Siapa Boleh Apa Si Anu Boleh Anu Asal Se

“Siapa Boleh Apa,Si Anu Boleh Anu,Asal Sesuai dengan Apa yang Sudah Di Anu"1

Kita telah sepakat bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dengan keanekaraaman yang
luar biasa, dari bahasa, budaya, etika, agama, kepercayaan dan kekayaan alam. Sebagai
negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 kepulauan, Indonesia memiliki luas
wilayah sekitar 700.000 mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta2. Jadi, tak heran jika
perbedaan itu kerap menimbulkan perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, perbedaan
persepsi yang dapat memicu konflik berkepanjangan.
Bicara mengenai kebebasan beragama dan berkumpul, sudah sangat di jamin dalam konstitusi
negara kita ini, seperti yang tercantum dalam pasal 28 E UUD NRI 1945 mengenai
kebebasan memeluk agamanya masing-masing dan pasal 28 UUD NRI mengenai hak
kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, tapi, kebebasan ini bukanlah bebas
sebebas-bebasnya, kebebasan ini di batasi oleh hak-hak orang lain dan peraturan perundangundangan lain seperti yang diatur dalam pasal 28 J UUD NRI 1945 dan di sinilah negara
seharusnya dapat melakukan intervensi, seperti pemberian izin misalnya, dan sebagainya.
Meminjam kata budayawan Emha Ainun Nadjib, bahwa "Kebebasan bukan tujuan tapi jalan
untuk menemukan batasan-batasan"
Oke, dalam Konstitusi negara kita, negara menjamin rakyat untuk bebas memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing, tapi tetap saja, konflik tak dapat di hindarkan, contoh yang
paling klise, konflik Islam dan Aliran Ahmadiyah, Sunni dan Syiah. wong juga sama-sama
Islam, sama-sama shahadat, sholat, puasa, zakat, dan naik haji, toh, ya juga masih konflik
hingga sekarang.


Di Indonesia masih berlaku UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang ditandatangani oleh presiden Sukarno, di
mana salah satu isinya “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang
1 Judul diambil dari, Sujiwotejo,Ngawur Karena Benar, Jakarta: Imania.2012 hal:111
2 www.state.gov/documents/organization/134449.pdf

sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” 3. Ini kan multi tafsir, maka jika begitu
bunyinya, maka MUI pun juga dilarang, karena MUI juga melakukan penafsiran atau ijtihad,
bukankah ijtihad sangat di anjurkan oleh Rasulullah, yang tidak boleh di tafsirkan adalah
mengenai ibadah mahdhah. .

Pernah ada fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat begitu juga dengan
aliran syi’ah, tapi perlu diingat, dalam Republik Indonesia ini, rakyat tidak terikat pada fatwa
MUI yang menyatakan suatu agama menyimpang atau tidak, karena fatwa MUI tidak
mengikat. Kalau boleh menyitir ungkapan bung Karno dalm suatu tulisannya, “.......bahwa
yang membuat agama menjadi satu kekuasaan reaksioner yang menghambat kemajuan

masyarakat manusia itu, bukanlah pembikin agama itu, bukanlah yang mendirikan agama itu,
tetapi ialah ijma’nya ulama-ulama yang terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma-ijma’ yang
sediakala”4. Saya sependapat dengan pendapat Romo F.X Mudji Sutrisno yang oleh majelis
hakim MK dalam menguji UU nomor 1/Pnps tahun 1965 dimasukan dalam pertimbangannya,
dimana beliau menyatakan bahwa “penafsiran ‘menyimpang’ sangat tergantung dari otonomi
masyarakat kultural. Yang berhak untuk mengatakan menyimpang dan menghukum ajaran
menyimpang bukankah sesama manusia melainkan hak Allah sebagai Tuhan. Adapun Ulil
Abshar Abdalla menyatakan bahwa fatwa-fatwa yang di keluarkan oleh MUI, NU, maupun
Muhammadiyah atas pandangan kelompok sesat tidak seharusnya diterapkan oleh negara
karena negara bukan merupakan negara agama sehigga posisinya harus netral terhadap semua
agama”5.
Saya bukan membela Ahmadiyah, Syiah atau aliran yang dan saya juga tidak sanggup untuk
menyatakan suatu aliran sesat atau tidak, karena itu bukan domain dan di luar kapasitas saya
sebagai hanya seorang mahasiswa semester 5, tapi ini soal kemanusiaan. Bolehlah kita tidak
setuju, tapi, apa dengan atas nama agama kita boleh membunuh sesama, apa dengan atas
nama agama orang rela menyakiti sesama, apa dengan atas nama agama orang boleh menipu
3 Pasal 1 UU No. 1/Pnps/1965
4 Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Sukarno, “Panji Islam”, 1940
5 Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang pengujian UU No 1/PNPS tahun 1946 hal. 287


