Teori dan Pengertian Perubahan Sosial

Teori dan Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau
berubahnya struktur/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap,
serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat. Pada
dasarnya setiap masyarakat yang ada di muka bumi ini dalam hidupnya dapat dipastikan akan
mengalami apa yang dinamakan dengan perubahan-perubahan. Adanya perubahan-perubahan
tersebut akan dapat diketahui bila kita melakukan suatu perbandingan dengan menelaah suatu
masyarakat pada masa tertentu yang kemudian kita bandingkan dengan keadaan masyarakat pada
waktu yang lampau. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, pada dasarnya
merupakan suatu proses yang terus menerus. Tetapi perubahan yang terjadi antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama. Hal ini dikarenakan adanya suatu
masyarakat yang mengalami perubahan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat
lainnya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menonjol atau tidak
menampakkan adanya suatu perubahan. Juga terdapat adanya perubahan-perubahan yang
memiliki pengaruh luas maupun terbatas.
Perubahan evolusi
Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat,
dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang
bersangkutan. Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan
masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha

masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan
perkembangan masyarakat pada waktu tertentu. Contoh, perubahan sosial dari masyarakat
berburu menuju ke masyarakat meramu. Menurut Soerjono Soekanto, terdapat tiga teori yang
mengupas tentang evolusi, yaitu : (1) Unilinier Theories of Evolution: menyatakan bahwa
manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, dari yang
sederhana menjadi kompleks dan sampai pada tahap yang sempurna. (2) Universal Theory of
Evolution: menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu
yang tetap. Menurut teori ini, kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang
tertentu. (3) Multilined Theories of Evolution: menekankan pada penelitian terhadap tahap
perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya, penelitian pada pengaruh perubahan
sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian.
Perubahan revolusi
Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada
kehendak atau perencanaan sebelumnya. Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai
perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga
kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan
direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik
dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan. Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan
kondisi masyarakat. Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa
syarat tertentu, antara lain adalah: (1) Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu

perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada
suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut. (2) Pemimpin
tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta
menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya
masyarakat. (3) Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat.
Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain

itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu
saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan
revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi
dapat gagal.
Perubahan yang direncanakan
Perubahan yang direncanakan adalah perubahan-perubahan yang diperkirakan atau yang
telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di
dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki suatu perubahan dinamakan agent of change,
yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Perubahan yang tidak direncanakan dan contohnya
Perubahan yang tidak direncanakan biasanya berupa perubahan yang tidak dikehendaki dan
terjadi di luar jangkauan masyarakat. Karena terjadi di luar perkiraan dan jangkauan, perubahan

ini sering membawa masalah-masalah yang memicu kekacauan dalam masyarakat. Oleh
karenanya, perubahan yang tidak dikehendaki sangat sulit ditebak kapan akan terjadi. Misalnya,
kasus banjir bandang di Sinjai, Kalimantan Barat. Timbulnya banjir dikarenakan pembukaan
lahan yang kurang memerhatikan kelestarian lingkungan.
Perubahan berpengaruh besar
Suatu perubahan dikatakan berpengaruh besar jika perubahan tersebut mengakibatkan
terjadinya perubahan pada struktur kemasyarakatan, hubungan kerja, sistem mata pencaharian,
dan stratifikasi masyarakat. Sebagaimana tampak pada perubahan masyarakat agraris menjadi
industrialisasi, pada perubahan ini memberi pengaruh secara besar-besaran terhadap jumlah
kepadatan penduduk di wilayah industri dan mengakibatkan adanya perubahan mata pencaharian.
Perubahan berpengaruh kecil
Perubahan-perubahan berpengaruh kecil merupakan perubahan- perubahan yang terjadi
pada struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.
Contoh, perubahan mode pakaian dan mode rambut.
I. Definisi Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem
sosial. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh
para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Proses perubahan sosial biasa tediri dari tiga tahap:
(1) Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan. (2) Difusi, yakni
proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial. (3) Konsekuensi, yakni

perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau
penolakan inovasi. Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau
produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama
yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang
menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen
perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus
melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah.
Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu: Unfreezing,
merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah,
Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun memperlemah
resistences, dan Refreesing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new

