Perempuan diantara Reformasi Ekonomi dan

Perempuan diantara Reformasi Politik dan Reformasi Ekonomi: Peluang
Peningkatan Keterwakilan Politik Perempuan melalui Partisipasi Kerja12

Abstraksi
Banyak fenomena yang muncul dari konteks transisi demokrasi dimana perempuan
ternyata tertinggal baik dalam sektor ekonomi maupun politik. Indikator kesejahteraan di
beberapa negara memperlihatkan kondisi perempuan yang semakin terpuruk karena
pilihan-pilihan reformasi politik dan ekonomi yang tidak berpihak pada perempuan. Dalam
hal ketenaga kerjaan, ketidak setaraan gender juga sangat terlihat.. Untuk konteks transisi
dan reformasi yang terjadi di Indonesia, bagaimanakah sebetulnya wacana perempuan
berelasi terhadap reformasi ekonomi dan reformasi politik yang terjadi selama periode
transisi? Apakah reformasi politik dan reformasi ekonomi yang mengarah pada kebebasan
pasar sudah memberikan peluang emansipasi dan peningkatan kesejahteraan perempuan?
Paper ini mencoba mengeksplorasi beberapa analisis atas sejumlah pertanyaan di atas.
Penekanan utama dalam paper ini lebih diberikan dalam hal kerangka analisis, dengan
konteks nasional ataupun lokal yang bisa dicoba aplikasikan. Lebih lanjut paper ini
mengusulkan alternatif pandang bagi upaya peningkatan keterwakilan politik perempuan
melalui peningkatan partisipasi kerja perempuan terutama di sektor formal. Dua variabel
ini, keterwakilan politik dan partisipasi kerja perempuan, merupakan dua indikator yang
paling umum dirujuk untuk mengukur sejauh mana kesejahteraan perempuan dan
kesetaraan gender telah tercapai di suatu negara.


Pendahuluan
Dalam kajian tentang transisi demokrasi yang berkembang beberapa dekade
terakhir, reformasi ekonomi dan reformasi politik demokratis merupakan dua hal yang
dinilai berkontribusi terhadap transisi dari rezim otoritarian menuju demokrasi di sebuah
negara. Persoalan peningkatan kehidupan perempuan di negara-negara bertransisi ini
kemudian seringkali secara dikotomis ditempatkan dalam dua wilayah ini. Tidak heran jika
kemudian ada pertanyaan: apakah kapitalisme atau demokrasi yang lebih penting bagi
perempuan?
Michael D. Stroup (2008) mencoba menguji pertanyaan tersebut dengan mengukur
beberapa indikator seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan
perempuan beberapa negara di dunia. Stroup menggunakan indikator kebebasan ekonomi
dari Fraser Institute s Economic Freedom )ndex EF) di lebih dari
negara di dunia
sejak tahun 1975, serta indeks hak-hak politik dari Freedom House (PRI),. Ia
menyimpulkan bahwa reformasi institusional yang mengarahkan perekonomian ke arah
kapitalisme memiliki pengaruh peningkatan kesejahteraan perempuan dibandingkan
dengan reformasi politik yang meningkatkan partisipasi perempuan di posis pengambilan

1

2

Paper untuk dipresentasikan pada Konferensi Demokrasi dan Tirani Modal, FISIP UI, 6 Agustus 2008
Paper ini pernah dimuat di Jurnal Politik, Universitas Indonesia, Oktober 2011.

1

keputusan.3 Hal itu menandakan bahwa kapitalisme lebih baik untuk perempuan daripada
demokrasi.
Banyak fenomena yang muncul dari konteks transisi demokrasi dimana perempuan
ternyata tertinggal baik dalam sektor ekonomi maupun politik. Misalnya saja negaranegara bekas komunis di Eropa Tengah dan Timur yang menjalankan transisi dan
konsolidasi demokrasi dengan menyisakan sejumlah pertanyaan tentang kesetaraan dan
keadilan bagi perempuan. Perempuan bukan saja dihadapkan pada kemunculan
nasionalisme sempit, tetapi mereka juga dihadapkan pada persoalan globalisasi dan
liberalisasi. Transisi memunculkan bentuk demokrasi yang maskulin, dimana sistem dan
kebijakan yang dilahirkan tetap meninggalkan perempuan di lini terbelakang dari
demokrasi.4 Hal yang terjadi adalah transisi dari rezim paternalistik kepada rejim baru
yang bentuknya patriarkal.5
Indikator kesejahteraan di beberapa negara memperlihatkan kondisi perempuan
yang semakin terpuruk karena pilihan-pilihan reformasi politik dan ekonomi yang tidak

berpihak pada perempuan. Dalam hal ketenaga kerjaan, ketidak setaraan gender juga
sangat terlihat. Di Rusia saat ini terjadi kecenderungan semakin menurunnya jumlah
tenaga kerja perempuan di sektor publik. Tingginya angka perceraian mengakibatkan
perempuan harus menjadi orang tua tunggal dan membatasi aksesnya terhadap pekerjaan.
Hal itu terjadi karena negara tidak memberikan dukungan atau subsidi terhadap
pengasuhan anak dan keluarga seperti yang dilakukan di masa sosialisme/komunisme.6
Bidang-bidang pekerjaan yang di masa lalu didominasi oleh tenaga kerja perempuan
diturunkan nilainya dalam masyarakat. Hal ini memberi dampak terjadinya feminisasi pada
bidang pekerjaan tertentu, serta menjadikan gaji perempuan lebih rendah dibandingkan
dengan gaji laki-laki, sebagaimana ini juga yang menjadi kecenderungan di China dan
India.7
Dengan situasi demikian, tesis yang menyebutkan bahwa reformasi ekonomi
berbasis pasar membawa kesejahteraan bagi perempuan perlu dipertanyakan ulang. Ini
juga berlaku untuk melihat seberapa relevan tesis tersebut dengan situasi perempuan dan
transisi demokrasi di Indonesia. Untuk konteks transisi dan reformasi yang terjadi di
Indonesia, bagaimanakah sebetulnya wacana perempuan berelasi terhadap reformasi
ekonomi dan reformasi politik yang terjadi selama periode transisi? Ketika gerakan
Michael D. Stroup, “Separating the Influence of Capitalism and Democracy on Women’s Wellbeing”, dalam
Journal of Economic Behaviour and Organization, No 67 (2008), hal. 560-572
4

