Ketahanan dan Kemandirian Pangan Komodit (1)

KETAHANAN DAN KEMANDIRIAN PANGAN KOMODITAS DAGING SAPI

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketersediaan pangan dapat berasal dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain. Menurut
Saliem et al. (2003) selain enam hal tersebut, aspek keberlanjutan ketahanan pangan yang identik
dengan kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional merupakan hal yang
harus diperhatikan.Untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari
ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan dalam negeri.Dalam
operasionalnya, konsep mandiri diskenariokan sebagai kondisi dimana kebutuhan pangan nasional
minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam negeri (Suryana, 2004).Pentingnya kemandirian
pangan dilatarbelakangi bahwa pangan merupakan kebutuhan hakiki manusia.
Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program
pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan asal hewani.Untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia tersebut, daging sebagai bahan pangan mempunyai
peran yang signifikan. Kalaupun ada kelompok penduduk masih rendah aksesnya terhadap daging,
peran subsektor peternakan tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan untuk mendukung
ketahanan pangan tapi juga berperan tidak langsung sebagai lapangan usaha untuk meningkatkan
pendapatan sehingga akan meningkatkan akses peternak terhadap pangan. Upaya meningkatkan

ketahanan pangan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan komoditas daging
selain dilihat dari kemampuannya dalam menyediakan produk, juga perlu diperhatikan seberapa
jauh usaha yang telah dikembangkan oleh pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat
(Sudaryanto dan Jamal, 2000).
Produk daging sapi merupakan komoditas kedua setelah unggas (ayam potong). Kontribusi
daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23% dan diperkirakan akan terus
mengalami peningkatan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Secara umum kebutuhan daging
sapi masih disupply oleh impor daging maupun sapi bakalan.Secara agregat Indonesia adalah
merupakan negara pengimpor produk peternakan, termasuk produk daging sapi yang cenderung
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.Kondisi ini menggambarkan kurangnya pasokan
secara nasional.Dari kondisi ini maka diperlukan solusi yang dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam permasalahan tentang komoditas daging, tentunya disertai dengan data-data yang
mendukung dan dengan analisis permasalahannya.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana data-data produksi, konsumsi, ekspor dan impor dari komoditas daging sapi di
Indonesia ?
2. Bagaimana analisis permasalahan yang ada berdasarkan data yang ada ?
3. Bagaimana solusi atau apa saja kebijakan yang diterapkan dalam upaya mengatasi
permasalahan yang timbul ?


Tujuan
1. Untuk mengetahui kondisi ketahanan dan kemandirian pangan khususnya komoditas
daging sapi melalui data-data pendukung.
2. Untuk dapat menganalisa permasalahan tentang komoditas daging sapi dari data-data yang
didapat.
3. Untuk menentukan kebijakan atau solusi dari permasalahan yang muncul pada komoditas
daging sapi.
Manfaat
1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kondisi produksi, konsumsi, import
dan ekspor untuk komoditas daging di Indonesia
2. Dapat mengetahui apa saja permasalahan pada komoditas daging yang timbul di Indonesia.
3. Dapat mengetahui kebijakan dan solusi atas permasalahan pada komoditas daging yang
timbul di Indonesia.

DATA PENUNJANG
a.

Data Konsumsi Daging Sapi
Tabel 1. Konsumsi dan Defisit Daging Sapi, 2008-2013
Defisit

Tahun

Konsumsi (ton)

Produksi (ton)
Ton

%

2008

395,244

222,656

172,588

77.51

2009


413,087

213,477

199,610

93.50

2010

440,774

349,698

91,076

25.95

2011


488,931

410,698

78,233

19.05

2012

544,896

425,495

119,401

28.06

2013


593,706

425,778

167,928

39,44

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Berdasarkan pada tabel 1 ditunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, mulai dari tahun
2008 sampai dengan tahun 2013 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 konsumsi
masyarakat akan daging sapi mencapai 395.244 ton dan meningkat pada tahun 2009 yang
mencapai 413.087 ton. Peningktan terus berlanjut yakni ada tahun 2010 konsumsi daging
sapi nasionala mencapai 440.774 ton. Begitu juga pada tahun 2011 yang mencapai 488.931
ton, 2012 mencapai 544.896, dan pada tahun 2013 yang masih menunjukkan peningkatan
menjadi 593.706. Akan tetapi konsumsi yang besar dan kian meningkkat di setiap
tahunnya tidak dibarengi dengan tingginya produksi dalam negeri (sapi lokal) meskipun
disetiap tahunnya produksi daging (sapi lokal) juga menunjukkan peningkatan dar ahun
2008 samapi dengan tahun 2013.

Sedangkan konsumsi masyarakat berdasarkan kategori daging sapi yang
dikonsumsi masyarakat yaitu ada tiga jenis produk daging sapi yakni daging sapi segar,
daging sapi diawetkan, dan daging sapi dari makanan jadi. Janis produk daging sapi yang
paling banyak dikonsumsi yaitu daging sapi dari makanan jadi, hal in disebabkan
kepraktisan yang ditawarkan oleh produk daging sapi tersebut. Sedangkan yang paling
sedikit dikonsumsi masyarakat yaitu daging sapi yang diawetkan. Untuk pertumbuhannya
sendiri, untuk produk daginng sapi segar pertumbuhan dari tahun 2002 sampai dengan
tahun 2012 cenderung berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan yang menunjukkan
angka minus yang berarti cenderung mengalami penurunan dalam jumlah yang dikonsumsi
masyarakat. Begitu pula dengan prediksi pada tahun 2013 dan 2014 yang juga diprediksi
menurun.
Untuk produk daging sapi yang diawetkan juga tidak berbeda jauh dengan produk
daging sapi segar yakni cenderung berfluktuasi dengan tingkat konsumsi tertinggi yaitu
terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 0,53 atau tumbuh sebesar 537,5 % daritahun

sebelumnya. Sedangkan untuk tahun2013 diprediksikan mengalami penurunan sebesar
90,13%. Sedangkan untuk tahun 2014 justru diprediksi mengalami pertumbuhan sebesar
190%. Selanjutnya untuk produk daging sapi dari makanan jadi juga menunjukkan
pertumbuhan yang berfluktuasi mulai dari ahun 2002 sampai dengan taun 2012, dengan
tngkat konsumsi rata-rata tertinggi yakni pada tahun 2007 sebesar 16,66 atau tumbuh

sebesar 1,9% dari tahun sebelumya.
Tabel 2. Perkembangan konsumsi daging sapi segar, diawetakan dan makanan jadi dalam
rumah tangga di Indonesia, 2002 – 2012 dan prediksinya 2013 – 2014

\
Sumber: SUSENNAS, BPS diolah pudatin
Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin
b.

