Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungan Sung

ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN DALAM PENGENDALIAN DEGRADASI MORFOLOGI SUNGAI CIPAMINGKIS

ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN DALAM PENGENDALIAN DEGRADASI MORFOLOGI SUNGAI CIPAMINGKIS

Oleh : Krisdinar Sumadja ABSTRAK

Sungai Cipamingkis adalah salah satu Sungai yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan melintas di wilayah administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Upaya optimalisasi pelestarian pemanfaatan Sungai Cipamingkis dilakukan melalui pembangunan check dam, bendung, talud dan lain-lain. Namun demikian beberapa bangunan di Sungai Cipamingkis mengalami penurunan fungsi, bahkan mengalami kerusakan berat. Kerusakan infrastruktur tersebut selain disebabkan oleh alam seperti curah hujan yang tinggi tetapi juga disebabkan oleh faktor kerusakan lingkungan. Kerusakan berbagai infrastruktur juga menunjukkan pengaruh aspek ekonomi yang memicu masyarakat untuk mengeksploitasi lingkungan demi memperoleh keuntungan. Terdapat kecenderungan bahwa aspek ekonomi lebih mendapat penekanan dibanding aspek lingkungan. Diperlukan strategi perancangan pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan-sosial-ekonomi secara seimbang-dinamis, dan memperhatikan pembangunan spesifik lokal, serta bersifat partisipatif

Pengelolaan lingkungan terbagi menjadi tiga aspek utama antara lain pengelolaan lingkungan biotik, abiotik, dan sosial budaya. Setiap unsur akan memberikan daya tarik dan daya dorong yang berbeda antara satu dengan lainnya terhadap kelestarian lingkungan di sekitar aliran Sungai Cipamingkis.

Penelitian yang dilakukan di Aliran Sungai Cipapimingkis pada bulan September s.d November 2011 ini mengungkap kondisi lingkungan dan sosial ekonomi yang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam upaya melakukan pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks. Proses-proses biofisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal sebagai siklus air. Sedang kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan bentuk intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS.

Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu sistem bio-fisik lahan memiliki fungsi produksi, fungsi ekologi, fungsi habitat dan , fungsi estetika. Fungsi produksi DAS tidak hanya berupa produk hasil budidaya lahan, akan tetapi juga berupa air, suatu sumber daya mengalir dengan berbagai manfaatnya bagi manusia dan lingkungannya. Pemanfaatan sumber daya air umumnya telah begitu meluas sejalan dengan perkembangan pembangunan disekitar sumberdaya air.

Pemanfaatan sungai mencakup spektrum yang luas, mulai dari petani di pedesaan dan penduduk di perkotaan, industri, penambang pasir dan batu. Lokasi pemanfaatannya pun tidak hanya di hilir tetapi juga di Pemanfaatan sungai mencakup spektrum yang luas, mulai dari petani di pedesaan dan penduduk di perkotaan, industri, penambang pasir dan batu. Lokasi pemanfaatannya pun tidak hanya di hilir tetapi juga di

Sungai Cipamingkis adalah salah satu Sungai yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan melintas di wilayah administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Upaya optimalisasi pelestarian pemanfaatan Sungai Cipamingkis dilakukan melalui pembangunan check dam, bendung, talud dan lain-lain. Begitu pula telah banyak bangunan jembatan yang melintas diatasnya . Namun demikian beberapa bangunan di Sungai Cipamingkis terindikasi mengalami penurunan fungsi, bahkan mengalami kerusakan berat. Kerusakan bangunan tersebut telah mempercepat degradasi morfologi Sungai Cipamingkis yang membahayakan ekosistem disekitarnya. Beberapa indikasi degradasi morfologi Sungai Cipamingkis menurut Balai Besar Wiulayah Sungai Citarum (2008) antara lain sebagai berikut :

1. Lapisan dasar sungai berupa tanah aluvial dapat dikatakan sudah tidak ada lagi batuan besar sebagai peredam kecepatan aliran air yang sangat deras, sehingga batuan dasar yang terdiri dari pasir dan kerakal dapat terdegradasi, sedangkan lapisan tebing sungai yang terdiri dari pasir hingga kerakal mudah runtuh atau longsor.

2. Lapisan dasar tidak mampu menahan benturan akibat aliran dari drop structure yang terlalu tinggi, hal ini nampak dengan munculnya cekungan yang cukup dalam sehingga lapisan dasar dapat terkuak, hal ini dapat memicu adanya piping/rooping yang semakin kuat.

3. Dasar pondasi infrastruktur sungai tidak sepenuhnya berada pada lapisan batuan dasar dan masih berada pada lapisan tanah alluvial berupa pasir hingga kerakal akibat adanya tekanan air yang besar dapat menyebabkan terjadinya proses piping/rooping, lambat laun lapisan dasar pondasi terbawa aliran air, dan pondasi bangunan menjadi menggantung, dimana bangunan pasangan batu akan patah.

Eksploitasi lingkungan yang terjadi antara lain oleh pengambilan batu dan pasir di beberapa tempat aliran Sungai Cipamingkis yang berdekatan dengan infrastuktur sungai mengakibatkan beberapa infrastruktur seperti jembatan dan talud sungai runtuh. Kerusakan berbagai infrastruktur juga menunjukkan pengaruh aspek ekonomi yang memicu masyarakat untuk mengeksploitasi lingkungan demi memperoleh keuntungan.

Oleh sebab itu diperlukan strategi pengendalian degradasi sungai yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan-sosial-ekonomi secara seimbang-dinamis, dan memperhatikan pembangunan spesifik lokal, serta bersifat partisipatif. Pada saat ini, terjadi kecenderungan bahwa aspek ekonomi lebih mendapat penekanan dibanding aspek sosial dan lingkungan. Pola pemanfaatan sumberdaya alam dalam lingkup DAS tersebut Oleh sebab itu diperlukan strategi pengendalian degradasi sungai yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan-sosial-ekonomi secara seimbang-dinamis, dan memperhatikan pembangunan spesifik lokal, serta bersifat partisipatif. Pada saat ini, terjadi kecenderungan bahwa aspek ekonomi lebih mendapat penekanan dibanding aspek sosial dan lingkungan. Pola pemanfaatan sumberdaya alam dalam lingkup DAS tersebut

Pengelolaan lingkungan secara umum bertujuan untuk memastikan lingkungan tetap lestari dan mewujudkan keberlanjutan fungsional dari lingkungan tersebut. Pengelolaan lingkungan terbagi menjadi tiga aspek utama antara lain pengelolaan lingkungan biotik, abiotik, dan sosial budaya. Setiap unsur akan memberikan daya tarik dan daya dorong yang berbeda antara satu dengan lainnya.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari dilaksanakannya studi lingkungan, sosial ekonomi pada upaya pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis adalah melakukan penggalian (ekplorasi) informasi kondisi Abiotik, biotik dan budaya. Hasil studi diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi dalam upaya pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis.

