Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Rangka Otonomi Daerah
Rustian Kamaluddin*
1.

Pendahuluan

Dalam Laporan Tahunan 1999/2000 (World Development Report 1999/2000: 1-5),
Bank Dunia mengemukakan terdapatnya perubahan-perubahan di dunia sampai pada
gerakan yang memberikan kontribusi pada dan sebagai manifestasi dari dua gejala, yaitu
globalisasi dan lokalisasi. Khusus mengenai aspek lokalisasi yang mencerminkan
tumbuhnya hasrat yang lebih besar dari penduduk setempat untuk lebih banyak turut
bersuara dalam pemerintahan, mewujudkannya dalam bentuk tuntutan akan identitas
daerah. Hal ini mendorong pemerintah nasional untuk memberikan desentralisasi yang
luas kepada pemerintah daerah dan kota sebagai cara yang terbaik untuk mengatur dan
menangani perubahan-perubahan yang mempengaruhi politik domestik dan pola
pertumbuhan.
Pada kedua tingkat, baik yang melampaui batas negara maupun pada tingkat subnasional kelembagaan pemerintahan, negosiasi, koordinasi dan pengaturan akan
memegang peranan yang kritis dalam memperbaiki keseimbangan baru antarnegara
maupun di dalam masing-masing negara, dan dalam mendorong terciptanya lingkungan
yang stabil yang memungkinkan implementasi program-program pembangunan,

nasional maupun daerah.
Dalam hubungan ini, lokalisasi dipandang tepat untuk menaikkan tingkat
partisipasi masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan dan untuk memberikan
kesempatan yang lebih besar ke pada rakyat untuk membentuk keadaan kehidupan
mereka sendiri yang lebih baik. Dengan mendesentralisasikan pemerintahan akan
menjadikan banyak pengambilan keputusan dibuat pada tingkat-tingkat sub-nasional,
lebih dekat pada para pemilih, dan terciptanya pemerintahan yang responsif dan efisien.
Namun demikian gerakan lokalisasi itu juga dapat membahayakan stabilitas
makroekonomi. Misalnya, pemerintah setempat yang melakukan pinjaman (daerah)
dalam jumlah yang besar dan melakukan pengeluaran dengan tidak bijaksana, yang
mungkin telah memperoleh jaminan sebelumnya dari pemerintah pusat.
Sehubungan dengan perkembangan dan gerakan lokalisasi tersebut di atas, maka
tampak adanya gerakan dan kecenderungan pada banyak negara di dunia ke arah
pemerintahan dengan sistem otonomi daerah disertai dengan desentralisasi wewenang
dan tanggung jawab yang dilimpahkan dari pemerintah pusat ke pada daerah
bawahannya. Bahkan gerakan dan gejala perjuangan daerah atau negara bagian ke arah
otonomi daerah itu lebih lanjut berkembang menjadi gerakan disintegrasi negara dan
bangsa seperti yang terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia, Chekoslovakia, dan lain-lain. Di
Indonesia juga selain perjuangan dan gerakan ke arah otonomi daerah yang luas dan
bertanggung jawab itu pada tahun-tahun belakangan ini berkembang pula menjadi

tuntutan disintegrasi bangsa dengan memperjuangkan kemerdekaan bagi wilayahnya,
*

Prof. Drs. Rustian Kamaluddin, sekarang Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, adalah
Mantan Ketua Bappeda Propinsi Sumatra Barat.

Naskah No. 20, Juni-Juli 2000

1

lepas dari negara kesatuan Republik Indonesia, seperti yang terjadi di Timor Timur,
Aceh, Irian Jaya, dan Riau.
Pada beberapa tahun belakangan ini, sebagai akibat dari perkembangan dan
gerakan tersebut di atas, baik yang terjadi di luar negeri maupun yang di tanah air, telah
lebih membuka mata dan hati para pemimpin bangsa dan perwakilan rakyat kita untuk
memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Ini antara
lain tercermin pertama-tama dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelengaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan sebagai kelanjutannya

kemudian diundangkan dan disahkan dua Undang-undang yaitu UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 4 Mei 1999 dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada tanggal 19 Mei 1999,
yang menurut rencananya pelaksanaan UU ini akan dilakukan sepenuhnya pada tahun
2001.
Dengan demikian, otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dan ini dilaksanakan sesuai dengan prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan
keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

2.

