Hakikat Manusia Dalam Konsep Islam dan I

MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

“Hakikat Manusia Dalam Konsep Islam dan
Implementasi Pendidikannya”

OLEH:
IMAM FARIH
NIM: 21391106806
DOSEN :
DR.HIDAYAT SYAH, M.Ag

PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang paling sempurna
dan sebaik-baik bentuk (at-Tiin : 95:4) yang memiliki berbagai kemampuan.
Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsur sebagai
kelengkapan dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah : jasad ( alAnbiya’ : 8, Shad : 34 ). Ruh (al-Hijr 29, As-Sajadah 9, Al-anbiya’ :91 dan lain-lain);
Nafs (al-Baqarah 48, Ali Imran 185 dan lain-lain ) ; Aqal ( al-Baqarah 76, al-Anfal
22, al-Mulk 10 dan lain-lain); dan Qolb ( Ali Imran 159, Al-Ara’f 179, Shaffat 84
dan lain-lain ). Jasad adalah bentuk lahiriah manusia, Ruh adalah daya hidup,
Nafs adalah jiwa , Aqal adalah daya fikir, dan Qolb adalah daya rasa. Di samping
itu manusia juga disertai dengan sifat-sifat yang negatif seperti lemah ( an-Nisa
28 ), suka berkeluh kesah ( al-Ma’arij 19 ), suka bernuat zalim dan ingkar (
ibrahim 34), suka membantah ( al-kahfi 54 ), suka melampaui batas ( al-‘Alaq 6 )
suka terburu nafsu ( al-Isra 11 ) dan lain sebagainya. Hal itu semua merupakan
produk dari nafs , sedang yang dapat mengendalikan kecenderungan negatif
adalah aqal dan qolb.
Manusia diberi begitu banyak keistimewaan, fitrah manusia meliputi:
hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah adalah kondisi awal suatu ciptaan atau
kondisi manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada
kebenaran. Fitrah tidak hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga
dalam arti rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan

kepada kebaikan) yang terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka
bumi. Manusia memiliki potensi baik sejak kelahirannya. Potensi itu meliputi:

2

potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan akal (mind). Ketiga potensi ini akan
memberikan kemampuan kepada manusia untuk menentukan dan memilih jalan
hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan takdirnya. Semua
itu tergantungdari bagaimana mereka memanfaatkan potensi yang melekat dalam
dirinya. Potensi rohaniah berupa akal, qald dan nafsu. Akal adalah pikiran atau
rasio dan rasa bias diartikan dengan bijaksana. Qalb adalah hakikat manusiayang
dapat menangkap segala pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah
sesuatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.

B. Rumusan masalah
Mengingat luasnya pembahasan tentang manusia dalam berbagai sudut pandang
dan pendapat, maka dalam makalah ini terbatas pembahasannya pada hal
berikut:
1. Manusia dalam konsep Islam
2. Dan Implementasi pendidikannya


3

BAB II
PEMBAHASAN

A. HAKIKAT MANUSIA DALAM KONSEP ISLAM
Merujuk pada Al-Qur’an, istilah yang digunakan untuk menunjuk
hakikat manusia sangat bervariasi, seperti dengan istilah insaan, Al-naas, dan
Basyr.1 Penggunaan istilah-istilah ini tampaknya juga menunjukkan hakikat
yang berbeda pula, oleh karena itu, utuk mengetahui hakikat manusia dalam
konteks Islam mesti diawali dengan mengemukakan maksud dari sitilah-istilah
tersebut, Namun sebelum membahas lebih jauh tentang penggunaan istilahistilah tersebut, terlebih dahulu penulis mengungkap tentang proses penciptaan
manusia.
1. Proses Penciptaan Manusia
Generasi manusia yang ada sampai sekarang, dalah berasal dari
manusia pertama yang bernama Adam dengan istrinya yang populer bernama
Hawa. Diantara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa
adalah ayah dan ibu generasi manusia setelahnya, adalah:
‫ج ننة‬