Data Produksi Daging Sapi
Tabel 3. Produksi Daging Sapi Nasional, 2008-2013
Tahun

Ex Sapi Lokal

Ex Sapi Impor

Total
(ton)


Ton

%

Ton

%

2008

222,656

56.73

169,844

43.27

392,500


2009

213,477

52.16

195,823

47.84

409,300

2010

349,698

80.18

86,485


19.82

436,452

2011

410,698

84.62

74,635

15.38

485,333

2012

425,495

84.18

79,982

15.82

505,477

2013

463,778

85.00

81.843

15.00

545,621

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah).
Untuk total produksi daging sapi nasional dari tahun 2008 sampai dengan 2013
terus menunjukkan peningktan dengan puncaknya yang terjadi pada tahun 2013 yaitu
sebesar 545.621 ton. Akan tetapi produksi tersebut diperoleh dari sapi lokal dan sapi impor,
dimana untuk daging sapi dari sapi lokal terus mengalami peningkatan dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2013. Sedangkan untuk daging sapi dari sapi impor cenderung
berfluktuasi, dimana pada saat pemberlakuan kuota impor sapi sejak tahun 2010 jumlah
sapi yang diimpor mengalami penurunan drastis dari tahun-tahun sebelumnya, yang
terlihat dalam jumlah daging sapi yang dihasilkan dari sapi impor yang berkurang dari
tahun 2009 sebesar 195.823 ton menjadi 86.485 ton, begitu juga pada tahun 2011 menjadi
74.685ton. Sedangkan pada thun 2012 dan 2013 kembali mengalami peningkatan tipis
yaitu sebesar 79.982 ton pada tahun 2012 dan sebesar 81.843 pada thun 2013. Sedangkan
untuk populasi sapi lokal dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 terus menunjukkan
peningkatan sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia, 2008-2013 (ribu ekor)
Tahun

Populasi

2008

12,257

2009

12,760

2010

13,582

2011

14,824

2012

16,034

2013

16,606

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
c.

Data Ekspor dan Impor Daging Sapi
Tabel 5. Volume Ekspor dan Impor Daging Sapi Indonesia, 2008-2013
Tahun

Ekspor (ton)

Impor (ton)

Defisit (ton)

2008

6

2744

2738

2009

4

3787

3783

2010

0

4322

4322

2011

0

3598

3598

2012

2

39419

39417

2013

0

48085

48085

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Indonesia melakukan impor sapi dalam bentuk daging dan ternak bakalan untuk
digemukkan.Mayoritas negara asal daging sapi adalah Australia dan New Zealand,
sementara asal ternak sapi bakalan hanya Australia.Ekspor daging sapi dari Indonesia
sangat kecildan ekspor ternak sapi bahkan tidak ada.Perkembangan volume impor dan
ekspor daging sapi oleh Indonesia selama 2008-2013 diperlihatkan pada Tabel 5.Volume
impor terus meningkat selama 2008-2010, yaitu dari 2.744 ton pada tahun 2008 menjadi
4.332 ton pada tahun 2010, tetapi kemudian turun pada tahun 2011 menajdi 3.598 ton,
karena pasokan daging sapi di dalam negeri sudah berlebihan sebagai akibat impor sapi
bakalan yang terlalu banyak. Pada tahun 2012, volume impor daging sapi melonjak tajam
mencapai 39.419 ton karena terjadi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri
sebagai akibat penurunan drastis volume impor sapi bakalan.

ANALISIS PERMASALAHAN
a.

Analisis Permasalahan Konsumsi Daging Sapi
Dari ternak sapi yang merupakan produk utama, adalah daging segar, daging beku
dan daging olahan (dendeng, daging giling/ mince, corned, sosis, bakso, dan daging dalam
kaleng). Menurut teori ekonomi, salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi daging
sapi per kapita adalah pendapatan rumah tangga konsumen. Dapat dikatakan bahwa ratarata konsumsi daging sapi segar per kapita per tahun masih sangat rendah. Karena itu, ke
depan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, maka diperkirakan bahwa konsumsi
langsung daging segar akan meningkat. Konsumsi tidak langsung (untuk bahan baku
industri pengolahan, bakso, dan lain-lain) juga akan terus meningkat dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk.

Sumber: SUSENNAS, BPS diolah pudatin. Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin

Gambar 1. Grafik Perkembangan konsumsi daging sapi segar, diawetakan dan makanan
jadi dalam rumah tangga di Indonesia, 2002 – 2012 dan prediksinya 2013 – 2014.
Perkembangan konsumsi total daging sapi di dalam negeri selama 2008-2012
diperlihatkan pada gambar 1. Yang dimaksudkan dengan “konsumsi total” terdiri dari : (1)
Konsumsi langsung oleh rumah tangga; (2) Penggunaan untuk industri pengolahan
makanan; dan (3) Tercecer. Konsumsi total daging sapi selama kurun waktu tersebut terus
meningkat cukup cepat. Pada tahun 2012 merupakan tingkat konsumsi yang paling tinggi
yaitu sekitar 2,31 kg dan angka ini dinilai masih sangat rendah. Dari grafik juga ditunjukan
diantara jenis konsumsi daging, yang paling banyak dikonsumsi masyarakat adalah jenis
daging sapi dari makanan jadi.

