182002468 Pengertian Hubungan Internasional Politik Internasional dan Politik Luar Negeri docx
Pengertian Hubungan Internasional Politik Internasional
dan Politik Luar Negeri
Pengertian hubungan internasional, politik internasional, dan politik luar negeri sesungguhnya
memiliki ontologi sendiri-sendiri. Tulisan ini akan membahas secara tersendiri ketiga konsep
tersebut. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan Internasional, Politik Luar Negeri, dan
Politik Internasional. Dua konsep terakhir – Politik Luar Negeri dan Politik Internasional –
adalah sub disiplin Hubungan Internasional.
Karena sifat ‘keindukan’ dari Hubungan Internasional ini-lah, maka konsep tersebut akan
dijelaskan dijelaskan terlebih dahulu. Untuk lebih memperjelas sifat ‘keindukan’ dari Hubungan
Internasional ini, kami persembahkan skema berikut:
------------pict>>
Politik Luar Negeri dan Politik Internasional tercakup ke dalam disiplin
Hubungan Internasional. Hubungan Internasional sendiri masuk ke dalam
materi
disiplin
Ilmu
Politik
secara
keseluruhan.
Apa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional? K.J. Holsti dalam
bukunya International Politics, mendefinisikan bahwa Hubungan Internasional
sebagai:
“Semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berbeda, apakah itu
disponsori oleh pemerintah atau tidak … ia mencakup juga studi mengenai
serikat perdagangan internasional, Palang Merah Internasional, turisme,
perdagangan interasional, transportasi, komunikasi, dan perkembangan nilai
dan etik internasional.”
Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang dilakukan baik
oleh negara maupun non-negara (individual), di mana hubungan tersebut
melewati
batas
yuridiksi
wilayah
masing-masing.
Aktor negara misalnya pemerintah Amerika Serikat, Iraq, Afganistan, atau
Israel. Aktor non-negara misalnya team bulutangkis Piala Thomas, petani
buah Mekar Sari yang sedang menjalin hubungan dagang dengan pengusaha
di Australia, masalah turis luar negeri yang berkunjung ke Bali, ataupun
pernik perizinan yang dialami oleh pelajar-pelajar Indonesia yang tengah
belajar
di
Mesir.
Singkatnya, jika kita belajar Hubungan Internasional, perhatian kita tidak
hanya terpaku pada aktivitas yang dilakukan negara, melainkan pula aktor
individu/organisasi non politik/negara, seperti telah disebut. Namun, hal yang
patut diingat adalah, Hubungan Internasional menghendaki hubunganhubungan yang dilakukan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing
aktor
yang
berhubungan.
Dengan demikian, hubungan dagang antara Departemen Pertanian Republik
Indonesia dengan petani beras di Cianjur, bukan termasuk Hubungan
Intenasional oleh sebab batas yuridiksinya hanya berada di dalam wilayah
Indonesia. Namun, jika petani Cianjur tersebut berdagang dengan agen
beras di Dili (Timor Leste), proses tersebut masuk dalam kerangka Hubungan
Internasional.
Hubungan Internasional juga mengkaji masalah Politik Luar Negeri dan Politik
Internasional. Perbedaan Hubungan Internasional dengan kedua konsep ini
adalah bahwa dua konsep yang terakhir hanya mengkaji aktor negara.
Berikut kami akan uraikan apa yang dimaksud oleh dua konsep terakhir ini.
Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri? Carlton Clymer Rodee et al.
mendefinisikan Politik Luar Negeri sebagai:
“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan
kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain … [yaitu]
bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan
mesin pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya
manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di dalam lapangan
internasional.”
Berbeda dengan disiplin Hubungan Internasional yang memasukkan baik
aktor negara maupun non-negara ke dalam kajian, Politik Luar Negeri hanya
mengkaji
aktor
negara.
Dalam
Politik
Luar
Negeri,
negara
dipandang
sebagai
tengah
memperjuangkan kepentingan di dalam hubungannya dengan negara (atau
beberapa negara) lain. Secara otomatis pula, jika suatu hubungan dilakukan
suatu negara terhadap negara lain, maka ia pasti melewati batas yuridiksi
wilayah masing-masing. Dalam aktivitas Politik Luar Negeri, suatu negara
memiliki tujuan, cara mencapai tujuan, cara mengelola sumber daya alam
agar
ia
dapat
bersaing
dengan
aktor-aktor
(negara)
lain.
Lihat
skema
berikut:
------------pict>>
Dalam Politik Luar Negeri, suatu negara menetapkan serta menerapkan
serangkaian tindakan yang ditujukan terhadap negara lain. Misalnya,
Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden George Walker Bush
menetapkan politik luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT).
Dalam politik luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika Serikat
menetapkan kebijakan keamanan “ekstra ketat” di dalam negeri, menseleksi
ketat orang asing yang masuk ke negaranya, membangun teknologi militer
anti teror, menekan parlemen untuk memberi anggaran lebih besar pada
bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan negara lain yang
“sepaham” dengan politik luar negeri anti terorisme tersebut, menekan
negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung politik luar
negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea
Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat” (rogue state) akibat mereka dicurigai
menghambat
politik
luar
negeri
Amerika
Serikat
itu.
Namun, Politik Luar Negeri hanya menganalisa apa-apa yang ditetapkan
suatu negara terhadap lingkungan ‘luarnya.’ Ia tidak ingin masuk lebih dalam
lagi guna membahas apa saja reaksi lingkungan (atau negara) ‘luar’
terhadap suatu negara yang memberlakukan Politik Luar Negeri. Reaksi
tersebut meliputi interakisi antar negara di luar Amerika Serikat, sebagai
contoh, dalam menanggapi politik luar negeri Global War on Terrorism.
Apakah mereka satu sama lain saling mendukung, netral, atau bahkan
cenderung
menjauhi
Amerika
Serikat.
Masalah ‘reaksi’ yang dimunculkan oleh lingkungan luar ini dibahas di dalam
disiplin Politik Internasional. Apa yang dimaksud dengan Politik Internasional?
KJ. Holsti mendefinisikan Politik Internasional sebagai:
“ […] interaksi antara dua negara atau lebih … [yang terdiri atas] pola
tindakan suatu negara dan reaksi atau tanggapan negara lain terhadap
tindakan tersebut […]”
Jika Politik Luar Negeri hanya membahas bagaimana sebuah negara
menanggapi serangkaian tindakan yang diambil berdasarkan analisis kondisi
internasional, maka politik internasional merupakan aksi-reaksi tindakan
antarnegara. Bidang yang secara khusus membahas prinsip ‘aksi-reaksi’ ini
adalah Politik Internasional. Agar lebih jelas, lihat skema berikut :
Berbeda dengan Politik Luar Negeri, Politik Internasional menitikberatkan
pada dinamika ‘tanggap-menanggapi’ antara dua atau lebih negara. Tentu
saja, di dalam Politik Internasional juga dibahas masalah Politik Luar Negeri,
tetapi sejauh Politik Luar Negeri tersebut berakibat pada kondisi aksi-reaksi
antarnegara.
Misalnya peristiwa masuknya Timor Timur ke dalam negara kesatuan
Republik Indonesia. Kasus tersebut merupakan masalah politik internasional,
oleh sebab melibatkan 2 negara berdaulat : Indonesia dan Portugal.
Indonesia memasukkan Timor Timur ke dalam wilayahnya bukan tanpa
sebab.
Pertama, kondisi politik internasional tahun 1976 ditengarai Perang Dingin
antara Blok Komunis (dipimpin Uni Sovyet) melawan Blok Kapitalis (dipimpin
Amerika Serikat). Kedua, Amerika Serikat memiliki sekutu di dekat wilayah
Timor Timur yaitu Australia. Ketiga, Indonesia ---yang tergabung dalam
ASEAN--- juga tengah menghadapi ancaman Komunis dari Utara (lewat jalur
Cina ke Vietnam Utara). Keempat, Portugal seperti “menterlarkan” wilayah
Timor Timur yang berakibat di wilayah tersebut menjadi basis pelatihan
gerilyawan komunis yang hendak merebut kekuasaan. Kelima, pemerintahan
Indonesia berada di bawah Orde Baru Suharto yang anti komunis tetapi
cenderung pro Blok Kapitalis. Kasus pemasukan Timor Timur ke dalam
wilayah Indonesia, sebab itu, sangat kental dimensi Politik Internasional-nya.
Studi politik internasional dapat ditesuri hingga tulisan-tulisan pra
semisal dari Tuchydides, Aristoteles dan Plato. Mereka dinyatakan
perintis awal teorisasi hubungan internasional. Masing-masing dari
mewakili 2 aliran dalam teori ini : Realis dan Idealis. Aliran Realis
Tuchydides dan Aristoteles, sementara Plato mewakili Aliran
Masehi,
sebagai
mereka
diwakili
Idealis.
Dalam studi hubungan internasional kontemporer, kedua aliran tersebut
masih berpengaruh meski dengan sejumlah variasi. Aliran Realis
memandang bahwa aktor dalam hubungan internasional adalah negara
berdaulat serta organisasi pemerintahan internasional (misalnya PBB). Aliran
ini juga memandang bahwa “dunia” berada dalam kondisi “perang”, di mana
aktor-aktornya (negara atau organisasi internasional) bersaing mutlak untuk
memperoleh teritori, kekuasaan, dan sumber daya (alam dan manusia).
Di sisi lain, Aliran Idealis memandang bahwa aktor dalam hubungan
internasional, selain negara adalah juga termasuk Organisasi Pemerintahan
Internasional, LSM Internasional, masyarakat aneka negara, serta individu.
Jadi, aktor hubungan internasional dalam Aliran Idealis cukup luas dan plural.
Aliran ini juga memandang bahwa masyarakat internasional terbangun atas
aneka hubungan yang menyerupai “jaring laba-laba” dan tak terhitung
jumlahnya. Hubungan tersebut bercorak lintas batas negara dan terkadang
melewati kewenangan negara. Para aktor terlibat dalam suatu hubungan
yang
bersifat
positif.
Agar lebih jelas, baiklah dimuat bagan perkembangan aliran pemikiran
dalam
hubungan
internasional
berikut:
Realisme
Perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional pun memiliki
akar filsafat politik. Realisme mendasarkan diri para filsafat politik dari
Tuchydides dan Aristoteles. Thucydides dianggap sebagai penulis realis
hubungan internasional yang pertama. Ia hidup tahun 400 sM di Athena dan
menulis
buku
The
History
of
Peloponnesian
War.
Setelah itu muncul konsep kedaulatan negara di akhir abad pertengahan
Eropa. Konsep partikularis negara dari Marsilius Padua, balance of power
(perimbangan kekuatan), dan teori negara dari Machiavelli melengkapi akar
filosofis
aliran
Realisme
dalam
hubungan
internasional.
Jika dapat disebut Realis klasik, maka Machiavelli dapat disebut Realis
Modern. Melalui bukunya Il Principe dan Discourse, Machiavelli menulis
tentang kekuasaan, kekuatan, formasi aliansi dan kontra aliansi, serta sebabsebab terjadinya perang antarnegara. Tidak seperti Thucydides, Machiavelli
lebih
memfokuskan
diri
pada
masalah
keamanan
nasional.
Jika boleh ditambah, realis modern lain (di samping Machiavelli) adalah
Thomas Hobbes. Hobbes lewat bukunya Leviathan (1668) menulis tentang
kondisi anarki Eropa selama dia hidup. Bagaimana negara-negara di Eropa
saling berperang dan tidak menghormati perjanjian perdamaian adalah
fokusnya. Pemikiran Hobbes mengenai anarki dan kekuasaan ini
berpengaruh besar pada teoretisi kontemporer semisal Hans J. Morgenthau
lewat
bukunya
Politics
Among
Nations.
Pada perkembangannya, aliran Realisme ini mengalami perkembangan.
Perkembangan ini akibat munculnya Globalisme sistem politik internasional
dari pihak Idealisme. Beda Neorealis dengan Realis adalah, Realis
beranggapan sistem internasional selalu dalam kondisi anarki, sementara
Neorealis menggap anarki adalah akibat dari ketiadaan otoritas sentral. Beda
lainnya, jika Realis mengkaji aktor state yang berusaha memenuhi
kepentingan nasional, maka Neorealis mengkaji sistem internasional yang
berisi
hubungan
antarnegara.
Realis dan Neorealis juga berbeda dalam konsep “stabilitas.” Jika Realis
menganggap keteraturan otomatis muncul jika masing-masing negara
memaksimalisasi
kepentingan
nasional
dengan
memperhatikan
kekuatan/kelemahan negara lain, maka Neorealis memandang setiap negara
harus mempertahankan posisi kekuatan relatifnya di dalam sistem yang ada.
Sebab, aliran Neorealis memandang negara yang memaksimalisasi
kepentingan “ala Realis” akan “dibuang” dari sistem politik internasional.
Neorealisme mengajukan konsep-konsep seperti Unipolar (satu negara
sebagai pusat kekuasaan), Bipolar (dua negara sebagai pusat kekuasaan),
dan
multipolar
(banyak
negara
sebagai
pusat
kekuasaan).
Kembangan Neorealis yang paling berpengaruh adalah Neorealis-Strukturalis
yang dimotori Kenneth N. Waltz. Neorealisme-Strukturalis menganggap
stuktur sistem politik internasional sebagai penentu. Dalam sistem ini,
kemampuan tiap negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dibatasi
oleh kekuatan negara lain. Sistem internasional terbentuk melalui perubahan
dalam pola distribusi kemampuan antar masing-masing unit (negara). Anarki
internasional akan muncul ketika kekuatan salah satu negara berubah (lebih
kuat
atau
lebih
lemah).
