kesalahan ejaan dan morfologi

KESALAHAN EJAAN DAN MORFOLOGI dalam
MENULIS PUISI SISWA KELAS V-A SDN PINANG
RANTI 09 PAGI JAKARTA TIMUR

Oleh :
ILA NAFILAH,
S.S., M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA dan SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA dan SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2012

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, peneliti lafadzkan kepada Allah SWT atas
segala

rahmat

dan


hidayah-Nya,

sehingga

penelitian

ini

dapat

terselesaikan dengan baik. Selawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabi dan Rasul junjungan Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat,
dan segenap umatnya hingga akhir zaman.
Penelitian ini berisi tentang analisis kesalahan berbahasa, khususnya
kesalahan dalam ejaan dan morfologi siswa kelas V SD di dalam menulis
puisi.
Penelitian ini bertujuan agar mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia,
khususnya yang sedang mengambil mata kuliah analisis kesalahan
berbahasa mengetahui apa itu hakikat analisis kesalahan berbahasa,

hakikat morfologi, hakikat proses morfologis, hakikat kesalahan ejaan,
hakikat keterampilan menulis, hakikat pemelajaran menulis, hakikat
apresiasi sastra, dan hakikat puisi.
Penelitian ini juga bermanfaat bagi para dosen dan peneliti lainnya
agar menemukan tidak saja kesalahan ejaan dan morfologi, tetapi juga
menemukan kesalahan dalam fonologi, sintaksis, dan semantik di dalam
menulis puisi.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan di dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti berharap masukan dan kritik baik
dari mahasiswa maupun rekan-rekan sesama dosen demi kesempurnaan
penelitian ini.
Akhir kata, peneliti berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat
bagi pemelajaran yang akan datang, khususnya mengenai analisis
kesalahan berbahasa.

i

Jakarta, Maret 2012
Peneliti
ILA NAFILAH, S.S., M.Pd


DAFTAR ISI
ii

KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah .............................................................. 7
1.3 Pembatasan Masalah ........................................................... 8
1.4 Perumusan Masalah ............................................................. 8
1.5 Tujuan Penelitian .................................................................. 9
1.6 Manfaat Penelitian ................................................................ 9
BAB II

LANDASAN TEORITIK
2.1 Hakikat Analisis Kesalahan Berbahasa ............................. 10

2.2 Hakikat Morfologi ............................................................... 14
2.3 Hakekat Morfem, Alomorf, dan Kata .................................. 14
2.3.1 Morfem .................................................................... 14
2.3.2 Alomorf .................................................................... 15
2.3.3 Kata ......................................................................... 16
2.4 Hakekat Proses Morfologis ................................................ 16
2.4.1 Afiksasi .................................................................... 17

2.4.1.1

Prefiks ..........................................................

2.4.1.2

17
Infiks .............................................................

2.4.1.3

18

Sufiks ............................................................

2.4.1.4

18
Konfiks ..........................................................

2.4.1.5

iii
18
Sirkumfiks .....................................................

2.4.1.6

2.4.1.7

19
Interfiks .........................................................
i

19
Transfiks .......................................................

19
Hakikat Kesalahan Ejaan ................................................... 19
Hakikat keterampilan Menulis ............................................ 25
Hakikat Pembelajaran Menulis .......................................... 30
Hakikat Pemelajaran Apresiasi Sastra ............................... 32
Hakikat Puisi ...................................................................... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian .................................................................. 39
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 39
3.3 Metode Penelitian .................................................................40
3.4 Fokus Penelitian ....................................................................40
3.5 Pertanyaan Penelitian ...........................................................40
3.6 Data dan Sumber Data ..........................................................41
3.7 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 41
3.8 Teknik Analisis Data ..............................................................41
2.5
2.6

2.7
2.8
2.9

BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Data ......................................................................43
4.2 Temuan Penelitian ................................................................47
iv
4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesalahan .................... 47
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan ............................................................................. 49

5.2 Saran .....................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
v

1.1. Latar Belakang Masalah

Menulis dan membaca sebagai aktivitas komunikasi ibarat dua sisi
mata uang yang saling melengkapi. Kebiasaan menulis tidak mungkin
terlaksana tanpa kebiasaan membaca. Meskipun belum tentu membawa
kebiasaan menulis, kebiasaan membaca akan memperluas cakrawala
pengetahuan dan wawasan. Pengetahuan dan wawasan yang luas akan
menjadi dasar kegiatan menulis. Kebiasaan menulis tidak akan bermakna
tanpa diikuti oleh kebiasaan membaca.
Meskipun telah disadari bahwa penguasaan bahasa tulis mutlak
diperlukan dalam kehidupan modern, dalam kenyataannya pengajarn
keterampilan

menulis

kurang

mendapatkan

perhatian.

Pelajaran


mengarang sebagai salah satu aspek dalam pengajaran bahasa

1

Indonesia kurang ditangani sungguh-sungguh. Akibatnya, keterampilan
menulis para siswa kurang memadai. Keterampilan menulis merupakan
salah satu bentuk keterampilan berbahasa yang sangat penting bagi
siswa, disamping keterampilan menyimak, berbicara dan membaca, baik
selama mereka mengikuti pendidikan diberbagai jenjang dan jenis sekolah
maupun dalam kehidupannya nanti dimasyarakat. Keberhasilan pelajar
dalam mengikuti kegiatn belajar mengajar di sekolah banyak ditentukan
oleh kemampuannya dalam menulis. Oleh karena itu, pembelajarn

2

menulis mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam
pendidikan dan pengajaran. Keterampilan menulis harus dikuasai oleh
anak sedini dalam kehidupannya di sekolah. 1
Saat ini pengajaran bahasa Indonesia masih didominasi oleh aspek

pengetahuan. Para pelajar lebih banyak belajar tentang bahasa, bukan
belajar berbahsa sehingga kemampuan para siswa untuk menyusun
sebuah karya pikir berbentuk tulis ataupun lisan belumlah memadai.
Bahkan, bentuk-bentuk tes atau ujian pun didominasi oleh tes pilihan
ganda. Hal itu tidak hanya untuk mengevaluasi aspek pengetahuan siswa,
tetapi juga diarahkan pada kemampuannya berbahasanya. Guru jarang
memberi tugas dalam bentuk karya tulis atau laporan lisan yang dapat
mengungkapkan kreativitas berbahasa Indonesia par siswanya.
Mengingat begitu pentingnya keterampilan menulis tersebua dan
manfaatnya bagi hari depan siswa, apalagi dalam era reformasi yang
serba cepat ini. Bahasa sebagai alat informasi tulis, pemerintah melalui
lembaga pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi mewajibkan
para peserta didiknya memiliki keterampilan menulis dengan baik.
Disamping itu, keterampilan menulis juga sangat berguna dalam
kehidupan mandiri di masyarakat luas. Jika dilihat dari mayoritas lamaran
pekerjaan atu lapangan kehidupan modern yang berkualitas, seseorang
selalu dituntut memiliki keterampilan dalam menulis.
Menulis merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki
pembelajar bahasa, karena menulis diperlukan dalam kehidupan seharihari, baik kehidupan di rumah, di sekolah dan di tempat kerja. Dalam
1


Imam Syafi’I, Terampil Berbahasa Indonesia 1 (Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), p. 52.

