Librisida Pemurnian Masyarakat dan Demok (1)

Librisida: Pemurnian Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat1
Robertus Robet
Pembunuhan terhadap buku –yang saya sebut sebagai “librisida” di tulisan ini, meski
sebagian kalangan juga memakai istilah “bibliosida”—memiliki sejarah panjang di
dunia. 2 Ada beragam sebab dan latar belakang mengapa buku dilarang dan
dihancurkan. Di dunia Barat, “tradisi” untuk melarang suatu penerbitan setidaknya
bisa dirujuk kembali pada Indeks Buku-buku Terlarang yang rutin diterbitkan oleh
Gereja Katolik. Indeks ini memuat daftar buku-buku yang “haram” dibaca dan
dikeluarkan dengan tujuan melindungi umat dari paham-paham yang kontroversial.
Namun demikian, pelarangan rupanya boleh dibilang sebuah bentuk kekerasan
yang relatif lembut dan termasuk “baru” dalam sejarah kebencian terhadap buku.
Sejarah mencatat bahwa ketakutan dan kebencian terhadap buku lebih sering
mengambil bentuk-bentuk penghancuran yang ekstrem, yakni pembakaran! Yang
dihancurkan bukan hanya buku, tetapi juga perpustakaan dan bahkan manusia
pemiliknya atau pengarangnya. Fernando Báez dalam buku yang Anda pegang ini –
sebuah paparan sejarah yang amat lengkap—mengungkapkan bahwa praktik
penghancuran buku sudah terjadi di Sumeria kuno (4100-3300 SM) sebagaimana
temuan para arkeolog pada sebuah kuil di kota Uruk. Temuan itu, menurut Báez,
mengungkap sisi paradoksal peradaban Barat: penemuan buku yang paling pertama
sekaligus merupakan penemuan terjadinya penghancuran buku pertama kalinya.3
Kekejian terhadap buku yang paling mutakhir adalah penjarahan yang diikuti

dengan pembakaran Perpustakaan Nasio-nal Bagdad, Irak, yang terjadi pada hari-hari
penggulingan Saddam Hussein antara 9-10 April 2003. Lebih dari satu juta koleksi
                                                        
1 Tulisan  ini adalah versi ringkas yang dimutakhirkan dari materi Kuliah Umum “Pelarangan
Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia”, kerjasama Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) dan Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Rabu, 17
Maret 2010.

 
2

Saya memakai librisida dengan bersumber dari konsep libricide dalam kajian Rebbeca
Knuth, Libricide: The Regime-sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth
Century. Westport, Conn.: Preager, 2003. Di dalam Knuth, librisida menunjukkan adanya
suatu praktik yang sistematis dari suatu rezim terhadap buku yang dilakukan demi
pencapaian tujuan-tujuan ideologi jangka pendek maupun jangka panjang. Librisida juga
mengindikasikan adanya kelompok di dalam masyarakatyang hendak mendominasi negara
dan memiliki gagasan ekstrem mengenai masyarakat.
3
Lihat buku ini hlm. 23-26.


hilang dan dibakar. Ini belum termasuk koleksi-koleksi lain yang musnah terbakar di
Museum Arkeologi, Arsip Nasional, dan kantor-kantor kementerian.4
Di Indonesia bentuk-bentuk librisida sudah terjadi semenjak masa kolonial.
Banyak penulis menyebut beberapa kejadian penting seperti pelarangan buku Student
Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo dan penangkapan sejumlah aktivis pergerakan
oleh karena tulisan-tulisan mereka yang menyerang pemerintah kolonial. Pasca 1945,
pelarangan buku dipraktikkan dalam ma-sa Demokrasi Terpimpin, antara lain
terhadap Hoa Kiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer dan Demokrasi Kita
karya Mohammad Hatta. Selain itu hampir semua karya Sutan Takdir, Idrus, dan
Mochtar Lubis dilarang. Setelah muncul Manifes Kebudayaaan, hampir semua karya
penandatangan Manifes dilarang karena dicap “kontrarevolusioner”. Di saat yang
bersamaan, militer juga melarang puisi penyair kiri Agam Wispi “Matinya Seorang
Petani”.
Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat
tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi
“kebenaran” politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri
tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan
simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan terhadap
hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiasikan kiri.

