaman-pengalamannya
dalam
mendidik
anak
tunagrahita, sehingga dengan hal itu dapat menyebabkan orang tua
memiliki kepuasan hidup yang cenderung rendah dibanding orang tua
anak yang normal.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa batasan masalah dalam penelitian agar fokus penelitian menjadi
lebih terarah, diantaranya adalah :
1. Seberapa tinggi tingkat Bersyukur (Gratitude) pada orang tua yang
memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang?
18
2. Seberapa tinggi tingkat Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being)
pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang?
3. Apa hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif
(Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di
SLB Negeri 2 Kota Padang?
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan
batasan
masalah
di
atas,
maka
perlu
sebuah
pertimbangan untuk merumuskan sebuah masalah agar lebih mudah untuk
melakukan sebuah penelitian. Adapun yang menjadi rumusannya adalah:
“Apakah ada hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan
Subjektif (Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak
tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang?”.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat Bersyukur (Gratitude) orang tua yang
memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.
2. Untuk mengetahui tingkat Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well
Being) orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota
Padang.
19
3. Untuk
mengetahui
hubungan
Bersyukur
(Gratitude)
dengan
Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) orang tua yang
memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.
1.6 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Tambahan khazanah keilmuan bagi peneliti sebagai calon sarjana
Psikologi dengan mengkaji tentang hubungan Bersyukur (Gratitude)
dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada orang
tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.
b. Tambahan khazanah keilmuan bagi dosen dan mahasiswa yang
tertarik pada judul ini serta instansi terkait khususnya dalam bidang
psikologi islam dan psikologi positif.
c. Untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya bidang psikologi islam dan psikologi
positif serta menerapkan teori-teori yang sudah dikemukakan
sebelumnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat mengetahui bagaimana Bersyukur
(Gratitude) dan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) orang
tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang,
Sekaligus juga memberikan gambaran mengenai hubungan Bersyukur
(Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada
orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang.
20
3. Manfaat Bagi Peneliti
Penelitian
ini
merupakan
kesempatan
untuk
menerapkan
pengetahuan yang telah diperoleh selama kuliah. Hasil penelitian ini
dapat memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar S.Psi
(Sarjana Psikologi) di Jurusan Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin IAIN
Imam Bonjol Padang.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika penulisan penelitian adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, Definisi Operasional,
penjelasan judul, metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Dalam bab ini berisi tentang landasan teori yang mendasar tiap-tiap
variabel, hubungan antar variabel, pembentukan hipotesa.
BAB III : METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, variabel
penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, validitas dan
reliabilitas, uji coba skala penelitian, dan teknik analisis data.
BAB IV : PEMBAHASAN
Berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan, yang terdiri
dari persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, deskripsi data penelitian,
analisis data, hasil penelitian yang meliputi hubungan antara bersyukur
21
dengan kesejahteraan subjektif orang tua yang memiliki anak tunagrahita
di SLB Negeri 2 Padang. Sumber, hasil uji hipotesis, dan terakhir
pembahasan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengolahan
data dari penelitian. Selain itu, dalam bab ini juga berisi saran-saran bagi
perkembangan profesi auditor di masa depan.