Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dal
Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia 1
Parsudi Suparlan
(Universitas Indonesia)
Abstract
This article will discuss legal and social discrimination against Chinese ethnic group in
Indonesia and will show that the ethnic Chinese has been categorised as The Other since
Chinese people are believed to have come from foreign country (China) and maintain their
identity as different from other Indonesian ethnic groups. The discussion is focused on the
essence of Indonesia as a multicultural society based on ethnicities as social force to develop
social interactions within social, economy and political structures at the personal, social and
state levels.
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah masyarakat
majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu
sebuah masyarakat negara yang terdiri atas
sukubangsa2 yang dipersatukan dan diatur
oleh sistem nasional. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Setiap masyarakat
sukubangsa secara turun temurun mempunyai
1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang
dipresentasikan dalam panel ‘Ethnic Chinese and
Multicultural Society’, pada Simposium Internasional
Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal
Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’, 16–19 Juli
2002, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
2
Atas permintaan penulis, kata ‘sukubangsa’ dalam
artikel ini ditulis menjadi satu kata yang mengacu pada
kata ethnic dalam bahasa Inggris.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
dan menempati wilayah yang diakui sebagai
hak ulayatnya. Di tempat itulah sumber-sumber
daya mereka dimanfaatkan untuk kelangsungan
hidup mereka.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia,
tidak hanya beranekaragam corak dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal. Mereka juga secara vertikal berjenjang dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya (Suparlan 1979). Banyak orang
Indonesia tidak menyadari bahwa dalam
masyarakat Indonesia terdapat golongan
dominan dan minoritas. Hal itu terwujud dalam
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam
berbagai interaksi, baik interaksi individual
maupun kategorial. Di lain pihak, baik tingkat
nasional—seperti posisi orang Cina yang
minoritas dibandingkan dengan pribumi—
maupun pada tingkat masyarakat lokal—seperti
posisi orang Sakai yang minoritas dibanding-
23
kan dengan posisi orang Melayu yang dominan
di Riau—(Suparlan 1995).
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, keanekaragaman sukubangsa telah
menghasilkan potensi konflik antarsukubangsa
dan antara pemerintah dengan suatu masyarakat sukubangsa. Potensi-potensi konflik
tersebut merupakan sebuah permasalahan
yang ada bersamaan dengan keberadaan corak
sukubangsa yang majemuk. Sumber permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan
mana yang paling berhak atas sumber-sumber
daya yang ada di wilayah-wilayah kedaulatan
dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah
pusat.
Pertanyaan mengenai siapa yang paling
berhak atas sumber-sumber daya tersebut
muncul karena sumber-sumber daya tersebut
ada di wilayah-wilayah hak ulayat masingmasing sukubangsa. Padahal, Indonesia
sebagai sebuah bangsa secara de jure dan de
facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus
1945 yang berarti lebih muda dibandingkan
dengan keberadaan masyarakat-masyarakat
sukubangsa. Hal itu menyebabkan pemerintahan nasional berada dalam posisi sulit dan
dilematis untuk mengakui, mengambil alih, dan
memonopoli sumber-sumber daya yang ada
dalam hak ulayat sukubangsa. Oleh karena itu,
hubungan antara pemerintah nasional dengan
masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan
yang krusial dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konflik kepentingan
atas sumber-sumber daya tersebut terjadi pada
tingkat nasional dan lokal.
Kesukubangsaan yang muncul dalam
interaksi sosial adalah sebuah kekuatan sosial
yang tidak bisa ditawar. Hal itu menjadi acuan
ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas di antara sesama anggota sukubangsa
dalam persaingan dan perebutan sumbersumber daya yang secara adat menjadi hak
24
mereka. Dampak lain dari pengaktifan dan
penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas
kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa
setempat berkenaan dengan penguasaan hak.
Batas-batas tersebut di antaranya adalah siapa
yang tergolong asli pribumi setempat, siapa
yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa
yang pendatang, dan siapa yang asing.
Penggolongan ini berdampak pada perlakuan
sosial, politik, dan ekonomi berupa tindakantindakan diskriminasi dari yang paling ringan
(digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli
sehingga mempunyai posisi minoritas) sampai
dengan yang terberat (orang Cina, yang
digolongkan sebagai asing).
Dampak lain adalah munculnya ideologi
kesukubangsaan. Sadar atau tidak, akan
melandasi corak kegiatan dari sistem nasional.
Ide bahwa orang Cina itu asing lebih dominan
dibandingkan dengan anggapan dan kenyataan bahwa mereka warganegara Indonesia. Oleh
karena itu, walaupun orang Cina sudah menjadi
warganegara Indonesia tetapi tetap saja
didiskriminasi secara hukum dan sosial.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial
terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi
kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada
tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina
sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. Uraian
dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan
mengenai hakikat masyarakat majemuk dan
dominannya ideologi kesukubangsaan. Selain
itu juga membahas tentang kesukubangsaan
sebagai kekuatan sosial yang muncul dan
digunakan dalam interaksi, masalah pribumi asli
sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan
berbagai dampak diskriminatifnya.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Kesukubangsaan dalam masyarakat
majemuk
Gejala sosial yang tidak terlihat di dalam
kehidupan sehari-hari tetapi mendasar dan
mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri
sukubangsa atau kesukubangsaan. Dalam
kehidupan orang Indonesia, sukubangsa
adalah sebuah ide, kenyataan, dan ideologi
yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak
bisa ditawar ataupun dibendung.
Bila kita mendefinisikan sukubangsa
sebagai sebuah kategori atau golongan sosial
askriptif (Barth 1969), maka sukubangsa adalah
sebuah pengorganisasian sosial mengenai
jatidiri yang askriptif ketika anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota suatu
sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua
dari sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan
berasal dari sesuatu daerah tertentu. Jatidiri
sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat
dibuang atau diganti. Hal ini berbeda dengan
jati diri lain yang diperoleh seseorang dalam
berbagai struktur sosial. Kesukubangsaan tetap
melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Meskipun jatidiri sukubangsa dapat
disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi,
tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak
karena adanya atribut-atribut yang digunakan
oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya
sesuai dengan hubungan status atau posisi
masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam
hubungan antarsukubangsa, atribut kesukubangsaan adalah ciri-ciri fisik atau rasial,
gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai
budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang
yang dilahirkan dalam keluarga suatu sukubangsa mau tidak mau harus hidup dengan
berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya
sebagaimana yang digunakan orangtua dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
keluarga dalam merawat dan mendidiknya. Pada
gilirannya ia menjadi manusia sesuai dengan
konsepsi kebudayaan tersebut.
Sadar atau tidak, seseorang akan hidup
dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya. Proses pembelajarannya terjadi
sejak masa anak-anak hingga dewasa. Ia tidak
mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup
menurut kebudayaan sukubangsa orang
tuanya. Dia harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaan
tersebut sebagai pedoman bagi kehidupannya
dalam menghadapi dan menginterpretasi
lingkungan, dan untuk dapat memanfaatkan
berbagai sumber daya yang ada bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini,
seseorang seperti ‘dipaksa’ mulai sejak kelahirannya, maka kebudayaan sukubangsa juga
bercorak askriptif seperti kesukubangsaannya.
Kebudayaan sukubangsa bagi anggota
sukubangsa adalah sebuah pedoman bagi
kehidupan primordial atau yang pertama dan
utama dipelajari dan diyakini kebenarannya
dalam kehidupan mereka.