Dilihat dari data konsumsi daging sapi di Indonesia, dapat dilihat beberapa
permasalahan yang terjadi sebagai berikut:
1. Konsumsi daging sapi di Indonesia masih sangat rendah.
Berdasarkan catatan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), konsumsi daging sapi
di Indonesia hanya 2 Kg/kapita/tahun atau bisa dilihat dari gambar 1 konsumsi tertinggi
di Indonesia terjadi pada tahun 2012 yang angka konsumsinya juga hanya sekitar 2,3
kg/kap. Banyak hal yang membuat konsumsi daging di Indonesia sangat rendah, salah
satunya harga daging sapi yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.Harga daging
sapi yang terus melonjak disebabkan karena tidak mencukupinya jumlah sapi potong
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia sehingga impor
daging sapi tidak dapat dihindari.Impor daging sapi yang dilakukan pemerintah
Indonesia sangat merugikan karena kebijakan terhadap impor dinilai tidak bijaksana.
Dalam fokus grup diskusi ISPI, terungkap bahwa kebijakan impor saat ini dilakukan
berdasarkan informasi global yang tidak memperhitungkan penyebaran sapi, ongkos
transportasi, dan segmentasi pasar, tidak adanya mekanisme dan dasar pembagian
kuota yang jelas sehingga berakibat pada terciptanya monopoli pasar yang tidak
berkomitmen pada pembangunan industri sapi di Indonesia.Hal ini mengakibatkan deindustrialisasi yang berakibat pada ditutupnya Rumah Potong Hewan (RPH) serta
menyusutnya industri feedlot, menguntungkan importir daging sapi dan eksportir
daging di Australia, dan rawan terhadap penyimpangan pelaksanaan target
swasembada apabila dilakukan tanpa kedisplinan dan konsistensi kebijakan
pemerintah.Selain faktor harga yang terus meningkat, factor lainnya disebabkan oleh
pola pikir masyarakat akan gizi yang masih rendah sehingga gizi untuk tubuh bukan
menjadi prioritas utama.
2. Sebaran Populasi Ternak Sapi dan Konsumsi Daging Sapi yang Tidak Merata.
Menurut data BPS, di Indonesia terdapat perbedaan tingkat konsumsi daging oleh
masyarakat antara daerah satu dengan lainnya. Masyarakat di kawasan Indonesia Barat
(Sumatera dan Jawa) memiliki tingkat konsumsi daging sapi tinggi, sementara itu
populasi ternak sapi menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan dalam jumlah cukup

besar berada di kawasan Indonesia Timur, seperti di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan
Jawa Timur, yang justru tingkat konsumsinya rendah.

3. Defisit Daging Sapi Sangat Tinggi

Konsumsi Daging Sapi,
2008-2013
700.000
600.000
500.000
400.000
300.000
200.000
100.000
0
2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 2. Grafik Konsumsi dan Defisit Daging Sapi 2008-2013
Berdasarkan gambar diatas, grafik menunjukan bahwa konsumsi akan daging sapi
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun dari segi produksinya tidak
tingkat pertumbuhannya tidak seimbang dengan konsumsi, sehingga Indonesia
mengalami defisit. Konsumsi daging sapi akan terus meningkat karena pertumbuhan
jumlah penduduk, disamping itu, kenaikan permintaan daging sapi juga disebabkan
oleh kenaikan pendapatan riil per kapita, citra produk (gengsi), cita rasa, serta
pertumbuhan industri pengolahan daging sapi dan industri pariwisata (hotel dan

restoran). Defisit daging sapi ini juga disebabkan dengan peningkatan produksi yang
masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi potong.
b.

Analisis Permasalahan Produksi Daging Sapi
Sumber produksi daging sapi nasional adalah: (1) Sapi lokal, yaitu sapi potong, sapi
perah jantan, dan sapi perah betina afkir, yang sebagian besar adalah sapi potong; dan (2)
Sapi bakalan (feeder steer) yang diimpor dari Australia dan digemukkan di Indonesia
selama sekitar 100 hari. Populasi sapi potong selama 2008-2012 terus meningkat dengan
rata-rata 6,87%/ekor, yaitu dari 12,26 juta ekor pada tahun 2008 menjadi 16,03 juta ekor
pada tahun 2012.

PERKEMBANGAN POPULASI SAPI POTONG DI
INDONESIA, 2008-2013 (RIBU EKOR)
20.000
15.000
10.000
5.000
0
2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 3. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia
Perkembangan produksi daging sapi nasional selama 2008-2012 meningkat terus
selama kurun waktu tersebut dengan rata-rata 6,76%/tahun (dari 392.500 ton pada tahun
2008 menjadi 505.477 ton pada tahun 2012). Berdasarkan literature jurnal, faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi daging sapi disebabkan oleh perubahan harga input
produksi, harga output, dan produksi tahun sebelumnya. Harga input produksi seperti harga
sapi bibit, harga dedak, dan harga limbah tanaman pangan sebagai pengganti rumput
berpengaruh terhadap produksi daging sapi di wilayah sentra produksi sapi di NTT, NTB,
dan Bali. Harga daging sapi berpengaruh positif dan signifikan di semua wilayah, kecuali
untuk Jawa Barat yang merupakan rasio dari harga sapi bakalan terhadap harga daging
sapi.Produk substitusi maupun komplementer dari daging sapi dapat berupa produk telur
dan daging ayam serta ikan tongkol.Pengaruhnya terhadap produksi daging sapi bervariasi
antarwilayah, dimana hal ini juga disebabkan oleh ketersediaan dan selera pasar terhadap
produk tersebut.

