Hakikat HAM Manusia dan Iman dalam Panda

Mata Kuliah

Dosen Pembimbing

Agama Islam

Ridwan, S.Ag, M. Sy.

HAKIKAT HAM, MAMUSIA DAN IMAN DALAM
PANDANGAN ULAMA FIKIH, AHLI SUFI /
TAWAWUF BERDASARKAN DAHLIL YANG
QATH’I
DOSEN PEMBIMBING : Ridwan, S.Ag, M.Sy.

DISUSUN OLEH

TATUM DERIN (1788203005)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LANCANG KUNING

PEKANBARU
2017/2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat sehingga
penyusunan makalah ini dapat diselesaikan sebagai mana mestinya. Makalah ini
dimaksudkan sebagai karya ilmiah mengenai Hakikat Hak Asasi Manusia, Manusia dan
Iman, terutama menurut pandangan ulama fikih dan ahli sufi/tawawuf berdasarkan dahlil
yang qath’i, yaitu Al-Qur’an, hadis atau ilmu logika pada Mata Kuliah AGAMA ISLAM
pada Prodi English Education.
Dalam penyusunan makalah ini, saya mengucapkan terima kasih kepada dosen Saya
yaitu Bapak Ridwan berkat panduan materi dan waktu yang beliau berikan; teman-teman
sekelas saya terutama Anwar yang telah membantu saya dalam memahami materi tentang
manusia dan Hafiz Nur Rahman yang telah membantu saya mengerti tentang sufi.
Sebagai sebuah karya ilmiah, saya berharap makalah ini bermanfaat bagi siapa saja
yang tertarik dengan hakikat manusia, iman dan hak asasi yang dimilikinya. Saya sadar
bahwa sudah pasti terdapat kekurangan di berbagai bagian dalam makalah ini, terutama
dikarenakan limitasi penalaran penulis sendiri. Selain itu, saya berusaha mengutip segala
informasi dengan memeriksa dokumen sumbernya dan mengutip halaman berapa saya
menemukannya, tetapi ada beberapa kutipan yang saya dapatkan dari internet dan tidak bisa

memeriksa lebih jauh kebenaran sumber informasinya karena ketidaksediaan dokumentasinya
di internet atau perpustakaan serta keterbatasan waktu. Oleh sebab itu, demi
kesempurnaannya di masa depan, saya harapkan kritik dan saran para pembaca intelektual.

PEKANBARU, 13 APRIL 2018

TATUM DERIN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
A.

Latar Belakang...........................................................................................................................5

B.

Limitasi Makalah.......................................................................................................................5


C.

Rumusan Masalah......................................................................................................................5

D.

Tujuan Makalah.........................................................................................................................5

E.

Manfaat Makalah.......................................................................................................................5

BAB II...................................................................................................................................................6
A.

Ahli Sufi/Tasawuf......................................................................................................................7

B.


Hadis..........................................................................................................................................7
1.

Sanad/Isnad (Silsilah Rawi)...................................................................................................8

2.

Matan (Isi).............................................................................................................................8

C.

Fikih........................................................................................................................................12

D.

Ilmu Logika.............................................................................................................................12

E.

Hakikat Manusia (Human Nature)...........................................................................................13

1. Pandangan Ulama Fikih, Ahli Sufi/Tasawuf dan Kutipan Al-Qur’an mengenai Hakikat
Manusia.......................................................................................................................................13
2.

Asal Kejadian Manusia........................................................................................................19

3.

Tujuan Penciptaan Manusia.................................................................................................23

4.

Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain..................................................23

5.

Eksistensi dan Martabat Manusia.........................................................................................25

6.


Tanggungjawab sebagai Manusia.........................................................................................26

F.

Hakikat Hak Asasi Manusia (Human Rights)...........................................................................29
1.

G.

Pandangan Ulama Fikih, Ahli Sufi/Tasawuf dan Kutipan Al-Qur’an mengenai HAM........31
Hakikat Iman...........................................................................................................................37

1.

Hakikat Iman dalam Pandangan Ahli Sufi/Tasawuf.............................................................37

2.

Tingkatan Iman....................................................................................................................41


3.

6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam........................................................................................42

BAB III................................................................................................................................................43
A.

Simpulan..................................................................................................................................43

B.

Saran........................................................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................44

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti
dan masih banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya.

Yang merupakan inti dari segala hal. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan
manusia di alam ini adalah sebagai khalifah. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah
SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka
pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan kearah pengembangan
potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam
bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi
diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya
sebagai khalifah yang baik. Untuk memenuhi tujuan tersebut, dibuatlah makalah ini,
yang menjelaskan tentang hakikat manusia, hak asasi yang ia miliki beserta imannya
menurut pandangan ulama fikih dan ahli sufi/tawawuf berdasarkan dahlil yang qath’i,
yaitu Al-Qur’an, hadis atau ilmu logika.
B. Limitasi Makalah
Dikarenakan waktu yang sangat terbatas, masih banyak pendapat mengenai
hakikat manusia, HAM dan iman dari berbagai para ahli sufi/tasawuf dan ulama fikih
yang tidak bisa penulis gunakan.
C. Rumusan Masalah
Bagaimanakah hakikat hak asasi manusia, manusia dan iman, terutama
menurut pandangan ulama fikih dan ahli sufi/tawawuf berdasarkan dahlil yang
qath’i, yaitu Al-Qur’an, hadis atau ilmu logika?
D. Tujuan Makalah

Tujuan dari makalah ini adalah agar siapapun yang membacanya bisa
memahami hakikat hak asasi manusia, manusia dan iman, terutama menurut
pandangan ulama fikih dan ahli sufi/tawawuf berdasarkan dahlil yang qath’i, yaitu
Al-Qur’an, hadis atau ilmu logika dan memiliki pandangan dan berpikir jauh tentang
hal ini.

