PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT OBAT

Prosiding Persidangan Antarabangsa Pembangunan Aceh
26-27 Disember 2006, UKM Bangi

PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT
Kintoko
e-mail: maskinjogja@yahoo.com.sg
Pensyarah Bidang Farmakognosi-Fitokimia
Fakultas Farmasi Universitras Ahmad Dahlan, Jogjakarta
Pelajar Siswazah pada Pusat Pengajian Biosains dan Bioteknologi
Fakulti Sains dan Teknologi Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor D.E

Abstrak
Prospek pengembangan tanaman obat sangat cerah pada masa mendatang ditinjau dari
pelbagai faktor penyokong. Antara faktor penyokongnya sebagai berikut: tersedianya sumber
kekayaan alam Indonesia dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, sejarah
pengobatan tradisional yang telah dikenal lama oleh nenek moyang dan diamalkan secara
turun temurun sehingga menjadi warisan budaya bangsa, isu global “back to nature”
sehingga meningkatkan pasar produk herbal termasuk Indonesia, krisis moneter
menyebabkan pengobatan tradisional menjadi pilihan utama bagi sebahagian besar
masyarakat dan kebijakan pemerintah berupa pelbagai peraturan perundangan yang
menunjukkan perhatian serius bagi pengembangan tanaman obat. Pengembangan tanaman

obat memiliki erti yang sangat luas, tidak sahaja sebagai sumber bahan baku obat herbal
(agromedisin), namun lebih dari itu tanaman obat dapat difungsikan sebagai agrowisata,
laboratorium botani (taman botani), sumber plasma nutfah, jalur kawasan hijau, komoditi
ekspor nonmigas, dan sebagai sumber pendapatan masyarakat tempatan. Melihat begitu
besarnya potensi yang dimiliki oleh tanaman obat, hal ini menjadi peluang bagi setiap daerah
untuk menjadikan tanaman obat sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan sektor
ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali Propinsi Nanggro Aceh Darussalam yang
memiliki potensi sumber kekayaan alam melimpah. Pembentukan sentra budidaya tanaman
obat merupakan langkah awal bagi mengembangkan tanaman obat. Sistem pembangunan
yang terencana dan terintegrasi memungkinkan pencapaian tujuan pengembangan tanaman
obat secara maksimal. Keterlibatan antar insituti seperti dinas kesehatan, pendidikan,
pertanian, pariwisata, perencanaan tata kota dan perguruan tinggi sangat diperlukan selain
partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.
Kata kunci: prospek, pengembangan, tanaman obat
1.

Pendahuluan

Bencana gempa tsunami yang terjadi pada penghujung tahun 2004 di Kota Serambi Mekah
NAD telah menyisakan pelbagai permasalahan dalam segala aspeknya; ekonomi, sosial,

politik, kesehatan, pendidikan, lingkungan dan sebagainya. Segala upaya bagi
membangunkan kembali NAD terus dilakukan sehingga kini dengan melibatkan segenap
elemen masyarakat, baik dari pemerintah, LSM lokal dan lembaga-lembaga internasional
seperti UNDP, ADB, UNHCR, IRC, USAID, AusAID, CARE, JICA, TURKEY, GTZ, termasuk
organisasi keagamaan seperti Muslim Aid, FPI, Catholic Relief Service (CRS), CARITAS yang
berpusat di Roma, Bunda Tsuci, WALUBI dan puluhan organisasi nasional lainnya maupun
dari para mahasiswa dengan pelbagai latar belakang akademik berbeda-beda. Dana

178

pembangunan yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp 15,6 trilyun dan komitmen dunia
Internasional sebesar US $ 7,1 Milyar setidaknya memberi angin segar akan berhasilnya
rekontsruksi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keberhasilan dari kegiatan ini ditentukan
oleh perencanaan yang matang, sistematis dan integratif dengan mempertimbangkan faktorfaktor potensi asli daerah.
Dalam perspektif kesehatan, bencana gempa tsunami di NAD memunculkan pelbagai
problem seperti sanitasi lingkungan yang buruk, penyakit infeksi, kualitas gizi rendah, depresi
mentah/ trauma dan sebagainya. Pemberdayaan sumber-sumber potensial dapat dilakukan
guna mengeliminasi/menetralisasi pelbagai efek negatif pada masyarakat maupun lingkungan
hidup pasca bencana. Salah satu potensi yang amat besar adalah sumber kekayaan alami
berupa tanam-tanaman yang dapat dikembangkan peran dan fungsinya secara luas.