Setelah kekuasaan Soeharto jatuh, Indonesia memasuki masa kebebasan,
termasuk kebebasan dalam dunia penulisan dan penerbitan. Meski kita tidak bisa
memastikan volume atau perbandingan jumlah peredaran buku di masa kini dengan di
masa era Soeharto, namun suasana kebebasan itu jelas terasa. Toko-toko buku boleh
dibilang bisa menjual karya penulis siapa saja: mulai dari versi bahasa Inggris Mein
Kampf, terjemahan Das Kapital, hingga propaganda para teroris sekalipun. Di sini –
pada mulanya—ada kepercayaan akan kemampuan berpikir publik dan kebebasan
menikmati bacaan pun muncul. Akan tetapi, suasana kebebasan itu rupanya tidak
bertahan lama.
Pada 19 April 2001 sebuah organisasi yang menamakan diri Aliansi Anti
Komunis –sebelum menyatakan akan melakukan sweeping dan membakar semua
buku-buku “kiri”—menyulut api dan membakar buku karangan Prof. Franz Magnis
Suseno berjudul Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
                                                        
4

Lihat buku ini hlm. 284-303.

Revisionisme, yang andai benar-benar mereka baca, buku itu justru merupakan kritik
tajam terhadap pemikiran Marx. Aliansi konyol tersebut merasa punya alasan untuk

mengambil tindakan sendiri dengan alasan karena pemerintah saat itu tidak
menjalankan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yang menyatakan PKI sebagai
organisasi terlarang dan melarang penyebarluasan Marxisme-Leninisme.
Keganjilan dan pesimisme terhadap kebebasan “membaca” kemudian juga
makin dikokohkan pada 19 Juni tahun 2007 yakni ketika Kejaksaan Tinggi Semarang
yang diikuti dengan Kejaksaan Tinggi di beberapa daerah menghancurkan ribuan
buku Pelajaran Sejarah SMP dan SMA yang mengacu ke Kurikulum 2004. 5
Penghancuran buku-buku sejarah ini dilandasi oleh Surat Keputusan Kejaksaan
Agung Nomor 019/A-JA/10/2007 tanggal 5 Maret 2007. Surat Keputusan Kejaksaan
itu sendiri keluar oleh karena adanya keberatan atas dihapuskannya kata PKI dari
kebiasaan penyebutan Orde Baru: “G30S/PKI”.
Dari pelarangan dan pembakaran buku tahun 2007 ini, Kejaksaan Agung
kemudian terus bergerak dengan terbitnya keputusan Jaksa Agung RI yang melarang
peredaran lima judul buku, yakni: Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa,
Suara Gereja Umat Penderitaan: Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan
di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar
Buku karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju
Tuhan karya Dharmawan, Mengungkap Misteri Keragaman Agama karya Syahruddin
Ahmad. Selain itu, penghancuran dan kekejian paling mutakhir terhadap buku
dilakukan pada September 2009 oleh mereka yang menamakan dirinya Front Anti

Komunis di Surabaya. Kelompok ini membakar buku Revolusi Agustus: Kesaksian
Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono.
Sebuah langkah maju diambil oleh Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010
dengan memutuskan bahwa kewenangan pelarangan buku yang dimiliki oleh
Kejaksaan Agung sesuai pasal 1 ayat (1) UU No. 4/PNPS/1963 bertentangan dengan
konstitusi. Dengan keputusan MK ini,

Kejaksaan Agung tidak bisa lagi secara

sewenang-wenang memberangus buku, namun harus terlebih dulu melalui
pembuktian di pengadilan.
                                                        
5

Buku-buku yang dimusnahkan itu antara lain: Kronik Sejarah Kelas 1 SMP terbitan
Yudhistira, Manusia dalam Perkembangan Zaman terbitan Ganeca Exact, Sejarah 2 dan
Sejarah 3 terbitan Erlangga, Sejarah Nasional 1 terbitan Bumi Aksara, Sejarah Nasional dan
Umum 1 SMA terbitan Balai Pustaka. Báez juga menyinggung pembakaran buku ajar ini di
hlm. 242-243 buku ini.


