RENDAHNYA DAYA SAING NEGARA INDONESIA TE

RENDAHNYA DAYA SAING NEGARA INDONESIA
TERHADAP NEGARA-NEGARA MAJU
Oleh: Afrizal Woyla Saputra Zaini

https://afrizalwszaini.wordpress.com/2011/05/28/rendahnya-daya-saing-negaraindonesia-terhadap-negara-negara-maju/
diakses pada hari rabu 7 juni 2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peringkat daya saing yang semakin menurun mengindikasikan bahwa daya saing
Indonesia di perdagangan internasional semakin menurun. Kekayaaan alam yang
melimpah sepertinya kurang berperan dalam peningkatan daya saing Indonesia.
Hal ini mengindikasikan adanya hambatan yang menyebabkan daya saing
Indonesia menurun. Peran pemerintah dalam mengupayakan peningkatan daya
saing seharusnya dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di
perdagangan internasiona
Daya saing menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang
didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World
Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional

untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Menurut Lall (1998), ada lima faktor determinan sebagai penyebab rendahnya
pembangunan sains dan teknologi nasional, yakni (1) sistem insentif, (2) kualitas
SDM, (3) informasi teknologi dan pelayanan pendukung, (4) dana, dan (5)
kebijakan sains dan teknologi sendiri.
Dalam hal sistem insentif, misalnya, kebijakan makro ekonomi nasional masih
kurang kondusif dalam mendorong pengembangan kemandirian sains dan
teknologi. Demikian pula dengan kualitas SDM, keterbatasan dana dan
manajemen.

B. Tujuan Masalah
Tujuan dari penulisan ini agar dapat memahami suasana dan arah daya saing
Negara Indonesia terhadap Negara-negara maju. Dengan adanya mekanisme yang
baik dan tepat pada sasaran paling tidak dapat meningkatkan peran perekonomian
dan pembangunan indoneisia di mata internasional.
Tujuan lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat
dalam mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar
Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera.
C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses perekonomian dan pembangunan nasional .?
2. Apa saja yang menjadi kendala perekonomian dan pembangunan Indonesia
selama ini, sehingga menjadi masalah yang belum terselesaikan.?
3. Bagaimana proses perekonomian dan pembangunan dalam meningkatkan daya
sain indoneisia terhadap Negara Negara maju.?
4. Kenapa Indonesia masih belum mampu menarik diri dari ketergantungan
dengan negera Negara maju
5. Seperti apa proses proses peningkatan dan rehablitasi daya saing Indonesia
dengan Negara Negara maju.?
6. Bagaimana sistem pemerintahan dalam melakukan pembangunan dan
peningkatan perekonomian kea rah yang lebih maju dan tertip.?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Daya Saing
Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik
kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara
Daya saing menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang
didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World
Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional

untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.

Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia
(2002) harus mempertimbangkan beberapa hal:
1.

Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau
efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih
mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian”
daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan”.

2. Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi
juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu
sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta
perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya
terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya
saing.
3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak
lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam
perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang

maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel
seperti pertumbuhan ekonomi.Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari
pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan
masyarakat.
4. Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran
keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata
daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang
tertutup.
Menurut Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang
mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu:
1. Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unitunit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta
bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya.
2. Sumber Daya di suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di
suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal,
dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan

industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor
tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal.
3. Permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap
produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri,

terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah
pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi
dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan
konsumen.
4. Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri
pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional.
Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana
ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industriindustri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
Porter mencontohkan Italia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut. Italia
tidak hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah berhasil
mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan kulit
sepatu untuk berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan kulit.
Keempat komponen yang disebut sebagai model Porter’s Diamond tersebut
mengkondisikan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan
mempengaruhi keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut
menyatakan bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam
membentuk ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan
kompetitif industri suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel
tambahan yang mempengaruhi daya saing, yaitu:
1. Kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar kendali perusahaanperusahaan (dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa),

seperti misalnya penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan
politik eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing.
2. Pemerintah, yakni pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan dapat
meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional. Peran pemerintah
terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi komponen-

komponen dalam Diamond Porter. Misalnya, kebijakan anti-trust
mempengaruhi persaingan nasional. Regulasi dapat mengubah faktor
permintaan (misalnya regulasi terkait subsidi BBM). Kebijakan pemerintah
yang mendukung pendidikan dapat mengubah kondisi faktor produksi. Belanja
pemerintah dapat merangsang industri terkait dan pendukung.
Porter menggarisbawahi bahwa ketersediaan faktor-faktor seperti faktor sumber
daya manusia, bahan baku, pengetahuan, dan infrastruktur, tidak ditentukan oleh
perbedaan karakteristik alamiah suatu negara. Kemampuan suatu negara dalam
menyediakan faktor-faktor sebagian besar ditentukan oleh political will dari
pemerintah. Oleh karena itu, variabel pemerintah memegang peran penting dalam
peningkatan daya saing nasional.

