makalah cinta CINTA dan ridha

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas
tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah yang
menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak tertandingi dan
upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan ridha-Nya, kepercayaan yang
mereka

gantungkan

kepada

Allah,

seperti

juga

keterikatan,


keteguhan,

ketergantungan, dan banyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan AlQur`an. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral
semacam itu, seperti keadilan, kasih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati,
penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucapan tak berguna.
Seiring dengan penyajian rinci tentang orang beriman model ini, Al-Qur`an
juga bertutur mengenai kehidupan orang-orang beriman pada masa dahulu dan
bercerita kepada kita bagaimana mereka berdo’a, berperilaku, berbicara, baik di
kalangan mereka sendiri maupun dengan orang-orang lain di luar mereka, dan dalam
menanggapi berbagai peristiwa. Melalui perumpamaan ini, Allah menarik perhatian
kita kepada sikap dan perbuatan yang disenangi-Nya.
Titik pandang sebuah masyarakat yang jauh dari moralitas Al-Qur`an
(masyarakat jahiliyah) terhadap tingkah laku yang secara sosial bisa diterima bisa saja
berubah, sesuai dengan tahapan waktu, suasana, budaya, peristiwa-peristiwa, dan
manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka yang kokoh berpegang pada
ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi,
waktu, dan tempat. Seseorang yang beriman senantiasa tunduk-patuh kepada perintah
dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia mencerminkan akhlaq terpuji.
Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh perilaku yang layak
mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan

semua kualitas perilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar
telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada moralitas
terpuji yang masih terselubung dengan segala keagungan-keagungannya yang
terpendam.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Akhlak Terpuji?
2. Apakah pengertian Ridho?
3. Bagaimana Contoh Sikap Ridho?
4. Bagaimanakah Cinta kepada Allah?
5. Bagaimanakah Iman kepada Allah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian Akhlak Terpuji.
2. Untuk mengetahui pengertian Ridho.
3. Untuk mengetahui Contoh Sikap Ridho.
4. Untuk mengetahui Cinta kepada Allah.
5. Untuk mengetahui Iman kepada Allah.

BAB II
ISI

A. Pengertian Akhlaq Terpuji
Berbicara mengenai akhlak tentulah sangat menarik karena hal tersebut bisa
membentuk sebuah kepribadian seseorang. nah, kepribadian inilah tercermin dalam
tingkah laku perbuatan kita sehari – hari. Menurut bahasa, akhlak merupakan
kebiasaan, tingkah laku, budi pekerti yang tertanam sejak lahir sedangkan menurut
istilah, akhlak merupakan suatu perbuatan yang mencerminkan tingkah laku
perbuatan seseorang baik itu yang buruk maupun yang baik. Akhlak merupakan
suatu perilaku yang bisa kita lihat dengan jelas dari diri seseorang karena, akhlak
tersebut tercermin dari apa yang dialakukan sehari – hari seperti kebiasaan.
Ada dua akhlak yang dimiliki oleh manusia yakni akhlak tercela serta akhlak
terpuji. Akhlak tercela merupakan suatu perbuatan yang tidak dianjurkan untuk
dilakukan karena hal tersebut bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Sedangkan akhlak terpuji merupakan sikap yang segala sesuatunya di aplikasikan
dengan baik seperti perkataan, perbuatan, maupun tingkah laku. Selain itu, akhlak
terpuji ini sesuai dengan apa yang telah dianjurkan agama karena sikap ini mampu
memberikan kedamaian baik bagi diri sendiri maupun orang lain.1
B. Ridho
Ridho secara bahasa menerima dengan suka hati, secara istilah diartikan sikap
menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi
sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta

menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin. Namun adapula
yang mengartikan, Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa
yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah.
Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan
berdampak baik pula bagi hamba-Nya atau Ridho adalah menerima sepenuh hati
tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya
baik berupa perintah larangan ataupun petunjuk – petunjuk lainnya. Perilaku yang
ditampakkan oleh seorang hamba yang ridho adalah ia tidak membenci apa yang
terjadi menimpa dirinya, sehingga terjadi atau tidak terjadi adalah sama saja
baginya..
1