Kekayaan alam Indonesia sebagai mega senter keanekaragaman hayati terbesar kedua di
dunia merupakan potensi yang sangat berarti. Terdapat lebih kurang 30.000 jenis tanaman
berbunga yang tumbuh di hutan hujan tropis Indonesia (Sukrasno dkk. 2002).
2.

Tanaman Obat Sebagai Penghijauan Kawasan Pantai Rawan Tsunami

Pada kolom berjudul Bencana Tsunami, Riset dan Mitigasi yang ditulis oleh Nanang T Puspito
di harian Kompas 22 Februari 1996 menyebutkan bahwa salah satu tindakan proteksi pantai
yang perlu dilakukan yaitu dengan membuat jalur hijau sepanjang 200 meter dari garis pantai
yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang dan melestarikan batu karang yang dapat
berperan sebagai pemecah ombak (Sudarmono, 2005). Daerah-daerah yang sangat perlu
untuk dilakukan penghijauan meliputi sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa
Barat, Cilacap, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Irian Jaya yang merupakan kawasan rawan
tsunami. Hal ini kerana daerah-daerah tersebut merupakan jalur gempa tektonik. Terlebih lagi
kawasan pantai yang langsung berhadapan dengan lautan luas seperti pantai selatan Jawa
dan Sumatera, karena secara geografis pantai-pantai tersebut cukup terjal dan gelombang air
lautnya tinggi.
Melihat struktur tanah di daerah pantai yang berpasir, maka konsep penghijauan
pantai dapat dibagi menjadi 2, yaitu penghijauan pada perairan pantai dan tepi pantai.

Penghijauan perairan pantai umumnya dengan tananam bakau (mangrove) dimana di
Indonesia dikenal beberapa jenis yaitu Bakau (Rhyzophora), Api-api (Avicennia), Pedada
(Sonneratia), Tanjang (Bruguiera), dan Nyirih (Xylocarpus). Api-api sesuai pada tanah
berpasir yang agak keras, sedangkan Pedada sesuai pada tanah yang berlumpur lembut.
Pada tanah lempung yang agak pejal sesuai untuk Tanjang, biasanya di bagian hulu.
Sedangkan bakau hidup pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak. Penghijauan
pada tepi pantai dapat dilakukan dengan tanaman seperti rumput dan semak contohnya
Cyperus sp., Ipomea pescaprae. Lebih ke arah daratan dapat ditanami cemara pantai
(Casuaria equisetifolia), Ketapang (Terminalia catapa), Nyamplung (Callophyllum inophylum),
Kelapa (Cocos nucifera), Pandan (Pandanus tectorius), Legundi (Vitex trifolia var
simplicifolia), Angsana (Pterocarpus indicus), Tembusu padang (Fragraea fragrans), pongpong (Cerbera odollam), Waru laut (Hibiscus tiliaceus), Mempari (Pongamia pinnata)
(Sudarmono, 2005). Satu lagi tanaman obat yang sangat tepat ditanam pada daerah marginal
yang panas, kering dan berbatu, yaitu Mimba (Azadirachta indica) (Kardinan. A & Dhalimi. A,
2003). Dengan adanya penghijauan, juga memberikan manfaat terhadap penghambatan
perubahan suhu yang besar/ekstrim dan perintang angin (win breaks), dimana tanaman yang
ditanam rapat dapat mengurangi kecepatan angin 75%-85% (Hanna. G, 2006).
3.

Tanaman Obat Sebagai Usaha Tani Masyarakat


Aceh sudah terkenal sejak jaman Hindia Belanda sebagai penghasil nilam terbesar di
Indonesia dengan volume ekspor pada tahun 1999 mencapai 1.592.434 kg atau senilai US$
53.177.052 (Puteh A, 2004). Jumlah produksi nilam Aceh memberikan kontribusi 70%

179

terhadap pasokan minyak nilam Indonesia (Sufriyadi. E & Mustanir, 2004). Minyak nilam
banyak digunakan dalam industri farmasi dan industri parfum. Tanaman nilam dapat tumbuh
subur dan menghasilkan minyak bermutu baik pada ketinggian 0 - 700 m di atas permukaan
laut, dengan curah hujan 1.750 – 3.500 mm/tahun, temperature rata-rata harian 24 - 28°C
dengan tanah berdrainase baik, tekstur lempung liat berpasir, dan tanah berpasir lainnya, pH
5,5 - 7 dan gembur (Rosman. R & Hermanto, 2004). Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat
beberapa Kabupaten yang merupakan sentra produksi nilam karena daerah tersebut memiliki
potensi lahan dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan nilam, antara lain Kabupaten
Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh Singkil (Puteh. A, 2004).
Proses budidaya tanaman nilam sebaiknya dilakukan secara menetap melalui pola
tanam yang tepat. Pengolahan lahan dimulai 1 – 2 bulan sebelum tanam dengan
pencangkulan tanah sedalam 30 cm. Dibuat bedengan untuk ditanami nilam dengan ukuran
tinggi 20 - 30 cm, lebar 1 - 1,5 meter dan panjang disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Jarak antara bedengan satu dengan lainnya berkisar antara 40 - 50 cm untuk memudahahkan

