BAB II KAJIAN TEORI 2.1. PENGERTIAN PENERIMAAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerimaan Oleh Guru Dengan Siswa Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMP Kristen 1 Pulau-Pulau Aru Maluku

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. PENGERTIAN PENERIMAAN Beracuan dari keragaman definisi dan perspektif

  tentang penerimaan, penulis memakai definisi Hayes (2003) sebagai dasar kajian penelitian. Asumsinya, sebagian besar konsep penerimaan yang dipakai sekarang merujuk pada ide Hayes (2003) dan konseptualisasi definisinya secara operasional relevan dengan konteks penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku. Menurut Hayes, (2003). Secara etimologi, penerimaan berasal dari bahasa Latin kata

  “accipere” artinya mengambil apa yang

  ditawarka n. Penerimaan dipahami sebagai “tindakan mengambil, meraih atau menangkap”, kontras dengan konotasi umum yang disinonimkan dengan “tindakan menerima”. Hayes (2003) mengedepankan aspek positif proses penerimaan. Secara psikologi, penerimaan mengandung arti aktif menerima peristiwa atau situasi secara utuh.

  Dalam pengertian secara teknis, Hayes (2003) mengartikan penerimaan berhubungan dengan fungsi stimulus

  

secara langsung atau otomatis terhadap suatu peristiwa, tanpa

bertindak mereduksi atau memanipulasi fungsi ini dan terbatas

hanya pada fungsi verbal (Hayes dalam Orsillo, 2005).

  Beracuan dari defenisi teknisi, fungsi penerimaan dikontekstualisasikan terkait penerimaan penderitaan kemanusiaan. Hayes memperluas makna penerimaan tidak hanya sebatas penerimaan pribadi atau personal tetapi juga mencakup penerimaan sosial terutama manusia yang menderita. Prinsip ini memberi ruang adanya proses penerimaan aktif kepada “Anak Berkebutuhan Khusus” yang menderita.

  Hayes, (2003) menggambarkan alur rangkaian proses tindakan penerimaan, dari tindakan pasrah atau toleransi beralih ke

  sikap bebas dari “agenda perubahan” beberapa

situasi, menuju kehendak emosional atau sosial, akhirnya

  menuju deliteralisasi. Pada tingkat tertinggi deliteralisasi didefenisikan sebagai “peleburan berasal dari relasi dan fungsi peristiwa terarah secara langsung kepada fungsi peristiwa itu sendiri” (Hayes, dalam Orsillo, 2005). Intinya, psikologi penerimaan pada tingkat terendah terimplisit dalam psikoterapi dimana setiap orang harus menerima kenyataan bahwa ada masalah yang telah terjadi. Pada tingkat tertinggi

  

deliteralisasi, penerimaan menyangkut keadaan bebas dari

  disfungsi agenda yang berubah dan proses aktif menerima perasaan sebagai perasaan, memikirkan pikiran sebagai pikiran dan mengingat memori sebagai memori.

  Penerimaan diterapkan dalam area tertentu dengan cara berbeda, tidak selalu merupakan tindakan pasti. Penerimaan yang diartikan sebagai “menerima apa yang ditawarkan” merujuk pada area sejarah pribadi karena sejarah tidak pernah berubah-ubah. Pengalaman pribadi adalah kasus yang lebih kompleks. Secara faktual penerimaan dan perubahan merupakan bagian utuh dari sejarah pengalaman pribadi yang harus diakui. Menurut Hayes (2003) tujuan penerimaan tidak berpusat pada tindakan terbenam dalam gelimang perasaan. Anak Berkebutuhan Khusus tidak sekedar menerima pengalaman personal sebatas penghayatan perasaan berlebihan tetapi sebaliknya harus diimbangi dengan pengimbangan kognitif. Perasaan dan pikiran dipadukan secara berimbang dalam menerima pengalaman personal. Difusi kognitif membantu seseorang untuk berinteraksi dengan dunia sosial. Konkritnya seseorang harus mengakui penerimaan pengalaman hidup dinilai bukan hanya berasal dari dunia internal pengalaman pribadi tetapi juga berasal dari dunia eksternal seseorang. Kontrol verbal seseorang direduksi melalui kesediaan dan difusi kognitif untuk mendapat kembali hubungan dengan dunia.