Faridh, Ahmad, Pembersih Jiwa,Pustaka, Bandung, 1990, hal. 12

Bahkan bila tingkatan ridho seorang hamba sudah mencapai tingkat tertinggi,
ia akan selalu memuji Allah apapun yang Allah berikan kepada dirinya baik nikmat
maupun bencana, karena ia percaya apa yang menimpanya semata-mata untuk
kebaikan dirinya. Sang hamba secara suka rela dan senang menerima apapun yang
diberikan Allah kepada-Nya baik berupa nikmat maupun musibah berupa bencana.
Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir

Allah terbagi menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam
dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak
dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan
bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita
sebagai umat-Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama
mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun
jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba.
Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela
terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi
syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah halhal yang sangat diharamkan oleh syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas
qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk
dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan
dan kemungkaran di muka bumi.
Bila ditimpa musibah, janganlah kita mengucapkan “celaka!”, atau seruan
kasar lainnya. Atau bahkan lebih buruk lagi bila kita memukul-mukulkan anggota
tubuh atau mencoba untuk menyakiti diri sendiri.
“Hadis


riwayat

Abdullah

bin

Masud

ra.,

ia

berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar
pipi (ketika tertimpa musibah), merobek-robek baju atau berdoa dengan doa

Jahiliyah (meratapi kematian mayit seraya mengharap-harap celaka).” Menampar
pipi atau menyakiti diri sendiri saat terjadi musibah adalah perbuatan yang dilarang,

apalagi

bila

sampai

melakukan

bunuh

diri.

Na’udzubillah

mindzalik.

Bila seorang muslim ditimpa suatu musibah atau bencana, ucapkan inna lillahi wa
inna ilaihi roji’un. Dan janganlah berkata, “oh andaikata aku tadinya melakukan itu
tentu berakibat begini dan begitu”, tetapi katakanlah, “ini takdir Allah dan apa yang
dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan:

“andaikata” dan “jikalau” membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan)
setan.” (HR. Muslim).
C. Contoh Sikap Ridha
Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang
salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta
memuji Allah swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar,
sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika
taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.
Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan
tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha
kepada Allah swt. dalam situasi apapun.
Dalam riwayat dikisahkan sebagai berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib
r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau
tampak bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua
orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam
haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt.
maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang
siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan
terhapus amalnya”.2
Selain cerita diatas ada juga seperti ini contoh sikap ridho:


2

Khalid, Amru, Berakhlak Seindah Rasulullah, Pustaka Nuun, Semarang, 2007, hal. 65.

a. Bersyukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah di berikan atau prestasi
yang telah di peroleh, sebagai sebuah ungkapan kerelaan hati yang
mendalam.
b. Bersabar dalam hati terhadap musibah yang telah menimpa dengan penuh
kesadaran bahwa musibah atau bencana tersebut merupakan takdir yang
harus diterima dengan penuh lapang dada.
c. Terus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk meraih prestasi yang lebih
baik sebagai keridaan sekaligus harapan terhadap ke mahamurahan Allah
SWT.
d. Menerima dengan penuh kerelan setiap takdir yang Allah tentukan sebagai
bagian dari keimanan kepada-Nya dan keyakinan bahwa dibalik setiap takdir
baik atau buruk selalu tersimpan rahasia dan hikmah yang amat berharga.
e. Berfikir positif terhadap setiap hasil usaha yang maksimal atau prestasi kerja
yang optimal dengan semangat evaluasi dengan semangat evaluasi untuk
memperbaiki diri.