1.3. Kerangka Pendekatan

Pengelolaan Sungai Cipamingkis setidaknya melibatkan dua daerah otonom, yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Pengelolaan Sungai Cipamingkis menjadi perlu dicermati sejalan dengan terjadinya degradasi morfologi sungai yang antara lain disebabkan pemanfaatan lahan dan sungai yang tidak terkendali. Proses degradasi ini cenderung terus berlanjut karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor-sektor yang berkepentingan di Sungai Cipamingkis. Kecenderungan untuk mengkotakkotakan DAS ke dalam wilayah administratif yang terpisah satu sama lain, serta ke dalam wewenang sektoral yang terpisah-pisah merupakan sebuah problematika dalam penataan ruang disekitar Sungai Cipamingkis.

Sebenarnya perubahan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32 Tahun 2004 merupakan perubahan yang cukup substansial dalam pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah. Bila sejak tahun 1999 pemerintahan di daerah seolah mendapat kewenangan besar dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, maka UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan adanya urusan yang bersifat diurus bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau disebut urusan concurrent. Oleh karena itu terjadi pengertian desentralisasi yang berbeda dengan pengertian pada UU No. 22 Tahun 1999. Perubahan ini secara esensial merupakan upaya penyeimbang wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adanya redefinisi dari pengertian desentralisasi ini membuka peluang adanya pengelolaan DAS secara terpadu yang dapat mendukung keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Kerangka pendekatan studi ini didasarkan pada pemikiran bahwa terjadinya degradasi Sungai Cipamingkis disebabkan antara lain oleh terganggunya hubungan timbal balik yang positif antara aspek penyusun lingkungan hidup yaitu aspek bio-fisik (biotik dan abiotik) serta aspek sosial budaya masyarakat disekitar DAS.

Lingkungan hidup dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Salim, E. (1993). Salah satu komponen dari ekosistem yang memiliki hubungan erat dengan manusia adalah sumberdaya alam. Sumberdaya alam dapat dibagi menjadi 2 bagian menurut bahan penyusunnya yaitu sumberdaya mineral (air, tanah, udara, jebakan bahan tambang, dan jebakan energi) dan sumberdaya hayati (masyarakat, hewan, dan tumbuhan) (Tejoyuwono Notohadiningrat, 2006).

Upaya pengendalian degradasi sungai Cipamingkis bertujuan untuk kelestarian pemanfatan sungai bukan hanya didasarkan pada kondisi fisik lingkungan sebagai dasar rekayasa sipil teknis tapi perlu pula didasarkan pada kondisi sosial budaya masyarakat dan ekonomi. Rumusan strategi pengelolaan lingkungan sangat diperlukan agar hubungan timbal balik positif diantara aspek penyusun lingkungan hidup mampu mendukung keberlanjutan pemanfaatan Sungai Cipamingkis dan meminimalisir dampak negatifnya.

Upaya pengendalian degradasi morfologi untuk kelestarian pemanfaatan sungai hendaknya terkait dengan keseimbangan antara tiga aspek, penyusun lingkungan hidup yaitu aspek abiotik, biotik, sosial erkonomi dan budaya. Strategi perancangan kawasan yang memperhatikan hubungan timbal balik aspek-aspek lingkungan hidup secara seimbang-dinamis, pembangunan spesifik lokal, serta bersifat partisipatif tersaji pada Gambar 1.1

Gambar 1.1

Pengelolaan lingkungan untuk pelestarian pemanfaatan sungai

MANUSI A (Sosial BIOTIK

Ekonomi budaya)

(Flora dan Fauna)

PENGELOLAAN LINGKUNGAN UNTUK

ABIOTIK

KELESTARIA N

(Air, Lahan dan Udara)

PEMANFAATAN SUNGAI

1.4. Metodologi Studi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey yaitu observasi langsung berupa survei kerusakan lingkungan. Pengukuran dan pengambilan data berdasarkan batas satuan pemetaan satuan geoekosistem di daerah studi yang berbasis pada satuan bentuk lahan. Selanjutnya dikorelasikan dengan data sekunder wilayah studi maupun data dari instansi yang terkait.

Metode survey ini dimungkinkan untuk melakukan pengukuran yang lebih rinci dan cermat terhadap berbagai aspek penyusun lingkungan hidup. Studi ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama studi kasus sebagai ilustrasi keterkaitan permasalahan DAS dengan kondisi masyarakat (social, ekonomi dan budaya) yang bertinggal di sekitar Sungai Cipamingkis. Bagian kedua merupakan merupakan tinjauan permasalahan DAS yang terkait dengan kondisi bio-fisik lingkungan baik abiotik (Air, lahan dan udara) maupun biotik (flora dan fauna).

1.4.1 Teknik Pengumpulan Data

Survey sosio- ekonomi dilakukan antara lain melalui pengumpulan data primer dari responden dan data sekunder dari instansi dan literatur terkait. Pengumpulan data dan informasi guna memperoleh gambaran tentang kondisi sosial, ekonomi dan budaya dilakukan dengan metode gabungan beberapa teknik pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Teknik tersebut meliputi studi pustaka, pengamatan (observasi) dan Rapid Rural Appraisal (RRA).