‫نيا بنمني آندنم نلا ي نلفمتن نن نك ككم ال نشي لنطاكن ك ننما أ نلخنرنج أ نبننوي لك كلم ممنن ال ل ن‬
“Hai anak-anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan,
sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga” (QS.Al-A’raf :
27)
Adam sendiri diciptakan dari tanah sebagaimana diceritakan oleh Allah
SWT dalam beberapa firman-Nya yang salah satunya pada firman berikut:
‫كوكن‬
‫ب ث كمن نقانل ل نكه ك كلن نفي ن ك‬
‫مإ نن نمثننل معينسى معن لند الل نمه ك ننمثنمل آندنم نخل ننقكه مملن تكنرا ب‬
1 Prof.Dr. Muhmidayelli, M,Ag, Filsafat Pendidikan,(Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 46

4

“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah semisal Adam. Allah
menciptakan-Nya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ maka
jadilah dia” (QS.Ali Imran : 59)
Ayat ini secara explisit merupakan bantahan terhadap para pengagum Isa
as yang menilainya sebagai anak Tuhan, karena beliau tidak lahir melalui
seorang ayah, melainkan melalui kalimat Allah. Tetapi secara implisit
menjelaskan kejadian Isa as yang semisal dengan kejadian Adam as yaitu

diciptakan dari tanah melalui proses yang mudah dan cepat sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Kata ‘kun’ pada ayat di atas tidaklah benar bila dijadikan
dasar bahwa Adam as diciptakan dalam sekejap tanpa proses sebagaimana
yang difahami kebanyakan orang. Karena disamping dalam hal mencipta Allah
SWT, tidak memerlukan sesuatu apapun untuk mewujudkan apa yang
dikehendaki-Nya, termasuk tidak perlu mengucapkan ‘kun’. Juga karena pada
ayat yang lain Allah SWT melukiskan, bahwa Dia menciptakan Adam as dari
tanah, dan setelah Dia sempurnakan kejadiannya, Dia tiupkan ruh ciptaan-Nya.
‫ت مفيمه مملن كرومحي نفنقكعوا ل نكه نسامجمدين‬
‫نفمإنذا نس نوي لتككه نون ننف ل‬
‫خ ك‬
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah
meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud” (QS. al-Hijr :29)
Selanjutnya kejadian generasi manusia setelah Adam as, penciptaannya
diisyaratkan dalam ayat :
‫م‬
‫ما‬
‫ن نم ن‬
‫خل م م‬

‫س ات ث ه‬
‫حد مةة وم م‬
‫ذي م‬
‫جمها ومب م ث‬
‫س موا م‬
‫ث م‬
‫خل مقم م‬
‫م م‬
‫م ال ث م‬
‫من نمها مزون م‬
‫من نهه م‬
‫قك ه ن‬
‫قوا مرب ثك ه ه‬
‫ميا أي يمها الثنا ه‬
‫م ن‬
‫ف ة‬
‫ساء‬
‫رم م‬
‫جارل ك ممثيررا ومن م م‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah

menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya.
Allah mengembang biakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan
perempuan” (QS. an-Nisa : 1)

5

Para Mufassir terdahulu memahami kata ‘nafsin wahidah’ (diri yang satu)
pada ayat ini dalam arti Adam as. Akan tetapi para Mufassir kontemporer
seperti al-Qasimi, Syekh Muhammad Abduh memaknainya dalam arti jenis
manusia lelaki dan wanita. Sehingga ayat ini kandungannya sama dengan
firman Allah SWT :
‫ه‬
‫م‬
‫شهعوربا ومقممبائ م م‬
‫م ه‬
‫ل ل مت ممعامرهفوا‬
‫خل م ن‬
‫س إ مثنا م‬
‫م م‬
‫ن ذ مك مرة ومأن نمثى وم م‬