  Secara praktis, Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah SMP Kristen 1 P. P. Aru Maluku harus mampu menerima secara aktif pengalaman hidup sebagaimana adanya, menerima perasaan mereka sebagai perasaan, memikirkan pikiran mereka sebagai pikiran dan mengingat memori mereka sebagai fakta memori. Pengalaman menghindar atau mengabaikan perasaan, pikiran dan memori akan mereduksi kualitas kepribadian mereka, Hayes, (2003). Defenisi ini mensyaratkan bahwa penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah SMP Kristen 1 P. P. Aru Maluku harus bersifat utuh. Penerimaan yang utuh artinya merelasikan penerimaan internal dari pengalaman pribadi dengan penerimaan sosial sebagai kontribusi dari dunia eksternal. Penerimaan secara parsial akan membentuk kepribadian Anak Berkebutuhan Khusus menjadi tidak seimbang.

  Terkadang orang cenderung menerima pengalaman personal dan menghindar atau mengabaikan pengalaman sosial maupun sebaliknya menerima pengalaman sosial dan menghindar atau mengabaikan pengalaman personal. Fatalnya orang sampai pada tingkat menghindar atau mengabaikan baik pengalaman personal dan pengalaman sosial. Tindakan menghindar atau mengabaikan ini merupakan pilihan penerimaan eliminatif yang bersifat negatif. Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P. Aru - Maluku mesti dimotivasi untuk menerima pengalaman personal dan pengalaman sosial sebagai bagian utuh dari pembentukan kepribadiannya. Penerimaan yang terpaksa dari para guru dan siswa reguler tidak dihindari sebagai pengalaman diskriminatif tetapi diterima sebagai pengalaman hidup sebagaimana adanya. Solusinya, penerimaan negatif dikonversikan menjadi penerimaan positif, dan penerimaan eliminatif diubah menjadi penerimaan konstruktif bagi pembentukan kepribadian Anak Berkebutuhan Khusus.

  • 2.2.FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

    PENERIMAAN

  Alan E. Fruzzeti dan Kate M. Iverson dalam Hayes (2004) menyatakan tiga komponen atau ciri penerimaan, yaitu: (1) Membicarakan fenomena tentang kesadaran seseorang; (2) Seorang pribadi, bagaimanapun bentuk pengalaman (menyenangkan atau tidak, memuaskan atau tidak) tidak terfokus secara eksklusif mengelola akalnya untuk mengubah pengalaman atau rangsangan dari pengalaman yang diperoleh dan, (3) Seorang pribadi memahami hubungan antara pengalaman pribadi sekarang dengan stimulus sebelumnya. Jadi, ada dua tingkat penerimaan yakni :pertama, penerimaan diseimbangkan dengan perubahan dan kedua, penerimaan murni.

  Hayes (2003) menggambarkan prinsip penerimaan terkonstruksi dari dua faktor utama yakni :

2.2.1. Penerimaan Sebagai FEAR ( Fusion - peleburan,

  Evaluation - evaluasi, Avoidance - menghindar dan Reason

  • alasan ).

  Bahasa dan perilaku manusia secara substansial berperan penting menggambarkan realitas penerimaan seseorang. Ciri dan ungkapan penerimaan seseorang diidentifikasi melalui bahasa dan perilaku. Hayes (2003) menekankan, bahasa dan perilaku manusia merefleksikan inti dari FEAR yakni peleburan, evaluasi, menghindar dan memberi

  

alasan (Hayes 2003). Pendekatan refleksi FEAR bermanfaat

  menguji bagaimana bahasa diinteraksikan dengan lingkungan. Refleksi peleburan, evaluasi, menghindar dan

  

memberi alasan adalah faktor kunci mengoperasionalkan atau

menerapkan penerimaan dalam lingkungan sosial.

a. Peleburan (Fusion).

  Simbol dituangkan dalam peristiwa dimana manusia digambarkan dengan simbol dan simbol menggambarkan manusia. Kata dan perilaku manusia adalah simbol yang menggambarkan sifat kepribadian seseorang. Penilaian terhadap kepribadian manusia dapat terukur dari simbol kata dan perilakunya. Seseorang melebur dengan label verbal dan menjadi aspek esensial dari identitas seseorang, bukan sekedar emosi. Secara faktual, sulit dibedakan antara emosi dengan keberadaan diri manusia, karena keduanya mengalami peleburan. Peristiwa diimajinasikan tidak benar- benar terjadi, penyatuan simbol dengan peristiwa memungkinkan sifat fungsional suatu peristiwa benar-benar ada sekarang.