dynamic equilibrium). Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan
melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi. Lippit (1958) mencoba mengembangkan teori
yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam tahap-tahap yang harus dilalui dalam
perubahan berencana. Terdapat lima tahap perubahan yang disampaikan olehnya, tiga tahap
merupakan ide dasar dari Lewin. Konsep pokok yang disampaikan oleh Lippit diturunkan dari
Lewin tentang perubahan sosial dalam mekanisme interaksional.
Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social
statics (bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural

merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur
sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan
dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Ada
faktor-faktor yang mendorong dan menghambat perubahan kebudayaan yaitu:
a. Mendorong perubahan kebudayaan
1. Adanya unsur-unsur kebudayaan yang memiliki potensi mudah berubah, terutama
unsur-unsur teknologi dan ekonomi ( kebudayaan material).
2. Adanya individu-individu yang mudah menerima unsur-unsur perubahan kebudayaan,
terutama generasi muda.
3. Adanya faktor adaptasi dengan lingkungan alam yang mudah berubah.
b. Menghambat perubahan kebudayaan :
1. Faktor intern
Perubahan Demografis
Perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung terus bertambah, akan
mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor kehidupan, bidang perekonomian,
pertambahan penduduk akan mempengaruhi persedian kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Konflik sosial
Konflik sosial dapat mempengaruhi terjadinya perubahan kebudayaan dalam suatu
masyarakat. Konflik kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk setempat didaerah
transmigrasi.

Bencana alam
Bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempngaruhi perubahan c/o; bencana
banjir, longsor, letusan gunung berapi masyarkat akan dievakuasi dan dipindahkan ketempat yang
baru.
Perubahan lingkungan alam
Perubahan lingkungan ada beberapa faktor misalnya pendangkalan muara sungai yang
membentuk delta, rusaknya hutan karena erosi atau perubahan iklim sehingga membentuk
tegalan.
2. Faktor ekstern

Perdagangan
Indonesia terletak pada jalur perdagangan Asia Timur denga India, Timur Tengah bahkan
Eropa Barat. Itulah sebabnya Indonesia sebagai persinggahan pedagang-pedagang besar selain
berdagang mereka juga memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat.
Penyebaran agama
Masuknya unsur-unsur agama Hindhu dari India atau budaya Arab bersamaan proses
penyebaran agama Hindhu dan Islam ke Indonesia demikian pula masuknya unsur-unsur budaya
barat melalui proses penyebaran agama Kristen dan kolonialisme.
Peperangan
Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia umumnya menimbulkan perlawanan keras dalam

bentuk peperangan
C. Perubahan Sosial
Sedangkan perubahan sosial terbatas pada aspek-aspek hubuingan sosial dan
keseimbangannya. Meskipun begitu perlu disadari bahwa sesuatu perubahan di masyarakat
selamanya memiliki mata rantai diantaranya elemen yang satu dan eleman yang lain dipengaruhi
oleh elemen yang lainnya. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan
diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi
sebagai subsistem sosial.

Tengah Pasar Besar-Solo 1895
Awal abad XX tumbuh elit modern Indonesia yang gejala & prosesnya juga tampak dalam
konteks lokal Surakarta yang semula merupakan kota kerajaan di pedalaman yang diawasi
pemerintah kolonial, mulai berubah wajah & semangatnya. Perubahan ini disebabkan berbagai
faktor yang mendorong berbagai kemajuan di tanah kerajaan berkaitan dengan berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dari status kerajaan hingga berbagai
kebijakan ekonomi politik kolonial. Kehadiran bangsa-bangsa lain maupun etnis lain dari luar
Surakarta menyebabkan pertemuan beberapa kebudayaan yang berlainan itu semakin “erat”.
Kebudayaan asing yang masing-masing didukung oleh etnik berbeda mempunyai struktur sosial
yang berbeda pula, bercampur dalam wilayah Surakarta. Lambat laun pengaruh tersebut semakin
besar mempengaruhi berbagai bidang & unsur kebudayaan. Selain itu wilayah-wilayah kerajaan

