Desentralisasi dan Akuntabilitas kebijakan Pemerin

DISKRESI PEMERINTAH DAERAH DAN AKUNTABILITAS
Bahasan mengenai Review Jurnal dengan Judul;

Linking Local Government Discretion and
Accountability in Decentralisation
Oleh;
Serdar Yilmaz, Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet
Dimuat dalam ;
Development Policy Review, 2010, 28 (3): 259-293

Andy Arya Maulana Wijaya

1

BAB I
PENDAHULUAN
Desentralisasi merupakan sarana untuk memberikan kewenangan kepada daerah
untuk dapat berprakarsa dalam pemerintahan daerahnya. Melalui model otonomi daerah yang
dijalankan di Indonesia termaktub dalam UU No 32 Tahun 2004, menghendaki adanya
kedekatan antara negara (state) kepada masyarakat (society), sehingga anatara keduanya
dapat tercipta interaksi yang dinamis dalam pembangunan daerah. disamping itu, hal ini juga

dimaksudkan sebagai dinamisasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pada
tahapan implementasi kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat di daerah.
namun esensi desentralisasi dan otonomi daerah tersebut secara tegas diartikulasikan bukan
sebagai tujuan akhir, namun dalam hal ini tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Saat ini persoalan mendasar dari desentralisasi bukan saja di Indonesia namun juga
terjadi di berbagai negara adalah persoalan akuntabilitas. Kewenangan yang diberikan pada
pemerintah daerah terkadang tercederai dengan kurangnya akuntabilitas, disamping itu juga
desentralisasi yang seharunya dijalankan berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat
melalui supply dan demand dari masyarakat belum optimal berjalan. Sehingga pelaksanaan
desentralisasi selalu diperhadapkan pada akuntabilitas pemerintah daerah terutama dalam
kebijakannya di daerah.
Disisi lain, dalam pelaksanaan desentralisasi kini diperkenalkan dengan konsep
diskresi yakni keleluasaan yang diberikan kepada pemimpin atau kepala daerah untuk dapat
menentukan kebijakan yang disesuaikan pada kebutuhan daerahnya. Namun, timbul
persoalan mengenai keleluasaan tersebut dalam bingkai desentralisasi. Sejumlah pengamat
mengatakan bahwa diskresi memberi ruang kepada pemimpin/kepala daerah untuk
melakukan penyimpangan sehingga hal ini menciderai akuntabilitas yang dimaksudkan
dalam esensi desentralisasi. Merujuk pada permasalahan ini, timbul pertanyaan mendasar
apakah diskresi dan akuntabilitas dalam desentralisasi dapat saling mendukung?. Berikut

akan disajikan artikel mengenai hal ini.
Serdar Yilmaz, Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet (2010) dalam artikelnya
Linking Local Government Discretion and Accountability in Decentralisation. Mencoba
mengetengahkan masalah akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi, dimana mereka
meyakini bahwa Desentralisasi dapat menawarkan kesempatan yang baik untuk
meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah. Dengan mengkaji beberapa literatur serta
contoh kasus mengenai pelaksanaan desentralisasi di berbagai negara, untuk kemudian
mendiskusikan faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pemerintah daerah, kaitannya
kemudian dengan diskresi daerah dalam kebijakan desentralisasi.
Khasanah bahasan dalam artikel ini kemudian akan memberikan gambaran kepada
kita terkait bahasan keterkaitan antara desentralisasi dan penciptaan akuntabilitas dalam
pelaksanaanya. Selain itu, artikel ini mendiskusikan tiap variabel yang digunakannya dengan
mengkonstruknya dalam dua hal yaitu seputar faktor yang mempengaruhinya dan terkait apa
yang membuat hal tersebut menurunkan akuntabilitas. Walaupun kemudian disadari bahwa
artikel ini tidak terlepas dari adanya generalisasi permasalahan yang melingkupi berbagai

2

negara dalam pelaksanaan desentralisasinya, tapi tentunya menarik jika kemudian persoalan
yang ada ditarik pada kondisi saat ini.

Kemudian dalam pembahasan artikel ini, mencoba menjelaskan persoalan diskresi
dan akuntabilitas dalam desentralisasi. Dengan mencoba mendiskusikan diawal mengenai
tantangan pemerintah daerah terhadap hubungan diskresi dan akuntabilitas, kemudian penulis
mencoba lebih mengeksplor lebih jauh terkait potensi hubungan ini dalam perspektif
desentralisasi politik, administrasi dan fiskal. berikut ringkasan dari artikel tersebut;
1. Tantangan Pemerintah Daerah : Hubungan Kebijakan dan Akuntabilitas.
Melalui kajian literatur yang dilakukan dalam praktek desentralisasi di berbagai
negara, artikel ini mencoba mendiskusikan mengenai lemahnya praktek desentralisasi yang
terjadi. Dengan mencermati reformasi desentralisasi yang efektif sebagai masukan dalam
permasalah tersebut, mereka melihatnya melalui beberapa pendekatan yakni pendekatan
parsial dan terfragmentasi, pendekatan komprehensif dan strategi peruntutan. Hal ini, sangat
penting untuk menciptakan kerangka pemerintah daerah yang tepat, kebijakan yang seimbang
dan akuntabilitas (p.259)
Desentralisasi sebagai bentuk devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah, sudah barang tentu kemudian desentralisasi diperhadapkan dengan
mekanisme akuntabilitas untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik di daerah. Melalui
reformasi desentralisasi yang menjadi issue di berbagai negara saat ini, artike ini mencoba
untuk menjelaskan adanya peningkatan akuntabilitas pemerintah untuk menciptakan
pemerintahan yang responsif dan bertanggung jawab melalui reformasi desentralisasi.
Tantangannya kemudian, Pemerintah cenderung hanya menekankan pada mekanisme

internal dan seringkali mengabaikan sisi eksternal seperti pengawasan masyarakat dan
pengawasan politik. Disamping itu dengan mengacu pada hubungan antara kebijaksanaan dan
akuntabilitas dalam reformasi birokrasi akan lebih rumit jika aspek fiskal, administrasi dan
politik diabaikan. Beberapa tantangan dalam bahasan mengenai desentralisasi dan
akuntabilitas dalam artikel ini, dapat dijelaskan secara ringkas adalah sebagai berikut :
a. Adanya alokasi keuangan publik yang ditekankan pada efisiensi keuntungan pada
desentralisasi fiskal, menurunkan potensi dinamika politik yang membuat adanya
capture by the local elite (p.260). seringkali buruknya reformasi desentralisasi
dirancang dan dilaksanakan karena kurangnya pemahaman hubungan kekuasaan
dan akuntabilitas antara berbagai aktor di daerah.
b. Hubungan antara diskresi lokal dan akuntabilitas jauh lebih kompleks ketimbang
akuntabilitas yang secara otomatis muncul dari meningkatnya diskresi. Bahkan
tantangan lainnya, adalah pemerintah perlu meningkatkan alokasi sumber daya
dalam pelayanan publik dan memperluas kebijakan pemerintah daerah dalam
penggunaan sumber daya tersebut. Karena jika tidak upaya desentralisasi
kemungkikan besar akan sulit menciptakan pemerintah yang akuntabel (p.261).
c. Desentralisasi menyebabkan adanya interaksi baru dan kontrak hubungan antara
perusahaan swasta kecil atau besar dan antara penyedia dan penyedia jasa,
masyarakat dan organisasi non pemerintah. Relasi ini menggambarkan bagaimana