  Proses penerimaan harus dibangun dengan daya kritis membedah peleburan dalam diri manusia. Peleburan menjadi faktor penting seseorang mengalami proses penerimaan diri dan sosial secara positif. Penerimaan diri sendiri secara positif menuntut seseorang meleburkan pemikiran dan perasaan dengan keberadaan diri orang lain. Penerimaan diri sendiri secara positif bagi Anak Berkebutuhan Khusus dimaknai tiga hal, yakni: pertama, Anak Berkebutuhan Khusus menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya. Kedua, guru mampu menerima Anak Berkebutuhan Khusus seperti dirinya sendiri dan ketiga, siswa mampu menerima Anak Berkebutuhan Khusus seperti diri sendiri.

  Jika faktor peleburan diukur dalam konteks penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus maka teridentifikasi tiga pola analisis, yakni: pertama, penerimaan dinilai dengan membedah peleburan pemikiran dan perasaan Anak Berkebutuhan Khusus dengan keberadaan diri sendiri lewat simbol kata dan perilaku. Kedua, membedah peleburan kognitif dan perasaan guru melalui simbol kata dan perilaku ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus.

  

Ketiga, membedah peleburan kognitif dan perasaan siswa

  melalui simbol kata dan perilaku siswa ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus.

  Anak Berkebutuhan Khusus, guru dan siswa mesti memiliki kepekaan dan kesadaran mengenal peleburan kognitif maupun perasaan yang terinternalisasi dalam dirinya. Prinsipnya, identifikasi peleburan Anak Berkebutuhan khusus secara baik memiliki manfaat efektif bagi sikap penerimaan personal dan sosial Anak Berkebutuhan Khusus. Peleburan kognitif dan perasaan secara positif menghasilkan penerimaan yang baik terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

b. Evaluasi (Evaluation).

  Bahasa memungkinkan peristiwa diabstrakkan dan diperlakukan sebagai objek. Prinsip evaluasi dalam proses penerimaan merujuk pada realitas pengalaman diskriminatif. Evaluasi adalah hal yang konstan. Tindakan mengurangi evaluasi mereduksi dominasi bahasa itu sendiri. Proses evaluasi terhadap pengalaman diskriminatif diperlukan agar terbangun penerimaan dan komitmen (Hayes, 2003). Mengapa proses evaluasi dikategorikan sebagai faktor penting dalam penerimaan? Seseorang yang mengabaikan evaluasi pengalaman diskriminatif tidak akan mampu mengalami tahap penerimaan yang konstruktif.

  Anak Berkebutuhan Khusus secara alamiah dihadapkan pada realitas pengalaman mendua yakni pengalaman diskriminatif maupun apresiatif, pengalaman baik maupun buruk, pengalaman diterima atau diabaikan secara pribadi dan sosial. Kecenderungan orang memilih untuk menekan pengalaman diskriminatif karena dianggap menyakitkan dan buruk. Penerimaan harus diletakkan atas dua sikap dasar yakni kesediaan menerima pengalaman diskrimatif sebagaimana adanya dan terbuka melakukan evaluasi kritis terhadap pengalaman pahit dimaksud. Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah, keluarga dan lingkungan sosial disiapkan untuk menerima pengalaman diskriminatif sebagaimana adanya dan berani mengevaluasinya agar proses penerimaan berkembang baik.

c. Menghindar (Avoidance).

  Salah satu cara yang cenderung dilakukan agar “merasa lebih baik” ketika seseorang berpikir dan merasa bersalah adalah menghindar dari masalah. Tindakan menghindar memberi kekuatan luar biasa. Sisi negatif adalah seseorang tidak mampu menyelesaikan masalah. Proses penerimaan mengurangi tindakan menghindari masalah dengan dorongan kuat untuk menerima masalah hidup secara positif dan konstrukstif. Menghadapi dan menerima masalah merupakan tindakan positif seseorang untuk mengalami pengenalan maupun pemulihan kepribadian (Hayes, 2003).

  Anak Berkebutuhan Khusus secara logis diasah kepekaan dan ketahanan diri menghadapi pengalaman pahit dan menyakitkan dari konstruksi sosial maupun terbangun dari internal diri sendiri. Pilihan menghindar bukan sikap positif, karena itu Anak Berkebutuhan Khusus memperkecil tindakan menghindar dan meningkatkan kualitas penerimaan terhadap pengalaman yang buruk. Kepribadian yang berjiwa besar dan tegar menghadapi pengalaman buruk akan meningkatkan kualitas penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus dalam lingkungan sosial apapun.

d. Memberi Alasan (Giving Reason).