Instrumen pengumpulan data pada teknik RRA adalah pedoman wawancara mendalam (indepth - interview guide). Pengumpulan data primer diperoleh dengan jalan wawancara langsung dengan penduduk dan berpedoman pada daftar pertanyaan (kuisioner) terstruktur. Teknik pengumpulan kondisi biofisik (abiotik dan biotik) dilakukan melalui observasi lapangan dan data sekunder

1.4.2 Teknik Penentuan responden

Penentuan responden pada metode RRA lebih ditekankan pada pada pemilihan sumber informasi (informan) yang tepat dibandingkan dengan pada penekanan jumlah responden, Unit terkecil dari kerangka sampling survey adalah daftar rumah tangga/kepala keluarga dalam setiap desa terpilih. Penentuan rumah tangga terpilih dilakukan dengan cara acak sistematik (systematic random sampling.). Selain itu responden ditentukan dengan mengacu pada pemilihan informan kunci khususnya pada pengumpulan data informasi yang bersifat deskripsi seperti persepsi, budaya, adat istiadat, norma sosial. Informan kunci didasarkan pada

Posisi informan dalam masyarakat, baik yang merupakan tokoh pimpinan formal maupun informal, Pengetahuan informan tentang permasalahan yang ada, dan

Informasi masyarakat tentang informan kunci yang terpilih sebagai responden/nara sumber. Daftar Kartu Keluarga (KK) yang ada di setiap desa terpilih dijadikan sebagai kerangka sampling terkecil

dalam proses penentuan responden terpilih yang akan diwawancarai. Responden yang akan diwawancarai adalah anggota keluarga/rumah tangga terpilih yang berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah di luar pembantu dan/atau orang yang kost. Proses penentuan responden untuk diwawancarai dalam setiap rumah tangga (household) terpilih dilakukan dengan bantuan metoda Kish Grid. Sehingga komposisi responden laki-laki dan perempuan yang akan diwawancarai melalui survai ini ditentukan secara berimbang. Jumlah responden ditetapkan 300 orang yang tersebar di 17 desa yang teraliri sungai Cipamingkis.

1.4.3 Komponen Lingkungan dan Sosial Ekonomi

Komponen lingkungan sosial ekonomi yang dikaji secara mendalam meliputi komponen-komponen lingkungan sosial, ekonomi, kelembagaan, budaya serta persepsi masyarakat yang diperkirakan akan terkena dampak penting terhadap kelestarian lingkungan di sekitar Sungai Cipamingkis.

a. Komponen Lingkungan diindikasi oleh kondisi abiotik yang terdiri atas tanah, air dan udara. Sedangkan biotik diindikasi pada kondisi Flora (tanaman) , dan fauna.(binatang) a. Komponen Lingkungan diindikasi oleh kondisi abiotik yang terdiri atas tanah, air dan udara. Sedangkan biotik diindikasi pada kondisi Flora (tanaman) , dan fauna.(binatang)

c. Kondisi Ekonomi diindikasikan oleh struktur ekonomi wilayah, kesempatan berusaha, pola kepemilikan/penguasaan sumberdaya alam, pola pemanfaatan sumberdaya alam, prasarana dan sarana perekonomian, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian, Tekanan Penduduk, Mand Land Rasio, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Pemerataan pendapatan.

d. Sosial Budaya meliputi tatanan kelembagaan masyarakat, hubungan antar daerah/lokasi dan antar golongan masyarakat, adat istiadat masyarakat, budaya dan suku serta tradisi dan budaya etik.

e. Persepsi dan aspirasi masyarakat terhadap pengetahuan, manfaat/dampak, kelestarian, keterlibatan pada perencanaan, pelaksanaan monitoring pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis serta pemanfaatan Sungai Cipamingkis

1.4.4 Analisis Data

Secara prinsip data sosial ekonomi budaya di analisis dengan dua metode analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Metode analisis kuantitatif umumnya dilakukan melalui analisis tabulasi silang (cross tabulation) yang disajikan dalam bentuk tabel maupun grafik. Sedangkan analisis kualitatif adalah analisis yang menggambarkan secara rinci dan utuh deskripsi atau peristiwa, proses, fenomena, atau hubungan- hubungan sosial yang dilandasi oleh persepsi, sikap, etika, sistem nilai dan norma yang dianut oleh suatu komunitas/masyarakat.

1.4.5 Lokasi Studi

Lokasi studi di wilayah sepanjang aliran Sungai Cipamingkis yang termasuk pada wilayah administrasi Kabupaten Bogor (Kecamatan Jonggol, Cariu) dan Kabupaten Bekasi (Kecamatan Ciabarusah, Serang Baru, Cikarang Pusat, Bojongh Manggu . Studi dilakukan pada Bulan Juni sampai dengan Bulan September 2011

II. KONDISI UMUM SUNGAI CIPAMINGKIS

Sungai Cipamingkis terletak di Kabupaten Bogor dan Bekasi. Sungai ini memiliki panjang kurang lebih 59.31 Km dengan luas DAS ±287,55 Km 2 . Sungai ini mengalir dari arah selatan (Desa Warga Jaya, Kec. Jonggol, Kab. Bogor) menuju utara dan bermuara di Sungai Cibeet (Desa Pasirranji, Kec. Cibarusah, Kab. Bekasi). Sungai Cipamingkis ini mempunyai banyak anak sungai antara lain S. Cipanyairan, S. Cilodong, S. Cibuntu, S. Cihowe, S. Citapen, S Ciirateun, S. Cihiyeuna, S. Cihampelas, S. Citiis, S. Cilandak, S. Cisewu, S. Cisurian, S. Cisore, S. Ciherang, dll. Panjang sungai keseluruhan (S. Cipamingkis dan ana-anak sungainya) ± 541,88 km, dengan kerapatan sungai 1,88. Sungai ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk antara lain untuk irigasi dan penambangan galian batu dan pasir.

2.1 Topografi

Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 (Lembar Pangkalan, Jonggol, Dayeuh kaum dan Cipanas) S. Cipamingkis mengalir dari ketinggian ±900 m dpl pada bagian selatan hingga ±20 m dpl pada bagian utara. Pada bagian hilirnya hingga sekitar Jembatan Cibarusah kemiringan sungainya relativ datar dengan elevasi ± 20 m s/d ± 50 m dpl. Dari Jembatan Cibarusah hingga sekitar Bendung Cipamingkis kemiringan sungainya agak sedikit terjal dengan elevasi ± 50 m s/d ±105 m dpl. Selebihnya, di atas Bendung Cipamingkis hingga ke hulu kemiringan sungainya relative terjal dengan elevasi ± 105 m s/d ±900 m dpl.

Secara topografi dari bagian tengah s/d hilir DAS Cipamingkis (Jembatan Cibarusah hingga muara Cipamingkis) merupakan daerah dataran landai dan atau bergelombang lemah. Dari pertemuan S. Cisurian dengan S. Cipamingkis hingga Jembatan Cibarusah merupakan daerah perbukitan berlereng landai. Dari pertemuan S. Cidurian dengan S. Cipamingkis ke arah hulu merupakan daerah perbukitan agak terjal hingga terjal.