3

kehidupan sehari-hari. Kegiatan menulis hampir tidak pernah terlewatkan,
dari mulai membuat catatan kecil untuk rumah tangga, menulis pesan
telepon, menulis surat dan sebagainya. Di sekolah siswa pasti melakuka
kegiatan

menulis

yang

berupa

catatan,

menjawab

pertanyaan,

mengerjakan tugas, menjawab tes (ujian), dan lain-lain. Di dunia kerja,
demikian juga, kegiatan menulis pasti dilakukan sehari-hari.
Beberapa penyebab kekurang berhasilan siswa dalam menulis
karena penyajian materi yang kurang menarik, siswa menganggap enteng
mata pelajaran bahasa Indonesia karena siswa merasa mampu jadi tidak
ad gunanya pelajari. Untuk meningkatkan kualitas menulis para siswa,
perlu dilakukan perbaikan dan pembenahan dalam penyajian materi,
pemilihan materi, sistem pengajarannya dan sistem penilaiannya.
Pembelajaran sastra sejak dulu hingga sekarang, selalu menjadi
permasalahan. Tentu saja permasalahan yang bersifat klasik tetapi hangat
atau up to date umumnya yang selalu dikambinghitamkan adalah guru
yang tidak menguasai sastra, murid-murid yang tidak apresiatif, dan bukubuku penunjang yang tidak tersedia di sekolah. Padahal pembelajaran
sastra tidak perlu dipermasalahkan jika seseorang guru memiliki strategi
atu kiat-kiat yang dapat dijadikan sebagai alternatif.
Sastra dalam pembelajaran dapat membantu

pengajaran

kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan empat keterampilan
dalam berbahasa yaitu : membaca, menulis, berbicara, dan menyimak.
Sastra

dalam

nusantara

pembelajaran

maupun

juga

dapat

mancanegara,

memperkenalkan
mempertajam

budaya
imajinasi,

mengembangkan cipta, rasa dan karsa, memperluas wawasan kehidupan,

4

maupun pengetahuan-pengetahuan lain. Karya seni sebagai salah satu
materi ajar kesusastraan dapat disajikan secara terpadu dengan bidang
kebahasaan

maupun

ilmu-ilmu

lain

seperti

pendidikan,

psikologi,

lingkungan, teknologi, budaya, dan sejarah.
Pembelajaran sastra untuk siswa Sekolah Dasar pada kurikulum
2004 masuk pada ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia, yang
pada pelaksanaannya lebih mengkhususkan pada kegiatan berapresiasi
sastra.

Fungsi

bahasa

yang

utama

adalah

sebagai

alat

untuk

berkomunikasi. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan
intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang
keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Fungsi tersebut
didukung oleh fungsi sastra sebagai penghalusan budi, peningkatan
kematangan emosional dan kepedulian social, penumbuhan apresiasi
budaya dan penyaluran gagasan, imajinasi, dan ekspresi secara kreatif
dan konstruktif, baik secara lisan maupun tulisan. Pembelajaran sastra
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati,
menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan tentang sastra
hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra. 2
Tujuan pembelajaran menulis puisi (dan atau keterampilanketerampilan berbahasa lainnya) tidak mudah dicapai karena dalam
proses pembelajarannya pastilah dijumpai banyak permasalahan. Salah
satu permasalahan itu berupa kesalahan-kesalahan berbahasa oleh para
pembelajar yang bila tidak segera diidentifikasi akan mengakibatkan
2

Kurikulum 2004 : Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah (Jakarta : Depdiknas, 2003), pp. 11-12

5

kendala berkelanjutan dalam proses pembelajaran bahasa. Apabila hal ini
terjadi belum diidentifikasikannya kesalahan berbahasa secara tepat dan
sistematis,

dikhawatirkan

terjadi

ketidaktepatan

dalam

pemilihan

pembelajaran yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran
bahasa tersebut.
Analisis kesalahan biasanya dikenakan pada bahasa yang sedang
dipelajari atau bahasa target (B2). Analisis kesalahan bermanfaat sebagai
sarana peningkatan pengajaran bahasa. Analisis kesalahan bermanfaat
sebagai sarana peningkatan pengajaran bahasa. Analisis kesalahan dapat
menumbuhkembangkan wawasan guru dalam mengajar dan para penulis
buku teks bahasa Indonesia dalam mengatasi kesulitan-kesulitan bahasa
yang dihadapi para pembelajar bahasa. Banyak sedikitnya penemuan
kesalahan

dapat

membantu

mengatur

materi

pengajarn

dapat

dialokasikan dan perencanaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Pada
saat program pengajaran berlangsung, analisis kesalahan berbahasa
tampil dalam skala terbatas. Meskipun demikian, dapat mengungkapkan
apakah program pengajarn bahasa yang sedang dikerjakan guru itu
berhasil atau gagal. Jika sekiranya gagal, perlu dipikirkan bagaimana
pengobatannya (remidi).
Analisis kesalahan

berbahasa

berdampak

positif

terhadap

pembelajaran bahasa. Bahasa sebagai perangkat kebiasaan dipakai
setiap orang sebagai media komunikasi yang sangat kompleks. Pada
umumnya pemakai bahasa dalam berbahasa cenderung menggunakan
jalan pikirannya tanpa mempertimbangkan aturan-aturan yang ada dalam