3

sebuah sistem good governance diterapkan dalam model reformasi desentralisasi
yang dikemukakan disini (p.262).
d. Menyangkut hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana
pemerintah pusat memberikan diskresi kepada daerah dalam menyelenggarakan
pelayanan publik. sehingga terkadang ditemukan bahwa hubungan akuntabilitas
keatas pada pemerintah pusat, bisa jadi bertentangan dengan diskresi dan
akuntabilitas yang dilakukan di tingkat lokal (p.262).
2. Kondisi Politik Lokal dan Akuntabilitas.
Dalam pelaksanaanya desentralisasi tentunya dipengaruhi oleh kondisi politik lokal
yang berlangsung, dialektika tersebut kemudian menyangkut kepemimpinan dan tata
organisasi di pemerintah daerah yang bersangkutan. Dalam bahasan selanjutnya artikel ini
menyajikan elemen-elemen struktural didaerah untuk mendefinisikan tindakan politik, dana
menerapkan beberapa pengaturan terkait hal tersebut untuk meningkatkan hubungan
akuntabilitas ke bawah antara pemerintah daerah dan masyarakat.
Seperti yang dikemukakan sebelum artikel ini akan membahas variabel yang
didiskusikan didalamnya, pada dua hal yakni faktor dan hal yang bisa menurunkan
akuntabilitas. untuk itu, artikel ini memberikan dua kerangka mencermati kondisi politik
lokal tersebut, dalam menciptakan akuntabilitas pemerintah. Yaitu ;

a. Faktor Gambaran dan Kondisi Politik Lokal
Menurut artikel ini, kerangka politik yang tepat untuk menciptakan akuntabilitas
adalah independensi pemimpin lokal yang terpilih (bahkan menurutnya jika itu bertentangan
dengan pihak sendiri atau pemerintah pusat) dan bertindak responsif (sesuai tuntutan dari
masyarakatnya). Disamping itu, pemimpin lokal akan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
(i) Pengaturan Kelembagaan dan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Dalam hal ini menyangkut check and balances kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga masing-masing memiliki peran serta
dalam kebijakan pemerintah daerah, juga dalam hal penyelesaian konflik
masyarakat. Kejelasan kelembagaan dan kekuasaan pemimpin lokal tentunya
akan lebih menciptakan pemerintahan yang akuntabel, dengan lahirnya
mekanisme yang saling kerjasama dan mengawasi. hubungan yang lain dari
kekuasaan tersebut tercermin dalam kelembagaan yang dibahas dalam artikel ini
yaitu; Sistem Walikota yang kuat, Dewan yang Kuat, Dewan Manajer dan
Komisaris (p.265)
(ii) Pilihan Hukum dan Sistem Pemilihan Umum, pemimpin lokal yang baik terpilih
melalui sistem pemilu yang baik. Menurut artikel ini, jika sistem pemilu tidak
mengamankan persaingan yang nyata dikalangan politisi lokal, reformasi
desentralisasi akhirnya mungkin hanya akan memperkuat kekuasaan kelompok
politik lokal. Penentuan sistem pemilihan yang tepat dalam konteks lokal akan

menentukan aspirasi masyarakat (minoritas) dapat terakomodasi dalam
pemerintah daerah. walaupun hal ini tidak menunjukkan relevansi yang besar,

4

namun ketepatan dalam pengaturan pemilu akan berpengaruh pada akuntabilitas
pemerintah daerah (p.266).
(iii) Eksistensi Fungsi Partai dan Hukum Partai Politik. Tantangannya dalam
pemerintahal lokal, kemudian digambarkan dalam artikel ini adalah adanya
mekanisme patron-klien di daerah, pengaruh struktur partai nasional hingga
kedaerah, sehingga besar kemungkinan pemimpin lokal akan sangat dipengaruhi
oleh ideologi partai dalam menjalankan tugasnya di daerah. pada gilirannya hal
ini akan mempengaruhi tingkat akuntabilitas pemerintahan daerah juga (p.267268).
b. Membuat politik lokal menurunkan akuntabilitas.
Hal ini dapat dilihat dari cara memperkuat akuntabilitas politik, dimana dengan
memilih pejabat lokal untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif atau dengan
melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dalam perjalanannya
artikel ini menawarkan dua model memperkuat akuntabilitas politik, yakni melalui:
(i) Pendekatan Akuntabilitas publik, hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa
pejabat terpilih menjalankan kekuasaan diskresinya atas nama semua tingkatan

masyarakat. salah satu penciri dari akuntabilitas publik terhadap pemimpin lokal
ini adalah dengan adanya pembatasan masa jabatan, agar pemimpin tidak terus
menerus bercokol dan mencegah lahirnya patronase politik lokal (p.269-271).
(ii) Pendekatan Akuntabilitas Sosial, dimaksudkan sebagai mekanisme yang
merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk memperdalam demokrasi
dan memastikan ruang publik yang kuat bagi masyarakat untuk memberikan
umpan balik dan kontrol publik atas kinerja pemerintah, hal ini dilakukan
dengan pembentukan kelembagaan dan pendampingan bagi masyarakat untuk
melakukan kontrol pemerintah (p.271-272).
3. Diskresi Administrasi Lokal dan Akuntabilitas
Penting kiranya untuk merespon kondisi lokal dengan memberikan diskresi kepada
pemerintah daerah dalam hal otonomi administrasinya. Maksud dari diskresi menurut artikel
ini adalah kekuasaan untuk membuat, mengubah dan menegakkan keputusan, peraturan atau
hukum, untuk mengatur pengadaan sistem (berdasarkan standar nasional) dan untuk
melaksanakan pelayanan publik dan memilih pegawai. Dalam memahami diskresi tersebut,
dalam artikel ini mengemukakan beberapa jalur yang dapat dilakukan, yakni;
a. Faktor yang mempengaruhi diskresi administrasi lokal.
Adapun dalam bahasan disini mengemukakan, beberapa aspek yang mendukung
dalam diskresi pemerintah daerah dalam administrasinya. Pertama, kemampuan mengatur
(ability to regulate), menyangkut kekuasaan dan kapasitas pemerintah untuk memulai masih

lemah. Disamping itu, pemerintah daerah juga belum mempunyai kekuatan untuk
menghukum ketidakpatuhan terhadap aturan yang ada. Tentu terkait hal ini akan sangat
mempengaruhi kondisi administrasi lokal yang terbangun.
5