perawatan. Kebutuhan pupuk sebanyak 10 - 20 ton per hektar tergantung dari tingkat
kesuburan tanah. Setelah diberi pupuk kandang kemudian didiamkan selama 2 minggu.
Menjelang waktu tanam dibuat lubang tanam ukuran 15 cm panjang x 15 cm tinggi x 15 cm
lebar. Jarak antara lubang satu dengan lainnya antara 40 cm x 50 cm atau 50 cm x 50 cm.
Penyiraman dapat dilakukan dengan mengalirkan air pada parit-parit antara bedengan atau
dengan menggunakan sprinkle shower. Penyiangan diperlukan untuk menjaga kemampuan
akar tanaman dalam menyerap unsure sara berjalan secara optimal (Sufriyadi. E & Mustanir,
2004).
4.

Tanaman Obat Sebagai Komoditi Ekspor

Peningkatan ekspor bahan baku biofarmaka ke berbagai negara tujuan cukup meningkat
sejalan dengan meningkatnya industri-industri farmasi di dunia. Total nilai dagang biofarmaka
dunia mencapai US$ 45 miliar pada tahun 2001, dan diperkirakan akan terus meningkat
menjadi US$ 5 triliun pada tahun 2005. Sedangkan omzet penjualan biofarmaka Indonesia
baru mencapai US$ 100 juta per tahun. Hal ini berarti, kontribusi ekspor biofarmaka Indonesia
lebih kurang sekitar 0,22 % saja (Anonim, 2005). Tabel berikut menunjukkan perkembangan
nilai ekspor dan jenis biofarmaka Indonesia.
Tabel 1. Perkembangan nilai ekspor biofarmaka

Tahun
1998
1999
2000
2001
Oktober 2002

Nilai ekspor (Juta US$)
4,8
5.5
7,4
5,3
3,6

Pertumbuhan
15,39
33,64
-23,24
-23,17


Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2003
Tabel 2. Jenis biofarmaka yang dominan diekspor
No

Komoditas

Nama Ilmiah

Bagian tanaman
yang digunakan

Negara tujuan
ekspor

180

1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.

Tapak dara
Kina
Kecubung
Ipekak
Liquorice
Jahe
Pulai pandak
Valerian

Catharanthus roseus
Chincona succirubra
Datura metel
Caphaelis ipecacuanha
Glyzirizha glabra
Zingiber officinale

Rauvolvia vomitoria
Valerian officinale

Daun
Kulit batang
Daun
Akar
Akar
Rimpang
Akar
Akar

Amerika Serikat
Jepang
Federal Republik
Ghana
Perancis
Switzerland
United Kingdom


Ekspor jahe Indonesia rata-rata meningkat 32,75 % per tahun. Sedangkan pangsa
pasar jahe Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 %, berarti peluang Indonesia sangat besar
untuk meningkatkan ekspor. Jika dilihat dari prospeknya, pemasaran di luar negeri bukanlah
masalah karena pasar biofarmaka ini masih belum optimal dan terbuka lebar, sementara
pasokannya jauh lebih kecil. Contohnya adalah komoditas tanaman kencur (Kaemferia
Galanga, Linn), yang harganya mencapai US$ 1.100/ton, dari permintaan ekspor dunia
sebesar 200 – 300 ton per tahun hanya terpenuhi sekitar 62 ton per tahun. Disamping itu,
Indonesia tidak dapat memenuhi demand pasar dunia internasional akan komoditas bangle
(Zingiber purpureum Roxb.), lempuyang wangi (Zingiberis aromaticum) dan lempuyang gajah
(Zingiberis zerumbeti) (Anonim, 2005). Melihat peluang yang masih terbuka luas, Propinsi
NAD dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan pasar dunia melalui ekspor biofarmaka
selain nilam Aceh yang sudah menjadi andalan sejak lama. Hal mengingat tanaman tersebut
(kencur, bangle, jahe, lempuyang wangi dan lempuyang gajah) mudah dibudiyakan di
sebagian besar wilayah Indonesia.
5.