Pembelajaran kebudayaan yang juga
‘dipaksakan’ adalah pelajaran agama dari
orangtua, keluarga, dan komunitas sukubangsa
tersebut. Agama adalah teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan tentang
sesuatu yang wajib diikuti, yang sebaiknya
dihindari, dan yang dilarang untuk dilakukan
menjadi operasional dalam kehidupan manusia.
Hal itu terejawantahkan melalui dan ada dalam
kebudayaan manusia dan pranata-pranata
sosial masyarakatnya. Dengan kata lain,
petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan dipahami dengan menggunakan
acuan kebudayaan, untuk dijadikan sebagai
pedoman bagi kehidupan yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah
ada. Sebaliknya, sebagian besar nilai-nilai
budaya yang sudah ada itu disesuaikan dengan
25
nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya.
Agama biasanya menggantikan sebagian
atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi
inti dan yang mengintegrasikan keutuhan dari
suatu kebudayaan sukubangsa. Dengan
demikian, nilai-nilai budaya suatu sukubangsa
diperkuat posisi dan daya paksanya untuk mewujudkan keteraturan hidup yang adil dan
beradab karena telah dimuati berbagai sanksi
sakral yang ada dalam agama yang diyakini.
Nilai-nilai budaya yang sakral atau nilai-nilai
keagamaan adalah sesuatu yang primordial
bagi setiap anggota sukubangsa. Coraknya
sama dengan corak primordial kesukubangsaan.
Setiap anggota masyarakat dilahirkan,
dididik dan dibesarkan dalam suasana askriptif
primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana tersebut pembedaan antara siapa ‘saya’,
siapa ‘dia/kamu’, dan antara siapa ‘kami’ siapa
‘mereka’ jelas batas-batasnya, selalu diulang
dan dipertegas. Dalam ruang lingkup batasbatas kesukubangsaaan ini, stereotip dan
prasangka berkembang dan menjadi mantap
dalam suatu kurun waktu hubungan antarsukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya
banyak saling salah pengertian dalam komunikasi antarsukubangsa, sehingga semakin
lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas
hubungan antara dua sukubangsa atau lebih.
Akibat lebih lanjut adalah terwujudnya
tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan
kewajiban oleh sukubangsa yang dominan
terhadap mereka yang tergolong lemah dan
nonpribumi atau minoritas di dalam kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi. Apa yang dikemukakan Thung Ju Lan (1999b) mungkin
dapat dilihat sebagai sebuah contoh konflik
antara pribumi setempat dengan orang Cina
yang tidak pernah tuntas.
Corak stereotip dan prasangka terhadap
minoritas dan nonpribumi juga nampak dalam
berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional.
26
Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau penguasa
dalam sistem nasional yang berasal dari
berbagai sukubangsa yang dominan di Indonesia yang secara sadar atau tidak mengaktifkan
kesukubangsaan mereka dalam berbagai
kebijakan dan keputusan-keputusan sosial,
ekonomi, dan politik untuk kepentingan
nasional maupun lokal. Oleh karena itu,
seringkali ideologi kesukubangsaan pejabat
tersebut terwujud dalam berbagai kebijakan
secara primordial untuk memperoleh dukungan
sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat
sukubangsanya atau kelompok agamanya.
Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia majemuk mempunyai sistem
nasional yang askriptif dan primordial secara
kesukubangsaan. Dalam perspektif ini, tidak
seorang pun yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota salah satu
sukubangsa dan yang digolongkan sebagai
pribumi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila program asimilasi atau pembauran
yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru
gagal berantakan (Thung Ju Lan 1999a). Walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi
nama Jawa, Sunda, atau Batak, mereka tetap
saja digolongkan sebagai orang asing dan
bukan yang pribumi. Begitu pula kasus orang
Cina yang telah beragama Islam. Mereka tetap
saja digolongkan sebagai orang Cina, dan
bahkan keislamannya dicurigai oleh sebagian
orang hanya sebagai sebuah strategi bisnis
agar lebih leluasa dan menguntungkan di bawah
label Islam.
Di samping itu, kegagalan program pembauran karena konsep itu sendiri juga tidak jelas.
Orang Cina mau dibaurkan atau diasimilasikan
ke dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya pembauran itu hanya sekadar ganti nama atau ganti
agama? Dalam kenyataannya, ada kondisi yang
kontradiktif. Program asimilasi disponsori pe-
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
merintah Indonesia yang beberapa waktu lalu
masih mendiskriminasi secara hukum orangorang Cina dengan memberi kode khusus di
KTP berdasarkan identifikasi kecinaan mereka.
Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut
pejabat pemerintah setempat dapat melakukan
berbagai tindakan diskriminatif dan pemerasan.
Sampai sekarang masih terdapat ketentuan
hukum yang mewajibkan seorang anak Cina,
yang orang tuanya adalah warga negara Indonesia, harus aktif memohon kewarganegaraan
Indonesia kepada pemerintah. Bila tidak, maka
ia digolongkan sebagai warga negara asing atau
tidak berkewarganegaraan.
Kesukubangsaan sebagai kekuatan
sosial
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial
untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial
di antara sesama anggota sukubangsa. Kohesi
sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan
sebagai solidaritas sosial yang berkekuatan
paksa diberlakukannya suatu kebijakan politik
atau ekonomi, memenangkan persaingan
memperebutkan sumber daya, atau menghancurkan kelompok sukubangsa lain yang
menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai
kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau
diremehkan (non negotiable) pada saat terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
Pada satu sisi, kesukubangsaan sebagai
kekuatan sosial mirip dengan keyakinan
keagamaan. Keyakinan keagamaan pada waktu
terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga
tidak dapat ditawar atau diremehkan. Keduaduanya mempunyai potensi merusak yang sama
besarnya di dalam konflik antarsukubangsa
atau antarkeyakinan keagamaan. Tetapi dari sisi
lain, kesukubangsaan dan keyakinan
keagamaan tidaklah sama. Kesukubangsaan
mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
batas-batas sesama anggota sukubangsa,
sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai
jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah
satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam
suatu masyarakat sukubangsa, atau di luar
batas masyarakat tersebut.
Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan
beroperasi dalam batas-batas wilayah sukubangsa tempat anggota sukubangsa itu hidup.
Di pihak lain, keyakinan agama beroperasi dalam
batas-batas wilayah para penganutnya, yaitu
dalam sebagian, keseluruhan, atau mencakup
dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa
yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan
keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat
atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan
masing-masing, dalam hubungan antarsukubangsa ataupun dalam hubungan antar
keyakinan keagamaan.
Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai ‘hipotesa kebudayaan dominan’
sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial
politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu
kekuatan itu adalah kemampuannya untuk
menentukan macam mata pencaharian yang
dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka
konflik antar sukubangsa dapat terwujud,
seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).
Di masa lampau, hanya di kota-kota besar
terdapat kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi sekarang,
hampir seluruh wilayah Indonesia heterogen
secara sukubangsa. Anggota berbagai sukubangsa dan daerah telah hidup berdampingan
dalam komunitas sukubangsa setempat.
Hubungan antarsukubangsa pun menjadi lebih
intensif daripada di masa lampau. Hal ini
menyebabkan berbagai masalah pengakomodasian perbedaan budaya antara pendatang
dengan penduduk setempat karena hampir
27
semua pendatang mempunyai kebudayaan
ekonomi yang lebih maju dan agresif. Masalah
hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber
daya. Tingkat agresivitas pendatang adalah
masalah yang paling kritikal dalam persaingan
untuk memperebutkan sumber-sumber daya
yang ada. Hal itu karena masyarakat setempat
melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta
pemilik sumber-sumber daya alam yang ada di
wilayah hak ulayat mereka sedangkan para
pendatang dilihat sebagai tamu.