6

bahasa. Tetapi, di samping itu ada juga pembelajar bahasa yang
memperhatikan kaidah-kaidah atau aturan bahasa yang berlaku sehingga
menghasilkan konsep sesuai dengan struktur bahasa yang dipelajari.
Cabang linguistik atau bahasa di antaranya fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantic. Dari penjelasan di atas, kesalahan yang perlu
dianalisis mencakup tataran tata bunyi (fonologi), tata bentuk kata
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan tataran tata makna (semantik).
Analisis kesalahan bidang tata bunyi berhubungan dengan kesalahan
ujaran atau pelafalan, grafemik, pungtuasi, dan silabisasi. Analisis
kesalahan dalam tata bentuk tentu saja kesalahan dalam membentuk kata
terutama pada afiksasi. Analisis kesalahan dalam bidang tata kalimat
mengyangkut urutan kata, kepaduan, susunan frase, kepaduan kalimat,
dan logika kalimat. Dan yang berikutnya analisis kesalahan bidang
semantik berkaitan dengan ketepatan penggunaan kata, frase atau
kalimat yang didukung oleh makna baik makna gramatikal maupun makna
leksikal.
Siswa kelas V Sekolah Dasar dalam hal kegiatan menulis, khususnya
pada pembelajaran menulis puisi seringkali menemukan kesalahan pada
bidang bentukan kata atau yang dikenal dengan morfologi. Hal inilah yang
melatarbelakangi peneliti untuk memfokuskan penelitiannya dengan judul
“Kesalahan Morfologi Dalam Menulis Puisi Siswa Kelas V-A SDN Pinang
Ranti 09 Pagi Jakarta Timur.”
1.2. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

7

(1) Bagaimana bentuk kesalahan gramatikal dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
(2) Bagaimana bentuk kesalahan ejaan dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
(3) Bagaimana bentuk kesalahan fonologi dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
(4) Bagaimana bentuk kesalahan sintaksis dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
(5) Bagaimana bentuk kesalahan morfologi dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
(6) Bagaimana bentuk kesalahan semantik dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
(7) Faktor apa saja yang menyebabkan kesalahan (gramatikal, fonologi,
sintaksis, morfologi, dan semantik) dalam menulis puisi yang dilakukan
oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
1.3. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di

atas, maka peneliti

membatasi

masalahnya hanya pada kesalahan morfologi serta factor-faktor apa yang
menyebabkan terjadinya kesalahan morfologi.
1.4. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1) Bagaimana bentuk kesalahan morfologi dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 PAgi ?
(2) Bagaimana bentuk kesalahan ejaan dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?

8

(3) Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kesalahan morfologi
dalam menulis puisi yang dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang
Ranti 09 Pagi ?

1.5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
(1) Mengetahui bentuk kesalahan morfologi dalam menulis puisi yang
dilakukan oleh siswa kelas V-A SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?
(2) Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan

morfologi dalam menulis puisi yang dilakukan oleh siswa kelas V-A
SDN Pinang Ranti 09 Pagi ?

1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan
manfaat praktis.
(1) Manfaat teoritis, penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya
khasanah perkembangan keilmuan, khususnya pembelajaran
menulis puisi di SDN Pinang Ranti 09 Pagi-Jakarta Timur. Selain

9

itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi
peneliti, guru dan siswa dalam kajian bahasa Indonesia.
(2) Adapun manfaat praktis yang diharapkan muncul dari penelitian ini
adalah teridentifikasinya kesalahan-kesalahan morfologi dalam
menulis puisi siswa di SDN Pinang Ranti 09 Pagi-Jakarta Timur,
serta bagaimana mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut.

BAB II
LANDASAN TEORITIK

2.1.

Hakikat Analisis Kesalahan Berbahasa
Menurut james, kesalahan berbahasa adalah penyimpangan yang

dilakukan tanpa disengaja dan kesalahan itu tidak bisa diperbaiki oleh
penutur itu sendiri, hal ini dikarenakan ketidaktahuan pembelajar itu
sendiri3
George berpendapat bahwa.. an error is an “unwanted form”’
specifically, a form which a particular course designer or teacher does not
want, _ _”.4 Kesalahan adalah sebuah bentuk yang tidak diinginkan,
khususnya, bentuk yang tidak diinginkan oleh para perancang kursus dan
para guru. Hal ini berkaitan erat dengan adanya standar-standar tertentu
yang telah digariskan oleh guru dan penyusun kurikulum. Penyimpangan

33

Carl James. Error In Language Learning and Use (London : Longman, 1998), p.8
H.V.George, Common Errors in Language Learning ; Insight From English (Massachusetts :
Newbury House Publiser, 1972), p.2
4

10

atas standar-standar tersebut berarti melakukan kesalahan dan harus
segera diantisipasi dan diatasi.
Sebagai langkah antisipasi, George mengajukan dua alternatif, (1)
memberi waktu khusus untuk melakukan koreksi atas kesalahankesalahan, (2) mengarahkan sikap dan perasaan pembelajar pada
bentuk-bentuk standar bahasa target. Apabila langkah antisipasi gagal
dan terjadi kesalahan berbahasa, maka diperlukan langkah-langkah
remedy yang meliputi: (1) mengidentifikasi dan mendaftar bentuk-bentuk
yang tidak diinginkan, (2) menyeleksi

sejumlah bentuk yang tidak

diinginkan tersebut untuk prosesremedi. (3) mempelajari setiap kesalahan
yang sudha diseleksi sebagai bahan
pertimbangan penyiapan bahan
10
untuk pembembelajaran ulang dengan pendekatan yang berbeda
terhadap bentuk-bentuk yang diinginkan. (4) menentukan organisasi dan
strategi pembelajaran dalam kelas sehingga hasil remedy ini dapat
diaplikasikan, (5) memilih dan membuat materi remedi untuk kesalahankesalahan khusus, dan (6) menerapkan hasil-hasil tersebut dalam proses
pembelajaran dan aktivitas kelas secara terus-menerus dengan tetap
memperhatikan kesalahan-kesalahan yang terjadi.

5

Norish memandang perlunya membedakan tiga tipe penyimpangan
berbahasa yang berbeda. Tiga hal itu meliputi error, mistake, dan lapse.6.
Error atau kesalahan, merupakan penyimpangan berbahasa secara
sistematis dan terus-menerus sebagai akibat belum dikuasainya kaidah5
6

Ibid., p. 80
John Norrish, Language Learners and Theirs Errors. London : The Macmillan Press, 1983), pp.6-3

11

kaidah atau norma-norma bahasa target. Mistake atau kekeliruan, terjadi
ketika

seseorang

pembelajar

tidak

secara

konsisten

melakukan

penyimpangan dalam berbahasa. Kadang-kadang pembelajar dapat
mempergunakan kaidah/norma yang benar tetapi kadang-kadang mereka
membuat kekeliruan dengan mempergunakan kaidah/norma dan bentukbentuk yang keliru. Lapse, selip lidah, diartikan sebagai bentuk
penyimpangan yang diakibatkan karena pembelajar kurang konsentrasi,
rendahnya daya ingat atau sebab-sebab lain yang dapat terjadi kapan
saja dan pada siapapun.
Membicarakan beberapa jenis kesalahan, Edge dalam James
membagi kesalahan menjadi tiga jenis, yaitu : slips, dan attempts,
pembagian yang dibuat berdasarkan ilmu pengetahuan guru terhadap
pelajarannya.