D. Cinta Kepada Allah
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan manusia memiliki cinta. Dengan
cinta, kehidupan terasa indah. Dengan cinta, ibadah dan muamalah semakin
bermakna. Cinta memilki sejuta makna. Cinta tak peduli usia, waktu, maupun
tempat. Dalam ibadah terdapat tiga rukun utama yaitu cinta, takut, dan harap.
Bahkan makna ibadah menurut Syaikhul-Islam adalah sesuatu yang mencakup
kesempurnaan cinta dan ketundukkan. Banyak umat Nabi Muhammad SAW yang
mengaku cinta kepada Allah, namun banyak pula di antara mereka yang tidak
merealisasikannya dengan benar.
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang
menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh
semangat dan rasa kasih sayang3. Cinta dengan pengertian demikian sudah
3

Drs. H.Yunahar Ilyas, Lc.,MA, Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI),
Yogyakarta, 2002, hal. 24

merupakan fitrah yang dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberdaan
cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan
mulia. Bagi seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada

Allah SWT. Cinta kepada Allah yaitu hendaknya Allah SWT yang paling dicintai
dari semua manusia melebihi dirinya, kedua orang tuanya, dan semua yang
dimilikinya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2:165 yang
artinya “ Adapun orang orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah “.
Mencintai Allah lebih dari segala-galanya tidak lain karena dia menyadari
bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah
yang mengelola dan memelihara semuanya itu. Dengan rahman-Nya Dia
menyediakan semua fasilitas yang diperlukan oleh umat manusia jauh sebelum
manusia itu sendiri diciptakan. Dan dengan rahim-Nya Dia menyediakan segala
kenikmatan bagi orang-orang yang beriman sampai hari akhir nanti. Allah-lah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ada beberapa hal mendasar yang mengharuskan kita mencintai Allah SWT, di
antaranya yaitu :
1. Karena Allah SWT berkata tentang orang-orang yang dicintai-Nya :
“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Ali-Imran [3]:31)
2. Karena Allah SWT yang telah menciptakan kita semua dari tidak ada, lalu Dia
menyempurnakan penciptaan kita dan memberikan anugerah dengan berbagai
keutamaan melebihi orang-orang yang diberi keutamaan, di antaranya dengan
kenikmatan Islam. Allah SWT pun memberikan rezeki yang teramat banyak
kepada kita tanpa kita meminta-Nya dan Dialah yang memiliki surga sebagai
balasan amal-amal, sebagai pemberian dan keutamaan, ini merupakan
keutamaan yang awal dan akhir.
3. Rasulullah SAW berdoa agar mencintai Allah SWT. Dan beliau adalah teladan
kita, jika demikian halnya maka kitapun harus mencari cinta Allah SWT
sebagai wujud itibak dan peneladanan kita kepada beliau : “Ya Allah, aku
memohon cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu dan cinta terhadap
amalan yang akan mendekatkanku kepada cinta-Mu”. HR. Al-Tirmidzi.

Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan
mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta
utama. Sedangkan cinta kepada ibu bapak, anak-anak, sanak saudara, harta
benda, kedudukan dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus
berada dibawah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau
diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaan cinta itu harus pula
sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya. Apabila cinta menengah
diangkat melebihi cinta utama maka cintanya jatuh menjadi hina, tidak ada
nilainya. Inilah yang disebut cinta paling rendah.
Abdullah Nashih ‘Ulwan menyebut tiga tingkatan cinta itu dengan
istilah:
1.

Al-mahabbah al-ula (Cinta Utama)

2.

Al-mahabbah al-wustha (Cinta Menengah)

3.

Al-mahabbah al-adna (Cinta paling Rendah)4
Sebagai ilustrasi bagaimana cinta menengah bisa jatuh menjadi cinta

paling rendah dapat dikemukakan dua contoh sebagai berikut:
Pertama, berdagang termasuk perwujudan dari cinta harta benda (Almahabbah al-wustha). Tapi apabila seseorang dalam berdagang tidak lagi
memperdulikan halal dan haram, meghalalkan segala cara untuk mencari
keuntungan, atau dengan bahasa lain tidak lagi mengindahkan aturan Allah
dan Rasul-Nya, maka cinta terhadap harta benda seperti itu yang semula
temasuk Al-mahabbah al-wustha jatuh menjadi Al-mahabbah al-adna karena
melebihi Al-mahabbah al-ula.
Kedua, termasuk dalam pengertian cinta kepada ibu bapak (abaukum)
adalah cinta kepada nenek moyang. Dan slah satu bentuk cinta kepada nenek
moyang adalah melestarikan tradisi yang diwarisi dari mereka secara turun
temurun. Diantara tradisi tersebut ada yang mengandung unsur syirik, atau
yang melanggar syariah islam. Bila seorang muslim tetap saja melakukannya,
dengan alasan sudah menjadi tradisi maka cinta kepada nenek moyang, yang
4