Komunitas dan masyarakat sukubangsa
setempat yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaaan prinsip ‘di mana bumi
dipijak di situ langit dijunjung’ sebagai acuan
yang harus dijadikan pedoman oleh para
pendatang. Secara langsung atau tidak,
komunitas dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para pendatang dalam hak
dan kewajiban berkenaan dengan upaya
eksploitasi, penguasaan, dan pendistribusian
sumber-sumber daya yang ada.
Ketika prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh
para pendatang, anggota masyarakat setempat
dapat memberi peringatan atau melaporkannya
kepada polisi setempat. Tetapi ketika pelanggaran telah melampaui kelaziman hubungan
‘tamu-tuan rumah’, anggota komunitas dan
masyarakat setempat mengaktifkan dan
menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan
perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan
Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.
Orang Cina yang telah dan terus datang
selama berabad-abad ke berbagai tempat di
Indonesia menempati posisi sebagai tamu
dalam prinsip itu tadi. Oleh karena itu, di masa
lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik
antara masyarakat sukubangsa setempat
dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin
antara orang-orang Cina dengan perempuan
28
pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi kerabat.
Perubahan status ini telah memungkinkan
keturunan mereka juga mempunyai hak atas
tanah dari kelompok kerabat setempat.
Di antara orang Cina yang hidup relatif
bebas dari posisinya sebagai tamu adalah komunitas orang Cina di Singkawang. Nenek
moyang mereka telah datang ke tempat tersebut
dan sekitarnya karena tertarik pada adanya
emas di Monterado dan Mandor. Mereka
datang dan menetap di Singkawang sebelum
orang Melayu atau Dayak menetap di daerah
tersebut. Mereka merupakan komunitas yang
berdiri sendiri berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah mereka di Cina.
Mereka menjalin hubungan baik di antara
sesama komunitas tersebut, di samping dengan
kesultanan Sambas dan masyarakat Dayak yang
ada di sekeliling Singkawang. Sekarang, mereka
diperlakukan oleh pemerintah Indonesia
sebagai warga negara Indonesia keturunan
asing. Namun, berbagai peraturan kewarganegaraan yang dibelakukan terhadap orangorang Cina di Indonesia juga diberlakukan
terhadap mereka. Bila dahulu posisi mereka di
Singkawang seperti pribumi, tetapi sekarang
mereka seperti tamu di wilayah orang Melayu
dan Dayak.
Pribumi dan nonpribumi posisi orang
Cina
Konsep asli yang dibedakan dari nonasli
dan pribumi lawan nonpribumi merupakan
konsep-konsep penting dalam kehidupan
masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan
mengacu pada konsep-konsep tersebut,
berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan
dan dimantapkan. Di dalam keteraturan sosial
tersebutlah tercakup hubungan antara mereka
yang dominan dan yang minoritas. Dalam
hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
berbagai bentuk diskriminasi oleh yang
dominan terhadap yang minoritas.
Di masa lampau, para pendatang di sebuah
masyarakat sukubangsa pada umumnya
cenderung hidup dan menetap di daerah
perkotaan. Di daerah perkotaan itulah mereka
dapat menyesuaikan diri secara lebih baik
sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti
yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab dalam
sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara.
Dengan demikian, tidak perlu berurusan
dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan
dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah
atau hutan yang menjadi hak prerogatif
masyarakat sukubangsa setempat.
Di antara orang Cina di Indonesia ada yang
datang dan menetap di daerah pedesaan atau
perkebunan milik orang-orang Belanda di jaman
penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di
Depok, Tangerang, atau daerah lainnya.
Sebagian besar dari mereka telah melebur atau
terasimilasi menjadi orang setempat, karena
meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan Cinanya: berganti menjadi beragama Islam, saling
kawin dan beranak pinak dengan anggota
masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri
sukubangsa setempat dan kebudayaannya.
Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan
kecinaannya. Mereka tetap mempertahankan
keyakinan Konghucu yang menekankan
pentingnya hubungan ritual dengan leluhur,
penggunaan bahasa asalnya di Cina di dalam
keluarga dan kehidupan mereka sehari-hari, dan
hidup dalam lingkungan komunitas mereka
sendiri. Hal tersebut menjadi pendorong dan
penstimuli bagi dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal Cina mereka yang
askriptif dan primordial. Di Jakarta, mereka
dikenal sebagai Cina Benteng. Di daerah
perkotaan Jawa, mereka cenderung mengelompok dalam komunitas mereka sendiri. Wilayah
tersebut dikenal dengan nama Pecinan, yang
biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
tetapi juga menjadi tempat bisnis grosir dan
berbagai kegiatan perdagangan eceran serta
pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata
pencaharian spesialisasi mereka.
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda,
orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara
hukum digolongkan sebagai Orang Timur
Asing. Oleh karena itu, hukum yang diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda
atau hukum adat dari pribumi. Mereka tidak
tergolong sebagai Belanda maupun pribumi.
Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka
berhak mengajukan diri menjadi warganegara
Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan
kepada mereka sama dengan yang diberlakukan
terhadap orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Sebagian dari mereka yang berhasil
dalam bisnis dapat membiayai sekolah anakanak mereka di sekolah Belanda, sehingga
menghasilkan generasi Cina yang berpendidikan Barat dan cenderung menjadi Kristen.
Sebagian dari mereka inilah yang kemudian
memanfaatkan kesempatan untuk menjadi
warganegara Belanda.
Di Kalimantan Barat, terutama di Pontianak,
Singkawang, dan sekitarnya terdapat komunitas-komunitas orang Cina. Di perkotaan,
mereka hidup dari berdagang dan berbagai
kegiatan jasa dan buruh, sedangkan di pedesaan
mereka bertani, menangkap ikan, di samping
menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam komunitas-komunitas asal
mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan
dan bahasa asal mereka, di samping beradaptasi
dengan kebudayaan Melayu setempat. Mereka
juga mempertahankan keyakinan Konghucu
dan pemujaan ritual kepada nenek moyang,
walaupun di masa Orde Baru mereka menyembunyikan keyakinan tersebut dengan label
agama Budha.
Orang-orang Cina di Indonesia menikmati
masa-masa yang relatif tenang sampai tahun
1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah
29
Indonesia memutuskan untuk membedakan
antara warga negara Indonesia dan warganegara asing, dan antara yang ingin tetap
tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke
negeri leluhurnya RRC. Secara sosial, tidak jelas
adanya diskriminasi terhadap Cina sebagai
golongan, walaupun secara individual hal itu
bisa terjadi.
Pada waktu terjadi G 30S/PKI, orang-orang
Cina dituduh terlibat di dalam kup tersebut,
karena keterlibatan Baperki dalam PKI. Banyak
di antara mereka ditangkap militer, dibunuh
massa, dan hilang atau melarikan diri ke luar
Indonesia. Sebagian dari orang-orang Cina di
Kalimantan Barat adalah pendukung presiden
Sukarno, yang dituduh terlibat G 30S/PKI.
Mereka melakukan perlawanan dan membentuk
pasukan-pasukan di daerah perbatasan
Kalimantan Barat. Pada tahun 1968, perlawanan
mereka dapat ditumpas militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang mengaktifkan
tradisi ‘mangkok merah’ yang telah dilarang di
zaman penjajahan Belanda. Saya mencatat dari
seorang informan orang Dayak mengenai
digunakannya kembali kekuatan kamang tariu
yang menggunakan mangkok merah untuk
solidaritas sosial di antara orang Dayak untuk
menghancurkan dan mengalahkan musuh
(Suparlan 2000a).
Pada masa Orde Baru, pemerintah memberlakukan berbagai peraturan sebagai cara untuk
mengontrol orang Cina di Indonesia. Peraturanperaturan tersebut dapat dilihat sebagai
diskriminasi hukum terhadap mereka karena
dianggap asing dan diragukan kesetiaan mereka
terhadap negara dan bangsa Indonesia. Secara
sosial, tindakan-tindakan diskriminatif dalam
bidang hukum diikuti oleh anggota-anggota
masyarakat pribumi yang berkepentingan untuk
menguasai atau mengambil alih kekuasaan
orang-orang Cina dalam bidang bisnis dan
perdagangan.
30
Dampak dari tindakan-tindakan diskriminatif tersebut adalah pemalakan, pemerasan,
pembakaran dan penghancuran rumah dan
pertokoan. Orang Cina tidak memperoleh
perlindungan hukum dan keamanan sewajarnya. Sebagai golongan minoritas, mereka
menjadi kambing hitam atas berbagai kekacauan
ekonomi baik nasional maupun lokal.
Puncak kemarahan masyarakat Jakarta atas
kebobrokan ekonomi Indonesia terhadap
orang Cina terjadi pada tanggal 13–14 Mei 1998
(lihat Suparlan 2000b). Tidak dapat disangkal
bahwa dalam peristiwa ini terlibat berbagai
pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti
untuk itu tidak cukup untuk mengungkapkannya.
Bila kita perhatikan dengan sungguhsungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi
antara kebijaksanaan diskriminasi yang
dilakukan Presiden Soeharto, pejabat-pejabat
sipil, dan ABRI terhadap orang Cina (lihat:
Nuranto 1999, Wibowo 1999). Soeharto dan
penguasa Orde Baru lainnya telah menggunakan sejumlah orang Cina sebagai bankir dan
pelaksana perusahaan-perusahaan mereka.
Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah
memperoleh berbagai keistimewaan dan
fasilitas yang menyebabkan mereka secara
mencolok menjadi konglomerat bersamaan
dengan posisi informal yang mereka miliki dalam
pemerintahan. Mereka adalah individu-individu
dan bukan kategori atau golongan.
Namun, bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya, kemunculan individu-individu
konglomerat Cina pada tingkat pusat maupun
daerah dipandang sebagai kemunculan orang
Cina—sebagai sebuah golongan askriptif—
merupakan hasil kong kali kong dengan para
pejabat Orde Baru. Hal itu menyebabkan mereka
menyimpulkan bahwa orang Cina sebagai
kategori adalah konglomerat. Kekayaan mereka
yang berlimpah dianggap hasil korupsi dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang
mereka dorong untuk memonopoli pengeksploitasian sumber-sumber daya alam dan
ekonomi Indonesia.
Kambing hitam memang ciri-ciri kategorikal,
bukan ciri-ciri individual atau perorangan. Oleh
karena itu, semua orang yang bercirikan Cina—
dengan segala atribut kecinaannya—digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat
dan jahat, sehingga harus dihancurkan agar
kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih
baik. Dalam kasus ini, secara tidak disadari,
orang Indonesia telah menggolongkan orang
Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa,
yaitu sebuah golongan sosial yang askriptif
berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui
secara sosial, berdasarkan atas sejumlah atribut
yang menjadi ciri-cirinya.
Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina
mempunyai ciri-ciri fisik yang berbeda dari
sukubangsa-sukubangsa pribumi, kecuali di
Minahasa atau di beberapa tempat di
Kalimantan dan Sulawesi Tengah. Bahasa lisan
dan tulis, ungkapan-ungkapan, nilai-nilai
budaya, dan keyakinan keagamaan mereka juga
berbeda dari sukubangsa-sukubangsa ‘pribumi’. Mereka dengan mudah dilihat dan
diperlakukan sebagai orang ‘asing’ dalam
kehidupan masyarakat sukubangsa setempat
dengan mengacu pada diskriminasi hukum
yang dibuat pemerintah Indonesia. Kegiatan
mereka yang terpusat pada perdagangan,
industri, dan berbagai pelayanan jasa yang
kurang/tidak digeluti anggota masyarakat
sukubangsa setempat, telah membuat mereka
menjadi sebuah sukubangsa yang nampak
berbeda. Di sisi lain, mereka juga menciptakan
batas-batas sukubangsa di antara mereka
berdasarkan asal daerah dan strata sosial
ekonomi. Mereka juga menciptakan dan
memantapkan batas-batas sukubangsa dengan
masyarakat sukubangsa di tempat mereka
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
hidup. Jarak sosial dan budaya dengan
masyarakat sukubangsa setempat lebih dipertegas ketika keyakinan keagamaan mereka
memperbolehkan memakan daging babi yang
bertentangan dengan keyakinan Islam masyarakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi
batas-batas sukubangsa antara orang Cina
dengan sukubangsa setempat—kecuali
berkeyakinan keagamaan yang sama—tetapi
hubungan simbiotik secara indvidual dan
kelompok telah terjadi selama ini. Hubungan
simbiotik yang ada dalam kehidupan ekonomi
atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948),
sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh
hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang ada
dalam masyarakat setempat.
Kerapuhan ini diperkuat oleh pandangan
kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat
orang Cina sebagai satuan sukubangsa
pendatang walaupun mereka telah menjadi
warganegara Indonesia. Pandangan kesukubangsaan ini diwujudkan dalam bentuk
perundangan yang diskriminatif berkenaan
dengan status kewarganegaraan mereka:
seorang anak Cina dari orang tua yang
warganegara Indonesia masih harus secara aktif
memohon pemberian kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah, sedangkan anak
orang Arab tidak diharuskan melakukan hal itu.
Pendiskriminasian orang Cina pada
masyarakat lokal sebenarnya tidak separah
diskriminasi yang dilakukan pemerintah
Melalui hubungan simbiotik seperti di atas,
kategori Cina dikenal dan disahkan keberadaannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
lokal yang bersangkutan. Selama ini mereka
dikenal sebagai orang Cina atau Cine dalam
kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam
kehidupan orang Melayu Riau, orang Cine
menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong
Cino menurut kata orang Jawa. Bahkan orang
31
Jawa memiliki sebutan piyantun Cinten (priyayi
Cina), untuk orang Cina yang berpenampilan
sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter,
misalnya.
Menarik untuk diperhatikan adalah gejala
kemunculan konsep Tionghoa yang sekarang
diaktifkan oleh tokoh-tokoh Cina, terutama di
Jakarta. Mereka dengan tegas menolak disebut
orang Cina, dan menuntut untuk dipanggil
dengan sebutan orang Tionghoa atau Chinese
(dari bahasa asing yang artinya juga orang
Cina). Saya tanyakan mengapa mereka tidak
mau disebut orang Cina, padahal sejak dahulu
mereka disebut orang Cina. Jawabannya, karena
kata Cina merupakan kata penghinaan, karena
mereka sering diteriaki ‘Cina, lu!’.
Kemudian, mengapa mereka ingin disebut
orang Tionghoa? Jawabannya, karena kata
Tionghoa berarti orang dari Kerajaan Tengah
atau Pusat Kerajaan di Cina. Dengan kata lain,
mereka minta diperlakukan sebagai orang
kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang
dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka itu orang
asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat lokal. Ciri
keasingan mereka juga ditegaskan kembali
dalam pengidentifikasian diri sebagai orang
Chinese, sebutan yang biasa ditujukan kepada
orang Cina dari luar Indonesia.
Sebagai catatan penutup, patut dicatat
bahwa orang Cina di Indonesia, yang warga
negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai
orang Indonesia baik secara hukum maupun
secara sosial dan budaya. Mereka ingin
diperlakukan sama oleh sukubangsa manapun,
tanpa diskriminasi walaupun mereka keturunan
asing yang bukan pribumi Indcnesia.
Namun di pihak lain, mereka tidak mau
disederajatkan secara sosial dan budaya
dengan sukubangsa-sukubangsa di Indonesia.
Mereka menuntut diperlakukan sebagai orang
asing yang terhormat yang lebih tinggi daripada
32
orang Indonesia lainnya, yaitu sebagai orang
dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokohtokoh dan cendekiawan Cina memikirkan
sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut
sebagai orang Tionghoa atau Chinese bila
mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang
asing dan tidak ingin didiskriminasi. Ada
baiknya mereka belajar dari pengalaman orang
Cina di Amerika (Suparlan 2002). Mereka dapat
belajar bagaimana orang Cina di Amerika yang
semula didiskriminasi secara hukum dan sosial
secara bertahap menjadi bagian dari masyarakat
Amerika yang sama hak dan kewajibannya
dengan setiap orang Amerika lainnya. Jadi,
bukan justru mengaktifkan dan menunjukkan
diri sebagai orang Tionghoa atauChinese yang
asing, yang pada gilirannya hanya akan
mengasingkan dan mendiskriminasikan mereka
secara hukum dan sosial.
Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang
menekankan pentingnya kesukubangsaan,
akan selalu menempatkan orang Cina sebagai
orang asing walaupun mereka berstatus sebagai
WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan
politik dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka itu bagian dari
masyarakat Indonesia adalah yang utama. Hal
ini menuntut dilakukannya kajian-kajian
mendalam baik oleh para cendekiawan dan
tokoh Cina di Indonesia maupun oleh ilmuwan
sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal
itu.
Mengingat corak masyarakat Indonesia
yang menekankan kesukubangsaan dan
afinitas, secara hipotetis mungkin ada dua isu
dapat didiskusikan, yaitu: apakah orang Cina
di Indonesia harus diperlakukan sebagai
sebuah sukubangsa, atau sebagai bagian dari
sukubangsa-sukubangsa setempat di mana
mereka itu telah dan sedang hidup di dalam
masyarakatnya.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Referensi
Bruner, E.M.
1974 ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam A.Cohen (peny.) Urban
Ethnicity. London: Tavistock. Hlm.251–288.
Furnivall, J.S.
1944 Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University
Press.
Nuranto, N.
1999 ’Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru’, dalam I. Wibowo
(peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia.
Hlm.50–74
Suparlan, P.
1979 ‘Ethnic Groups of Indonesia’, The Indonesian Quarterly 7(2):55–75.
1995 Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia yang
Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR.
1999a ‘Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa’, dalam I. Wibowo
(peny.) Retrospeksi dan RekontekstualisasiMasalah Cina. Jakarta: Gramedia.
Hlm.149–173.
1999b ‘Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan’, Jurnal
Antropologi Indonesia 23(58):13–20.
2000a ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71–85.
2000b ‘Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia’, dalam M. Leigh (peny.) Proceedings
of the Sixth Bienneal Borneo Research Conference. Kucing, Sarawak: Institute of
East Asian Studies, University of Malaysia. Hlm.97–128.
2001 ‘Kerusuhan Ambon’, Jurnal Polisi Indonesia (3):1–30.
2002 Orang Cina Amerika. Makalah untuk Seminar Orang Cina di Amerika. Kajian Wilayah
Amerika, UI, 6 Juni.
Taher, T.
1997 Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa Indonesia. Jakarta:
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
Thung Ju Lan
1999a ‘Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia’, dalam I. Wibowo (peny.)
Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.3–23.
1999b ‘Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam’, Jurnal Antropologi
Indonesia 23(58):21–35.
Wibowo, I.
1999 ‘Pendahuluan’, dalam I.Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi
Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.ix–xxxi.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
33
Masyarakat Majemuk Indonesia 1
Parsudi Suparlan
(Universitas Indonesia)
Abstract
This article will discuss legal and social discrimination against Chinese ethnic group in
Indonesia and will show that the ethnic Chinese has been categorised as The Other since
Chinese people are believed to have come from foreign country (China) and maintain their
identity as different from other Indonesian ethnic groups. The discussion is focused on the
essence of Indonesia as a multicultural society based on ethnicities as social force to develop
social interactions within social, economy and political structures at the personal, social and
state levels.
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah masyarakat
majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu
sebuah masyarakat negara yang terdiri atas
sukubangsa2 yang dipersatukan dan diatur
oleh sistem nasional. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Setiap masyarakat
sukubangsa secara turun temurun mempunyai
1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang
dipresentasikan dalam panel ‘Ethnic Chinese and
Multicultural Society’, pada Simposium Internasional
Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal
Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’, 16–19 Juli
2002, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
2
Atas permintaan penulis, kata ‘sukubangsa’ dalam
artikel ini ditulis menjadi satu kata yang mengacu pada
kata ethnic dalam bahasa Inggris.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
dan menempati wilayah yang diakui sebagai
hak ulayatnya. Di tempat itulah sumber-sumber
daya mereka dimanfaatkan untuk kelangsungan
hidup mereka.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia,
tidak hanya beranekaragam corak dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal. Mereka juga secara vertikal berjenjang dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya (Suparlan 1979). Banyak orang
Indonesia tidak menyadari bahwa dalam
masyarakat Indonesia terdapat golongan
dominan dan minoritas. Hal itu terwujud dalam
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam
berbagai interaksi, baik interaksi individual
maupun kategorial. Di lain pihak, baik tingkat
nasional—seperti posisi orang Cina yang
minoritas dibandingkan dengan pribumi—
maupun pada tingkat masyarakat lokal—seperti
posisi orang Sakai yang minoritas dibanding-
23
kan dengan posisi orang Melayu yang dominan
di Riau—(Suparlan 1995).
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, keanekaragaman sukubangsa telah
menghasilkan potensi konflik antarsukubangsa
dan antara pemerintah dengan suatu masyarakat sukubangsa. Potensi-potensi konflik
tersebut merupakan sebuah permasalahan
yang ada bersamaan dengan keberadaan corak
sukubangsa yang majemuk. Sumber permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan
mana yang paling berhak atas sumber-sumber
daya yang ada di wilayah-wilayah kedaulatan
dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah
pusat.
Pertanyaan mengenai siapa yang paling
berhak atas sumber-sumber daya tersebut
muncul karena sumber-sumber daya tersebut
ada di wilayah-wilayah hak ulayat masingmasing sukubangsa. Padahal, Indonesia
sebagai sebuah bangsa secara de jure dan de
facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus
1945 yang berarti lebih muda dibandingkan
dengan keberadaan masyarakat-masyarakat
sukubangsa. Hal itu menyebabkan pemerintahan nasional berada dalam posisi sulit dan
dilematis untuk mengakui, mengambil alih, dan
memonopoli sumber-sumber daya yang ada
dalam hak ulayat sukubangsa. Oleh karena itu,
hubungan antara pemerintah nasional dengan
masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan
yang krusial dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konflik kepentingan
atas sumber-sumber daya tersebut terjadi pada
tingkat nasional dan lokal.
Kesukubangsaan yang muncul dalam
interaksi sosial adalah sebuah kekuatan sosial
yang tidak bisa ditawar. Hal itu menjadi acuan
ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas di antara sesama anggota sukubangsa
dalam persaingan dan perebutan sumbersumber daya yang secara adat menjadi hak
24
mereka. Dampak lain dari pengaktifan dan
penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas
kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa
setempat berkenaan dengan penguasaan hak.
Batas-batas tersebut di antaranya adalah siapa
yang tergolong asli pribumi setempat, siapa
yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa
yang pendatang, dan siapa yang asing.
Penggolongan ini berdampak pada perlakuan
sosial, politik, dan ekonomi berupa tindakantindakan diskriminasi dari yang paling ringan
(digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli
sehingga mempunyai posisi minoritas) sampai
dengan yang terberat (orang Cina, yang
digolongkan sebagai asing).
Dampak lain adalah munculnya ideologi
kesukubangsaan. Sadar atau tidak, akan
melandasi corak kegiatan dari sistem nasional.
Ide bahwa orang Cina itu asing lebih dominan
dibandingkan dengan anggapan dan kenyataan bahwa mereka warganegara Indonesia. Oleh
karena itu, walaupun orang Cina sudah menjadi
warganegara Indonesia tetapi tetap saja
didiskriminasi secara hukum dan sosial.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial
terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi
kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada
tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina
sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. Uraian
dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan
mengenai hakikat masyarakat majemuk dan
dominannya ideologi kesukubangsaan. Selain
itu juga membahas tentang kesukubangsaan
sebagai kekuatan sosial yang muncul dan
digunakan dalam interaksi, masalah pribumi asli
sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan
berbagai dampak diskriminatifnya.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Kesukubangsaan dalam masyarakat
majemuk
Gejala sosial yang tidak terlihat di dalam
kehidupan sehari-hari tetapi mendasar dan
mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri
sukubangsa atau kesukubangsaan. Dalam
kehidupan orang Indonesia, sukubangsa
adalah sebuah ide, kenyataan, dan ideologi
yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak
bisa ditawar ataupun dibendung.
Bila kita mendefinisikan sukubangsa
sebagai sebuah kategori atau golongan sosial
askriptif (Barth 1969), maka sukubangsa adalah
sebuah pengorganisasian sosial mengenai
jatidiri yang askriptif ketika anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota suatu
sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua
dari sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan
berasal dari sesuatu daerah tertentu. Jatidiri
sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat
dibuang atau diganti. Hal ini berbeda dengan
jati diri lain yang diperoleh seseorang dalam
berbagai struktur sosial. Kesukubangsaan tetap
melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Meskipun jatidiri sukubangsa dapat
disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi,
tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak
karena adanya atribut-atribut yang digunakan
oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya
sesuai dengan hubungan status atau posisi
masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam
hubungan antarsukubangsa, atribut kesukubangsaan adalah ciri-ciri fisik atau rasial,
gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai
budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang
yang dilahirkan dalam keluarga suatu sukubangsa mau tidak mau harus hidup dengan
berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya
sebagaimana yang digunakan orangtua dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
keluarga dalam merawat dan mendidiknya. Pada
gilirannya ia menjadi manusia sesuai dengan
konsepsi kebudayaan tersebut.
Sadar atau tidak, seseorang akan hidup
dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya. Proses pembelajarannya terjadi
sejak masa anak-anak hingga dewasa. Ia tidak
mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup
menurut kebudayaan sukubangsa orang
tuanya. Dia harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaan
tersebut sebagai pedoman bagi kehidupannya
dalam menghadapi dan menginterpretasi
lingkungan, dan untuk dapat memanfaatkan
berbagai sumber daya yang ada bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini,
seseorang seperti ‘dipaksa’ mulai sejak kelahirannya, maka kebudayaan sukubangsa juga
bercorak askriptif seperti kesukubangsaannya.
Kebudayaan sukubangsa bagi anggota
sukubangsa adalah sebuah pedoman bagi
kehidupan primordial atau yang pertama dan
utama dipelajari dan diyakini kebenarannya
dalam kehidupan mereka.
Pembelajaran kebudayaan yang juga
‘dipaksakan’ adalah pelajaran agama dari
orangtua, keluarga, dan komunitas sukubangsa
tersebut. Agama adalah teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan tentang
sesuatu yang wajib diikuti, yang sebaiknya
dihindari, dan yang dilarang untuk dilakukan
menjadi operasional dalam kehidupan manusia.
Hal itu terejawantahkan melalui dan ada dalam
kebudayaan manusia dan pranata-pranata
sosial masyarakatnya. Dengan kata lain,
petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan dipahami dengan menggunakan
acuan kebudayaan, untuk dijadikan sebagai
pedoman bagi kehidupan yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah
ada. Sebaliknya, sebagian besar nilai-nilai
budaya yang sudah ada itu disesuaikan dengan
25
nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya.
Agama biasanya menggantikan sebagian
atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi
inti dan yang mengintegrasikan keutuhan dari
suatu kebudayaan sukubangsa. Dengan
demikian, nilai-nilai budaya suatu sukubangsa
diperkuat posisi dan daya paksanya untuk mewujudkan keteraturan hidup yang adil dan
beradab karena telah dimuati berbagai sanksi
sakral yang ada dalam agama yang diyakini.
Nilai-nilai budaya yang sakral atau nilai-nilai
keagamaan adalah sesuatu yang primordial
bagi setiap anggota sukubangsa. Coraknya
sama dengan corak primordial kesukubangsaan.
Setiap anggota masyarakat dilahirkan,
dididik dan dibesarkan dalam suasana askriptif
primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana tersebut pembedaan antara siapa ‘saya’,
siapa ‘dia/kamu’, dan antara siapa ‘kami’ siapa
‘mereka’ jelas batas-batasnya, selalu diulang
dan dipertegas. Dalam ruang lingkup batasbatas kesukubangsaaan ini, stereotip dan
prasangka berkembang dan menjadi mantap
dalam suatu kurun waktu hubungan antarsukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya
banyak saling salah pengertian dalam komunikasi antarsukubangsa, sehingga semakin
lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas
hubungan antara dua sukubangsa atau lebih.
Akibat lebih lanjut adalah terwujudnya
tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan
kewajiban oleh sukubangsa yang dominan
terhadap mereka yang tergolong lemah dan
nonpribumi atau minoritas di dalam kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi. Apa yang dikemukakan Thung Ju Lan (1999b) mungkin
dapat dilihat sebagai sebuah contoh konflik
antara pribumi setempat dengan orang Cina
yang tidak pernah tuntas.
Corak stereotip dan prasangka terhadap
minoritas dan nonpribumi juga nampak dalam
berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional.
26
Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau penguasa
dalam sistem nasional yang berasal dari
berbagai sukubangsa yang dominan di Indonesia yang secara sadar atau tidak mengaktifkan
kesukubangsaan mereka dalam berbagai
kebijakan dan keputusan-keputusan sosial,
ekonomi, dan politik untuk kepentingan
nasional maupun lokal. Oleh karena itu,
seringkali ideologi kesukubangsaan pejabat
tersebut terwujud dalam berbagai kebijakan
secara primordial untuk memperoleh dukungan
sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat
sukubangsanya atau kelompok agamanya.
Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia majemuk mempunyai sistem
nasional yang askriptif dan primordial secara
kesukubangsaan. Dalam perspektif ini, tidak
seorang pun yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota salah satu
sukubangsa dan yang digolongkan sebagai
pribumi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila program asimilasi atau pembauran
yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru
gagal berantakan (Thung Ju Lan 1999a). Walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi
nama Jawa, Sunda, atau Batak, mereka tetap
saja digolongkan sebagai orang asing dan
bukan yang pribumi. Begitu pula kasus orang
Cina yang telah beragama Islam. Mereka tetap
saja digolongkan sebagai orang Cina, dan
bahkan keislamannya dicurigai oleh sebagian
orang hanya sebagai sebuah strategi bisnis
agar lebih leluasa dan menguntungkan di bawah
label Islam.
Di samping itu, kegagalan program pembauran karena konsep itu sendiri juga tidak jelas.
Orang Cina mau dibaurkan atau diasimilasikan
ke dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya pembauran itu hanya sekadar ganti nama atau ganti
agama? Dalam kenyataannya, ada kondisi yang
kontradiktif. Program asimilasi disponsori pe-
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
merintah Indonesia yang beberapa waktu lalu
masih mendiskriminasi secara hukum orangorang Cina dengan memberi kode khusus di
KTP berdasarkan identifikasi kecinaan mereka.
Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut
pejabat pemerintah setempat dapat melakukan
berbagai tindakan diskriminatif dan pemerasan.
Sampai sekarang masih terdapat ketentuan
hukum yang mewajibkan seorang anak Cina,
yang orang tuanya adalah warga negara Indonesia, harus aktif memohon kewarganegaraan
Indonesia kepada pemerintah. Bila tidak, maka
ia digolongkan sebagai warga negara asing atau
tidak berkewarganegaraan.
Kesukubangsaan sebagai kekuatan
sosial
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial
untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial
di antara sesama anggota sukubangsa. Kohesi
sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan
sebagai solidaritas sosial yang berkekuatan
paksa diberlakukannya suatu kebijakan politik
atau ekonomi, memenangkan persaingan
memperebutkan sumber daya, atau menghancurkan kelompok sukubangsa lain yang
menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai
kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau
diremehkan (non negotiable) pada saat terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
Pada satu sisi, kesukubangsaan sebagai
kekuatan sosial mirip dengan keyakinan
keagamaan. Keyakinan keagamaan pada waktu
terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga
tidak dapat ditawar atau diremehkan. Keduaduanya mempunyai potensi merusak yang sama
besarnya di dalam konflik antarsukubangsa
atau antarkeyakinan keagamaan. Tetapi dari sisi
lain, kesukubangsaan dan keyakinan
keagamaan tidaklah sama. Kesukubangsaan
mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
batas-batas sesama anggota sukubangsa,
sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai
jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah
satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam
suatu masyarakat sukubangsa, atau di luar
batas masyarakat tersebut.
Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan
beroperasi dalam batas-batas wilayah sukubangsa tempat anggota sukubangsa itu hidup.
Di pihak lain, keyakinan agama beroperasi dalam
batas-batas wilayah para penganutnya, yaitu
dalam sebagian, keseluruhan, atau mencakup
dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa
yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan
keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat
atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan
masing-masing, dalam hubungan antarsukubangsa ataupun dalam hubungan antar
keyakinan keagamaan.
Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai ‘hipotesa kebudayaan dominan’
sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial
politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu
kekuatan itu adalah kemampuannya untuk
menentukan macam mata pencaharian yang
dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka
konflik antar sukubangsa dapat terwujud,
seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).
Di masa lampau, hanya di kota-kota besar
terdapat kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi sekarang,
hampir seluruh wilayah Indonesia heterogen
secara sukubangsa. Anggota berbagai sukubangsa dan daerah telah hidup berdampingan
dalam komunitas sukubangsa setempat.
Hubungan antarsukubangsa pun menjadi lebih
intensif daripada di masa lampau. Hal ini
menyebabkan berbagai masalah pengakomodasian perbedaan budaya antara pendatang
dengan penduduk setempat karena hampir
27
semua pendatang mempunyai kebudayaan
ekonomi yang lebih maju dan agresif. Masalah
hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber
daya. Tingkat agresivitas pendatang adalah
masalah yang paling kritikal dalam persaingan
untuk memperebutkan sumber-sumber daya
yang ada. Hal itu karena masyarakat setempat
melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta
pemilik sumber-sumber daya alam yang ada di
wilayah hak ulayat mereka sedangkan para
pendatang dilihat sebagai tamu.
Komunitas dan masyarakat sukubangsa
setempat yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaaan prinsip ‘di mana bumi
dipijak di situ langit dijunjung’ sebagai acuan
yang harus dijadikan pedoman oleh para
pendatang. Secara langsung atau tidak,
komunitas dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para pendatang dalam hak
dan kewajiban berkenaan dengan upaya
eksploitasi, penguasaan, dan pendistribusian
sumber-sumber daya yang ada.
Ketika prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh
para pendatang, anggota masyarakat setempat
dapat memberi peringatan atau melaporkannya
kepada polisi setempat. Tetapi ketika pelanggaran telah melampaui kelaziman hubungan
‘tamu-tuan rumah’, anggota komunitas dan
masyarakat setempat mengaktifkan dan
menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan
perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan
Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.
Orang Cina yang telah dan terus datang
selama berabad-abad ke berbagai tempat di
Indonesia menempati posisi sebagai tamu
dalam prinsip itu tadi. Oleh karena itu, di masa
lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik
antara masyarakat sukubangsa setempat
dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin
antara orang-orang Cina dengan perempuan
28
pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi kerabat.
Perubahan status ini telah memungkinkan
keturunan mereka juga mempunyai hak atas
tanah dari kelompok kerabat setempat.
Di antara orang Cina yang hidup relatif
bebas dari posisinya sebagai tamu adalah komunitas orang Cina di Singkawang. Nenek
moyang mereka telah datang ke tempat tersebut
dan sekitarnya karena tertarik pada adanya
emas di Monterado dan Mandor. Mereka
datang dan menetap di Singkawang sebelum
orang Melayu atau Dayak menetap di daerah
tersebut. Mereka merupakan komunitas yang
berdiri sendiri berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah mereka di Cina.
Mereka menjalin hubungan baik di antara
sesama komunitas tersebut, di samping dengan
kesultanan Sambas dan masyarakat Dayak yang
ada di sekeliling Singkawang. Sekarang, mereka
diperlakukan oleh pemerintah Indonesia
sebagai warga negara Indonesia keturunan
asing. Namun, berbagai peraturan kewarganegaraan yang dibelakukan terhadap orangorang Cina di Indonesia juga diberlakukan
terhadap mereka. Bila dahulu posisi mereka di
Singkawang seperti pribumi, tetapi sekarang
mereka seperti tamu di wilayah orang Melayu
dan Dayak.
Pribumi dan nonpribumi posisi orang
Cina
Konsep asli yang dibedakan dari nonasli
dan pribumi lawan nonpribumi merupakan
konsep-konsep penting dalam kehidupan
masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan
mengacu pada konsep-konsep tersebut,
berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan
dan dimantapkan. Di dalam keteraturan sosial
tersebutlah tercakup hubungan antara mereka
yang dominan dan yang minoritas. Dalam
hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
berbagai bentuk diskriminasi oleh yang
dominan terhadap yang minoritas.