Lihat misalnya Ruth Rosen, "Male Democracies, Female Dissidents," dalam Tikkun 5, no. 6, Nov.-Dec, 1990, serta
Zillah R. Eisenstein, The Color of Gender: Reimaging Democracy, (University of California Press), 1994.
5
Di negara-negara ini, akses perempuan terhadap kebijakan politik terbukti sangat terbatas. Beberapa kajian yang
dilakukan di kawasan ini menunjukkan menurun drastisnya angka keterwakilan perempuan di parlemen paska
pemilu demokratis mereka yang pertama setelah keruntuhan komunisme, yakni dari sekitar 30%.menjadi rata-rata
10%. Keterwakilan perempuan beberapa negara seperti Rumania, Ukraina dan Macedonia bahkan kurang dari 5%.
Lihat Richard E. Matland dan Kathleen A. Montgomery (ed), Women’s Access to Political Power, (Oxford
University Press), 2003
6
Mary I. Dakin, “Women and Employment Policy in Contemporary Russia”, paper presented in 1994 Annual
Convention of the American Association for the Advancement of Slavic Studies,
http://www.demokratizatsiya.org/bin/pdf/DEM%2003-3%20Dakin.PDF
7
Untuk konteks China, lihat misalnya Jing Lin, ”Chinese Women Under the Economic Reform, Gains and Loses”,
dalam Harvard Asia Pacific Review, summer 2003, hal. 88-90. Sedangkan untuk konteks India, lihat misalnya
Manoj Kumar Dash, Ajay Singh, dan Gaurav Kabra, ”Government Reform, Economic Restructuring and
Employment of Women in India”, dalam European journal of Social Sciences, vol 15 no. 3, 2010, hal. 411-429
3


2

perempuan berikut berbagai komponen yang mendukung pada akhirnya berhasil
memasukkan ketentuan minimal kuota dalam kebijakan formal, apakah ini memiliki arti
bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik bagi perempuan? Ataukah sebetulnya
reformasi sektor ekonomi di Indonesia yang mengarah pada kebebasan pasar sudah
memberikan peluang emansipasi dan peningkatan kesejahteraan perempuan?
Paper ini akan menjadi yang pertama mencoba mengeksplorasi beberapa analisis
atas sejumlah pertanyaan di atas. Selama ini belum ada kajian yang memberikan ruang
cukup untuk menganalisis situasi perempuan dengan melihat hubungan antara reformasi
ekonomi dan demokrasi, terutama menyoroti sejauh mana pemenuhan hak politik
perempuan (termasuk keterwakilan politik perempuan) selama sepuluh tahun reformasi di
Indonesia. Penekanan utama dalam paper ini lebih diberikan dalam hal kerangka analisis,
dengan konteks nasional ataupun lokal yang bisa dicoba aplikasikan. Lebih lanjut paper ini
mengusulkan alternatif pandang bagi upaya peningkatan keterwakilan politik perempuan
melalui peningkatan partisipasi kerja perempuan terutama di sektor formal. Dua variabel
ini, keterwakilan politik dan partisipasi kerja perempuan, merupakan dua indikator yang
paling umum dirujuk untuk mengukur sejauh mana kesejahteraan perempuan dan
kesetaraan gender telah tercapai di suatu negara. Lewat dua aspek ini pula terbuka peluang
untuk upaya alternatif peningkatan kesejahteraan perempuan.

Perempuan dalam Kajian Transisi Demokrasi
Studi mengenai transisi dan demokratisasi yang menganalisis berakhirnya rejim
otoritarian dalam suatu negara berkembang pesat dalam ilmu politik. Hal paling
kontemporer yang berkembang di era 70-an hingga awal 8 an adalah kajian yang
membahas seputar peralihan politik dari rezim yang otoriter kepada rezim yang
demokratis berikut berbagai proses dan bentuk konsolidasi kekuatan politik yang
menyertainya. Kajian-kajian demikian sering disebut sebagai kajian transitologi dan
konsolidologi.8 Umumnya kajian-kajian ini lebih menitik beratkan pada analisis sistem
politik seperti apa yang bisa dikonsolidasi dan apa yang bisa dilakukan untuk mendorong
terjadinya konsolidasi. Mereka fokus terutama pada potensi-potensi yang menghambat
konsolidasi, serta peran-peran strategis yang bisa dilakukan oleh partai politik dan
masyarakat sipil. Hal yang juga terkait adalah bagaimana hubungan antara reformasi
ekonomi dan reformasi politik. Kelompok cendekiawan yang memusatkan kajian pada
kerangka teori modernisasi berargumentasi bahwa modernisasi ekonomi yang ditandakan
dengan adanya beragam kebijakan dan implementasi reformasi ekonomi menjadi

8

Gelombang transisi politik yang luas sejak akhir 1970an dan awal 1980an terutama di Amerika Latin membuka
kajian-kajian dalam ilmu politik, terutama perbandingan politik, tentang hal-hal yang terkait dengan demokratisasi,

transisi dari rejim otoriter kepada demokrasi, serta dinamika konsolidasi politik yang menyertainya. Klaim utama
yang dibangun dalam kajian-kajian ini adalah dengan formulasi dan penerapan seperangkat asumsi, konsep, dan
hipótesis universal tentang perubahan politik menuju demokrasi, maka diharapkan universalisme ini akan
menjelaskan serta memandu transisi yang sukses dari rejim otoriter kepada demokrasi. Beberapa literature awal
yang penting dalam kajian ini termasuk karya Dankwart Rustow, “transition to Democracy: Toward a Dynamic
Model”, dalam Comparative Politics, Vol. 2, No. 3 (April 1970), hal. 337-363, serta Guillermo O’Donnell dan
Philippe C. Schmitter, Transition to Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about uncertain Democracies ,
(Baltimore, MD: john Hopkins University), 1986. Belakangan sejak runtuhnya Negara Uni Sovyet, transisi di Eropa
Tengah dan Timur juga banyak dikaji dalam kerangka transitology dan consolidology.