telah memiliki struktur sosial tradisional yang bertahan hingga pemerintahan kolonial & bahkan
dipertahankan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian politik kolonialnya. Banyak ahli
antara lain Burger, Wertheim, Larson & sebagainya yang telah membahas tentang stratifikasi
sosial masyarakat Jawa, khususnya Surakarta. Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat di
Surakarta sangat bertalian dengan kedudukan keraton di dalam struktur sosial di Jawa. Struktur
masyarakat di Surakarta memiliki dua anutan yaitu struktur masyarakat tradisional kerajaan &
struktur masyarakat yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut F.A. Sutjipto
lapisan atas atau merupakan kelas elite, priyayi luhur, atau wong gede, merupakan kelas yang
memerintah. Di strata ini ada raja & para bangsawan serta pejabat kerajaan. Adapaun lapisan
bawah atau rakyat biasa, rakyat kecil atau wong cilik merupakan mayoritas penduduk kelas yang
diperintah. Mereka adalah para pekerja yang tidak terdidik atau sedikit mendapat latihan kerja di
perusahaan kecil. Sartono Kartodirdjo lebih menekankan pada analisis tentang struktur pada
masyarakat Jawa selama jaman kolonial, yang dipusatkan pada ”peranan pekerjaan & pendidikan
serta sebagai indikasi posisi sosial”. Pengamatan perubahan struktur sosial dilakukan oleh Sartono

Kartodirdjo dalam perspektif sejarah karena masyarakat Jawa pada masa itu sebagian besar masih
berakar pada tradisi lama. Dampak perkembangan pendidikan & pengajaran menumbuhkan
golongan sosial baru yang mempunyai fungsi status baru, sesuai dengan diferensiasi &
spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi & pemerintahan. Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo
membagi masyarakat Hindia Belanda dalam beberapa kelompok sosial, yaitu: 1) elite birokrasi

yang terdiri dari Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) & Pangreh Praja Pribumi,
2) Priyayi birokrasi termasuk Priyayi ningrat, 3) Priyayi profesional, 4) golongan Belanda &
golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa & mempunyai tendensi kuat untuk
mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa, & 5) orang kecil (wong cilik) yang tinggal di
kampung. Struktur sosial tradisional menempatkan raja & priyayi sebagai kelas penguasa
sedangkan rakyat biasa yang terdiri dari petani, pedagang sebagai kelas yang diperintah. Struktur
masyarakat tradisional ini mulai dirombak oleh pemerintah kolonial Belanda semenjak
diberlakukannya politik liberal & dilanjutkan hingga politik etis diberlakukan. Dengan
direduksinya kekuasaan feodal Surakarta maka struktur masyarakat Surakarta pada masa awal
abad XX mengalami perubahan dengan diberlakukannya struktur masyarakat yang dibuat oleh
pemerintah kolonial yaitu golongan Eropa menempati piramida tertinggi dilanjutkan dengan
golongan Timur asing yang terdiri dari bangsa China, Arab & asia lainnya. Masyarakat pribumi
Surakarta ditempatkan sebagai masyarakat kelas bawah dalam struktur masyarakat kolonial
Belanda. Konsekuensi dari pembagian struktur masyarakat kolonial di Surakarta adalah
berhubungan dengan politik yaitu untuk melemahkan kekuasaan golongan bangsawan yang
memiliki kekuasaan penuh dalam struktur masyarakat tradisional. Walaupun begitu, pemerintah
kolonial Belanda tidak menghapuskan struktur masyarakat tradisional di Surakarta secara penuh.
Selain itu, pembagian struktur masyarakat kolonial ini juga memberikan hak & kewajiban yang
berbeda dalam kehidupan masyarakat di Surakarta. Di satu pihak, priyayi dengan gaya hidupnya,
kebiasaan, makanan, & pakaian, serta simbol-simbolnya menunjukkan gaya aristokrat. Keadaan