‫جعمل نمناك ه ن‬
‫قمناك ه ن‬
‫ميا أي يمها الثنا ه‬
‫م ن‬
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. al-Hujurat : 13)
Maka kedua ayat di atas pada prinsipnya berbicara sama yaitu tentang
asal kejadian manusia dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan
ovum ibu. Hanya tekanannya saja yang berbeda. Jika ayat pertama dalam
konteks menjelaskan banyak dan berkembang biaknya manusia dari seorang
ayah dan ibu, maka ayat kedua konteksnya adalah persamaan hakikat
kemanusian orang perorang, dimana setiap orang walau berbeda-beda ayah
dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama. Sehingga tidak
dibenarkan seseorang menghina atau merendahkan orang lain.
Walhasil makhluk yang bernama manusia, dari mulai manusia pertama
Adam as dan istrinya Hawa, juga Isa as, serta generasi manusia setelahnya
berasal dari bahan baku yang sama yaitu dari unsur tanah dan hembusan ruh
Ilahi. Hanya model penciptaannya saja yang berbeda. Penciptaan manusia –
sebagaimana disimpulkan Quraish Shihab – terdiri dari empat model
penciptaan. Yaitu:

1) Menciptakan dengan tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam as.
2) Menciptakan setelah disampingnya ada lelaki, yaitu isteri Adam as.
3) Menciptakan hanya dengan ibu tanpa ada ayah, yaitu Isa as.
6

4) Dan menciptakan melalui pertemuan lelaki dan perempuan yaitu
generasi manusia setelah Adam as.2
2. Fase Penciptaan Manusia
Proses penciptaan manusia dijelaskan Allah SWT dalam beberapa
firman-Nya melalui berbagai fase atau tahapan. Salah satunya pada QS. AlMu’minun : 12-14 :
‫قمنا‬
‫خل م ن‬
‫جعمل نمناه ه ن هط ن م‬
‫خل م ن‬
‫م م‬
‫ومل مقمد ن م‬
‫ف ر‬
‫م م‬
‫ن م‬
‫سملل مةة م‬

‫ن م‬
‫م م‬
‫سا م‬
‫ن ه‬
‫قمنا انل من ن م‬
‫ن * ثه ث‬
‫ة مفي قممرارة م‬
‫ن * ثه ث‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫كي ة‬
‫طي ة‬
‫ظام ل محما ث هم أ من م ن‬
‫ع م‬
‫خل م ن‬
‫قمنا ال نعمل م م‬
‫خل م ن‬
‫ة ع مل م م‬
‫الن يط ن م‬
‫ة فم م‬

‫ة فم م‬
‫ة م‬
‫ضغ م م‬
‫ضغ م ر‬
‫ق م‬
‫ق ر‬
‫ف م‬
‫سونمنا ال نعم م م ن ر ث ن‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫ما فمك م م‬
‫شأمناه ه‬
‫ظا ر‬
‫قمنا ال ن ه‬
‫ة ه‬
‫ك الل ث م‬
‫خمر فمت ممبامر م‬
‫ن‬
‫خل ن ر‬
‫ن ال ن م‬
‫قا آ م‬
‫م‬
‫خال م م‬
‫هأ ن‬
‫ح م‬
‫ه‬
‫قي م‬
‫س ه‬
Artinya:“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari

saripati

(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang
Paling Baik.” (QS. al-Mu’minun : 12-14)
Sungguh menakjubkan fase-fase penciptaan manusia yang dijelaskan
secara detail oleh rangkaian ayat di atas,. Fase-fase itu adalah :
1) Sulalah min thin’ (saripati tanah).
Pada (QS. Al-Hajj : 5) Pada ayat ini dijelaskan yang dimaksud tanah
adalah asal-usul sperma yaitu zat makanan yang berasal dari bahan
makanan yang bersumber dari tanah.
2) Nuthfah’ (air mani).
Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti setetes yang
dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan penemuan ilmiah
yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat
2 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Lentera Hati : 2000) Vol.2 h. 102