7

Selain membedakan berbagai bentuk penyimpangan berbahasa,
Norish

juga

menyatakan

bahwa

kesalahan-kesalahan

berbahasa

pembelajar dapat dijadikan alat bantu yang positif dalam pembelajaran
karena dapat dipergunakan oleh pembelajar maupun pengajar dalam
mencapai tujuan pembelajaran bahasa … “some good pedagogical
reasons have been suggested for regarding errors made bay learners of
foreign language leniently but the most important reason is that the error
may actually be a necessary part of learning a language..” 8

7
8

Carl James, Op.Cit., p.80
John Norrish., Op.Cit., p.6

12

Berkaitan dengan kesalahan dalam menulis, Norish berpendapat
bahwa penting untuk mendorong pembelajar dapat menyusun kalimatkalimat mereka secara tertulis sehingga kesalahan-kesalahan yang dibuat
hendaknya direduksi bahkan dihilangkan sama sekali…”it was vital that
people should be educated to construct grammatically acceptable
sentence and be able to spell correctly…because of this, a great deal of
attention has traditionally been given to writing and error in the medium
tend to be regarded as indicative of some type of failure.” 9
Untuk itu, Norish mengajukan beberapa alternatif koreksi kesalahan
dalam menulis antara lain, (1) memeriksa pekerjaan dalam kelompok atau
secara berpasangan, (2) melakukan aktivitas dengan keahlian terpadu, (3)
mempergunakan kode-kode koreksi untuk menandai pembetulan atas
kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar.
Sementara itu, Lightbown dan Spada memberikan alternatif usulan
pembelajaran bahasa kedua/asing yang memungkinkan tereduksinya
kesalahan-kesalahan berbahasa. Usulan itu dirumuskan dalam kalimatkalimat imperatif sebagai berikut.
1. Get it right beginning, betul/benar sejak awal,
2. Say what you mean and mean what you say, katakanlah apa

yang anda maksudkan, dan artikan apa yang anda katakana,
3. Just listen … and read, dengarkanlah dan baca
4. Teach what is teachable, ajarkanlah apa yang bisa diajarkan
5. Get it right in the end, betul/benar di akhir 10

9

Ibid. p.65
Patsy M. Lightbown dan Nina Spada. How Languages Are Learned (Revised Edition) (Oxford :
Oxford University Press, 1999), pp.117-152
10

13

Rumusan-rumusan

diatas

diajukan

untuk

melokalisir

atau

mengeliminir kesalahan-kesalahan yang mungkin muncul didalam kelas
pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing.

2.2.

Hakikat Morfologi
Menurut Ramlan dalam Prawirasumantri, morfologi adalah bagian

dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk-beluk
struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap
golongan dan arti kata. 11
Kridalaksana mengatakan bahwa morfologi dapat dipandang
sebagia subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi
kata. 12
Dari pendapat pakar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
morfologi merupakan bagian dari subsistem linguistik dan menyelidiki dan
mempelajari seluk beluk struktur kata, bagian-bagiannya, serta cara
pembentukannya.

2.3.

Hakikat Morfem, Alomorf, dan Kata
2.3.1. Morfem

11

Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa
Sunda. (Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1979), p. 8
12
Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1996), p. 10

14

Morfologi mengenal unsur dasar atau satuan terkecil dalam wilayah
pengamatannya. Satuan gramatikal yang terkecil itu disebut morfem.

13

jadi, morfem menurut Kentjono, merupakan satuan hasil abstraksi wujud
14

lahirlah atau bentuk-bentuk fonologisnya.

Bentuk-bentuk fonologis

sebuah morfem dapat dipandang sebagai anggota-anggota atau wakil
morfem tersebut.
Nida dalam Prawirasumantri mengatakan bahwa morfem adalah
bentuk linguistik yang terkecil yang mengandung makna.

15

Pendapat tersebut sejalan dengan Chaer yang mengatakan
bahwa : “… secara kualitas ada satuan lain yang fungsional yang disebut
morfem. Sebagai satuan fungsional, morfem ini merupakan satuan
gramatikal terkecil yang mempunyai makna.” 16
Dari pendapat pakar mengenai morfem, maka dapat disimpulkan
bahwa morfem adalah satuan kata terkecil yang mempunyai makna.

2.3.2. Alomorf
Morfem ada yang hanya mempunyai satu struktur fonologis yang
fonem-fonem

banyak

serta

urutannya

selalu

tetap

:

misalnya,

mem-/mam-/,men-/man-/,meny-/man-/, meng- / man-/, dan me-/ma-,
misalnya

pada

membawa/membawa/,

mendengar/mendanar/,

menyuruh/menurun/, menggali/mengali/, dan malerai/melarai/.
13

Djoko Kentjono, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Lingustik, Penyunting Kushartanti,
Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005). p. 144
14
Ibid. p.146
15
Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Op.Cit., p.9
16
Abudur Chaer, Linguistik Umum (Jakarta : Rineka Cipta, 1994)., p.146

15

Menurut

Ramlan

dalam

Prawirasumantri,

bentuk-bentuk

mem-/mam-/, men-/man-/, meny-/man-/, meng-/man-/, dan me-/ma-/
semuanya merupakan alomorf dan morfem meN.17 Sedangkan menurut
Chaer, alomorf dari morfem meN- itu antara lain : me-/ma-/, mem- /
mam-/, men-/man-/, meny-/man-/, meng-/man-/, dan menge-/mana-/
seperti pada mengetik / manatik/.

18

2.3.3. Kata
Kata menurut Kentjono merupakan satuan gramatikal bebas yang
terkecil.

19

Hal senada juga diungkapkan oleh Chaer yang mengatakan

bahwa batasan kata yang dibuat Bloomfield adalah satuan bebas terkecil
(a minimal free form).

20

Kata dapat terdiri dari sebuah morfem bebas atau terdiri dari paling
sedikit sebuah morfem bebas dengan sebuah atau beberapa buah
morfem terikat. Menurut Chaer, morfem bebas adalah morfem yang tanpa
kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan.

21

sebaliknya, yang

dimaksud morfem terikat menurut Chaer adalah morfem yang tanpa
digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. 22

2.4.