Tanaman Obat Sebagai Toga

Pemerintah telah menetapkan kebijakan dalam upaya pelayanan kesehatan yaitu Primary
Health Care (PHC) sebagai strategi untuk mencapai derajat kesehatan optimal masyarakat
melalui penerapan teknologi tepat guna dan peran serta masyarakat. Upaya pengobatan
tradisional dengan tanaman obat merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan
penerapan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan
(Tukiman, 2004). Dalam konteks implementasi praktis, setiap keluarga di Propinsi NAD dapat
membudidayakan tanaman obat keluarga (TOGA) secara mandiri dan memanfaatkannya
sehingga akan terwujud prinsip kemandirian dalam pengobatan keluarga. Selain daripada itu,
TOGA dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki gizi keluarga mengingat jenis tanaman obat
dapat berupa sayuran dan buah-buahan (Sukmaji, 2006).
TOGA adalah singkatan dari tanaman obat keluarga, yaitu pelbagai jenis tanaman
yang dibudidayakan baik di halaman, pekarangan rumah, ladang atau di kebun. Tanaman
tersebut sebagai Apotek Hidup yang dapat memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan
(Hanna. G, 2006). Jenis tanaman yang dibudidayakan sebagai TOGA adalah tanaman yang
tidak memerlukan perawatan khusus, tidak mudah diserang hama penyakit, bibitnya mudah
didapat, mudah tumbuh dan tidak termasuk jenis tanaman terlarang dan berbahaya/beracun.
Pemanfaatan TOGA lazimnya untuk pengobatan gangguan kesehatan keluarga menurut
gejala-gejala umum seperti demam panas, batuk, sakit perut, gatal-gatal (Wakidi, 2003).
Departemen kesehatan RI dalam buku “Pemanfaatan Tanaman Obat” telah menentukan jenis
tanaman yang lazim di tanam di pekarangan rumah (terlampir). Pemerintah Propinsi NAD
melalui instansi terkait seperti Dinas Kesehatan dengan kerjasama PKK dapat melakukan
sosialisasi terhadap program TOGA bagi menunjang upaya peningkatan kesehatan oleh
masyarakat secara optimal.
6.

Tanaman Obat Sebagai Sumber Plasma Nutfah

181

Bencana gempa tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan wilayah
Aceh mengakibatkan kehilangan sebagian sumber plasma nutfah. Hal ini berdasarkan
persentase kerusakan yang terjadi yaitu sebesar 52,77% dari total luas ibu kota Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang hancur total (Tim Inovasi, 2004). Menurut Hasanah. M
(2005) dalam kajiannya tentang “Penelaahan tentang Plasma Nutfah Khusus: Tanaman
Obat”, mengatakan bahwa ancaman kelestarian plasma nutfah tumbuhan obat hutan tropika
saat ini sangat serius karena formasi hutan tropika dataran rendah selama 2 dekade
belakangan ini mengalami kerusakan yang sangat parah, akibat ekspolitasi kayu,
perambahan hutan, bencana alam (kebakaran hutan, tanah longsor, banjir/ tsunami), konversi
hutan, perladangan berpindah dan lain-lain seperti dipaparkan pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Perusakan habibat di beberapa propinsi di Indonesia
No

Propinsi

Habitat yang
Habitat yang
tersisa (Ha)
lenyap (Ha)
1. Sumatera
20.000.000
255.300.000
2. Jawa dan Bali
1.300.000
11.300.000
3. kalimantan
24.000.000
20.000.000
4. Nusa Tenggara
2.300.000
6.700.000
5. Sulawesi
10.000.000
8.000.000
6. Maluku
4.300.000
2.000.000
7. Irian Jaya
36.600.000
3.000.000
Jumlah
98.500.000
306.300.000
Persentase
24,33%
75,67%
Sumber: Hasanah. M, 2004
Dalam UU No 12 tahun 1992, pasal 1 butir 2, plasma nutfah diartikan sebagai
substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber sifat
keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis
unggul atau kultivar baru (Hasanah .M, 2005). Klasifikasi kondisi tanaman obat akibat
pengambilan bahan baku tanpa dilakukan pelestarian plasma nutfahnya diklasifikasikan
menjadi 5 kelompok (Muharso, 2000).
1. Punah, dianggap telah musnah dari muka bumi.
2. Genting, jenis tanaman yang terancam punah. Contohnya purwoceng (Pimpinella
pruatjan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reiwardii) dan bidara
laut (Trychnos ligustrina).
3. Rawan, jumlah sedikit tapi terus dieksploitasi. Contohnya Ki koneng (Arcangelisia
flava).
4. Jarang, jenis tanaman dengan populasi besar tapi tersebar secara lokal, atau daerah
penyebarannya luas tapi mengalami erosi berat. Contohnya pulai (Alstonia scholaris).
5. Terkikis, jenis tanaman yang jelas mengalami kelangkaan tapi informasi keadaan
sebenarnya belum mencukupi untuk masuk dalam kategori tersebut di atas.
Idealnya semua tanaman obat harus dilestarikan, meliputi semua populasinya di alam
(in situ) dan dilakukan pengakaran di luar habitatnya (ex situ). Kegiatan eksplorasi yang
merupakan pelacakan atau penjelajahan, mencari, mengumpulkan dan meneliti plasma
nutfah tertentu dilakukan untuk mengamankan dari kepunahan. Peningkatan budidaya
tanaman obat merupakan upaya yang diharapkan dapat melestraikan sumber plasma nutfah
khususnya tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (tanaman sumber pangan, obat,
papan dan sandang).
7.