7

kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia,
tetapi yang berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya satu. Itulah yang
dimaksud dengan nuthfah.3
3) ‘Alaqah’ (segumpal darah).
‘Alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau ‘gumpalan darah yang
membeku’ karena embrio selama fase ini berkembang melalui saat-saat
internal yang diketahui seperti pembentukan darah di pembuluh tertutup
sampai dengan putaran metabolis lengkap melalui plasenta (ari-ari).
Selama fase ini darah ditangkap di dalam pembuluh tertutup sehingga
embrio memperoleh penampakan sebagai gumpalan darah beku.
4) ‘Mudghah’ (segumpal daging).
Mudhghah berasal dari kata madhagha yang berarti mengunyah.
Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena bentuknya masih dalam
kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang dikunyah.
5) ‘Idzom (tulang atau kerangka).
Pada fase ini embrio mengalami perkembangan dari bentuk
sebelumnya yang hanya berupa segumpal daging hingga berbalut
kerangka atau tulang.
6) Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot).
Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan
lahm (daging) diibaratkan pakaian yang membungkus tulang, selaras
dengan kemajuan yang dicapai embriologi yang menyatakan bahwa selsel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi
adanya satu sel daging sebelum terlihat sel tulang
7) Insya (mewujudkan makhluk dengan meniup ruh)
3 Quraish Shihab, Op.cit, vol 9 h. 167

8

Meniupkan ruh ciptaannya yang menjadikan manusia memiliki
potensi yang sangat besar sehingga dapat melanjutkan evolusinya hingga
mencapai kesempurnaan makhluk.
3. Implikasi Pendidikan dari Proses Penciptaan manusia
Proses kejadian manusia yang telah diutarakan panjang lebar di dalam
Al-quran tersebut telah terbukti sejalan dengan apa yang dijelaskan
berdasarkan analisis ilmu pengetahuan. Namun yang terpenting dari itu
bukanlah terletak pada ditemukanya kesesuaian antara ajaran-ajaran Al-qur’an
dan ilmu pengetahuan. Namun yang terpenting dari itu bukanlah terletak pada
kesesuaian antara ajaran Al-qur’an dan ilmu pengetahuan. Tetapi yang penting
lebih dari itu adalah agar timbul kesadaran pada manusia. Bahwa dirinya
adalah makhluk yang hanya diciptakan oleh Allah SWT melalui perantara ayah
dan ibu.4
Selain dari pada itu manusia tersebut harus

mempertanggung

jawabkan perbuatanya di akhirat kelak. Kesadaran ini selanjutnya diharapkan
dapat menimbulkan sikap merasa sama dengan manusia lainnya ( egaliter ),
rendah hati, bertangung jawab, beribadah dan beramal shalih. Pemahaman
yang komprehensif tentang manusia ini disepakati oleh para ahli didik sebagai
hal yang amat penting dalam rangka merumuskan kebijakan yang berkaitan
dengan rumusan tujuan pendidikan dengan ungkapan bahwa pendidikan
adalah upaya membina jasmani dan rohani manusia dengan segenap potensi
yang ada pada keduanya secara seimbang sehingga dapat dilahirkan manusia
seutuhnya. Dan dengan demikian pula kita dapat merumuskan materi
pendidikan dengan ungkapan bahwa materi pendidikan harus berisi bahan4 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 ),
h. 46

9

bahan pelajaran yang dapat menumbuhkan, menggairahkan, membina dan
mengembangkan potensi-potensi jasmaniah

dan rohaniah tersebut secara

seimbang. Dengan pemahaman terhadap manusia

itu pula kita dapat

merumuskan metode pendidikan dengan ungkapan bahwa metode pendidikan
harus bertolak dari kecenderungan manusia seperti kita ketahui bersama
bahwa manusia memiliki kecenderungan senang meniru, mendengarkan cerita,
disanjung dan sebagainya.

5

Disamping itu, mengenai proses penciptaan manusia itu sendiri
terdapat implikasi pendidikan, diantaranya yaitu :
Menurut Muhaimin, dalam proses kejadian manusia dapat ditemukan
nilai-nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan Islam,
yaitu : 6
1) Salah satu cara yang ditempuh oleh Al-Qur’an dalam menghantarkan
manusia untuk menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara
memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya,
darimana datangnya dan bagaimana ia hidup. Hal ini sangat perlu untuk
diingatkan kepada manusia melalui proses pendidikan, sebab gelombang
hidup dan kehidupan seringkali menyebabkan manusia lupa diri.
2) Ayat-ayat

yang

berkaitan

dengan

penciptaan

secara

implisit

mengungkapkan pula kehebatan, kebesaran dan keagungan Allah Swt.
dalam menciptakan manusia. Pendidikan dalam Islam antara lain
diarahkan kepada peningkatan iman, pengembangan wawasan atau
pemahaman serta penghayatan secara mendalam terhadap tanda-tanda
keagungan dan kebesaran Allah sebagai Sang Khaliq.
5 Ibid., h. 47-48
6 Muhaimin, dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka
dasar Operasionalnya.( Bandung : Tri Genta, 1993), h. 11