PRODUKSI DAGING SAPI
NASIONAL, 2008 -2013
600.000
500.000
400.000

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 4. Produksi Daging Sapi Nasional

Perkembangan produksi nasional tersebut dipengaruhi oleh perkembangan
produksi daging sapi ex sapi lokal dan ex sapi impor.Berdasarkan data tabel 4.Selama
2008-2012 produksi daging sapi lokal cenderung naik sangat cepat dengan rata-rata
19,50%/tahun. Pada tahun 2009 produksi daging ex sapi lokal sempat turun menjadi
213.477 ton atau turun 4,12% dibanding tahun 2008. Penurunan produksi ini disebabkan
oleh peningkatan produksi daging ex sapi impor sebesar 15,30%, yaitu dari 169.844 ton
pada tahun 2008 menjadi 195.823 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi daging ex
sapi impor tahun 2009 ini disebabkan oleh impor sapi bakalan dari Australia dalam jumlah
besar. Pemerintah kemudian menetapkan kebijakan pembatasan impor sapi bakalan
sehingga pada tahun 2010 produksi daging ex sapi impor menurun drastis menjadi hanya
86.485 ton atau turun 55,84% dibanding tahun 2009, dan penurunan itu terus berlanjut
hingga 2011. Penurunan produksi daging ex sapi impor yang sangat drastis pada tahun
2010 tersebut memberikan peluang bagi peningkatan produksi daging ex sapi lokal sebesar
63,84%. Karena itu, pada tahun 2010 pangsa produksi daging ex sapi lokal melonjak dari
52,16% pada tahun 2009 menjadi 80,18% pada tahun 2010. Sebaliknya, pangsa produksi
daging ex sapi impor menurun drastis dari 47,84% pada tahun 2009 menjadi hanya 19,92%
pada tahun 2010. Pada tahun 2011 produksi daging ex sapi lokal meningkat lagi sehingga
pangsanya menjadi 84,62%, sementara produksi daging ex sapi impor turun lagi menjadi
hanya 15,38%. Pada tahun 2012, produksi daging ex sapi lokal dan ex sapi impor samasama meningkat lagi, namun pangsa produksi daging ex sapi impor sedikit meningkat,
sementara pangsa produksi daging ex sapi lokal sedikit menurun.Perlu dicacat bahwa
peningkatan produksi daging ex sapi lokal yang sangat cepat bukan berarti suatu prestasi
yang bagus.Peningkatan produksi daging ex sapi lokal yang sangat cepat sebagai akibat
dari pembatasan impor sapi bakalan (dan juga pembatasan impor daging sapi) dapat
mengancam populasi ternak sapi potong di Indonesia, jika peningkatan jumlah kelahiran
hidup tidak sebanding dengan peningkatan jumlah pemotongannya. Beberapa
permasalahan yang dapat memengaruhi produksi daging sapi adalah:
1. Indikasi terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong antara lain adalah:
a. Di daerah sentra sapi potong seperti NTT dan NTB makin sulit mendapatkan
ternak sapi potong jantan dengan bobot hidup 300 kg atau lebih per ekor.

Ternak sapi yang ada tinggal yang berukuran kecil dengan bobot sekitar 250
kg/ekor. Dengan menurunnya pasokan ternak sapi dengan bobot 300 kg atau
lebih, maka untuk mendapatkan 1 ton daging diperlukan jumlah sapi lebih
banyak.
b. Meningkatnya pemotongan ternak sapi potong betina produktif, yang berarti
pemusnahan (extinction) sumberdaya ternak sapi potong. Pemotongan sapi
berina produktif berarti mengurangi jumlah ternak sapi yang lahir. Pemerintah
tidak berdaya menghadapi masalah pemotongan ternak betian produktif ini.
Dengan demikian, maka kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dan impor
daging sapi harus benar-benar memperhitungkan dua hal, yaitu: (1) Kebutuhan
riil daging sapi untuk konsumsi rumah tangga, rumah makan, hotel, catering,
industri pengolahan, dan lain-lain; dan (2) Jumlah kelahiran sapi dan jumlah
sapi yang tersedia untuk dipotong. Kesalahan dalam menentukan kuota impor
akan berdampak fatal, yaitu pengurasan ternak sapi potong lokal.
2. Jumlah Pengiriman Sapi dari Sentra Produksi Ke Sentra Konsumsi
Secara historis sentra sapi potong di Indonesia adalah Kawasan Timur Indonesia
yaitu Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi.Sapi dari daerah tersebut dipasarkan ke daerah
konsumsi di Pulau Jawa, terutama untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.Pintu masuk
utama ke Jawa melalui pelabuhan yang ada di Jawa Timur.Selanjutnya dari Jawa Timur
diteruskan sampai ke DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Hasil penelitian Depdag (2006) melaporkan bahwa pedagang antar pulau dari NTB
sudah tidak mampu menjual sapi dan kerbau dengan modal sendiri, mereka saat ini
hanya sebagai perpanjangan tangan dari pedagang besar di Jakarta dan Bekasi.Jumlah
mereka sudah jauh menurun dari 20 orang menjadi 6 orang. Pada periode yang sama
jumlah ternak yang diantarpulaukan juga terus menurun, demikian juga dengan berat
badan sapi yang diperdagangkan turun dari rata-rata 300 kg menjadi rata-rata 250 kg
per ekor. Fenomena tersebut mengindiksikan kelangkaan sapi di sentra produsen.
Penelitian yang sama juga melaporkan bahwa saat ini aliran sapi (eks impor) sudah
bergerak dari Lampung ke Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Bahkan sapi eks
impor dari Sumatera Utara tersebut diteruskan pengirimannya hingga ke Banda
Aceh.Padahal dimasa lalu Aceh sebagai sentra produksi sapi mengirim sapi untuk
daerah Sumatera Utara, Riau dan Padang.Fenomena ini juga mengindikasikan makin
langkanya sapi potong lokal sebagai sumber daya.Bahkan menurut Ilham dan Yusdja
(2004), Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi sudah lama mengalami defisit
sehingga tidak mampu lagi mengirim ternak ke sentra produksi di Jakarta dan Jawa
Barat. Masalah lain yang dihadapi Sulawesi Selatan adalah pengeluaran antar pulau
dan pemotongan sapi betina produktif. Ini semua mengindikasikan makin langkanya
sumber daya sapi potong di Indonesia.Hingga kini kelangkaan tersebut makin berlanjut
tanpa upaya yang berarti untuk menghambatnya.

c.