Tanaman Obat Sebagai Agrowisata

182

Pembangunan Agrowisata di Indonesia menunjukkan kecenderungan terus meningkat
khususnya dalam bentuk menikmati objek-objek wisata spesifik seperti udara yang segar dan
pemandangan yang indah. Tanaman obat dan aromatik merupakan kelompok tanaman yang
mempunyai daya tarik spesifik sehingga menjadi peluang yang besar untuk dikembangkan
sebagai objek wisata agro (OWA) unggulan. Contoh agrowisata yang telah berhasil guna dan
bernilai guna sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) adalah OWA yang terletak di
Desa Karyasari, Leuwiliang, Bogor dengan koleksi 420 jenis tanaman obat.
Tanaman obat dan aromatik tidak selalunya merupakan tanaman liar yang terdapat di
hutan-hutan pedalaman, atau tanaman yang berupa tumbuhan yang tinggi seperti cengkeh
(Syzigium aromaticum). Namun tanaman obat dan aromatik dapat berupa tanaman berbunga,
berbuah, tanaman sayuran dan tanaman pagar. Contohnya adalah tanaman tapak dara
(Catharantus roseus/Vinca rosea), dengan bunganya yang berwarna merah jambu. Juga
kumis kucing/misai kucing (Orthosiphon stamineus), bunganya menarik karena tangkai
sarinya panjang seperti misai/ kumis kucing. Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)
dengan warna kulit buahnya merah hati. Tanaman sayuran seperti seledri (Apium graveolens)
dikenal sebagai antihipertensi. Tanaman pagar seperti Keji Beling (Strobilantus crispus),
merupakan tanaman perdu dengan daun yang rimbun sehingga sesuai untuk direka bentuk
menjadi hiasan pagar.
Pada umumnya, tanaman obat dengan bunganya yang berwarna-warni disebabkan
karena tajuk bunganya (corolla) mengandungi zat dari golongan flavonoid, auron, kalkon,
antosianin/antosianidin. Bau aromatik (wangi) yang ditimbulkan disebabkan kandungan
minyak atsiri/ minyak menguap. Reka bentuk agrowisata dengan tata ruang luar
menggunakan hard material (patung, batuan, kolam ikan, dsb) dan soft material (tanaman
berbunga, aromatik, sayuran dan buah-buahan) akan menghasilkan view yang indah dan
menarik. Ukuran tanaman, warna tanaman, tekstur tanaman dan bentuk tanaman perlu
diperhatikan untuk mendapatkan formulasi taman yang serasi (Hanna. G, 2006). Propinsi
NAD dengan sumber daya alamnya yang potensial dapat melakukan koleksi terhadap
tanaman-tanaman tersebut dengan spesifikasi yang menarik, unik dan berkhasiat sebagai
obat, sehingga menjadi potensi tersendiri dalam membangunkan wisata yang berbasis
agroholtikultura (agrowisata).
8.