17

Hakikat Proses Morfologis

Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Loc.Cit
Abdul Chaer, Op.Cit., p.150
19
Djoko Kentjono, Op.Cit., p.151
20
Abdul Chaer, Op.Cit., p.163
21
Ibid., p.151-152
22
Ibid, p.152
18

16

Menurut Ramlan dalam Prawirasumantri, proses morfologis ialah
proses pembentukan kata-kata dan bentuk lain yang merupakan bentuk
dasarnya.
bahasa

23

Proses pembentukan kata atau proses morfologis baik dalam

Sunda

maupun

bahasa

Indonesia

itu

bermacam-macam,

diantaranya : afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
2.4.1. Afiksasi
Kridalaksana mengatakan bahwa afiksasi adalah proses yang
mengubah leksem menjadi kompleks.

24

Chaer mengatakan bahwa

afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk
dasar.25 Jadi, dalam proses afiksasi melibatkan unsur-unsur (1) dasar atau
bentuk dasar, (2) afiks, (3) makna gramatikal yang dihasilkan.
Imbuhan atau afiks menurut Ramlan dalam Prawirasumantri, ialah
suatu bentuk linguistik yang didalam suatu kata merupakan unsur
langsung yang bukan kata dan bukan pokok kita, yang memiliki
kesanggupan melekat pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk kata
atau pokok kata baru.26 Chaer mengatakan : bahwa afiks adalah sebuah
bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah
dasar dalam proses pembentukan kata. 27 Jadi, afiks pada dasarnya
merupakan sebuah bentuk morfem terikat yang hanya dapat bermakna
jika dilekatkan pada morfem lain.
2.4.1.1. Prefiks
23

Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin SJamsuri, Op.Cit., p.10
Harimurti Kridalaksana, Op.Cit., p.28
25
Abdur Chaer, Linguistik Umum (Jakarta : Rineka Cipta, 1994) Op.Cit., p.177
26
Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Loc. Cit.
27
Abdul Chaer, Loc.Cit
24

17

Kridalaksana mengatakan bahwa prefix yaitu afiks yang diletakkan
di muka dasar.28 Chaer berpendapat bahwa prefiks adalah afiks yang
diimbuhkan di muka bentuk dasar.29

2.4.1.2. Infiks
Infiks menurut Kridalaksana yaitu afiks yang diletakkan di dalam
dasar30

Sedangkan

menurut

Prawirasumantri

infiks/sisipan

adalah

imbuhan yang disisipkan pada bentuk dasarnya dengan beberapa
penyimpangan.31

Pendapat

lain

dikemukakan

oleh

Chaer

yang

mengatakan bahwa infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk
dasar.32
2.4.1.3. Sufiks
Prawirasumantri

mengataka

akhiran

ialah

imbuhan

yang

dibubuhkan pada akhir suatu bentuk dasar 33 Sementara itu, Kridalaksana
mengatakan bahwa sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar. 34
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Chaer bahwa
sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar. 35
2.4.1.4. Konfiks
Menurut Chaer, Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi,
yang bagian pertama berpotensi pada awal bentuk dasar, dan bagian
28

Harimurti Kridalaksana ; Loc.Cit
Abdul Chaer, Op.Cit.p.178
30
Harimurti Kridalaksana, Loc.Cit
31
Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Loc.Cit
32
Abud Chaer, Loc.Cit
33
Abud Prawirasumantri, Ahlan Huse, dan Elin Sjamsuri, Loc.Cit
34
Harimurti Kridalaksana, Op.Cit. p.29
35
Abdul Chaer, Loc.Cit
29

18

yang

kedua

berposisi

pada

akhir

bentuk

dasar. 36

Kridalaksana

mengatakan bahwa konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu
dimuka bentuk dasar dan satu di belakang bentuk dasar, dan berfungsi
sebagai satu morfem terbagi.37
2.4.1.5. Sirkumfiks
Tentang istilah sirkumfiks menurut Kridalaksana dalam Chaer
adalah digunakan untuk ‘Afiks Nasal’, seperti yang terdapat dalam ragam
bahasa Indonesia nonbaku, seperti kata ngopi, nembak, mukul dan
nulis.38
2.4.1.6. Interfiks
Interfiks adalah sejenis infiks atau elemen penyambung yang
muncul dalam proses penggabungan dua buah unsur. Interfiks banyak
dijumpai dalam bahasa-bahasa Indo German. 39
2.4.1.7. Transfiks
Transfiks adalah afiks yang berwujud vokal-vokal yang diimbuhkan pada
keseluruhan dasar. Transfiks banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa
Semit (Arab dan Ibrani).40
2.5.

Hakekat Kesalahan Ejaan
Ejaan menurut Kridalaksana dan Sutami dalam Kushartanti adalah

kaidah tulis menulis baku yang didasarkan pada penggambaran bunyi. 41
36

Ibid, p.179
Harimurti Kridalaksana. Loc.Cit
38
Abdul Chaer, Op.Cit.p.181
39
Abdul Chaer, Op.Cit
40
Abdul Chaer, Loc.Cit
41
Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder, Pesona Bahasa : Langkah Awal
Memahami Linguistik (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005) p.83
37

19

Ejaan tidak hanya mengatur cara menulis huruf, tetapi juga cara menulis
kata dan cara menggunakan tanda baca.
Jadi, kesalahan ejaan adalah kesalahan menuliskan kata atau
kesalahan menggunakan tanda baca.
Beberapa hal yang terdapat dalam ejaan Bahasa Indonesia
Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan
adalah sebagai berikut :
1. Pemakaian Huruf, yang terdiri dari :
a. Huruf abjad
Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas
huruf a sampai dengan z.
b. Huruf vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia terdiri
atas huruf a, e, I, o dan n.
c. Huruf Konsonan
Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia
terdiri atas huruf-huruf b, c, d, j\g, h, j, k, l, r/I, n, p, q, r, v, / v, w, x, y
dan z
d. Huruf Diftong
Didalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan
dengan ai, an, dan oi
e. Gabungan huruf konsonan
Didalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang
melambangkan konsonan, yaitu kh, ng, ny, dan sy. Masing-masing
melambangkan satu bunyi konsonan f.
f. Pemenggalan Kata
1) Pemenggalan kata pada dasar dilakukan sebagai berikut (a) jika
di tengah kata ada vokal yang berurutan, pemenggalan itu
dilakukan di antar kedua huruf yang vokal itu. Misalnya : ma-in,

