Santri yang Demokratis dan Demokrasi yan

Santri yang ber-Demokrasi dan Demokrasi yang Santri1
Oleh:
Sufyan Syafi’i

Dalam L’ Humanisme De L’ Islam, seorang Guru Besar dan Direktur Institut de
Hautes Etudes Internasionales, Marcel Boisard (1979), menyampaikan bahwa mayoritas di
Barat masih menganggap Perjanjian Magna Charta pada abad ke-13 menjadi dasar-dasar hakhak manusia yang dijelmakan secara sistematis. Namun, jikapun sejarah telah mencatat,
bahwa manifestasi dari hak-hak tersebut memang berasal dari Eropa, hal tersebut terjadi
justru karena munculnya protes publik atas keadaan yang sangat tidak stabil dari berbagai
pemerintahan Negara di Eropa dan pembantaian manusia atas benua Amerika yang baru
ditemukan. Padahal jauh sebelum itu, menurut Boisard, peradaban Islam sudah banyak
menggugah Masa Kebangkitan (Renaisanss) di Eropa, dan Muhammad telah mampu
membentuk suatu kesepakatan untuk membentuk suatu ‘rumah’ yang nyaman dan kokoh,
tentram dengan tetap berprinsip kepemimpinan tanpa memandang suku, ras dan agama
apapun. Di dalam Sirah Nabawiyah, hal itu dikenal sebagai Mitsaq Madinah (Piagam
Madinah). Namun, Piagam Madinah hanyalah sebuah rentetan waktu dari Kisah Nabi, jika
kita tidak mampu menemukan esensi di dalamnya. Nilai-nilai persamaan yang berjalan atas
asas kekeluargaan menjadi kunci untuk menjadi suatu peradaban yang maju. Dengan turut
pula mengesampingkan ego masing-masing, kepentingan siapapun dan hasrat yang tidak
sehat.
Boisard juga mengakui bahwa suksesitas misi Muhammad (SAW) dalam memberi

sumbangsih kepada pembangunan spiritual dan sosial di Arabia sangat mumpuni bahkan
merambah ke dunia Islam masa kini. Dengan ajarannya, manusia kini menjadi sadar akan
kepribadinnya, akan dirinya dan akan kewajibannya. Ajaran Islam yang disampaikan –dalam
esensinya- menunjukkan penegasan, pembebasan dan perkembangan atau keterbukaan.
Pembayaran ta’zir dan penerapan hukum Islam melalui pembayaran sejumlah zakat, sedekah
dan infaq kepada yang membutuhkan dan menetapkan hukum yang berorientasi terhadap
humanitas, yakni memerdekakan para budak adalah sebagian dari contoh penghargaan Islam
terhadap kemanusiaan. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki derajat yang sama satu
dengan yang lainnya.
Prinsip persamaan adalah soko guru dari struktur sosial Islam. Sejarah telah
menunjukan dengan jelas bahwa Islam dapat mengembangkan suatu masyarakat yang
homogen, terpadu tanpa kelas. Kemerdekaan (liberte), Persamaan (egalite) dan persaudaraan
(fraternite) pun menjadi bagian tak terpisahkan dari proses kemasyarakatan Islam tersebut.
Karena titik-balik penilaian dari itu semua adalah semata-mata berdasarkan standarisasi sisi
Ilahi. (lih: QS: al-Hujurat: 13).

1Tulisan ini dikirim untuk buletin dwi bulanan Pesantren Luhur Sabilussalam.

Sistem Demokrasi bisa dijadikan pengejawentahan dari makna persamaan (egalite).
Meski sistem ini bukan murni merupakan pola Warisan Nabi (Propeth Herritage), namun