Tanaman Obat Sebagai Agromedicin

Sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal sejak lama sebagai warisan budaya dan
tetap diteruskan sehingga kini menjadi potensi dan modal dasar untuk mengembangkan obatobat tradisional yang berasal dari tanaman. Menurut WHO, diperkirakan sekitar 4 milyar
penduduk dunia (± 80%) menggunakan obat-obatan yang berasal dari tanaman. Bahkan
banyak obat-obatan modern yang digunakan sekarang ini berasal dan dikembangkan dari
tanaman obat. WHO mencatat terdapat 119 jenis bahan aktif obat modern berasal dari
tanaman obat (Suganda, A.G, 2002).
Isu global “back to nature” semakin meningkatkan pemakaian obat tradisional di
tingkat nasional maupun global. Di Amerika Serikat jumlah pengguna tanaman obat pada
tahun 1996 dilaporkan sekitar 30% (60 juta orang) dengan nilai uang yang dibelanjakan
mencapai US $ 3.24 milyar dan pada tahun 2001 telah mencapai US $ 40 milyar. Sedangkan
masyarakat Eropa pada tahun 1986 membelanjakan uangnya mencapai US $ 560 juta dan
pada tahun 1996 dilaporkan nilai penjualan tanaman obat di Uni Eropa mencapai US $ 7
milyar. Sejak krisis moneter, Industri obat tradisional Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat. Tahun 1992 jumlah Industri Obat Tradisional Indonesia berjumlah 449 buah yang
terdiri dari 429 buah Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 20 buah Industri Obat
Tradisional (IOT). Pada tahun 1999 jumlah Industri Obat Tradisional Indonesia telah
meningkat menjadi 810 yang terdiri atas 833 buah IKOT dan 87 buah IOT (diperkirakan pada

183

tahun 2002 ini sudah mencapai sekitar 1000 industri). Industri sebanyak ini mampu
menghasilkan perputaran dana sekitar Rp. 1.5 trilyun per tahun.
Badan POM dalam arah pengembangan obat alami membagi 3 kelompok secara
berjenjang yaitu jamu, sediaan ekstrak terstandar dan fitofarmaka. SK Menteri Kesehatan no.
760/Menkes/Per/IX/1992 tentang obat fitofarmaka, dan SK Menteri Kesehatan no.
0584/Menkes/SK/VI/1995 tentang pembentukan sentra pengembangan dan penerapan
pengobatan tradisional, menjadi dasar acuan agar obat tradisional dapat masuk dalam upaya
pelayanan kesehatan formal (UPKF) (Supari. F, 2002). Pada lampiran memaparkan tanaman
obat sebagai fitofarmaka yang prospektif.
Obat alami juga digunakan untuk hewan. Beberapa obat alami yang digunakan dalam
dunia hewan adalah jahe merah (Zingiber officinalis var. rubra) sebagai koksidiostat yang
dapat mengatasi koksidiosis ayam dan meningkatkan respon vaksinansi, pule pandak
(Alstonia scholaris) untuk mengatasi cacingan pada ruminansia, unsur pedas Kapsaisin pada
cabe yang ampuh untuk menahan serangan bakteri penyebab tifus pada unggas. Seiring
dengan meningkatnya animo masyarakat dalam penggunaan obat alami untuk hewan,
pemerintah
melalui
Keputusan
Menteri
Pertanian
dan
Kehutanan
No.
453/Kpts/TN.260/9/2000 telah mengeluarkan peraturan tentang obat alami untuk hewan
(Maheshwari. H, 2002).
9.

Tanaman Obat Sebagai Laboratorium Botani

Tanaman obat sebagai laboratorium botani sangat diperlukan. Peranan laboratorium botani
sebagai media pendidikan dan penelitian perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah
daerah, mengingat masih banyak keanekaragaman hayati yang belum dikaji secara lebih
mendalam untuk memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan hidup. Sumber-sumber
informasi ilmiah yang diperoleh dari kegiatan penelitian yang berkesinambungan dapat
dijadikan sebagai bahan masukan bagi Propinsi NAD dalam kebijakan pembangunan
ekonomi daerah berbasis potensi sumber daya alam. Kajian-kajian ilmiah seperti ekologi,
morfologi, fitokimia, bioteknologi tumbuhan dan sebagainya dapat dijalankan dengan
kemudahan dari taman botani yang dikelola pemerintah daerah.
Berdasarkan penelitian terhadap nilam Aceh dalam aspek lahan dan iklim yang
dilakukan oleh Rosman R & Hermanto dari Balittro, mendapati bahwa Propinsi NAD dapat
diklasifikasikan menjadi 4 kumpulan wilayah pengembangan tanaman nilam Aceh, yaitu
wilayah S1 (amat sesuai), S2 (sesuai), S3 (hampir sesuai), dan N (tidak sesuai) dengan luas
lahan masing-masing seperti pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Luas wilayah kesesuaian lahan bagi tanaman nilam Aceh di Propinsi NAD
Klasifikasi kesesuaian lahan

Luas (ha)