20

sa-at, bu-ah. Huruf diftong ai, au, dan oi tidak pernah diceraikan
sehingga pemenggalan kata tidak dilakukan diantara kedua
huruf itu. Misalnya : au-la bukan a-u-l-a, sau-dara bukan sa-uda-ra, am-boi bukan am-bo-i. (b) Jika di tengah kata ada huruf
konsonan, termasuk gabungan-huruf konsonan, diantara dua
buah huruf vokal, pemenggalan dilakukan sebelum huruf
konsonan. Misalnya : ba-pak, ba-rang, su-lit, la-wan, de-ngan,
ke-nyang, mu-ta-khir (c) Jika di tengah kata ada dua huruf
konsonan yang berurutan, pemenggalan dilakukan di antara
kedua huruf konsonan itu. Gabungan-huruf konsonan tidak
pernah di ceraikan. Misalnya : man-di, som-bong, swas-ta, caplok, Ap-ril, bang-sa (d) Jika di tengah kata ada tiga buah huruf
konsonan atau lebih, pemenggalan dilakukan di antara huruf
konsonan yang pertama dan huruf konsonan yang kedua.
Misalnya : in-stru-men, ul-tra, in-fra, bang-krut, ben-trok, ikh-las.
2) Imbuhan akhiran dan imbuhan awalan, termasuk yang
mengalami perubahan bentuk serta partikel yang biasanya
ditulis serangkai dengan kata dasarnya, dapat dipenggal pada
pergantian baris. Misalnya : makan-an, me-rasa-kan, membantu, pergi-lah.
3) Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsur dan salah satu
unsur itu dapat bergabung dengan unsur lain, pemenggalan
dapat dilakukan di antara unsur-unsur itu. Misalnya : a) bio-grafi,
bi-o-gra-fi, b) foto-grafi, fo-to-gra-fi.
g. Pemakaian Huruf Kapital dan Huruf Miring

21

1) Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan dalam berbagai kesempatan sebagai
berikut. 1) Huruf pertama kata pada awal kalimat. Misalnya : Dia
mengantuk, 2) Huruf pertama petikan langsung. Misalnya : Adik
bertanya, “kapan kita pulang?” 3) Huruf pertama dalam
ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab
suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan. Misalnya : Allah, Islam,
Qur’an, Alkitab, dan sebagainya 4). Huruf pertama nama gelar
kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama
orang. Misalnya : Mahaputra Yamin, Sultan Hasanuddin, Haji
Agus Salim, dan sebagainya 5). Huruf pertama nama jabatan
dan pangkat yang diikuti oleh nama orang atau yang dipakai
sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau
nama tempat, Misalnya : Wakil Presiden Adam Malik, Perdana
Menteri Nehru, Profesor Supomo, Laksamana Muda Udara
Husein

Sastranegara,

Sekretaris

Jenderal

Departemen

Pertanian, Gubernur Irian Jaya. 6) Huruf pertama unsur-unsur
nama orang. Misalnya : Amir Hamzah, Dewi Sartika, dan
sebagainya. 7) Huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan
bahasa. Misalnya : Suku Sunda, bangsa Indonesia, bahasa
Inggris. 8) Huruf pertama nama tahun, hari , bulan, hari raya,
dan peristiwa sejarah. Misalnya : Tahun Hijriah, bulan Agustus,
hari Lebarn, tahun Masehi, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Perang Candu. 9) Huruf pertama nama geografi. Misalnya : Asia

22

Tenggara, Banyuwangi, Dataran Tinggi Dieng, dan sebagainya.
10) Huruf pertama semua unsur nama Negara, lembaga
pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi
kecuali kata seperti dan. Misalnya : Republik Indonesia : Majelis
Permusyawaratan

Rakyat,

Departemen

Pendidikan

dan

Kebudayaan; Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak ; Keputusan
Presiden Republik Indonesia, Nomor 57, Tahun 1972. 11) Huruf
pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat
pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan,
serta dokumen resmi. Misalnya : Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, dan sebagainya 12)
Huruf pertama semua kata (Termasuk semua unsur kata ulang
sempurna) di dalam buku, majalah, surat kabar, dan judul
karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan yang untuk yang
tidak terletak pada posisi awal. Misalnya : bacalah majalah
Bahasa dan Sastra. Dia adalah agen surat kabar Sinar
Pembangunan, dan sebagainya. 13) Huruf pertama unsur
Singkatan nama gelar, pangkat, dan sapan. Misalnya : Dr.
berarti doctor, S.S. berarti Sarjana Sastra, Prof. berarti Profesor,
dan sebagainya. 14) Huruf pertama kata penunjuk hubungan
kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan
paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Misalnya : Adik bertanya, “itu apa, Bu?” dan sebagainya. 15)

23

Huruf pertama kata ganti Anda, misalnya : Sudahkan anda
tahu?
2) Huruf Miring
1) Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama
buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan. 2)
huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau
menghususkan huruf, bagian kata, kat, atau kelompok kata.
Misalnya, huruf pertama dalam abjad ialah a. 3) huruf miring
dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama ilmiah atau
ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya.
Misalnya,

Nama

ilmiah

buah

manggis

ialah

Carcinia

mangostana. Catatan : Dalam tulisan tangan atau manual, huruf
atau kata yang akan dicetak miring diberi tanda satu garis
dibawahnya.
Semua rambu-rambu penulisan ejaan tersebut terdapat di dalam
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, 2002.
Masih banyak lagi rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam penulisan
ejaan yang tidak semuanya ditulis dalam makalah ini.
2.6. Hakikat keterampilan Menulis
Keterampilan (skill) menurut Caplin adalah satu kemampuan
bertingkat tinggi yang

memungkinkan seseorang melakukan satu

perbuatan motor yang kompleks dengan lancar disertai ketepatan.

42

Menulis merupakan suatu proses. Proses itu merupakan sesuatu
yang kompleks. Berbagai masalah dapat timbul secara simultan sehingga
42

C.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan Kartini Kartono (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2000) p.465

24

seseorang penulis perlu memiliki pemahaman yang lebih baik untuk
menciptakan proses kerja yang efektif, sehingga menghasilkan tulisan
yang baik.
Menulis, menurut McCrimmon merupakan kegiatan menggali
pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang akan
ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat
memahaminya dengan mudah dan jelas. 43 Pada dasarnya menulis itu,
bukan hanya merupakan melahirkan pikiran atau perasaan saja,
melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu dan
pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis. Oleh karena itu,
menulis bukanlah merupakan kegiatan yang sederhana dan tidak perlu
dipelajari, tetapi justru dikuasai.
Sementara itu, Heaton berpendapat bahwa sebagai bagian dari
keterampilan berbahasa, menulis merupakan keterampilan yang sukar
dan kompleks.