Kedua, diskresi untuk memperoleh dan mengatur pelayanan (Discretion to procure
and administer services), hal ini tentu mempengaruhi kondisi diskresi administrasi lokal,
pemerintah daerah belum diberi diskresi untuk memperoleh fleksibilitas dalam menentukan
pengadaan barang dan jasa.
Ketiga, diskresi dalam pelayanan publik dan kebijakan pegawai (Discretion over civil
service and employment policies) tentunya hal ini menyangkut keleluasaan pemerintah daerah
dalam melaksanakan pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat, namun kecenderungan
yang muncul dari para pelaksananya (Pegawai Negeri) terlihat pada manajemen dalam
realokasi kekuasaan dan pekerjaan, geografis dan kelembagaan tersebut, diperhadapkan
dengan penolakan birokrasi untuk melakukan reformasi desentralisasi. Isu yang terkait
dengan status, prestise dan mobilitas tenaga kerja sering menghambat relokasi atau dislokasi
PNS di seluruh tingkatan pemerintahan. Kemudian ada kecenderungan bahwa di mana para
pejabat pemerintah pusat itu hanya dipindahkan ke pemerintah daerah setelah reformasi
desentralisasi diberlakukan, namun tidak diiringi dengan kekuasaan diskresi atas PNS
pemerintah pusat yang dialihkan ke pemerintah daerah. (p.273-275).

b. Membuat Administrasi Lokal Menurunkan Akuntabilitas.
Bahasan disini menyangkut pada keterlibatan pengawasan sipil terhadap layanan
kontrol mencakup transparansi anggaran pada pembayaran staff, kebijakan dan praktek
perjanjian, dan praktek dan kontrol anggaran. Langkah-langkah tersebut diperlukan untuk
menjamin transparansi dan keterbukaan proses kebijakan untuk menghindari adanya
kesalahan dan korupsi. Dikemukakan pula dua hal dalam melihat pendekatan tersebut, yakni :
(i) Pendekatan akuntabilitas publik, menyangkut pada peran lembaga kontrol sektor
publik. terdapat tiga pendekatan dalam meningkatkan akuntabilitas publik dalam
hal ini, yaitu adanya struktur lembaga kontrol publik dalam hirarki birokrasi ,
adanya badan yang independen (conth: ombudsman, KPK dsb), dan
penatausahaan lembaga kontrol tersebut (p.276).
(ii) Pendekatan akuntabilitas sosial, pendekatan ini diperlukan sebagai dasar
informasi bagi praktik pelayanan publik dan jasa. Penekanannya adalah perlunya
masyarakat mendapatkan informasi tentang kebijakan sebagaimana hubungan
antara pemerintah dan penyedia layanan. Dengan adanya pendekatan ini
diharapkan adanya inisiatif dalam akuntabilitas sosial berbasis masyarakat dalam
pengawasan pelayanan publik. dimana saat ini berkembang sebuah kemitraan
antara pemerintah sebagai penyedia layanan publik dan masyarakat dalam bentuk
citizen charter, dengan itu akan dapat menciptakan pemerintahan yang akuntabel
(p.277-278).

4. Diskresi Fiscal dan Akuntabilitas.
Sebagai bahasan terakhir dalam artikel ini, menyatakan bahwa kinerja pemerintah
daerah secara intrisik terkait dengan ruang lingkup dan sifat pengaturan fiskal (anggaran)
antar pemerintah. Kebutuhan akan fiskal juga sangat penting dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah untuk membiayai kelangsungan berbagai pelayanan bagi masyarakat.
dalam bahasan selanjutnya pada bagian ini dibagi menjadi dua, yakni:

6

a. Faktor yang menentukan Diskresi Fiskal
Beberapa hal yang meliputi faktor yang mempengaruhi diskresi fiskal oleh
pemerintah lokal dengan pemerintah pusat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah,
sebagai berikut :
(i) Mengelola Pengeluaran (expenditure assigment). Esensi dari desentralisasi adalah
memberikan tanggungjawab pengeluaran kepada pemerintah daerah dalam rangka
meningkatkan partisipasi warga dalam pembuatan keputusan. Dengan maksud
tersebut pemerintah daerah diberikan diskresi untuk mengelola pengeluaran
(belanja), pemerintah dapat lebih merespon kebutuhan lokal. Tantangannya
kemudian adalah pemerintah daerah memerlukan kelembagaan yang jelas dan
kerangka kerja yang dapat menggambarkan tanggungjawab kepada berbagai tingkat
pemerintahan.
(ii) Mengelola Pendapatan (Revenue assignment) , implikasi praktis dari hal ini dalah
pemerintah daerah harus diberi kewenangan untuk menarik pajak sendiri di daerah.
otonomi pendapatan tersebut dan beberapa inisiatif pajak sangat penting untuk
mendorong pertanggungjawaban ke masyarakat dan meningkatkan efisiensi kinerja
pemerintah daerah. namun untuk kasus dibeberapa negara, pemerintah pusat
melakukan intervensi pada pendapatan daerah, sehingga secara tidak langsung
membatasi ruang diskresi pemerintah daerah dalam hal ini.
(iii) Keuangan dalam jurang fiskal (Financing the fiscal gap), dengan adanya transfer
keuangan antar pemerintah akan memiliki implikasi untuk akuntabilitas pemerintah,
karena dengan hal ini akan mempengaruhi ketergantungan fiskal pemerintah pusat
dan daerah dalam meningkatkan kemampuan pendapatan. Tantangannya adalah
dengan tingginya derajat ketergantungan pendapatan dan kurang baiknya desain
sistem perubahan yang fokusnya pada pemerintah daerah akan menjauhkan
masyarakat kepada pemerintah pusat.
(iv) Infrastruktur Keuangan : Pinjaman Daerah (Financing infrastructure: local
government borrowing). Kebutuhan akan investasi didaerah kemudian menjadikan
pemerintah daerah membutuhkan adanya sebuah investasi maka pemerintah daerah
melakukan pinjaman keuangan. Namun ketergantungan akan pinjaman ini akan
berdampak negatif pada makro ekonomi. Karena itu, pemerintah pusat membatasi,
mengendalikan, atau bahkan melarang penerbitan utang oleh pemerintah daerah.
bahkan di sejumlah negara berkembang. Pembatasan yang kuat terhadap akses pada
pinjaman ini, menurut bahasan dalam artikel ini akan membatasi inovasi dan
kebijaksanaan pemerintah lokal.
b. Membuat Keuangan Lokal menurunkan akuntabilitas.
Desentralisasi fiskal tergantung pada kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola
pendapatan dan pengeluaran secara efektif serta membutuhkan lembaga yang kuat untuk
menciptakan akuntabilitas keuangan. Tanpa adanya sistem manajemen yang baik,
akuntabilitas keuangan tidak dapat diapastikan, karena pemerintah daerah rentan terhadap
terjadinya korupsi dan inefisiensi keuangan serta berbagai penyimpangan lainnya. Dua hal
yang diperhatikan dalam bagian ini adalah ;
7