  Proses bahasa normal membimbing manusia pada perjuangan internal sebenarnya yakni seseorang belajar untuk menjelaskan dan membenarkan perilaku sendiri dengan istilah kognitif dan emosional. Orang berkamuflase menciptakan cara untuk menyatakan bahwa keberadaannya baik tapi sebenarnya kondisi batinnya memprihatinkan. Proses penerimaan mesti mengurangi ungkapan pemberiaan alasan secara berlebihan supaya seseorang belajar jujur terhadap diri sendiri dan menerima orang lain sebagai bagian dari hidupnya (Hayes, 2003).

  Relevansi bagi guru dan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus bahwa mereka harus belajar jujur mengakui kesalahan, penderitaan batin dan buruk tanpa berkamuflase. Kebiasaan suka memberi alasan adalah sikap membentengi diri yang mereduksi sikap penerimaan diri sendiri. Seseorang ingin membentuk citra baik di hadapan orang lain padahal kondisi batinnya bertolak berlakang. Guru dan siswa diarahkan untuk mengurangi sikap memberi alasan dengan kebiasaan jujur mengakui perasaan dan pemikiran menerima anak berkebutuhan khusus sebagai bagian dalam hidup.

2.2.2.Penerimaan Sebagai ACT (Acceptance-penerimaan,

  Choosing

  • Memilih dan Take Action – mengambil Tindakan).

  Dalam proses ini seseorang didorong untuk memasuki tahap penerimaan diri dan orang lain, berani memilih di antara berbagai pilihan yang ditawarkan dan mengambil tindakan yang dianggap baik dalam penilaiannya. Proses penerimaan mengajukan cara penerimaan diri secara baik. Senada dengan itu, proses penerimaan memberi arahan khusus tentang bagaimana membedakan berbagai realitas maupun konflik emosional maupun pikiran. Arahan ini memfasilitasi seseorang untuk mengambil keputusan atau komitmen yang tepat dan tertanggung-jawab (Hayes, 2003).

  Proses penerimaan secara faktual dapat membantu seorang guru memfasilitasi proses penerimaan secara relasional dari guru dan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Lingkungan pendidikan yang berkualitas dan konstruktif terbangun dalam visi bahwa semua orang diberi kesempatan dan penerimaan yang egaliter maupun humanis untuk berkembang.

2.3. PENGUKURAN PENERIMAAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

  Menurut Hayes (2004) konseptualisasi penerimaan memiliki implikasi signifikan terhadap proses penilaian, yakni:

  

pertama, menghadirkan ukuran penerimaan dan

  menghubungkan konstruksi ukuran sesuai penerimaan yang ditargetkan, kedua, mempelajari penerimaan dengan domain pengalaman tertentu dan menawarkan cara untuk mengambil kesimpulan terhadap bentuk perilaku tertentu. Merujuk pada proses penilaian, Hayes, (2004) mengajukan metode atau tools penilaian untuk mengukur derajat atau kualitas penerimaan. Proses penilaian penerimaan dikategorikan dalam tiga tipikal ukuran yakni: pertama, daftar pertanyaan tindakan dan penerimaan, kedua, berbela-rasa dan ketiga, daftar kuesioner penerimaan kesakitan kronis.

  Pertama, daftar pertanyaan tindakan dan penerimaan

  terdiri darisembilan ukuran pokok. Instumen ukuran ini berupaya untuk menilai konstruksi “pengalaman penolakan” .Pengalaman penolakan secara prinsipal adalah tindakan yang berusaha untuk mengabaikan maupun mengontrol penolakan terhadap pengalaman internal seperti perasaan atau pikiran menyakitkan. Intinya, ukuran ini bertujuan menilai secara langsung beberapa fenomena seperti :(1) cenderung mengontrol atau mengabaikan stimuli internal yang pahit, (2) mengalami peleburan yang berlebihan dengan atau evaluasi negatif terhadap stimuli internal, (3) merasa ketidakmampuan bertindak secara sengaja ketika mengalami peristiwa pribadi yang menyakitkan.