44

Oleh karena itu, keterampilan menulis dikuasai

seseorang sesudah menguasai keterampilan berbahasa yang lain.
Dengan demikian, keterampilan menulis merupakan salah satu dari
keterampilan berbahasa yang dikuasai penulis sesudah menguasai
keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca.
Bryne berpendapat bahwa :
Keterampilan menulis pada hakekatnya bukan sekedar
kemampuan menulis simbol-simbol grafis sehingga berbentuk kata,
dan kata-kata disusun menjadi kalimat menurut peraturan tertentu,
melainkan keterampilan menulis adalah kemampuan menuangkan
43
44

James McCrimmon, Writing with Purpose (Boston : Houghton Miffin Company, 1976), p.2.
J.B. Heaton, Writing English Language Tests (Singapore : Longmann Gr, 1983). P. 146

25

buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang
dirangkai secara utuh, lengkap, dan jelas sehingga buah pikiran
tersebut dapat dikomunikasikan kepada pembaca dengan
berhasil.45
Keterampilan menulis menuntut kemampuan menggunakan polapola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan ini.
keterampilan menulis ini mencakup berbagai kemampuan, misalnya
kemampuan

menggunakan

unsur-unsur

bahasa

secara

tepat,

kemampuan mengorganisasikan wacana dalam berbagai bentu karangan,
kemampuan menggunakan gaya bahasa yang tepat, pilihan kata serta
yang lainnya.
Sementara itu, Harris berpendapat bahwa dalam suatu proses
menulis sekurang-kurangnya mencakup lima unsur yakni : (1) isi
karangan, (2) bentuk karangan, (3) tata bahasa, (4) gaya, dan (5) ejaan
serta tanda baca.46 Isi karangan merupakan gagasan yang dikemukakan.
Bentuk karangan susunan atau penyajian isi karangan. Tata bahasa
merupakan kaidah bahasa termasuk di dalamnya pola-pola kalimat. Gaya
adalah pilihan struktur dan kosakata untuk memberi nada tertentu untuk
memberi nada tertentu terhadap karangan itu. Ejaan dan tanda baca
adalah penggunaan tata cara penulisan lambang-lambang bahasa tertulis.
Colderonello dan Edwards mengemukakan ada tiga generalisasi
penting tentang proses penulisan yakni : (1) Penulisan adalah suatu
perbaikan, (2) Penulisan adalah suatu proses pengulangan, dan (3)
45

Donn Bryne, Teaching Writing Skill (London : Longmann, 1979), p.3
P. Harris Harris, Testing English as a Second Language (New York : Tata McGrow-Hill, 1974), p.
68-69
46

26

penulisan adalah proses pembuatan draft. 47 Sementara itu, Hairston
menulis yang baik adalah menyesuaikan tulisan/karangan dengan
kebutuhan pembaca.

48

Oleh karena itu, penulisan bisa formal, bisa

sederhana, bisa resmi (penuh tata krama), bisa kasar, dan bisa halus.
Power dan Hubbard mendefinisikan keterampilan menulis sebagai
sebuah media komunikasi seseorang dengan dirinya dan dengan orang
lain pada tempat dan waktu yang berbeda. 49 Artinya bila seseorang
menulis

maka

ia

berusaha

untuk

mengungkapkan

maksud

dan

keinginannya dalam bentuk tulisan pada tempat dan masa yang berbeda
dengan pembaca tulisannya.
Mengenai hal ini, Nunan berpendapat bahwa perbedaan penting
antara komunikasi lisan dan tulisan yaitu komunikasi tulis sering
dekontekstual.50 Hal ini dikarenakan, penulis memiliki rentangan jarak dan
waktu dari orang atu pembaca tulisannya, maka ia harus membuat suatu
kesimpulan tentang latar belakang pengetahuan pembacanya yang
mengharuskan ia menambah atau mengurangi kata atau pesan dalam
teks yang ia tulis.
Sementara Hadley, mengemukakan bahwa menulis tidak sekedar
transkipsi ujaran namun mencakup aspek mekanikal dan proses yang
lebih kompleks dibanding dengan komunikasi lisan. 51 Bahkan Nunan juga
47

Alice Heim Colderonello dan Bruce L. Edwards. Jr. Rudghdrafts : The Procces of Writing (Boston :
Houghton Miffin, 1986). Pp.4-5
48
Maxine C. Hairston, Successful Writing (New York : W.W. Norton & Company, 1986), p.12
49
Brenda Miller Power dan Ruth Hubbard, Literacy in Process (USA : Heinemann Educational
Books, 1991) pp. 68-69
50
David Nunan, Language Teaching Methodology (UK : Phoenix ELT, 1995). P.86
51
Alice Omaggio Hadley. Teaching Language in Context 2nd Ed. (USA Heinle & Heinie Publisher,
1993) p.29

27

berkesimpulan bahwa menulis merupakan suatu aktivitas berbahasa yang
rumit dan kompleks yang tidak hanya terjadi pada pembelaajran bahasa
asing namun juga pada pembelajaran bahasa kedua dan bahkan bahasa
pertama.52
Jadi kemampuan menulis memang tidak hanya dirasa sulit oleh
seseorang yang mempelajari suatu bahasa asing karena tidak hanya
melibatkan unsur-unsur bahasa seperti leksikal, sintaksis, dan semantik
yang berbeda dari bahasa pertamanya selama ini, tapi juga aspek menulis
lainnya. Selain karena penguasaan unsur gramatika dalam bahasa
pertama yang kurang memadai, pembelajar juga tidak terbiasa berlatih
menulis. Seperti diketahui kemampuan menulis melibatkan berbagai
unsur-unsur bahasa yang lebih kompleks dari keterampilan berbahasa
lainnya.
Selaras dengan pendapat Hadley, untuk melihat kekomplesitasan
proses menulis, Bizzell membedakannya ke dalam dua terminology
sebagai berikut : komposisi (composing) yaitu seluruh proses dan aspek
yang terlibat dalam penulisan sesuatu, dan menulis (writing), yaitu proses
transkripsi materi tulisan. Bizzell mengatakan tataran komposisi berada di
atas menulis, karena komposisi melibatkan refleksi topik, pengumpulan
informasi, pembuatan catatan dan draft, serta revisi. 53 Hal ini berarti
bahwa menulis (writing) hanya merupakan proses pengalihan dari bahasa
lisan ke bahasa tulis.
52

David Nunan, Designing Tasks for the Communicatif Classroom (USA : Cambridge University
Hadley, Loc.Cit)
53
Hadley, Loc.Cit

28

Namun

Dvorak

berpendapat

beda,

ia

mengatakan

bahwa

transkripsi (transcription) dan komposisi (composition) berada di bawah
terminology menulis (writing). Menurutnya transkripsi berfokus pada
bentuk, komposisi berfokus pada komunikasi dan pengembangan ide,
sedangkan menulis (writing) adalah seluruh aktivitas pemindahan ide atau
konsep ke dalam kertas yang melibatkan transkripsi dan komposisi 54
Jadi, keterampilan menulis memang tidak hanya dirasa sulit oleh
seseorang yang mempelajari suatu bahasa asing karena tidak hanya
melibatkan unsur-unsur bahasa seperti leksikal, sinteksis, dan semantik
yang berbeda dari bahasa pertamanya selama ini, tetapi juga aspek
menulis lainnya.
2.7.