(i) Pendekatan Akuntabilitas Publik, fokus dalam meningkatkan akuntabilitas sektor
publik adalah pada manajemen yang efektif dan efisien. Disamping itu juga
dibutuhkan, adanya keuangan publik yang transparan, kebijakan yang berbasis
penguatan kapasitas lokal, penetapan pengendalian transfer antar pemerintah,
aturan yang jelas, bertanggungjawab dan tersedianya akses informasi kepada
publik.
(ii) Pendekatan Akuntabilitas Sosial, masalah anggaran selalu dianggap merupakan
persoalan teknis yang hanya berada ranah eksekutif nasional dan pemerintah
daerah, sehingga masyarakat sipil kekurangan kapasitas untuk terlibat dan
melakukan pengawasan, hal ini terutama terjadi di tingkat lokal. Padahal, untuk
menumbuhkan akuntabilitas sosial perlu kiranya ada sebuah mekanisme dalam
perumusan kebijakan daerah dan informasi mengenai penggunaan anggaran yang
dapat diakses oleh masyarakat (publik). untuk itu, maka dimungkinkan
keterlibatan masyarakat dalam proses anggaran melalui praktek-praktek
penganggaran partisipatif, analisis anggaran independen dan mengawasi
pengeluaran publik secara partisipatif untuk meminimalisir adanya kebocoran
dana.
Sebagai kesimpulan dalam artikel ini adalah penulis kemudian mencoba menawarkan
empat kemungkinan kombinasi diskresi dan akuntabilitas dalam konteks negara tertentu :
(i) Keduanya sangat rendah, dimana negara yang sangat sentralistik tanpa adanya
akuntabilitas pemerintah daerah, fokusnya adalah pada kebijaksanaan lokal
dalam jangka pendek. Dengan mengambil contoh di Indonesia dimana fungsi
dan sumber daya diatur melalui dua Undang-undang (UU 22/1999 dan UU
25/1999). Sedangkan tindakan kelembagaan untuk meningkatkan akuntabilitas
lokal diperkenalkan kemudian.
(ii) Diskresi yang tinggi tetapi tidak memiliki akuntabilitas, kombinasi ini mungkin
benar-benar diterima bagi pemerintah daerah, namun membuat adanya
kerentanan terhadap capture of elit atau mudah membuat keputusan yang
sembrono, tampilannya disini ditunjukkan pada pembuat keputusan
menempatkan prioritas yang lebih tinggi pada promosi politik pluralisme,
akuntabilitas administrasi, dan perlindungan fiscal dalam jangka pendek serta
pembuat keputusan menempatkan promosi pada posisi yang tertinggi.
(iii) Negara lebih fokus pada pembangunan akuntabilitas stuktur pemerintah daerah,
dalam banyak kasus dibentuk ex ante penerimaan dan kontrol input, tapi tanpa
tingkat diskresi yang tinggi dalam pengambilan keputusan, terutama untuk
tingkat pemerintahan atas yang membuat keputusan besar, dengan sedikit
masukan
akuntabilitas terhadap masyarakat, baik kebijaksanaan dan
akuntabilitas diperkuat secara bersamaan.
(iv) pemerintah daerah memiliki kekuasaan diskresi yang tinggi disertai
akuntabilitas yang tinggi pula terhadap masyarakat. Skenario ini
mengasumsikan bahwa desentralisasi dalam semua dimensi (politik,
administratif, dan fiskal) diberlakukan secara penuh, dan itu berhasil
mengintegrasikan akuntabilitas dalam pendekatan publik dan pendekatan sosial.
8

Pada kondisi ideal ini, penulis menggambarkan pembenahan hubungan relasi
kekuasaan dan pembagian tugas terhadap empat aktor dalam desentralisasi,
yaitu; warga-klien (yang miskin dan rentan), pembuat kebijakan (politisi,
anggota parlemen, regulator), Organisasi (departemen, sektor swasta, non-profit,
dsb), dan Penyedia Layanan (orang-orang yang melakukan kontak langsung
dengan masyarakat mis, guru, dokter dsb).
Desentralisasi sering disalahkan karena tidak memenuhi janjinya, dan karena itu gagal
membangun dampak positif pada pembangunan daerah. dalam banyak kasus yang
ditunjukkan penulis dalam artikel tersebut, banyak pemerintah pusat merespon friksi tersebut
dengan memberlakukan kontrol yang lebih ketat dan standar akuntabilitas yang berlebihan
pada pemerintah daerah, Namun, artikel ini berpendapat, mengurangi kekuatan dan fungsi
bukanlah bentuk akuntabilitas. Kompleksitas yang ada terhadap masalah desentralisasi
berhadapan dengan akuntabilitas yang diinginkan dalam pemerintah daerah. Pesan dari
artikel ini adalah bahwa pertanggung jawaban pemerintan daerah kepada pemerintah pusat
tidak cukup memastikan kebijakan lokal yang tepat. Untuk itu, artikel ini menawarkan
adanya mekanisme voice pada masyarakat untuk mendorong akuntabilitas pemerintah.
Terakhir, artikel ini menyebutkan bahwa wujud kesempurnaan hubungan antara
diskresi dan akuntabilitas di pemerintah daerah memang tidak memungkinkan. Walaupun
pada posisinya terdapat contoh kasus yang dapat menghubungkan ini pada pemfokusan
terhadapa adanya permintaan (demand) dari masyarakat. tapi, pada akhirnya keputusan untuk
mendesentralisasikan kekuasaan pemerintahan ada pada keputusan politik. Namun implikasi
dari artikel ini bagi akuntabilitas ditujukan untuk merancang mekanisme yang tepat dimana
keleluasaan (diskresi) dan akuntabilitas saling mendukung.