nilai-nilai pengakomodirannya bisa diterima di dalam tubuh Islam. Bahwa setiap manusia
sebagai makhluk yang merdeka memiliki hak yang sama dalam menyampaikan
pendapat/suara sebagai pemangku kedaulatan yang sebenarnya. Dan dengan Demokrasi,
setiap manusia bisa menyampaikan aspirasi dan membuat suatu kebijakan publik yang
mampu dirasakan bersama. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
John Stuart Mill (1806-1872) merincikan mengenai maksud dari kemerdekaan
individu. Secara eksplisit, Mill menyebut tiga wilayah kemerdekaan perseorangan itu.
Pertama, adalah kemerdekaan berpikir, berperasaan, berdiskusi dan publikasi. Artinya pada
batas ini, setiap manusia berhak untuk mengekpresikan dirinya. Kedua, kemerdekaan cita
rasa dan berkehendak. Maksudnya, siapapun darikita memiliki kebebasan dalam memberikan
kontribusi dan bebas memberikan peran di manapun. Ketiga, kemerdekaan dalam berserikat
atau kerjasama sejauh tidak merugikan orang lain. Adalah kebebasan dimana manusia dapat
membuat suatu wadah berkomunikasi dan berorganisasi yang sehat.
Dewasa ini, sebagai Lembaga tertua yang didirikan, Pesantren pun sudah mulai
menerapkan sistem ini dalam proses pembelajarannya. Pesantren sudah memasuki fase
dimana pola-pola modern pun diselipkan dalam sistem yang dipakai. Tidak monoton saja
dalam pola Kyai-sentris, namun Otonomi Kyai-sentris. Dimana peran kyai sudah dapat
diwakilkan oleh orang-orang yang ditunjuk dan orang tersebut memiliki hak untuk dapat
menginovasi jabatan yang diberikannya. Meski keputusan pusat tetap berada pada sang Kyai.
Pun sistem ini berlaku sampai pada tingkat santri. Meski tidak memiliki kedaulatan penuh,

peran demokrasi santri dalam pemilihan organisasi Internal Santri memiliki peran penting.
Karena, para santri dapat menjadi bagian dari egalitas menuju pintu keterbukaan dan
kreativitas.
Hal ini yang Gus Dur sebut Pesantren sebagai sebuah Subkultur. Dimana peranan
santri seakan memiliki kehidupan sendiri yang akan sangat baik jika mampu
mengarahkannya ke dalam porsi yang tepat. Dan Pesantren Sabilussalam sudah sangat
dewasa dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi di muka. Dibuktikan dengan
komprehensifitas Diskusi Imiah (al-Munaqosah), Debat keilmuwan (Mujadalah), Diskusi
KBM perkuliahan (al-‘Amaliyah at-Ta’limiyyah) dan juga Perangkat organisasinya (alMunadzomah) yang waktu demi waktu terus dirasa mengalami perkembangan yang sangat
baik.
Menurut Gus Dur, integrasi kehidupan Pesantren untuk dapat teraplikasi dalam
kehidupan sehari-hari (bahkan sampai kehidupan Bangsa) membutuhkan keterampilan dan
kemauan keras dalam pelaksananya. Dengan turut menumbuhkan pula pengertian yang
benar-benar mendalam mengenai segenap aspek kehidupan Pesantren itu sendiri. Karena
sekali kita mengerti sepenuhnya kebutuhan dan harapan Pesantren yang sedang dihadapi,
setidaknya kita sudah sedikit melangkah maju ke arah pemecahan masalah integrasi
Pesantren ke dalam garis umum kehidupan Bangsa kita. Pemecahan itu juga bisa dilakukan
dengan melakukan evaluasi melalui pendekatan historis. Yakni memilah segala bentuk hal

yang terjadi, dengan terus mempertimbangkan hal-hal yang baik agar dapat disarikan. AlMuhafadzotu ‘ala qodiim as-Sholih wa al-Akhdu bi al-Jadidi al-Ashlah.

Gus Dur juga mewasiatkan, bahwa meneruskan tradisi secara dinamis jauh lebih
berat dan sukar daripada membuat tradisi itu sendiri. Pemahaman yang mendalam guna
pemecahan masalah itu hanyalah langkah pertama belaka, yang membutuhkan langkah
susulan. Ayo bung, Revolusimu belum selesai !.

BACAAN TAMBAHAN
Abdurrahman Wahid. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, cet-2. Depok:
Desantara. 2001.
Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah: Salah paham Negara Islam. Jakarta Pustaka
Alvabet. 2011.
John L. Esposito. Masa Depan Islam: Antara tantangan Kemajemukan dan benturan
dengan Barat. Terj. Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu. M Jakarta: Mizan. 2010. Dalam judul
asli The Future of Islam. New York: Oxford University Press. 2010.
Marcel Boisard. L’ Humanisme de L’ Islam. Paris. 1979. Dalam terjemahan M.
Rasjidi. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1980.
Quraish Shihab, M. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW: dalam sorotan al-Qur’an
dn Hadis-hadis Shahih. Cet- II. Jakarta; Lentera Hati. 2012.
.