2.2 Geoteknologi

Sungai Cipamingkis berhulu di bagian barat laut Lembar Cianjur, menoreh kearah timur laut dan bermuara ke Sungai Cibeet di Lembar Karawang. Sungai ini merupakan Sub DAS Sungai Cibeet yang merupakan bagian DAS Sungai Citarum.

Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Cianjur, Jawa (Skala 1 : 100.000, oleh Sudjatmiko, 1972) dan Peta Geologi Lembar Karawang, Jawa (Skala 1 : 100.000, oleh A. Achdan dan D. Sudana, 1992) Sungai Cipamingkis ini dari hulu hingga daerah Ciledug, menoreh Satuan Batuan Volkanik G. Limo (Qyk), Formasi Cantayan (Mttb), Formasi Jatiluhur anggota Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm), dan Formasi Subang Anggota Batulempung (Msc/Tms). Ruas Ciledug hingga muara ditempati oleh Endapan Sungai Muda (Qa).

Secara fisiografi daerah studi termasuk ke dalam Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949) yang memanjang dari Barat ke Timur melalui Bogor, Purwakarta, dan menerus hingga ke Bumiayu di Jawa Tengah, dengan lebar zona mencapai 40 km. Sedimen yang berumur Neosen mengalami perlipatan kuat dan membentuk perbukitan antiklinorium. Sebagian inti antiklinorium pada zona ini terdiri dari perlapisan batuan yg berumur Miosen, sedangkan sayapnya ditempati oleh satuan batuan yang berumur Plio-Plistosen. Beberapa intrusi yang terbentuk berupa boss dan neck, membentuk bukit-bukit terisolir.

Ruas Cibarusah kearah hilir hingga di pertemuan dengan S. Cibeet, ditempati oleh Lempung dan Lempung Pasiran [Ac(cs) yang merupakan endapan limpah banjir dan pantai, dengan ketebalan 2 sampai 15 m dan makin menebal kearah hilir dan/atau utara. Satuan ini berwarna abu-abu kehijauan dan abu-abu kehitaman, lunak sampai teguh, plastisitas rendah sampai tinggi, mempunyai permiabilitas rendah sampai kedap air, daya dukung yang diijinkan rendah sampai sedang, mudah digali secara manual, serta muka air tanah bebas dangkal.

Ruas Cibarusah kearah hulu ditempati oleh Batulempung dan Napal (CS,MR), satuan ini merupakan sedimen Tersier yang termasuk kedalam Formasi Subang dan Formasi Jatiluhur. Batulempung berwarna abu- abu kehijauan, perlapisan tidak jelas, terkekarkan, kekerasan rendah, daya dukung batuan berkisar antara 40 –

60 ton/m2, agak sulit digali secara manual. Napal berwarna abu-abu kehitaman, berlapis baik, kekerasan sedang, daya dukung batuan berkisar antara 40 – 80 kg/m2, sulit digali secara manual. Pada satuan ini air tanah bebas langka, stabilitas lereng rendah, potensi longsor tinggi.

2.3 Struktur Geologi

Struktur sesar yang terdapat dihulu bendung Cipamingkis, berupa sesar normal yang berarah Barat – Timur, menempati Formasi Jatiluhur Anggota Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm), dan juga merupakan kontak dengan Formasi Subang Anggota Batulempung (Msc/Tms). Struktur lipatan yang juga terdapat dihulu bendung Cipamingkis, berupa antiklin dengan sumbu berarah Barat – Timur dan menunjam kearah Timur. Antiklin ini juga menempati Formasi Jatiluhur Anggota Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm). Sesar dan antiklin tersebut diatas merupakan struktur utama didaerah studi, kedua struktur ini kemudian dipotong oleh beberapa sesar lebih muda, yang juga berjenis sesar normal yang berarah Baratlaut – Tenggara.

3.4 Geomorfologi

Geomorfologi daerah studi dapat dibagi menjadi 3 satuan morfologi yaitu:

a. Satuan Morfologi Perbukitan Berlereng Agak Curam Satuan morfologi ini membentang di bagian selatan daerah studi, yaitu mulai dari sekitar pertemuan S. Cisurian dengan S. Cipamingkis kearah hulu, dengan ketinggian berkisar antara 250 m dpl hingga lebih dari 1.000 m dpl, dan ditempati oleh : satuan Batuan Vilkanik G. Limo (Qyk), Formasi Cantayan (Mttb), Formasi Jatiluhur anggota Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm), serta Formasi Subang anggota Batulempung (Msc/Tms). Bagian terbesar dari anak sungai didaerah ini membentuk pola aliran yg sejajar.

b. Satuan Morfologi Perbukitan Berlereng Landai Satuan morfologi ini membentang dari pertemuan S. Cisurian dgn S. Cipamingkis kearah hilir hingga di sekitar jembatan Cibarusah , dengan ketinggian berkisar antara 100 m dpl hingga 300 m dpl, dan ditempati oleh: Formasi Subang anggota Batulempung (Tms), Formasi Cihoe (Tpc), Satuan Batupasir Konglomeratan (Qoa), Satuan Batupasir Tufan dan Konglomeratan (Qav), serta Endapan Sungai Muda (Qa). Pola aliran sungai pada daerah ini cenderung membentuk pola aliran menyudut tanggung.

c. Satuan Morfologi Bergelombang Lemah satuan morfologi ini membentang dari sekitar jembatan Cibarusah kearah hilir hingga disekitar pertemuan S. Cipamingkis dengan S. Cibeet, dengan ketinggian berkisar antara 20 m dpl hingga kurang dari 100 m dpl.

III. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

3.1. Kondisi Abiotik

3.1.1 Tanah Berdasarkan pengamatan lapangan, kajian peta rupa bumi serta hasil analisis foto udara, dapat dikatakan bahwa di sepanjang aliran sungai Cipamingkis (kanan kiri sungai) umumnya penggunaan lahannya berupa lahan 3.1.1 Tanah Berdasarkan pengamatan lapangan, kajian peta rupa bumi serta hasil analisis foto udara, dapat dikatakan bahwa di sepanjang aliran sungai Cipamingkis (kanan kiri sungai) umumnya penggunaan lahannya berupa lahan

Kondisi tutupan lahan pada DAS dapat dikatakan banyak yang terbuka atau kurang adanya pohon sebagai pelindung lahan, sehingga mempunyai kemungkinan terjadinya erosi lahan sangat besar dan juga memicu terjadinya banjir di waktu hujan dan terjadinya kekeringan pada waktu musim kemarau. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kondisi yang terjadi di lapangan, pada waktu hujan aliran yang terjadi di Sungai Cipamingkis membawa sedimen. Hal ini nampak dari warnanya yang coklat pekat, apabila terjadi hujan di bagian hulu aliran sungai dengan cepat merambat ke hilir dengan debit yang besar, sedangkan apabila tidak terjadi hujan alirannya kecil bahkan kering untuk di bagian hilir dari pada bendung Cipamingkis.

Jenis tanah diklasifikasikan dalam tujuh kelompok. Kelompok yang paling layak untuk pengembangan pembangunan memiliki luas sekitar 16.682,25 Ha (81,25%), yang terdiri dari jenis asosiasi podsolik kuning dan hidromorf kelabu; komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat, dan podsolik merah; aluvial kelabu tua; asosiasi glei humus dan alluvial kelabu; dan asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit. Klasifikasi cukup layak seluas 3.745,04 Ha (18,24%), terdiri dari jenis tanah asosiasi alluvial kelabu dan alluvial coklat kekelabuan. Sisanya sekitar 104,71 Ha (0,51%) dari jenis podsolik kuning merupakan areal yang kurang layak untuk pembangunan.

Ditinjau dari tekstur tanahnya, sebagian besar wilayah ini memiliki tekstur tanah halus sekitar 15.555,04 Ha (75,76%) dan bertekstur sedang sekitar 4.755,21 Ha (23,16%) berada di sebelah utara dan sebelah selatan yakni, sedangkan sisanya sekitar 221,75 Ha atau 1,08% bertekstur kasar berada di sebelah barat. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi cukup baik/stabil. Tingkat kepekaan ini diklasifikasikan tiga bagian yakni stabil (tidak peka), peka, dan sangat peka. Sekitar 17.220,19 Ha (83,87%) dari luas lahan merupakan lahan stabil yang layak untuk dikembangkan untuk berbagai macam kegiatan perkotaan. Seluas 3.127,02 Ha (15,23%) dari lahanya memiliki kondisi peka dan masih cukup layak untuk dibangun. Sedangkan di bagian selatan, lahannya sangat peka terhadap erosi yakni sekitar 184,79 Ha (0,9%), kurang layak untuk dikembangkan.

Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak berlanjutan kegiatan usaha tani di wilayah hulu sungai. Penggunaan lahan yang intensif tanpa ada upaya konservasi di wilayah hulu sungai khususnya untuk pertanian telah menyebabkan terjadinya peningkatan erosi yang sangat nyata dari tahun ke tahun. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sumber daya lahan dan lingkungan di wilayah hilir sungai, dan mengganggu beberapa kegiatan usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat adanya pengendapan sedimen, kerusakan sarana irigasi, dan bahaya banjir. Data tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sub DAS Cipamingkis berdasarkan hasil penelitian adalah TBE Ringan mencapai 85,59%, TBE Sedang 12,93% dan TBE Berat 1,54%. Namun demikian terdapat kecenderungan TBE Berat semakin meningkat. Dalam lima tahun terakhir.

3.1.2 Air Ketersediaan air akan sangat dipengaruhi siklus hidrologi yang terkait dengan iklim dan curah hujan. Secara umum iklim di lokasi pekerjaan terdiri dari dua musim utama, yaitu musim kemarau dan musim 3.1.2 Air Ketersediaan air akan sangat dipengaruhi siklus hidrologi yang terkait dengan iklim dan curah hujan. Secara umum iklim di lokasi pekerjaan terdiri dari dua musim utama, yaitu musim kemarau dan musim

Pada cakupan Kabupaten Bekasi, kondisi hidrologi Kabupaten. Bekasi dikelompokkan menjadi tiga kondisi yaitu (1) air tanah yang terintrusi air laut; (2) air tanah dalam; dan (3) air tanah dangkal. Sekitar 19.745 Ha (15,5%) dari luas lahan di Kabupaten bekasi memiliki air tanah yang terintrusi air laut, terutama pada Kecamatan Muaragembong dan Tarumajaya. Luas wilayah yang memiliki air tanah dalam seluas 25.605 Ha (20,1%) dan luas wilayah yang memiliki air tanah dangkal seluas 82.038 Ha (64,4 %). Adanya beberapa sungai yang melewati wilayah Kabupaten Bekasi merupakan potensi sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sub DAS Cipamingkis dipenuhi oleh 2 (dua) sumber, yaitu air tanah dan air permukaan. Air tanah dimanfaatkan untuk pemukiman dan sebagian industri. Kondisi air tanah sebagian besar merupakan air tanah dangkal yang berada pada kedalaman 5 – 25 meter dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada umumnya didapat pada kedalaman antara 90 – 200 meter. Air permukaan, seperti sungai, dimanfaatkan oleh masyarakt untuk kebutuhan sehari-hari.

3.1.3 Udara Pada lokasi studi, rata-rata suhu udara maksimum berkisar 34,1° C pada siang hari dan suhu udara minimum berkisar 23,5° C pada malam hari. Sedangkan kelembaban udara maksimum rata-rata adalah sebesar 88,0% dan rata-rata minimum sebesar 71,8%. Sejalan dengan perkembangan kawasan industry dan kendaraan bermotor kualitas udara di kawasan Sub DAS Cipamingkis sudah mulai tercemar. Polusi udara bukan hanya dilihat dari kualitas udara tetapi juga dari kebisingan.

Semakin bertambahnya kendaraan bermotor terutama kendaraan truk pengangkut batu pasir serta aktivitas industri menyebabkan tingkat polusi udara semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi (2011) bahwa dampak polusi udara tersebut adalah semakin meningkatnya keluhan penyakit inspeksi saluran pernafasan yang mencapai 500 pasien per hari.

Hasil penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi (2011) bahwa polusi debu akibat asap dari knalpot kendaraan dan hasil pembakaran industri telah mencapai tiga kali lipat di atas ambang baku mutu, yaitu mencapai 945,20 12 mikrogram per nanometer kubik (ug/Nm3). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor

41 tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara, batas normal kualitas debu dalam udara maksimum 230 ug/Nm3.