9

BAB II
PEMBAHASAN
Tuntutan terhadap reformasi sektor publik kemudian melahirkan rangkaian
pemerintahan yang diorientasikan untuk memenuhi pelayanan publik yang lebih baik,
pemerintahan yang responsif terhadap kondisi masyarakat dan akuntabilitas pemerintahan.
Ketika desentralisasi menjadi bagian integral dari paket reformasi sektor publik, sudah
seharusnya proses pemerintahan dapat menjadi a part of problem, bukan a part of
solution dalam keseluruhan proses pembangunan. Dalam konteks inilah kemudian perlu ada
kewenangan yang diberikan kepada setiap tingkatan pemerintahan, disamping itu juga perlu
didukung dengan adanya mekanisme akuntabilitas terhadap kinerja pemerintahan.
Desentralisasi merupakan jawaban dari adanya protes terhadap tatanan yang bersifat
senralisasi dalam pemerintahan. Sejak itu, desentralisasi ditunjukkan dengan adanya
peningkatak partisipasi oleh para implementor dalam pembuatan keputusan, sehingga
keputusan tersebut merefleksikan kebutuhan lokal dan menjadikan pemerintah lokal lebih
responsif (Cheema and Rondinelli, 1983; Slater 1989; Slater, 1997; Smith, 1985; Turner,
1999 dalam Pramusinto, 2010).
Kondisi saat ini kemudian mensyaratkan adanya sebuah akuntabilitas dalam
pelaksanaan pemerintahan, baik itu di tingkat pusat hingga pemerintah daerah. disamping itu,
desentralisasi sebagai sebuah kesempatan untuk menciptakan hal ini. dimana dengan adanya
penyerahan kewenangan pada tingkatan pemerintahan paling bawah (pemerintah daerah),
akan menjadikan pemerintahan yang lebih responsif terhadap adanya supply dan demand dari
masyarakat. padagilirannya kondisi ini akan mendukung adanya pemerintahan yang
akuntabel dalam penyediaan pelayanan publik.
Namun, disisi lain desentralisasi juga memberikan kewenangan kepada daerah
khususnya kepala daerah berupa kekuasaan diskresi (discreation power) dimana pejabat
pemerintah diberikan kekuasaan untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan berdasarkan
pertimbangannya sendiri. Muncul persoalan disini adalah ketika kekuasaan diskresi ini
kemudian disalahgunakan, adanya penyimpangan, hingga korupsi. Pada gilirannya kemudian
kekuasaan diskresi seperti itu tentunya tidak mendukung penciptaan pemerintahan yang
akuntabel. Dalam artikel yang dibahas dimuka, beberapa persoalan ini juga didiskusikan
dalam melihat kecenderungan hubungan antara diskresi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
Berdasarkan bahasan artikel tersebut, maka disini akan dibahas lebih lanjut apa yang
menjadi temuan atau tawaran kombinasi dalam melihat diskresi dan akuntabilitas dalam
desentralisasi. Perlu diingat juga bahwa bentuk diskresi yang dilakukan merupakan
kewenangan yang diberikan diluar regulasi yang semestinya menjadi kewajiban elite
pemerintah, untuk itu mekanisme pertanggungjawabannya juga akan berbeda jika pada
sebuah kebijakan atau keputusan pemerintahan lainnya. sehingga untuk mensistematisasikan
bahasan akan disajikan meruntut pada point-point yang dijelaskan diatas, sehiangga hal ini
akan memudahkan dalam menarik simpulan untuk rekomendasinya kemudian.

10

Kenapa perlu Desentralisasi ?
Sebelum membahas mengenai bahasan dalam artikel diatas, perlu kiranya kita
mengetahui kenapa desentralisasi saat ini diperlukan untuk kemudian melihat posisi diskresi
dan akuntablitas didalamnya. Ada beberapa kondisi yang mendorong penerapan
desentralisasi, namun dalam pembahasan ini akan difokuskan pada desentralisasi yang
kemudian mendorong adanya akuntabilitas di tingkatan pemerintah daerah.
Desentralisasi dianggap memberikan voice kepada tuntutan lokal dan merupakan
kebutuhan untuk membawa sistem ekonomi politik lebih dekat kepada komunitas (Litvack,
et.al.,1998;4). Dalam kaitan itu, fungsi desentralisasi adalah untuk memperkuat akuntabilitas
dan kemampuan politik (Smith, 1985:4), mempromosikan kebebasan, kesamaan dan
kesejahteraan (Hill, 1974; Maas, 1959 dalam Pramusinto, 2010). Dari pandangan ini jelas
bahwa desentralisasi dilakukan untuk mendekatkan pemerintah kepada komunitas
masyarakat, demi menciptakan adanya akuntabilitas sehiangga menciptakan kesejahteraan
bersama.
Philipus Keban (2010) mengemukakan bahwa teori yang menegaskan pentingnya
desentralisasi di tingkat lokal dan peran yang kuat dari pemerintah daerah selalu menekankan
pentingnya nilai-nilai efisiensi, akuntabilitas, dan otonomi. Stigler (1957), misalnya,
mengedepankan 2 prinsip: 1) semakin dekat pemerintah yang representatif kepada
masyarakat, semakin baik kinerja pemerintah tersebut; 2) publik berhak untuk memilih
macam dan jumlah pelayanan publik yang diinginkannya. Kedua prinsip ini menegaskan
bahwa pembuatan keputusan seharusnya mengambil tempatnya pada tingkat terendah
pemerintah dengan tujuan agar tercapai efisiensi dalam alokasi barang dan jasa publik.
Sejalan dengan perluasan maknanya, desentralisasi kemudian terbagi menjadi empat
bentuk: desentralisasi administrasi, politik, fiskal, dan ekonomi. Desentralisasi administrasi
mencakup struktur dan birokrasi pemerintah pusat, delegasi kewenangan dan tanggung jawab
dari pemerintah pusat kepada lembaga-lembaga pemerintah semi-otonomi, dan kooperasi
lembaga-lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi yang similar. Desentralisasi
politik mencakup berbagai organisasi dan prosedur untuk meningkatkan partisipasi warga
negara dalam menyeleksi para pejabat politik dan dalam pembuatan kebijakan publik, serta
perubahan dalam struktur pemerintah melalui devolusi kekuasaan dan kewenangan kepada
unit-unit pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal meliputi adanya berbagai sarana dan
mekanisme baik terkait dengan fiscal cooperation, fiscal delegation, dan fiscal autonomy.
Sedangkan desentralisasi ekonomi mencakup liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi
BUMN, dan dianutnya pola-pola kemitraan sektor publik-privat (Keban, 2010;111).
Seiring dengan implementasi desentralisasi beragam pendapat mengenainya
berkembang, sebagain orang mendukung adanya desentralisasi untuk mendekatkan
pemerintahan kepada masyarakat dan memperbaiki pelayanan publik, namun disisi lain
sebagai lainnya menolak desentralisasi karena dibanyak negara berkembang, desentralisasi
berpotensi meningkatkan elit capture, disamping itu juga desentralisasi melahirkan disparitas
ekonomi, masalah korupsi yang menganga dan lain-lain. Berdasarkan skema bahasan dalam
artikel sebelumnya, hal yang digambarkan diatas adalah bagian dari tantangan dalam
menciptakan akuntabilitas dalam pemerintahan daerah.