S1
S2
S3
N
Jumlah

1.160.464
1.816.764
1.230.721
1.462.651
5.670.600

Persentase
(%)
20
32
21
27
100

Sumber : Rosman R & Hermanto, 2004
Hal ini merupakan sebagian daripada manfaat yang dapat diperoleh dari hasil-hasil
penelitian yang dilakukan. Pemerintah daerah dapat melakukan secara mandiri dengan
dukungan sumber daya alam (laboratorium botani), kebijakan pemerintah daerah, kerjasama

184

pihak akademisi (pusat penelitian), dan praktisi sehingga diharapkan banyak keuntungan
yang didapat daripada hasil-hasil penelitian untuk membangunkan ekonomi daerah guna
mencapai kesejahteraan masyarakat.
10.

Sentra Budidaya Tanaman Obat

Deputi II Bidang Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik BPOM menuturkan
bahwa dari segi produsen, industri obat tradisional ASEAN paling besar di Indonesia dengan
nilai pasar obat tradisional Rp 2 triliun setahun. Namun dari segi kualitasnya masih bervariasi.
Hal ini disebabkan oleh ketidakseragaman kandungan zat aktifnya. Untuk obat tradisional,
standardisasi dimulai dari teknologi budidaya bahan baku, pascapanen, proses dan hasil
akhir berupa produk obat tradisional. Dalam teknologi budidaya tanaman obat, perlu
mempertimbangkan syarat pertumbuhan tanaman obat tersebut berdasarkan pada
kesesuaian iklim, jenis tanah dan ketinggian tempat tumbuh. Selain daripada itu, pemilihan
bibit, pengolahan tanah, teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman perlu diperhatikan.
Budidaya tanaman obat yang disesuaikan dengan keadaan tanah dan iklim akan
menghasilkan kandungan zat berkhasiat secara maksimal. Contohnya kandungan alkaloid
pada kecubung (Datura metel) paling banyak jika ditanam pada ketinggian 2166 m dpl
(Suganda. A.G, 2002). Berdasarkan kajian tanah dan iklim, mendapati Propinsi NAD
mempunyai lahan seluas 1.160.464 hektar (20% dari luas wilayah) amat sesuai untuk
dikembangkan sebagai sentra-sentra budidaya tanaman obat. Secara teknik lahan tersebut
dapat dibagi menjadi beberapa sentra budidaya tanaman obat yang bernilai ekonomis di
pasaran global seperti pada tabel 2, atau tanaman obat unggulan nasional (sambiloto, jahe
merah, jati belanda, cabe jawa, temulawak, kunyit, salam, mengkudu dan jambu biji).

Rujukan
Anonim, 2005, Pasar domestik dan ekspor produk tanaman obat (Biofarmaka), Pusat Studi
Biofarmaka, IPB, Bogor
Hanna, G. 2006, TOGA, diakses dari http://giacinta.blogspot.com/2006 pada tanggal 3
Desember 2006.
Hasanah. M, 2004, Penelaahan terhadap plasma nutfah khusus: tanaman obat, diakses dari
http://indoplasma.com/artikel pada tanggal 8 desember 2006.
Kardinan. A & Dhalimi. A, 2003, Mimba (Azadirachta indica) tanaman multimanfaat, Jurnal
teknologi perkembangan TRO XV (1).
Maheshwari. H, 2002, Pemanfaatan obat alami: potensi dan prospek pengembangan, diakses
dari http://rudct.tripod.com/sem2_012/hera_maheshwari.htm
Muharso, 2000, Kebijakan pemanfaatan tumbuhan Obat Indonesia. Makalah seminar
“Tumbuhan Obat di Indonesia”, Kerjasama Indonesian Resource Centre for
Indigenous Knowledge (INRIK), Universitas Pajajaran dan yayasan Ciungwanara
dengan Yayasan KEHATI. 26-27 April 2000.
Rosman. R dan Hermanto, 2004, Aspek lahan dan iklim untuk pengembangan nilam di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Perkembangan Teknologi TRO XVI (2).
Puteh. A, 2004, Potensi dan kebijakan pengembangan nilam di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Jurnal Perkembangan Teknologi TRO XVI (2).