3

prasyarat bagi tumbuh sehatnya demokrasi.9 Ini menandakan bahwa menurut kelompok
ini, reformasi ekonomi dan reformasi politik tidak dapat dilepaskan satu sama lain.
Salah satu kritik utama yang ditujukan pada kajian mainstream ilmu politik ini adalah
hilangnya dimensi gender dalam analisis-analisis tentang demokratisasi, konsolidasi
demokrasi dan reformasi politik, maupun reformasi ekonomi. Pilihan transisi dititik
beratkan pada elit, yang mayoritas adalah laki-laki, dan jarang dibahas bagaimana
perempuan bisa terlibat atau dilibatkan dalam proses-proses transisi maupun konsolidasi
baik dalam konteks ekonomi maupun politik. Belakangan, literatur dan kajian-kajian mulai

mengangkat isu perempuan dan transisi demokrasi di dalamnya, untuk mengoreksi
kebutaan gender (gender blindness) yang terjadi dalam analisis-analisis malestream
politik.10 Namun demikian, kajian-kajian dan literatur perempuan dan transisi demokrasi
yang telah ada seringkali hanya fokus pada peran gerakan perempuan dan mobilisasi
perempuan. Sementara itu, sedikit sekali kajian yang berfokus pada hubungan antara
sektor ekonomi dan politik dengan pemenuhan hak politik perempuan. Hal ini juga tampak
dalam konteks di Indonesia. Kebanyakan studi tentang demokratisasi dan konsolidasi
demokrasi tidak menaruh perhatian pada aspek gender. Selain karena ilmu politik yang
mainstream sudah terinstitusionalisasi secara mapan baik dalam hal pendekatan maupun
praksis, juga karena kajian gender berkembang pesat secara eksklusif di luar kajian-kajian
politik. Sementara itu, kajian-kajian tentang peran perempuan dalam demokrasi lebih
banyak terpusat pada peran institusi partai politik dan kebijakan negara, gerakan
perempuan, terutama di tingkat masyarakat sipil, serta aktivitas mobilisasi perempuan.11
Di sisi lainnya, dalam kajian-kajian ekonomi, isu tentang peningkatan kesejahteraan dan
Kajian-kajian ini umumnya berujuk pada literatur awal tentang modernisasi oleh Martin Lipset, “Some Social
Requisites of Democracy: Economic Development and Political Development”, dalam American Political Science
Review 53, 1959, halaman 69-105. Literatur utama yang merujuk pada pendekatan ini termasuk Samuel P.
Huntington, Political Order in Changing Societies, (Yale University Press), 1968, Guillermo A. O'Donnell,
Modernization and Bureaucratic-Authoritarianism (University of California Press), 1973, Adam Przeworski dan
Fernando Limongi, "Modernization: Theories and Facts." dalam World Politics 49 (January 1997): hal. 155-183,

Dietrich Rueschemeyer, Evelyne Huber Stephens, dan John D. Stephens, Capitalist Development and Democracy,
(University of Chicago Press), 1992, serta Ronald Inglehart dan Christian Welzel, Modernization, Cultural Change,
and Democracy: The Human Development Sequence . (Cambridge University Press), 2005.
10
Lihat misalnya Georgina Waylen dan Vicky Randall (ed), Gender, Politics, and the State, (London: Routledge),
1998, untuk konteks Amerika Latin, Eropa Timur dan Tengah lihat Jane S. Jacquette dan Sharon L. Wolchik (ed),
Women and Democracy, (John Hopkin University Press), 1998, serta buku terbitan IDEA International yang juga
mengangkat konteks Indonesia, Julie Ballington dan Azza Karam (ed.), Women in Parliament, Beyond Numbers,
(Stocholm: International IDEA), 2005
11
Lihat misalnya penelitian yang dilakukan oleh Women’s Research Institute (WRI) di tahun 2004 tentang Dampak
Otonomi Daerah terhadap Partisipasi Politik Perempuan,
http://wri.or.id/id/laporan%20kegiatan/Laporan%20Tahunan%20Program%202004. Puskapol UI bekerjasama
dengan the Asia Foundation juga pernah membuat database Profil Perempuan Potensial Partai Politik dan
Masyarakat Sipil untuk Pencalonan Legislatif di tahun 2008 untuk mengidentifikasi sejumlah potensi pemimpin
perempuan untuk dapat disertakan dalam Pemilu di Indonesia. Disamping itu, Puskapol juga melakukan kajian
keterpilihan perempuan di DPR dan DPRD hasil Pemilu 2009 yang ringkasannya dapat diakses di
http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Arepresentasi-minusakuntabilitas-analisa-sistem-pemilu-2009&catid=46%3Ariset&Itemid=91&lang=id. Literatur terakhir yang
mengangkat topic ini adalah kajian yang dilakukan oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Sidik
Pramono (ed), Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Penguatan kebijakan Afirmasi, Buku 7 Seri Elektoral

Demokrasi, (Jakarta: Kemitraan), 2011.
9

4

peran perempuan juga diseinggung terpisah dari konteks perubahan politik dan transisi
demokrasi yang ada. Keterpisahan ini, antara reformasi ekonomi dan reformasi politik,
atau kapitalisme dan demokrasi, menyebabkan absennya kajian yang mencoba melihat
keterkaitan keduanya dengan upaya peningkatan kehidupan perempuan dan mencoba
membuat terobosan pendekatan alternatif sebagai upaya mengubah ketidak adilan gender
yang umumnya terjadi dalam transisi demokrasi.
Salah satu ruang yang bisa dioptimalkan dalam melihat keterkaitan antara reformasi
ekonomi dan politik dalam meningkatkan kehidupan perempuan serta membangun
kesetaraan gender adalah dengan melihat sejauh mana partisipasi perempuan dalam
angkatan kerja berpengaruh terhadap peningkatan keterwakilan politik perempuan. Dua
variabel ini merupakan indikator yang umumnya dilihat sebagai pencapaian sukses atau
terpuruknya reformasi ekonomi dan reformasi politik. Di banyak negara, terutama Eropa,
keterwakilan politik perempuan terutama di tingkatan legislatif meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan12. Beberapa alasan yang mendasari hal ini
dijelaskan dalam pendekatan demmand dan supply. Dari sisi demmand, pemilih (voters)