  Skala sembilan pokok ukuran intinya menilai faktor tunggal dari pengalaman penolakan. Skala (alpha = .70) ini memiliki konsistensi internal yang memadai. Test

  • – retest yang dipercaya populasi mahasiswa sarjana melebihi periode empat bulan adalah 0,64. Daftar kuesioner tindakan dan penerimaan secara signifikan dihubungkan dengan jumlah skala yang mengukur tindakan penolakan seperti pikiran tertekan, memberdayakan diri sendiri secara positif mengontrol pikiran dan salinan penolakan. Meskipun korelasi ini signifikan, tetapi bukan merupakan fakta yang kuat (sebagian besar di bawah r = 0, 04).

  Daftar kuesioner tindakan dan penerimaan mengukur aspek unik dari kecenderungan sikap umum ketika mengalami penolakan seperti ingin bebas dari pengalaman hidup yang menyakitkan. Analisis terhadap tipe ukuran ini berkontribusi menetukan bentuk penolakan secara khusus. Signifikansi daftar kuesioner ini juga diharapkan merujuk pada psikopatologi umum, gejala fisik, depresi, kegelisahan, kerja terkait dengan stress dan kesehatan, kualitas hidup dan kepuasan hidup dan simptomatologi post

  • – traumatik.

  Kedua, skala berbela-rasa mengandung 26 (dua puluh

  enam) daftar kuesioner untuk mengukur tiga komponen dari defenisi Neff’s (2003) tentang berbela -rasa. Neff’s menyebut tiga komponen berbela - rasa, yakni : 1). memperluas kebaikan dan kepedulian seseorang daripada menilai dan mengkritik diri sendiri secara keras ; 2). melihat pengalaman diri sendiri sebagai bagian dari pengalaman manusia secara lebih luas dari pada mengasingkan diri ; dan 3) bertahan di tengah pikiran dan perasaan yang menderita diseimbangkan dengan kesadaran tinggi dari pada mengidentifikasi diri dengan penderitaan (Neff, 2003).

  • – Ukuran partisipan skala ini menghadirkan enam sub skala yakni : kebaikan diri sendiri, keputusan diri sendiri, dasar kemanusiaan, isolasi, kesadaran dan identifikasi terhadap lima tipe skala Likert (1 = hampir selalu tidak pernah, 5 = hampir selalu). Dalam identifikasi penilaian berlaku skor lebih tinggi mengajukan rasa kasihan diri lebih tinggi. Konsistensi internal skala ini secara utuh sangat unggul (Cronbach alpa =.9s2). Skala ini dikorelasikan ganda, secara negatif skala ini dikaitkan dengan kritik diri sendiri dan nilai positif dikorelasikan dalam hubungan dengan perhatian sosial untuk menjernihkan maupun memperbaiki kondisi emosional. Skala ini juga memprediksi hasil kesehatan mental seperti depresi, kegelisahan, kepuasan hidup dan neurotik yang sempurna.

  Ketiga. daftar kuesioner penerimaan kesakitan kronis berisi 34 (tiga puluh empat) ukuran penerimaan kesakitan. Beberapa penyeledikan menyediakan bukti dari konsistensi dan validitas internal dari kuesioner ini sebagai ukuran terhadap penerimaan kesakitan. Dalam menganalisis faktor struktur dari kuesioner, McCracken dalam Orsillo, (2005) menemukan tiga komponen penerimaan yakni: pertama, kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas kehidupan normal,

  

kedua mengakui bahwa kesakitan mungkin tidak berubah dan

ketiga, tidak perlu untuk menolak atau mengontrol kesakitan

  kronis. Ide McCracken sejalan dengan rangkaian proses penerimaan yang diajukan oleh Hayes (2003) sebelumnya.

  Ukuran penerimaan di atas sangat efektif untuk menilai penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus tentang sejauh mana kualitas pengembangan siswa dan guru dalam proses penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P.P.Aru - Maluku. Penulis secara elaboratif memakai ketiga ukuran di atas untuk menemukan kualitas penerimaan yang efektif dan efisien terhadap kelompok “Anak Berkebutuhan Khusus.” di SMP Kristen 1 P. P. Aru - Maluku.

2.4. KAJIAN YANG RELEVAN

  Marloes Koster (2010) dalam penelitian berjudul “Social Participation of Students with Special Needs in Regular Primary Education in the Netherlands”. Penelitian ini membahas partisipasi sosial Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar reguler di Belanda. Penelitian ini adalah deskriptif murni dan terfokus pada empat tema utama partisipasi sosial Anak Berkebutuhan Khusus yaitu: (1) persepsi diri siswa, (2) penerimaan oleh teman-teman sekelas, (3) persahabatan dan (4) kontak/interaksi. Pengumpulan data berlangsung selama dua periode waktu dengan dua sampel terpisah. Dalam setiap putaran, dua tema utama partisipasi sosial dinilai. 300 sekolah dasar reguler diundang berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian berlaku bagi semua sekolah termasuk sekolah di perkotaan maupun pedesaan.

  Sampel diambil dari 2.074 sekolah dengan persyaratan hanya bagi sekolah yang memiliki satu Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas Satu sampai Kelas Tiga. Hasil penelitian diuraikan sesuai empat tema, yakni:

  Pertama, persepsi diri siswa. Hasil penelitian

  menunjukkan persepsi diri Siswa Berkebutuhan Khusus dan siswa normal memiliki nilai sama. Di Kelas Tiga, nilai rata-rata Siswa Berkebutuhan Khusus (r=17,5 dan standar deviasi = 4,2) tidak berbeda secara signifikan dari siswa normal (r=17,3 dan SD = 4,0; t (67) =-0.17, p=0.87). Di Kelas Satu dan Dua, nilai rata-rata dari kedua kelompok siswa tidak berbeda secara signifikan. Siswa Berkebutuhan Khusus nilai rata- rata=14,2 dengan standar deviasi 3,2 dan siswa normal nilai rata-rata 14,4, SD=2,3; t (164) = 0,66, p=0,51).

  Kedua, penerimaan oleh teman-teman sekelas.

  Perbandingan antara nilai penerimaan dengan atau tanpa Siswa Berkebutuhan Khusus menunjukkan Siswa Berkebutuhan Khusus kurang diterima secara signifikan.

  Terbukti kelas dengan Siswa Berkebutuhan Khusus nilai

  

mean sebesar 0,71 dan SD=1,0. Kelas tanpa Siswa

  Berkebutuhan Khusus nilai rata-ratanya sebesar -0,06, SD=1,0, t (242)=4,9, p<0,05.

  Ketiga, persahabatan. Analisis menunjukkan Siswa

  Berkebutuhan Khusus memiliki jumlah rata-rata teman/ sahabat lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan siswa normal. Siswa Berkebutuhan Khusus nilai rata- ratasebesar 1,9 dengan SD=1,3, sedangkan siswa normal nilai rata-rata 2,9 dan SD=1,4; t (340) = 6.48, p < 0,00. Data menunjukkan bahwa Siswa Berkebutuhan Khusus lebih sering menempati peran terisolasi sebanyak 48,9% dan kurang memiliki peran partisipatif sekitar 51,1% dibandingkan dengan teman-teman sekelas yang normal dengan peran terisolasi sebanyak 21,3% dan peran partisipatif sebesar 78,7%.

  Keempat, kontak/ interaksi. Hasil penelitian

  membuktikan bahwa Siswa Berkebutuhan Khusus lebih sedikit berinisiatif untuk berinteraksi dengan teman-teman sekelas, terbukti nilai rata-ratanya 10,7 dengan standar deviasi 8,3 dibandingkan siswa normal dengan nilai rata-rata 14,7 dan SD=9,6. Ini perbedaan yang signifikan, t (114) = 2,39,

  

p<0,02. Siswa Berkebutuhan Khusus juga lebih sedikit

  diterima dalam proses interaksi (rata-rata=7.1, SD=5,2 daripada siswa normal (rata-rata=11,0, SD=6,4, t (114)=3,6,

  

p<0,00). Selain itu Siswa Berkebutuhan Khusus lebih banyak

  berinteraksi dengan guru (rata-rata=8,8 dan SD=9,7) dibandingkan dengan siswa normal (rata-rata=3,1 dan SD=9,7).