Analisis Permasalahan Ekspor Daging Sapi

Volume Ekspor dan Impor Daging Sapi Indonesia,
2008-2013
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
2008

2009

2010

2011

Ekspor

Impor

2012

2013

Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 5. Volume Ekspor dan Impor Daging Sapi Indonesia, 2008-2013
Untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, Indonesia tidak dapat memenuhi
sehingga kegiatan impor dilakukan oleh Indonesia. Ekspor indonesia dari tahun 2008 –
2013 sangat memprihatinkan, tidak ada peningkatan secara signifikan yang terjadi pada
ekspor daging sapi oleh Indonesia. Pada tahun 2010, 2011 dan 2013 tidak ada kegiatan
ekspor daging sapi oleh Indonesia. Dan pada tahun 2008 ekspor daging sapi sebesar 6 ton,
pada tahun 2009 ekspor daging sapi sebesar 4 Ton dan tahun 2012 sebesar 2 Ton. Dapat
disimpulkan bahwa dari tahun 2008 – 2013 mengalami difisit yang berarti volume dan nilai
impor daging sapi selalu lebih besar dibandingkan volume dan nilai ekspornya.Selama
kurun waktu tersebut, defisit daging sapi terbesar terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar
48.085 ton.Yang disebabkan oleh rendahnya pasokan dari dalam negeri, harga dalam
negeri relatif lebih mahal daripada impor, kualitas daging sapi yang rendah dll.Hal tersebut
yang dapat menimbulkan lemahnya ekspor yang dilakukan oleh Indonesia.
d.

Analisis Permasalahan Impor Daging Sapi
Indonesia melakukan impor sapi dalam bentuk daging dan ternak bakalan untuk
digemukkan.Mayoritas negara asal daging sapi adalah Australia dan New Zealand,
sementara asal ternak sapi bakalan hanya Australia.Ekspor daging sapi dari Indonesia
sangat kecildan ekspor ternak sapi bahkan tidak ada.Perkembangan volume impor dan
ekspor daging sapi oleh Indonesia selama 2008-2013 diperlihatkan pada Tabel 5.Volume
impor terus meningkat selama 2008-2010, yaitu dari 2.744 ton pada tahun 2008 menjadi
4.332 ton pada tahun 2010, tetapi kemudian turun pada tahun 2011 menajdi 3.598 ton,
karena pasokan daging sapi di dalam negeri sudah berlebihan sebagai akibat impor sapi
bakalan yang terlalu banyak. Pada tahun 2012, volume impor daging sapi melonjak tajam
mencapai 39.419 ton karena terjadi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri
sebagai akibat penurunan drastis volume impor sapi bakalan.

Permasalahan Impor di Indonesia:
1. Volume Impor Sapi Bakalan
Impor daging sapi yang sudah dilakukan sejak awal zaman Orde Baru, Indonesia
juga mengimpor sapi bakalan asal Australia sejak 1991, yaitu setelah mendapatkan izin
dari pemerintah.Impor sapi bakalan dilakukan oleh perusahaan besar feedlot yang
tergabung ke dalam Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO).
Dasar pertimbangan impor sapi bakalan pada awalnya adalah bahwa
pemeliharaan/penggemukan sapi bakalan yang diimpor memberikan manfaat sosialekonomi lebih besar dibanding jika mengimpor dalam bentuk daging, yaitu:
a. Menciptakan nilai tambah di dalam negeri;
b. Memanfaatkan limbah pertanian, misalnya ampas nenas dari industri
pengolahan nenas PT Great Giant Pineapple di Lampung, sebagai pakan ternak
bergizi tinggi sehingga ampas nenas tidak terbuang percuma;
c. Menciptakan lapangan kerja di kandang feedlot dan kantor perusahaan
penggemukan sapi;
d. Menciptakan lapangan usaha panangkutan ternak dari pelabuhan ke kandang
feedlot dan dari kandang feedlot ke pedagang ternak/RPH; dan
e. Untuk memenuhi kebutuhan daging oleh hotel, restoran dan pasar swalayan.

Sumber: Ditjen Peternakan dan Keseehatan Hewan, diolah.
Gambar 6. Perkembangan Jumlah Impor Sapi Bakalan 1991 – 2012 (ekor)
Perkembangan volume impor sapi bakalan selama 1991-2012 diperlihatkan pada
Gambar 6.Pada awalnya (1991), jumlah impor masih kecil yaitu 13.200 ekor.Volume
impor tersebut terus meningkat sampai dengan 1997, dengan laju peningkatan sangat
cepat sejak 1995, sehingga pada tahun volume impor mencapai 277.000 ekor.Pada
tahun 2008, saat krisis ekonomi terjadi, dimana rupiah mengalami depresiasi berat
sehingga harga impor menjadi sangat mahal, volume impor turun drastis menjadi hanya
49.900 ekor.Setelah kondisi ekonomi nasional mengalami pemulihan dan rupiah
mengalami apresiasi, volume impor naik lagi hingga 2000, tetapi kemudian turun lagi
hingga tahun 2002. Selama 2003-2006 volume impor meningkat secara gradual, tetapi
pada tahun 2007 meningkat cepat dan terus meningkat makin cepat hingga 2009 yang