Gambaran aliran Realisme atas hubungan internasional adalah, negaranegara yang ada di dunia berinteraksi seperti bola bilyard. Masing-masing
terpisah dan saling bertabrakan sesuai dengan kepentingan nasionalnya
sendiri-sendiri. Sebab itu, kajian atas Politik Luar Negeri menjadi inti
hubungan internasional. Titik tekannya adalah pada aspek kepentingan
nasional, sebagai dasar dibuatnya kebijakan politik luar negeri setiap negara.
Realisme menjadi mapan setelah Liga Bangsa-bangsa tidak mampu
menanggulangi konflik antarnegara di Eropa tahun 1930-an yang berakibat
Perang
Dunia
II.
Idealisme
Di sisi lain, aliran Idealisme memiliki akar filsafat dari Plato. Plato
membayangkan bahwa konsep-konsep seperti keadilan dan harmonisasi
yang bersifat positif merupakan ide mutlak yang dapat diterapkan di dunia.
Pemimpin yang bisa menerjemahkan hal tersebut adalah seorang filosof
yang sekaligus raja. Pemikiran Plato ini diteruskan oleh kaum Stoic, yaitu
raja-raja yang memanfaatkan filsafat Plato untuk memerintah. Ciri raja-raja
Stoic adalah upaya mereka untuk menahan nafsu berperang, dan anggapan
bahwa seluruh negara adalah sama, yaitu sekumpulan warga dunia
(kosmopolitanisme)
dan
saling
bantu-membantu.
Lebih lanjut, kosmopolitanisme ini mengembangkan ide utopis (belum ada di
kenyataan) berupa satu negara dunia. Inilah yang mengilhami berdirinya
Liga Bangsa-bangsa pasca terjadinya Perang Dunia I. Penekanan Liga
Bangsa-bangsa adalah mencapai perdamaian internasional melalui
hubungan kooperatif antarnegara. Pemikiran yang melandasi berdirinya Liga
Bangsa-bangsa ini disebut Aliran Idealis, dan para pendukungnya (seperti
Presiden Amerika Serikat 1920-an, Woodrow Wilson) disebut kaum Idealis.
Pada kenyataannya, Liga Bangsa-bangsa tidak mampu mencegah terjadinya
Perang Dunia II yang berlangsung tahun 1939 hingga 1945.
Kegagalan kaum idealis utamanya adalah tidak konsistennya negara-negara
dominan dalam menciptakan perdamaian dunia lewat kerjasama
interansional, pengurangan senjata secara berdisiplin, serta ketegasan sikap
yang diiringi kekuatan militer pemaksa. Bagi Wilson, benih absolutisme dan
militerisme adalah penyebab Perang Dunia I. Benih-benih tersebut hanya
bisa dipangkas lewat penciptaan pemerintahan yang demokratis
dibentuknya asosiasi bangsa-bangsa (nantinya jadi LBB). Asosiasi tersebut
yang --menurut keyakinannya--- akan menjamin kemerdekaan dan integritas
nasional setiap negara, besar ataupun kecil. Wilson ini juga ditengarai
membawa konsep Tata Dunia Baru (New World Order) yang menggemborkan
demokrasi dan kerjasama internasional sebagai cara memastikan
keteraturan
dalam
politik
internasional.
Di kemudian hari, konsep Wilson tersebut termanifestasi dalam wujud Liga
Bangsa-bangsa (LBB) yang berdiri 16 Januari 1920. LBB adalah representasi
dari Idealisme dalam politik internasional. Wilson bisa berperan besar karena
AS adalah salah satu dari 3 negara utama pemenang PD I (dua lainnya
Perancis dan Inggris). Lalu, mengapa LBB 'Wilson' ini gagal mencegah
terjadinya
perang
dunia
II?
Pertama, LBB gagal memfasilitasi kerjasama internasional untuk secara
stabil merestorasi perekonomian Eropa daratan pasca PD I. Pasal 231
Perjanjian Versailles secara eksplisit menyebut Jerman (juga AustriaHongaria, kerajaan ini hilang dari peta) sebagai pihak yang pertama kali
memulai PD I dan sebab itu harus bayar kompensasi 33 milyar dollar AS.
Harga diri Jerman (Austria hilang dari peta) jatuh dan menciptakan
kemarahan
di
publik
politik
dan
masyarakat
sipil
Jerman.
Dari 33 milyar, Jerman hanya sanggup membayar cicilannya sekali saja,
yaitu sebesar 2,5 milyar pada tahun 1921 dan setelah itu macet. Menyikapi
kemacetan ini, Perancis langsung menganekasi Ruhr, distrik industri dan
pertambangan utama milik Jerman. Jerman melakukan perlawanan pasif
(karena persenjataannya telah jauh berkurang, juga akibat Perjanjian
Versailles) yang dibiayai lewat percetakan uang Mark (mata uang Jerman)
secara besar-besaran. Karena dicetak besar-besaran buntutnya jelas: Jerman
mengalami inflasi yang justru memperburuk keuangan Jerman dan semakin
jauh mengurangi kemampuannya untuk membayar kompensasi perang.
Untuk mengatasi ini, LBB membentuk komisi restorasi ekonomi Jerman (The
Dawes Plan) tahun 1924. Dawes Plan diketuai bankir AS, memberi pinjaman
200 milyar dollar AS kepada Jerman guna menggerakkan perekonomiannya.
Selama 1924 - 1929 ekonomi Jerman pulih 'sementara' (demikian pula Eropa
daratan dan Inggris) sehingga pembicaranan 'anti militerisme', demokrasi,
dan perdamaian terus dilakukan karena spirit idealisme Wilson adalah
pengurangan persenjataan setiap negara hingga ke batas minimal.
Hanya kurang lebih 5 tahun 'kapitalis' AS mempertahankan jiwa idealis-nya.
Perlu diingat, perbaikan ekonomi Eropa (terutama Jerman) yang 5 tahun itu
murni mengandalkan uang bantuan (investasi) dari para kapitalis AS. Tahun
1928, bursa saham di New York mengalami booming Booming ini dilingkupi
oleh situasi anomali pasca perang: Barang industri mahal karena banyak
pabrik hancur, sementra hasil pertanian yang mengandalkan tanah justru
overproduksi
dan
jatuh
nilai
jualnya.
Untuk menjaga harga jual, masing-masing negara menaikan tarif masuk
komoditas pertanian dari negara lain. Namun, di sisi lain para investor
'kapitalis' AS --karena menimbang profit taking akan lebih besar--- ramairamai menarik uang yang sebelumnya mereka tanamkan di dari Jerman.
Karena serangan 'tiba-tiba' tahun 1929 bursa saham di NY tersebut malah
'anjlok.' Akibatnya bisa ditebak: Semakin banyak uang ditarik dari Jerman
oleh investor AS untuk menutupi kerugian mereka di bursa. Bayangkan apa
yang terjadi pada ekonomi Jerman yang baru pulih tersebut! Jangankan
Jerman, bahkan The Credit-Ansalt, bank prestisius di Wina, Austria pun
mengalami
kolaps
tahun
1931.
Depresi ekonomi (malaise) ini berpuncak di tahun 1932. Akibat krisis yang
dilakukan proses produksi adalah memangkas ongkos produksi yaitu
pengurangan tenaga kerja. AKibatnya 1 dari 4 pekerja di Inggris menganggur
dan: 40% atau 6 juta pekerja di Jerman kehilangan pekerjaannya. Apa yang
akan lahir dari situasi semacam ini, di mana harga diri Jerman akibat
Perjanjian Versailles turun hingga batas horizon, pengangguran 6 juta orang,
dan Alsace-Lorraine-PrussiaTImur-Ruhr hilang? Hitler dan Lebensraum!
Kedua, LBB gagal menekan 'realisme' politik internasional. Perjanjian
Versailles membuat Jerman wajib mengurangi kekuatan militer meliputi
tentara hingga tinggal 100.000 orang, mengurangi kekuatan angkatan laut
hingga di bawah kekuatan AL Inggris dan Perancis, serta mengeliminasi
angkatan udaranya. Namun, LBB tidak mampu mem-push negara-negara
selain Jerman untuk melakukan hal serupa. Ini akibat setiap negara tetap
'realis': Mereka tidak bisa mempercayakan keamanan negara mereka pada
kehendak baik negara lain, yaitu jika mereka mengurangi senjata negara lain
pun akan melakukan hal serupa. Contoh, ketika Jerman tidak mampu
mencicil kompensasi perang sejak 1921, Perancis langsung menganeksasi
Ruhr, distrik Jerman yang merupakan pusat industri dan pertambangan.
Kendati Ruhn adalah legal miliknya, Jerman sulit melakukan beladiri aktif
karena persenjataannya jauh dari mencukupi. Akibatnya, Jerman melakukan
bela-diri pasif yang dibiayainya dengan cara mencetak sebanyak-banyak
uang Mark Jerman. Akibatnya jelas, Jerman jatuh ke dalam inflasi dan
semakin rendah kemampuannya membayar kompensasi perang.
Juga bayangkan, sejumlah negara terpaksa keluar atau dikeluarkan dari LBB
karena melakukan invasi: Jepang (1933) karena menginvasi Manchuria-Cina
1932; Italia menginvasi Abbysinia (Ethiopia) 1935; Uni Sovyet (1939) karena
menginvasi Finlandia 1939; Kostarika (1925); Brasil (1926); Haiti (1942);
Jerman (1933); Luxemburg (1942). Selain itu, Konferensi Perlucutan Senjata
yang disponsori LBB tahun 1932 di Jenewa tidak mampu menghentikan
semangat Jerman, Jepang, dan Italia untuk meningkatkan kemampuan
persenjataan
mereka.
Ketiga,, LBB tidak memiliki kekuatan realis penting dalam politik
internasional: Kekuatan Bersenjata. Ketika Jepang menginvasi Manchuria
atau Italia menginvasi Abbysinia, LBB tidak mampu menurunkan armed-force
yang mampu memaksa negara-negara agresor kembali ke garis
demarkasinya. Mengapa? Tiga kekuatan pemenang perang (Perancis, Inggris,
dan AS) satu pun tidak memiliki keinginan untuk terlibat ke dalam perang
baru walaupun sebenarnya legal karena mengatasnamakan LBB. Akibatnya,
agresivitas negara-negara agresor sulit dihentikan karena tidak ada kekuatan
'realis' yang mampu melakukan tindakan pemaksa (kekuatan militer). LBB
jadi
macan
ompong.
Keempat,, LBB melakukan kebijakan berstandar ganda. Kendati Wilson
menggemborkan setiap bangsa berhak atas identitas dan wilayah
nasionalnya masing-masing, 'penjajahan' semu tetap berlangsung.
Bagaimana tidak, Timur Tengah misalnya, bukannya diserahkan kepada
masing-masing bangsa (setelah disita dari Ottoman Turki akibat dinasti ini
kalah dalam PD I): Syiria dan Lebanon jatuh menjadi mandat Perancis; Iraq,
Transyordania, Palestina, dan Kuwait jatuh ke mandat Inggris. Belum lagi
negara-negara Eropa yang masih melakukan tindak kolonialisme seperti
Belanda
di
Indonesia.
Pasca kegagalan Liga Bangsa-bangsa, aliran Idealis merapatkan diri ke dalam
varian
barunya:
Liberalisme-Institusionalis.
Liberalisme-Institusionalis
memandang bahwa politik dalam negeri setiap negara adalah penting. Di
dalam politik dalam negeri tersebut, hal yang dipantau adalah aspek
demokrasi dan penentuan nasib bangsa secara mandiri. LiberalismeInstitusionalis
juga
memandang
Perang Dunia II dianggap sebagai kegagalan pandangan Idealisme dalam
hubungan internasional. Terbukti, sifat hubungan antarnegara bukan
kerjasama konstruktif tetapi egoisme kepentingan nasional yang dicapai
dengan penggunaan kekuatan militer. Sebab itu, aliran Realisme
memperoleh pembenaran atas pandangan mereka dalam melukiskan
fenomena hubungan internasional. Varian dari aliran Idealisme adalah
Globalisme
dan
Neoliberalisme
Institusionalis.
Globalisme muncul sebagai kritik atas pandangan Realisme yang secara
sempit memandang aktor politik internasional adalah negara saja.
Globalisme juga mengkritik Realisme yang “pesimis” pada dimensi pasifis
(suka
damai)
pada
diri
aktor
politik.
Globalisme, yang tumbuh di tahun 1970-an memandang bahwa aktor politik
internasional tidak cuma negara, melainkan juga meliputi pemerintahan
internasional (misalnya PBB), lembaga swadaya masyarakat (misalnya Red
Cross, GreenPeace), koalisi internasional (misalnya International Political
Science Association), multi national corporation (misalnya McDonald, KFC,
Sharp), ataupun asosiasi masyarakat transnasional (misalnya International
Olympic
Committee).
Tidak seperti Realisme, Globalisme memandang hubungan antar aktor lintas
negara tersebut bercorak positif. Pencapaian kepentingan para aktor
diperoleh melalui sumber daya sosial yang terus-menerus berkembang
sebanding dengan kemajuan teknologi, rasionalisasi cara produksi, dan
makin rumitnya pembagian kerja antar aktor. “Permainan” tersebut
dinamakan “kerjasama internasional”, di mana masing-masing aktor ingin
memperoleh hasil yang maksimal. Tujuan dari Globalisme adalah perdamaian
dunia, yang dicapai melalui kesalingtergantungan antaraktor di tingkat
internasional.
Kembangan lain dari Idealisme adalah Neoliberalisme-Institusionalis.
Neoliberalisme-Institusionalis muncul sebagai kritik atas Neorealisme dalam
memandang sistem politik internasional. Neoliberalisme-Institusionalis
merupakan perkembangan dari Liberalisme, ideologi yang berkembang di
Eropa awal abad ke-19. Liberalisme menekankan pada pemenuhan
kepentingan
individu
semaksimal
mungkin.