semacam ini menjadi pola ideal bagi priyayi, bahkan Dezentje, penyewa tanah asing yang luas
meniru gaya hidup bangsawan Jawa. Di lain pihak bagi wong cilik, lingkungan pedesaan banyak
mempengaruhi tingkah laku mereka. Bersamaan dengan perkembangan birokrasi kolonial & agroindustri pada pertengahan abad XIX, golongan birokrat makin kuat statusnya untuk mendukung
pelaksanaan administrasi kolonial. Banyak jabatan dalam pemerintahan kolonial mulai diisi oleh
priyayi cilik, seperti juru tulis, penarik pajak & kasir sampai dengan pengawas-pengawasnya
dengan gelar mantri. Jadi kedudukan golongan bangsawan dalam birokrasi kolonial maupun
dalam pemerintahan kerajaan mulai tergeser setelah masuknya golongan priyayi cilik. Keberadaan
priyayi cilik yang mampu menguasai kedudukan dalam birokrasi kerajaan maupun birokrasi
kolonial dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu suwita pada priyayi tinggi kemudian magang
pada salah satu profesi. Diwisuda menjadi priyayi sungguhan adalah sebuah kehormatan bagi
seseorang. Maka mata rantai kepriyayian yang bergerak dari bawah ke atas itu menjadikan politik
bagi priyayi adalah patron-client politics. Hal ini berlaku baik bagi priyayi yang bekerja dalam
pemerintahan maupun yang bekerja sebagai abdi dalem keraton.
Perkembangan Masyarakat di kota Surakarta dalam perjalanannya ditunjang & dibatasi oleh
kondisi-kondisi kekinian masyarakat. Tingkat perkembangan masyarakat di Surakarta merupakan
hasil dari proses perkembangan jaman yang dipahami bukan sebagai proses yang bersifat
kebetulan, melainkan sebagai fenomena historis. Ketika Surakarta mulai bersentuhan dengan
modernisasi, masyarakat di daerah ini terbentuk atas beberapa etnis. Selain kelompok pribumi
yang menduduki jumlah terbesar. Tahun1920 jumlah penduduk Karesidenan Surakarta mencapai
2.049.547 & mengalami kenaikan jumlah penduduk ketika sensus pertama kali dilakukan oleh

pemerintah kolonial Belanda tahun 1930 menjadi 2.564.460. Sedangkan penduduk kota Surakarta
sendiri pada tahun 1920 berjumlah 343.681 & mengalami kenaikan tahun 1930 menjadi 391.734.
Banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan banyak disebabkan semakin berkembangnya kota
Surakarta awal abad XX dengan banyak dibangunnya infrastruktur kota & juga pembukaan
industri-industri baru yang banyak membutuhkan tenaga kerja. Sehingga terjadi arus urbanisasi