mencapai 657.300 ekor. Volume impor tahun 2008 yang mencapai 570.100 ekor
tampaknya sudah berlebihan yang menyebabkan terjadinya over supply ternak sapi
potong di daerah konsumen utama, yaitu Jabodetabek, sehingga harga ternak sapi hidup
turun. Dampak selanjutnya adalah ternak sapi di daerah sentra seperti Jawa Timur,
Jawa Tengah, NTT dan NTB tidak bisa masuk ke daerah Jabodetabek, sehingga terjadi
penumpukan ternak di kandang pedagang ternak antar daerah.
2. Harga di Tingkat Petani Menurun
Dampak berikutnya adalah pedagang tidak membeli sapi dari petani sehingga harga
ternak di tingkat petani menurun.Pada tahun 2009, kondisi makin parah karena jumlah
impor sapi naik lagi menjadi 657.300 ekor, yang menyebabkan harga ternak sapi hidup
turun lagi.Hal ini menimbulkan frustasi bagi pedagang ternak dan peternak
sapi.Sejumlah pedagang ternak bangkrut dan petani mulai enggan untuk memelihara
sapi. Melihat fenomena yang tidak sehat tersebut, pemerintah pada tahun 2010
mengenakan kuota impor sapi bakalan, sehingga volume impor sapi menurun drastis
menjadi 290.457 ekor, dan pada tahun 2011 turun lagi menjadi 184.955 ekor. Akibat
dari penurunan yang tajam impor sapi bakalan tersebut adalah terjadinya kelangkaan
sapi bakalan, sehingga harga ternak dan harga daging sapi meningkat tajam. Untuk
menstabilkan harga daging sapi, kuota impor sapi tahun 2012 dinaikkan lagi menjadi
283.000 ekor (bersamaan dengan peningkatan kuota impor daging sapi pada tahun yang
sama). Pada tahun 2013 terjadi gejolak pasokan daging sapi yang menyebabkan harga
daging sapi di tingkat konsumen di daerah Jabodetabek melebihi Rp 100.000/kg.Harga
ini dinilai sangat tidak wajar, sehingga pemerintah ingin menurunkan harganya melalui
penetapan kuota impor yang lebih besar.Dalam kondisi demikian, dimana selisih antara
harga dalam negeri dan harga impor sangat besar yang bisa mendatangkan keuntungan
sangat besar, makan timbul “permainan gelap” oleh pihak-pihak tertenu untuk
memperoleh jatah/kuota impor lebih besar.
3. Sentra Produksi yang Melemah
Akhir-akhir ini, penjualan sapi dari daerah sentra produksi sapi potong yang selama
ini menjadi andalan sumber sapi potong nasional yaitu NTT dan NTB ke wilayah sentra
konsumsi yaitu Jabodetabek sangat menurun dan beralih ke wilayah Kalimantan.
Beberapa alasannya adalah: (1) Pasar di wilayah Jabodetabek sudah cukup jenuh
dengan masuknya sapi impor dari Australia; (2) Biaya angkutan dan risiko perjalanan
dari NTT dan NTB ke Jabodetabek lebih tinggi dibanding ke Kalimantan karena untuk
ke Jakarta menggunakan kapal turun di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, lalu pindah
ke truk untuk angkutan ke Jakarta dengan waktu tempuh yang lama, sementara
angkutan ke Kalimantan cukup menggunakan kapal saja dan lebih cepat sampai; (3)
Harga jual di Kalimantan lebih lebih tinggi dibanding di Jakarta; (4) Pasokan sapi
jantan di NTT dan NTB sudah menipis; dan (5) Pedagang ternak antar pulau NTT dan
NTB sering ditipu oleh pedagang ternak/Jagal di Jabodetabek (pembayaran tidak
lancar).
4. Impor daging sapi oleh BULOG
Impor daging sapi oleh BULOG sekitar 3.000 ton tampaknya telah menimbulkan
efek psikologis sehingga dapat sedikit menurunkan harga daging sapi di pasar dalam
negeri. Diharapkan para pedagang sapi yang semula berspekulasi untuk mendapatkan

keuntungan besar dengan menimbun ternak sapi di kandangnya dapat melepas sapinya
untuk dijual ke pasar sehingga harga daging diharapkan akan kembali ke titik
keseimbangan ekonominya.
5. Kebijakan Impor
Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dari Australia dan impor daging telah
menyebabkan pasokan daging di dalam negeri menjadi semakin langka sehingga harga
daging terangkat naik. Kenaikan harga BBM, ramadhan dan idulfitri menambah energi
untuk mengangkat harga sehingga harga daging yang semua sekitar Rp 65 ribu sampai
Rp 70 ribu terus merambat naik sehingga menjadi Rp 110 ribu atau lebih dan sulit
turun. Pemerintah perlu sangat hati-hati dalam menetapkan kebijakan impornya, baik
ternak sapi bakalan maupun daging sapi. Jangan sampai pasar dalam negeri kekurangan
pasokan karena salah perhitungan yang justru akan menguras populasi ternak lokal di
Indonesia. Perlu disadari bahwa populasi ternak sapi lokal mulai terancam karena:
a. Terjadi pemotongan ternak sapi betina produktif dan Jagal pandai mencari celah
untuk tidak melanggar peraturan sementara upaya pemerintah mengatasi
pemotongan ternak betina sampai saat ini belum berhasil;
b. Pemotongan ternak sapi jantan di bawah bobot minimal sehingga diperlukan
lebih banyak ternak untuk mencapai kuantitas daging tertentu;
c. Pedagang ternak dan daging sapi lokal ingin usahanya tetap berkesinambungan
(sustainable) sehingga akan selalu berupaya untuk mendapatkan ternak sapi
untuk dipotong tanpa mempedulikan apakah betina produktif atau ternak jantan
dibawah standar bobot hidup.