Namun hal ini tidak membuat pemusnahan buku serta merta berhenti. Praktik
pemberangusan dan pemusnahan tetap berjalan melalui tekanan ormas-ormas bahkan
melalui ketakutan terpendam jaringan toko buku sendiri. Contoh gamblang bisa
disebut di sini: sebuah penerbit terbesar di Indonesia membakar bukunya sendiri pada
Juni 2012, pembakaran yang seolah-olah dilakukannya secara “sukarela”, padahal kita
tahu disebabkan oleh tekanan ormas-ormas.
Insiden-insiden kebencian yang disertai pelarangan dan pemusnahan terhadap
buku ini menandai sebuah pembalikan esensial dalam politik kebudayaan Indonesia
karena ketiganya berlangsung dalam matriks demokrasi kontemporer. Dari sini kita
bisa mengajukan pertanyaan bagaimana dan proses sosial apa yang mendasari praktik
pembakaran buku dalam suatu masyarakat demokratis? Apakah pelarangan buku
memang merupakan sebuah praktik “universal”, sebagai sejenis “kemalangan” yang
memang bisa menimpa sebuah buku dalam konteks apa saja. Ataukah ia hanya sejenis
penanda dari semacam masalah atau kekuarangan yang akarnya justru ada di dalam
demokrasi sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menelusuri secara ringkas
beberapa kasus besar pelarangan dan penghancuran buku yang pernah terjadi di dunia
untuk kemudian membandingkannya dengan ketiga insiden pelarangan dan perusakan
buku yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru.


Momen-Momen Librisida
Kebencian terhadap buku entah yang pertama-tama diekspresikan dalam beragam
pelarangan dan sensor, maupun yang ditumpahkan langsung dalam penghancuran
perpustakaannya, serta pembakaran buku-buku itu di hadapan umum adalah gejala
suatu zaman. Ia menandai proses sosial-politik yang kompleks: kemandegan, konflik
serta pergeseran-pergeseran dalam pandangan dunia suatu masyarakat. Berdasarkan
pengalaman sejarah, para ahli menunjuk beberapa momen penting di mana gejala
penghancuran terhadap buku biasanya muncul. Ragam momen ini menunjukkan suatu
persilangan beragam alasan dalam pembakaran buku. Sebuah rezim fundamentalis
agama bisa melakukan pemusnahan terhadap buku, misalnya yang dilakukan Taliban
di Afganistan, akan tetapi sebuah rezim sekuler di Kamboja era Pol Pot atau Partai
Komunis dalam Revolusi Kebudayaan juga melakukan kekejian sistematis terhadap
buku secara bersama-sama dengan rezim Nazi Hitler.

Dari segi konteks, pembakaran, penghancuran, dan pelarangan buku bisa
dijumpai dalam zaman pergolakan seperti dalam situasi perang dan revolusi,
sebagaimana juga bisa dijumpai dalam zaman normal. Pertama, perang. Perang
biasanya merupakan kejadian pertama yang secara brutal bisa menjadikan buku
sebagai korban. Sebagaimana berlangsung semenjak penghancuran Roma yang diikuti
dengan pembakaran buku oleh kaum vandal pada 455 SM hingga penghancuran

perpustakaan Bagdad di abad “kebebasan dan posmodernisme” ini.
Kedua, pembakaran buku juga seringkali menandai sebuah gerak kemunculan
sebuah rezim baru. Pembakaran buku di era Pol Pot di Kamboja serta pelarangan dan
pembakaran buku-buku yang berisi “adat dan paham tua” di masa Revolusi
Kebudayaan Cina merupakan salah satu contohnya. Sementara itu, pembakaran buku
dan penghancuran perpustakaan sebagaimana yang dilakukan oleh rezim fasis Hitler
secara lebih masif melampaui kedua momen ini. Fasisme tidak hanya membakar
buku-buku yang mereka benci sebagai penanda dari kemunculan kekuatan dan
propaganda zaman baru yang mereka dengungkan, mereka juga secara sengaja
menghancurkan perpustakaan semasa Perang Dunia II sebagaimana yang mereka
lakukan terhadap Perpustakaan Inggris di London.
Ketiga adalah penghancuran dan kebencian terhadap buku selama masa
Revolusi. Salah satu yang bisa kita ambil contoh adalah sensor yang terjadi selama
dan sesudah Revolusi Perancis. Pada 1659 hingga 1789 sekitar seribu orang yang
terkait dengan buku dan penerbitan dipenjarakan di Bastille. Beberapa karya Voltiare
dibakar di Paris dan Jenewa, sementara karya Rousseau, Emile, dihujat dan diminta
untuk dibakar. Pada puncaknya, di ujung Revolusi Perancis sendiri lebih dari empat
juta buku termasuk 25 ribu manuskrip dimusnahkan sebagai bagian dari
“penghapusan” kaum klerik pasca Revolusi.6
Keempat adalah biblioklasme modern dan kebencian atau penghancuran buku

yang secara resmi disponsori oleh negara/ pemerintah dalam situasi normal.
Sebagaimana kita ketahui, penghancuran dan pelarangan buku yang didasarkan atas
argumen ortodoks dengan tuduhan suatu buku memuat ide-ide “murtad” merupakan
praktik yang sering dilakukan. Istilah biblio-clasm merujuk pada apa yang disebut
oleh Rebecca Knuth sebagai praktik penghancuran dan pelarangan buku yang