yang baru berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa kota Surakarta menjadi tempat yang
memberikan harapan bagi usaha-usaha di bidang ekonomi. Penduduk Eropa & Belanda banyak
tinggal di daerah perkotaan dengan ditandai adanya bangunan yang disebut “loji” & berada di
daerah dekat dengan benteng Vastenburg serta alun-alun utara. Jumlah penduduk yang berasal dari
Timur Asing di wilayah Surakarta cukup besar & biasanya mereka tinggal dekat dengan pusat
ekonomi & memiliki wilayah tersendiri yang tidak bercampur dengan penduduk pribumi.
Masyarakat Timur Asing China berada di wilayah Balong & dekat dengan pusat ekonomi pasar
Gedhe sedangkan masyarakat Arab banyak menempati wilayah Pasar Kliwon. Masyarakat Timur
Asing, China, & Arab beraktivitas sebagai pedagang perantara yang cukup berperan besar dalam
menjalankan perekonomian kota Surakarta. Sebagian masyarakat Arab & pribumi tinggal dengan
rumah-rumah yang masih sederhana. Sedangkan pemukiman masyarakat China telah
menunjukkan kemajuan dalam bangunan fisik dengan gedung yang ditembok & juga terletak di
pinggir jalan yang cukup luas. Seiring dengan pertumbuhan sektor demografi & ekonomi di
daerah Surakarta, sektor transportasi juga mengalami perkembangan. Pembuatan jaringan
transportasi kereta api di Surakarta dilaksanakan pada tahun 1862 atas desakan van de Putte
dengan jalan yang menghubungkan kota Semarang dengan Vorstenlanden, dibuat & dikerjakan
oleh pihak swasta Belanda, yaitu NIS (Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschapij). Jalur kereta
api Semarang-Vorstenlanden terbagi menjadi empat bagian, pertama, rute Semarang-Kedungjati,
kedua, dari Kedungjati-Surakarta, ketiga, dari Surakarta ke Yogyakarta & terakhir dari Kedungjati
ke Ambarawa. Pembangunan jaringan kereta api ini dimaksudkan sebagai sarana penunjang
eksploitasi dari perkebunan tebu yang sedang berkembang & menghasilkan produksi gula sangat
besar di wilayah Surakarta. Di wilayah Surakarta sendiri terdapat 16 buah pabrik gula yang
dimiliki oleh bangsa Eropa maupun kerajaan. Pengadaan trem untuk angkutan terjadi pada sekitar
tahun 1900 yang dimulai dari pusat kota, yaitu dari halte di depan Benteng Vastenburg. Trem ini
ditarik dengan kuda yang pada setiap pos akan berhenti karena menjadi tempat naik turunnya
penumpang. Rute yang dilalui dari Benteng Vastenburg ke arah selatan ke barat menuju
Purwosari, trem berhenti sekali di Kauman menuju Derpoyudan sebelah barat Nonongan, ke barat
sampai di halte Pasar Pon, dari situ kereta dapat bersimpangan dengan trem yang datang dari
barat. Perjalanan trem melintasi jalan besar di sebelah selatan ke barat berhenti di Bendha depan
Sriwedari menuju Pesanggrahan (Ngadisuryan) berbelok ke utara memotong jalan besar sampai
stasiun Purwosari & berhenti di situ. Dari Purwosari kereta menuju ke barat & berakhir di Dusun
Gembongan di mana ada pabrik gula. Trem berhenti di situ sebagai pengangkut punggawa pabrik
yang akan pergi ke Solo. Trem yang ditarik oleh empat ekor kuda itu hanya memiliki satu gerbong
(20 orang) & setiap 4 km kuda tersebut diganti. Penumpangnya adalah orang-orang Belanda &
China. Sementara orang pribumi sangat sedikit jumlahnya karena ongkos yang mahal sehingga
para pembesar & saudagar saja yang mampu membayarnya. Jalur kereta yang menghubungkan
Surakarta-Boyolali telah dibangun pula pada tahun 1908 dengan panajang 27 km & dikelola oleh
Soloshe Tramweg Mij. Perluasan jaringan trem & kereta api berdampak pada pertumbuhan kota.
Pertama, dilihat dari pusat keramaian di stasiun sebagai tempat berhentinya kereta. Stasiun
menjadi tempat berkumpulnya manusia & terakumulasi dengan berbagai sikap & perilakunya.
Selain itu, stasiun menjadi tempat aktivitas ekonomi seperti warung, & rumah makan juga para
pedagang kecil yang menjajakan dagangan di dalam kereta. Tempat-tempat yang terisolasi jauh
dari kota dapat dijangkau. Bangunan seperti pasar, hotel, bengkel kereta & bangunan baru
bermunculan untuk keperluan perluasan jaringan kereta api. Perkembangan selanjutnya juga ada
dinas jaringan telepon untuk melengkapi jaringan komunikasi ini. Perusahaan kereta api, gas,
listrik, air minum, jaringan telepon mengubah segi fisik kota dengan jalan-jalan baru, gedunggedung, sekolah, gedung pertemuan, asrama, & rumah sakit. Kota kerajaan tumbuh menjadi kota
dalam situasi kolonial dengan kemudahan-kemudahan baru yang tidak terdapat dalam kota
tradisional. Perkembangan itu turut membentuk Surakarta sebagai kota yang dapat menampung
tumbuhnya organisasi sosial & pergerakan nasional. Dalam situasi kolonial terbukalah masalahmasalah yang menyangkut penggunaan tanah, tenaga kerja & modal yang diperlukan sebagai
keseimbangan perubahan administrasi pemerintahan. Pasaran tenaga kerja makin terbuka, baik