Hakikat Pembelajaran Menulis
Brown mendefinisikan pembelajaran

sebagai

pemerolehan

pengetahuan atau keterampilan melalui belajar, pengalaman, dan
instruksi.55
pemelajaran

Sedangkan

Kimble

merupakan

dan

perubahan

Garmezy

berpendapat

bahwa

permanen

dalam

secara

kecendrungan bertindak yang merupakan hasil dari penguatan. 56
Jika hakikat menulis adalah seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka hakikat pemelajaran menulis dapat didefinisikan
sebagai pemerolehan pengetahuan atau keterampilan aspek-aspek
menulis baik berupa bentuk (form) maupun makna (meaning) melalui
penguatan berupa belajar, pengalaman, dan instruksi.
54

Ibid. p.291
H. Douglas Brown, Principles of Language Learning and Teaching : 4th Edition (USA : Longman,
2000). p.7
56
Ibid.p.7
55

29

Pembelajaran menulis dapat dikaji dari dua sudut pandang yaitu
menulis dapat merupakan keterampilan pendukung (support skill) dan
komunikasi kreatif (creative communication).57
Keterampilan menulis dikatakan sebagai keterampilan pendukung
berarti keterampilan ini tidak dipelajari atau diajarkan secara mandiri atau
terisolasi, tetapi melibatkan keterampilan bahasa lainnya, dengan kata lain
bersifat interdependen (saling bergantung). Dapat dikatakan bahwa
keterampilan

menulis dapat menyokong

penguasaan

keterampilan

berbahasa lainnya, sebagai contoh aktivitas transkripsi seperti dikte atau
note-taking dan mengisi sebuah format akan melibatkan keterampilan
menyimak dan membaca dalam pelaksanaannya.
Pengertian ini juga dapat bermakna bahwa sebagai keterampilan
pendukung, aktivitas menulis banyak melibatkan latihan penggunaan atau
aplikasi aturan gramatika (kompetensi) untuk menguatkan perkembangan
pengetahuan sistem bahasa siswa. Dalam hal ini, aktivitas menulis tidak
berfokus pada fungsi, tujuan, dan seni menulis (crative/expressive writing)
tetapi lebih kepada pengetahuan tentang bahasa target.
Lebih lanjut aktivitas-aktivitas menulis sebagai

keterampilan

pendukung pada tahapan tertentu dapat merupakan jembatan untuk
menguasai keterampilan menulis sebagi komunikasi kreatif (creative
communication). Hal ini juga dapat menjadi gambaran perkembangan
(progress) kemampuan menulis siswa pada akhirnya.
Sementara itu, keterampilan menulis sebagai

keterampilan

komunikasi yang kreatif (creative communication) dapat diterjemahkan
bahwa menulis digunakan sebagai alat untuk berbagai tujuan komunikasi.
57

Hadley, Op.Cit. pp. 296-347

30

Untuk itu, perlu dirumuskan dengan jelas terlebih dahulu pemilihan
metode pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkat kognitif siswa,
situasi/konteks pemelajaran apakah sebagai bahasa pertama, kedua atu
bahasa asing, tujuan pemelajaran, serta kebutuhan dan minat siswa
sendiri. Hal ini dilakukan karena akan melibatkan banyak aspek menulis
yang lebih kompleks, termasuk pertimbangan terhadap pembaca tulisan
dan kebermaknaan hasil tulisan itu sendiri.
2.8. Hakikat Pemelajaran Apresiasi Sastra
Pemelajaran apresiasi sastra merupakan aktivitas guru dan murid
untuk

menciptakan

peristiwa

dan

kegiatan

yang

berisi

kegiatan

memahami, menghayati, dan memberikan tanggapan terhadap karya
sastra baik secara reseptif, produktif, maupun rekreatif. Pemelajaran
apresiasi sastra secara reseptif terwujud dalam bentuk mendengarkan
performansi pemahaman puisi, pemahaman cerita, deklamasi, dramatisasi
atau membaca karya sastra. Pemelajaran sastra secara produktif terwujud
dalam bentuk mendiskusikan tanggapan atas suatu karya sastra,
menyusun tanggapan atas hasil apresiasi sastra secara tertulis, atau
menyiapkan pemahaman hasil apresiasi sastra di majalah dinding.
Pemelajaran apresiasi sastra secara rekreatif antara lain dalam bentuk
pemelajaran membaca puisi secara lisan, dramatisasi cerita, dan
sebagainya.
Rosenblat menegaskan bahwa pemelajaran sastra melibatkan
peneguhan kesadaran tentang sikap etik. Hampir membicarakan cipta
sastra seperti cerpen, novel, puisi, atau drama tanpa menghadapi
masalah etik dan tanpa menyentuhnya dalam konteks filosofi sosial.

31

Tanpa menghadapkan siswa pada masalah kehidupan sosial yang digeluti
sepanjang

hari

di

tengah-tengah

masyarakat

yang

dihidupi

dan

menghidupinya.
Dalam kaitan itu, Rosenblatt menyarankan beberapa prinsip yang
memungkinkan pemelajaran sastra mengemban fungsinya dengan baik.
(1) siswa harus diberi kebebasan untuk menampilkan respons dan
reaksinya, (2) rasa pribadinya terhadap cipta sastra yang dibaca dan
dipelajarinya. (3) guru harus berusaha untuk menemukan butir-butir
kontak di antar pendapat para siswa, (4) peran dan pengaruh guru harus
merupakan daya dorong terhadap penjelajahan vital yang inheren di
dalam sastra itu sendiri. 58
Dalam pemelajaran sastra, harus disadari bahwa pusat dan
porosnya terletak didalam sastra itu sendiri. Siswa harus melihat cipta
sastra itu bukan dari perspektif para ahli, pengarang, atau guru,melainan
dari perspektif sendiri. Dia tidak mungkin memandang wacana atau dunia
lainnya melalui mata orang lain. Jelas bahwa keunikan pribadi harus
dihargai, diterima dan dihormati, siswa tidak dapat dipandang hanya
sebagai pewadah informasi yang pasif. Siswa mustahil tidak hanya
sebagai penemu dan pencipta ilmunya sendiri. Pemelajaran apresiasi
sastra seharusnyalah direncanakan untuk melibatkan siswa dalam p