Kondisi Hasil Pembangunan dan Terjadinya Ketimpangan Antardaerah

Aspek “keadilan dan pemerataan” dapat ditinjau berdasarkan hubungan
interpersonal, namun dapat pula ditinjau menurut perbandingan antardaerah (Raksaka
Mahi, 2000). Dalam hubungan ini, yang menjadi pertanyaan apakah distribusi
pendapatan antarindividu atau kelompok anggota masyarakat relatif sudah adil dan

merata ataukah semakin timpang. Dan antardaerah bagaimana distribusi pendapatan
(dan pembangunan) yang terjadi apakah semakin merata ataukah dalam kondisi yang
timpang/ semakin timpang antardaerah dalam lingkup nasional.
Berdasarkan data Neraca SNSE Indonesia 1999 (BPS, 2000), misalnya, tampak
bahwa perbedaan tingkat pendapatan kelompok yang “terkaya” dalam masyarakat
dengan kelompok “termiskin” relatif tinggi dan makin meningkat. Dari data yang ada
itu tampaknya salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya peningkatan
perbedaan pendapatan antarkelompok masyarakat ini adalah kepemilikan aset,
khususnya modal. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok yang terkaya
menguasai aset produktif permodalan yang jauh lebih besar. Dan dari sekitar 60%
pendapatan yang dihasilkan dan dimiliki masyarakat pada dasarnya berasal dari
pendapatan yang berhubungan dengan permodalan.
Dalam hubungan dengan ketimpangan pendapatan ditinjau secara interpersonal di
Indonesia dalam periode 1981-1996 dengan ukuran Rasio Gini ternyata bahwa
pemerataan distribusi pendapatan masyarakat tidaklah dalam posisi yang baik, tetapi

sudah termasuk dalam kategori yang moderat meskipun masih pada angka yang relatif
masih rendah (lihat Tabel 1). Dan diperkirakan angka Rasio Gini tersebut cenderung
agak semakin meningkat pada tahun-tahun belakangan ini.
Tabel 1.

Kecenderungan dalam Rasio Gini
dan Indeks Williamson di Indonesia, 1981-1998
Tahun

Rasio Gini

Indeks Williamson

1981
1984
1987
1990
1993
1995
1996
1997
1998

0,33
0,33

0,32
0,32
0,34
0,34
0,37



0,602
0,697
0,637
0,774
0,734
0,715
0,709
0,704
0.752

Sumber :


Rasio Gini 1981-1993 dari Hal Hill: Transformasi Ekonomi Indonesia: Sejak 1966,
PAU-UGM bekerja sama dengan PT Tiara Wacana Yogya, September 1996. Dan Rasio
Gini 1995&1996 dari World Development Report, 1998/99 & 2000.

Catatan :

Indeks Williamson (Vw) 1981,1984 dan 1987 dari makalah Syafrizal, “Pertumbuhan
Ekonomi Wilayah Indonesia Barat” dalam Prisma, No.3-1997, (yang tahun dasar 1983)
dan Vw 1993-1997 dihitung sendiri dengan tahun dasar 1993, dengan catatan angkaangka tahun 1981-1990 disesuaikan dengan perhitungan tahun dasar 1993.

Ukuran ketimpangan pendapatan yang lebih penting lagi untuk menganalisis
seberapa besarnya kesenjangan antarwilayah/daerah adalah dengan melalui perhitungan
indeks Williamson. Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB per
kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah dengan rumus :
∑ i (Yi – Y)2 fi /n
Vw =

, yaitu 0