                                                        
6

Matthew Fishburn, Burning Books. New York: Palgrave, 2008, hlm. 6.

dida-sarkan atas sebuah argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral
tertentu.7

Pelaku: Kaum Intelektual dan Vandal
Sebagaimana dikemukakan oleh Fishburn, buku dan perpusta-kaan dihancurkan serta
dilarang bukan semata-mata karena fungsinya di dalam masyarakat, akan tetapi buku,
terutama yang muncul pada abad ke-20 dianggap musuh karena mengandung gagasan
humanisme. Dengan penghancuran dan pela-rangannya, maka keterkaitan buku
dengan produksi intelelektual dan kaum terpelajar termasuk sejarawan terputus.

Dari pandangan Fishburn ini, kita bisa menarik semacam kesimpulan bahwa
pelarangan dan penghancuran buku men-cerminkan kerja dan pertarungan intelektual
dalam masyarakat. Peran kaum intelektual demikian sentral bukan hanya karena
posisi mereka yang memungkinkan suatu rezim politik melihat bahaya dari suatu
buku terhadap kekuasaannya, akan tetapi, juga oleh karena biasanya setiap rezim yang
memiliki niat untuk melarang atau menghancurkan buku memiliki semacam “citacita” atau fantasi mengenai suatu jenis masyarakat masa depan yang ditopang oleh
para intelektualnya. Di Jerman, proyek “cuci ras” Nazi ditopang oleh intelektual
macam Dr. Goebbels. Di Indonesia, pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung
diprovokasi oleh usulan sejumlah intelektual dan penyair pendukung Orde Baru.
Biasanya, para intelek berfungsi menyuguhkan argumen historis mengapa bukubuku tertentu harus dilarang dan dimusnahkan. Di sini pembakaran mendapatkan
pembenarannya. Kemudian, intelek itu bertemu dengan kaum vandal, yang
melanjutkan pembenaran intelektual tadi ke dalam aksi pembakaran.
Istilah vandal sendiri muncul dalam nuansa sebagaimana yang kita pahami saat
ini semenjak Revolusi Perancis.8 Vandal pada mulanya merujuk pada sekelompok
orang yang di dalam revolusi menghancurkan monumen-monumen, lukisan dan bukubuku serta berbagai dokumen publik sebagai ekspresi kegirangan atau perayaan akan
kebebasan dari despotisme. Vandal pada awalnya adalah ampas dari sukses Revolusi.
Istilah ini dipopulerkan oleh Abbé Grégoire, anggota Konvensi Nasional (badan yang
memerintah selama Revolusi) yang menyamakan vandalisme dengan barbarisme. Ia

                                                        

7

Lihat Rebbeca Knuth, Burning Books and Leveling Libraries: Extremist Violence and
Cultural Destruction. Westport, Conn.: Praeger, 2006, hlm. 3.
8
Knuth, Ibid., hlm. 4.

mengingatkan bahwa vandalisme akan menenggelamkan Revolusi dalam kehancuran
dan melahirkan kembali tirani.
Dari pengertian ini, vandal pada dasarnya adalah gejala destruksi yang didasari
oleh suatu mental kemenangan dan kejayaan. Tidak ada komitmen sosial apapun di
dalam vandalisme. Dalam konteks di luar revolusi, maka vandalisme tidak lebih dari
pelecehan kepada lawan dengan “kekerasan telanjang” dan dominasi.
Keterkaitan kaum vandal, intelektual, dan mental dominasi ini secara pas
terungkap dalam pikiran seorang profesor yang dengan arogan menyatakan bahwa
“sejarah adalah sejarah mereka yang menang.” Pernyataan ini diungkapkannya
setelah bersama Forum Anti Komunis Surabaya, ia ikut membakar buku karangan
Soemarsono di depan kantor harian Jawa Pos.9

Api: dari Librisida ke Genosida
Selain keterkaitan intelektual dan vandal, yang selalu juga muncul dalam peristiwa
penghancuran buku adalah api. Mengapa membakar? Seorang wartawan New York
Times yang menjadi salah satu saksi upacara pembakaran buku Nazi mengutip sebuah
pidato sebelum upacara pembakaran buku dimulai:

“Api tidak hanya menandai akhir dari suatu era lama namun juga menerangi era
yang baru. Belum pernah sebelumnya, orang-orang muda bertindak dalam
kebenaran dalam membersihkan kerikil di masa lalu…Yang lama hancur bersama
bara, yang baru akan muncul dari cahaya di dalam hati kami…”10

Ritual api sangat khas dalam sejarah librisida Nazi. Waktu favorit pembakaran
biasanya dipilih pada masa pertengahan musim panas, di mana api menjadi unsur
pokok ritual inisiasi untuk penerimaan anggota baru ormas “Pemuda Hitler”, di mana
setiap peserta berbaris mengelilingi api unggun sambil secara bersama-sama
merapalkan semacam ikrar.
Dengan demikian, api adalah lambang klasik yang khas yang mencerminkan
instrumen atau jembatan kepada penghancuran untuk kemurnian. Apabila dalam
                                                        
9

Lihat wawancaranya dengan kontributor situs Indonesia Buku, Eri Irawan
(http://indonesiabuku.com/?p=1597.) Perhatikan bagaimana pernyataan serupa diucapkan
juga oleh seorang jagal 1965 yang tampil dalam film dokumenter Joshua Oppenheimer, The
Act of Killing (2012).
10
Dikutip dari Fishburn, op. cit., hlm. 35.

tradisi agama-agama lama, api adalah jembatan antara dunia atau materi kini yang
perlu disucikan dengan dunia sesudahnya, maka dalam librisida, api mengonfirmasi
cita-cita suatu masyarakat higienis. Masyarakat yang bersih dari unsur-unsur yang
tidak dikehendakinya. Api adalah lambang atau kobaran dari fantasi akan suatu
masyarakat masa depan yang utuh.
Dalam praktik fasisme Jerman, fantasi masyarakat total higienis ini nampak
dalam proses librisida sistematis yang biasanya dimulai terlebih dahulu terhadap
buku-buku karya orang Jerman sendiri yang dianggap bisa menimbulkan “masalah”,
baru sesudahnya dilanjutkan dengan buku-buku karya mereka yang berasal dari ras
“menyimpang”, yakni Yahudi, diteruskan kepada buku dari “ras inferior” yakni orang
Polandia, dan baru kemudian buku-buku dari “biang onar” yakni Inggris.11
Dengan demikian librisida adalah bagian dari proses homogenisasi masyarakat,
pengahancuran hak-hak individual dan intelektual atas nama sejarah dominan dan
fantasi akan masyarakat yang utuh serta higienis. Di titik ini, librisida mencerminkan
bahaya atau ancaman kemanusiaan yang serius.
Fantasi akan masyarakat yang higinies dan total (dalam kasus Nazi, higienis
artinya masyarakat dan Eropa hanya boleh diisi oleh bangsa Aria, masyarakat mesti
steril dan bersih dari ras di luarnya) adalah jembatan ke arah pemusnahan manusia. Di
titik ini pandangan lama yang menegaskan bahwa “kemampuan dan ketegaan
manusia untuk memusnahkan sesamanya pertama-tama tidak disebabkan oleh suatu
penyimpangan individual melainkan oleh karena sesuatu yang diyakininya”. Dengan
demikian jelas ada hubungan timbal balik antara librisida dan genosida. Sejarah buku
dengan segera dan secara mudah bisa dikonversi langsung kepada manusia; secara
antropologis, esensi buku bisa secara langsung menunjuk kepada manusia. Konversi
juga didukung dengan fakta-fakta sejarah mengenai kecenderungan manusia untuk
memandang dan memperlakukan buku sebagai “makhluk”.12

Pelarangan Buku di Masa Demokrasi
Sebagai penutup, kembali kepada pertanyaan pada awal tulisan ini yakni apa yang
bisa kita katakan mengenai pelarangan buku di sebuah rezim demokratis? Bagaimana
kita memahami sebuah rezim yang di satu sisi mengakui demokrasi dan hak asasi
tetapi di sisi lain mensponsori librisida?
                                                        
11
12

Knuth, Libricide, hlm. 235-237.
Ibid., hlm. 2.

Di negara demokratis, pelarangan dan pembakaran buku memang bisa dan tetap
terjadi, akan tetapi dari kasus yang ada, ia biasanya dilakukan oleh suatu kelompok
masyarakat (misalnya pembakaran buku-buku Harry Potter oleh sekelompok
fanatikus keagamaan di Amerika). 13 Yang lebih “unik” adalah pelarangan Mein
Kampf di Jerman dan beberapa negara bekas korban Nazi seperti Polandia, Perancis,
dan Inggris. Dalam kasus Mein Kampf, pelarangan dilakukan dengan argumen bahwa
buku itu mempropagandakan superioritas ras yang sama sekali tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sebuah masyarakat beradab.14
Dalam paham hak asasi, terutama prinsip Siracusa yang diacu oleh PBB,
pelarangan buku “bisa” dilakukan sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi
dan melanggar Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Inti dari sikap di atas adalah
“pelarangan buku dibolehkan sejauh dalam rangka melindungi hak asasi” dan
“dilakukan dalam kerangka negara hukum demokratis.” Artinya: Pertama, setiap
pelarangan buku mesti diuji dengan pertanyaan apakah buku yang dimaksud memang
berisi ancaman terhadap hak asasi (misalnya: menganjurkan penyiksaan, pembunuhan
sektarian, kebencian ras, intoleransi, dan pelecehan terhadap perempuan). Kedua,
pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, ia harus diputuskan di
muka pengadilan. Ketiga, si penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di
muka pengadilan.
Dalam kasus pelarangan buku di Indonesia, yang kita saksikan adalah
kebanyakan buku yang dilarang justru adalah buku-buku yang mempersoalkan praktik
pelanggaran hak asasi di Indonesia (dalam hal ini termasuk buku-buku sejarah
“alternatif” mengenai tragedi 1965), sementara buku-buku yang menyebarkan
kebencian dan intoleransi justru bebas beredar. Ini menunjukkan semacam cacat atau
kekonyolan dalam demokrasi di Indonesia.
Demokrasi mensyaratkan penerimaan akan pluralitas gagasan dan ideologi.
Demokrasi hanya ada sebagai demokrasi apabila syarat ini dipenuhi. Di Indonesia,
melalui api di tangan kaum vandal, demokrasi hendak ditawar dengan suatu praktik
pengecualian yang membahayakan, yakni “demokrasi kami terima tapi pluralisme dan
perbedaan ide kami tolak.” Pada hari-hari belakangan, pengecualian itu diberlakukan
kepada buku-buku dan orang-orang “kiri”; di masa depan, daftar pengecualian ini bisa
                                                        
13

Lihat buku ini hlm. 240.
Mengenai pelarangan Mein Kampf lihat Nikolas. J. Karolides, Literature Suppressed on
Political Ground. New York: Fact on File Inc. (2006), hlm. 332-343.

14

terus bertambah. Hasil akhirnya adalah kita akan tiba di ujung menemui sebuah
demokasi yang hanya dihuni oleh satu golongan ideologi dan dengan otoritas
kebenaran tunggal; demokrasi tanpa demokrasi di dalamnya, persis seperti
“demokrasinya Orde Baru.”
Selain itu, lebih jauh lagi, buku pada dasarnya adalah kumpulan teks, sementara
teks selalu terikat pada konteks. Buku memang abadi, tetapi pemaknaan masyarakat
terhadap isinya senantiasa bergeser dan berubah-ubah. Membaca Manifesto Komunis
di awal abad ke-20 saat gelora revolusi masih membara di Eropa tentu akan lain
dengan membaca buku yang sama di sebuah kantin universitas pada tahun 2000-an.
Pada yang pertama kita membaca dengan sebuah referensi dan cakrawala sebuah
praktik perubahan langsung, pada yang kedua kita membaca lebih sebagai upaya
untuk mencoba memahami teks dan konteks pemikiran seorang tokoh yang kaitannya
dengan tema perubahan langsung di zaman kini menjadi jauh lebih rumit akibat
berubahnya kondisi dan basis material yang melatarinya itu sendiri. Dengan kata lain,
di hadapan konteks, pada hakikatnya kita tidak dapat melarang sebuah buku dengan
alasan apapun.
Akhirnya, di titik ini, penerimaan terhadap suatu buku menunjukkan mentalitas
masyarakatnya. Suatu masyarakat demokratis yang sehat, terdidik –apalagi dengan
embel-embel Pancasilais dan religius—mestinya bisa lebih santai dan percaya diri
dalam menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan. Momen dalam berhadapan
dengan sebuah buku adalah momen di mana politik kebudayaan itu diuji: apakah
kebudayaan kita masih dikungkung oleh suatu kebencian fasistik ataukah makin
cukup terbuka untuk maju.