Neoliberalisme Institusionalis mengkombinasikan antara liberalisme dengan
Realisme. Aliran ini sepakat dengan Realisme bahwa negara adalah aktor
internasional yang penting, tetapi ragu bahwa negara secara sendirian
mampu mencapai perolehan absolut ketimbang sekadar relatif saja. Saat
negara berupaya mencapai kepentingannya, maka ia akan membentuk
organisasi yang diperuntukkan bagi pencapaian kepentingannya itu. Dengan
demikian, posisi organisasi ---seperti organisasi internasional, lembaga
swadaya masyarakat, gerakan sosial transnasional, dan multi national
corporation--- menjadi sama penting dengan negara. Memang semua
gerakan dalam politik internasional dilakukan oleh negara, tetapi itu sekadar
langkah awal, sebab penyelesaiannya kemudian diserahkan kepada
organisasi-organisasi
yang
tadi
telah
disebutkan.
Organisasi, sebab itu, dapat mempengaruhi negara, dan sebaliknya. Negara
akan mendukung kerjasama jika itu mampu menghasilkan perolehan
kepentingan relatif ataupun absolut. Sebaliknya, jika negara menilai
organisasi tersebut tidak mendukung perolehan kepentingannya, mereka
akan menentangnya. Andrew Moravcsik bahkan menyatakan bahwa
“[neoliberalisme-institusionalis] sebagai teori liberal pilihan negara yang
memasukkan aktor-aktor dalam negeri secara luas ---dan sebab itu bersifat
transnasionali dan internasional---- dihubungkan dengan kepentingan
domestik---- ke dalam perilaku negara. Sebab itu, menurut Neoliberalisme
Institusional bukan tidak mungkin bahwa politik luar negeri suatu negara
dipengaruhi
aktor-aktor
domestiknya.
Tokoh dari Neoliberalisme Institusional ini adalah Robert Keohane dan Robert
Axelrod. Contoh dari organisasi-organisasi yang terbentuk berlatar
Neoliberalisme-Institusionalis ini adalah International Monetary Fund, World
Trade Organization, World Bank, ataupun perusahaan-perusahaan swasta
transnasional.
Pada bagan juga dapat diperhatikan bahwa Realisme muncul sebagai lawan
dari Idealisme. Realisme kemudian memperoleh couter dari Globalisme
(varian Idealisme), dan Globalisme ini kembali dikritik oleh varian Realisme
yang lain, yaitu Neorealisme. Neorealisme ini kemudian dilawan kembali oleh
varian Idealisme yaitu Neoliberalisme Institusionalis, yang kembali dilawan
oleh
varian
Realisme
Strukturalis.
Selain Realisme dan Idealisme, hubungan internasional juga dikaji oleh
beberapa aliran baru. Aliran-aliran ini terbentuk setelah menyaksikan
dialektika (pertentangan) antara Realisme versus Idealisme. Aliran-aliran
tersebut adalah Teori Imperialisme, Teori Dependensi, dan Teori Sistem Dunia
Kapitalis.
Politik
Internasional
Politik internasional mengkaji interaksi antaraktor state (negara) dalam
sistem politik internasional. Guna menelaah politik internasional, ada
baiknya kita beranjak ke level sistemik. Tujuannya, agar lebih mudah
memberikan penggambaran secara garis besar atas politik internasional
yang
berlaku
dewasa
ini.
Aliran Neorealisme melihat pola struktur sistem politik internasional
berdasarkan pola interaksi antarnegara. Aliran ini juga menekankan pada
aspek “kekuatan” nasional, yang digunakan negara tersebut dalam bertindak
di dalam sistem politik internasional. Penggambaran pada tulisan ini
menggunakan tradisi berpikir yang ada di aliran Neorealisme ini.
Politik internasional dewasa ini ditandari berakhirnya Perang Dingin (Cold
War) tahun 1990-an yang ditandari runtuhnya Uni Sovyet. Keruntuhan
tersebut sekaligus menandai berakhirnya sistem politik bercorak Bipolar.
Bipolar adalah struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran 2
negara yang memiliki kekuatan relatif besar ketimbang negara-negara
lainnya. Bipolar System sebelum 1990-an diwakili Amerika Serikat dan Uni
Sovyet. Kini, sistem tersebut telah tiada dan digantikan dengan Unipolarity
System.
William C. Wohlforth menulis bahwa secara meyakinkan, politik internasional
kini ditandai pola Unipolarity System. Amerika Serikat kini menjadi negara
superior dan menentukan oleh sebab menguasai sumber daya seperti
ekonomi, militer, teknologi, dan geopolitik yang relatif jauh di atas negaranegara lainnya pasca Perang Dingin. Status Unipolar ini tetap ada meskipun
negara-negara lain berkesempatan menduduki posisi sebaga “polar” (kutub)
seperti
Jepang,
Cina,
Jerman,
Russia,
Perancis,
dan
Inggris.
Dalam sistem Unipolar, di mana kutub-kutub lain tidak ada ataupun belum
terbentuk, Amerika Serikat berposisi sebagai Hegemon. Hegemon berasal
dari bahasa Yunani, Hegemonia, yang berarti “kepemimpinan.” Dalam
hubungan internasional, hegemon adalah pemimpin atau negara pemimpin.
Ide dasar yang berada di belakang stabilitas yang bersifat hegemonik dalam
sistem politik internasional adalah adanya sebuah negara yang mampu
membuat juga memaksakan peraturan (misalnya perdagangan bebas,
demokratisasi) di antara anggota-anggota penting dari sistem politik
internasional.
Kemampuan “membuat” dan “memaksa” tersebut hanya dapat dilakukan
negara yang punya serakaian kapabilitas. Kapabilitas tersebut meliputi
perkembangan ekonomi yang besar, dominasi di bidang ekonomi dan
teknologi, serta kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan militer yang
signifikan. Namun, sebuah negara hegemon menggunakan soft power dalam
melancarkan
pengaruh
ketimbang
hardpower.
Soft power misalnya pengetahuan, diplomasi, teknologi, atau show of force.
Penggunaan soft power akan secara simpatik membuat negara-negara lain,
terutama yang berpotensi menjadi rival, menerima pengaruh si hegemon
tanpa perlawanan yang “kasar” atau terang-terangan. Di sisi lain,
penggunaan hard power berakibat pada tingginya social cost, yang
membuat berkurangnya simpati negara lain akan aksi si hegemon. Ditinjau
dari teori hegemoni ini, Amerika Serikat kelihatannya kurang secara penuh
dapat
dinyatakan
sebagai
hegemon.
Kebangkitan Amerika Serikat duduk di posisi kunci Unipolarity System
beraneka ragam. Namun, sekurang-kurangnya G. John Ickerberry menyebut
ada
5
faktor,
yaitu:
1. Negara-negara yang potensial menjadi kutub baru relatif telah
kehilangan landasannya. Misalnya, Russia mengalami kolaps segera
setelah Perang Dingin berakhir dan kini pun, mereka pun Cuma
memiliki setengan kekuatan ekonomi ukurang menengah jika
dibanding negara-negara Eropa lainnya. Cina masih merupakan negara
berkembang dengan sejumlah masalah politik dan ekonomi dalam
negeri. Jepang telah satu dekade mengalami kemunduran ekonomi.
2. Perang Dingin menghilangkan ganjalan bipolar kekuasaan Amerika
Serikat. Jika dahulu Amerika Serikat menghabiskan sumber daya untuk
2 hal: Menjalin aliansi dengan negara lain yang menyita biaya dan
tenaga, dan; Uni Sovyet dulu mengetatkan pengawasan Amerika
Serikat akan bahaya perang. Kini, sumber daya yang dihabiskan untuk
menjalin aliansi jauh berkurang, sementara ancaman nyata Uni Sovyet
telah hilang.
3. Tidak ada rival Amerika Serikat di bidang ideologi liberal. Komunisme
telah runtuh dan sulit untuk kembali kuat.
4. Perang Afghanistan dan Iraq menunjukkan kekuatan militer Amerika
Serikat yang besar.
5. Meski Perang Dingin berakhir, sistem klien dan hubungan keamanan
dengan Eropa dan Asia Timur tetap berlanjut.
Untuk sekadar memberikan gambaran mengenai perkembangan politik
internasional dari era ke era, di bagian berikut akan dicantumkan grafik
spider kekuatan militer, ekonomi, dan COW Index (index militer, ekonomi,
medis, teknologi, pendidikan, dan semacamnya).
Pada masa Pax Brittanica, sistem politik internasional ditandai 6 negara
dengan kekuatan militer, ekonomi, dan index COW tertinggi yaitu Britain
(Inggris), Prussia (Jerman), France (Perancis), Russia, United States (Amerika
Serikat), dan Austria. Inggris memiliki kekuatan ekonomi tertinggi sementara
kekuatan militer dipegang oleh Russia.
Pada era Bipolaritas Awal tahun 1950, terdapat 6 kekuatan signifikan yaitu
United States, France, Jepang, Uni Sovyet, Inggris, dan Jerman. Amerika
Serikat dan Uni Sovyet, memiliki kekuatan ekonomi, militer, dan index COW
tertinggi. Jepang masuk ke dalam kekuatan politik dunia.
Pada era Bipolaritas Akhir 1985, Uni Sovyet memiliki kekuatan militer yang
lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat, tetapi kekuatan ekonominya jauh
melemah. Cina masuk ke dalam struktur kekuatan politik terbesar dunia.
Era Unipolaritas 1996-1997, sistem politik internasional ditandai 7 kekuatan
dunia yaitu Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Rusia, Cina, Inggris, dan
Jerman. Seluruh kekuatan militer, ekonomi, dan indeks COW terkonsentrasi di
Amerika Serikat. Namun, index COW Cina adalah yang paling mendekati
Amerika Serikat ketimbang negara-negara lainnya.
Politik Luar Negeri
Politik luar negeri adalah seperangkat maksud, tatacara, dan tujuan, yang
diformulasikan oleh orang-orang dalam posisi resmi atau otoritatif, yang
ditujukan terhadap sejumlah aktor ataupun kondisi di lingkungan luar
wilayah kekuasaan suatu negara, yang bertujuan mempengaruhi target
tertentu dengan cara yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Agar
lebih jelas, berikut adalah skema pembuatan kebijakan luar negeri:
Terdapat 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan
politik luar negari : Faktor internasional dan faktor domestik. Kedua faktor ini
digunakan sebagai basis pertimbangan oleh para pembuat kebijakan politik
luar negeri, yang melakukan proses pembuatan keputusan. Keputusan yang
dihasilkan dapat berupa penyesuaian, program, masalah/tujuan, dan
orientasi internasional.
Faktor Internasional
Faktor-faktor internasional yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar
negeri di antaranya adalah:
1. Faktor Global, berkaitan dengan perubahan sistem politik internasional
yang punya dampak global dan juga negara dalam konteks pembuatan
kebijakan luar negeri.
2. Faktor Regional, berkaitan dengan lembaga-lembaga regional (yang
terdiri atas negara) yang punya dampak tertentu atas formasi
kebijakan luar negeri suatu negara. Ini juga termasuk norma-norma
yang disepakati di dalam suatu regional khusus yang harus
dipertimbangkan tatkala suatu negara menentukan politik luar
negerinya.
3. Hubungan Bilateral, berkaitan dengan hubungan bilateral antar aktor
negara juga lembaga-lembaga tingkat global ataupun regional. Aktoraktor tersebut dapat mempengaruhi negara suatu negara dengan
menggunakan metode aliansi, perdagangan, juga ancaman ekonomi
dan militer.
4. Aktor-aktor Non Negara, aktor-aktor transnasional seperti jaringan
kriminal, jaringan teroris, perusahan multinasional, dan organisasi hak
asasi manusia, memainkan peran yang mampu membentuk dan
mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.
Faktor Domestik
Faktor-faktor domestik yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar negeri
adalah:
1. Birokrasi, birokrasi kerap diidentikan dengan kelambatan kerja dalam
mengadaptasi perubahan politik luar negeri, tetapi cenderung terdapat
satu kelompok di dalam birokrasi yang punya akses pada pejabat
tinggi yang efektif mengusahakan perubahan kebijakan.
2. Opini Publik, opini publik menjadi penting tatkala pejabat pemerintah
butuh dukungan pemilih dalam rangka menerapkan suatu kebijakan
serta agar terpilih kembali.
3. Media, media berperan penting dalam dalam mensetting agenda, dan
membentuk opini publik; media menyediakan informasi dari
pemerintah ke publik; media dapat menjadi investigator, menyediakan
informasi baru bagi pemerintah juga publik, yang dapat mempengaruhi
perubahan kebijakan luar negeri.
4. Kelompok Kepentingan, kelompok kepentingan adalah kelompok yang
terorganisir, yang terlibat dalam sejumlah aktivitas pengambilan
keputusan pemerintah. Kelompok ini termasuk yang dibentuk
warganegara, diorganisir berdasarkan isu-isu khusus, lobby-lobby
bisnis, profesional, dan firma-firma hukum publik.
5. Partai Politik, partai politik yang memberikan dukungan pada
pemerintah, ataupun untuk meneruskan/mengubah politik luar negeri.
Faktor-faktor domestik dan internasional ini diserap oleh para pembuat
kebijakan. Sebagai manusia, para pembuat kebijakan dipengaruhi
karakteristik yang melekat pada dirinya dalam memandang faktor-faktor
domestik dan internasional tersebut, Karakteristik-karakteristik yang melekat
tersebut adalah: Keyakinan (beliefs), motif, gaya pembuatan keputusan,
gaya interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri, dan pelatihan
yang pernah didapat dalam hubungan luar negeri.
Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin politik yang
berakibat pada penafsirannya atas lingkungan, dan secara lebih jauh
berdampak pada strategi-strategi yang diambil kemudian. Motif mengacu
pada alasan mengapa seorang pengambil keputusan luar negeri melakukan
hal tersebut, dan ini meliputi motif akan afiliasi, motif kekuasaan, dan motif
untuk disetujui. Gaya pengambilan keputusan mengacu pada metode yang
diambil seorang pembuat kebijakan seperti sebagaimana terbuka mereka
akan informasi atau tingkat resiko yang harus diambil.
Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin politik
melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan lainnya, yang
meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan berlebihan) dan Machiavellian
(perilaku yang manipulatif). Pelatihan yang diperoleh dalam hubungan luar
negeri mengacu pada jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat
kebijakan dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang
berpengaruh pada si pembuat kebijakan bertindadak serta strategi apa yang
akan diambil. Kepentingan dalam hubungan luar negeri mengacu pada
kepentingan yang hendak diambil seorang pembuat kebijakan luar negeri, di
mana jika kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya
pada orang lain, sementara jika besar, maka ia akan melakukan pemantauan
secara langsung.
Proses Pembuatan Keputusan. Proses pembuatan keputusan yang dilakukan
oleh para pemimpin politik memiliki sejumlah tahap. Tahap-tahap tersebut
adalah:
1. keinginan awal untuk membuat kebijakan
2. rangsangan dari lingkungan/aktor luar negeri
3. menerima beragam informasi
4. melakukan penghubungan antara masalah dengan kebijakan
5. membangun serangkaian alternatif
6. membangun konsensus yang otoritatif atat pilihan
7. menerapkan kebijakan baru
Aktor-aktor Non Negara dalam Hubungan
Internasional
Perlu ditambahkan, bahwa di abad ke-21 dunia hubungan internasional
ditengarai dengan semakin signifikan peran yang dimainkan oleh aktor-aktor
non negara (non-state actors), baik dalam konteks hubungan internasional,
bilkhusus di era yang disebut "globalisasi" ini. Non state actors atau aktoraktor non negara oleh Thomas M. Magstadt didefinisikan sebagai:
Entitas-entitas selain negara-bangsa, termasuk ke dalamnya multinational corporation, organisasi
non pemerintah, serta organisasi-organisasi internasional non pemerintah, yang memainkan
peran tertentu di dalam politik internasional.
Magstadt lalu mengidentifikasi sejumlah aktor negara yang signifikan
perannya dalam politik internasional, yang meliputi:
1. Multinational Corporation;
2. International Organizatioan (meliputi INGO dan IGO)
3. Uni Eropa
4. Perserikatan Bangsa-bangsa
5. Unconventional Nonstate Actors (meliputi organisasi teroris, dan firmafirma militer swasta)
Multinational corporation merupakan perusahaan (swasta) yang beraktivitas
di lebih dari satu negara. Umumnya perusahaan ini lazim ditemui bergerak
secara global, di seluruh dunia. Magstadt mencontohkan perusahaanperusahaan berbasis di Amerika Serikat memenuhi kategori multinasional ini,
seperti Exxon Mobil, Wal-Mart, Chevron, ConocoPhillips, General Electric,
General Motors, Ford Motor, AT&T, Hewlett Packard, Valero Energy, Citigroup,
Bank of America, AIG, Sementara itu yang berbasis di Eropa dapat disebut
seperti Royal Dutch Shell, BP, dan Total. Ini belum termasuk perusahaanperusahan multinational yang berbasis di Jepang dan Korea Selatan seperti
KIA, Mitsubishi, Toshiba, ataupun Samsung. Salah satu sumber daya utama
yang mendukung ekspansi pasar perusahaan-perusahaan tersebut adalah
pendaan dari bank-bank. Banyak di antara bank-bank tersebut (juga
termasuk multinational corporation, tentunya) berbasis di Jepang, Amerika
Serikat, dan Eropa Barat. Kehadiran aktor-aktor non negara seperti MNC-MNC
ini ditanggapi secara optimis dan pesimis. Pihak yang optimis menyatakan
bahwa kehadiran MNC dalam politik internasional akan mendorong efisiensi
ekonomi, kompetisi dalam skala global, dan mempromosikan teknologi. Pihak
yang pesimis menyatakan, kehadiran MNC mengakibatkan campur-tangan
berlebihan MNC tersebut (juga pemerintah negara asalnya) atas kebijakankebijakan dalam negeri negara tempat mereka beroperasi, selain motif
egoistik mereka dalam mencari untuk yang tidak memperhitungkan dampak
aktivitas perusahaan di masa depan bagi wilayah atau lingkungan hidup
tempat kegiatan mereka.
Organisasi internasional terdiri atas dua jenis yaitu INGO (International
NonGovernmental Organizations) dan IGO (International Governmental
Organizations). INGO terdiri atas organisasi swasta individual maupun
kelompok yang aktivitasnya melangkahi yuridiksi negara-negara dalam
mencapai tujuan-tujuannya. Sementara itu IGO adalah kelompok yang terdiri
atas sejumlah negara, yang pendiriannya didasarkan atas suatu perjanjian
(treaties), punya struktur formal, dan saling bertemu dalam suatu pertemuan
periodik. Contoh dari INGO adalah Amensty International, International Crisis
Groups, World Vision, Greenpeace, atau Special Olympic (di Indonesia
namanya SOIna, aktivitasnya kegiatan olahraga bagi yang mengalami tuna
grahita). Contoh dari IGO sangat banyak dan ini yang kemudian populer
disebut sebagai "rezim internasional" seperti IAEA, IPU, ASEAN, IMF, World
Bank, ADB, juga termasuk ke dalamnya PBB.
INGO, kendati bersifat swasta (privat) memiliki daya "paksa" dalam
memengaruhi tindakan suatu negara. Greenpeace contohnya, para
aktivisnya memiliki keberanian yang luar biasa dalam menghalangi kapalkapal negara adikuasa, swasta ataupun pemerintah, yang hendak melakukan
pembuangan limbah baik di laut maupun darat. Amnesty International
memerhatikan aspek kebebasan politik individual dan menghalangi represi
pemerintah suatu negara di saat mereka menekan kalangan oposisi
politiknya. Di sisi IGO, kita telah menyaksikan bagaimana IAEA menjalankan
peran "mediator" dalam dugaan pengembangan senjata nuklir Iran yang
dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel. Kasus tersebut masih terus
bergulir hingga kini. Atau, IPU sebagai serikat parlemen internasional yang
mempromosikan kuota perwakilan politik perempuan bagi negara-negara
yang menjadi anggotanya.
Uni Eropa diyakini menjadi embrio bagi satu pasar tunggal dunia. Kini Uni
Eropa telah menancapkan langkahnya di Eropa daratan. Uni Eropa adalah
pewaris dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Perbedaannya, kini Uni Eropa tidak
lagi semata-mata mengurus masalah ekonomi seperti MEE melainkan
menjadi suatu organisasi politik supra nasional yang mengatasi negaranegara Eropa dalam beberapa kebijakan. Argumentasi mengapa Uni Eropa
dikatakan sebagai organisasi politik supra nasional karena kini ia
membawahi sejumlah struktur yang menjalankan fungsi lembaga
pemerintahan seperti European Council and Council of Ministers,
Commissions, European Parliament, dan Court of Justice, yang
keseluruhannya mencerminkan trias politika: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif.
Tentu saja, setiap negara anggotanya tetap berdaulat tetapi telah cukup
banyak hal-hal yang diatur oleh Uni Eropa di mana setiap negara anggotanya
tidak boleh melanggar. Misalnya, suatu negara tidak akan beroleh izin
bergabung ke dalam Uni Eropa jika tidak menunjukkan komitmen nyata atas
aturan konstitusinya, pemilu yang bebas, dan jaminan atas hak-hak asasi
manusia. Inilah serangkaian faktor yang mempersulit Turki masuk ke dalam
Uni Eropa selain tentunya masalah kekuatan ekonominya.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan satu bentuk IGO yang khusus.
Ini akibat sejarah panjang pendiriannya serta luasnya keterlibatan negaranegara di dunia ke dalam organisasi ini. PBB mengemban "impian" stoisisme
yaitu "satu pemerintahan dunia" atau "novum ordo seclorum." Kendati
tentunya, secara kritis dapat diujarkan bahwa dalam gagasan satu
pemerintahan dunia, dapat saja yang terjadi adalah kekuasaan satu negara
atau satu oligarki negara di dalam organisasi ini atas "dunia." Negara dengan
kekuatan ekonomi, militer, politik, dan teknologi besar memiliki kans untuk
menjadi pengendalinya.
Organisasi teroris dan pasukan militer swasta dimasukkan oleh Magstadt ke
dalam organisasi nonkonvensional dalam konteks aktor-aktor non negara.
Organisasi teroris ini sama dengan MNC, yaitu beroperasi lintas negara
dengan tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Organisasi teroris ini
beroperasi di banyak negara seperti Indonesia, Peru Bolivia, Spanyol,
Pakistan, ataupun Amerika Serikat tanpa harus berasal dari negara-negara
tersebut. Di Spanyol yang masih dilanda pertikaian etnis Catalan dan
Basque,
serangan-serangan
teroris
banyak
dimaksudkan
demi
mempengaruhi hasil pemilu ataupun pemilihan gubernur. Di Amerika Serikat,
operasi-operasi Al Qaeda ditunjukkan demi memberi peringatan kepada
Amerika Serikat untuk bersikap adil dalam kebijakan-kebijakan politik luar
negerinya di Timur Tengah.
Firma-firma militer swasta merupakan perkembangan baru yang cukup
menyentak, kendati keberadaan "pasukan bayaran" di kisah-kisah politik
masa lalu sesungguhnya cukup biasa. Untuk organisasi ini misalnya dapat
disebut BlackWater Company (basis di Amerika Serikat), Military Professional
Resources Incorporated (MPRJ) yang berbasis di Virginia (AS) merupakan
sedikit contohnya. Firma-firma militer swasta ini bertindak sebagian besar
bukan karena alasan moral, ideologi, ataupun politik melainkan karena
alasan profit layaknya MNC. Blackwater misalnya, disewa oleh pemerintah
transisi Amerika Serikat untuk mengamankan pendudukan mereka di Irak.
Rekrutmen anggota militer swasta ini tidak semata-mata berasal dari dalam
negeri Amerika Serikat sendiri melainkan bisa direkrut dari Filipina, Peru,
Ekuador, untuk kemudian didatangkan ke Amerika Serikat untuk dilatih
secara militer-profesional. Firma-firma militer swasta ini terbuka untuk
direkrut aktor-aktor negara demi tujuan politik spesifik pihak penyewa.
-------------------------------kebijakan luar negeri dibentuk berdasarkan pengaruh lingkungan domestik dan
mancanegara suatu negara.
Demikian tanggapan dari saya. Semoga bermanfaat.
Balas
Muat yang lain...
Ketik komentar anda. Pada Beri komentar sebagai pilih Name/URL jika anda tak memiliki
Google Account. Lalu klik Publikasikan.
← Sistem Kepartaian dan Partai Politik Pengertian Jenis Kekuasaan Bentuk Negara dan Sistem
Pemerintahan →
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Statistik
4,665,705
Telah Terbit
Label
biografi politik (2)
birokrasi dan demokrasi (12)
humaniora (3)
komputer (26)
metode penelitian (9)
organisasi dan manajemen (13)
pengantar ilmu politik (12)
politika (5)
resensi buku (10)
sistem politik indonesia (10)
sistem sosial dan budaya indonesia (14)
tentang negara (13)
Buku dan Film
Conspirata (Robert Harris)
Destiny Disrupted (Tamim Ansary)
Ghost Writer (Robert Harris)
Imperium (Robert Harris)
Pompeii (Robert Harris)
Taiko (Eiji Yoshikawa)
Cari Blog Ini
Recent
Popular
Label
Eropa Timur Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Eropa Utara Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Eropa Barat Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Eropa Selatan Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Asia Selatan Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Asia Tengah Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Amerika Utara Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Alamat Website Tracer Study Pelacakan Lulusan Para Alumni STIA Sandikta
Sistem Informasi Sekolah Gratis dan Lengkap yaitu JIBAS
Konflik-konflik Horizontal di Indonesia dengan Contoh Kasus Poso dan Maluku
Followers
Sponsors
Tes Kecepatan Blog
Direktori Indonesia
Translate
Powered by
Translate
Contact us if you have any question or anything else
Seta Basri Menulis Terus © 2011 DheTemplate.com. Supported by Tips for Life and Blogging
Tips
- Page 2 -
Seta Basri Menulis Terus
tidak banyak yang bisa diceritakan
Twitter
Facebook
RSS Feed
Home
Ilmu Politik
Ilmu Budaya
Metode Penelitian
Dunia Komputer
Buku Saya
Organisasi Manajemen
Pengertian Jenis Kekuasaan Bentuk Negara dan Sistem
Pemerintahan
oleh: seta basri 132 komentar
pengantar ilmu politik
Share:
Tweet
Pengertian jenis kekuasaan bentuk negara dan sistem pemerintahan merupakan aneka konsep
pokok dalam studi ilmu politik. Dalam mempelajari ilmu politik kita kerap ‘dipusingkan’ oleh
berbagai macam istilah yang satu sama lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali
ditemukan tersebut misalnya monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, mobokrasi,
federasi, kesatuan, konfederasi, presidensil, dan parlementer. Bagaimana kita harus
mengkategorikan masing-masing istilah tersebut?
Apa beda antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani
dengan monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau oligarki?
‘Pemusingan’ ini merupakan awal dari proses belajar, dan jangan kita surut, melainkan terus
maju dengan membaca. Potret Indonesia
Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi,
dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis
kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi,
berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita
berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah
berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.
Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbic
Pengertian Hubungan Internasional Politik Internasional
dan Politik Luar Negeri
Pengertian hubungan internasional, politik internasional, dan politik luar negeri sesungguhnya
memiliki ontologi sendiri-sendiri. Tulisan ini akan membahas secara tersendiri ketiga konsep
tersebut. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan Internasional, Politik Luar Negeri, dan
Politik Internasional. Dua konsep terakhir – Politik Luar Negeri dan Politik Internasional –
adalah sub disiplin Hubungan Internasional.
Karena sifat ‘keindukan’ dari Hubungan Internasional ini-lah, maka konsep tersebut akan
dijelaskan dijelaskan terlebih dahulu. Untuk lebih memperjelas sifat ‘keindukan’ dari Hubungan
Internasional ini, kami persembahkan skema berikut:
------------pict>>
Politik Luar Negeri dan Politik Internasional tercakup ke dalam disiplin
Hubungan Internasional. Hubungan Internasional sendiri masuk ke dalam
materi
disiplin
Ilmu
Politik
secara
keseluruhan.
Apa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional? K.J. Holsti dalam
bukunya International Politics, mendefinisikan bahwa Hubungan Internasional
sebagai:
“Semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berbeda, apakah itu
disponsori oleh pemerintah atau tidak … ia mencakup juga studi mengenai
serikat perdagangan internasional, Palang Merah Internasional, turisme,
perdagangan interasional, transportasi, komunikasi, dan perkembangan nilai
dan etik internasional.”
Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang dilakukan baik
oleh negara maupun non-negara (individual), di mana hubungan tersebut
melewati
batas
yuridiksi
wilayah
masing-masing.
Aktor negara misalnya pemerintah Amerika Serikat, Iraq, Afganistan, atau
Israel. Aktor non-negara misalnya team bulutangkis Piala Thomas, petani
buah Mekar Sari yang sedang menjalin hubungan dagang dengan pengusaha
di Australia, masalah turis luar negeri yang berkunjung ke Bali, ataupun
pernik perizinan yang dialami oleh pelajar-pelajar Indonesia yang tengah
belajar
di
Mesir.
Singkatnya, jika kita belajar Hubungan Internasional, perhatian kita tidak
hanya terpaku pada aktivitas yang dilakukan negara, melainkan pula aktor
individu/organisasi non politik/negara, seperti telah disebut. Namun, hal yang
patut diingat adalah, Hubungan Internasional menghendaki hubunganhubungan yang dilakukan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing
aktor
yang
berhubungan.
Dengan demikian, hubungan dagang antara Departemen Pertanian Republik
Indonesia dengan petani beras di Cianjur, bukan termasuk Hubungan
Intenasional oleh sebab batas yuridiksinya hanya berada di dalam wilayah
Indonesia. Namun, jika petani Cianjur tersebut berdagang dengan agen
beras di Dili (Timor Leste), proses tersebut masuk dalam kerangka Hubungan
Internasional.
Hubungan Internasional juga mengkaji masalah Politik Luar Negeri dan Politik
Internasional. Perbedaan Hubungan Internasional dengan kedua konsep ini
adalah bahwa dua konsep yang terakhir hanya mengkaji aktor negara.
Berikut kami akan uraikan apa yang dimaksud oleh dua konsep terakhir ini.
Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri? Carlton Clymer Rodee et al.
mendefinisikan Politik Luar Negeri sebagai:
“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan
kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain … [yaitu]
bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan
mesin pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya
manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di dalam lapangan
internasional.”
Berbeda dengan disiplin Hubungan Internasional yang memasukkan baik
aktor negara maupun non-negara ke dalam kajian, Politik Luar Negeri hanya
mengkaji
aktor
negara.
Dalam
Politik
Luar
Negeri,
negara
dipandang
sebagai
tengah
memperjuangkan kepentingan di dalam hubungannya dengan negara (atau
beberapa negara) lain. Secara otomatis pula, jika suatu hubungan dilakukan
suatu negara terhadap negara lain, maka ia pasti melewati batas yuridiksi
wilayah masing-masing. Dalam aktivitas Politik Luar Negeri, suatu negara
memiliki tujuan, cara mencapai tujuan, cara mengelola sumber daya alam
agar
ia
dapat
bersaing
dengan
aktor-aktor
(negara)
lain.
Lihat
skema
berikut:
------------pict>>
Dalam Politik Luar Negeri, suatu negara menetapkan serta menerapkan
serangkaian tindakan yang ditujukan terhadap negara lain. Misalnya,
Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden George Walker Bush
menetapkan politik luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT).
Dalam politik luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika Serikat
menetapkan kebijakan keamanan “ekstra ketat” di dalam negeri, menseleksi
ketat orang asing yang masuk ke negaranya, membangun teknologi militer
anti teror, menekan parlemen untuk memberi anggaran lebih besar pada
bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan negara lain yang
“sepaham” dengan politik luar negeri anti terorisme tersebut, menekan
negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung politik luar
negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea
Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat” (rogue state) akibat mereka dicurigai
menghambat
politik
luar
negeri
Amerika
Serikat
itu.
Namun, Politik Luar Negeri hanya menganalisa apa-apa yang ditetapkan
suatu negara terhadap lingkungan ‘luarnya.’ Ia tidak ingin masuk lebih dalam
lagi guna membahas apa saja reaksi lingkungan (atau negara) ‘luar’
terhadap suatu negara yang memberlakukan Politik Luar Negeri. Reaksi
tersebut meliputi interakisi antar negara di luar Amerika Serikat, sebagai
contoh, dalam menanggapi politik luar negeri Global War on Terrorism.
Apakah mereka satu sama lain saling mendukung, netral, atau bahkan
cenderung
menjauhi
Amerika
Serikat.
Masalah ‘reaksi’ yang dimunculkan oleh lingkungan luar ini dibahas di dalam
disiplin Politik Internasional. Apa yang dimaksud dengan Politik Internasional?
KJ. Holsti mendefinisikan Politik Internasional sebagai:
“ […] interaksi antara dua negara atau lebih … [yang terdiri atas] pola
tindakan suatu negara dan reaksi atau tanggapan negara lain terhadap
tindakan tersebut […]”
Jika Politik Luar Negeri hanya membahas bagaimana sebuah negara
menanggapi serangkaian tindakan yang diambil berdasarkan analisis kondisi
internasional, maka politik internasional merupakan aksi-reaksi tindakan
antarnegara. Bidang yang secara khusus membahas prinsip ‘aksi-reaksi’ ini
adalah Politik Internasional. Agar lebih jelas, lihat skema berikut :
Berbeda dengan Politik Luar Negeri, Politik Internasional menitikberatkan
pada dinamika ‘tanggap-menanggapi’ antara dua atau lebih negara. Tentu
saja, di dalam Politik Internasional juga dibahas masalah Politik Luar Negeri,
tetapi sejauh Politik Luar Negeri tersebut berakibat pada kondisi aksi-reaksi
antarnegara.
Misalnya peristiwa masuknya Timor Timur ke dalam negara kesatuan
Republik Indonesia. Kasus tersebut merupakan masalah politik internasional,
oleh sebab melibatkan 2 negara berdaulat : Indonesia dan Portugal.
Indonesia memasukkan Timor Timur ke dalam wilayahnya bukan tanpa
sebab.
Pertama, kondisi politik internasional tahun 1976 ditengarai Perang Dingin
antara Blok Komunis (dipimpin Uni Sovyet) melawan Blok Kapitalis (dipimpin
Amerika Serikat). Kedua, Amerika Serikat memiliki sekutu di dekat wilayah
Timor Timur yaitu Australia. Ketiga, Indonesia ---yang tergabung dalam
ASEAN--- juga tengah menghadapi ancaman Komunis dari Utara (lewat jalur
Cina ke Vietnam Utara). Keempat, Portugal seperti “menterlarkan” wilayah
Timor Timur yang berakibat di wilayah tersebut menjadi basis pelatihan
gerilyawan komunis yang hendak merebut kekuasaan. Kelima, pemerintahan
Indonesia berada di bawah Orde Baru Suharto yang anti komunis tetapi
cenderung pro Blok Kapitalis. Kasus pemasukan Timor Timur ke dalam
wilayah Indonesia, sebab itu, sangat kental dimensi Politik Internasional-nya.
Studi politik internasional dapat ditesuri hingga tulisan-tulisan pra
semisal dari Tuchydides, Aristoteles dan Plato. Mereka dinyatakan
perintis awal teorisasi hubungan internasional. Masing-masing dari
mewakili 2 aliran dalam teori ini : Realis dan Idealis. Aliran Realis
Tuchydides dan Aristoteles, sementara Plato mewakili Aliran
Masehi,
sebagai
mereka
diwakili
Idealis.
Dalam studi hubungan internasional kontemporer, kedua aliran tersebut
masih berpengaruh meski dengan sejumlah variasi. Aliran Realis
memandang bahwa aktor dalam hubungan internasional adalah negara
berdaulat serta organisasi pemerintahan internasional (misalnya PBB). Aliran
ini juga memandang bahwa “dunia” berada dalam kondisi “perang”, di mana
aktor-aktornya (negara atau organisasi internasional) bersaing mutlak untuk
memperoleh teritori, kekuasaan, dan sumber daya (alam dan manusia).
Di sisi lain, Aliran Idealis memandang bahwa aktor dalam hubungan
internasional, selain negara adalah juga termasuk Organisasi Pemerintahan
Internasional, LSM Internasional, masyarakat aneka negara, serta individu.
Jadi, aktor hubungan internasional dalam Aliran Idealis cukup luas dan plural.
Aliran ini juga memandang bahwa masyarakat internasional terbangun atas
aneka hubungan yang menyerupai “jaring laba-laba” dan tak terhitung
jumlahnya. Hubungan tersebut bercorak lintas batas negara dan terkadang
melewati kewenangan negara. Para aktor terlibat dalam suatu hubungan
yang
bersifat
positif.
Agar lebih jelas, baiklah dimuat bagan perkembangan aliran pemikiran
dalam
hubungan
internasional
berikut:
Realisme
Perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional pun memiliki
akar filsafat politik. Realisme mendasarkan diri para filsafat politik dari
Tuchydides dan Aristoteles. Thucydides dianggap sebagai penulis realis
hubungan internasional yang pertama. Ia hidup tahun 400 sM di Athena dan
menulis
buku
The
History
of
Peloponnesian
War.
Setelah itu muncul konsep kedaulatan negara di akhir abad pertengahan
Eropa. Konsep partikularis negara dari Marsilius Padua, balance of power
(perimbangan kekuatan), dan teori negara dari Machiavelli melengkapi akar
filosofis
aliran
Realisme
dalam
hubungan
internasional.
Jika dapat disebut Realis klasik, maka Machiavelli dapat disebut Realis
Modern. Melalui bukunya Il Principe dan Discourse, Machiavelli menulis
tentang kekuasaan, kekuatan, formasi aliansi dan kontra aliansi, serta sebabsebab terjadinya perang antarnegara. Tidak seperti Thucydides, Machiavelli
lebih
memfokuskan
diri
pada
masalah
keamanan
nasional.
Jika boleh ditambah, realis modern lain (di samping Machiavelli) adalah
Thomas Hobbes. Hobbes lewat bukunya Leviathan (1668) menulis tentang
kondisi anarki Eropa selama dia hidup. Bagaimana negara-negara di Eropa
saling berperang dan tidak menghormati perjanjian perdamaian adalah
fokusnya. Pemikiran Hobbes mengenai anarki dan kekuasaan ini
berpengaruh besar pada teoretisi kontemporer semisal Hans J. Morgenthau
lewat
bukunya
Politics
Among
Nations.
Pada perkembangannya, aliran Realisme ini mengalami perkembangan.
Perkembangan ini akibat munculnya Globalisme sistem politik internasional
dari pihak Idealisme. Beda Neorealis dengan Realis adalah, Realis
beranggapan sistem internasional selalu dalam kondisi anarki, sementara
Neorealis menggap anarki adalah akibat dari ketiadaan otoritas sentral. Beda
lainnya, jika Realis mengkaji aktor state yang berusaha memenuhi
kepentingan nasional, maka Neorealis mengkaji sistem internasional yang
berisi
hubungan
antarnegara.
Realis dan Neorealis juga berbeda dalam konsep “stabilitas.” Jika Realis
menganggap keteraturan otomatis muncul jika masing-masing negara
memaksimalisasi
kepentingan
nasional
dengan
memperhatikan
kekuatan/kelemahan negara lain, maka Neorealis memandang setiap negara
harus mempertahankan posisi kekuatan relatifnya di dalam sistem yang ada.
Sebab, aliran Neorealis memandang negara yang memaksimalisasi
kepentingan “ala Realis” akan “dibuang” dari sistem politik internasional.
Neorealisme mengajukan konsep-konsep seperti Unipolar (satu negara
sebagai pusat kekuasaan), Bipolar (dua negara sebagai pusat kekuasaan),
dan
multipolar
(banyak
negara
sebagai
pusat
kekuasaan).
Kembangan Neorealis yang paling berpengaruh adalah Neorealis-Strukturalis
yang dimotori Kenneth N. Waltz. Neorealisme-Strukturalis menganggap
stuktur sistem politik internasional sebagai penentu. Dalam sistem ini,
kemampuan tiap negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dibatasi
oleh kekuatan negara lain. Sistem internasional terbentuk melalui perubahan
dalam pola distribusi kemampuan antar masing-masing unit (negara). Anarki
internasional akan muncul ketika kekuatan salah satu negara berubah (lebih
kuat
atau
lebih
lemah).