SOLUSI PERMASALAHAN
Dari berbagai masalah yang muncul mengenai Daging Sapi baik dari aspek produksi
maupun konsumsi umumnya disebabkan oleh harga daging sapi yang semakin meningkat dengan
pendapatan masyarakat yang renndah. Berikut beberapa solusi yang dapat memecahkan masalah
tersebut, diantaranya:
1. Membangun rantai pasok nasional
Fenomena kenaikan dan lonjakan harga komoditas, termasuk yang disertai dengan
kelangkaan, berulang kali terjadi. Kedua fenomena ini semakin kuat ketika terjadi lonjakan
permintaan, misalnya berkaitan hari-hari besar keagamaan.
Fenomena yang berulang kali terjadi tersebut semestinya menjadi pelajaran berharga
bagi pemerintah untuk merancang suatu program yang bersifat strategis dan sistematis untuk
mengantisipasi kelangkaan dan fluktuasi harga berbagai komoditas penting. Langkah-langkah
yang bersifat taktis dan operasional, seperti impor, terbukti tidak bisa mengatasi persoalan
tersebut.
Salah satu upaya pemecahan masalah yang bisa dilakukan adalah dengan pendekatan
manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM). Pemerintah perlu merencanakan,
membangun, dan mengintegrasikan aspek-aspek “produksi-distribusi-konsumsi”, antara lain
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pemetaan rantai pasok. Pemetaan dilakukan secara nasional dengan mengidentifikasi para
pelaku (pemasok/produsen, pelaku distribusi, pengecer/pedagang, dan konsumen), termasuk
wilayah dan aliran distribusinya.
b. Pembuatan basis data . Basis data mencakup: pemasok/produsen (jumlah pemasok, jumlah
sapi), pelaku distribusi (jenis dan jumlah pelaku), pengecer/pedagang (jumlah), dan
konsumen (jumlah, segmen, tingkat konsumsi, wilayah).
c. Perencanaan rantai pasok. Dilakukan terutama untuk mengintegrasikan aspek produksidistribusi-konsumsi yang selama ini saling terpisah. Para peternak pada tingkat produksi,
misalnya, “terpisah” dengan pelaku distribusi yang dilakukan oleh pihak lain. Pelaku
distribusi dan pedagang pun saling “terpisah”. Hubungan antar pihak terjadi secara
transaksional, tanpa ada kerja sama jangka panjang yang memberikan manfaat bagi para
pihak. Selain mengakibatkan rantai pasok tidak efisien, kondisi ini membuka peluang pihak
tertentu dalam rantai pasok itu untuk mengambil keuntungan secara tidak proporsional.
Perencanaan rantai pasok mencakup pula perencanaan produksi sesuai
permintaan/kebutuhan konsumen, termasuk mempertimbangkan peningkatan permintaan
berkaitan dengan hari besar keagamaan dan sebagainya.
a. Menata dan membangun produksi. Penataan perlu dilakukan terutama agar produksi
dilakukan pada skala ekonomis, mengingat pada saat ini para peternak kebanyakan
melakukan penggemukan sapi pada jumlah kecil. Skala ekonomis dapat dicapai dengan
mengembangkan peternakan sebagai industri besar atau mengintegrasikan para peternak
kecil.
b. Membangun sistem distribusi. Pelaku distribusi sapi potong terdiri dari banyak pihak
yang bisa berbeda-beda sesuai daerahnya. Para pelaku distribusi ini antara lain: blantik,
jagal, pedagang pengumpul, pedagang besar, rumah potong hewan, dan lain-lain. Sistem
distribusi perlu ditata agar efisien dan para pelaku berperan dan mendapatkan keuntungan
secara proporsional.

c. Edukasi di tingkat konsumsi. Edukasi diperlukan antara lain agar konsumen melakukan
pola pembelian daging secara tepat. Sebagai contoh, pada saat ini masyarakat lebih
menyukai membeli daging segar daripada daging beku. Padahal proses pendistribusian
sapi potong lebih mahal yang berdampak ke harga daging.
d. Pengembangan infrastruktur dan sarana pengangkutan. Ketersediaan infrastruktur
(pelabuhan khusus ternak, terminal ternak berikut fasilitas bongkar muat, cold storage
system untuk cold chain) dan sarana pengangkutan (kapal ternak, kereta api khusus
ternak) sangat diperlukan untuk efisiensi proses pengiriman ternak. Untuk pengangkutan
sapi dari Jawa Timur ke Jakarta, misalnya, penggunaan kapal ternak berkapasitas 400
ekor jauh lebih efisien daripada menggunakan truk.
e. Pengawasan/pemantauan. Dilakukan untuk mengantisipasi pihak-pihak tertentu
mengambil
keuntungan
dengan
cara
yang
tidak
dapat
dibenarkan.
Pengawasan/pemantauan terutama diperlukan pada proses distribusi yang dapat
dilakukan dengan melakukan pencatatan arus pengiriman sapi potong antar wilayah,
misalnya dengan memanfaatkan jembatan timbang. Di jembatan timbang tidak hanya
dilakukan pencatatan berat truk dan muatannya (untuk menghindari beban lebih), namun
dilakukan juga pencatatan jumlah sapi potong yang diangkut.
f. Koordinasi antar Instansi. Pembangunan rantai pasok ini memerlukan koordinasi antar
instansi/lembaga/kementerian, misalnya: Kementerian Peternakan, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan lain-lain. Koordinasi juga diperlukan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
2. Peternak Mandiri
Untuk strategi jangka panjang, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah
memperbaiki usaha beternak sapi bagi 6,5 juta peternak berskala kecil. Mereka yang menguasai
lebih dari 98 persen populasi sapi di Indonesia harus diajak berbisnis secara benar melalui
pendekatan kolektif dengan satu manajemen. Kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter
peternak di Indonesia memungkinkan hal itu. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang
digunakan peternak Australia yang harus bersifat individualis karena kondisi alam, budaya
masyarakat, dan karakter peternaknya memang berbeda dengan Indonesia.
Selama ini peternak kecil hanya diajari secara teknis. Itu pun bersifat parsial dan tak
berkelanjutan. Jumlah peternak yang diajari juga sangat terbatas dan lokasinya menyebar.
Celakanya lagi banyak pihak mengajari mereka dengan pendekatan berbeda-beda. Akibatnya,
biaya yang dikeluarkan tinggi, tetapi tingkat keberhasilan rendah dan produktivitas sapi tetap
rendah.
Dari diskusi lebih lanjut, ternyata para peternak tahu pemerintah selama ini hanya
melaksanakan proyek dan tidak membina mereka untuk dapat mandiri. Pemerintah di sini
bukan hanya Kementerian Pertanian, melainkan juga kementerian lain yang menggunakan
ternak sebagai komoditas dalam proyeknya.
Hal itu dapat diartikan bahwa pendekatan proyek yang selama ini berjalan tidak
mencerdaskan peternak dan tidak membuat mereka menjadi pengusaha sapi yang berdaya
saing. Namun, fakta lain juga menunjukkan bahwa tidak semua proyek pemerintah gagal karena
beberapa proyek pemerintah dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis sebagaimana yang
terjadi dalam program Sarjana Membangun Desa (SMD). Namun, keberhasilan program ini
kurang berdampak secara signifikan.