E. Manfaat Makalah
1. Mahasiswa sebagai calon pengajar peserta didik memahami lebih dalam mengenai
hakikat hak asasi manusia, manusia dan iman, terutama menurut pandangan ulama
fikih dan ahli sufi/tawawuf berdasarkan dahlil yang qath’i, yaitu Al-Qur’an,
hadis atau ilmu logika.
2. Guru sebagai fasilitator dan katalisator perkembangan baik akademik maupun
non-akademik peserta didik lebih memahami hakikat hak asasi manusia, manusia
dan iman, terutama menurut pandangan ulama fikih dan ahli sufi/tawawuf
berdasarkan dahlil yang qath’i, yaitu Al-Qur’an, hadis atau ilmu logika yang perlu
diberikan kepada murid-murid yang beragama Islam.
3. Pembaca dalam segala usia yang membaca ini dengan niat untuk mengetahui
tentang hakikat hak asasi manusia, manusia dan iman, terutama menurut
pandangan ulama fikih dan ahli sufi/tawawuf berdasarkan dahlil yang qath’i,
yaitu Al-Qur’an, hadis atau ilmu logika, dan dengan begitu dapat memahami

bagaimana Agama Islam memandang manusia.

BAB II
ISI
A. Ahli Sufi/Tasawuf
Ahli Sufi adalah pencari Tuhan dan berharap untuk bertemu dengan-Nya
dalam perjalanan menuju pertemuan dengan Allah SWT (liqa’ullah). Keikhlasan dan
kesungguhan mereka untuk mengenali diri mereka sendiri dan kemudian mengenali
Allah menjadikan mereka dipanggil sebagai para Salik (pemula jalan al-Haqq).
Mereka lebih mementingkan hal-hal akhirat daripada duniawi. Kesehatan dan
pembaikan ruh lebih diutamakan daripada kesehatan jasad dan penampilan diri luar.
Mereka berinteraksi dengan manusia bukan dengan penumpuan jasad tetapi secara
ruhi, dengan kata lain ahli sufi berbicara dengan ruh-ruh baik manusia maupun yang
mati. Mereka berbicara dengan hikmah dan nasihat mereka akan membuat manusia
menangis secara meraung dan menyesali diri.
B. Hadis
Hadis (‫ )الحديث‬artinya berbicara, perkataan atau percakapan. Hadis adalah
perkataan/sabda (qaul), perbuatan (fi’il), penetapan (taqrir) dan persetujuan dari Nabi
Muhammad saw. yang dijadikan landasan hukum (syariat) Islam, yaitu jalan yang
dilalui manusia untuk menuju Allah swt. Hadis merupakan sumber hukum kedua

setelah Al-Qur’an.
Para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada “ucapanucapan Rasulullah saw. yang berkaitan dengan hukum”. Sedangkan bila mencakup
perbuatan dan penetapan yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini disebut
dengan sunnah. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum
yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataan Muhammad pada
masa sebelum kerasulannya.

Struktur hadis terdiri atas 2 komponen:

1. Sanad/Isnad (Silsilah Rawi)
Sanad adalah rantai penutur/rawi (periwayat/masing-masing orang yang
menyampaikan) hadis. Awal sanad ialah orang yang mencatat hadis tersebut dalam
bukunya (kitab hadis); orang ini disebut mudawwin/mukharrij. Sanad merupakan
rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah.
Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Sebuah hadis dapat memiliki
beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan
sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah
sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadis
tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadis. Jadi yang perlu
dicermati dalam memahami hadis terkait dengan sanadnya ialah: Keutuhan
sanadnya, jumlahnya, perawi akhirnya.
Contoh: “Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana
diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah

bahwa dia

bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk
saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri." (hadis riwayat Bukhari). Berarti
sanad hadis tersebut adalah Al-Bukhari  Musaddad  Yahya  Syu’bah  Qatadah 
Anas  Rasulullah

Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadis. Rawi yang
tidak ada catatannya disebut maj’hul, dan hadis yang diriwayatkannya tidak boleh
diterima. Sifat-sifat rawi yang ideal adalah:
a. Bukan pendusta. Tidak dituduh sebagai pendusta.
b. Tidak fasiq (keluar dari sesuatu atau sudah terbiasa melakukan dosa dan
menganggap bahwa dosa adalah hal yang biasa dan sulit untuk
meninggalkannya, sehingga dapat membuat mereka murtad atau keluar dari
c.
d.
e.
f.

agama).
Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat.
Tidak banyak salahnya.
Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu.
Bukan ahli bid’ah (perbuatan yang dijerjakan tidak menurut contoh yang

sudah ditetapkan, seperti menambah atau mengurangi ketetapan).
g. Kuat ingatannya (hafalannya). Teliti.
h. Dikenal oleh setidaknya dua orang ahli hadis pada jamannya.