Gambaran aliran Realisme atas hubungan internasional adalah, negaranegara yang ada di dunia berinteraksi seperti bola bilyard. Masing-masing
terpisah dan saling bertabrakan sesuai dengan kepentingan nasionalnya
sendiri-sendiri. Sebab itu, kajian atas Politik Luar Negeri menjadi inti
hubungan internasional. Titik tekannya adalah pada aspek kepentingan
nasional, sebagai dasar dibuatnya kebijakan politik luar negeri setiap negara.
Realisme menjadi mapan setelah Liga Bangsa-bangsa tidak mampu
menanggulangi konflik antarnegara di Eropa tahun 1930-an yang berakibat
Perang
Dunia
II.
Idealisme
Di sisi lain, aliran Idealisme memiliki akar filsafat dari Plato. Plato
membayangkan bahwa konsep-konsep seperti keadilan dan harmonisasi
yang bersifat positif merupakan ide mutlak yang dapat diterapkan di dunia.
Pemimpin yang bisa menerjemahkan hal tersebut adalah seorang filosof
yang sekaligus raja. Pemikiran Plato ini diteruskan oleh kaum Stoic, yaitu
raja-raja yang memanfaatkan filsafat Plato untuk memerintah. Ciri raja-raja
Stoic adalah upaya mereka untuk menahan nafsu berperang, dan anggapan
bahwa seluruh negara adalah sama, yaitu sekumpulan warga dunia
(kosmopolitanisme)
dan
saling
bantu-membantu.
Lebih lanjut, kosmopolitanisme ini mengembangkan ide utopis (belum ada di
kenyataan) berupa satu negara dunia. Inilah yang mengilhami berdirinya
Liga Bangsa-bangsa pasca terjadinya Perang Dunia I. Penekanan Liga
Bangsa-bangsa adalah mencapai perdamaian internasional melalui
hubungan kooperatif antarnegara. Pemikiran yang melandasi berdirinya Liga
Bangsa-bangsa ini disebut Aliran Idealis, dan para pendukungnya (seperti
Presiden Amerika Serikat 1920-an, Woodrow Wilson) disebut kaum Idealis.
Pada kenyataannya, Liga Bangsa-bangsa tidak mampu mencegah terjadinya
Perang Dunia II yang berlangsung tahun 1939 hingga 1945.
Kegagalan kaum idealis utamanya adalah tidak konsistennya negara-negara
dominan dalam menciptakan perdamaian dunia lewat kerjasama
interansional, pengurangan senjata secara berdisiplin, serta ketegasan sikap
yang diiringi kekuatan militer pemaksa. Bagi Wilson, benih absolutisme dan
militerisme adalah penyebab Perang Dunia I. Benih-benih tersebut hanya
bisa dipangkas lewat penciptaan pemerintahan yang demokratis
dibentuknya asosiasi bangsa-bangsa (nantinya jadi LBB). Asosiasi tersebut
yang --menurut keyakinannya--- akan menjamin kemerdekaan dan integritas
nasional setiap negara, besar ataupun kecil. Wilson ini juga ditengarai
membawa konsep Tata Dunia Baru (New World Order) yang menggemborkan
demokrasi dan kerjasama internasional sebagai cara memastikan
keteraturan
dalam
politik
internasional.
Di kemudian hari, konsep Wilson tersebut termanifestasi dalam wujud Liga
Bangsa-bangsa (LBB) yang berdiri 16 Januari 1920. LBB adalah representasi
dari Idealisme dalam politik internasional. Wilson bisa berperan besar karena
AS adalah salah satu dari 3 negara utama pemenang PD I (dua lainnya
Perancis dan Inggris). Lalu, mengapa LBB 'Wilson' ini gagal mencegah
terjadinya
perang
dunia
II?
Pertama, LBB gagal memfasilitasi kerjasama internasional untuk secara
stabil merestorasi perekonomian Eropa daratan pasca PD I. Pasal 231
Perjanjian Versailles secara eksplisit menyebut Jerman (juga AustriaHongaria, kerajaan ini hilang dari peta) sebagai pihak yang pertama kali
memulai PD I dan sebab itu harus bayar kompensasi 33 milyar dollar AS.
Harga diri Jerman (Austria hilang dari peta) jatuh dan menciptakan
kemarahan
di
publik
politik
dan
masyarakat
sipil
Jerman.
Dari 33 milyar, Jerman hanya sanggup membayar cicilannya sekali saja,
yaitu sebesar 2,5 milyar pada tahun 1921 dan setelah itu macet. Menyikapi
kemacetan ini, Perancis langsung menganekasi Ruhr, distrik industri dan
pertambangan utama milik Jerman. Jerman melakukan perlawanan pasif
(karena persenjataannya telah jauh berkurang, juga akibat Perjanjian
Versailles) yang dibiayai lewat percetakan uang Mark (mata uang Jerman)
secara besar-besaran. Karena dicetak besar-besaran buntutnya jelas: Jerman
mengalami inflasi yang justru memperburuk keuangan Jerman dan semakin
jauh mengurangi kemampuannya untuk membayar kompensasi perang.
Untuk mengatasi ini, LBB membentuk komisi restorasi ekonomi Jerman (The
Dawes Plan) tahun 1924. Dawes Plan diketuai bankir AS, memberi pinjaman
200 milyar dollar AS kepada Jerman guna menggerakkan perekonomiannya.
Selama 1924 - 1929 ekonomi Jerman pulih 'sementara' (demikian pula Eropa
daratan dan Inggris) sehingga pembicaranan 'anti militerisme', demokrasi,
dan perdamaian terus dilakukan karena spirit idealisme Wilson adalah
pengurangan persenjataan setiap negara hingga ke batas minimal.
Hanya kurang lebih 5 tahun 'kapitalis' AS mempertahankan jiwa idealis-nya.
Perlu diingat, perbaikan ekonomi Eropa (terutama Jerman) yang 5 tahun itu
murni mengandalkan uang bantuan (investasi) dari para kapitalis AS. Tahun
1928, bursa saham di New York mengalami booming Booming ini dilingkupi
oleh situasi anomali pasca perang: Barang industri mahal karena banyak
pabrik hancur, sementra hasil pertanian yang mengandalkan tanah justru
overproduksi
dan
jatuh
nilai
jualnya.
Untuk menjaga harga jual, masing-masing negara menaikan tarif masuk
komoditas pertanian dari negara lain. Namun, di sisi lain para investor
'kapitalis' AS --karena menimbang profit taking akan lebih besar--- ramairamai menarik uang yang sebelumnya mereka tanamkan di dari Jerman.
Karena serangan 'tiba-tiba' tahun 1929 bursa saham di NY tersebut malah
'anjlok.' Akibatnya bisa ditebak: Semakin banyak uang ditarik dari Jerman
oleh investor AS untuk menutupi kerugian mereka di bursa. Bayangkan apa
yang terjadi pada ekonomi Jerman yang baru pulih tersebut! Jangankan
Jerman, bahkan The Credit-Ansalt, bank prestisius di Wina, Austria pun
mengalami
kolaps
tahun
1931.
Depresi ekonomi (malaise) ini berpuncak di tahun 1932. Akibat krisis yang
dilakukan proses produksi adalah memangkas ongkos produksi yaitu
pengurangan tenaga kerja. AKibatnya 1 dari 4 pekerja di Inggris menganggur
dan: 40% atau 6 juta pekerja di Jerman kehilangan pekerjaannya. Apa yang
akan lahir dari situasi semacam ini, di mana harga diri Jerman akibat
Perjanjian Versailles turun hingga batas horizon, pengangguran 6 juta orang,
dan Alsace-Lorraine-PrussiaTImur-Ruhr hilang? Hitler dan Lebensraum!
Kedua, LBB gagal menekan 'realisme' politik internasional. Perjanjian
Versailles membuat Jerman wajib mengurangi kekuatan militer meliputi
tentara hingga tinggal 100.000 orang, mengurangi kekuatan angkatan laut
hingga di bawah kekuatan AL Inggris dan Perancis, serta mengeliminasi
angkatan udaranya. Namun, LBB tidak mampu mem-push negara-negara
selain Jerman untuk melakukan hal serupa. Ini akibat setiap negara tetap
'realis': Mereka tidak bisa mempercayakan keamanan negara mereka pada
kehendak baik negara lain, yaitu jika mereka mengurangi senjata negara lain
pun akan melakukan hal serupa. Contoh, ketika Jerman tidak mampu
mencicil kompensasi perang sejak 1921, Perancis langsung menganeksasi
Ruhr, distrik Jerman yang merupakan pusat industri dan pertambangan.
Kendati Ruhn adalah legal miliknya, Jerman sulit melakukan beladiri aktif
karena persenjataannya jauh dari mencukupi. Akibatnya, Jerman melakukan
bela-diri pasif yang dibiayainya dengan cara mencetak sebanyak-banyak
uang Mark Jerman. Akibatnya jelas, Jerman jatuh ke dalam inflasi dan
semakin rendah kemampuannya membayar kompensasi perang.
Juga bayangkan, sejumlah negara terpaksa keluar atau dikeluarkan dari LBB
karena melakukan invasi: Jepang (1933) karena menginvasi Manchuria-Cina
1932; Italia menginvasi Abbysinia (Ethiopia) 1935; Uni Sovyet (1939) karena
menginvasi Finlandia 1939; Kostarika (1925); Brasil (1926); Haiti (1942);
Jerman (1933); Luxemburg (1942). Selain itu, Konferensi Perlucutan Senjata
yang disponsori LBB tahun 1932 di Jenewa tidak mampu menghentikan
semangat Jerman, Jepang, dan Italia untuk meningkatkan kemampuan
persenjataan
mereka.
Ketiga,, LBB tidak memiliki kekuatan realis penting dalam politik
internasional: Kekuatan Bersenjata. Ketika Jepang menginvasi Manchuria
atau Italia menginvasi Abbysinia, LBB tidak mampu menurunkan armed-force
yang mampu memaksa negara-negara agresor kembali ke garis
demarkasinya. Mengapa? Tiga kekuatan pemenang perang (Perancis, Inggris,
dan AS) satu pun tidak memiliki keinginan untuk terlibat ke dalam perang
baru walaupun sebenarnya legal karena mengatasnamakan LBB. Akibatnya,
agresivitas negara-negara agresor sulit dihentikan karena tidak ada kekuatan
'realis' yang mampu melakukan tindakan pemaksa (kekuatan militer). LBB
jadi
macan
ompong.
Keempat,, LBB melakukan kebijakan berstandar ganda. Kendati Wilson
menggemborkan setiap bangsa berhak atas identitas dan wilayah
nasionalnya masing-masing, 'penjajahan' semu tetap berlangsung.
Bagaimana tidak, Timur Tengah misalnya, bukannya diserahkan kepada
masing-masing bangsa (setelah disita dari Ottoman Turki akibat dinasti ini
kalah dalam PD I): Syiria dan Lebanon jatuh menjadi mandat Perancis; Iraq,
Transyordania, Palestina, dan Kuwait jatuh ke mandat Inggris. Belum lagi
negara-negara Eropa yang masih melakukan tindak kolonialisme seperti
Belanda
di
Indonesia.
Pasca kegagalan Liga Bangsa-bangsa, aliran Idealis merapatkan diri ke dalam
varian
barunya:
Liberalisme-Institusionalis.
Liberalisme-Institusionalis
memandang bahwa politik dalam negeri setiap negara adalah penting. Di
dalam politik dalam negeri tersebut, hal yang dipantau adalah aspek
demokrasi dan penentuan nasib bangsa secara mandiri. LiberalismeInstitusionalis
juga
memandang
Perang Dunia II dianggap sebagai kegagalan pandangan Idealisme dalam
hubungan internasional. Terbukti, sifat hubungan antarnegara bukan
kerjasama konstruktif tetapi egoisme kepentingan nasional yang dicapai
dengan penggunaan kekuatan militer. Sebab itu, aliran Realisme
memperoleh pembenaran atas pandangan mereka dalam melukiskan
fenomena hubungan internasional. Varian dari aliran Idealisme adalah
Globalisme
dan
Neoliberalisme
Institusionalis.
Globalisme muncul sebagai kritik atas pandangan Realisme yang secara
sempit memandang aktor politik internasional adalah negara saja.
Globalisme juga mengkritik Realisme yang “pesimis” pada dimensi pasifis
(suka
damai)
pada
diri
aktor
politik.
Globalisme, yang tumbuh di tahun 1970-an memandang bahwa aktor politik
internasional tidak cuma negara, melainkan juga meliputi pemerintahan
internasional (misalnya PBB), lembaga swadaya masyarakat (misalnya Red
Cross, GreenPeace), koalisi internasional (misalnya International Political
Science Association), multi national corporation (misalnya McDonald, KFC,
Sharp), ataupun asosiasi masyarakat transnasional (misalnya International
Olympic
Committee).
Tidak seperti Realisme, Globalisme memandang hubungan antar aktor lintas
negara tersebut bercorak positif. Pencapaian kepentingan para aktor
diperoleh melalui sumber daya sosial yang terus-menerus berkembang
sebanding dengan kemajuan teknologi, rasionalisasi cara produksi, dan
makin rumitnya pembagian kerja antar aktor. “Permainan” tersebut
dinamakan “kerjasama internasional”, di mana masing-masing aktor ingin
memperoleh hasil yang maksimal. Tujuan dari Globalisme adalah perdamaian
dunia, yang dicapai melalui kesalingtergantungan antaraktor di tingkat
internasional.
Kembangan lain dari Idealisme adalah Neoliberalisme-Institusionalis.
Neoliberalisme-Institusionalis muncul sebagai kritik atas Neorealisme dalam
memandang sistem politik internasional. Neoliberalisme-Institusionalis
merupakan perkembangan dari Liberalisme, ideologi yang berkembang di
Eropa awal abad ke-19. Liberalisme menekankan pada pemenuhan
kepentingan
individu
semaksimal
mungkin.