10

3) Proses kejadian manusia dalam Al-Qur’an melalui dua proses dengan
enam tahap, yaitu proses fisik/materi/jasadi (dengan lima tahap),dan
proses non fisik/immateri dengan satu tahap tersendiri yaitu tahap
penghembusan/peniupan roh pada diri manusia oleh Tuhan. Pada saat itu
manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, hikmah yang hebat dan unik,
baik lahir dan batin. Untuk itu pendidikan dalam Islam, antara lain
diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani secara harmonis,
serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu dan holistik.
4) Proses kejadian manusia yang tertuang dalam Al-Qur’an ternyata semakin
diperkuat oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga memperkuat
keyakinan manusia akan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah
Swt, bukan buatan atau ciptaan Nabi Muhammad Saw. Maka dengan hal
ini pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada pengembangan
semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayatNya.
4. Hakekat Manusia dalam Konsep Islam
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam banyak memberi isyarat
tentang hakikat manusia, antara lain terdapat dalam Qs. As-Sajadah 7-9, AlHajj,5, Al-An’am,2, al-Mukminun, 12-16, At-Tin, 4-6
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa istilah yang digunakan
untuk menunjuk hakikat manusia sangat bervariasi, seperti dengan istilah
insaan, Al-naas, dan Basyr
Meskipun ketiga kata tersebut menunjukkan pada makna manusia,
namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut:

11

1) Basyar
a. Manusia sebagai Basyar
Penamaan manusia dengan kata al-Basyar dinyatakan dalam AlQur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. 7 Secara etimologi
al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat
tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara
biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibanding
rambut atau bulunya.8 Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis
manusia dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut.
Kata basyar pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi
kepada

manusia

sebagai

makhluk

biologis.

Sebagaimana

dalam

(QS.Yusuf : 31), (QS.Ali Imran : 47), (QS.Al-Kahfi : 110),
Beberapa ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep
basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia
yang mempunyai bentuk/ postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan
perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual,
bercinta, dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk
dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.
Manusia dalam konteks ini dilihat dari aspek lahiriyahnya yakni
manusia sebagai mahluk biologis yang secara esensial tidak berbeda
dengan mahluk-mahluk biotik lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia memiliki kesamaan dengan mahluk lainnya yang memiliki aspek
materi yang terikat dengan hukum-hukum natural pendeknya adalah
mahluk

yang

mengalami

pertumbuhan

7

dan

perkembangan

yang

Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m,
(Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988), h. 153-15
8 Dawam Raharjo, Lok.cit

12

bergantung pada proses alamiyah yang sesuai dengan peredaran
waktunya dan menurut hukum natural yaitu terbatas ruang dan waktu. 9
b. Implementasi Pendidikannya
Manusia dengan Istilah Basyr merupakan pribadi yang bersifat
jasmaniyah mengandung implikasi tertentu bagi pendidikan. Pertama-tama
kenyataan bahwa badan atau kejasmanian itu juga merupakan sesuatu
yang hakiki untuk manusia menandaskan bahwa pendidikan jasmani
merupakan bagian penting dalam pendidikan manusia untuk menjadi
pribadi yang utuh.
Dimensi kejasmanian penting diperhatikan dalam pendidikan,
mengandung makna bahwa dalam proses belajar mengajar dan mencari
pengetahuan, panca indera perlu dilatih untuk bisa digunakan secara
seksama.
Dalam proses pendidikan, penghargaan terhadap pentingnya badan
juga perlu diungkapkan dalam penghargaan terhadap pekerjaan tangan
sebagai bagian integral dari pendidikan. Peserta didik perlu dilatih dan
diperkembangkan keterampilannya untuk melakukan pekerjaan tangan.
Satu hal lagi berkaitan dengan kejasmanian manusia yang perlu
mendapatkan perhatian dalam pendidikan adalah keberadaan manusia di
dunia. Agar manusia bisa menghayati kemanusiaannya, mau tidak mau
harus berintegrasi dengan dunianya. Manusia semakin memanusiakan
dirinya dalam integrasinya dengan dunia, dan sebaliknya dunia semakin
dimanusiakan apabila semakin dikenal, diolah, dimanfaatkan, dan
dipelihara oleh manusia sesuai dengan kehendak Sang Pencipta, artinya
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya manusia telah diatur oleh al-Al9 Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag., Op.cit., h. 50