yang telah terbiasa dengan kehadiran perempuan dalam lingkungan kerja akan lebih
terbuka pada kepemimpinan perempuan. Sedangkan dari sisi supply, perempuan yang
bekerja profesional serta memiliki kemampuan manajerial yang baik lebih dianggap
mampu dan tepat untuk dijadikan kandidat pemimpin. Sederhananya, adanya perubahan
nilai sosial yang didapat dari lingkungan kerja akan mengurangi hambatan perempuan baik
secara ekonomi maupun politik. Ini seiring dengan argumentasi yang menyebutkan bahwa
sikap masyarakat terhadap peran perempuan menjadi lebih terbuka setelah perempuan
berpartisipasi dalam bidang-bidang pekerjaan.13
Tidak hanya itu, perempuan yang bekerja di luar rumah juga lebih cenderung memiliki
kepentingan dan sikap politik yang berbeda dengan suami atau anggota keluarganya
dikarenakan pengalamannya yang harus menyeimbangkan antara karir dan urusan rumah
tangganya.14 Implikasi politik yang lebih luas dari itu adalah kemungkinan besar
munculnya kepentingan partai politik untuk meningkatkan jumlah kandidat perempuan
manakala jumlah perempuan bekerja ini cukup besar dan membentuk massa tersendiri.15
Sementara itu Michael Ross (2006) berargumentasi bahwa perempuan pekerja umumnya
lebih terorganisir dalam menyuarakan kepentingan bersama mereka.16
Meski demikian, pada kenyataannya pendapat ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua
konteks bidang pekerjaan. Kensworthy (1999) misalnya, berpendapat bahwa bidang
pekerjaan yang relevan untuk menunjang karir politik adalah yang tingkatannya
Lihat misalnya Raaum, Nina C., “Women in Parliamentary Politics: Historical lines of development.
Bergquist, Christina et al. (eds.), Equal Democracies? Gender and Politics in the Nordic
Countries.( Scandinavian University Press, Oslo), 1999, hal 27-47, Holter, ibid
13
Torben Iversen dan Frances Rosenbluth, “Work and Power: The Connection between Female Labour Force
Participation and Female Political Representation”, Annual Review of Political Science, 2007,
http://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.polisci.11.053106.151342
14
Iverson dan Rosenbluth, Ibid.
15
Iverson dan Rosenbluth, Ibid.
16
Ibid
12

5

manajerial ataupun pekerjaan yang sifatnya profesional.17 Schlozman, Burns dan Verba
(1999) juga melihat bahwa tingkat partisipasi kerja perempuan tidak berkorelasi langsung
dengan partisipasi politik karena kebanyakan perempuan tidak bekerja penuh waktu yang
umumnya difasilitasi dengan pelatihan dan pendidikan khusus yang relevan dengan karir
politik (misalnya kepemimpinan, manajemen, dan sebagainya).18 Sementara itu Oakes
(1993) serta Matland (1998) berpendapat bahwa di masyarakat ekonomi agrikultur,
keterkaitan antara tenaga kerja perempuan yang umumnya bekerja di ladang tidak terlalu
berhubungan dengan keterwakilan politk perempuan.19
Meski ada korelasi antara peningkatan tingkat partisipasi bekerja perempuan dengan
jumlah keterwakilan politik di beberapa negara, ternyata tidak semua negara memiliki
hubungan positif antara keduanya. Misalnya saja di Amerika Serikat, dimana jumlah tenaga
kerja perempuan yang tinggi ternyata tidak membuat jumlah keterwakilan politik
perempuan meningkat. Iversen dan Rosenbluth mengajukan variable lain yang ikut
menentukan hubungan antara tenaga kerja perempuan dan keterwakilan politik
perempuan, yakni sistem pemilihan umum yang diterapkan di negara yang bersangkutan
dan 'pasar politik' yang diciptakan. Dalam sistem Pemilu yang menekankan hubungan
kedekatan antara wakil dan konstituen, misalnya dalam sistem single member district,
wakil terpilih harus menunjukkan komitmen penuh, baik waktu maupun sumber daya,
dengan menunjukkan pengalaman serta modal politiknya. Perempuan akan kesulitan
menjalankan komitmen penuh ini karena peran gender yang menuntutnya untuk juga
bertanggung jawab terhadap peran caregiver. Dalam sistem demikian, kandidat atau wakil
terpilih tidak bisa mengandalkan partai politik untuk mendukung mobilisasi sumber daya
serta jaringan politik yang dibutuhkan. Sementara itu, dalam sistem Pemilu proporsional,
perempuan lebih bisa bersaing karena label atau eksistensi partai politik lebih menentukan
preferensi pemilih daripada individu kandidatnya. Partai yang kuat dan memiliki basis
massa besar akan lebih menjamin kandidat atau wakil terpilih perempuan menjalankan
kebijakan partai yang sudah ditentukan. Meski begitu, partai politik bisa saja menjanjikan
kesetaraan gender dan peningkatan keterwakilan politik perempuan, namun sebagaimana
juga perusahaan atau korporasi, mereka harus bersaing dalam pasar politik untuk
memenangkan suara dengan mengajukan kandidat yang dianggap lebih loyal dan
berkomitmen terhadap partainya.

Perempuan Indonesia dalam Reformasi Ekonomi Berbasis Pasar

Kenworthy L. “Gender Inequality in Political Representation: A Worldwide Comparative Study”, in Social
Forces, 78, 1999, hal. 235-269
18
S. Verba, N. burns. KL Schlozman, “Knowing and Caring about Politics”, dalam journal of Politics i59, 1997,
hal. 10511-72
19
A. Oakes, “Women in National Legislatures: A Cross-National Test of Macrostructural Gender Theories”, dalam
Population Research and Policy Review 12, 1993, hal. 71-81, dan Richard Matland, “Women’s Representation in
National Legislatures: Developed and Developing Countries”, dalam Legislative Studies Quaterly 23, 1998, hal.
109-125
17

6

Apakah reformasi ekonomi berbasis pasar yang umumnya dijadikan pilihan dalam transisi
demokrasi membebaskan atau menindas perempuan? Pertanyaan ini kerap kali muncul
dalam berbagai wacana atau literatur feminisme. Mereka yang menjawab kapitalisme
sebagai pembebasan, umumnya sangat optimis bahwa kapitalisme dan industrialisasi
memberikan kesempatan pada perempuan agar keluar dari wilayah domestiknya untuk
bekerja dan mendapat upah atas kerjanya. Hal ini menjadikan perempuan menjadi lebih
independen dan tidak lagi tergantung pada suami atau pasangannya. Disisi lain, kelompok
yang lebih pesimis selalu menaruh curiga terhadap praktek-praktek kapitalisme.
Kapitalisme telah menggantikan peran perempuan dari fungsi produksi rumah tangga atau
keluarga menjadi fungsi reproduksi semata. Fungsi kerja perempuan tersebut tidak
dihargai sebagaimana kerja bentuk lainnya di dunia kapital. Sistem ini kemudian
memperkenalkan konsep breadwinner yang dilekatkan pada laki-laki, karena mereka
bekerja dan menafkahi keluarga. Sementara itu, perempuan didefinisikan sebagai caregiver, yakni yang bertanggung jawab penuh dalam mengurusi dan melayani kebutuhan
anggota keluarganya, dari mulai suami, anak, bahkan orang tua dan yang sakit. Perempuan,
kalaupun pada akhirnya dibutuhkan untuk mengisi tenaga kerja, dibayar dengan sangat
murah di bawah upah kerja laki-laki. Beban ganda kemudian dilakoni perempuan, yakni
dengan menjalankan fungsinya sebagai caregiver di wilayah domestik serta perannya yang
lebih otonom di wilayah publik. Kelompok yang optimis boleh saja berpikir bahwa
kemunculan perjuangan emansipasi hak berhasil melumerkan patriarki karena
memungkin perempuan juga ikut bekerja dan menjadi mandiri, tapi di saat yang lain
patriarki melakukan penyesuaian dan mengoraganisir ulang atau reorganizing dalam
istilah Holter, 2003)20
Tentu saja, karya tulis paling awal tentang isu ini dibangun dalam sebuah konteks
sangat spesifik di negara-negara industri yang saat ini sudah mapan. Konteksnya menjadi
sangat berbeda dengan negara yang bertransisi ataupun negara dunia ketiga. Di negaranegara ini, kapitalisme hadir dalam konteks globalisasi. Pembangunan di negara ini
merubah fungsi reproduksi melalui ekonomi non-moneter seperti mengganti fungsi
pertanian dengan perusahaan tani, impor pangan murah, ataupun deforestasi. Tuntutan
penyesuaian struktural yang diajukan International Monetary Fund dan World Bank
memaksa negara untuk mengurangi perlindungan sosial negara kesejahteraan sekaligus
meningkatkan kemiskinan dan ketidak setaraan.
Di Indonesia, seperti juga di negara lain di dunia ketiga, krisis ekonomi yang
melanda memaksa kebijakan penyesuaian struktural atau structural adjustment policy
(SAP) diberlakukan. Latar belakang dibalik kebijakan ini adalah adanya persoalan ekonomi
yang umumnya dihadapi negara dunia ketiga seperti inflasi dan defisit, yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan struktural. Oleh karena dibutuhkan penyeimbangan , maka
distorsi perlu dihilangkan dengan liberalisasi ekonomi, membebaskan pasar ekonomi,
mengurangi peran negara melalui privatisasi, serta meminimalkan subsidi dan deregulasi.
Penyesuaian yang terjadi sejak reformasi lebih dari sepuluh tahun yang lalu di sektor
ekonomi ternyata menghasilkan kesenjangan yang semakin lebar antara masyarakat
menengah dan miskin, meningkatnya kemiskinan, serta menurunnya standar hidup
masyarakat di Indonesia.
20

Holter, Øystein Gullvåg (ed.). 2003. Can men do it: men and gender equality. The Nordic
experience. Copenhagen: Nordic Council of Ministers, h. 87-101.

7

Kebijakan penyesuaian tersebut selama ini tidak membawa dampak positif yang
signifikan buat perempuan. Beberapa indikator kesejahteraan perempuan memang
menunjukkan arah yang positif, misalnya persentase angka melek huruf perempuan yang
meningkat 86,8% di tahun 2004 menjadi 98,76% di tahun 2007, dan menunjukkan
kesenjangan yang semakin mengecil dengan persentase angka melek huruf laki-laki.21 Hal
positif lain dapat dilihat dari angka kematian Ibu melahirkan dari 334 per 100.000
kelahiran di tahun 1997 menjadi 228 per 100.000 kelahiran di tahun 2007.22 Namun secara
umum, dari angka Gender Development Index (GDI), Indonesia masih termasuk peringkat
bawah, yakni di urutan 94 dari total 157 negara di tahun 2005.23
Perkembangan negatif justru tampak pada indikator partisipasi kerja perempuan
yang menunjukkan perkembangan statis, bahkan menurun, sejak dimulainya reformasi.
Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 mencatat persentase angkatan kerja perempuan
sebesar 49,21% dan sedikit membaik di tahun 2007 menjadi 49,52%24 Sementara itu,
World Bank mencatat bahwa hanya 41 persen perempuan yang bekerja, jauh dibawah
persentase laki-laki sebesar 73 persen. Perempuan, menurut data ini, banyak yang bekerja
di sektor informal dan jenis pekerjaan yang tidak dibayar (unpaid dan low-paid jobs).
Bahkan di sektor formal sekalipun, perempuan digaji lebih rendah 24% dibanding pekerja
laki-laki.25 Satu-satunya indikator partisipasi kerja yang meningkat adalah perempuan
yang bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri, yang jumlahnya sebesar 80% dari total
pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Fakta ini menunjukkan karakteristik buta gender atau gender blind dari kebijakan
reformasi ekonomi di sektor ketenagakerjaan. Ekonomi reproduktif atau perempuan
sebagai tenaga kerja yang tidak dibayar sama sekali tidak dipertimbangkan dalam
kebijakan tersebut. Disamping itu, pengambil kebijakan yang tidak membedakan
pembagian kerja seksual berasumsi adanya mobilitas pekerja, misalnya pekerjaan
industrial yang umumnya dikerjakan oleh laki-laki menjadi pekerjaan jasa yang umumnya
dilakukan perempuan. Pemotongan jasa kesejahteraan memberikan dampak signifikan
bagi perempuan sebagai penyedia dan konsumen jasa kesehatan dan sosial mengakibatkan
hilangnya pekerjaan dan kesejahteraan perempuan yang bekerja di bidang ini seperti guru,
perempuan, yang merupakan mayoritas pekerja. Tidak hanya itu, dampak tingginya tingkat
pengangguran dan kemiskinan mengakibatkan perempuan dalam rumah tangga harus
berpikir lebih keras untuk mendapatkan strategi dan solusi pertahanan hidup, termasuk
melakukan pekerjaan di sektor non formal. Perempuan kepala rumah tangga, dan janda,
menjadi semakin miskin,. banyak anak perempuan juga terpaksa harus putus sekolah. Hal
yang terjadi kemudian adalah tingginya tingkat perdagangan manusia dengan korban
umumnya perempuan, meningkatnya tingkat kekerasan serta pelanggaran hak asasi
perempuan dan anak. KOMNAS Perempuan mencatat jumlah kekerasan terhadap
perempuan yang tercatat tahun 2001 adalah 3,169 kasus, meningkat dramatis menjadi
143,586 di tahun 2009.26 Ini belum termasuk kekerasan yang terjadi karena aturan-aturan
diskriminatif baik di tingkatan nasional mauupun lokal (Perda) yang menjustifikasi
21

Susenas 2004/2007
Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia, lihat juga data UN Human Development Report 2003.
23
UNDP Human Development Report 2007/2008
24
Biro Pusat Statistik (BPS), Sakernas 2007
25
World Bank, Gender Equality and Development-Progress in indonesia, 2006
26
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2010

22

8

kekerasan terhadap perempuan. Perda diskriminatif yang dicatat kelompok perempuan
sebanyak 25 Perda dari 16 Kabupaten/Kotamadya di Indonesia27
Dengan melihat pada sektor-sektor di atas, dapat disimpulkan kemudian bahwa
liberalisasi ekonomi lewat program-program reformasi berbasis pasar bebas dalam
konteks transisi di Indonesia, terbukti meruntuhkan tesis bahwa kapitalisme bisa
memberdayakan perempuan dan membawa kesejahteraan bagi perempuan.
Perempuan dan Reformasi Politik di Indonesia
Seperti penjelasan sebelumnya, situasi perempuan dalam hal politik dan konsolidasi
demokrasi di Indonesia tidak lebih baik. Konsolidasi demokrasi jelas sekali tidak
menyertakan perempuan di dalamnya, Hal itu terlihat dari rendahnya keterlibatan
perempuan dalam pengambilan keputusan. Patut dicatat bahwa jumlah keterwakilan
perempuan di parlemen nasional (DPR RI) meningkat dari 9% pada periode 1999-2004
menjadi 18% pada periode 2009-2014. Indikasi positif juga terlihat dari meningkatnya
akses dan partisipasi perempuan pada kehidupan publik sebagaimana yang disebutkan
dalam riset Demos.28 Meski demikian, secara umum keterlibatan dan keterwakilan
perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan masih jauh dari cukup. Di
lembaga yudikatif, misalnya, perempuan masih minoritas sejumlah antara 9-25 persen
menurut catatan komnas Perempuan (Catahu 2010). Termasuk juga jumlah perempuan di
posisi Exelon II pegawai Negeri yang hanya 6,71% dan 9,77% untuk posisi Exelon I.29
Ketika kita bicara dalam konteks konsolidasi demokrasi dan keterlibatan
perempuan dalam transisi, maka tidak dapat disangkal bahwa partai politik memiliki peran
yang signifikan. Dalam Pemilu, partai politik bukan hanya berperan sebagai aktor tetapi
sekaligus merupakan penjaga gawang yang paling utama dalam memutuskan pengisian
pos-pos representasi. Hal ini karena partai politik memiliki peran kontrol terhadap caloncalon kandidat yang akan dinominasikan. Oleh karena itu, hubungan antara jumlah
keterwakilan perempuan di legislatif dan partai politik dalam konteks Pemilu menjadi
sangat relevan. Sistem organisasi dan institusi partai politik juga terkait dengan soal
keterwakilan perempuan, yakni dengan melihat pada struktur dan model pengambilan
keputusan. Partai politik dengan pengambilan keputusan terpusat pada Dewan Pimpinan
Pusat (DPP) biasanya akan lebih mudah mengontrol calon-calon kandidat yang akan
dinominasikan dalam pemilu. Bagi Partai politik yang punya komitmen tinggi terhadap
peningkatan keterwakilan perempuan, maka model seperti ini akan sangat efektif untuk
melaksanakan komitmennya.
Hal lain yang juga menjadi kendala bagi perempuan untuk mencalonkan diri adalah
keterbatasan perempuan terhadap akses finansial. Hal ini diakui banyak kandidat
perempuan, baik untuk legislatif maupun eksekutif. Seorang kandidat perempuan untuk
wakil walikota di Aceh mengakui bahwa dia diuntungkan oleh kemampuan finansial dari
keluarganya. Ini berarti, politik menjadi dunia yang terbatas hanya untuk perempuan
dengan akses ekonomi yang baik. Dalam konteks ini, Holter pernah berargumentasi bahwa
tingginya tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik di negara-negara
Nordik (Norwegia, Finlandia, Swedia, Denmark, dan Islandia) tidak lepas dari terserapnya
27

Laporan Komnas Perempuan 2007
Demos, Riset Putaran I mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia, 2003
29
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2010