2. Matan (Isi)
Matan adalah redaksi dari hadis.

Contoh: “Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan
sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari
Rasulullah

bahwa dia bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara

kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya
sendiri." (hadis riwayat Bukhari). Berarti matan dari hadis tersebut adalah “Tidak
sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya
apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri.”

Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a. Ujung Sanad

1) Hadis Marfu’
2) Hadis Mauquf
3) Hadis Maqthu’

: Langsung pada Nabi Muhammad
: Terhenti pada para sahabat nabi
: Pada para tabi’in (penerus)

b. Keutuhan Rantai/Lapisan Sanad

Ilustrasi sanad: Pencatat hadis > Penutur 5 > Penutur 4 > Penutur 3 (tabi’ut
tabi’in) > Penutur 2 (tabi’in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah saw.
1) Hadis Musnad
: Urutan tidak terpotong
2) Hadis Mursal
: Penutur 1 tidak dijumpai/Seorang tabi’in menisbatkan
langsung kepada Rasulullah tanpa menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan
kepadanya

3) Hadis Munqath’i

: Putus pada salah satu atau dua penutur yang tidak

berurutan, selain shahabi
4) Hadis Mu’dlal
: Putus pada dua generasi penutur
5) Hadis Mu’allaq
: Putus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tak ada sanad
6) Hadis Mudallas
: 1 rawi mengatakan “…A berkata…” atau “Hadis ini dari
A…” tanpa ada kejelasan “…kepada saya…”, yakni tidak tegas menunjukkan
kepada siapa hadis itu disampaikan. Hadis ini disebut sebagai hadis yang
disembunyikan karena cacatnya riwayatnya atau sesungguhnya ada, tetapi
ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
c.

Jumlah Penutur

1) Hadis Mutawatir

: Diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad

dan tidak ada kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta.
2) Hadis Ahad : Diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai
tingkatan mutawatir. Hadis ini dibedakan menjadi 3 jenis:
a) Gharib
: Hanya ada 1 jalur sanad
b) Aziz
: Ada 2 jalur sanad
c) Masyhur/Mustafidl : Ada lebih dari 2 jalur sanad
d. Tingkat Keaslian Hadis

1) Hadis Sahih: Tingkatan tertinggi penerimaan suatu hadis karena memenuhi
persyaratan:
 Sanadnya bersambung.
 Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah
(menempuh jalan agama dengan lurus), berakhlak baik, tidak fasiq,
terjaga muruah/kehormatannya dan kuat ingatannya.
 Pada saat menerima hadis, masing-masing rawi telah cukup umur
(baligh) dan beragama Islam.
 Matannya tidak jangaal/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab
tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis (‘illat).
2) Hadis Hasan
: Sanadnya bersambung, namun mungkin ada rawi tidak
sempurna ingatannya. Namun matannya tidak cacat (syadz).
3) Hadis Dhaif: Sanadnya tidak bersambung atau ada rawi tak adil atau tak kuat
ingatannya.

4) Hadis Maudlu’

: Dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai

sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.

Jenis-jenis hadis lain yang tidak disebutkan dalam sistem klasifikasi di
atas:
1) Hadis Qudsi

: Perkataan Rasulullah mengenai firman Allah yang

diwahyukan secara langsung. Makna hadis ini berasal dari Allah, tetapi
berbeda dengan Al-Qur’an, kata-katanya adalah kata-kata Rasulullah.

2) Hadis Matruk

: Ditinggalkan atau hanya diriwayatkan oleh seorang

rawi saja dan rawi itu dituduh berdusta.
3) Hadis Mungkar : Hanya diriwayatkan oleh rawi yang lemah yang
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang
tepercaya/jujur.
4) Hadis Mu’allal/Ma’lul (yang dicacati)/Mu’tal (sakit/cacat): Cacat
tersembunyi (‘illat). Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani, hadis ini tampak
baik tetapi setelah diselidiki ternyata cacat.
5) Hadis Mudlthorib : Kacau atau diriwayatkan oleh rawi melalui beberapa
sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama atau berkontradiksi.
6) Hadis Maqlub
: Terbalik atau diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya
tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya, baik dalam
hal matan (isi) atau sanad (silsilah).
7) Hadis Gholia
: Terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya
berubah.
8) Hadis Mudraj

: Telah ditambah-tambah isinya oleh rawi dengan

penjelasan yang bukan berasal dari Rasulullah saw.
9) Hadis Syadz
: Jarang atau diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya
namun bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan rawi lainnya.
10) Hadis Mahfuzh : Hadis shahih yang lebih kuat sanadnya daripada hadis
syadz yang isinya bertentangan dengannya meskipun berderajat shahih.

C. Fikih
Fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Fikih membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan antar
manusia sesuai yang tersurat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat
empat mazhab dari Sunni yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah
menguasai ilmu fikih disebut Fakih.