dalam hubungan pengisian susunan jabatan pemerintah maupun pada perusahaan & industri.
Semenjak permulaan abad XX, di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran baru yang
bermaksud untuk memberikan sebagian keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang Belanda
kepada rakyat Bumiputera. Aliran ini berpendapat bahwa sudah saatnya rakyat Bumiputera
diperkenalkan dengan kebudayaan & pengetahuan Barat agar dapat dijadikan bekal hidupnya
kelak dikemudian hari. Gagasan dari aliran baru ini kemudian dikenal dengan Politik Etis, yang
dijalankan dengan berpijak pada tiga prinsip dasar yaitu pendidikan, perpindahan penduduk &
pengairan. Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya yang
berjudul Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala de Gids. Ia
mengatakan bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk pribumi terhadap kekayaan
yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan
memberi prioritas utama kepada kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial. Pelaksanaan
politik Etis sendiri jauh dari harapan seperti yang telah dijanjikan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Namun, secara tidak langsung telah mendorong perubahan sosial budaya dalam
kalangan Bumiputera. Perubahan sebagian besar disebabkan adanya kesempatan untuk
mengenyam pendidikan Barat & pola pikir rakyat Bumiputera yang ditandai dengan munculnya
kaum intelektual. Tampaknya kaum intelektual telah pula memberikan tenaga & pikiran untuk
membangkitkan semangat bangsa yang terpecah belah dalam kebodohan oleh kaum penjajah.
Semenjak dijalankannya politik Etis, terlihat adanya kemajuan yang lebih pesat dalam bidang
pendidikan. Sebelumnya di Hindia Belanda hanya terdapat dua macam sekolah yang didirikan
pada tahun 1892, yaitu Sekolah Angka Satu khusus untuk anak Bumiputera terkemuka & Sekolah
Angka Dua bagi anak Bumiputera pada umumnya. Masih banyaknya masyarakat pribumi yang
belum bersekolah disebabkan pula oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menciptakan
sistem pendidikan bagi masyarakat dengan sistem diskriminasi ras yang didasarkan atas keturunan
& lapisan sosial yang ada. Surakarta sendiri terdapat bermacam-macam sekolah model Barat.
Menurut data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah Surakarta tahun 1930, secara
garis besar dikelompokkan sebagai berikut:
a. Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah
Jumlah sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah di Surakarta sampai tahun 1930 berjumlah
sekitar 22 buah. Terdiri dari 13 Sekolah Angka Dua, 2 Sekolah Meisesschool (Sekolah Putri), & 7
sekolah-sekolah persiapan pendidikan guru bagi Sekolah Desa.
b. Sekolah-sekolah neutral berbahasa Belanda
Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda khusus diperuntukan bagi anak-anak Eropa.
Sekolah-sekolah jenis ini mempunyai fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sekolahsekolah untuk anak pribumi. Mutu pendidikannya sangat luas.
c. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending
Salah satu motif kedatangan bangsa Belanda di Hindia Belanda adalah motif theokratis,
yaitu penyebaran Injil. Awalnya sasaran penyebarannya dilakukan secara langsung melalui gereja,
penerbitan buku-buku Kristen, dll. Awalnya pendirian rumah sakit & sekolah-sekolah Kristen di
Surakarta mendapat tentangan dari Sunan & Residen Van Wijk. Akhirnya sekolah Kristen di
Surakarta mendapat ijin & pertama kali diperkenalkan & dibuka oleh Perkumpulan Zending van
de Gereformeerde Kerk te Delf. Dalam kurikulumnya selain memperkenalkan ajaran-ajaran
Kristen juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian, cara makan, belaja, dll.
Untuk mendukung program di atas maka siswa maupun guru-guru yang mengajar diharuskan
tinggal di asrama yang telah disediakan & sehari-harinya diwajibkan menggunakan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Tujuan dari sekolah ini yaitu menyebarkan ajaran agama
Kristen & sesuai dengan tujuan pemerintah kolonial Belanda.

d. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missie
Sekolah Katolik berhasil didirikan oleh Pastor Keyser di daerah Yogyakarta & Klaten pada
tahun 1892 & sebelumnya telah didirikan pula sekolah yang sama pada tahun 1890 di Semarang
& Magelang. Semula sekolah ini bercorak Europees yang netral dengan memberi kebebasan
kepada murid-muridnya untuk mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama Katolik.
e. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah
Perkembangan sekolah-sekolah Neutral, Zending, & Missie yang pesat, mengakibatkan
munculnya reaksi negatif terhadap dominasi kultur Barat dalam bidang pendidikan pada awal
abad XX. Sekolah-sekolah tersebut menyebabkan banyak pemuda pribumiyang lebih memilih
pengajaran Barat, karena dianggap sebagai pintu gerbang ke arah penyerapan ilmu pengetahuan &
lembaga-lembaga baru. Di Surakarta reaksi terhadap penginjilan & munculnya sekolah-sekolah
Kristen & Katolik paling keras ditentang di daerah Laweyan. Penentangan & untuk menghambat
penyebaran sekolah berdasarkan agama Kristen & Katolik maka Muhammadiyah sebagai
organisasi Islam mendirikan majelis pendidikan & pengajaran tahun 1920.
f. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Budi Utomo
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang memiliki perhatian terhadap
kemajuan pendidikan Bumiputera. Anggota yang sebagian besar adalah priyayi, sehingga dalam
merealisasikan program pendidikannya lebih mengutamakan pendidikan tingkat tinggi bagi
anggotanya yang sebagian besar adalah priyayi. Sekolah-sekolah tersebut tidak pernah menjadi
besar, sebab selain kekurangan dana.
Perkembangan pers di kota Surakarta merupakan bentuk modernisasi yang terjadi di kota
ini. Sejak masa kolonial kota Surakarta merupakan tempat dimana pers tumbuh & berkembang
secara dinamis, & merupakan tempat pertama perkembangan pers pribumi & memasuki abad XX
pers di Surakarta berkembang pesat bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional. Surat
kabar pertama kali diterbitkan di Indonesia pada tahun 1615 oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur
Jendral pertama VOC di Batavia. Surat kabar tersebut bernama Memorie der Nouvelles yang
ditulis dengan tangan. Memorie der Nouvelles ternyata tidak hanya dibaca oleh orang Batavia
saja, tetapi samapai tahun 1644 merupakan pembawa berita-berita dari Nedherland serta
kepulauan lainnya & menjadi bacaan tetap bagi pejabat Belanda di Ambon. Pada tanggal 7
Agustus 1744 surat kabar atau koran pertama yang dicetak & diterbitkan di Batavia dengan nama
Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes yang disingkat menjadi Bataviasche
Nouvelles yang dipimpin oleh Jan Erdman Jordens. Koran ini terdiri dari selembar kertas folio
yang dicetak atas tiga kolom & terbit setiap hari Senin. Surat kabar ini memuat pengumumanpengumuman pemerintah, berita-berita dagang. Sejarah pers & wartawan di Surakarta dimulai
sejak terbitnya surat kabar Bromartani pada tahun 1855. Surat kabar Bromartani pada awalnya
terbit secara teratur. Memasuki permulaan abad XX penerbitan surat kabar di Surakarta semakin
semarak berkaitan dengan tumbuhnya organisasi-organisasi pergerakan. Surat kabar dijadikan
sebagai alat propaganda tujuan dari organisasi-organisasi tersebut, hal ini juga dilakukan oleh
surat kabar yang dimiliki oleh pemerintah kolonial maupun surat kabar milik bangsa Eropa
lainnya. Isi dari surat kabar-surat kabar yang terbit di Surakarta beraneka ragam selain beritaberita juga biasanya berisi iklan-iklan sebagai bagian dari pembiayaan surat kabar tersebut.
Penerbit di Surakarta pada tahun 1912 tercatat sebanyak 9 buah dengan menerbitkan berbagai
macam terbitan seperti surat kabar, majalah maupun buku-buku. Surat kabar yang terbit di
Surakarta hingga akhir masa pemerintahan kolonial Belanda tercatat sebanyak 62 buah. Dengan
terbitan sebanyak itu menjadikan kota Surakarta menjadi kota yang dinamis terhadap masuknya
pengaruh berbagai kebudayaan terutama budaya Eropa.

Dahlianur fitri
153130226/H

BAB 1