28

9

banyak tenaga kerja perempuan sehingga memungkinkan mereka menjadi independen
secara ekonomi dan merasa berkepentingan untuk terlibat dalam politik.30 Di Indonesia,
belum ada studi yang coba menelusuri kondisi tersebut sampai saat ini, tapi secara umum
bisa dikatakan bahwa kemampuan keuangan seorang kandidat sangat menentukan
terpilihnya seseorang masuk ke dalam daftar kandidat. Tidak banyak perempuan di
Indonesia yang memiliki situasi demikian, dan mereka yang mendapat kesempatan
demikian harus memikul tidak saja beban ganda tetapi beban triple antara peran mereka
dalam rumah tangga dan pengasuhan, ekonomi, dan politik.
Partisipasi Kerja Perempuan sebagai Upaya Lain Meningkatkan Keterwakilan
Perempuan
Upaya meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan
sudah sejak pasca reformasi dilakukan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tekanan
terbesar berasal dari masyarakat sipil, termasuk aktivis, profesional maupun akademisi.
Tujuannya tidak lain untuk memastikan demokratisasi inlusif terhadap kepentingan
perempuan sebagai kelompok minoritas yang jumlahnya mayoritas. Perubahan mulai
tampak tidak hanya di tingkat kebijakan tetapi juga di tingkatan program dan
implementasi. Di tingkat kebijakan, misalnya, upaya pengarus utamaan gender pernah
dilakukan sebagai inisiatif dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dalam Inpres no 9
tahun 1999 tentang Pengarus Utamaan Gender, yang seyogianya dilaksanakan di setiap
institusi pemerintahan, terutama eksekutif. Dampak positif lain dari kerja keras dan
advokasi isu ini oleh masyarakat sipil adalah diadopsinya mekanisme khusus (affirmative
action) untuk perempuan dalam amandemen UU Pemilu dan UU Partai Politik, termasuk
mengatur kuota perempuan dan sistem zipper.
Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir ini sepertinya ada beberapa hal yang
menunjukkan kemunduran (setback) dalam memikirkan serius soal perlunya peningkatan
keterwakilan perempuan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan perubahan
formula calon terpilih dari 30% BPP dan nomor urut menjadi suara terbanyak, menjadikan
caleg perempuan sebagai korban persaingan bebas.31 Partai politik juga tidak sungguhsungguh menjalankan ketentuan minimal 30% bakal calon perempuan sebagaimana
disebutkan dalam UU No. 10/2008, serta aturan yang menyatakan sekurang-kurangnya
satu orang perempuan dari tiga bakal calon yang diajukan partai politik sebagaimana
disebutkan di pasal 55 dalam UU tersebut. Hal ini berimplikasi terhadap peluang
terpilihnya perempuan dalam Pemilu.32
30

Lihat Holter, ibid.
Di tengah berjalannya tahapan pemilu, pascapengesahan daftar calon, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.
22-24/PU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, menyatakan calon terpilih ditetapkan berdasar suara terbanyak.
Putusan itu membatalkan Pasal 214 UU No. 10/2008 yang mengatur, bahwa calon terpilih ditetapkan berdasarkan
perolehan suara 30% BPP atau berdasarkan nomor urut. Lihat analisis Puskapol oleh Ardiansyah Rudi, “Caleg
Perempuan Pemilu 2009: korban Perubahan Sistem,
http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=176%3Acaleg-perempuan-pemilu2009-korban-perubahan-sistem-&catid=45%3Aartikel&Itemid=96&lang=id
32
Puskapol menyebutkan beberapa implikasi yang terjadi akibat hal tersebut. Pertama, tidak semua partai memenuhi
ketentuan minimal 30% pada semua daftar calon di setiap daerah pemilihan. Kedua, 69% nomor urut 1 ditempati
calon laki-lagi, sedang mayoritas caleg perempuan ditempatkan pada nomor urut 3. PKS mencalonkan perempuan

31

10

Selain faktor eksternal perempuan, seperti partai politik dan sistem Pemilu, faktor internal
juga menjadi faktor penting yang dapat menentukan peningkatan keterwakilan
perempuan. Faktor internal ini termasuk motivasi masing-masing individu, dukungan
keluarga, serta kemampuan sumber daya terutama finansial. Dari sisi pemilih perempuan,
persoalannya lebih kepada faktor-faktor sosial dan struktural yang mempengaruhi
preferensi mereka dalam memilih calon pemimpin perempuan. Faktor-faktor ini termasuk
ketidak percayaan terhadap kemampuan perempuan, norma-norma konservatif yang
menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, serta kurangnya figur contoh (role
model) perempuan yang bisa menjadi panutan masyarakat terutama perempuan
kebanyakan.
Di aspek khusus inilah, yakni calon perempuan dan pemilih perempuan, relevan untuk
mengaitkan antara tingkat partisipasi kerja perempuan dan upaya meningkatkan
representasi politik perempuan. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.
Pertama, sebagaimana yang disebutkan oleh Holter (2003), ada hubungan yang kuat antara
perempuan yang bekerja dengan kemandirian ekonomi serta kebutuhan mereka untuk
terlibat dalam politik. Tidak hanya perempuan yang independen secara ekonomi memiliki
kepercayaan diri dan kepentingan khusus untuk memenuhi kebutuhannya melalui
mekanisme politik, perempuan juga memiliki ketersediaan modal sosial, pengalaman
keorganisasian dan manajemen, serta keuangan yang memadai sebagai modal politiknya.
Kedua, dari sisi demmand pemilih perempuan yang terbiasa bekerja akan lebih terbuka
terhadap calon perempuan dan membuka kemungkinan untuk menaruh kepercayaan
terhadap calon perempuan karena dianggap memiliki pengalaman dan kebutuhan yang
sama sehingga lebih bisa berpihak pada isu-isu kesejahteraan perempuan. Secara umum,
bisa dikatakan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah cenderung mengalami
perubahan nilai dan sangat mungkin memiliki preferensi politik yang berbeda dari suami
atau anggota keluarganya yang lain. Implikasi yang lebih luas adalah tingkat partisipasi
kerja perempuan yang tinggi sangat mungkin menjadi sebuah pasar politik baru bagi
partai politik. Terutama sekali apabila isu perempuan dapat diorganisir dengan baik dan
menjadi tawaran politik untuk partai-partai politik.
Dari dua penjelasan itu, sangat dimungkinkan untuk melihat bagaimana pengaruh
partisipasi kerja perempuan terhadap angka keterwakilan politik perempuan. Tentu saja
catatan pentingnya adalah bahwa sistem Pemilu, sebagaimana yang dibuktikan Rosenbluth
dan Iversen, juga berpengaruh penting dalam menjelaskan hubungan kausalitas antara dua
paling banyak (36.6%), disusul PDIP (35%), PKB (33.6%) dan PD (32.9%). Dari 9 partai politik peraih kursi DPR,
tiga partai belum memenuhi ketentuan tersebut. Dari data tersebut, umumnya partai politik menempatkan calon
perempuan tidak berdasarkan kapasitas individunya tapi lebih karena pertimbangan kedekatan atau hubungan
saudara dengan pengambil keputusan di dalam partai. Juga partai memberi prioritas pada mereka yang memiliki
popularitas tinggi atau sumber finansial yang kuat. Lihat Ardiansyah Rudi, “Pentingnya Afirmasi Internal Partai
Politik untuk Perempuan”,
http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=187%3Apentingnya-afirmasiinternal-partai-politik-untuk-perempuan-&catid=45%3Aartikel&Itemid=96&lang=id