B.


Potret Daya Saing Indonesia

Kekuatan daya saing merupakan yatanan yang harus dibenah dengan baik oleh
bangsa Indonesia, untuk menciptakan indonesia yang adil makmur dan beradap di
mata internasional. Dengan kokohnya perekonomian dan pembangunan Indonesia
akan meningkatkan kesejahtraan rakyat yang lebih baik.
Tabel B. 1Rangking Daya Saing Indonesia Dalam
Negeri
Negara

2000

2001

2002

2003

2004


2005

2006

USA

1

1

1

1

1

1

1


Singapura

2

3

8

4

2

3

3

Malaysia

26


28

24

21

16

28

23

Korea

29

29

29


37

35

29

38

Jepang

21

23

27

25

23

21

17

Cina

24

26

28

29

24

31

19

Thailand

31

34

31

30

29

27

32

Indonesia

43

46

47

57

58

59

60

Sumber: IMD World Competitiveness
Yearbook (WCY)

Dari table B.1 hingga tabel B.3 tersebut menunjukkan bahwa sikap dan aplikasi
pemebangunan dan perekonomian Indonesia masih di anggap lemah dalam
tatanan global, yang yang seharusnya proses tersebut terus meningkat namun
kenyataannya hanya naik-turun, factor inin disebabkan oleh berbagai sektor,
antaranya:
1. Nilai Inti Pembangunan
Permasalahan utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah kualitas
SDM. Rendahnya kualitas SDM menyebabkan rendahnya daya saing global
bangsa

Indonesia.

dari Todaro (1998),

Daya

saing

apabila

nilai

dipenuhi: sustenance (kemampuan
dasar), freedom (kemerdekaan,

bangsa
inti
untuk

kebebasan

yang

kuat

menurut

pembangunan
mencukupi
dari

sikap

pendapat

Indonesia

dapat

kebutuhan-kebutuhan
menghambat), self

esteem (jati diri) dan tersedianya banyak pilihan.

Rendahnya Kulaitas SDM ini pada dasarnya sangat mengakar pada keterpukan
nilai-nilai pendidikan yang berkulitas. Lemahnya tatanan pendidikan tersebut
menyebabkan bangsa Indonesia terus terpuruk dalam kemiskinan dan tertinggal
dalam pembangunan seperti yang diharapkan.
2. Kolonialisme dan Inferiorisme
Rendahnya kualitas SDM akibat pembodohan terstruktur sejak berabad-abad
lamanya. Tahun 2006 Human Development Index (HDI) Indonesia hanya
menduduki rangking 69 dari 104 negara. Penjajahan selama lebih dari 3,5 abad
menjadikan bangsa Indonesia inferior dan selalu pasrah pada keadaan, rendah diri
dan tidak kreatif. Kalaupun mau berusaha, cukup puas hanya pada tataran

pencapaian rata-rata (mediocore achievement). Perkembangan kualitas SDM
Indonesia tidak terlepas dari sejarah intervensi pemerintah dalam dunia
pendidikan.
Pada masa kolonialisme, penduduk sengaja dibuat bodoh dengan hanya
mengizinkan anak orang-orang yang pro-pemerintah colonial yang dapat
bersekolah. Hasilnya mayoritas penduduk Indonesia buta huruf (il-literate) dan
bermental rendah (inferior). Pada masa orde lama hingga orde baru pendidikan
tidak pernah mendapatkan prioritas dalam program pembangunan nasional.
3. Sumber Daya Alam
Perekonomian Indonesia tidak bisa menggantungkan daya saingnya dari
keunggulan komparatif apalagi hanya dengan mengeksploitasi sumber daya alam
yang tidak terbarukan. Saat ini stok sumber daya alam tidak terbarukan seperti
minyak bumi, gas, maupun batubara Indonesia telah menipis. Demikian juga
sumber daya alam yang dapat diperbarui juga telah banyak rusak dan
membutuhkan waktu yang amat lama untuk dapat dikembalikan kepada keadaan
semula.
Rusak dan gundulnya hutan telah menjadi isu yang cukup memprihatinkan.
Bahkan kerusakan alam yang demikian parahnya justru menyebabkan bencana
lain muncul, seperti tanah longsor dan banjir, yang menambah terpuruknya daya
saing perekonomian Indonesia.
4. Teknologi
Indeks teknologi ini diukur antara lain dari posisi negara bersangkutan dalam
penguasaan teknologi dibandingkan negara-negara maju, inovasi bisnis,
pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D), serta kolaborasi dengan
perguruan tinggi setempat dalam R&D. Sementara, indeks transfer teknologi
diukur dari tingkat alih teknologi oleh investor asing, baik melalui penanaman
modal langsung maupun pemberian lisensi untuk teknologi asing.
Dalam hal penguasaan teknologi Indonesia juga masih kalah dibandingkan
dengan Negara tetangga, meskipun Indonesia memiliki cadangan sumber daya
alam yang cukup untuk membuat industry teknologi sendiri. Hal ini disebabkan

karena kualitas SDM Indonesia yang kurang diberdayakan untuk memajukan
sector teknologi.
5. Iklim Usaha
Variabel situasi makroekonomi meliputi sejumlah komponen, yakni stabilitas
makroekonomi, peringkat utang negara dan belanja pemerintah. Untuk stabilitas
makroekonomi, Indonesia peringkat ke-45. Sementara, untuk peringkat utang,
Indonesia urutan ke-74, dan belanja pemerintah urutan ke-19. Sementara, MCI
yang dikembangkan Michael E Porter mengukur daya saing fundamental secara
komparatif, dengan menggunakan indikator-indikator mikroekonomi seperti
operasi dan strategi perusahaan, serta kualitas iklim usaha di dalam negeri pada
negara bersangkutan.
Kualitas iklim usaha di sini meliputi antara lain kualitas infrastruktur fisik,
infrastruktur administratif, sumber daya manusia, infrastruktur teknologi, pasar
modal, kondisi permintaan, ada-tidaknya industri terkait dan industri pendukung,
ada-tidaknya insentif usaha dan persaingan (struktur pasar). Hingga saat ini iklim
usaha di Indonesia belum dapat dikatakan kondusif. Kurangnya kepercayaan
pihak asing menyebabkan larinya para investor asing ke luar negeri. Buruknya
iklim usaha di Indonesia tercermin dari kompleks dan berbelit-belitnya birokrasi.
Sistem perizinan dengan prosedur yang panjang membuat para investor harus
mengeluarkan dana ekstra untuk memangkas birokrasi dengan cara-cara yang
tidak terpuji seperti suap.
Sarana infrastruktur yang buruk, seperti rusaknya jalan-jalan sangat menghambat
aktivitas perekonomian. Hal ini memberikan gambaran buruk bagi para investor
bahwa pajak yang mereka bayarkan kepada Negara tidak memberikan imbal balik
bagi kelangsungan usaha mereka.
6. Industri Manufaktur
Industri manufaktur boleh jadi merupakan sosok yang paling menggambarkan
problematika perekonomian Indonesia dewasa ini. Di era dunia datar (flat world)
yang dipicu oleh globalisasi dan liberalisasi, industri manufaktur berada di lini
terdepan dalam pertarungan menghadapi persaingan mondial. Hal ini disebabkan
industri manufaktur merupakan satu dari tiga sektor tradables. Dua sektor lainnya

ialah pertanian serta pertambangan & galian. Sesuai dengan namanya, produkproduk yang dihasilkan sektor tradables diperdagangkan secara bebas, baik di
pasar internasional maupun pasar domestik.
Untuk menembus pasar internasional, produk-produk sektor ini harus berhadapan
dengan produk-produk serupa dari negara-negara lain; sementara itu untuk
memperoleh tempat di pasar domestik, produk-produk ini harus mumpuni
menghadang penetrasi barang-barang sejenis yang diimpor. Di antara sektor
tradables sendiri, industri manufakturlah yang paling keras menghadapi
persaingan. Karena karakteristik alamiahnya, derajat mobilitas produk-produk
manufaktur lebih tinggi ketimbang produk-produk pertanian dan pertambangan.
Sekedar perbandingan, sektor-sektor yang tergolong non-tradables, yang terdiri
dari sektor jasa (dalam artian luas, meliputi juga konstruksi dan utilitas), praktis
tak menghadapi persaingan head to head di pasar domestik. Misalnya: sektor
listrik, gas, dan air bersih; komunikasi, pendidikan, rumah sakit, dan jasa
angkutan.
Mengingat intensitas perdagangannya sangat tinggi, industri manufaktur
menghadapi hampir segala persoalan di hampir semua “medan laga”, baik di
lingkungan internal, industri maupun eksternal. Juga terkena imbas langsung dari
persoalan-persoalan yang dihadapi di lingkup pasar domestik mapun pasar
internasional.
Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi di tingkat perusahaan semata tak
bisa menjamin keberhasilan seandainya faktor-faktor eksogen tak mendukung,
misalnya: kualitas infrastruktur yang buruk, korupsi dan pungutan liar, birokrasi
yang bobrok, kerangka institusi yang lemah, kualitas sumber daya manusia yang
rendah, serta risiko bisnis dan politik yang tinggi.
C.

Awal Mulanya Jatuh Daya Saing Indonesia Dari Negara-Negara Maju

Indonesia mengalami kemunduran luar biasa dalam melahirkan perusahaan dan
industry kelas dunia. Globalisasi yang telah menjadi kemestian adalah arena yang
akan menghukum mereka yang tidak siap dan tidak tanggap seperti bangsa kita
terhadap fenomina ini. Persoalan peningkatan daya saing ekonomi ini adalah

persoalan serius yang mesti diperhatikan dalam mendesain program pemulihan
ekonomi kita ke depan.
Daya saing yang buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan
terhadap gejolak eksternal dan karenanya mudah sekali didera krisis yang
berkepanjangan. Sebaliknya jika daya saing sebuah perekonomian baik,
perekonomian akan mampu segera pulih dari krisis bahkan bangkit kembali untuk
menjadi perekonomian yang tangguh dan terhormat. Bukti empiris memang
menunjukkan bahwa Negara-negara segera bangkit perekonomiannya adaah
Negara-negara yang daya saing ekonominya terus membaik, contohnya Malaysia
dan Jepang.
Membangun ekonomi bukanlah persoalan sederhana. Ia harus ditunjang industrial
base yang tangguh, sayangnya untuk Negara kita yang terjadi bukanlah sebuah
proses re-industrialisasi yang lebih terencana dan terfokus untuk menangguhkan
fondasi ekonomi dan kemudian berangsur-angsir pulih, tetapi sebuah proses yang
kini populer dengan sebutan de-industrialisasi. Hal ini menegaskan bahwa
perekonomian Indonesia memang memiliki potensi serius untuk terus berjibaku
dalam krisis berkepanjangan yang tak berujung.
D. Perangkap Lingkaran Ketergantungan
Dari sejumlah kesalahan kebijakan pembangunan yang dibuat Pemerintah RI
sejak kemerdekaannya hingga sekarang, yang paling fatal adalah membiarkan
bangsa ini bergantung pada teknologi yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa lain.
Hingga kini, kita benar-benar menjadi bangsa konsumen produk teknologi
bangsa-bangsa lain yang lebih maju, bukan inovator atau pencipta teknologi.
Ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi impor inilah yang menyebabkan
sistem ekonomi dan industri Indonesia kurang efisien, kurang produktif, dan tidak
kompetitif.
Pada umumnya produk (outputs) sistem industri Indonesia menjadi mahal, karena
selain teknologi, komponen produksi (production inputs) lainnya juga sebagian
besar diimpor. Contoh yang jelas adalah ketiga industri andalan nasional di masa
Orde Baru, yaitu: TPT, elektronik, dan otomotif. Ternyata kandungan impor
(import content) ketiga industri ini sekitar 70% sampai 85%. Artinya, selama ini

kita hanya menjadi ”tukang jahit” (assembling) saja. Sedikit sekali atau tidak ada
proses transfer teknologi. Industri hulu (penunjang) ketiga industri andalan
nasional tersebut juga tidak dikembangkan secara komprehensif.
Industri TPT, misalnya, tidak ditunjang oleh sistem perkebunan kapas dan
budidaya ulat sutera yang tangguh dan berkelanjutan. Hampir semua mesin-mesin
pabrik tekstil di tanah air kini sudah tua atau absolut. Wajar, kalau produk ketiga
industri nasional tersebut kini kalah bersaing dengan produk-produk dari
Malaysia, RRC, Thailand, dan Vietnam.
Ketergantungan pada teknologi asing juga membuat sistem industri nasional
kurang atau tidak mampu meresponse secara cepat terhadap tuntutan pasar
(konsumen) yang begitu dinamis. Perlu dicatat, bahwa di era dunia yang semakin
datar ini, tuntutan pasar bukan hanya yang berkaitan dengan kualitas, kemasan
(packaging), harga, dan kontinuitas suplai barang dan jasa; tetapi juga yang terkait
dengan pelestarian lingkungan, hak azasi manusia, dan aspek non-tarif
(ideographic) lainnya.
Lebih dari itu, sistem ekonomi Indonesia pun menjadi sangat tergantung pada
modal (investasi) asing dan cadangan devisa yang diperoleh melalui ekspor serta
hutang luar negeri. Karena, hampir semua investor asing ketika menanamkan
modalnya di suatu negara, tak terkecuali Indonesia, selalu mensyaratkan
penggunaan teknologi dari negaranya.
Fakta empiris (sejarah) juga membuktikan, bahwa bangsa yang maju dan makmur
adalah mereka yang mampu melakukan pembangunan industri secara efisien,
produktif, dan berkelanjutan. Industrialisasi (pembangunan industri) baru berhasil,
bila bangsa yang bersangkutan melaksanakan institusionalisasi proses-proses
inovasi teknologi (AIPI, 2006). Artinya, keberhasilan industrialisasi bisa terwujud
di suatu negara-bangsa, bila preskripsi-preskripsi teknologi yang mendasari
beroperasinya unit-unit produksi dalam sistem industri nasional nya merupakan
hasil atau ada dalam kendali bangsa tersebut.
Jika kita tinjau ulang (flash back) pembangunan industri Indonesia, program
institusionalisasi proses inovasi teknologi dapat dikatakan belum pernah berhasil.
Yang lebih mencemaskan, upaya sadar, serius dan kontinu dari segenap

komponen bangsa (terutama para pemimpin dan elit bangsa) ke arah itu pun
belum pernah menjadi agenda nasional. Presiden B.J. Habibie sebenarnya telah
mencoba

melakukan

program

ini.

Sayangnya,

masa

kepimimpinannya

berlangsung sangat singkat, dan pemerintahan yang dipimpinannya pun sangat
dibebani tugas pemulihan krisis multidimensi.
E.

Potret Daya Saing Global

Daya Saing Global menurut Executive Summary WEF adalah kemampuan nilai
tukar mata uang suatu Negara (exchange rate) mempengaruhi produktivitas
nasional. Daya saing diartikan sebagai akumulasi dari berbagai factor, kebijakan
dan kelembagaan yang memepengaruhi produktivitas suatu Negara sehinggan
akan emenetukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam system perekonomian
nasional.
Produktivitas adalah penentu utama tingkat ROI (return on Investment) dan
agregasi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian semakin kompetitif daya saing
sebuah system perekonomian maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam
waktu menengah dan panjang.
Daya saing juga dapat dilihat dari kebijakan makroekonomi. Pada era orde baru,
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi (7-9%), namun karena terjadi salah kelola
(mismanaging) dan salah arah kebijakan (misguiding) public finance dengan
diberlakukannya DFI (Direct Foreign Investment) sehingga pada saat krisis
akibatnya Negara yang menanggung Utang pihak swasta. Faktor-faktor lain
sebagai penentu daya saing global diantaranya: kesempatan berusaha, system
peradilan yang fair, pajak yang bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan
pendidikan, hubungan internasional dan hak cipta. Terjadinya pergantian
pemerintahan, kerusakan
Infrastruktur (akibat banyaknya bencana alam, tsunami, gempa bumi, dan banjir)
dan hancurnya pasar uang menyebabkan daya saing perekonomian Indonesia
terpuruk