3.2 Kondisi Biotik

3.2.1 Tanaman Sumberdaya alam (SDA) berkaitan erat dengan aspek biotik wilayah. Secara partisipatif kesesuaian aspek biotik wilayah dengan sumberdaya alam diindikasikan oleh pemanfaatan SDA oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan. Upaya pengendalian degradasi Sungai Cipamingkis hendaknya mengacu pula pada kondisi eksisting pemanfaatannya oleh masyarakat, sehingga sejauh mungkin penerapan strategi pengendalian degradasi tidak bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan didukung oleh kemampuan geofisik Sungai Cipamingkis. Kesesuaian antara daya dukung dengan aspirasi masyarakat dalam pemanfaatannya akan memberikan kelestarian jasa lingkungan Sungai Cipamingkis dan mampu meminimalisir dampak negative atas pemanfaatannya tersebut.

Pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah industri biologis yang sangat bergantung pada ketersediaan lahan sebagai media produksinya. Oleh sebab itu gambaran komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan yang diusahakan masyarakat merupakan gambaran beban sumberdaya untuk mendukungnya. Selain ketersediaan lahan, ketersediaan air dan pengelolaannya merupakan bagian potensi sumberdaya alam yang harus tersedia. Ketersediaan air sangat bergantung pada sumber air yang diperoleh dari curah hujan, sungai dan sumber lainnya serta pengelolaannya. Pemanfaatan yang berlebihan atas sumberdaya lahan dan air yang tidak efisien pada gilirannya akan berdampak pada percepatan degradasi sumberdaya air yang bersumber dari aliran sungai.

3.2.1.1 Tanaman Pangan Komoditas pertanian Pangan yang banyak diusahakan oleh petani dilokasi studi diuraikan sebagai berikut :

1. Padi Bahan pangan sebagai sumber karbohidrat hingga saat ini masih didominasi oleh beras, walaupun beberapa komoditas pangan sumber karbohidrat lain seperti jagung dan ubi-ubian dikonsumsi pula oleh masyarakat, namun masih dikonsumsi sebagai hidangan pelengkap pada saat-saat tertentu saja.. Jagung dan ubi-ubian (kentang) belum mampu mensubtitusi beras sebagai makanan pokok. Oleh sebab itu komoditas pertanian yang paling panyak diusahakan di lokasi studi adalah padi. Hampir disepanjang aliran Sungai Cipamingkis terdapat sawah untuk tanaman padi. Dalam satu tahun dapat ditanami dua kali musim tanam. Produktivitas lahan untuk menghasilkan padi antara 5 s.d 6 ton per ha. Sebagian besar sawah beririgasi teknis.

2. Jagung Selain padi, jagung, merupakan alternatif komoditas yang diusahakan petani di lokasi studi. Upaya ke arah peningkatan produktivitas dan efisiensi komoditas sumber karbohidrat utama selain beras terus dlakukan dengan berbagai program teknologi budidaya dan penyediaan benih unggul, sehingga di masa yang akan datang dominasi beras sebagai makanan pokok mulai berubah sejalan dengan semakin beragamnya bahan makanan 2. Jagung Selain padi, jagung, merupakan alternatif komoditas yang diusahakan petani di lokasi studi. Upaya ke arah peningkatan produktivitas dan efisiensi komoditas sumber karbohidrat utama selain beras terus dlakukan dengan berbagai program teknologi budidaya dan penyediaan benih unggul, sehingga di masa yang akan datang dominasi beras sebagai makanan pokok mulai berubah sejalan dengan semakin beragamnya bahan makanan

3. Kacang-kacangan Kedelei merupakan komoditas pangan yang sangat penting bagi kebutuhan protein nabati. Oleh sebab itu walaupun tidak sebanyak dan seluas tanaman jagung dan padi, banyak pula petani di lokasi studi menanam kedelei setelah menanam padi sebagai selingan. Oleh sebab itu produksi kedelai masih relatif rendah dibandingkan dengan komoditas padi. Hal ini disebabkan oleh lahan yang ditanam petani masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan kedele. Kondisi ini menggambarkan bahwa kebutuhan kedelai di lokasi studi masih mengandalkan pasokan dari daerah lain. Hal yang sama dengan komoditas kacang panjang dan kacang hijau walaupun ada petani yang menanam namun masih belum berarti produksinya dibandingkan dengan lahan yang tersedia dan permintaannya.

4. Komoditas Sayuran dan Buah-buahan Komoditas sayuran yang diusahakan antara lain adalah cabe, ketimun dan kangkung. Produksi sayuran masih sangat rendah. Oleh sebab itu kebutuhan sayuran di lokasi studi masih mengandalkan pasokan dari luar. Dibandingkan dengan komoditas sayuran, Komoditas buah-buahan dilihat dari luas areal tanam masih sangat rendah. Namun demikian komoditas buah-buahan mempunyai potensi untuk dikembangkan di lokasi studi khususnya untuk tujuan konservasi tanah. Tanaman buah-buahan yang diusahakan antara lain pisang, mangga, melon dan semangka.

3.2.1.2 Tanaman Perkebunan Dilihat dari jenis dan luasan areal tanamnya, komoditas perkebunan di lokasi studi masih sangat kecil. Padahal dilihat dari potensi lahannya sangat memungkinkan untuk dikembangkan lebih luas. Tanaman perkebunan yang ditanam untuk tujuan usahatani oleh petani masih terbatas pada tanaman kunyit, dan kencur. Sedangkan tanaman keras (tahunan) masih belum banyak dilakukan untuk tujuan usaha.

3.2.1.3 Tanaman Kehutanan Tanaman kehutanan yang banyak diusahakan adalah albasia. Tanaman ini diusahakan karena menurut petani saat ini banyak permintaan kayu albasia. Tanaman kehutanan lain yang umumnya ditanam adalah jati, mahoni, dan lain sebagainya.

Hama dan Gulma merupakan suatu hama bagi tanaman pertanian. Hama biasanya adalah serangga seperti walang dan juga hama perusak tanaman persawahan yaitu tikus. Hama ini menyebabkan produksi pertanian yang menurun. Semua kasus hama ini terjadi di seluruh pertanian Sub DAS Cipamingkis Penaggulangan masalah ini semua dilakukan dengan cara kuratif yaitu pemberantasan dengan insektisida.