13

Qur’an seperti kebutuhan makan dan minurm serta kebutuhan untuk
berkeluarga.
Konsep al-basyar dalam pendidikan adalah mengajarkan bagaimana
manusia mampu memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan
penciptanya, yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan
tersier selaku makhluk biologis.

2) Al-Insan
a. Manusia sebagai Al-Insan
Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata
al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam
43 surat. Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah
lembut, tampak, atau pelupa. Menurut Quraish Shihab, manusia dalam alQur’an disebut dengan al-Insan. Kata insan terambil dari kata al-uns yang
berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut
pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil
dari kata nasiya (yang berarti lupa), atau nasa-yansu (yang berarti
bergoncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada
manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara
seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan
kecerdasannya.10
Lafadz

insan

bukan

semata-mata

aspek

insiyyahnya

yang

ditonjolkan, namun lebih ditekankan pada aspek tanggung jawab dan
beban amanat kemanusiaan. Sehingga dari 65 kali penyebutannya ada 2
10 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat
(Bandung : Mizan, 1998) h. 280

14

kali yang mengandung aspek insiyyah, yaitu pada Ar-Rahman (55:14), dan
Al-Hijr (15:26), sedangkan lainnya dalam konteks membaca dan belajar
al-alaq (96:1-5) berusaha An-Najm (53:39), berdebat Al-Kahfi (18:54) dan
memikul tanggung jawab Al-Luqman (31:14), al- ankabut (29:8).11
Kata al-Insan yang termuat dalam al-Qur’an mengacu kepada
potensi yang dimiliki oleh manusia untuk tumbuh berkembang secara fisik
serta berkembang secara mental.12 Pertumbuhan potensi mental ini yang
membedakan manusia dengan mahluk lain, dimana mahluk lain tidak
memiliki kelebihan seperti yang dimiliki oleh manusia. Mahluk yang lain
tidak dapat berpikir tentang proses kehidupan, tetapi hanya bisa mengikuti
insting sifat hayawani saja
Manusia dalam konteks ini, merupakan manusia dengan aspek
utama kemanusiaannya, yaitu kemampuan penalaran, sebagai mahluk
dengan

daya

nalar,

menjadikan

manusia

mampu

melihat

dan

membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang benar dan
apa yang salah, dan dengannya dapat membuat keputusan yang berharga
untuk dirinya dalam rangka pengembangan kemanusiaannya. Sehingga
dengan

kemampuan

ini

manusia

dapat

menemukan

berbagai

pengetahuan yang akan berguna bagi dirinya dalam menjalankan
kehidupannya di dunia dan ahirat.

13

b. Implementasi Pendidikannya

11 Syihabudin Qalybi, Lok.cit
12 Aminuddin, dkk. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, (Bogor: Ghalia
Indonesia.2002), h. 21
13 Prof. Dr. Muhmidayeli. M.Ag, Op.cit., h. 46