11

Tantangan Pemerintah Daerah dalam Desentralisasi
Jika dalam artikel membahas tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam
desentralisasi kaitanya dengan diskresi dan akuntabilitas, meliputi hubungan pemerintah
pusat dan daerah, kebijakan fiskal, hubungan pemerintah dan swasta, hingga bagaimana
hubungan antara kebijakan dan pelibatan diskresi didalamnya. Tantangan yang berbeda
diberikan oleh pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan desentralisasi. melalui
desentralisasi berbagai masalah nasional akan diselesaikan di tingkat daerah dengan
menggunakan sarana lokal untuk mengatasi permasalah lokal (Simandjuntak 2003, 1)
Peranan birokrasi publik dalam hal ini menjadi penting dalam penciptaan
akuntabilitas di pemerintahan. Dimensi etika yang saat ini memudar dalam praktek birokrasi
pemerintahan didaerah, menjadikan pemerintahan tidak dapat menunjukkan perilaku
akuntabel. menurut Keban (2008) pentingnya dimensi etika, bahkan dapat dianalogikan
dengan sistem sensor pada administrasi publik dan dapat mempengaruhi dimensi -dimensi
lain dalam sistem administrasi publik.
Tantangan lainnya kemudian, dalam menjawab keresahan yang digambarkan dalam
artikel diatas mengenai penciptaan akuntabilitas dalam desentralisasi. Kita dapat mengutip
pandangan Cheema (2005, dalam Keban 2010), bahwa desentralisasi dapat mendorong
tercapainya nilai-nilai demokrasi dan good governance dalam beberapa cara;
1. Tersedianya kerangka kerja bagi masyarakat pada level lokal untuk mengelola diri
mereka sendiri dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan lokal. Semakin tinggi
tingkat partisipasi publik di tingkat lokal, makin tinggi pula derajat legitimasi politik
pemerintah.
2. Desentralisasi merupakan sarana (means) yang lebih efektif untuk meningkatkan
akuntabilitas pemimpin politik dan birokrat. Sebagai konsekuensinya, ada perbaikan
akses bagi publik terhadap pelayanan dan fasilitas yang diinisiasi oleh pemerintah.
3. Desentralisasi mendorong proses pelembagaan budaya demokrasi dengan cara
memberikan ruang yang cukup bagi kelompok dan individu di tingkat lokal untuk
membuat keputusan-keputusan politik dan anggaran. Kalau desentralisasi diterapkan
secara cermat, praktis berbagai persoalan di birokrasi seperti red-tapedan kekakuan
prosedur dapat direduksi dan birokrasi lebih mendasarkan dirinya pada keahlian,
pengetahuan, dan pengalaman dari masyarakat lokal. Juga, kalau diterapkan secara
lebih hati-hati, desentralisasi mempermudah arus pertukaran informasi di tingkat lokal.
4. Dalam kaitannya dengan kemiskinan, desentralisasi menyiapkan kerangka kerja
(framework) yang lebih baik untuk proses eradikasi kemiskinan. Kelima, desentralisasi
mendorong terciptanya mekanisme check and balance di antara pemerintah pusat dan
unit-unit pemerintah dan administrasi di tingkat daerah – suatu karakter kunci
demokrasi dan tata pemerintahan yang baik.
5. Transfer kewenangan dan risorsis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan
memberikan peluang yang cukup bagi warga negara lokal untuk memainkan peran
secara langsung dalam proses pembangunan; sebagai katalis pembangunan dan proses
perubahan, para warga negara di tingkat lokal dapat memutuskan skala prioritas
berbagai pelayanan publik.

12

Tujuan utama desentralisasi adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan
publik di daerah. Desentralisasi juga berfungsi sebagai instrumen pemerintah pusat dalam
mengorganisasikan tata pemerintahan agar memudahkan dan mengawasi organisasi ditingkat
bawahnya dengan prinsip demokratisasi. Desentralisasi dan prinsip demokratisasi dianggap
dapat meningkatkan efektivitas pemerintah dalam membuat kebijakan publik melalui
pendelegasian tanggung jawab (accountability) yang lebih besar kepada para pejabat tingkat
daerah (Rondinelli, 1983). Desentralisasi sebagai instrumen kebijakan publik di daerah tidak
hanya menyangkut solusi atas pemecahan masalah di tingkat daerah, tetapi juga dapat
dipahami sebagai upaya optimalisasi koordinasi hubungan kerja antar aktor governance.
Dalam perspektif ini, desentralisasi dipandang sebagai alat memperkuat relasi antara state
dan citizen. Jika kondisi ini terjadi, maka tujuan desentralisasi akan menguntungkan
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan regionalisasi fungsi pemerintahan. Argumentasi
ini sesuai dengan pendapat.
Akuntabilitas yang dimaksud disini merujuk pada tiga dimensi akuntabilitas, yaitu
akuntabilitas politik, akuntabilitas administrsi dan akuntabilitas fiskal. adapaun penjelasan
akuntabilitas tersebut adalah :
1. Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu
mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi
legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan
tersebut bersifat temporer karena mandat pemilu sangat tergantung pada hasil pemilu
yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat
pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh
semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan para
politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan pemerintahan
yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang kuat memberikan legitimasi
kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya, di samping stabilitas dan
prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.
2. Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang
telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang
tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya
berkaitandengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas,
atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat
publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi
teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat
digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
3. Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat
waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan
yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan
bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara
efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan
laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja
dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi dan mengatasi
penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat bantuan finansial
eksternal, misalnya dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau melalui bantuan
13

pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan audit dari berbagai
lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang kiranya dapat
menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit internasional dalam
menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan
digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi
sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana.
Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya
sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung
merujuk pada pertanggungjawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen,
atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan
pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu. Polidano lebih lanjut
mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:
a. Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan
dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan
menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan
adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini
secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun
setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masingmasing).
b. Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk
menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai
kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan
hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public
management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang
berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.
c. Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu
departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan.
Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok
penekan. Aspek subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang
itu seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya
Adanya kompleksitas penafsiran mengenai akuntabilitas seperti dikemukakan dari
beberapa pandangan diata, memperlihatkan luasnya khasanah defenisi akuntabilitas.
Sehingga daerah atau negara-satu dan negara lainnya bisa berbeda-beda. Disamping itu,
perbendaan kondisi politik, administrasi dan ekonomi bisa membuat analisa akuntabilitas
yang beragam. Untuk itu, fokus dari pembahasan selanjutnya berdasarkan pada bahasan
dalam artikel diatas, akan dikemukakan berdasarkan dimensi dalam akuntabilitas yang ada.
a. Akuntabilitas dalam Desentralisasi Politik
Secara prinsipal, munculnya gagasan tentang desentralisasi merupkan suatu antitesis
atas struktur politik yang sentralistis. Dengan kata lain, karena struktur politik yang
sentralistis cenderung melakukan unifikasi kekuasaan politik pada tangan pemerintah pusat,
14

maka desentralisasi mengajukan gagasan tentang pembagian kekuasaan politik, dan atau
wewenang administrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. seperti telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa desentralisasi diartikulasikan sebagai penyerahan
kekuasaan (devolution power) kepada pemerintah daerah. pada posisi ini tentunya,
pemerintah daerah memiliki kekuasaan politik untuk menentukan arah kebijakan daerahnya
sendiri. Konsekuensinya adalah kekuasaan yang dimiliki ini tentunya harus diikuti dengan
akuntabilitas, terhadap pemerintahan diatasnya atau kepada masyarakat.
Telah dijelaskan dalam artikel diatas, bahwa untuk menciptakan ruang akuntabilitas
dalam diskresi yang dimiliki pemerintah daerah ada beberapa hal faktor yang menjadi bahan
diskusi didalamnya, yakni mengenai pembagian kelembagaan dan kekuasaan di daerah,
pilihan dalam pemilihan umum dan peran partai politik di tingkat lokal. Dengan mengambil
realitas politik lokal di negara berkembang, contohnya di Indonesia dimana adanya
keterlibatan masyarakat dalam menentukan kepemimpinan politik lokal dalam pilkada.
Jika kondisi yang terbangun dalam realitas pembagian kekuasaan dan kelembagaan
yang jelas di tingkat pemerintah daerah, seperti yang dijelaskan dalam artikel tersebut diatas
kemudian mampu membangun ruang diskresi yang akuntabel. Maka perlu juga kiranya kita
merujuk pada kondisi realitas dilapangan. Dimana, pembagian kekuasaan dan kelembagaan
memang jelas, namun untuk tanggungjawab dalam penciptaan akuntabilitas dalam
pelaksanaan pemerintahan, hal tersebut selalu diperhadapkan pada kondisi birokrasi daerah
sebagai pelaksana kebijakan.
Maka tidak salah jika merujuk pada apa yang dikatakan Friedrich (1978) menegaskan
dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan pada masyarakat modern, membuat
legislatif semakin kesulitan dalam merumuskan kebijakan dengan detail dan akan lebih
banyak mendelegasikan kepada birokrasi. Sementara itu, birokrasi yang sudah semakin
berkembang dan menyadari perlunya membangun semangat “ democratic responsibility”
sebagai bagian dari tugas administrator, tentu akan lebih dituntut mengembangkan kapasitas
internal responsibility-nya. Dalam penelitian ini kedua pendapat tersebut dipandang memiliki
kekuatan yang berimbang dan perlu diimplementasikan agar penggunaan diskresi tidak keluar
dari parameter diskresi yang secara normatif dapat diterima (acceptable).
Jadi tidak salah, kemudian penulis artikel tersebut menyebutkan faktor yang kedua
dengan merujuk pada sistem pemilu juga menjadi masukan yang baik dalam melihat realitas
ruang akuntabilitas di pemerintahan lokal. Dengan pemilihan umum yang baik akan
menghasilkan pemimpin lokal yang bisa dipertanggungjawabkan, serta keterlibatan
masyarakat didalamnya bisa turut mengontrol diskresi yang ada pada pemimpin atau elite
daerah tersebut.
Namun tantangan selanjutnya adalah datang dari partai politik tingkat lokal yang
dibutuhkan bukan saja sebagai ruang agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat daerah,
namun juga melakukan kontrol publik terhadap kinerja pemerintah. Pada gilirannya
kemudian, realitas partai politik tingkat lokal saat ini memang masih jauh dari preferensi
tersebut. Partai politik tingkat lokal misalnya di Indonesia belum mampu untuk melepaskan
diri dari preferensi atau kemauan politik partai tingkat nasional. Sehingga kehadiran partai
politik di Indonesia, fungsinya sebagai kontrol publik hanya dilakukan di tingkat nasional dan
tingkat lokal masih minim.