sesama, apa dengan atas nama agama orang rela membuat orang lain kehilangan mata
pencaharian, apa dengan atas nama agama orang rela menyebar virus ketakutan dan
kebencian antar sesama? Lalu, masih perlukah kita beragama?
Bukankah agama itu hanya pelumas, agama itu bukan tujuan. dalam pasal 29 ayat 1 UUD
NRI 1945 di sebutkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga
jelas, negara ini berdasarkan Ketuhanan bukan keagamaan. Tapi, yang saya pertanyakan,
negara berdasarkan Ketuhanan, Ketuhanan itu sifat, Tuhan itu Subjek, maka negara ini hanya
berdasarkan sifat Tuhan yang cuma satu, sehingga tidak melibatkan Tuhan secara subjek?
Aaahh….Entahlah…....
Terlepas dari itu semua, inti yang ingin saya samapikan di bagian kebebasan beragama di
negeri ini, bahwa kebebasan beragama ini bebas tapi bukanlah kebebasan yang sebebasbebasnya, kebebasan tersebut harus memperhatikan orang lain, ketertiban umum, harmonisasi
antar masyarakat dan keutuhan bangsa dan negara. Saya sangat sependapat dengan putusan
MK yang mana dalam pertimbangannya menyatakan bahwa “Mahkamah sependapat dengan
ahli Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan jika terdapat suatu kegiatan, tafsiran yang
kemudian disebarluaskan dan menimbulkan keresahan, konflik, dan ketegangan maka tidak
ada alasan bagi Pemerintah, dimanapun di dunia ini, untuk tidak bertindak demi menjaga
harmoni, kedamaian, dan ketertiban umum warga negara dan penduduknya” 6. Bahwa
persoalan yang kita hadapi sekarang adalah agama-agama itu kadang-kadang tidak bisa
melindungi dirinya sendiri. Kalau semua agama itu diserahkan kepada umatnya maka anarki
kemungkinan yang akan terjadi,


Keluarnya UU Pencegahan Penodaan Agama untuk

mencegah disharmoni, konflik, dan ketegangan sosial antarkelompok masyarakat;7
Negara juga tidak berhak untuk membatasi ibadah penganut Ahmadiyah maupun syiah yang
di cap negatif di negeri ini, apalagi membubarkannya. Seperti kata Cak Nun, "Agama itu
letaknya di dapur. Tidak masalah mau pakai wajan merk apa di dapur, yang utama adalah
makanan yang disajikan di warung sehat. Maka ukuran keberhasilan orang beragama bukan
pada sholat atau umrohnya, melainkan pada perilakunya.”.

Bukankah perbedaan itu

Sunnahtullah, ketentuan Allah, maka syukuri itu dan tak perlu lah menentang perbedaan,
bukan kah dengan menentang perbedaan sama saja dengan kita menentang dan tak setuju
6 Ibid Hal 297
7 Ibid, Hal 298

dengan sunnatullah, padahal kita mengakui adanya Tuhan. Dan sekali lagi, perbedaan
memang sunnatullah, tapi, harus tetap menghargai perbedaan yang lainnya.
Mengenai kebebasan berkumpul, sebenarnya kebebasan berkumpul di Republik ini sudah

lumayan baik, kita bisa berkumpul di warung tengah hari, tengah malam pun tak masalah
ngobrol ngalor, nyidul, ngetan, ngulon pun gak masalah, asal jangan di saat warung nya
tutup, asal jangan untuk mengejek, memaki orang lain yang sedang lewat di depan warung.
Berkumpul di pinggir jalan ngobrolin apapun tak lagi masalah asal tidak berkumpul di tengah
jalan yang menggangu arus lalu lintas. Kita boleh ngobrol apapun karena ini negara
demokrasi, tapi ingat, kebebasan kita bukanlah bebas sebebas-bebasnya tapi, kebebasan kita
ini di batasi juga oleh hak-hak orang lain, ketertiban umum dan peraturan perundangundangan yang ada karena negara ini negara hukum. Kita bebas berkonvoi, bergerombol naik
motor gede di jalanan, knalpot 'brong', asal tidak di tengah malam di kawasan padat
penduduk saat masyarakat sedang enak-enaknya bermimpi dan menenangkan pikiran dari
sumpeknya kehidupan di siang hari.
Jika kebebasan ini di tafsirkan sebebas-bebasnya dan tak menghiraukan dan memikirkan hakhak orang lain juga, maka jangan kaget jika cepat atau lambat konflik akan timbul juga. Hal
ini seperti yang tercantum di bab X tentang Warga Negara dan Penduduk UUD NRI 1945,
dimana dalam pasal 28 berbunyi "Kemerdekaan berserikat berkumpul dan mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
Memang, di Republik yang sedang puber-pubernya demokrasi dan kebebasan ini masih
banyak adanya penyimpangan-penyimpangan mengenai kebebasan. tapi, perlu diingat di sini,
sebenarnya konflik yang terjadi salah satunya di picu karena masyarakat belum bisa
menggunakan kebebasannya secara bijak dan

secara bertanggung jawab, selain itu


masyarakat juga belum sadar bahwa di antara kebebasannya juga terdapat hak-hak orang lain
juga yang perlu di lindungi dan di hormati dan hak-hak tersebut juga di batasi oleh ketertiban
umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, selama masyarakat belum
menyadari bahwa di antara kebebasannya terdapat hak orang lain. Maka, selama itu pula
konflik akan terjadi.
Dari uraian tersebut diatas yang panjang lebar, inti yang ingin saya sampaikan adalah
kebebasan beragama dan berkumpul di negara ini memang masih perlu pembinaan-

pembinaan kepada masyarakat, seperti menyampaikan dan menyadarkan masyarakat bahwa
di tengah kebebasannya dalam beragama dan berkelompok terdapat hak-hak orang lain yang
harus di hormati dan di lindungi pula, tapi, saya juga sangat mengapresiasi di mana UUD
NRI 1945 sudah dengan elegan mengatur kebebasan beragama dan berkumpul di Indonesia,
tinggal bagaimana mengimplementasikan kebebasan itu menjadi kebebasan yang
bertanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi di republik tercinta ini. Dan pada
akhirnya mengutip kalimat dalang, Sujiwotejo, “Siapa boleh apa, si anu boleh anu, asal sesuai
dengan apa yang sudah di anu”.

Ashari Setya Marwah Adli
031111193

@asharisetya