Neoliberalisme Institusionalis mengkombinasikan antara liberalisme dengan
Realisme. Aliran ini sepakat dengan Realisme bahwa negara adalah aktor
internasional yang penting, tetapi ragu bahwa negara secara sendirian
mampu mencapai perolehan absolut ketimbang sekadar relatif saja. Saat
negara berupaya mencapai kepentingannya, maka ia akan membentuk
organisasi yang diperuntukkan bagi pencapaian kepentingannya itu. Dengan
demikian, posisi organisasi ---seperti organisasi internasional, lembaga
swadaya masyarakat, gerakan sosial transnasional, dan multi national
corporation--- menjadi sama penting dengan negara. Memang semua
gerakan dalam politik internasional dilakukan oleh negara, tetapi itu sekadar
langkah awal, sebab penyelesaiannya kemudian diserahkan kepada
organisasi-organisasi
yang
tadi
telah
disebutkan.
Organisasi, sebab itu, dapat mempengaruhi negara, dan sebaliknya. Negara
akan mendukung kerjasama jika itu mampu menghasilkan perolehan
kepentingan relatif ataupun absolut. Sebaliknya, jika negara menilai
organisasi tersebut tidak mendukung perolehan kepentingannya, mereka
akan menentangnya. Andrew Moravcsik bahkan menyatakan bahwa
“[neoliberalisme-institusionalis] sebagai teori liberal pilihan negara yang
memasukkan aktor-aktor dalam negeri secara luas ---dan sebab itu bersifat
transnasionali dan internasional---- dihubungkan dengan kepentingan
domestik---- ke dalam perilaku negara. Sebab itu, menurut Neoliberalisme
Institusional bukan tidak mungkin bahwa politik luar negeri suatu negara
dipengaruhi
aktor-aktor
domestiknya.
Tokoh dari Neoliberalisme Institusional ini adalah Robert Keohane dan Robert
Axelrod. Contoh dari organisasi-organisasi yang terbentuk berlatar
Neoliberalisme-Institusionalis ini adalah International Monetary Fund, World
Trade Organization, World Bank, ataupun perusahaan-perusahaan swasta
transnasional.
Pada bagan juga dapat diperhatikan bahwa Realisme muncul sebagai lawan
dari Idealisme. Realisme kemudian memperoleh couter dari Globalisme
(varian Idealisme), dan Globalisme ini kembali dikritik oleh varian Realisme
yang lain, yaitu Neorealisme. Neorealisme ini kemudian dilawan kembali oleh
varian Idealisme yaitu Neoliberalisme Institusionalis, yang kembali dilawan
oleh
varian
Realisme
Strukturalis.
Selain Realisme dan Idealisme, hubungan internasional juga dikaji oleh
beberapa aliran baru. Aliran-aliran ini terbentuk setelah menyaksikan
dialektika (pertentangan) antara Realisme versus Idealisme. Aliran-aliran
tersebut adalah Teori Imperialisme, Teori Dependensi, dan Teori Sistem Dunia
Kapitalis.
Politik
Internasional
Politik internasional mengkaji interaksi antaraktor state (negara) dalam
sistem politik internasional. Guna menelaah politik internasional, ada
baiknya kita beranjak ke level sistemik. Tujuannya, agar lebih mudah
memberikan penggambaran secara garis besar atas politik internasional
yang
berlaku
dewasa
ini.
Aliran Neorealisme melihat pola struktur sistem politik internasional
berdasarkan pola interaksi antarnegara. Aliran ini juga menekankan pada
aspek “kekuatan” nasional, yang digunakan negara tersebut dalam bertindak
di dalam sistem politik internasional. Penggambaran pada tulisan ini
menggunakan tradisi berpikir yang ada di aliran Neorealisme ini.
Politik internasional dewasa ini ditandari berakhirnya Perang Dingin (Cold
War) tahun 1990-an yang ditandari runtuhnya Uni Sovyet. Keruntuhan
tersebut sekaligus menandai berakhirnya sistem politik bercorak Bipolar.
Bipolar adalah struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran 2
negara yang memiliki kekuatan relatif besar ketimbang negara-negara
lainnya. Bipolar System sebelum 1990-an diwakili Amerika Serikat dan Uni
Sovyet. Kini, sistem tersebut telah tiada dan digantikan dengan Unipolarity
System.
William C. Wohlforth menulis bahwa secara meyakinkan, politik internasional
kini ditandai pola Unipolarity System. Amerika Serikat kini menjadi negara
superior dan menentukan oleh sebab menguasai sumber daya seperti
ekonomi, militer, teknologi, dan geopolitik yang relatif jauh di atas negaranegara lainnya pasca Perang Dingin. Status Unipolar ini tetap ada meskipun
negara-negara lain berkesempatan menduduki posisi sebaga “polar” (kutub)
seperti
Jepang,
Cina,
Jerman,
Russia,
Perancis,
dan
Inggris.
Dalam sistem Unipolar, di mana kutub-kutub lain tidak ada ataupun belum
terbentuk, Amerika Serikat berposisi sebagai Hegemon. Hegemon berasal
dari bahasa Yunani, Hegemonia, yang berarti “kepemimpinan.” Dalam
hubungan internasional, hegemon adalah pemimpin atau negara pemimpin.
Ide dasar yang berada di belakang stabilitas yang bersifat hegemonik dalam
sistem politik internasional adalah adanya sebuah negara yang mampu
membuat juga memaksakan peraturan (misalnya perdagangan bebas,
demokratisasi) di antara anggota-anggota penting dari sistem politik
internasional.
Kemampuan “membuat” dan “memaksa” tersebut hanya dapat dilakukan
negara yang punya serakaian kapabilitas. Kapabilitas tersebut meliputi
perkembangan ekonomi yang besar, dominasi di bidang ekonomi dan
teknologi, serta kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan militer yang
signifikan. Namun, sebuah negara hegemon menggunakan soft power dalam
melancarkan
pengaruh
ketimbang
hardpower.
Soft power misalnya pengetahuan, diplomasi, teknologi, atau show of force.
Penggunaan soft power akan secara simpatik membuat negara-negara lain,
terutama yang berpotensi menjadi rival, menerima pengaruh si hegemon
tanpa perlawanan yang “kasar” atau terang-terangan. Di sisi lain,
penggunaan hard power berakibat pada tingginya social cost, yang
membuat berkurangnya simpati negara lain akan aksi si hegemon. Ditinjau
dari teori hegemoni ini, Amerika Serikat kelihatannya kurang secara penuh
dapat
dinyatakan
sebagai
hegemon.
Kebangkitan Amerika Serikat duduk di posisi kunci Unipolarity System
beraneka ragam. Namun, sekurang-kurangnya G. John Ickerberry menyebut
ada
5
faktor,
yaitu:
1. Negara-negara yang potensial menjadi kutub baru relatif telah
kehilangan landasannya. Misalnya, Russia mengalami kolaps segera
setelah Perang Dingin berakhir dan kini pun, mereka pun Cuma
memiliki setengan kekuatan ekonomi ukurang menengah jika
dibanding negara-negara Eropa lainnya. Cina masih merupakan negara
berkembang dengan sejumlah masalah politik dan ekonomi dalam
negeri. Jepang telah satu dekade mengalami kemunduran ekonomi.
2. Perang Dingin menghilangkan ganjalan bipolar kekuasaan Amerika
Serikat. Jika dahulu Amerika Serikat menghabiskan sumber daya untuk
2 hal: Menjalin aliansi dengan negara lain yang menyita biaya dan
tenaga, dan; Uni Sovyet dulu mengetatkan pengawasan Amerika
Serikat akan bahaya perang. Kini, sumber daya yang dihabiskan untuk
menjalin aliansi jauh berkurang, sementara ancaman nyata Uni Sovyet
telah hilang.
3. Tidak ada rival Amerika Serikat di bidang ideologi liberal. Komunisme
telah runtuh dan sulit untuk kembali kuat.
4. Perang Afghanistan dan Iraq menunjukkan kekuatan militer Amerika
Serikat yang besar.
5. Meski Perang Dingin berakhir, sistem klien dan hubungan keamanan
dengan Eropa dan Asia Timur tetap berlanjut.
Untuk sekadar memberikan gambaran mengenai perkembangan politik
internasional dari era ke era, di bagian berikut akan dicantumkan grafik
spider kekuatan militer, ekonomi, dan COW Index (index militer, ekonomi,
medis, teknologi, pendidikan, dan semacamnya).
Pada masa Pax Brittanica, sistem politik internasional ditandai 6 negara
dengan kekuatan militer, ekonomi, dan index COW tertinggi yaitu Britain
(Inggris), Prussia (Jerman), France (Perancis), Russia, United States (Amerika
Serikat), dan Austria. Inggris memiliki kekuatan ekonomi tertinggi sementara
kekuatan militer dipegang oleh Russia.
Pada era Bipolaritas Awal tahun 1950, terdapat 6 kekuatan signifikan yaitu
United States, France, Jepang, Uni Sovyet, Inggris, dan Jerman. Amerika
Serikat dan Uni Sovyet, memiliki kekuatan ekonomi, militer, dan index COW
tertinggi. Jepang masuk ke dalam kekuatan politik dunia.
Pada era Bipolaritas Akhir 1985, Uni Sovyet memiliki kekuatan militer yang
lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat, tetapi kekuatan ekonominya jauh
melemah. Cina masuk ke dalam struktur kekuatan politik terbesar dunia.
Era Unipolaritas 1996-1997, sistem politik internasional ditandai 7 kekuatan
dunia yaitu Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Rusia, Cina, Inggris, dan
Jerman. Seluruh kekuatan militer, ekonomi, dan indeks COW terkonsentrasi di
Amerika Serikat. Namun, index COW Cina adalah yang paling mendekati
Amerika Serikat ketimbang negara-negara lainnya.
Politik Luar Negeri
Politik luar negeri adalah seperangkat maksud, tatacara, dan tujuan, yang
diformulasikan oleh orang-orang dalam posisi resmi atau otoritatif, yang
ditujukan terhadap sejumlah aktor ataupun kondisi di lingkungan luar
wilayah kekuasaan suatu negara, yang bertujuan mempengaruhi target
tertentu dengan cara yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Agar
lebih jelas, berikut adalah skema pembuatan kebijakan luar negeri:
Terdapat 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan
politik luar negari : Faktor internasional dan faktor domestik. Kedua faktor ini
digunakan sebagai basis pertimbangan oleh para pembuat kebijakan politik
luar negeri, yang melakukan proses pembuatan keputusan. Keputusan yang
dihasilkan dapat berupa penyesuaian, program, masalah/tujuan, dan
orientasi internasional.
Faktor Internasional
Faktor-faktor internasional yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar
negeri di antaranya adalah:
1. Faktor Global, berkaitan dengan perubahan sistem politik internasional
yang punya dampak global dan juga negara dalam konteks pembuatan
kebijakan luar negeri.
2. Faktor Regional, berkaitan dengan lembaga-lembaga regional (yang
terdiri atas negara) yang punya dampak tertentu atas formasi
kebijakan luar negeri suatu negara. Ini juga termasuk norma-norma
yang disepakati di dalam suatu regional khusus yang harus
dipertimbangkan tatkala suatu negara menentukan politik luar
negerinya.
3. Hubungan Bilateral, berkaitan dengan hubungan bilateral antar aktor
negara juga lembaga-lembaga tingkat global ataupun regional. Aktoraktor tersebut dapat mempengaruhi negara suatu negara dengan
menggunakan metode aliansi, perdagangan, juga ancaman ekonomi
dan militer.
4. Aktor-aktor Non Negara, aktor-aktor transnasional seperti jaringan
kriminal, jaringan teroris, perusahan multinasional, dan organisasi hak
asasi manusia, memainkan peran yang mampu membentuk dan
mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.
Faktor Domestik
Faktor-faktor domestik yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar negeri
adalah:
1. Birokrasi, birokrasi kerap diidentikan dengan kelambatan kerja dalam
mengadaptasi perubahan politik luar negeri, tetapi cenderung terdapat
satu kelompok di dalam birokrasi yang punya akses pada pejabat
tinggi yang efektif mengusahakan perubahan kebijakan.
2. Opini Publik, opini publik menjadi penting tatkala pejabat pemerintah
butuh dukungan pemilih dalam rangka menerapkan suatu kebijakan
serta agar terpilih kembali.
3. Media, media berperan penting dalam dalam mensetting agenda, dan
membentuk opini publik; media menyediakan informasi dari
pemerintah ke publik; media dapat menjadi investigator, menyediakan
informasi baru bagi pemerintah juga publik, yang dapat mempengaruhi
perubahan kebijakan luar negeri.
4. Kelompok Kepentingan, kelompok kepentingan adalah kelompok yang
terorganisir, yang terlibat dalam sejumlah aktivitas pengambilan
keputusan pemerintah. Kelompok ini termasuk yang dibentuk
warganegara, diorganisir berdasarkan isu-isu khusus, lobby-lobby
bisnis, profesional, dan firma-firma hukum publik.
5. Partai Politik, partai politik yang memberikan dukungan pada
pemerintah, ataupun untuk meneruskan/mengubah politik luar negeri.
Faktor-faktor domestik dan internasional ini diserap oleh para pembuat
kebijakan. Sebagai manusia, para pembuat kebijakan dipengaruhi
karakteristik yang melekat pada dirinya dalam memandang faktor-faktor
domestik dan internasional tersebut, Karakteristik-karakteristik yang melekat
tersebut adalah: Keyakinan (beliefs), motif, gaya pembuatan keputusan,
gaya interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri, dan pelatihan
yang pernah didapat dalam hubungan luar negeri.
Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin politik yang
berakibat pada penafsirannya atas lingkungan, dan secara lebih jauh
berdampak pada strategi-strategi yang diambil kemudian. Motif mengacu
pada alasan mengapa seorang pengambil keputusan luar negeri melakukan
hal tersebut, dan ini meliputi motif akan afiliasi, motif kekuasaan, dan motif
untuk disetujui. Gaya pengambilan keputusan mengacu pada metode yang
diambil seorang pembuat kebijakan seperti sebagaimana terbuka mereka
akan informasi atau tingkat resiko yang harus diambil.
Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin politik
melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan lainnya, yang
meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan berlebihan) dan Machiavellian
(perilaku yang manipulatif). Pelatihan yang diperoleh dalam hubungan luar
negeri mengacu pada jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat
kebijakan dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang
berpengaruh pada si pembuat kebijakan bertindadak serta strategi apa yang
akan diambil. Kepentingan dalam hubungan luar negeri mengacu pada
kepentingan yang hendak diambil seorang pembuat kebijakan luar negeri, di
mana jika kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya
pada orang lain, sementara jika besar, maka ia akan melakukan pemantauan
secara langsung.
Proses Pembuatan Keputusan. Proses pembuatan keputusan yang dilakukan
oleh para pemimpin politik memiliki sejumlah tahap. Tahap-tahap tersebut
adalah:
1. keinginan awal untuk membuat kebijakan
2. rangsangan dari lingkungan/aktor luar negeri
3. menerima beragam informasi
4. melakukan penghubungan antara masalah dengan kebijakan
5. membangun serangkaian alternatif
6. membangun konsensus yang otoritatif atat pilihan
7. menerapkan kebijakan baru
Aktor-aktor Non Negara dalam Hubungan
Internasional
Perlu ditambahkan, bahwa di abad ke-21 dunia hubungan internasional
ditengarai dengan semakin signifikan peran yang dimainkan oleh aktor-aktor
non negara (non-state actors), baik dalam konteks hubungan internasional,
bilkhusus di era yang disebut "globalisasi" ini. Non state actors atau aktoraktor non negara oleh Thomas M. Magstadt didefinisikan sebagai:
Entitas-entitas selain negara-bangsa, termasuk ke dalamnya multinational corporation, organisasi
non pemerintah, serta organisasi-organisasi internasional non pemerintah, yang memainkan
peran tertentu di dalam politik internasional.
Magstadt lalu mengidentifikasi sejumlah aktor negara yang signifikan
perannya dalam politik internasional, yang meliputi:
1. Multinational Corporation;
2. International Organizatioan (meliputi INGO dan IGO)
3. Uni Eropa
4. Perserikatan Bangsa-bangsa
5. Unconventional Nonstate Actors (meliputi organisasi teroris, dan firmafirma militer swasta)
Multinational corporation merupakan perusahaan (swasta) yang beraktivitas
di lebih dari satu negara. Umumnya perusahaan ini lazim ditemui bergerak
secara global, di seluruh dunia. Magstadt mencontohkan perusahaanperusahaan berbasis di Amerika Serikat memenuhi kategori multinasional ini,
seperti Exxon Mobil, Wal-Mart, Chevron, ConocoPhillips, General Electric,
General Motors, Ford Motor, AT&T, Hewlett Packard, Valero Energy, Citigroup,
Bank of America, AIG, Sementara itu yang berbasis di Eropa dapat disebut
seperti Royal Dutch Shell, BP, dan Total. Ini belum termasuk perusahaanperusahan multinational yang berbasis di Jepang dan Korea Selatan seperti
KIA, Mitsubishi, Toshiba, ataupun Samsung. Salah satu sumber daya utama
yang mendukung ekspansi pasar perusahaan-perusahaan tersebut adalah
pendaan dari bank-bank. Banyak di antara bank-bank tersebut (juga
termasuk multinational corporation, tentunya) berbasis di Jepang, Amerika
Serikat, dan Eropa Barat. Kehadiran aktor-aktor non negara seperti MNC-MNC
ini ditanggapi secara optimis dan pesimis. Pihak yang optimis menyatakan
bahwa kehadiran MNC dalam politik internasional akan mendorong efisiensi
ekonomi, kompetisi dalam skala global, dan mempromosikan teknologi. Pihak
yang pesimis menyatakan, kehadiran MNC mengakibatkan campur-tangan
berlebihan MNC tersebut (juga pemerintah negara asalnya) atas kebijakankebijakan dalam negeri negara tempat mereka beroperasi, selain motif
egoistik mereka dalam mencari untuk yang tidak memperhitungkan dampak
aktivitas perusahaan di masa depan bagi wilayah atau lingkungan hidup
tempat kegiatan mereka.
Organisasi internasional terdiri atas dua jenis yaitu INGO (International
NonGovernmental Organizations) dan IGO (International Governmental
Organizations). INGO terdiri atas organisasi swasta individual maupun
kelompok yang aktivitasnya melangkahi yuridiksi negara-negara dalam
mencapai tujuan-tujuannya. Sementara itu IGO adalah kelompok yang terdiri
atas sejumlah negara, yang pendiriannya didasarkan atas suatu perjanjian
(treaties), punya struktur formal, dan saling bertemu dalam suatu pertemuan
periodik. Contoh dari INGO adalah Amensty International, International Crisis
Groups, World Vision, Greenpeace, atau Special Olympic (di Indonesia
namanya SOIna, aktivitasnya kegiatan olahraga bagi yang mengalami tuna
grahita). Contoh dari IGO sangat banyak dan ini yang kemudian populer
disebut sebagai "rezim internasional" seperti IAEA, IPU, ASEAN, IMF, World
Bank, ADB, juga termasuk ke dalamnya PBB.
INGO, kendati bersifat swasta (privat) memiliki daya "paksa" dalam
memengaruhi tindakan suatu negara. Greenpeace contohnya, para
aktivisnya memiliki keberanian yang luar biasa dalam menghalangi kapalkapal negara adikuasa, swasta ataupun pemerintah, yang hendak melakukan
pembuangan limbah baik di laut maupun darat. Amnesty International
memerhatikan aspek kebebasan politik individual dan menghalangi represi
pemerintah suatu negara di saat mereka menekan kalangan oposisi
politiknya. Di sisi IGO, kita telah menyaksikan bagaimana IAEA menjalankan
peran "mediator" dalam dugaan pengembangan senjata nuklir Iran yang
dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel. Kasus tersebut masih terus
bergulir hingga kini. Atau, IPU sebagai serikat parlemen internasional yang
mempromosikan kuota perwakilan politik perempuan bagi negara-negara
yang menjadi anggotanya.
Uni Eropa diyakini menjadi embrio bagi satu pasar tunggal dunia. Kini Uni
Eropa telah menancapkan langkahnya di Eropa daratan. Uni Eropa adalah
pewaris dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Perbedaannya, kini Uni Eropa tidak
lagi semata-mata mengurus masalah ekonomi seperti MEE melainkan
menjadi suatu organisasi politik supra nasional yang mengatasi negaranegara Eropa dalam beberapa kebijakan. Argumentasi mengapa Uni Eropa
dikatakan sebagai organisasi politik supra nasional karena kini ia
membawahi sejumlah struktur yang menjalankan fungsi lembaga
pemerintahan seperti European Council and Council of Ministers,
Commissions, European Parliament, dan Court of Justice, yang
keseluruhannya mencerminkan trias politika: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif.
Tentu saja, setiap negara anggotanya tetap berdaulat tetapi telah cukup
banyak hal-hal yang diatur oleh Uni Eropa di mana setiap negara anggotanya
tidak boleh melanggar. Misalnya, suatu negara tidak akan beroleh izin
bergabung ke dalam Uni Eropa jika tidak menunjukkan komitmen nyata atas
aturan konstitusinya, pemilu yang bebas, dan jaminan atas hak-hak asasi
manusia. Inilah serangkaian faktor yang mempersulit Turki masuk ke dalam
Uni Eropa selain tentunya masalah kekuatan ekonominya.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan satu bentuk IGO yang khusus.
Ini akibat sejarah panjang pendiriannya serta luasnya keterlibatan negaranegara di dunia ke dalam organisasi ini. PBB mengemban "impian" stoisisme
yaitu "satu pemerintahan dunia" atau "novum ordo seclorum." Kendati
tentunya, secara kritis dapat diujarkan bahwa dalam gagasan satu
pemerintahan dunia, dapat saja yang terjadi adalah kekuasaan satu negara
atau satu oligarki negara di dalam organisasi ini atas "dunia." Negara dengan
kekuatan ekonomi, militer, politik, dan teknologi besar memiliki kans untuk
menjadi pengendalinya.
Organisasi teroris dan pasukan militer swasta dimasukkan oleh Magstadt ke
dalam organisasi nonkonvensional dalam konteks aktor-aktor non negara.
Organisasi teroris ini sama dengan MNC, yaitu beroperasi lintas negara
dengan tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Organisasi teroris ini
beroperasi di banyak negara seperti Indonesia, Peru Bolivia, Spanyol,
Pakistan, ataupun Amerika Serikat tanpa harus berasal dari negara-negara
tersebut. Di Spanyol yang masih dilanda pertikaian etnis Catalan dan
Basque,
serangan-serangan
teroris
banyak
dimaksudkan
demi
mempengaruhi hasil pemilu ataupun pemilihan gubernur. Di Amerika Serikat,
operasi-operasi Al Qaeda ditunjukkan demi memberi peringatan kepada
Amerika Serikat untuk bersikap adil dalam kebijakan-kebijakan politik luar
negerinya di Timur Tengah.
Firma-firma militer swasta merupakan perkembangan baru yang cukup
menyentak, kendati keberadaan "pasukan bayaran" di kisah-kisah politik
masa lalu sesungguhnya cukup biasa. Untuk organisasi ini misalnya dapat
disebut BlackWater Company (basis di Amerika Serikat), Military Professional
Resources Incorporated (MPRJ) yang berbasis di Virginia (AS) merupakan
sedikit contohnya. Firma-firma militer swasta ini bertindak sebagian besar
bukan karena alasan moral, ideologi, ataupun politik melainkan karena
alasan profit layaknya MNC. Blackwater misalnya, disewa oleh pemerintah
transisi Amerika Serikat untuk mengamankan pendudukan mereka di Irak.
Rekrutmen anggota militer swasta ini tidak semata-mata berasal dari dalam
negeri Amerika Serikat sendiri melainkan bisa direkrut dari Filipina, Peru,
Ekuador, untuk kemudian didatangkan ke Amerika Serikat untuk dilatih
secara militer-profesional. Firma-firma militer swasta ini terbuka untuk
direkrut aktor-aktor negara demi tujuan politik spesifik pihak penyewa.
-------------------------------kebijakan luar negeri dibentuk berdasarkan pengaruh lingkungan domestik dan
mancanegara suatu negara.
Demikian tanggapan dari saya. Semoga bermanfaat.
Balas
Muat yang lain...
Ketik komentar anda. Pada Beri komentar sebagai pilih Name/URL jika anda tak memiliki
Google Account. Lalu klik Publikasikan.
← Sistem Kepartaian dan Partai Politik Pengertian Jenis Kekuasaan Bentuk Negara dan Sistem
Pemerintahan →
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Statistik
4,665,705
Telah Terbit
Label
biografi politik (2)
birokrasi dan demokrasi (12)
humaniora (3)
komputer (26)
metode penelitian (9)
organisasi dan manajemen (13)
pengantar ilmu politik (12)
politika (5)
resensi buku (10)
sistem politik indonesia (10)
sistem sosial dan budaya indonesia (14)
tentang negara (13)
Buku dan Film
Conspirata (Robert Harris)
Destiny Disrupted (Tamim Ansary)
Ghost Writer (Robert Harris)
Imperium (Robert Harris)
Pompeii (Robert Harris)
Taiko (Eiji Yoshikawa)
Cari Blog Ini
Recent
Popular
Label
Eropa Timur Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Eropa Utara Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Eropa Barat Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Eropa Selatan Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Asia Selatan Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Asia Tengah Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Amerika Utara Negara-negara Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Alamat Website Tracer Study Pelacakan Lulusan Para Alumni STIA Sandikta
Sistem Informasi Sekolah Gratis dan Lengkap yaitu JIBAS
Konflik-konflik Horizontal di Indonesia dengan Contoh Kasus Poso dan Maluku
Followers
Sponsors
Tes Kecepatan Blog
Direktori Indonesia
Translate
Powered by
Translate
Contact us if you have any question or anything else
Seta Basri Menulis Terus © 2011 DheTemplate.com. Supported by Tips for Life and Blogging
Tips
- Page 2 -
Seta Basri Menulis Terus
tidak banyak yang bisa diceritakan
RSS Feed
Home
Ilmu Politik
Ilmu Budaya
Metode Penelitian
Dunia Komputer
Buku Saya
Organisasi Manajemen
Pengertian Jenis Kekuasaan Bentuk Negara dan Sistem
Pemerintahan
oleh: seta basri 132 komentar
pengantar ilmu politik
Share:
Tweet
Pengertian jenis kekuasaan bentuk negara dan sistem pemerintahan merupakan aneka konsep
pokok dalam studi ilmu politik. Dalam mempelajari ilmu politik kita kerap ‘dipusingkan’ oleh
berbagai macam istilah yang satu sama lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali
ditemukan tersebut misalnya monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, mobokrasi,
federasi, kesatuan, konfederasi, presidensil, dan parlementer. Bagaimana kita harus
mengkategorikan masing-masing istilah tersebut?
Apa beda antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani
dengan monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau oligarki?
‘Pemusingan’ ini merupakan awal dari proses belajar, dan jangan kita surut, melainkan terus
maju dengan membaca. Potret Indonesia
Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi,
dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis
kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi,
berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita
berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah
berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.
Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbic