Memahami Mekanisme Peradilan Adat Masyar (1)

AKAR FOUNDATION
www.akar.or.id

MEMAHAMI MEKANISME
PERADILAN ADAT
Peradilan Adat Margo Jurukalang Sebagai Proses Resolusi Sengketa

Lokasi

: Desa Tanjung Bajok

Unit Sosial : Desa
Pada tanggal 21 Mei 2016, peneiti melakukan simulasi Peradilan Adat bersama
Masyarakat Hukum Adat Margo Jurukalang di Desa Tanjung Bajok, Kabupaten
Lebong. Peserta yang hadir dalam acara tersebut adalah perangkat Desa dan
Lembaga Adat (Kuteui dan BMA) serta tokoh masyarakat adat dari Desa Talang
Ratu, Suka sari, Tanjung Bajok, Teluk Diyen, Talang Donok 1 dan Talang Donok.
Total

seluruh


peserta

yang

hadiradalah

40

orang.

Acarainilangsungdifasilitasiolehpeneliti.
Sebelum simulasi dimulai peneliti melakukan assasment terlebih dahulu untuk
mengenal Peradilan Adat Rejang di komunitas adat Margo Jurukalang.
Pertama, Peneliti mengajak masyarakat untuk mengidentifikasi beberapa hal
yang berperan dalam penyelesaian sengketa melalui peradilanadat.

Dinamika Hukum dan Kelembagaan Tradisional Masyarakat Hukum Adat
Rejang
Masyarakat Hukum Adat Rejang memahami peradilan adat sebagai wujud
dari mekanisme kontrol sosial yang tumbuh dan berkembang di alam tradisi

masyarakat Hukum Adat Rejang. Hukum adat Rejang merupakan aturan-aturan
hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat
pada terganggunya keseimbangan masyarakat sehingga diperlukan suatu
penyelesaian agar keseimbangan dapat terwujud.
Hukum yang mengatur semua kehidupan masyarakat adat tidak dapat
dilepaskan dengan alam pikiran kosmis yang hidup dalam masyarakat. Ia memiliki
nilai-nilai yang mengikat hubungan antara Tuhan, alam dan manusia. Sehingga
hukum adat ini tidak semerta-merta tumbuh dan berkembang untuk mengatur
perbuatan antar manusia saja.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat adat Jurukalang, Salim Senawar
mengatakan bahwa adat Rejang diturunkan oleh Para Dewa atau Sang Hyang
untuk mengkendalikan kehidupan masyarakat di bumi ini. Jauh sebelum adat lahir,
terdapat suatu zaman yang disebut dengan Bduro Kelam. Bduro Kelam ini adalah
proses peralihan pengenalan sistem adat dengan mengenali kearifan-kearifan
tertentu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia
dengan alam dan manusia dengan Tuhan atau kepercayaan lainnya. Bduro Kelam
ini disebut juga oleh masyarakat setempat dengan zaman jahilliyah. Tidak ada
hukum yang berlaku dalam zaman ini. Sehingga, disinilah titik awal masyarakat

P a g e 1 | 20


adat Rejang mengenal adat sebagai aturan dan pedoman dalam menjalankan
kehidupan.
Sedangkan peradilan adat Masyarakat hukum adat Rejang merupakan
sebuah bentuk reaksi adat terhadap pelanggaran hukum adat yang terdapat
dibeberapa komunitas masyarakat lainnya. Masyarakat adat Jurukalang
berpendapat bahwa peradilan adat ini dilakukan untuk merawat tradisi-tradisi
kepercayaan adat agar tidak goyah dan keseimbangan dapat terwujud.
Keseimbangan yang dimaksudkan oleh masyarakat adalah bahwa apapun
bentuk kebijakan atau keputusan yang lahir dari hasil peradilan adat ini tidak boleh
memberatkan pihak mana pun. Prinsip peradilan adat Rejang ini disebutkan salah
satunya dengan So Samo Kamo Bamo, artinya prinsip dasar yang mengakui
adanya hak bersama, prinsip kekeluargaan dan mengutamakan kepentingan orang
banyak.
Kemudian dalam Adat Rejang terdapat istilah Pendok Dik Sudo Panjang Gik
Igai yang artinya bahwa masalah yang telah diselesaikan melalui peradilan adat
tidak akan menimbulkan masalah turunan, baik di dunia maupun diakhirat. Hal ini
menjamin bahwa setiap sengketa/perkara yang diselesaikan melalui peradilan adat
tersebut dapat diterima oleh setiap pihak yang bertikai dan secara tidak langsung
memberikan efek jera atau dapat dipertanggungjawabkan dimuka umum.

Keputusan hasil peradilan adat ini, selain adil juga harus
mempertimbangakan mudarat dan manfaatnya secara mendalam agar keputusan
tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau dalam istilah adatnya adalah
Betimbang Samo Benek, Bekilo Samo Kelengan. Azaz penentuan sanksi materil
terhadap suatu kasus dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi para
pihak yang bersengketa atau Mu’eak Kakane Ade, Beripit Kakea Ne Coa.
Dan dari beberapa prinsip yang umumnya dikenal dalam melaksanakan
peradilan adat Rejang ini, terdapat suatu istilah yang menjelaskan bahwa proses
penyelesaian sengketa haruslah mengikuti aturan yang telah digariskan seperti
menapaki anak tangga satu persatu, tidak boleh terburu-buru ataupun melangkahi
aturan yang ada, hal ini disebut dengan Bepatet Bekenek, Bejenjang Tu’un. Inilah
prinsip yang terdapat dalam norma dan kaidah peradilan adat Rejang yang sampai
saat ini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Rejang.
Hukum yang dianut atau dipatuhi oleh masyarakat hukum adat Rejang pada
dasarnya memiliki 3 kerangka dasar yang terjalin menjadi satu kesatuan, yaitu
pertama falsafahnya, ini menyangkut nilai-nilai yang terkandung dalam adat atau
dalam bahasa Rejang Disebut sebagai Punen Pegong Pakai. Punen Pegong Pakai
inilah yang menjadi prinsip dasar Hukum Adat yang dipegang teguh dan dipatuhi
oleh masyarakat Rejang secara keseluruhan karena nilai-nilai yang terkandung
dalam Punen Pegong Pakai tersebut tidak akan mengalami pergeseran inti makna

P a g e 2 | 20

atau sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua etika, yang mengatur nilai-nilai
yang terdapat dimasyarakat atau dalam bahasa Rejang Ireak Cao. Dan ketiga
adalah ritual/upacara yang pada hakikatnya merupakan cara-cara untuk tetap
melakukan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan Alamnya.Ini merupakan
suatu pola berpikir dan bertindak masyarakat adat Rejang untuk memberikan
tuntutan dalam melaksanakan ajaran-ajarannya.
Secara historis, sistem pemerintahan Margo dibentuk oleh Belanda yakni
yang dikenalkan oleh asisten-residen Belanda J. Walland yang dipindahtugaskan
dari Keresidenan Palembang ke Bengkulu pada tahun (1861-1865)dengan
memasukan istilah Margo ini dalam Keresidenan Bengkulu. Ia mengadakan
perubahan-perubahan secara drastis. Dimulai dengan menghapuskan kabupatenkabupaten diwilayah Bengkulu dan menggantikannya dengan Marga-marga seperti
yang dijumpainya di Keresidenan Palembang. Kemudian argumentasi
tersebutdiperkuat dengan dipaksakannya pemberlakukan undang-undang Simbur
Cahaya pada tahun 1862 untuk pengadilan Keresidenan Bengkulu yang isinya
hampir sama dengan undang-undang Simbur Cahaya yang dibuat oleh Van Bosche
pada tahun 1854 untuk wilayah Keresidenan Palembang. Undang-undang Simbur
Cahaya ini merupakan kodifikasi hukum adat Kesultanan Palembang yang
diintroduksir menjadi pedoman hukum adat yang terdapat dalam Keresidenan

Palembang. Saat itu, Lebong merupakan daerah yang masuk dalam Keresidenan
Palembang, yakni sesuai dengan Keputusan PHB dalam S.1860-30 a untuk
Rejang dan Keputusan PBH pertanggal 9 Juni 1861-14 untuk
Lebong.1Padahal menurut beberapa tokoh masyarakat adat setempat, margo
hadir jauh sebelum Belanda menjajah hukum dan wilayah adat masyarakat Rejang.
Hanya saja, penamaan margo ini berbeda-beda penyebutannya. Ada yang
menyebutkan Petulai, Depati, Banggo, dan Bang-Mego. Semua sebutan tersebut
memiliki makna yang sepadan dengan istilah/sebutan Margo. Bahwa istilah
tersebut merujuk pada kesatuan kelembagaan masyarakat hukum adat Rejang
yang mengatur lembaga, wilayah, masyarakat, serta hukum adat Rejang yang
terdapat didalamnya.2Argumen ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh William Marsden yang menyatakan bahwa dalam kesatuan masyarakat Rejang
terdapat Tribes. Tribesyang dimaksudkan adalah Petulai/Bang/Mego yang
merupakan satu kesatuan masyarakat adat Rejang yang timbul dari sistem
unilateral dengan garis keturanan yang patrilineal dan cara perkawinan yang
eksogami meskipun tersebar dimana-mana.
Sejak dihapusnya Pemerintahan Margo sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat, melalui UU No 5/1979 yang kemudian diaplikasian dalam Keputusan
Gubernur Kdh. Tingkat 1 Bengkulu 1-08/1982 maka sejak itu pula otonomi Margo
berakhir. Pertama hal ini tentu berdampak pada pranata tradisional yang hidup

1Abd Siddik. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta;1996
2Salim Senawar, Desa Suka Negeri. Hasil wawancara. Mei, 2016

P a g e 3 | 20

bersamaan dengan hukum serta masyarakat adatnya. Seluruh unsur-unsur yang
membentuk kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diintroduksikan dengan
pengaturan yang didasari oleh kriteria administrasi negara yang tentu saja
pengaturan tersebut dimuatani hanya oleh kepentingan Negara. Isu pokok yang
dibahas dalam Keputusan Gubernur Bengkulu tersebut adalah pertama,
dibubarkannya Margo. Kedua, Pasirah dan semua perangkat Margo diberhentikan
dengan hormat. Ketiga, mendefinisikan dusun, dalam eks-Margo, sebagai Desa
dalam pengertian UU No.5 tahun 1979. Keempat¸ diputuskan bahwa para mantan
Kerio/kepala Adat, Pemimpin dusun, menjabat sebagai kepala Desa sampai
diadakannya pemilihan kepala Desa sesuai dengan UU No. 5 tahun 1979. Sehingga
sistem pemerintahan Margo ini tidak berlaku lagi di dalam kehidupan masyarakat
dan tidak diakui legistimasinya oleh Negara.

3


Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, Marga dipakai
sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan diwilayah Rejang. Padahal bila
dilihat struktur masyarakat Rejang asli, mereka tidak mengenal istilah Marga,
melainkan Kuteui. Artinya dalam struktur yang berkuasa pada masyarakat Rejang
bukanlah petulai, tetapi Kuteui dengan sistem dan normanya. Jika pada mulanya
Kuteui adalah suatu masyarakat hukum adat tunggal dan geneologis, dengan
pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan dibawah pimpinan
Tuwai Kuteui, maka sekarang Kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu
masyarakat hukum adat yang territotiral dibawah kekuasaan seorang kepala
marga yang bergelar Pesirah, kepala dusun disebut Proatin/Ginde/Depati dan
semuanya takluk pada kekeuasaan Pesirah mereka masing-masing. Ginde di dusun
Pesirah disebut Pembarap. Sebagai pemimpin, Kuteuidipilih dari penduduk asli
Kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun yang diwariskan
secara turun menurun.
Dengan perkembangan selanjutnya, samakin kuatnya konsep marga maka
suatu dusun tidak lagi dihuni oleh orang Rejang, tetapi juga dihuni oleh siapa saja
yang mau menetap didaerah tersebut atas izin Pesirah. Sehingga konsep Kuteui
yang hanya didiami oleh orang asli Rejang, tidak berlaku lagi dan posisinya
semakin rendah dibawah marga. sehingga marga menjadi kesatuan territorial
pemerintahan yang terdiri dari beberapa dusun. Seorang pesirah tidak lagi harus

penduduk asli dan tidak turun temurun melainkan hasil dari pemelihan masyarakat
dalam wilayah marga tersebut.
Uniknya, peneliti menemukan dokumentasi dan informasi ritual pemilihan
Pesirah Margo Jurukalang yang dilaksanakan pada tahun 2015 lalu. Kemudian dari
hasil pemilihan tersebut, muncullah salah seorang tokoh yang bernama Maryono
sebagai Pesirah terpilih saat itu. Tujuan dilaksanakannya pemilihan pesirah
tersebut pada dasarnya merupakan bentuk ceremonial bagi masyarakat setempat
3Dedi S Adhuri. Between Village and Marga, A Choice of Structure: The Local Elites’ Behavior in
Lahat Regency, South Sumatera1. Januari, 2002.

P a g e 4 | 20

untuk menghargai sejarah dan nilai-nilai leluhur yang masih terkandung dalam
adat. Menurut informasi beberapa responden, pemilihan terakhir Pesirah adalah
pada kisaran tahun 1960-an yakni Sabirin Wahid sebagai Pesirah dari Margo
Jurukalang. Informasi lainnya yakni berdasarkan catatan pengakuan
(Acknowledgement) M.A. Jaspan dalam risetnya,Folk Literature of South Sumatra;
Redjang Ka-Ga-Nga Texts; The Australian National University Canberra;1964 yang
menyatakan rasa terimakasinya kepadaPesirah A. Sani dari Sadei Sawea, Margo
Bermani. Pesirah Hadji Amin dari Sadeui Amen, Margo Suku IX. Dan Pesirah Ali

Raman dari Tabea Da’eut margo Slupua Lebong. Ini menunjukan bahwa kedudukan
Pesirah untuk margo-margo terdokumentasikan terkakhir kali pada tahun 1964.
Setelah masuknya sistem marga, konsep Kuteui semakin memudar dan
diistilahkan dengan dusun serta merupakan bagian dari struktur marga. Padahal
pada tingkat Kuteui, segala norma, aktifitas masyarakat diatur sehingga peranan
Kuteui sangat penting bagi masyarakat Rejang, seperti pelanggaran adat yang
dikenakan denda Kuteui, dan pelaksanaan perkawinan yang diatur oleh Kuteui.
Intinya pada tingkat Kuteui-lah segala aspek kehidupan masyarakat diatur
termasuk dalam pengaturan pola pemukiman.
Berkaitan dengan hal tersebut, Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang
dan Lebong, pembagian Marga sejalan dengan pembagian Petulai. Oleh karena itu
petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan Kuteui. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kuteui, bukan Marga.
Danfakta lapangan yang peneliti temukan adalah komponen inti yang
mendukung bekerjanya Hukum Adat Rejang diwilayah penelitian yakni Margo
Jurukalang di (6 Desa), masih terbukti eksis hidup di lingkup masyarakat setempat.
Komponen inti tersebut adalah Lembaga Pembuat Aturan, Penetap Aturan dan
Pemegang Peran itu sendiri atau yang disebut dengan Kuteuiitu dalam Bahasa
Rejang.
Menurut beberapa informasi yang diperoleh, kesatuan masyarakat Rejang

dikelompokan dalam Kuteui. Pada dasarnya, sebelum adanya sistem Marga, Kuteui
ini merupakan sistem yang mengatur dan memastikan Adat dilaksanakan oleh
setiap komponen masyarakatanya. Prinsip Kuteui ini sangat penting dan memiliki
ketentuan yang sangat ketat. Dalam Kuteui, ideologi territorial dan politik
mencakup kesadaran patrilineal atau kesadaran sedarah dan seketurunan dari
warga Kuteui (anak Kuteui). Artinya yang menjadi warga kuteui adalah keturunan
langsung (hubungan darah) atau hubungan akibat perkawinan dengan keluarga
Mulo Jejai (pembuka Kuteui).
Kuteui adalah satu Masyarakat Hukum Adat Asli Rejang, yang berdiri sendiri,
bersifat geneologis dan merupakan tempat berdiamnya Jurai-Jurai, sedangkan
Petulainya adalah Patrilineal eksogam.4 Sistem kelembagaan yang pada tataran
4Siddik, Abdullah. Hukum Adat Rejang. Jakarta 1980. Hal. 109.

P a g e 5 | 20

implementasi dijalankan secara kekeluargaan dan setiap keputusan yang
bersinggungan dengan komunitas yang lebih luas sehingga mengganggu
keseimbangan komunitas Kuteui, maka setiap persoalan ini selalu
dimusyawarahkan di forum-forum adat secara bersama-sama oleh orang tua
Dusun, Cerdik Pandai, Kepala Sukau, dibawah pimpinan Tuwai Kuteui yang
berpodoman pada Hukum Adat yang ditinggalkan oleh leluhurnya yang dianggap
suci.
Kuteui ini merupakan satu-satunya unit sosial kelembagaan Masyarakat
Hukum Adat Rejang yang sampai pada saat ini masih berfungsi dalam mengatur
dan mengontrol norma-norma yang ada dan berkembang di masyarakat. Kuteui
juga mengalami pergeseran makna yang mempengaruhi keputusan yang berkaitan
dengan adat istiadat dan sistem kelembagaan masyarakat Hukum Adat Rejang
sampai pada saat ini. Kuteui ini ditemukan pertama kali ketika keturunan Para Biku
(Abdullah Siddik, 1983;32) melalukan ekspansi kekuasaan dan wilayah adatnya
dengan mendiami suatu wilayah yang saat itu dinamakan dusun atau Kuteui.
Misalnya keturunan dari Biku Bermani yang mendiami Kuteui Rukam. Kemudian
pecahan keturunan dari petulai lainnya membuka dusun-dusun baru yang
diistilahkankan dengan nama dusun atau Kuteui. Sedangkan menurut hasil
penelitian Abdullah Siddikbeliau menyatakan bahwa;
.........“Kenyataan, bahwa tidak ada satupun dusun-dusun tua itu
mempergunakan perkataan Dusun. Paling ada perkataan talang sebagai bagian
dari Kuteui. Seperti talang Leak, talang Bunut diwilayah Lebong; talang Rimbo,
talang Benih di dekat Curup di wilayah Rejang; talang-talang itu semuanya
merupakan dusun-dusun yang besar dewasa ini.”
Selain itu, sampai saat ini masyarakat masih memilih Kuteui sebagai wadah
untuk meyelesaikan konflik. Lembaga Kuteui dipilih sebagai lembaga penyelesaian
konflik karena masyarakat menilai bahwa keputusan di Kuteui lebih seimbang dan
adil ketimbang dengan lembaga pengadilan formal seperti Kepolisian, Kejaksaan
dan Hakim.
Kemudian, dalam prinsip dasar Hukum Adat Rejang atau Punen Pegong
Pakai, peneliti tidak menemukan adanya kata-kata Marga yang tercantum atau
tersebutkan didalamnya. Yang ada hanya penyebutan Kuteui. Dan dalam Punen
Pegong Pakai tersebut, beberapa istilah yang berkaitan dengan Kuteui disebutkan
sebagai berikut;
-

Jenang Kuteui, adalah perangkat peradilan adat yang terdiri daribeberapa
personalyang merupakan representatif dari struktur Pemerintahan Adat dan
memiliki kewenangan serta kapasitas untuk menjalankan sistem tata aturan
hukum adat. Jenang Kuteui ini terdiri dari enam orang yang mewakili dari

P a g e 6 | 20

empat Kepalo Sukau ditambah dengan Kepala Desa/Ginde/Kepalo Sadei serta
-

Kepala Adat.
Hok Kuteui; Taneak Tanai, Imbo Piadan, adalah ungkapan untuk menjelaskan
tata cara dalam pengelolaan sumber daya alam dalam wilaya adat yang

-

terdiri atas tanah, air dan hutan.
Mulughuk Kuteui, artinya mengumpulkan seluruh lapisan masyarakat yang

-

ada diwilayah adat untuk sesuatu yang dianggap penting
Dik nadeak anok Kuteui adeba kute tun dik ade neak do Sadei, baik si tun
setautin sadei o, awei o kulo tun teko kedong, artinya yang diaktakan
sebagai anak Kuteui adalah setiap orang yang ada dalam suatu dusun/desa,
seluruh masyarakatnya, baik mereka yang merupakan penduduk asli

-

maupun pendatang
Tip-tip Kuteui mustai ade pat sukau kentuwai Tuwai Kuteui, artinya setiap

-

Kuteui terdiri dari empat suku/clan, yang dikepalai oleh Ketua Kuteui
Tip sukau kentuwai ketuwai Sukau, artinya setiap suku diketuai oleh ketua

-

Suku
Ketuwai sukau tentep sesuwoi ngen selusua muko jijai dik made sadei o,
artinya ketua suku ditetapkan sesuai dengan riwayat orang-orang yang

-

pertamakali mendiami dusun/desa tersebut
Kundei pat kutuwai sukau dik ade neak Kuteui, tenunjuk dikup nta’iane ijai
ketuwai Kuteui., artinya dari empat ketua suku ini, ditunjuk satu orang

-

menjadi Ketua Kuteui.
Ketuwai Sukau ngen Ketuwai Kuteui adeba semanie, artinya Kepala Suku dan

-

Ketua Kuteui adalah lelaki
Maso megong ketuwai sukau ngen ketuwai Kuteui coa tekadeak,
belek/menighea, si cigai lok, kenlok anok sukau supayo genitei, artinya masa
bakti Ketua Suku dan Ketua Kuteui tak ada ketentuan kecuali, meninggal
dunia, tidak mau lagi, atau diinginkan pergantian oleh anak Kuteui.

Dari berbagai macam fakta dan argumentasi diatas, dapat disimpulkan
bahwa Kuteui merupakan lembaga murni yang lahir sebagai ide dan gagasan
masyarakat adat Rejang yang kemudian diakui keberadaanyan secara sosial dan
dilegistimasikan dalam hukum adat Rejang itu sendiri. Meskipun mengalami
beberpa kali pergeseran secara politik, Kuteui ini tetap tidak terbantahkan
kehadirannya dan dibutuhkan demi menjaga keseimbangan adat Rejang.

Struktur Pemerintahan Margo
Bagan 1
MARGO PESIRAH

DEWAN MARGO

JURU TULIS
PEMBARAP

P a g e 7 | 20

KEPALO SUKAU

KUTEUI TUWAI KUTEUI

KEPALO SUKAU

KEPALO SUKAU

KEPALO SUKAU

KEPALO SUKAU

KLAN KELUARGA PATRIAKI

CERDIK PANDAI, ALIM ULAMA, DUKUN, TUKANG

Strutur Pemerintahan Desa
Struktur Desa Talang Donok I; Monografi Desa 2013

BPD

KEPALA DESA

SEKRETARIS DESA
KETUA

WAKIL KETUA

KAUR
PEMERINTA

KAUR
UMUM

KAUR
PEMBANGUNA
N

ANGGOTA
KADUS I

KADUS II

KADUS III

LINMAS

Struktur Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Rejang
Kuteui adalah lembaga otonomi asli Suku Bangsa Rejang, yaitu otonomi yang
muncul dari kelahiran Kuteui itu sendiri. Kuteui memiliki hak atau kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus warganya, sehinga segala kepentingannya dapat
dipertemukan. Untuk membuktikan otonomi asli Kuteui tersebut, adalah :
1. Otonomi dibidang kelembagaan, yakni kekuasaan Kuteui dalam
mengorganisir kehidupan warganya, seperti membentuk aturan dan
menetapkan hak serta kewajiban warganya
P a g e 8 | 20

2. Otonomi dalam bidang sosial dan ekonomi, yaitu mengatur dan
mengelola harto pusako Adat
Sebagai lembaga tradisional adat, Kuteui, selain unit teritorial juga
merupakan sebuah unit politik yang mengatur hubungan sesama warganya dan
hubungan dengan Kuteuilain. Sistem pemerintahan dijalankan secara kekeluargaan
dan demokratis.Segala keputusan selalu diambil atas dasar musyawarah dengan
para tuwai sukau (ketua suku).Dengan demikian tuwai Kuteui tidak berhak
mengubah, mengurangi, atau menambah hukum adat yang sudah ada atau yang
sudah berlaku tanpa persetujuan dengan para ketua suku.
Struktur kelembagaan Adat dan Desa di wilayah penelitian ini sangat
bervariasi. Perbedaan variasi kedua lembaga tersebut bergantung pada
persekutuan hukum yang berlaku dalam masyarakatnya. Pada dasarnya, ada dua
faktor utama yang menjadi dasar pengikat dari anggota kelompok masyarakat
adat Rejang yakni faktor genealogis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah).
Berdasarkan dua faktor pengikat itu, maka persekutuan hukum dapat dibedakan
menjadi 3 tipe pokok, yaitu pertama, Persekutuan hukum Genealogis. Kedua,
Persekutuan hukum Teritorial dan ketiga persekutuan hukum genealogis-teritorial.5
Persekutuan hukum genealogis adalah persekutuan hukum dimana dasar
pengikat utama anggota kelompok masyarakat adalah persamaan keturunan.
Untuk masyarakat hukum adat Rejang, jenis persekutuan ini dikenal dengan Kuteui
dengan garis keturunan yang patrlineal. Namun sebenarnya Kuteui bukanlah
sebuah lembaga struktural, melainkan sebuah sistem yang mengatur masyarakat
yang berada dibawah wilayahnya atau tempat bernaungnya para Jurai-jurai.
6

Pemimpin pada masa ini adalah seorang Kepala Adat/Sukau yang memiliki

keturunan dari para Mulo Jejai (Pembuka Kuteui). Kemudian Kuteui ini berkembang
sesuai dengan kebutuhan untuk mempermudah alur koordinasi antara KuteuiKuteui yang saat itu bersebaran dimana-mana dengan membagikan wilayah
berdasarkan hasil musyawarah para Biku yang kemudian dikenal dengan sistem
Petulai/Banggo. Tujuan dibentuknya Petulai adalah sebagai wadah untuk
mengakomodir kepentingan anggota/kelompok masyarakat dan aturan serta
keputusan dalam batas-batas wilayah adat masyarakatnya. Pada masa Petulai ini
dipimpin oleh Depati atau Rajo.
Persekutuan hukum teritorial adalah persekutuan hukum yang dasar
pengikat anggota-anggota masyarakatnya adalah karena adanya ikatan pada
tempat tinggal yang sama atau menjalani kehidupannya di wilayah yang sama.
Persekutuan hukum ini berlaku di Rejang pada Era kolonialsasi Belanda yakni
dengan sebutan Margo. Pemimpin Margo ini disebut dengan Pesirah. Di Kabupaten
Lebong sendiri terdapat lima Margo yang dibentuk pada tahun 1860-an, kelima
5I Dewa Made Suartha, Hukum dan Sanksi Adat. (Malang: Setara Press, 2015), 172
6Hasil wawancara dengan Erwin Basrin, 2016-06-21

P a g e 9 | 20

margo tersebut adalah Jurukalang, Tubei, Bermani, margo suku IX dan margo suku
VIII. Munculnya margo ini memarjinalkan posisi serta peran Kuteui dalam politik
kelembagaan adat. Meskipun beberapa hal penting seperti pengaturan tentang
wilayah, peradilan dalam penyelesaian konflik dan hak serta kewajiban warganya
diatur oleh Kuteui dan tidak boleh dipindahtangakan karena hal tersebut telah
tertera dalam hukum adat Rejang. Beberapa asumsi tentang margo ini salah
satunya adalah bahwa sistem Margo ini merupakan intervensi wilayah adat Rejang
oleh Penjajah (Belanda) untuk mengontrol dan menguasai lahan serta sumber
daya alam milik adat.
Persekutuan hukum genealogis-teritorial adalah persekutuan hukum yang
dasar pengikatnya adalah karena adanya kesamaan baik pada faktor genealogis
maupun teritorial. Dalam masyarakat hukum adat Rejang, jenis persekutuan
hukum ini mengembalikan posisi Margo yang saat itu berkuasa, kembali pada
sistem Kuteui. Setelah dihapusnya sistem Margo, maka kewenangan dan
kekusasan terkait persoalan adat jatuh kepada Tuwai Kuteui. Tuwai Kuteui ini
muncul karena kebutuhan politik kuasa untuk menggantikan posisi dan peran
Pesirah yang dulunya memimpin Margo-Margo. Dan dari sinilah otonomi Kuteui
kembali menguat kemudian berubah menjadi sebuah lembaga adat tradisional
yang memegang peran untuk menjaga dan mengendalikan keseimbangan antara
masyarakat, lembaga dan hukum adat yang dipatuhi oleh masyarakat yang
dipimpin oleh Tuwai Kuteui.7
Kondisi Desa dan Kuteui saat ini saling mendukung dan melengkapi satu
sama lain. Pemerintahan Desa mengurus hal-hal administratif yang berkaitan
dengan kepentingan negara. Sedangkan pemerintahan Kuteui berjalan sebagai
lembaga yang mengurus persoalan yang berkaitan dengan adat yang diatur dalam
Hukum Adat Rejang khusunya sebagai lembaga penyelesaian sengketa.

Hukum dan Peradilan Adat Rejang
Keberadaan peradilan adat di tanah Rejang sudah berlangsung untuk kurun
waktu yang cukup lama, jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Rejang
dimulai ketika zaman Ajai dan Bikau, negeri yang terletak disepanjang Bukit
Barisan ini penduduknya sudah lama melaksanakan tata tertib peradilannya
menurut hukum adat. Pada masa penjajahan peradilan adat tetap bertahan
sebagai suatu bentuk peradilan “orang asli” berhadapan dengan peradilan
“gouvernement rechtsspraak” terutama di daerah-daerah yang dikuasai oleh
Belanda, tetapi ada pengakuan dari Pemerintahan Belanda terhadap peradilan
adat, pengakuan ini dilakukan secara berbeda dengan landasan hukumnya
masing-masing. Setelah Indonesia merdeka peradilan adat ini menjadi tidak
berdaya setelah disyahkannya UU Darurat No 1 Tahun 1950 yang menghapus
7Hasil wawancara dengan Erwin Basrin, (Bengkulu, Juni;2016)

P a g e 1 0 | 20

beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan atau menghapus
secara berangsur-angsur peradilan swapraja di beberapa daerah dan semua
peradilan adatnya.8
Secara sosiologispun aspek hukum dan peradilan adat dalam kehidupan
masyarakat Rejang di pandang sebagai penjaga keseimbangan, keseimbangan
yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat dan
antar masyarakat dengan alam.Karena itu peradilan di pandang sebagai media
penjaga keseimbangan daripada sebuah institusi pemberi dan penjamin keadilan
sebagaimana yang dipahami dalam hukum modern atau hukum positif.Dalam
kerangka inilah masyarakat hukum adat Rejang memandang hukum adat sebagai
salah satu dari tiga unsurepenjaga keseimbangan disamping hukum negara
(pemerintah) dan hukum agama.
Dalam sejarah Adat Rejang proses Hukum meliputi semua aspek kehidupan
warganya yang tidak hanya mengatur sangsi tetapi lebih jauh mengatur hak dan
kewajiban baik dengan sesama warga komunitas maupun dengan kepercayaan
tertentu yang biasanya bersifat magis, dengan demikian Hukum Adat yang
terdapat di Jurukalang merupakan alam pikiran tradisional yang umumnya bersifat
kosmis dan totaliter tidak ada pemisahan dari berbagai macam larangan hidup,
tidak ada pemisahan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan
antar manusia dengan makluk lainnya, segala sesuatu bercampur baur,
bersangkut paut dan saling berpengaruhi yang paling penting jika dilihat lebih jauh
di Jurukalang hukum adat adalah manisfestasi dari keseimbangan, keselarasan,
keserasian (evenwicht), segala yang mengangu keseimbangan tersebut
merupakan pelangaran Hukum.

9

Patokan-patokan umum dalam sistem Hukum Adat di Rejang mengacu pada;

1. Adat Sejati, yang disebut dengan Adat sejati adalah Adat peninggalan nenek
moyang atau leluhur yang sering dikatan tidak lapuk kena hujan dan tidak
lekang karena panas adalah Adat yang memahat sepanjang garis, bertarah di
dalam sifat, bertanam di dalam pagar berjalan di hati jalan dan berkata dalam
Adat
2. Adat yang diadatkan adalah Adat tambahan pada sejati Adat baik yang
merupakan suatu peraturan dari Tuai Kuteui merupakan hasil kesepakatan dan
musyawarah dalam Kuteui maupun kebiasan tertentu yang sudah menjadi Adat
yang teradat, seperti berbagi sama banyak, bermuka sama terang dan
bertanak di dalam periuk, bersumpah bersemanyo, berjanji bersetio dan yang
terpenting adalah kalah Adat karena janji.

8http://amarta.wordpress.com/2007/11/14/hello-world/
9Erwin Basrin, Jurukalang Tanah yang Terlupakan. 2014

P a g e 1 1 | 20

Kebiasan hukum adat adalah tidak tertulis begitu juga bagi masyarakat
hukumAdat Rejang. Hukum Adat ini juga tidak tertulis, sehingga pada tahun 1862
Van Bossche menetapkan aturan tertulis kemudian disebut dengan UndangUndang Simbur Cahayo, ada beberapa persoalan dari Undang-Undang Simbur
Cahayo ini sehingga tahun 1866 Asisten Resident A. Pruys Van Der Hoevan
meminta pendapat para Kepala Marga ternyata banyak sekali yang tidak sesuai
dengan dengan Hukum Adat Rejang yang berlaku karena itu banyak dilakukan
perubahan-perubahan.
Dalam penyelesaian sebuah kasus biasanya tata aturan yang dimaksud di
atas hanya sebagai referency dimana keputusan Adat di pegang oleh Tuai Kuteui
yang merupakan hasil musyawarah dari masing-masing Kepala Sukau yang pada
kasus tertentu yang menimpa warga Sukaunya bertindak sebagai Pembela. Ayam
kumbang terbang malam hingap di kayu rimbunan tidak bekas naik dan tidak pula
bekas turun tidak bertali jangan ditarik, tidak bertangkai jangan dijinjing, jika
ditarik panjang, jika dilerai cabik danayam putih terbang siang hinggap di kayu
kerangasan, berjejak naik, berbekas turun, terang dan nyata namanya terang
bersalah merupakan pepatah Adat untuk menyebut istilah praduga tidak bersalah
sebelum semuanya di tetapkannya status hukun yang bersengketa.10
Perdamaian Adat disebut dengan Mulo Bangun atau Mulo Tepung, sehingga
dalam pelaksanaannya adalah meletakkan, menentukan dan melaksanakannya
atau di istilahkan Mengipar Sayap Menukat Paruh yang artinya menyangupi
membayar atau beban yang ditimpahkan. Ada beberapa hal pokok dalam sistem
Hukum Adat Rejang, antara lain;

1. Membunuh membangun
2. Salah Berhutang
3. Gawal Mati
4. Melukai menepung
5. Selang Berpulang
6. Suarang Bagiak
7. Sumbing Titip, Patah Berkipal
8. Kalah Adat Karena Janji
9. Pemberian Habis Saja
10.

Buruk Puar Aling Jelupuh, Patah Tumbuh Hilang Berganti

Sementara untuk delik pidana adat sering dikenal dengan iram berdarah (kasus
yang mengelurkan darah) dan iram tiado berdarah (tidak mengelurkan darah),
Bayar bangun untuk kasus yang meghilangkan nyawa seseorang dan cepalo untuk
penyebutan kasus-kasus asusila, dalam pelaksanaan hukum adat ini peran ketua
Sukau sering bertindak sebagai pembela terhadap komunitas atau clan-nya proses
10Abdullah Sani. Jurai adat Rejang.1983

P a g e 1 2 | 20

penetapan hukum adat dimana sangsi sosial sangat dominant biasanya diputuskan
oleh Kepala Kuteui atau Ketua Adat setelah proses peradilan atau damai adat
dilakukan dengan meminta pendapat dari elemen kampong seperti cerdik pandai,
alim ulama, dukun, tukang, ini menunjukan penyelesian kasus yang holistic
melibatkan para pihak dalam menuju keseimbangan akibat dari suatu cepalo yang
dilakukan seseorang dan berdampak kepada semua elemen yang ada di komunitas
tersebut, bukti penyelesaian kasus dan penetapan hasil damai desa adalah sirih
dan pinang yang disertai dengan serawo dan melaksanakan Tepung Setawar.11
Praktek-praktek pelaksaan penyelesaian adat yang biasa dilakukan oleh
masyarakat hukum adat Rejang, secara umum di atur sebagai berikut;12

1. Masyarakat Adat Jang adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system
unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system
garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya
yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana
2. Kuteui adalah salah satu kesatuan Hukum masyarakat Adat asli Jang yang
berdiri sendiri, genelogis dan tempat berdiamnya jurai-Jurai atau suku-suku
3. Hukum adat Jang adalah norma yang tumbuh dan berkembang serta dipatuhi
dan mengikat masyarakat adat Jang dalam satu kesatuan wilayah hukum adat
Jang, didalamnya mengandung nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong,
musyawarah, mufakat, kepatutan, magis, religius, arif dan bijaksana dalam
menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul di batas-batas wilayah hukum
adat Jang
4. Peradilan Adat Jang adalah mekanisme penyelesaian sengketa dalam
masyarakat adat Rejang menciptakan keseimbangan dan mendorong
memberikan daya Koersif kepada warga supaya mau tunduk pada aturan yang
hidup dalam masyarakat tersebut.
5. Kelpiak Ukum Adat adalah kumpulan dokumen yang berisikan tentang tata
aturan penyelesaian sengketa adat yang terjadi di satu kesatuan wilayah
hukum adat Jang
6. Jenang Kuteui adalah perangkat peradilan adat yang teridiri dari beberapa
personal yang merupakan representatif dari struktur pemerintahan adat Jang
dan memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menjalankan sistem tata aturan
hukum adat
7. Tempat Penyelesaian sengketa dilaksanakan di wilayah hukum adat Jang
dimana terjadi perselisihan atau persengketaan atau tempat terjadinya perkara
adat

11Aliansi Masyarakat Adat Rejang Topos Pat Petulai (AMARTA). Laporan Proses
SimulasiPeradilanAdat di DesaTalangDonok. 2007
12Akar Foundation-HuMA. Laporan proses Konsultasi Publik Draf Ranperda Peradilan Adat. 2013

P a g e 1 3 | 20

Dalam pelaksanaan dan penyelesaian konflik adat, hukum adat Rejang
mengenal azaz hukum sebagai berikut;13

1. Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah berarti ; Adat yang
berdasarkan Hukum Agama atau Adat yang berlaku dalam komunal adat
sebagai mana yang dimaksud.
2. Adat Coa Melkang Keno Panes, Coa Mobok Nukoi Ujen adalah kiasan berisikan
nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang yang berlaku tetap dan
tegas dalam kondisi apapun.
3. Saleak Cong Bepapet adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai
masyarakat adat Jang untuk pemulihan kondisi keseimbangan atas perselisihan
atau persengketaan atau terjadinya perkara adat di dalam wilayah hukum adat
Jang.
4. Adat Aleak Nukoi Janjai adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai
masyarakat adat Jang untuk menyatakan bahwa adat terikat oleh sistem
perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak.
5. Saleak Kunuak Tebangun adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang
pakai masyarakat adat Jang untuk menyatakan akibat perbuatan
menghilangkan nyawa seseorang maka diwajibkan diwajibkan untuk membayar
denda yang disebut ”Bangun” dan terdiri dari:
a. Bangun Mayo, yaitu bila seseorang meninggal atas perbuatan orang lain
yang memang telah direncanakan
b. Bangun Penuak (penuh), yaitu seorang yang meninggal dunia sebagai akibat
perbuatan seseorang yang sebelumnya tidak direncanakan
c. Bangun Soa atau Bangun Sesalan (penyesalan), sesorang yang meninggal
dunia yang memang tidak di kehendaki atau diluar kemampuan pelaku dan
masih mempunyai hubungan kekerabatan diantara keduanya.
6. Piawang Mecuak Timbo, Nukum Lipet adalah kondisi pelangaran adat yang
dilakukan oleh orang yang terhormat karena memiliki kedudukan dan tanggung
jawab didalam struktur adat Jang atau struktur pemerintahan dan perangkat
agama maka sangsi yang dikenakan adalah Sanksi Lipat dari kutentuan sanksi
bila dilakukan oleh masyarakat biasa.
7. Tepung Setabea adalah seperangkat perlengkapan yang digunakan untuk
mengembalikan keadaan kesehatan seseorang yang terdiri dari: daun sergayu
atau daun sedingin, daun sirih, daun kundur, diikat menjadi satu dan diletakan
dalam mangkuk lalu diberi air kemudian kita percikkan pada seseorang yang
habis berkelahi atau dalam keadaan sadar ataupun telah siuman dari pingsan
demikian juga orang yang masih dalam keadaan pingsan.

13Akar Foundation-HuMA. Draf kluster Hukum Adat. 2013

P a g e 1 4 | 20

8. Selengan-Lengan Dendo Adeba Iben Desaghen Sebenek-Benek Dendo Adeba
Bangun Mayo adalah kiasan yang menyatakan bahwa Setiap perbuatan yang
melaggar adat atau melanggar hukum adat, sudah pasti mereka yang
melanggarnya akan mendapat sanksi yang berupa :
1. Sanksi yang paling ringan adalah Iben Desaghen atau seperangkat sirih
yang berjumlah tujuh atau sembilan lembar daun sirih, dilipat memanjang,
diikat dengan benang tiga warna, ditambah dengan perlengkapan sirih
lainnya dan dimasukkan dalam SELUP (bakul kecil).
2. Sanksi yang tertinggi dalam menyelesaikan suatu persoalan yang dapat
diberikan oleh jenang Kuteui adalah Bangun Mayo atau denda adat apabila
ada seseorang meninggal akibat perbuatan orang lain yang memang sudah
direncanakan sebelumnya.
9. Benek Mbeak Temambeak Lengan Mbeak Mapoi adalah kiasan untuk acuan
bertindak yang mempunyai Pengertian sesuatu yang berat jangan tambahkan
bebannya dan yang ringan janganlah dianggap enteng.
10.

Neak Ipe Bumai Nelat Diba Lenget JenunjungPernyataan ini mengandung

pengertian bahwa dimana kita berada, kita harus mengikuti, melaksanakan dan
menghargai serta mendahulukan adat istiadat masyarakat ditempat kita
tinggal.
11.

Kecek Menepat, Janjai Menughau, Menginjem Mengelek, Utang Mengasen,

Mengelai Abis Bae, Bepanuo Neak Atai Dalen, Betareak Ngen Maet Lem
Ga’isungkapkan ini mengandung pengertian:
1. Kata-kata yang pernah ucapkan harus kita tepati.
2. Janji yang pernah dibuat atau sepakati harus kita penuhi.
3. Kalau meminjam sesuatu wajib kembalikan.
4. Kalau berhutang wajib membayar hutang tersebut.
5. Kalau memberikan sesuatu kepada seseorang, maka menyatakan apa yang
kita beri tersebut habis dan tidak boleh memintanya kembali.
6. Kalau mengerjakan sesuatu yang diumpamakan berjalan, maka berjalan
harus pada jalan yang benar.
7. Kalau kita memahat dan bertara harus mempedomani garis yang ada.

SIMULASI PERADILAN ADAT MARGO JURUKALANG

P a g e 1 5 | 20

Prinsip
Pertama, mekanisme peradilan adat ini berlaku untuk menyelesaiakan semua
sengketa/konflik yang terjadi didalam atau dibatas-batas wilayah hukum adat
Margo Jurukalang. Harus dipahami bahwa tugas dan kewenangan margo meliputi
kewenangan peradilan, kewenangan kepolisian/keamanan, hak ulayat serta
pengelolaan sumber daya alamnya. Ini artinya, siapapun yang berada dalam
wilayah adat margo Jurukalang, wajib patuh terhadap aturan yang telah dibuat
oleh Margo.
Kedua, Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah, artinya hukum adat tidak
boleh bertentangan dengan hukum agama.
Ketiga, salah satu peserta yang hadir menyatakan bahwa semua masyarakat Adat
Jurukalang mesti tahu bahwa prinsip pertama dalam penyelesaian sengketa adalah
“Adat Aleak Nukoi Janjai” Adat kalah karena janji, artinya jika para pihak yang
bersengketa telah melakukan janji, maka janji tersebutlah yangharus disepakati.
Keempat, masalah yang telah diselesaikan melalui peradilan adat tidak akan
menimbulkan masalah turunan baik didunia maupun diakherat.
Kelima, bahwa azas penetuan sangsi materil terhadap suatu kasus harus dengan
mempertimbangkan kemampuan ekonomi para pihak yang bersengketa.
Keenam, proses penyelesaian sengketa haruslah mengikuti aturan yang telah
digariskan yakni “bejenjang kenek, betanggo tu’un” artinya tidak boleh terburuburu ataupun melangkahi aturan yang ada.

Jenis Sengketa
1. Pidana, meliputi; pencurian, pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan, dll
2. Perdata, meliputi; KDRT, kawin-cerai, hak waris, dll

Proses
Proses penyelesaain sengketa yang dilaksanakan saat ini tidak jauh berbeda
dengan proses penyelesaian yang terjadi sebelum dibubarkannya Margo. Hanya
saja saat ini keputusan tertinggi dalam peradilan adat tersebut disahkan oleh
Kepala Desa dimana persengketaan itu terjadi.
Pada umunya proses penyelesaian suatu kasus menggambarkan proses resolusi
sengketa yang sering digunakan, seperti berikut :
1. Untuk kasus tertentu biasanya kepala desa menggunakan intuisinya dalam
menilik suatu perkara (mendengarkan berita burung dsbg..)
2. Keluhan/keberatan diterima dalam bentuk tertulis, atau lebih sering lisan.

P a g e 1 6 | 20

3. Pencarian fakta; mediator yang dalam hal ini adalah Kepala Desa/Kepala
Dusun, mendiskusikan kasus secara terpisah dengan pihak yang
bersengketa, saksi mata, dan tokoh masyarakat dari wilayah tinggal mereka
(dusun)
4. Pertibangan fakta kasus; bisa dilakukan sendirian (antara Kepala Desa
dengan pihak yang bersengketa), bersama hakim Adat atau dalam
musyawarah berbagai pihak.
5. Mediasi; mediator mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk
mencoba menengahi, atau menyampaikan saran penyelesaian dan/atau
sanksi yang berdasaarkan pada prinsip hukum adat.
6. Kesepakatan atau penolakan; pihak yang bertikai bisa menerima dan
menolak penyelesaian yang ditawarkan. Kesepakatan terkadang disertai
dengan intimidasi/ancaman, keinginan untuk menghindari sistem hukum
formal atau ketakutan terhadap kemungkinan balas dendam. Jika
kesepakatan penyelesaian sengketa tidak tercapai, mereka beralih
kemediator lain dengan membawa kasus ke hukum formal atau
menghentikan tuntutanya.
7. Penerapan; kesepakatan seringkali dalam bentuk tertulis dan ditandatangi.
Hal ini memperkuat tekanan dalam penerapanya. Keterlibatan masyarakat
dalam proses penyelesaian sengketa bisa menjadi faktor tambahan sebagai
sanksi sosial. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pelaksanaan kesepakatan
ini bergantungan pada kemauan dan kondisi para pihak yang bersengketa.
Meskipun secara umum prosedur ini sering digunakan dalam upaya
penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat, namun tentu saja terdapat
variasi terkait standar prosedurnya yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku
pada masing-masing wilayah adatnya. Atau dalam kasus ini, terjadi perbedaan
antara alur dan proses peradilan adat sebelum diberlakukanyan UU No 5 Th 197914
dan setelahnya. Maka berikut tata cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam
simulasi peradilan adat Margo Jurukalang pada tanggal 21 April 2016 lalu;
Kasus pencurian ini terjadi diantara Pak Erwan (sang pemilik kebun) dan Pak
Shamir (tetangga satu Dusun Pak Erwan) di Desa Talang Donok 1. Beberapa
penduduk Desa Talang Donok saat itu tengah menikmati masa panen kopi.
Kecuali Pak Shamir, ia hanya bermata pencaharian sebagai buruh tani. Sehingga
penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang saat
itu sangat terpuruk.
Suatu hari pak Shamir sedang berjalan melawati kebun Pak Erwan. Dipondoknya
yang ditengah kebun, Pak Erwan meninggalkan dua karung beras kopi yang
sengaja dia tinggalkan, karena terlalu berat jika diangkut sendiri kerumah. Pak
Shamir yang saat itu sedang melewati kebunnya, terpaksa mengambil 1 karung
beras kopi tersebut dan membawanya kerumah. Saat Pak Shamir mengambil
karung beras kopi tersebut, dia tidak sadar bahwa ada beberapa orang yang
melihat aksinya saat itu.
Beberapa orang yang saat itu melihat aksi Pak Shamir, langsung melaporkannya
kepada Pak Erwan. Mendengar laporan yang disampaikan masyarakat tersebut,
Contoh kasus : Pencurian beras Kopi di Kebun Warga
14http://rahabillah.wordpress.com/author/rahabillah. 2008

P a g e 1 7 | 20

Penyelesaian sengketa;
1.
2.
3.
4.

Kepala Desa menilik kasus tersebut melalui kabar burung
Korban melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Dusun
Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa
Kepala Desa memanggil orang yang dituduhkan sebagai pelaku pencurian

dan meminta penjelasan pelaku,
5. Kepala Desa memanggil korban pencurian dan meminta keterangan
6. Kepala Desa mengundang para pihak yang bertikai tersebut dan bersamasama perangkat Desa serta Kepala Dusun masing-masing pihak bertikai
untuk menetapkan opsi keputusan terhadap kasus yang terjadi
7. Keputusannya selanjutnya adalah menyelesaikan sengketa melalui peradilan
adat
Tertib beracara peradilan adat;
Peradilan adat dapat berlangsung jika dihadiri oleh :
1. Perangkat peradilan adat terdiri dari 6 orang Jenang Kuteui
2. Kedua belah pihak yang bersengketa
3. Saksi-saksi yang hadir terdiri dari saksi para pihak yang berperkara, saksi
ahli
Tahapan sidang;
1. Kepala Desa membacakan duduk permasalahan kasus
2. Mendengarkan tuntutan dan keberatan atas sengketa yang terjadi melalui
pihak korban terlebih dahulu kemudian dilanjutkan oleh pihak yang tertuduh
3. Mendengarkan keterangan para saksi
4. Musyawarah Jenang Kuteui untuk menganalisis/menelaah masalah yang
terjadi
5. Penetapan keputusan atau vonis oleh Jenang Kuteui atas sengketa atau
permasalahan yang sedang berlangsung
Ketetapan hasil keputusan;
1. Kedua belah pihak wajib menjujung tinggi dan mematuhi segala macam
bentuk hasil yang telah diputuskan Jenang Kuteui dalam peradilan adat.
2. Ketua Sukau/Kepala Dusun/Kepala Desa berkewajiban untuk memastikan dan
mengawasi jalannya hasil keputusan Jenang Kuteui terhadap para pihak yang
bersengketa
3. Jika pihak yang bersengketa mangkir dari hasil keputusan peradilan adat
maka Kepala Desa berwenang untuk mengambil tindakan tegas sesuai
dengan tata atiran adat yang berlaku
Setelah penetapan hasil keputusan, maka ada ritual Tepung Tawar sebagai bentuk
pemutihan atau yang mereka/masyarakat setempat sebut adalah cara untuk
mengharmonisasikan kembali kekeadaan sebelum terjadinya perkara. Menurut
Tokoh masyarakat adat setempat, Tepung Tawar tersebut berisikan Air Beras yang
P a g e 1 8 | 20

dituangkan dalam mangkok, ditambah dengan Sergayau, kunyit, daun
perenggi/labu. Kemudian dipercikan pada kedua telapak tangan para pihak yang
bertikai, hal tersebut untuk memastikan bahwa tidak boleh ada dendam antara
kedua belah pihak yang tadinya bertikai.
Field notes : Pada hari dimana acara simulasi peradilan adat dimulai, Kepala Desa
Tanjung Bajok sedang melakukan proses penyelesaian sengketa yang terjadi
dianatara masyarakatnya. Siang itu, hari Sabtu pukul 13.30 di kediaman rumah
Kepala desa Tanjung Bajok, tengah terjadi proses penyelesaian sengketa. Kasus yang
saat itu tengah terjadi adalah pengancaman yang dilalukan antara menantu dengan
mertuanya dengan senjata tajam. Ternyata, proses penyelesaain sengketa yang
dilaksanakan dikediaman Kepala desa Tanjung Bajok saat itu merupakan proses
penyelesaian tahap 3, yakni pembacaan hasil keputusan sangsi yang diterapkan oleh
Majelis/Hakim adat. Sebelumnya, proses penyelesaian sengketa tahap 1 dilakukan
pada pagi hari saat pihak yang bersangkutan melaporkan kejadian tersebut kepada
Kepala Desa. Karena menurut Kepala Desa kasus tersebut sangat genting, maka
tahap kedua proses penyelesaian sengketa langsung dilaksanakan dengan malakukan
musyawarah antara para pihak yang bertikai, Kepala Desa dan Tuwai Kuteui. Dalam
tahap kedua tersebut, Tuwai Kuteui dan BMA yang menjadi Hakim Adat,
mendengarkan duduk perkara kasus dari masing-masing pihak yang bertikai. Tahap
selanjutnya yaitu tahap ketiga adalah jeda sementara waktu untuk Hakim Adat dan
Kepala Desa menganalisis perkara dan menetapkan sangsi yang tepat untuk pelaku
kasus tersebut. Sementara itu, para ibu-ibu baik itu dari pihak yang bertikai maupun
masyarakat yang hadir dalam sidang tersebut melakukan ritual Masak Serawo yang
menjadi simbol bahwa permasalahan tersebut dapat diselesaikan saat itu juga. Tahap
terakhir yakni pembacaan hasil putusan sidang yang dibacakan oleh Tuwai Kuteui
kepada pihak yang bertikai dengan disaksikan oleh masyarakat yang hadir dalam
sidang tersebut. Setelah pembacaan hasil keputusan itu selesai, acara selanjutnya
yaitu pembacaan doa yang pimpin oleh Alim Ulama dan kedua belah pihak yang
bertikai saling memaafkan. Proses penutupan sidang peradilan adat ditutup juga
dengan acara Makan Serawo dan Tepung Tawar sebagai penanda bahwa acara
peradilan adat telah selesai dan diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai.
Nb; proses penyelesaian sengketa yang terjadi diatas berlangsung dalam waktu kurang dari

P a g e 1 9 | 20