D. Ilmu Logika
Keyakinan penuh orang Muslim pada kekuatan di atas yang wajib kita sembah
dan tunduk kepada-Nya tidaklah bertentangan dengan akal dan logika. Bisa disebut
juga sebagai ilmu mantiq, ilmu logika dalam Islam merupakan ilmu untuk
mempelajari metode dan hukum untuk membedakan penalaran yang benar dari yang
salah. Filsafat merupakan proses berpikir secara radikal, sistematis, dan universal
terhadap segala sesuatu yang dipersoalkan hingga memperoleh jawaban yang sebenar
benarnya. Logika yang merupakan bagian dari filsafat, logika meletakkan landasan
berfikir, menganalisis, pengetahuan manusia dan proses terjadinya pengetahuan itu
yang selidiki bukan pengetahuan tentang alam, atau kebudayaan atau mengenai
manusia, tetapi melainkan mengenai pengetahuan.
Filsafat muncul di yunani kuno sekitar abad 600 tahun SM, yang telah
melahirkan filsuf seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan lain-lain. Tidak mau kalah
Islam juga mempunyai para filsuf dan ahli ilmu pengetahuan, terutama dibidang
kedokteran seperti Abu al-Abbas al-Sarkasyi abad ke-9 M, Al-Razi pada abad ke-10
dan lain-lain. Filsuf Islam yang pertama muncul yaitu al-kindi, belakangan muncul
filsuf berikutnya al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan sebagainya. Penulis
akan memaparkan bagaimana logika didalam di dunia Islam.

E. Hakikat Manusia (Human Nature)
Hakikat adalah intisari atau esensi dari suatu konsep. Dalam agama, hakikat
kehidupan manusia di dunia nyata hanyalah untuk menyembah Yang Maha Kuasa.
Dari cerita bahwa Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada
Adam alaihi salam, umat Islam menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang
paling tinggi derajatnya.
1. Pandangan Ulama Fikih, Ahli Sufi/Tasawuf dan Kutipan Al-Qur’an
mengenai Hakikat Manusia
a. Maulawi Rumi

Maulana Jalanuddin Rumi al-Balkhi,
seorang arif besar penulis Matsnawi yang
lebih dikenal sebagai Maulawi Rumi,
adalah sastrawan Persia abad ke-7 Hijriah.
Beliau lahir di Balkh (sekarang
Samarkand), 30 September 2017 M/6
Rabiul Awwal 604 Hijriah. Kumpulan puisi
Rumi al-Matsnawi al-Maknawi
menyampaikan bahwa pemahaman atas
dunia hanya didapat melalui cinta.

“Karena itu, sementara bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada
hakikatnya engkau adalah makrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat
tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi buah. Kalau bukan
karena mengharap dan menginginkan tubuh, betapa pekebun itu akan
menanam pohon. Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan
buah (Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”
Dari segi fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena
kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita
perlu sayuran, kita pun perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita
akan semua itu secara fitri dan tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun ? Atau
makanan hanyalah sebagai penunjang saja agar kita bisa bertahan hidup ? Dan
alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup manusia?
Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya)
adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini.
Sebagaimana perkataannya Imam Ali, "Apakah kalian mengira kalian, hanya
tubuh kecil ini,padahal kalian adalah alam yang sangat besar." Aneh memang
manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat
dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong
kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan
sebuah perumpamaan: "Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah
padahal ranting itu tumbuh justru demi buah."
Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah
merupakan hasil akhir dan harapan petani penanam buah. Sedangkan alam

ibarat ranting, ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah
untuk tumbuhnya buah. Jadi yang paling penting itu adalah buahnya bukan
ranting atau pun pohon.
Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam
diciptakan merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar
manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada
Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam diciptakan untuk manusia, yang
harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai ridha Allah.
Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam,
materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar
kepada Tuhan. Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan
untuk mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita
terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita
banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. Yang
semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana
Allah berfirman, "Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling
dan menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa
kejahatan, ia (berdoa) dengan doa yang panjang."
Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam
yang senantiasa bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : "Kalau bukan
mengharap dan menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam
pohon."
Pohon hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan buah,
karena buah tidak mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat
manusia itu tidak akan bercahaya tanpa melalui perantara tubuh kasar ini,
tubuh harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan ruh,jangan sampai tubuh
dan tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.
Kalau kita pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak
bisa lepas dari alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh
rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam
diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan
pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, sepertinya pohon
tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. "Jadi

sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya
justru pohon itulah yang lahir dari buah."
Sumber:

1) Rumi. 2001. Masnavi I Ma’navi: The Spiritual Couplets of Maulana
Jalalu-‘D-Din Muhammad I Rumi, Translated by E.H. Whinfield, M.A.
Iowa: Omphaloskepsis. Halaman 262.
2) Haeri, Syekh Fadhlullah. 2001. Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta: Lentera.
Halaman 132.
3) http://sufiroad.blogspot.co.id/2011/04/sufi-road-hakikat-manusiadalam.html
b. Maulawi Rumi
“Oh sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu
dari sifat mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih
tanpa noda, lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa
perantara, tanpa guru”
Sumber: http://sufiroad.blogspot.co.id/2011/04/sufi-road-hakikat-manusiadalam.html
c. Imam Ali

“Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai
puncak setiap makrifah dan ilmu.”
Sumber: http://sufiroad.blogspot.co.id/2011/04/sufi-road-hakikat-manusiadalam.html
d. Imam Ali
“Janganlah kalian bodoh dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian,
karena kalau kalian bodoh dengan itu berarti kalian bodoh dengan segala hal.”
Sumber: http://sufiroad.blogspot.co.id/2011/04/sufi-road-hakikat-manusiadalam.html
e. Imam Ali
“Cukuplah pengetahuan seseorang itu kalau mengetahui hakikat dirinya dan
cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.”
Sumber: http://sufiroad.blogspot.co.id/2011/04/sufi-road-hakikat-manusiaf.

dalam.html
M. Dawam Raharjo
Istilah manusia yang diungkapkan dalam al -Qur’an seperti basyar, insan,
unas, insiy, ‘imru, rajul atau yang mengandung pengertian perempuan
seperti imra’ah, nisa’ atau niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa, alabrar, atau ulul-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa, dzulqurba, al-dhu’afa atau al-musta«’af-n yang semuanya mengandung petunjuk sebagai
manusia dalam hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.
Sumber: http://rumahbuku.weebly.com/bangku-i/manusia-menurut-al-quran

g. M. Quraish Shihab
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya berarti
menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena
kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya. Al-Qur’an
menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan 1 kali dalam
bentuk mu£anna (dual) untuk menunjukkan manusia dari aspek lahiriah serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Sumber: http://rumahbuku.weebly.com/bangku-i/manusia-menurut-alquran
h. Surah Al-Baqarah: 24 (The Cow)

“Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak
akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”
i. Surah An-Nisa: 1 (The Woman)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”
j. Surah Al-Haj: 5 (The Pilgrimage)

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian
dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami

keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya
Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.
dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah”.

2. Asal Kejadian Manusia
Dalam Islam, Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang diciptakan
Allah SWT. Dianugerahkan dengan akal, Allah mengangkat Adam sebagai
khalifah di bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat
“Sesungguhya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan
berfirman:”Sesungguhnya aku mengetahui apa yan tidak kamu ketahui.” (QS.AlBaqarah : 30)
Ada 5 tahap dalam penciptaan manusia yakni al-nutfah, al-‘alaqah, almudhgah, al-‘idham, dan al-lahm.
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan
segumpal darah, dan segumpal darah itu kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu kami jadikan segumpal daging. Kemudian kami jadikan dia

makhluk yang(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, pencipta yang paling
baik.” (QS. Al-Mu’minun ayat 12-14)

a. Nuthfah

Sperma lelaki dan sel telur perempuan bertemu dan terjadi pembuahan. Para
ahli embriologi menyatakan air mani mengandung:
1) Spermatozoa (sperma)
2) Campuran yang mengandung gula yang diperlukan untuk:
a) Menyediakan energi untuk spermatozoa
b) Menetralkan asam di pintu masuk rahim
c) Melicinkan lingkungan agar memudahkan pergerakan sperma
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari sari pati air yang hina (mani)." (QS. As Sajdah: 7-8).
Kata-kata sulalah (saripati) pada ayat tersebut merupakan bagian yang
mendasar atau "bagian dari satu kesatuan".
b. ‘Alaqah

Pada hari ke-7, telur yang sudah disenyawakan tertanam di dinding rahim
(qarar makin) dan nutfah berubah menjadi ‘alaqah.
" Kemudian Kami mengubah nutfah menjadi alaqah." (AlMukminun:14)
‘Alaqah secara bahasa berarti sesuatu yang mengambang/menempel; dalam
hal ini artinya embrio berbentuk segumpal darah.

"Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah." (QS. Al
'Alaq:2)
'Alaqah merupakan bahan dasar bayi yang berupa sel tunggal, dalam istilah
biologi sel ini disebut zigot sebagai "segumpal darah.
“Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah
menciptakannya, dan menyempurnakannya." (QS. Al Qiyamah: 38).
c. Mudghah

Pada minggu ke-4, mudghah yang mempunyai arti segumpal daging ini
merupakan fase yang mana berbentuk lengkung, dengan penampakan
gelembung-gelembung serta alur-alur.
Mudghah disebut sebanyak 2 kali di dalam Al-Qur’an:
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian
dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami
keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya
Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan
kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah”. (QS. al-Hajj ayat 5)
"...lalu segumpal darah itu Kami jadikan daging.’ (QS. Al
Mukminun:14)
Embrio yang tumbuh berumur 40-42 hari tidak lagi mirip dengan embrio
hewan karena sudah dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan, kulit, otot
dan tulang sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW dari Hudzaifah
ibnu Asid:

"Ketika nuthfah telah lewat 42 malam dari penciptaan, Allah Ta`ala
mengirim malaikat untuk membentuknya dan menciptakan pendengaran,
penglihatan, kulit, otot dan tulang. Kemudian malaikat bertanya: “Ya Allah,
ini akan dijadikan laki-laki atau perempuan?” Dan Allah memutuskan apa
yang dikehendaki-Nya." (HR. Muslim)
Terbentuklah otak, saraf tunjang, telinga, dll. Vilus di dalam otot-otot ibu kini
mempunyai saluran darahnya sendiri. Jantung bayi mulai berdengup dan
darahpun mengalir. Menjelang 7 minggu sistem pernafasan bayi mulai
berfungsi sendiri.