15

Manusia Al-Insan dan implementasi pendidikan yang dikehendaki
Allah

ialah

Al-Insan

Al-Rabbany,

manusia

sebagai

Insan

yang

berma’rifah /bertauhid kepada Allah, berpegang teguh pada agama, selalu
taat Kepada Allah, faqih, ‘alim, arif bijaksana, selalu mengkaji ilmu / kitab,
mengajarkan ilmu, mendidik manusia dan melalukan amar ma’ruf nahi
munkar.14
Hal ini bisa dilihat dari penggunaan Lafadz al-insaan dalam AlQur’an dinyatakan manusia dalam ranah yang sangat luas,yakni sebagai
berikut:15
1. Perintah menyadari asal penciptaannya, dalam al-Thariq:5. Asal bahan
manusia / Adam dari tanah liat kering /shalshal, Al-Hijir:26. Asal dari
saripati tanah /sulalah, al-Mu’minun:12. Asal bahan dari air mani / nuthfah,
Al-Nahl: 4. Diciptakan dari segumpal darah /‘Alaq, dalam al-‘Alaq: 2.
Diciptakan dalam wujud yang paling bagus, al-Tien: 4. Diciptakan dalam
keadaan lemah: An-Nisa’ 28.
2. Perintah Allah untuk bertauhid kepada pencipta, dalam al-Insan:1, Perintah
memikirkan penciptaan dirinya, Maryam,67. Perintah untuk memperhatikan
makanan, ‘Abasa: 24. Manusia akan memperoleh sesuatu karena
usahanya, al-Najem: 39. Menerima pelajaran dari Al-Rahman, al-Rahman:
3. Manusia akan rugi jika tidak iman, al-‘Ashar: 2.Wasiat untuk berbuat
baik pada orangtua dan tidak taat dalam menyekutukan Allah, alAnkabut:8. Peringatan apa yang membuat manusia durhaka, al-Anfal:6.
Gerakan jiwa manusia diketahui Allah, Qaaf: 16. Manusia akan binasa,
‘Abasa: 17. Manusia akan menuju Allahnya, Al-Insyiqaq:6
14 H. Dedeng Rosidin dan H. Endang Burhanddin, Deskripsi Al-Insaan (Bandung: Makalah
Teologi Pendidikan PPs.Uin Sunan Gunung Jati, 2007), h. 23
15 Ibid

16

3. Manusia

bercita-cita

untuk

mendapatkan

sesuatu,

al-Najem:24.

Mempunyai musuh yaitu syetan, Yusuf:5. Tidak jemu-jemu meminta
kebaikan, Fushilat:49. Berubah-ubah pendidirian, Yunus:12, Putus asa dan
kurang

berterima

kasih,

Hud:9.

Dzalim dan

mengingkari

ni‟mat,

Ibrahim:34. Sifat tergesa-gesa, Isra’:11, Susah payah /fi kabad, al-Balad:4.
Sombong, al-Isra:83. Kikir /faturan, al-Isra:100. Banyak membantah, alKahfi:54. Mendustakan kebangkitan, Maryam:66, Dzalim dan bodoh, AlAhzab:72, Lupa setelah dapat nikmat Az-Zumar:8. Berpaling saat dapat
ni‟mat banyak berdo‟a saat dapat malapetaka, Fushilat:51. Memulyakan
Allah saat dapat ni‟mat, menjelekan saat dapat keburukan, al-Fajr:15.
Pengingkar yang nyata, al-Zukhruf:15. Hendak ma‟siat terus-menerus, alQiyamah:5. Melampaui batas, al-‘Alaq:6. Dapat kesusahan karena tangan
sendiri, al-Syuraa:48
4. Manusia yang bertanggung jawab, al-Isra:13. Tidak ditolong syetan pada
hari akhirat, al-Furqan:29. Kaget saat kiyamat terjadi,Al-zalzalah:3.
Bingung saat kiyamat datang, al-Qiyamah:10. Hari akhirat dapat berita
tentang amalnya, al-Qiyamah:13. Di akhirat jadi saksi diri sendiri, alQiyamah:14. Di akhirat manusia ingat amal dunia, al-Nazi’ah:35. Diminta
pertanggungjawaban, al-Qiyamah:36.