Drs. H.Yunahar Ilyas, Lc.,MA, Kuliah Akhlaq, ....................................., hal. 25

semula temasuk Al-mahabbah al-wustha jatuh menjadi Al-mahabbah al-adna
karena melebihi Al-mahabbah al-ula.
Ketahuilah,

semoga Allah

senantiasa

merahmati

kita

semua,

sesungguhnya segala sesuatu itu memiliki tanda, demikian pula halnya
kecintaan Allah kepada hambanya pun memiliki tanda-tanda di antaranya :
1. Ber-itibak (mengikuti) kepada Rasulullah SAW. Hal ini merupakan sebuah
kewajiban bagi kita sebagai Umat Rasulullah SAW. Siapa saja yang paling
mengikuti syariat Rasulullah SAW maka dia adalah orang yang paling taat
kepada Allah SWT dan paling mendapatkan cinta dan ampunan dari-Nya.
2. Banyak mengamalkan amalan-amalan sunnah seperti shalat Sunnah, Puasa
Sunnah, Haji Sunnah, Sedekah Sunnah dll. Sebagaimana dalam hadist qudsi
Allah SWT berfirman : “Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya
kepada-Ku dengan amalan-amalan Sunnah sampai Aku mencintainya”. HR.
Bukhari
3. Penerimaan penduduk bumi terhadapnya dan mereka mencintainya. Hal ini di
karenakan apabila Allah SWT mencintai seorang hamba maka Allah
memerintahkan kepada Malaikat Jibril untuk meletakkan penerimaan
terhadapnya di muka bumi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Jika Allah
mencintai seorang hamba maka Allah menyeru kepada Malaikat Jibril
bahwasanya Allah mencintai fulan (seseorang) maka cintailah dia ‘lalu
Malaikat Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk
langit ‘Sesungguhnya Allah mencintai-nya, kemudian diletakkan penerimaan
kepadanya pada seluruh penghuni bumi.” HR. Bukhari.
Cinta merupakan amalan hati yang bisa menjadi sebuah ibadah atau justru
kemaksiatan. Oleh karena itu, para ulama membagi cinta menjadi beberapa macam :
1. Ibadah yaitu cinta yang merupakan bagian dari sebuah ibadah yang agung
yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah SWT. Hal ini adalah
mencintai Allah SWT dan mencintai semua yang dicintai-Nya. Dalilnya
adalah : Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintainya kepada
Allah. (QS. Al-Baqarah [2] : 165)

2. Syirik yaitu cinta kepada selain Allah SWT yang disertai ketundukan dan
pengagungan terhadap yang dicintainya yang hal tersebut tidak layak
diberikan kecuali hanya kepada Allah SWT semata. Dalilnya adalah firman
Allah SWT : “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah ; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah [2] : 165).
3. Kemaksiatan yakni seperti kecintaan kepada kemaksiatan-kemaksiatan, cinta
kepada bidah dan pelakunya serta cinta kepada perkara-perkara yang
diharamkan

oleh

Allah

SWT

sebagaimana

firman

Allah

SWT

:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. (QS. An-Nur [24] : 19).
4. Cinta Tabiat, seperti kecintaan kepada kedua orang tua, kepada anak-anaknya,
keluarganya dll. Yang hal ini merupakan tabiat setiap manusia. Maka hal ini
dibolehkan oleh Allah SWT. Allah berfirman : “Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanitawanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di
dunia , dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga). QS. Ali Imran
[3] : 14).
E. Iman Kepada Allah
Iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah,
pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan
diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada
Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan
segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan
dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.5
Rukun Iman yang di pahami oleh kaum muslim secara umum meliputi iman
kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada Nabi,
iman kepada hari kiamat, dan iman kepada qada’ dan qadar Allah. Adapun
penjelasannya sebagai berikut :
5

Rois Mahfud, Al-Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2011, hal. 12

1.