d. Idham

Pada minggu ke-5, ke-6, ke-7, tulang terbentuk lalu otot-otot akan
membungkus rangka.
"Lalu Kami mengubahkan pula mudghah itu menjadi izam da
kemudiannya Kami membalutkan Izam dengan daging." (Al-Mukminun: 14)
e. Lahm

Pada minggu ke-7, seluruh saraf, otak dan tulang belakang, organ pembiakan,
kelenjar, hati, pundi air kencing, dll terbentuk. Kaki dan tangan juga mula
tumbuh. Mata, telinga dan mulut semakin sempurna. Pada minggu ke-8
semuanya telah sempurna dan lengkap.
Setelah manusia tercipta lewat 5 tahap tersebut, ruh ditiupkan. Para ulama
sepakat bahwa peniupan ruh ini berlaku selepas 40 hari dan terbentuknya organorgan tubuh termasuk organ reproduksi. Ketika di alam rahim perkembangan
mereka sudah bukan perkembangan fisik semata tetapi telah memiliki hubungan
dengan Allah SWT melalui ikatan kesaksian.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani

Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (AlA'raf: 172)
Dengan ini entiti roh dan jasad saling bantu membantu untuk
meningkatkan martabat dan kejadian insan disisi Allah SWT. Ruh merupakan
penggerak dan pertanda dari kehidupan seorang hamba, tanpa adanya ruh maka
jasad yang telah terbentuk tidak akan sempurna.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah "Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit." (QS. Al Isra': 85)
Para ahli ilmu mendefinisikan ruh sebagai organ lembut yang berada pada
badan. Proses peniupan ruh oleh malaikat tersebut diiringi dengan proses
penentuan rezekinya, ajalnya, amalnya dan ia celaka atau bahagia. Proses
peniupan ruh pada embrio tersebut ketika berumur 120 hari sebagaimana
disebutkan pada hadits dari Abi Abdirrahman Abdillah bin Mas'ud RA. Embrio
terselubungi oleh 3 kegelapan "dzulumatin tsalats". Maksud dari 3 tabir kegelapan
itu adalah: 1) Dinding bagian dalam perut ibu, 2) Dinding uterus, dan 3) Membran
amniokorionik. Maha benar Allah Ta`ala dengan firmanNya :
“…Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian
dalam tiga kegelapan…" (QS. Az Zumar: 6)
3. Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan utama Allah SWT menciptakan manusia adalah agar manusia dapat
menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tugas utama manusia adalah
beribadah dan menyembah Allah SWt, menjalani perintahnya serta menjauhi
larangannya.
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah Aku.” (QS Adz Zariyat :56).
Sebagai khalifah dimuka bumi manusia hendaknya juga dapat menjaga
amanatnya dalam menjaga alam dan isinya. Manusia sememestinya memiliki
akhlak dan perilaku yang baik kepada sesama maupun makhluk hidup yang lain.

4. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain
Manusia tidak berbeda dengan binatang dalam kaitan dengan fungsi tubuh dan
fisiologisnya. Fungsi kebinatangan di temukan oleh naluri, pola-pola tingkah laku
yang khas, yang pada gilirannya ditentukan oleh struktur susunan syaraf bawaan.
Semakin tinggi tingkat perkembangan binatang, semakin fleksibel pola tindakannya.
Pada primata (bangsa monyet) yang lebih tinggi dapat di temukan intelegensi, yaitu
penggunaan pikiran guna mencapai tujuan yang diinginkan, sehinnag memungkinkan
binatang melampaui pola kelakuan yang telah di gariskan secara naluri. Namun
setinggi-tingginya perkembangan binatang, elemen-elemen dasar ekstensinya yang
tertentu masih tetap sama.
Manusia pada hakikatnya sama saja dengan makhluk hidup lainnya, yaitu
memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan di dukung
oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan di antara keduanya terletak pada dimensi
pengetahuan, kesadaran, dan tingkat tujuan.
Manusia sebagai salah satu makhluk yang hidup di muka bumi merupakan
makhluk yang memiliki karakter yang paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu
berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak
perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk yang lain adalah dalam
kemampuannya melahirkan kebudayaan. Hanya manusia saja memiliki kebudayaan,
sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat instinctif.
Dibanding makhluk lainnya, manusia mempunyai kelebihan. Kelebihan itu
membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kelebihan menusia adalah
kemampuan untuk bergerak di darat, di laut maupun di udara. Sedan binatang hanya
mampu bergerak di ruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang dapat hidup di
darat dan di air, namun tetap saja mempunyai kterbatasan dan tidak bisa melampaui
manusia. Mengenai kelebihan manusia atau makhluk lain di surat al-Isra ayat 70.
Disamping itu manusia memiliki akal dan hati sehingga dapat memahami ilmu
yang diturunkan Allah, berupa al-Quran. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya.
Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Oleh karena itu ilmunya
manusia di lebihkan dari makhluk lainnya.
Manusia memiliki karakter yang khas, bahkan di bandingkan makhluk lain yang
paling mirip sekalipun. Kekhasan inilah yang menurut al-Quran menyebabkan adanya
konsekuensi kemanusiaan di antaranya kesadaran, tanggung jawab, dan pembalasan. Diantara
karakteristik manusia adalah:

a. Aspek kreasi

Apapun yang ada pada tubuh manusia sudah di rakit dalam suatu tatanan yang terbaik
dan sempurna. Hal ini bisa di bandingkan dengan makhluk lain dalam aspek penciptaannya.
Mungkin banyak kesamaannya, tetapi tangan manusia lebih fungsional dari tangan sinpanse,
demikian pula organ-organ lainnya.

