Polemik Pemimpin dan bukan Suksesi

POLEMIK PEMIMPIN DAN SUKSESI

Oleh: Reza fahmi. MA
Penulis adalah Dosen Psikologi Umum di IAIN Imam Bonjol Padang

Seksesi kepemimpinan di sebuah negara demokrasi adalah sebuah hal
yang biasa dan wajar dan tidak perlu ditanggapi berlebihan. Sebut saja bagaimana
Indonesia dulu pernah dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
dan sekarang Indonesia telah dipimpin oleh negarawan yang bernama Joko
Widodo, yang lebih populer dipanggi Jokowi. Penyerahan tongkat estafet
kepemimpinan memang harus dilakukan, secara suka atau tidak suka. Karena
amanat undang-undang membatasi kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang
pemimpin atau negarawan.
Demikian juga apa yang terjadi di Institut Agama Islam Negeri Imam
Bonjol Padang, suksesi yang terjadi juga merupakan proses yang biasa dan tidak
perlu dibesar-besarkan. Hal ini harus dipandang sebagai proses alamiah yang
perlu disikapi biasa-biasa saja (meminam istilah Mario Teguh “Walles”).
Di mana kepemimpinan terdahulu juga telah memberikan kontribusi besar
bagi peletakan dasar yang fundamental bagi pembangunan Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri di Sumatera Barat ini untuk ber-metamorfosa dari Institut
Agama Islam negeri Imam Bonjol Padang (IAIN-IB) menjadi Universitas Islam

Negeri Imam Bonjol Padang (UIN-IB). Hal ini dibuktikan melalui usaha yang
bertahap, diantaranya; melalui pendirian beberapa fakultas baru yang nantinya
akan menambah semaraknya pengembangan ke-ilmuan di Institut Agama Islam
Negeri Imam Bonjol Padang. Sebagai misalan, persetujuan Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi untuk meluluskan
pendirian Fakultas Ekonomi dan Bisnin Islam (FEBI) di Institut Agama Islam
Negeri Imam Bonjol Padang. Kemudian persetujuan Kementerian Keuangan
untuk menjadikan Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang untuk
menjadi sebuah Badan Layanan Umum (BLU) yang otonom dalam pengelolaan
keuangan secara lebih mandiri.
Fakta diatas merupakan bukti empiris bahwa, perjuangan untuk
memformat ulang paradigma pendidikan ke-Islaman yang dulu terkungkung pada
pemikiran untuk melahirkan alumni yang bergelar “buya” atau “ustadz” semata.

Namun berubah menjadi paradigma dengan mandat yang lebih luas, dimana
Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang berusaha untuk melahirkan
ilmuan-ilmuan umum yang memiliki dasar-dasar ke-Islaman yang teguh. Dengan
demikain mendidik para mahasiswa menjadi ilmuan yang Islami.
Tentu hal ini tidak bisa diterima oleh pihak-pihak yang berfikiran sempit
dalam melihat perubahan, karena aroma penolakan terus berhembus. Sungguhpun

demikian gagasan perubahan Universitas Islam Negeri Imam Bonjol perlu
diteruskan dan jangan “dikerdilkan” oleh pemikiran pesimis yang memandang
bahwa Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang justru akan memarjinalkan
ilmu-ilmu ke-Islaman dan juga menyebarkan pemikiran sekular serta penyebaran
Islam Liberal di kampus Islami tersebut.
Sebuah fakta yang juga tidak perlu dipungkiri bahwa, semangat perubahan
Istitut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang untuk berganti nama menjadi
Universitas islam Negeri Imam Bonjol Padang, telah membawa angin segar dari
proses penerimaan calon mahasiswa yang meningkat sangat signifikan beberapa
tahun kebelakangan, bahkan tahun lalu mendapi 8000 calon mahasiswa. Ini angka
peningkatan jumlah peminat yang luar biasa, karena ini belum pernah terjadi di
tahun-tahun sebelumnya. Disamping itu ada jurusan yang jumlah dosennya
hampir sebanding dengan mahasiswa; dosen berjumlah tiga seorang sedangkan
mahasiswanya dua orang. Dengan demikian ada jurusan yang nyaris tutup karena
tidak memiliki mahasiswa. Tapi sekarang fakta ini dari waktu ke waktu berubah.
Seiring pencanangan perubahan Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol
Padang menjadi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.
Mengingat Institut Agama islam Negeri Imam Bonjol Padang sekarang
telah memiliki rektor baru (Prof. Dr. H. Asasriwarni.) maka, kita perlu
mengapresiasi beliau dengan “ucapan selamat” sebagai pemimpin yang tentunya

diharapkan mampu membawa pada perubahan yang makin positif bagi salah satu
Perguruan Tinggi ke-Islam di tanah air. Kemudian kepada Bapak rektor yang lama
(Prof. Dr. Makmur Syarif) tentunya perlu disampaikan terima kasih atas kerja
keras dan perjuangan beliau untuk meletakan fondasi yang kokoh dalam
mendukung dan memfasilitasi mandat pengembangan lembaga ini ke arah yang
lebih maju ke depan.
Selanjutnya, kita tidak ingin Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol
terus tertinggal dari lembaga-lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam lain di
tanah air. Di mana IAIN Araniri telah menjadi UIN Araniri, IAIN Sumatra Utara
akan segera berubah menjadi UIN Sumatra Utara. Demikian juga IAIN Raden
Patah palembang juga segera menjadi UIN Raden Patah Palembang. Bahkan IAIN
Sultan Thoha Jambi sudah mengusulkan perubahan menjadi UIN Sultan Thoha

Jambi, disamping itu IAIN Raden Inten Lampung akan berganti menjadi UIN
Raden Inten Lampung.
Berangkat dari semua penjelasan yang dikemukakan diatas maka, kita
tidak perlu mengeksploitasi persoalan suksesi kepemimpinan di IAIN Imam
Bonjol Padang. Kemudian, pandangl-lah ianya merupakan sebuah proes yang
disikapi dengan positif untuk melihat IAIN menjadi lebih baik dengan berfikir
maju ke-depan. Disamping itu pesan moral yang ingin disampaikan adalah “Think

Big, Start Small, Do Now”. Ini bermakana bahwa kita harus berfikiran besar
untuk kemajuan lembaga yang lebih baik, kemudian memulainya dari hal-hal
yang kecil (secara bertahap) serta harus dimulai dari sekarang. Wawllahu”alam Bi
Sawab (*)