15

Mekanisme Pilkada yang kita kenal ini, bisa dijadikan sebagai instrumen untuk terus
memperbaiki ruang akuntabilitas pemerintah daerah dari segi desentralisasi politik yang
dimiliki oleh daerah. dengan adanya partisipasi politik yang baik dari masyarakat merupakan
gagasan yang membagun bagi menciptakan pemerintahan yang akuntabel. Seperti yang
dikemukakan Jurgen Ruland (1992 dalam Hidayat, 2007) bahwa desentralisasi yang
selanjutnya akan melahirkan otonomi daerah sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan
partisipasi politik masyarakat, yang pada akhirnya akan menunjang pembangunan sosial
ekonomi.
Mengutip pendapat Maddick dalam Hidayat (2007), melalui desentralisasi politik juga
kemudian masyarakat akan belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial,
ekonomi, dan politik yang mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk memilij
calon anggota legislatif yang tidak memiliki kualifikasi kemampuan politik yang diharapkan;
dan belajar mengkritisi berbagai kebijaksanaan pemerintah, termasuk didalamnya mengkritisi
masalah penerimaan dan belanja daerah.
Dari beberapa pendapat diatas, kemudian dikaitkan dengan kombinasi yang
dikemukakan dalam artikel tersebut diatas. Kita dapat merangkai sebuah konklusi dalam
menempatkan desentralisasi politik sebagai ruang bagi akuntabilitas. Diman dengan lebih
memfokuskan pembangunan pada keberdayaan masyarakat dan menciptakan ruang
partisipatif bagi masyarakat, untuk kemudian ikut melakukan kontrol publik atas jalannya
pemerintahan daerah.
b. Akuntabilitas dalam Desentralisasi Administrasi
Desentralisasi administratif adalah pelimpahan sebagian wewenangan dan
pertanggungjawaban dibarengi dengan pemberian wewenang untuk mengelola sumbersumber keuangan untuk membiayai kegiatan operasional dan penyediaan pelayanan publik
(public service). Pelimpahan wewenang tersebut berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen
urusan pemerintahan dan bidang keuangan (financial management) dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah (local government) (Rahayu, 2010).
Kaitannya dalam artikel diatas kemudian, desentralisasi administrasi dibahasakan
kedalam tiga faktor yang mempengaruhi akuntabilitas yang menyangkut pada kemampuan
birokrasi pemerintah daerah, yaitu kemampuan mengatur, bagaimana mengaturnya dan
mengenai pelayanan publik dan kepegawaian. Tentunya fokus dari desentralisasi ini
kemudian berada pada domain aparat birokrasi dalam pelaksanaannya, maka pada ranah
desentalisasi disini akan diperhatikan pada diskresi yang dimiliki aparat birokrasi didaerah.
Kajian tentang penggunaan ruang diskresi birokrasi apakah sudah didasarkan pada
parameter-parameter yang secara normatif dapat diterima (acceptable) merupakan salah satu
dimensi yang dapat digunakan untuk menilai sejauhmana gerakan reformasi birokrasi telah
membuahkan hasil. Sebagaimana diketahui, birokrasi publik di Indonesia masih berperan
sebagai penyelenggara utama pelayanan publik. Sehingga birokrasi masih memiliki
kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power) dalam rangka memberikan
pelayanan umum ( public service) sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan pada
ranah politik (Astuti, 20..).
Untuk itu, kepada birokrasi diberikan juga kekuasaan regulatif yang tidak hanya pada
tataran teknis operasional namun juga dalam perumusan kebijakan publik yang strategis. Hal
16

ini karena birokrasi lebih menguasai substansi permasalahan yang akan dicarikan solusinya
melalui kebijakan publik tersebut. Namun fokus dari studi ini adalah pada kewenangan
operasional birokrasi sebagai pelaksana kebijakan.
Tantangannya kemudian, dalam desentralisasi administrasi seringkali terjadi di
negara-negara berkembang tidak semua praktik desentralisasi diberikan kewenangannya
kepada pemerintah daerah, termasuk di Indonesia dalam 5 urusan yang tidak
didesentralisasikan. Terkait hal ini juga, adalah mengenai kewenangan daerah yang seringkali
bertentangan dengan peraturan diatasnya dalam hal ini pusat. Contohnya adalah,
desentralisasi di aceh yang kemudian diberi keleluasaan membentuk partai politik lokal dan
peraturan daerah berbasis syariah. Beberapa waktu lalu polemik muncul dari adanya diskresi
provinsi aceh tersebut, yakni persoalan qonun (sejenis perda) yang mensahkan bendera dan
lambang aceh. Pada gilirannya kemudian hal ini bertentangan dengan peraturan perundangundangan tingkat pemerintah pusat. Hal-hal seperti inilah kemudian yang perlu dicarikan
jalan tengah yang baik, sehiangga diskresi yang diberikan juga kemudian dapat dinilai
akuntabilitasnya baik terhadap pemerintah pusat maupun masyarakatnya sendiri.
Demikian pula dengan diskresi yang dilakukan baik itu berupa suatu keputusan untuk
berbuat maupun berupa keputusan untuk tidak berbuat (Davis 1969) harus dapat
dipertanggungjawabkan melalui mekanisme atau sistem akuntabilitas yang ada. Oleh
karenanya diskresi birokrasi perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar dapat diterima
dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini sesuai dengan prinsip -prinsip human governance
yang dikemukakan oleh Baggini sebagai akuntabilitas sosial yakni pertanggungjwaban sosial
yang harus dilakukan oleh administrasi publik secara lebih luas dan dijadikan sebagai alat
dialog dengan stakeholder (Thoha 2008:158).
Ruang kontrol masyarakat seperti yang dikemukakan dalam artikel tersebut, dalam
pendekatan akuntabilitas publik dan akuntabilitas sosial memegang peranan penting disini.
Saat ini dikenal mekanisme citizen charter atau pelayanan publik yang berbasis masyarakat,
ataupun mekanisme pembangunan dalam Musrembang dan lain-lain yang membuka keran
ruang partisipasi masyarakat. sehingga proses pelaksanaan pemerintahan didaerah mampu
memanfaatkan partisipasi dalam bentuk kontrol masyarakat untuk berkolaborasi menciptakan
pemerintahan yang akuntabel.
c. Akuntabilitas dalam Desentralisasi Fiskal
Akuntabilitas dalam sektor fiskal (keuangan) mungkin menjadi hal yang sangat rentan
di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. kerentanan ini bukan saja dalam
hal penggunaannya yang sangat vital dalam pelaksanaan pelayanan publik di daerah, namun
juga pada kemampuan daerah menggunakan diskresinya dalam penyelenggaraan fiskan
didaerah secara tepat dan akuntabel. Banyak contoh kasus bisa dikemukakan disini, masalah
fiskal didaerah yang kemudian menjerat kepala daerah atau aparat birokrasi ke dalam
masalah korupsi.
Dalam bahasan di artikel diatas, megemukakan bahwa faktor yang menentukan dalam
diskresi fiskal ini dalam beberapa hal yakni dalam mengelola pendapatan, mengelola
pengeluaran, adanya fiskal gap, dan infrastruktur keuangan berupa pinjaman daerah. dapat
disimpulkan bahwa dari beberapa faktor diatas, jika diskresi yang terdapat dalam pemerintah
daerah tidak disertai dengan akuntabilitas, maka besar kemungkinan adanya penyimpangan.
17

Pada posisinya, faktor yang disebutkan diatas dalam pelak