3) An-Naas
a. Manusia Sebagai An-Nas
Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan
tersebar dalam 53 surat.27 Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi
manusia sebagai makhluk hidup dan sosial, secara keseluruhan, tanpa

17

melihat status keimanan atau kekafirannya. Kata al-Nas dipakai al-Qur’an
untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang
mempunyai

berbagai

kegiatan

(aktivitas)

untuk

mengembangkan

kehidupannya.16 Artinya manusia kesemuanya tanpa terkecuali
Konsep an-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial.
Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak
240 kali. Salah satunya dalam (QS.al-Hujurat : 13), Tak mungkin dalam
makalah singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah alNas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang memperkuat alNas menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.
Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan
karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min
al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan memperhatikan
ungkapan

ini,

kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan

beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu
terhadap Allah (2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200),
yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan
dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah
tanpa ilmu, petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah
Allah dengan iman yang lemah

(22:11;

29:10),

yang

menjual

pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian orang
yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan Allah.
Al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah hanya
dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga manusia secara
16 Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta:
LESFI, 1992), h. 25

18

sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'an dengan petunjuk atau alKitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35; 39:27; dan sebagainya).
Sebagai Manusia dalam konteks Al-Nas, adalah mahluk sosial yang
ditunjukkan dengan sikap ingin berkelompok dan bermasyarakat, menata
kehidupan dalam satu komunitas, disamping juga ingin bersahabat dengan
orang lain diluar diri dan kelompoknya serta berlaku ramah dengan
lingkungan alam di sekelilingnya.17
b. Implementasi Pendidikan
Implikasi konsep an-naas dalam pendidikan jika dilihat dari artinya
konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk sosial, sehingga dalam hal ini implikasi konsep an-naas
dalam pendidikan adalah mengajarkan bagaimana manusia hidup
dilingkungan sosial sekaligus sebagai makhluk sosial sehingga mampu
membentuk pemahaman bahwa manusia harus hidup bersaudara dan
tidak boleh saling menjatuhkan, saling hormat menghormati dan toleransi,
hidup rukun, dan cinta damai dalam keharmonisan. 18

BAB III
PENUTUP

17 Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag, Op.cit., h. 47
18 Ibid

19

A. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai aspek yang telah kami bahas, maka kami
dapat menyimpulkan bahwa hakekat manusia dalam pandangan islam yaitu
sebagai khalifah di bumi ini. Yang mampu merubah bumi ini kearah yang lebih
baik. Hal yang menjadikan manusia sebagai khalifah adalah karena manusia
memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnya, seperti akal dan
perasaan. Selain itu manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang paling baik,
ciptaan Allah yang paling sempurna.
Pendidikan

merupakan

sebuah

keniscayaan

dalam

rangka

mengemban amanat sebagai khalifah di muka bumi. Dalam implementasinya
pendidikan dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui beberapa cara. Di
lingkungan keluarga kita memerlukan orang tua sebagi pemegang utama, di
lingkungan sekolah kita memerlukan guru dimana diharapkan guru tidak
hanya memberikan ilmu tetapi juga memberikan contoh dan tauladan yang
baik, di lingkungan masyarakat kita memerlukan tokoh masyarakat (seperti:
pemimpin) sebagai pemberi contoh dan tauladan dan kajian dalm bentuk
halaqah sebagai tabiyah diri.

DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002 )
Aminuddin, dkk. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, (Bogor:
Ghalia Indonesia.2002)

20

Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan
Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999)
H. Dedeng Rosidin dan H. Endang Burhanddin, Deskripsi Al-Insaan (Bandung:
Makalah Teologi Pendidikan PPs.Uin Sunan Gunung Jati, 2007)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 2, (Lentera Hati : 2000)
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan
Umat (Bandung : Mizan, 1998)
Muhaimin, dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan
Kerangka dasar Operasionalnya.( Bandung : Tri Genta, 1993)
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m,
(Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988)
Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Cet. I. Yogyakarta:
LESFI, 1992)
Prof.Dr. Muhmidayelli, M,Ag, Filsafat Pendidikan,(Bandung: Refika Aditama, 2011)
Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi
Psikologi Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000)
Syihabuddin Qalyubi, stilistika al-Qur’an, Pengantar Orientasi Studi Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997)
Zakiah Dardjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996)

21