  Astati (2011) melakukan penelitian dengan judul : “Sikap Kepala Sekolah dan Guru Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Yang Belajar di SD Inklusi Puterako

  • – Bandung”. Penelitian dilakukan dengan populasinya adalah kepala sekolah dan guru-guru di SD Inklusi Puterako – Bandung dan sampelnya adalah kepala sekolah dan guru-guru yang mengajar Anak Berkebutuhan Khusus sebanyak 25 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Teknik penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa skala sikap. Instrumen penelitian untuk mengumpulkan data penelitian adalah skala sikap model

  

Likert dengan pernyataan yang disusun sebanyak 40 butir

  yang terdiri dari 13 pernyataan negatif dan 27 pernyataan positif. Berdasarkan hasil pengolahan data ditemukan bahwa sikap kepala sekolah dan guru-guru di SD Inklusi Puterako Bandung terhadap kemampuan belajar Anak Berkebutuhan Khusus adalah sikap positif dengan nilai rata-rata akhir 2,75. Sikap kepala sekolah dan guru-guru terhadap kemampuan Anak Berkebutuhan Khusus dalam mengerjakan tugas juga bersikap positif dengan nilai rata-rata akhir 2,70. Sikap kepala sekolah dan guru-guru terhadap prestasi belajar Anak Berkebutuhan Khusus adalah positif dengan nilai rata-rata akhir 2,65. Selanjutnya sikap kepala sekolah dan guru-guru terhadap sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus juga positif dengan nilai rata-rata akhir 2,70. Jadi penelitian secara keseluruhan menggambarkan bahwa sikap kepala sekolah dan guru-guru SD Inklusi Puterako Bandung terlah bersikap positif dan mendukung terhadap Anak Berkebutuhan Khusus yang belajar di sekolahnya.

  Mira Kania Wardhani dkk (2012) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Personal Adjustment Dengan Penerimaan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Pada Ibu Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di RSUD X”. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data empiric tentang keeratan hubungan antara personal adjustment dengan penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus pada ibu yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus. Metode yang digunakan adalah metoda korelational. Untuk menjejaring data digunakan alat ukur yaitu kuesioner. Pengolahan data menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Subyek penelitian terdiri dari 10 orang ibu yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di RSUD X. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sedang (r=0,62). Hasil perhitungan

  

median menyatakan bahwa 80% lebih banyak ibu yang

  termasuk ke dalam kategori rendah. Artinya, semakin rendah

  

personal adjustment maka semakin rendah penerimaan

  terhadap anak pada ibu yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus pasien klinik psikologi di RSUD X. Dari hasil korelasi antara aspek-aspek penerimaan dengan personal adjustment didapatkan aspek penerimaan yang memiliki korelasi tertinggi (r=0,68) adalah aspek mencintai anak tanpa syarat dan aspek penerimaan yang memiliki korelasi terendah (r=0,48) adalah menghargai anak sebagai individu.

  Niissa Retno Andini (2009) dengan penelitian berjudul “Penerimaan dan Penolakan Sosial terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Inklusi SD Negeri Bedali 5 Lawang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerimaan dan penolakan sosial terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Inklusi serta faktor-faktor yang melatarbelakangi penerimaan dan penolakan sosial tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan pada tanggal 24 Juli

  • – 29 Agustus 2008. Subyek penelitian sebanyak 10 orang dan memiliki karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus yang berbeda-beda yaitu: 2 subyek tunanetra, 2 subyek tunarungu wicara, 1 subyek tunagrahita C1, 2 subyek autis, 1 subyek tunadaksa, 1 subyek low vision dan 1 subyek cerebral palsy. Lokasi penelitian adalah di sekolah dasar inklusi SD Negeri 5 Bedali 5 Lawang. Data ini diambil menggunakan teknik sosiometri, wawancara dan observasi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Anak Berkebutuhan Khsus di sekolah dasar inklusi SDN Bedali 5 Lawang umumnya diterima secara sosial oleh teman-teman sebaya yang normal, namun ada juga beberapa yang ditolak secara sosial. Dilihat dari karakteristik subyek ABK bahwa empat diantarnya diterima dan ditolak secara sosial yakni tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita C1 dan low vision, dua yang diterima secara sosial yaitu autis dan cerebral palsy, untuk penolakan sosial yakni ABK yang tunadaksa, dengan bentuk penerimaan sosial, yaitu suka membantu, diajak
mengobrol, bercanda dan bermain, sedangkan bentuk penolakan sosial yaitu suka mengganggu, menggoda, tidak diajak bermain dan tidak menghargai teman ABK-nya. Faktor- faktor yang melatarbelakangi yaitu pola kepribadian, kemampuan akademik, kemampuan sosial dan daya tarik penampilan.

2.5. HIPOTESIS.

  Arikunto (2006) menyatakan bahwa, “Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul”. Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan s ebagai berikut: “Ada perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus secara signifikan antara guru dan siswa di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru

  • – Maluku.