11

varibel tersebut.33 Untuk konteks Indonesia misalnya, semakin perolehan kursi
terkonsentrasi, maka semakin banyak calon perempuan terpilih. Dalam hal ini, ketentuan
parliamentary treshold sangat menguntungkan perempuan.34 Puskapol melihat adanya
fenomena piramida terbalik dimana di mana semakin ke bawah, semakin banyak jumlah
partai politik peraih kursi. Hal ini disebabkan: pertama, tiadanya ketentuan parliamentary
treshold 2,5% untuk pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota; kedua, keterpilihan calon
di tingkat lokal lebih dipengaruhi figur calon darpiada partai35. Dengan demikian semakin
banyak jumlah partai memiliki kursi, maka semakin sedikit peluang perempuan terpilih
karena partai politik akan cenderung memilih calon laki-laki daripada perempuan.

Kesimpulan
Dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia, baik reformasi ekonomi maupun reformasi
politik nampaknya tidak memberikan perubahan positif yang signifikan bagi perbaikan
kondisi dan kehidupan perempuan. Dua indikator penting yang digunakan dalam tulisan
ini adalah tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang cenderung statis bahkan
menurun jumlahnya selama reformasi ekonomi diberlakukan, serta jumlah keterwakilan
politik perempuan yang sedikit meningkat namun terjadi setback dalam komitmen negara
menjamin kesetaraan gender dalam politik. Dua kondisi ini pada saat yang sama juga
membuka ruang untuk menelaah lebih jauh keterkaitan keduanya sebagai hubungan
kausalitas, dimana peningkatan jumlah perempuan yang bekerja akan dapat meningkatkan
jumlah keterwakilan politik perempuan dilihat dari kerangka supply dan demmand. Dalam
kerangka ini, perempuan bekerja akan cenderung memiliki modal politik (motivasi,
kemampuan manajerial, sosial, dan ekonomi) yang cukup yang memungkinkannya untuk
maju sebagai calon pemimpin. Dari sisi pemilih perempuan, pengalaman kerja akan
membuat mereka lebih terbuka terhadap kepemimpinan perempuan, disamping adanya
perubahan nilai yang membuat kepercayaan dan kepentingan untuk memiliki wakil
perempuan juga menguat. Dalam konteks itu, pengorganisasian yang baik akan membuka
potensi bagi partai politik untuk merengkuh mereka dengan memberikan janji politik yang
akomodatif bagi keterwakilan perempuan.
33

Iversen dan Rosenbluth, ibid.
Sembilan partai politik lolos parliamentary threshold 2,5% (PT 2,5%) mendominasi perempuan terpilih dalam
Pemilu 2009. Sembilan partai itu menyumbangkan 90% perempuan di DPRD provinsi dan 80% di DPRD
kabupaten/kota. Itu berarti, di luar partai lolos PT 2,5%, partai-partai yang meraih kursi di DPRD provinsi hanya
menyumbangkan 10% perempuan terpilih, dan partai-partai yang meraih kursi di DPRD kabupaten/kota hanya
berkontribusi 20% perempuan terpilih. Data lain menunjukkan, tidak semua partai politik peserta Pemilu 2009
berhasil meraih kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, 38
partai yang berhasil meraih kursi di seluruh DPRD provinsi. Dari 38 partai tersebut, hanya 21 partai
menyumbangkan perempuan terpilih. Sementara itu DPRD kabupaten/kota, jumlahnya lebih besar.Dari 44 partai
politik pesertapemilu, sebanyak 43 partai berhasil meraih kursi dan. Dari jumlah itu, 40 partai di antaranya memiliki
calon perempuan terpilih. Lihat Ardiansyah Rudi, « Ketentuan Parliamentary Treshold Menguntungkan
Perempuan », http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=168%3Aketentuanparliametary-treshold-menguntungkan-perempuan-&catid=45%3Aartikel&Itemid=96&lang=id
35
Jumlah partai politik yang memiliki kursi di DPRD provinsi dan kabupaten/kota, yang banya tersebut,
berpengaruh terhadap mengecilnya peluang calon perempuan terpilih, sehingga jumlah perempuan terpilih di DPRD
provinsi lebih kecil 10% daripada angka nasional, dan jumlah perempuan terpilih DPRD kabupaten/kota lebih kecil
20% daripada angka nasional.
34

12

Tentu saja ini kerangka hipotesis yang masih sangat awal yang bisa diajukan untuk
Indonesia. Pertama karena kebanyakan perempuan bekerja tidak di sektor formal,
melainkan sektor informal dan bahkan di bidang-bidang yang tidak diberi upah (misalnya
di rumah tangga, ladang, dan sebagainya), disamping juga sebagai pekerja migran di luar
negeri yang hampir tidak terhubung langsung dengan kepentingan politik kecuali ketika
mereka diharuskan ikut memilih dalam Pemilu setiap lima tahun sekali. Akibatnya, tidak
terlalu banyak perubahan nilai yang terjadi dan bahkan cenderung menjadi lebih
konservatif dalam melihat peran gender perempuan yang lekat dengan rumah tangga.
Salah satu faktornya adalah ketergantungan yang besar dengan hiburan yang hadir di
dalam rumah tangga, seperti acara hiburan televisi (lihat Ariel Heryanto....). Tidak heran
jika kemudian popularitas seorang calon wakil rakyat menjadi salah satu kunci utama yang
dibutuhkan oleh partai politik sebagai bagian dari upaya memenangkan kursi di Pemilu.
Meskipun begitu, kondisi demikian justru dapat dijadikan sebuah tawaran pendekatan dan
strategi baru bagi kelompok pegiat isu perempuan maupun kelompok pegiat isu buruh
untuk menjajagi kemungkinan menautkan dua variabel ini untuk pencapaian jangka
panjang, yakni pemenuhan kesejahteraan dan perbaikan kehidupan perempuan Indonesia.
Lebih dari itu, ini juga menjadi tawaran langkah bagi pemerintah agar bisa lebih efektif
dan kongkret dalam upaya pemenuhan hak perempuan, baik secara ekonomi maupun
politik.

13