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Proses penigkatan perekonomian dan pembangunan nasional merupakan suatu
kegiatan yang terus menerus dan menyeluruh dilakukan mulai dari penyusunan
suatu rencana, penyususnan pogram, kegiatan pogram, pengawasan sampai pada
pogram terselesaikan untukl menunjang daya saing Negara Indonesia dengan
Negara-negara maju di belahan dunia.
Dari uraian di atas juga, jelas bahwa upaya untuk membangun daya saing dan
kemandirian sains dan teknologi bangsa memerlukan peran aktif semua pihak,
baik pemerintah, dunia usaha, akademisi, maupun masyarakat secara umum.
Selain peran aktif dimaksud, beberapa masalah dan kendala berikut ini juga
mutlak untuk dipecahkan.
Pertama, perlu dihilangkan berbagai problem struktural yang menjadi penghambat
upaya untuk mengembangkan sains dan teknologi. Perbaikan struktural dimaksud
tidak terbatas pada penyediaan sistem insentif yang berkaitan dengan kebijakan
makro ekonomi, melainkan juga pada kebijakan mikro baik yang berkaitan
dengan industri, investasi dan perdagangan. Untuk yang disebut terakhir ini,
perhatian pada penghilangan berbagai bentuk inefisiensi dan peraturan (atau yang
lebih dikenal dengan high cost economy) yang menghambat perkembangan sains
dan teknologi domestik harus dihilangkan.
Kedua, meningkatkan terus menerus kualitas SDM yang tidak hanya menyangkut
skills dan pendidikan saja, melainkan juga menyangkut penanaman mentalitas
bangsa mandiri, kewirausahaan dan etos kerja penuh inovasi dan profesionalisme
kepada masyarakat. Dalam kaitan ini termasuk diantaranya melalui pelatihanpelatihan kerja dengan sentuhan teknologi yang mumpuni, murah, dan terjangkau
merupakan langkah penting dalam mendorong terciptanya daya saing dan
kemandirian sains dan teknologi nasional.
B.

Kritik & Saran

Pergolakan perekonomian dan pembangunan Indonesia telah menciptakan
urgensi-urgensi kehidupan yang mendera perekonomian Indonesia, bahkan
berbagai persoalan konflik elit politik terjadi belum bisa terealisasikan sampai saat
ini. Persoalan-persoalan ini terjadi tentu berdampak besar pada proses
peningkatan daya saing perekonomian dan pembangunan kearah yang lebih baik,
namun pada penulisan ini perlu disampaikan bahwa taraf perekonomian Indonesia
masih jauh dari yang kita harapkan, warisan hutang luar negeri masih harus
dibayar.
Dalam Hal meningkatkan daya saing perekonomian dan pembangunan Indonesia
hal utama yang harus dilakukan dalam membangun daya saing dan kemandirian
bangsa berbasis sains dan teknologi. Namun apapun yang dilakukan, gagasan
upaya maupun langkah-langkah yang diuraikan di atas mutlak diperlukan agar
masyarakat secara keseluruhan dapat membangun daya saing dan kemandirian
bangsa berbasis sains dan teknologi bagi kesejahteraan hidupnya. Jika tidak,
sangat sulit rasanya bangsa ini keluar dari ketergantungan penggunaan sains dan
teknologi asing yang berimplikasi kepada kemelaratan perekonomian nasional
yang permanen
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus
bersaing dalam mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan, harga diri bangsa
Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan
buat anak cucu kelak. Dalam proses peningkatan perekonomian dan pembangunan
bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat
umumnya.

REFERENSI
1. http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090126174820AAFGt08
2. http://bataviase.co.id/node/241304
3. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2261
&Itemid=219

4. http://afrizalwoyla.co.nr
5. http://labtani.wordpress.com/2008/11/07/sejarah-perekonomian-indonesia/
6. http://ronawajah.wordpress.com/2008/12/01/sumberdaya-manusia-kapanberkemampuan-kompetitif/
7. http://www.mudrajad.com/upload/Reformasi%20di%20Persimpangan%20Jala
n.pd
8. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Prakarsa Teknologi Untuk
Mewujudkan Kemandirian Bangsa . Komisi Ilmu Rekayasa. Jakarta.

9. Kynge, J. 2006. China Shakes the World: The Rise of a Hungry Nation .
Weidenfeld & Nicolson, London..
10. Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia .Jakarta:Rajawali
pers.
11. Yustika, Ahmad Erani.

2002. Pembangunan

Perekonomian Indonesia . Jakarta : PT. Grasindo.

dan

Krisis,

Memetakan