Jadi, yang perlu diupayakan ke depan adalah bahwa peternak harus dapat berbisnis
secara mandiri melalui usaha kolektif dengan satu manajemen. Jumlah sapi yang diusahakan
harus ada minimalnya, misalnya, 1.000 ekor sapi betina dalam satu kawasan padat sapi.
Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut, baik dari aspek teknis maupun
nonteknis, secara terus-menerus sampai akhirnya usaha itu berjalan mandiri.
Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek pengadaan sapi,
tetapi harus lebih banyak menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi pada
upaya meningkatkan kualitas peternak ataupun memperkuat fasilitas pendukungnya dalam
beternak. Untuk jangka pendek, serahkan urusan pemenuhan daging kepada para pelaku bisnis
yang memang menguasai pasar dan pemerintah tak perlu ikut bermain di dalamnya. Peran
pemerintah sebaiknya tetap sebagai regulator saja.
3. Penetapan kuota impor
Dalam kondisi sekarang, impor sapi bakalan dan impor daging masih tetap
diperlukan.Namun kebijakan penetapan kuota impor harus dilakukan secara cermat dengan
memperhitungkan kebutuhan daging sapi dan kemampuan sapi lokal dalam menyediakan
daging sapi. Dengan demkian, maka kebutuhan daging sapi dapat terpenuhi tanpa berdampak
menguras populasi ternak sapi potong di Indonesia dan lemabungnya harga daging sapi di pasar
domestik.
4. Mempertahankan peran BULOG
BULOG tetap perlu diperankan sebagai lembaga stabilisasi harga sekaligus sebagai
kekuatan penyeimbang permainan kartel oleh beberapa pengusaha besar yang mempermainkan
stok dan harga daging sapi di dalam negeri.

KESIMPULAN
Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program
pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan asal hewani. Berdasarkan
data dan hasil analisis kelompok kami, rata-rata produksinya meningkat dimana produksinya
didapatkan dari sapi local dan sapi bakalan, dan untuk produksi dari sapi local cenderung
meningkat namun untuk produksi dari sapi bakalan cenderung berfluktuasi. Dari segi konsumsi,
rata-rata konsumsinya juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, salah satu factor yang
memengaruhinya adalah pendapatan rumah tangga konsumen. Meskipun tingkat konsumsinya
cenderung meningkat namun dapat dikatakan bahwa rata-rata konsumsi daging sapi segar per
kapita per tahun di Indonesia masih sangat rendah. Dari segi ekspor, Indonesia hanya melakukan
dalam jumlah kecil dan berfluktuatif. Dari segi Impor, cenderung terus menigkat, namum pada
tahun 2011 jumlah impornya mengalami penurunan tapi pada tahun 2012 jumlah impornya
meningkatnya drastis. Berdasarkan data yang telah dianalisis, komoditas daging di Indonesia
sudah bisa mencapai tahap ketahanan pangan karena sudah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat
akan daging yang diperoleh dari produksi nasional dan kegiatan impor. Akan tetapi Indonesia
belum mencapai tahap kemandirian pangan karena antara produksi dalam negeri dan impor, baik
dalam bentuk daging sapi ataupun sapi bakalan jumlahnya masih lebih besar impor.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiyati, Alisa. 2012. Penawaran Daging Sapi Di Indonesia (Analisis Proyeksi Swasembada
Daging Sapi 2014). Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.
Arifin, Bustanul. 2012. Momentum Perbaikan Swasembada Daging.http://www.kompas.com.
Diakses pada 03 Juni 2014.
Badan Pusat Statistk. Beberapa tahun. Statistik Indonesia, BPS. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan
Propinsi, BPS. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan Tahun 2011.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Ilham, Nyak. Kelangkaan Produksi Daging:Indikasi Dan Implikasi Kebijakannya . Jurnal.Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Muladno. 2013. Solusi Daging Sapi.http://www.kompas.com. Diakses pada 03 Juni 2014.
Nurmanaf, A. R., Sumaryanto, S. Wahyuni, E. Ariningsih, Dan Y. Supriyatna. 2007. Analisis
Kelayakan dan Perspektif Pengembangan Asuransi Pertanian Pada Usahatani Padi
dan Usaha Sapi Potong. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan pertanian,
Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Priyanti, Atien. Dinamika Produksi Daging Sapi Di Wilayah Sentra Usaha Sapi Potong Di
Indonesia. Jurnal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Rukmana, Yayan.
2013.
Ekonomi
Daging
dan
Strateginya
Bank
Ternak.
http://www.kampoengternak.or.id/. Diakses pada 03 Juni 2014.
Setijadi. 2013. Mengatasi Persoalan Daging Sapi Dengan Membangun Rantai Pasok Nasional.
http://supplychainindonesia.com. Diakses pada 03 Juni 2014.