185

Sudarmono, 2005, Tsunami dan penghijauan kawasan pantai rawan tsunami, Innovasi 3(3),
PPI, Jepang.
Sufriyadi. E dan Mustanir, 2004, Strategi pengembangan menyeluruh terhadap nilam
(petchouli oil) di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Perkembangan
Teknologi TRO XVI (2).
Suganda. A.G, 2002, Standardisasi simplisia, ekstrak dan produk obat bahan alam, dalam
prosiding Simposium standardisasi jamu dan fitofarmaka, ITB, Bandung, 26
september 2002.
Sukarno dkk, 2002, Meningkatkan jamu dan fitofarmaka menjadi obat pilihan, dalam prosiding
Simposium standardisasi jamu dan fitofarmaka, ITB, Bandung, 26 September 2002.
Sukmaji, 2006, Budidaya TOGA dapat memacu usaha di bidang obat-obat herbal, diakses
dari http//toga.com pada tanggal 8 Desember 2006.
Supari. F, 2002, Prospek penggunaan obat tradisional di kalangan medis, dalam prosiding
Simposium standardisasi jamu dan fitofarmaka, ITB, Bandung, 26 september 2002.
Tim inovasi, 2004, Menata kembali Banda Aceh pasca tsunami, Innovasi 1(8), PPI, Jepang.
Tukiman, 2004, Pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA) untuk kesehatan keluarga,
Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fak. Kesehatan Masyarakat, USU,
Sumatera Utara.
Wakidi, 2003, Pemasyarakatan tanaman obat keluarga “TOGA” untuk mendukung
penggunaan sendiri “self medication”, Bagian Farmasi-Kedokteran, Fak. Kedokteran,
USU, Sumatera Utara.

Lampiran
Tanaman obat sebagai TOGA dan fitofarmaka yang prospektif
No.
1.
2.

Tanaman obat
Temulawak
(Curcuma xantorrhiza oxb)
Kunyit
(Curcuma domestica Val)

Bagian tan. obat
Umbi

Indikasi potensi
Hepatitis, artritis

Umbi

Hepatitis, artritis, antiseptik

186

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

Bawang putih
(Allium sativum Lynn)
Jati Blanda
(Guazuma ulmifolia Lamk)
Handeuleum (Daun ungu)
(Gratophyllum pictum Griff)
Tempuyung
(Sonchus arvensis Linn)
Kejibeling
(Strobilanthes crispus Bl)
Labu merah
(Cucurbita moschata Duch)
Katuk
(Sauropus androgynus Merr)
Kumis kucing
(Orthosiphon stamineus
Benth)
Seledri
(Apium graveolens Linn)
Pare
(Momordica charantia Linn)
Jambu biji (klutuk)
(Psidium guajava Linn)
Ceguk (wudani)
(Quisqualis indica Linn)
Jambu Mede
(Anacardium occidentale)
Sirih
(Piper betle Linn)
Saga telik
(Abrus precatorius Linn)
Sebung
(Blumea balsamifera D.C)
Benalu the
(Loranthus spec. div.)
Pepaya
(Carica papaya Linn)
Butrawali
(Tinospora rumphii Boerl)
Pegagan (kaki kuda)
(Centella asiatica Urban)
Legundi
(Vitex trifolia Linn)
Inggu
(Ruta graveolens Linn)
Sidowajah
(Woodfordia floribunda Salibs)
Pala
(Myristica fragrans Houtt)
Sambilata
(Adrographis paniculata Nees)
Jahe (Halia)

Umbi

Kandidiasis, hiperlipidemia

Daun

Anti hiperlipidemia

Daun

Hemoroid

Daun

Nefrolitiasis, diuretik

Daun

Nefrolitiasis, diuretik

Biji

Taeniasis

Daun

Meningkatkan produksi ASI

Daun

Diuretik

Daun

Hipertensi

Buah
Biji
Daun

Diabetes mellitus
Diare

Biji

Askariasis, oksiuriasis

Daun

Analgesik

Daun

Antiseptik

Daun

Stomatitis aftosa

Daun

Analgesik, antipiretik

Batang

Anti kanker

Getah
Daun
Biji
Batang

Daun

Sumber papain
Anti malaria
Kontrasepsi pria
Anti malaria, diabetes
melitus
Diuretika, antiseptik,
antikeloid, hipertensi
Antiseptik

Daun

Analgesik, antipiretik

Daun

Antiseptik, diuretik

Buah

Sedatif

Seluruh tanaman
daun
Umbi

Antiseptik, diabetes melitus

Daun

Analgesik.Antipiretik,

187

(Zingibers officinale Rosc)
Delima putih
(Punica granatum Linn)
30. Dringo
(Acorus calamus Linn)
31. Jeruk nipis
(Citrus aurantifolia Swiqk)
Sumber: Maheshwari H, 2002
29.

Kulit buah

antiinflamasi
Antiseptik, antidiare

Umbi

Sedatif

Buah

Antibatuk

188