Iman kepada Allah.
Patuh dan taat kepada ajaran dan hukum-hukum Allah.

2.

Iman kepada malaikat-malaikat Allah.
Mengetahui dan percaya akan keberadaan kekuasaan dan kebesaran Allah
di alam semesta.

3.

Iman kepada kitab-kitab Allah.
Melaksanakan ajaran kitab-kitab Allah hanif. Salah satu kitab Allah
adalah Al-Qur'an. Al-Qur'an memuat tiga kitab Allah sebelumnya, yaitu
kitab kitab Zabur, Taurat, dan Injil.

4.

Iman kepada rasul-rasul Allah.
Mencontoh perjuangan para Nabi dan Rasul dalam menyebarkan dan
menjalankan kebenaran yang disertai kesabaran.

5.

Iman kepada hari kiamat.
Faham bahwa setiap perbuatan akan ada pembalasan.

6.

Iman kepada Qada dan Qadar.
Paham pada keputusan serta kepastian yang ditentukan Allah pada alam
semesta.

Dan imam secara umum di pahami sebagai sesuatu keyakinan yang di
benarkan dalam hati, di ikrarkan dengan lisan dan di buktikan dengan amal
perbuatan yang di dasari niat yang tulus dan ikhlas dan selalu mengikuti petunjuk
Allah SWT serta sunnah nabi Muhammad SAW. Dalam Al-qur’an terdapat
sejumlah ayat yang menunjukkan kata – kata iman, di antaranya terdapat pada
firman Allah QS. AL-Baqarah 2:165, yang artinya “ adapun orang – orang yang
beriman sangat besar cintanya kepada Allah “.6
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman)
sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang
mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan
lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab ketiga unsur keimanan tersebut
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi
seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya,
6

Rois Mahfud, Al-Islam, ..............................., hal. 13

sebagaimana firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman.
Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al
Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya.
Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, RasulrasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.”
(Q.S. An Nisa : 136) Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar
kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak
akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah
sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.7

7

Azra, Prof. Dr. Azyumardi, Dkk, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi
Umum.Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 2002, hal.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cinta kepada Allah SWT itu bersumber dari iman. Semakin tebal iman sesorang
semakin tinggi cintanya kepada Allah. Bahkan bila disebutkan nama Allah hatinya akan
bergetar. Sejalan dengan cinta, seorang muslim haruslah dapat bersikap ridha dengan segala
aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa
penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, baik berupa
perintah, larangan ataupun petunjuk-petunjuk lainnya. Manusia akan melaksanakan semua
perintah, meninggalkan semua larangan dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk-Nya juga
dengan segala senang hati. Manusia dapat ridha karena mencintai Allah, dan yakin bahwa
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Maha Mengetahui segala-galanya, Yang
Maha Bijaksana tentulah tidak akan membuat suatu aturan yang tidak sesuai atau akan
merugikan umat manusia makhluk ciptaan-Nya.
Dengan keyakinan seperti itu dia juga akan rela menerima segala qadha dan qadar
Allah terhadap dirinya. Manusia akan bersyukur atas segala kenikmatan, dan akan bersabar
atas segala cobaan. Demikianlah sikap cinta dan ridha kepada Allah SWT. Dengan cinta kita
mengharapkan ridha-Nya, dan dengan ridha kita mengharapkan cinta-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Drs. H.Yunahar, Lc., MA. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI). 2002
Mahfud, Rois. Al-Islam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2011
Khalid, Amru. Berakhlak Seindah Rasulullah. Semarang: Pustaka Nuun. 2007
Azra, Prof. Dr. Azyumardi, Dkk. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan
Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam. 2002
Faridh, Ahmad, Pembersih Jiwa, Bandung: Pustaka, 1990