3.2. Fauna

Selain hewan peliharaan yang berupa ayam, banyak penduduk yang memelihara sapi dan kambing sebagai investasi. Kondisi fisiografis Sub DAS Cipamingkis yang sebagian merupakan daerah lereng, mengakibatkan belum banyaknya pemanfaatan lahan secara intensif. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya binatang liar. Menurut masyarakat yang berada di kecamatan Jonggol dan Cariu masih sering ditemukan musang dan babi hutan walaupun tidak terlalu banyak populasinya. Hewan liar yang masih banyak populasinya diantaranya adalah ular dan burung . Kedua hewan tersebut tidak mendapatkan musuh alami yang begitu berarti dalam kehidupannya didaerah tersebut.

3.3. Sosial Ekonomi

Data dan informasi kondisi sosial ekonomi dilakukan melalui wawancara dengan responden terhadap berbagai indikator yang telah dipersiapkan secara terstruktur. Teknik pengambilan responden yang telah dirancang sebelumnya diharapkan dapat mewakili populasi yang ada di lokasi studi. Pada awalnya penyebaran kuisioner dilakukan pada 300 responden. Namun setelah dilakukan seleksi berdasarkan pertimbangan validitas dan kelengkapan informasi, sebanyak 52 responden tidak memenuhi syarat analisis. Dengan demikian hanya 248 responden yang dianggap layak untuk dilanjutkan pada tahap analisis data.

3.3.1 Karakteristik responden Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan/pemahaman dan akses informasi adalah karakteristik responden. Jenis kelamin responden mempunyai komposis yang seimbang yaitu 48 persen perempuan dan 52 persen laki-laki. Keseimbangan jenis kelamin responden diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih kongrit mengenai pengetahuan, persepsi dan masyarakat terhadap keberadan Sungai Cipamingkis.

Sebagian responden berumur antara 36 sampai 45 tahun dan 26 sampai 35 tahun. Komposisi umur tersebut menunjukkan pula bahwa sebagian besar responden termasuk pada usia produktif, sehingga akan mempunyai kepentingan cukup tinggi terhadap lingkungan yang ada disekitar tempat tinggalnya.

Dilihat dari status perkawinannya, sebagian besar responden berstatus telah menikah. Hal ini disebabkan karena yang menjadi sasaran responden pada awalnya adalah kepala keluarga. Namun demikian sebagian kecil responden masih bersatus belum menikah atau tidak menikah. Responden dengan status menikah menggambarkan bahwa responden mempunyai kewenangan mewakili keluarga dalam merespon berbagai kebijakan pengendalian degradasi Sungai. Status perkawinan ini menggambarkan pula tingkat kedewasaan dalam mengambil sebuah keputusan selain umur.

Tanggungan keluarga diharapkan dapat menggambarkan motivasi seseorang dalam merespon rangsangan (stimulus) yang menyangkut kehidupan diri dan keluarganya. Semakin tinggi tangungan keluarga maka semakin tinggi pula motivasi untuk merespon stimulus. Khususnya stimulus yang terkait dengan keberadaan Sungai Cipamingkis. Responden yang mempunyai tanggungan keluarga 4-6 orang lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya. Jumlah tanggungan keluarga akan lebih bertahan dilokasi tempat Tanggungan keluarga diharapkan dapat menggambarkan motivasi seseorang dalam merespon rangsangan (stimulus) yang menyangkut kehidupan diri dan keluarganya. Semakin tinggi tangungan keluarga maka semakin tinggi pula motivasi untuk merespon stimulus. Khususnya stimulus yang terkait dengan keberadaan Sungai Cipamingkis. Responden yang mempunyai tanggungan keluarga 4-6 orang lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya. Jumlah tanggungan keluarga akan lebih bertahan dilokasi tempat

Tingkat pendidikan adalah indikator pengalaman belajar yang dapat merubah perilaku seseorang. Secara umum dinyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin baik respon sesorang terhadap berbagai rangsangan termasuk pula dengan berbagai kebijakan pengendalian degradasi sungai Cipamingkis. sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Dasar (58 persen) dan hanya sebagian kecil saja yang pernah memasuki perguruan tinggi. Hal ini menggambarkan kondisi yang sebenarnya yang terjadi di lokasi studi. Kawasan di sepanjang Sungai Cipamingkis merupakan kawasan yang bersuasana desa.

Pendidikan yang relatif tidak telalu tinggi maka sulit mengharapkan masyarakat dapat mengerti secara cepat subtansi berbagai aturan pemanfaatan ruang yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Konsekuensi dari tingkat pendidikan yang relatif rendah ini adalah penyampaian pesan kebijakan pengendalian pemanfaatan Sungai Cipamingkis harus dilakukan lebih praktis dan intensif.

Sebagian besar responden (30%). mengaku tidak bekerja secara tetap yaitu pekerjaan sebagai pekerja lepas yang tidak terikat, seperti buruh bangunan, ojeg, dan pekerjaan lepas lain. Hanya sedikit repsonden yang saat ini bekerja sebagai Pengawai Negeri Sipil atau pensiunan negeri sipil dan pensiunan tentara/polisi. Walaupun lokasi studi terhampar lahan pertanian namun hanya 29% saja yang mengaku sebagai petani. Responden menganggap sector pertanian tidak dapat memenuhi kebutuhan secara kontinyu. Oleh sebab itu menjadi petani dilakukan sebagai matapencaharian sampingan.

Pendapatan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan respon terhadap berbagai kebijakan. Semakin tinggi pendapatan maka semakin mampu memenuhi kebutuhan minimal, sehingga semakin peduli pula pada berbagai perubahan yang terdapat di sekitar keluarganya. Secara umum dinyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula respon terhadap perubahan kebijakan.

Sebagian besar responden ternyata berpendapatan antara 500 s.d 1 juta per bulan, dan hanya sebagian kecil yang berpendapatan di bawah Rp 500 ribu per bulan. Dengan demikan dilihat dari pendapatannya, responden diaharapkan dapat merespon baik atas berbagai kebijakan berdasarkan pertimbangannya masing- masing. Komposisi responden berdasarkan pendapatan per bulan disajikan pada Gambar 4.7

Pada umumnya responden telah bertempat tinggal di lokasi studi lebih dari 25 tahun. Jangka waktu tinggal merupakan salah satu pertimbangan untuk menentukan respon terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Semakin lama tinggal maka semakn mempunyai kepentingan terhadap kebijakan yang diterapkan di sekitar tempat tinggalnya. Dengan masyarakat yang sebagian besar mempunyai jangka waktu tinggal lebih dari

25 tahun maka akan semakin mempunyai kepentingan dan mengetahui proses dan sejarah perubahan yang terjadi di lingkungannya sehingga akan memberikan respon terhadap berbagai kebjakan berdasarkan pengalamannya tinggal di kawasan tersebut.