b. Aspek ilmu
Hanya manusia yang punya kesempatan memahami lebih jauh hakekat alam semesta
di sekelilingnya. Pengatahuan hewan hanya berbatas pasa naluri dasar yang tidak bisa di
kembangkan melalui pendidikan dan pengajaran. Manusia menciptakan kebudayaan dan
peradaban yang terus berkembang.

c. Aspek kehendak
Manusia memiliki kehendak yang menyebabkan bisa mengadakan pilihan
dalam hidup. Makhluk lain hidup dalam suatu pola yang telah baku dan tak akan
pernah berubah. Para malaikat yang mulia tak akan pernah menjadi makhluk yang
sombong atau maksiat.
d. Pengarahan akhlak
Manusia adalah makhluk yang dapat di bentuk akhlaknya. Ada manusia yang
sebelulmnya baik, tetapi karena pengaruh lingkungan tertentu dapat menjadi penjahat.
Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu lembaga pendidikan diperlukan untuk
mengarahkan kehidupan generasi yang akan datang.
Jika manusia hidup dengan ilmu selain ilmu Allah, maka manusia tidak
bermartabat lagi. Dalam keadaan demikian manusia disamakan dengan binatang.
Seperti dalam surat al- Araaf, 129 dan at-Tin, 4.
5. Eksistensi dan Martabat Manusia
Pengertian eksistensi dan martabat manusia adalah manusia diciptakan
kedunia ini oleh Allah melaui berbagai rintangan tentunya tiada lain untuk mengabdi
kepadaNya, sehingga dengan segala kelebihan yang tidak dimiliki mahluk Allah
lainya tentunya kita dapat memanfaatkan bumi dan isinya untuk satu tujuan yaitu
mengharapkan ridho dari Allah SWT dan dengan segala potensi diri masing-masing
kita berusaha untuk meningkatkan Keimanan dan Ketakwaan kita sehingga dapat
selamat Dunia dan Akhirat.

“Dan aku tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
mengabdi kepadaku.” (Q.S. Adz-Dzariyaat : 56)
Ayat diatas tersebut merupakan dalil yang berkenaan tentang keberadaan manusia di
dunia. Manusia di dunia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Bentuk pengabdiannya tersebut
berupa pengakuan atas keberadaan Allah SWT, melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi
laranganNya. Sebagai bentuk mengakui keberadaan Allah adalah dengan mengikuti Rukun
Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman terdiri dari enam perkara, yakni percaya kepada Allah
SWT, Malaikat, Nabi-nabi Allah, Kitab-kitab Allah, percaya kepada Hari Kiamat dan percaya
terhadap Takdir (Qadha dan Qadar) Allah SWT. Sebagai wujud keimanan terhadap Allah
SWT, Allah SWT menyatakan bahwa manusia tidak cukup hanya meyakini didalam hati dan
diucapkan oleh mulut, tetapi manusia harus melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

6. Tanggungjawab sebagai Manusia
Dalam agama islam, ada 6 peranan yang merupakan kewajiban dengan
dasar hakikat manusia:
a. Sebagai Hamba Allah
Hakikat manusia yang utama adalah sebagai hamba atau abdi Allah SWT.
Manusia wajib mengabdi dengan cara menjalani segala perintahnya dan menjauhi
segala larangannya, menjalankan ibadah seperti: shalat wajib, puasa
ramadhan (baca puasa ramadhan dan fadhilahnya), zakat (baca syarat penerima
zakat dan penerima zakat), haji (syarat wajib haji) dan melakukan ibadah lainnya
dengan penuh keikhlasan dan segenap hati. Dalam menjalankan segala apapun
dengan ikhlas, sesungguhnya janganlah melakukannya dengan mengharapkan
imbalan berupa pahala apalagi hal material, tetapi dilakukan dengan niat yang
murni untuk saling menolong dan berusaha untuk menjadi hamba yang baik.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus…”
(QS:98:5).
b. Sebagai Al-Nas
Dalam al- Qur’an manusia juga disebut dengan al-nas. Kata al-nas
cenderung mengacu pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia
lain atau dalam masyarakat. Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu
pengetahuan, adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan

manusia lainnya (untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ini bisa kita pelajari
lebih dalam tentang keutamaan menyambung tali silaturahmi).
“Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan
(mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah
hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.” (QS: An Nisa:1).
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi
Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (QS: Al Hujurat:13).
c. Sebagai Khalifah Allah
Sebagaimana yang diimplikasi dari ditetapkannya fungsi Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup bagi umat manusia, manusia diciptakan sebagai khlaifah atau pemimpin
di muka bumi. Sebagai seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai
pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…” (QS
Shad:26).
d. Sebagai Bani Adam
Manusia disebut sebagai Bani Adam (keturunan Adam) agar tidak terjadi
kesalahpahaman bahwa manusia merupakan hasil evolusi kera sebagaimana yang
disebutkan oleh Charles Darwin. Islam memandang manusia sebagai bani Adam untuk
menghormati nilai-nilai pengetahuan dan hubungannya dalam masyarakat.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah
yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
semoga mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan

sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : Al araf 2627).
e. Sebagai al- Insan
Manusia sebagai Al insan merujuk pada kemampuannya dalam menguasai ilmu
dan pengetahuan serta kemampuannya untuk berbicara untuk hal-hal yang baik (hal ini
bisa dipelajari lebih lanjut dalam subjek hukum menuntut ilmu).
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu
kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS:
Al Hud:9).

f. Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)
Manusia juga disebut sebagai makhluk biologis atau al basyar karena
manusia memiliki raga atau fisik yang dapat melakukan aktifitas fisik, tumbuh,
memerlukan makanan, berkembang biak dan lain sebagainya sebagaimana ciri-ciri
makhluk hidup pada umumnya. Sama seperti makhluk lainnya di bumi seperti
hewan dan tumbuhan, hakikat manusia sebagai makhluk biologis dapat berakhir
dan mengalami kematian, bedanya manusia memiliki akal dan pikiran serta
perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Segala hakikat manusia adalah fitrah yang diberikan Allah SWT agar
manusia dapat menjalankan peran dan fungsinya dalam kehidupan. Manusia
sendiri harus dapat memenuhi tugas dan perannya sehingga tidak menghilangkan
hakikat utama penciptaannya. (hal ini bisa dipelajari lebih lanjut dalam subjek
fungsi agama dalam kehidupan manusia dan hidayah Allah kepada manusia)

F. Hakikat Hak Asasi Manusia (Human Rights)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
Tonggak berlakunya HAM internasional ialah pada Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Disini tonggak
deklarasi universal mengenai hak asasi manusia yang mengakui hak setiap orang
diseluruh dunia. Deklarasi ini ditanda tangani oleh 48 negara dari 58 negara anggota
PBB dan disetujui oleh majelis umum PBB. Perumusan penghormatan dan pengakuan
norma-norma HAM yang bersifat universal, nondiskriminasi, dan imparsial telah
berlangsung dalam sebuah proses yang sangat panjang.
Organisasi Islam internasional yang terlembagakan dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi HAM.
Kemudian Islam mematahkan bahwa dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas
tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004; 91). Fakta ini mematahkan bahwa Islam
tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Ini dibuktikan oleh adanya piagam
madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke
kota Madinah. Dalam dokumen madinah atau piagam madinah itu berisi antara lain
pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi,
umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris,
2004;102). Dalam dokumen itu dapat disimpulkan bahwa HAM sudah pernah
ditegakkan oleh Islam.
Tetapi ada perbedaan mendasar antara konsep HAM dalam Islam (al-huquq
al-insaniyyah fil islam) dan HAM yang diterima dunia internasional. Dunia Barat
percaya bahwa pola tingkah laku hanya ditentukan oleh hukum-hukum Negara atau
sejumlah otoritas demi tercapainya keamanan publik dan perdamaian universal dan
manusia dilihat sebagai pemilik sepenuhnya hak-hak dasar, sementara HAM dalam
Islam didasarkan pada hakikat manusia sebagai khalifah Allah di muka Bumi dan

manusia dilihat sebagai makhluk yang dititipi hak-hak dasar oleh Allah dan karena itu
mereka wajib mensyukuri dan memeliharanya.
HAM adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan
standar tertentu dari perilaku manusia, dan merupakan sesuatu yang diangkat oleh
Nabi Muhammad SAW. Misi Rasulullah adalah rahmatan lil alamin, di mana
kemaslahatan / kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam
semesta. Elaborasi (pengejawantahan) misi di atas disebut sebagai ushul alkhams (lima prinsip dasar) yang melingkupi:
 Hifdhud dîn memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk
memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam
juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang
bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan
beragama, dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan
agama lainnya.
 Hifdhun nafs wal ’irdh memberikan jaminan hak atas setiap jiwa
(nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam
hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar
(hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan,
bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.
 Hifdhul ‘aql adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi,
kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan
penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang
terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan
ekstasi, minuman keras dan lain-lain.
 Hifdhun nasl merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap
individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan
keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Free
sex, zinah menurut syara’, homoseksual, adalah perbuatan yang
dilarang karena bertentangan dengan hifdh al-nasl.
 Hifdhul mâl dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta
benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan
mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi,
monopoli, oligopoli, monopsoni dan lain-lain.
Lima prinsip dasar (al-huquq al-insaniyyah) di atas sangatlah relevan dan
bahkan seiring dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Di samping itu,
Islam sebagai agama tauhid, datang untuk menegakkan kalimat Lâ ilâha illallâh, tiada

Tuhan selain Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang secara transendental, dengan
menisbikan tuntutan