Bantaran sungai di lokasi perkotaan banyak yang menjadi lokasi permukiman yang tentunya menambah beban masalah sungai. Terbatasnya fasilitas umum yang disediakan pemerintah menyebabkan masyarakat Bantaran sungai di lokasi perkotaan banyak yang menjadi lokasi permukiman yang tentunya menambah beban masalah sungai. Terbatasnya fasilitas umum yang disediakan pemerintah menyebabkan masyarakat

Kepemilikan asset juga merupakan salah satu pertimbangan dalam merespon kebijakan. Semakin tinggi asset yang dimiliki maka semakin mempunyai kepentingan terhadap kebijakan yang terkait dengan lingkungannya. Sebagian besar responden (71 persen) mempunyai asset rumah beserta lahan pekarangannya. Dengan demikan dilihat dari pemilikan asset, semestinya masyarakat rmempunyai kepentingan untuk memahami dan merespon berbagai kebijakan pengendalian degradasi Sungai Cipamingkis. Walaupun kawasan di sepanjang aliran Sungai Cipamingkis mempunyai suasana pedesaan, kepemilikan asset lahan pertanian justru sangat rendah. Dengan demikian petani yang berada di kawasan lokasi studi sebagan besar adalah petani penggarap yang tidak memiliki lahan atau buruh tani.

3.3.1 Pengetahuan terhadap pengendalian degradasi sungai Aspek pertama perilaku adalah pengetahuan masyarakat terhadap berbagai aspek terkait dengan pengendalian degradasi morfologi sungai. Pada umumnya seseorang akan bersikap sesuai dengan pengetahuannya

1. Pengetahuan terhadap Rencana Pelaksanaan dan monitoring pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis

Sebagian besar (63%) masyarakat ternyata mengetahui tentang setiap rencana kegiatan pemeliharaan kelestarian sungai Cipamingkis seperti rencana pembuatan cek dam, jembatan, talud dan lain-lain. Hanya sebagian kecil (5 –8%) saja dari masyarakat yang mengetahui waktu dan proses monitoring/evaluasi setiap kegiatan pemeliharaan tersebut.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya terlibat dalam proses kelestarian sungai. Kondisi ini akan sangat berdampak pada rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap kehadiran Sungai Cipamingkis.

Gambar 3.1

Persentase Pengetahuan responden terhadap rencana, pelaksanaan dan monitorin/ evaluasi

pembangunan Sungai Cipamingkis

Tidak tahu

Informasi tentang

Informasi Pelaksanaan

Informasi tentang

Rencana Pemeliharaan

Pemeliharaan

Monitoring dan Evaluasi

2. Pengetahuan terhadap Kebijakan Pengendalian pemanfaatan Sungai Salah satu yang menjadi bagian dari kajian ini adalah informasi mengenai peraturan/kebijakan pengendalian pemanfaatan Sungai Cipamingkis. Sebagian besar responden (80%) tidak tahu adanya peraturan yang melarang pengambilan batu dan pasir disekitar bangunan pengendalialiran sungai. Selain itu masyarakat lebih banyak tidak tahu bahwa terdapat larangan untuk mendirikan bangunan di bantaran sungai dan membuang limbah/sampah. Masyarakat berpendapat bahwa faktanya masih banyak pihak yang melakukan kegiatan tersebut tanpa mendapatkan sangsi apapun dari pemerintah, sehingga masyarakat menganggap tidak ada larangan

Gambar 3.2

Persentase pengetahuan responden tentang kebijakan larangan pemanfaatan Sungai yang merusak

Mengambil Batu dan Pasir

Mendirikan Bangunan di Bantaran

Membuang sampah/limbah

Sungai

Tidak tahu

3.3.2 Peranserta dalam pengendalian degradasi morfologi Sungai

1. Peran serta dalam tahapan kegiatan pengendalian degradasi dan pemanfaatan sungai

Salah satu yang terkait dengan kegiatan pelestarian fungsi sungai adalah peran serta masyarakat. Setidaknya hak peran serta masyarakat pada penyusunan rencana, peranserta dalam pelaksanaan kegiatan, pemeliharaan dan peran serta dalam pemanfaatan sungai.

Kompleksnya permasalahan sosial lingkungan di sepanjang Sub DAS Cipamingkis menuntut pemecahan masalah secara multidimensi dan komprehensif. Salah satu faktor penentu berhasilnya upaya pemecahan masalah-masalah itu adalah peran serta seluruh lapisan masyarakat. Pada saat ini keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup di sepanjang Sub DAS Cipamingkis mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pemantauan/pemeliharaan masih relatif rendah akibat: a) rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman terhadap persoalan lingkungan, b) lemahnya peran lembaga kemasyarakatan maupun dunia usaha dalam mendukung program pengelolaan lingkungan, dan c) terbatasnya pendapatan masyarakat menyebabkan kapasitas peran serta menjadi tidak optimal.

Pembangunan yang bertumpu pada masyarakat atau Community Based Development di DAS Cipamingkis tampak belum terwujud karena seringkali pendekatan yang dilakukan kurang memperhatikan kondisi masyarakat yang ada. Selain itu mereka belum mampu menjadi pilar pembangunan karena kondisinya masih belum berdaya secara fisik, sosial, politis dan budaya.

Dari Gambar 3.3 dapat dilihat bahwa yang paling banyak peran serta masyarakat adalah yang terkait dengan pemanfaatan. Hanya 13,% responden yang mengaku beperanserta secara langsung dalam perencanaan. Begitu pula pada proses pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastrukturnya. Namun demikian sebagian besar reponden (94%) mengaku jika mereka memanfaatkan infrastruktur sungai (seperti jembatan, cek dam dan lain-lain).

Gambar 3.3 Persentase responden pada peranserta dalam kegiatan pengendalian degradasi morfologi sungai

Berperan Tidak Berperan