Di masa lampau, para pendatang di sebuah
masyarakat sukubangsa pada umumnya
cenderung hidup dan menetap di daerah
perkotaan. Di daerah perkotaan itulah mereka
dapat menyesuaikan diri secara lebih baik
sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti
yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab dalam
sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara.
Dengan demikian, tidak perlu berurusan
dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan
dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah
atau hutan yang menjadi hak prerogatif
masyarakat sukubangsa setempat.
Di antara orang Cina di Indonesia ada yang
datang dan menetap di daerah pedesaan atau
perkebunan milik orang-orang Belanda di jaman
penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di
Depok, Tangerang, atau daerah lainnya.
Sebagian besar dari mereka telah melebur atau
terasimilasi menjadi orang setempat, karena
meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan Cinanya: berganti menjadi beragama Islam, saling
kawin dan beranak pinak dengan anggota
masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri
sukubangsa setempat dan kebudayaannya.
Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan
kecinaannya. Mereka tetap mempertahankan
keyakinan Konghucu yang menekankan
pentingnya hubungan ritual dengan leluhur,
penggunaan bahasa asalnya di Cina di dalam
keluarga dan kehidupan mereka sehari-hari, dan
hidup dalam lingkungan komunitas mereka
sendiri. Hal tersebut menjadi pendorong dan
penstimuli bagi dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal Cina mereka yang
askriptif dan primordial. Di Jakarta, mereka
dikenal sebagai Cina Benteng. Di daerah
perkotaan Jawa, mereka cenderung mengelompok dalam komunitas mereka sendiri. Wilayah
tersebut dikenal dengan nama Pecinan, yang
biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
tetapi juga menjadi tempat bisnis grosir dan
berbagai kegiatan perdagangan eceran serta
pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata
pencaharian spesialisasi mereka.
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda,
orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara
hukum digolongkan sebagai Orang Timur
Asing. Oleh karena itu, hukum yang diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda
atau hukum adat dari pribumi. Mereka tidak
tergolong sebagai Belanda maupun pribumi.
Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka
berhak mengajukan diri menjadi warganegara
Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan
kepada mereka sama dengan yang diberlakukan
terhadap orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Sebagian dari mereka yang berhasil
dalam bisnis dapat membiayai sekolah anakanak mereka di sekolah Belanda, sehingga
menghasilkan generasi Cina yang berpendidikan Barat dan cenderung menjadi Kristen.
Sebagian dari mereka inilah yang kemudian
memanfaatkan kesempatan untuk menjadi
warganegara Belanda.
Di Kalimantan Barat, terutama di Pontianak,
Singkawang, dan sekitarnya terdapat komunitas-komunitas orang Cina. Di perkotaan,
mereka hidup dari berdagang dan berbagai
kegiatan jasa dan buruh, sedangkan di pedesaan
mereka bertani, menangkap ikan, di samping
menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam komunitas-komunitas asal
mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan
dan bahasa asal mereka, di samping beradaptasi
dengan kebudayaan Melayu setempat. Mereka
juga mempertahankan keyakinan Konghucu
dan pemujaan ritual kepada nenek moyang,
walaupun di masa Orde Baru mereka menyembunyikan keyakinan tersebut dengan label
agama Budha.
Orang-orang Cina di Indonesia menikmati
masa-masa yang relatif tenang sampai tahun
1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah
29
Indonesia memutuskan untuk membedakan
antara warga negara Indonesia dan warganegara asing, dan antara yang ingin tetap
tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke
negeri leluhurnya RRC. Secara sosial, tidak jelas
adanya diskriminasi terhadap Cina sebagai
golongan, walaupun secara individual hal itu
bisa terjadi.
Pada waktu terjadi G 30S/PKI, orang-orang
Cina dituduh terlibat di dalam kup tersebut,
karena keterlibatan Baperki dalam PKI. Banyak
di antara mereka ditangkap militer, dibunuh
massa, dan hilang atau melarikan diri ke luar
Indonesia. Sebagian dari orang-orang Cina di
Kalimantan Barat adalah pendukung presiden
Sukarno, yang dituduh terlibat G 30S/PKI.
Mereka melakukan perlawanan dan membentuk
pasukan-pasukan di daerah perbatasan
Kalimantan Barat. Pada tahun 1968, perlawanan
mereka dapat ditumpas militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang mengaktifkan
tradisi ‘mangkok merah’ yang telah dilarang di
zaman penjajahan Belanda. Saya mencatat dari
seorang informan orang Dayak mengenai
digunakannya kembali kekuatan kamang tariu
yang menggunakan mangkok merah untuk
solidaritas sosial di antara orang Dayak untuk
menghancurkan dan mengalahkan musuh
(Suparlan 2000a).
Pada masa Orde Baru, pemerintah memberlakukan berbagai peraturan sebagai cara untuk
mengontrol orang Cina di Indonesia. Peraturanperaturan tersebut dapat dilihat sebagai
diskriminasi hukum terhadap mereka karena
dianggap asing dan diragukan kesetiaan mereka
terhadap negara dan bangsa Indonesia. Secara
sosial, tindakan-tindakan diskriminatif dalam
bidang hukum diikuti oleh anggota-anggota
masyarakat pribumi yang berkepentingan untuk
menguasai atau mengambil alih kekuasaan
orang-orang Cina dalam bidang bisnis dan
perdagangan.
30
Dampak dari tindakan-tindakan diskriminatif tersebut adalah pemalakan, pemerasan,
pembakaran dan penghancuran rumah dan
pertokoan. Orang Cina tidak memperoleh
perlindungan hukum dan keamanan sewajarnya. Sebagai golongan minoritas, mereka
menjadi kambing hitam atas berbagai kekacauan
ekonomi baik nasional maupun lokal.
Puncak kemarahan masyarakat Jakarta atas
kebobrokan ekonomi Indonesia terhadap
orang Cina terjadi pada tanggal 13–14 Mei 1998
(lihat Suparlan 2000b). Tidak dapat disangkal
bahwa dalam peristiwa ini terlibat berbagai
pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti
untuk itu tidak cukup untuk mengungkapkannya.
Bila kita perhatikan dengan sungguhsungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi
antara kebijaksanaan diskriminasi yang
dilakukan Presiden Soeharto, pejabat-pejabat
sipil, dan ABRI terhadap orang Cina (lihat:
Nuranto 1999, Wibowo 1999). Soeharto dan
penguasa Orde Baru lainnya telah menggunakan sejumlah orang Cina sebagai bankir dan
pelaksana perusahaan-perusahaan mereka.
Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah
memperoleh berbagai keistimewaan dan
fasilitas yang menyebabkan mereka secara
mencolok menjadi konglomerat bersamaan
dengan posisi informal yang mereka miliki dalam
pemerintahan. Mereka adalah individu-individu
dan bukan kategori atau golongan.
Namun, bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya, kemunculan individu-individu
konglomerat Cina pada tingkat pusat maupun
daerah dipandang sebagai kemunculan orang
Cina—sebagai sebuah golongan askriptif—
merupakan hasil kong kali kong dengan para
pejabat Orde Baru. Hal itu menyebabkan mereka
menyimpulkan bahwa orang Cina sebagai
kategori adalah konglomerat. Kekayaan mereka
yang berlimpah dianggap hasil korupsi dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang
mereka dorong untuk memonopoli pengeksploitasian sumber-sumber daya alam dan
ekonomi Indonesia.
Kambing hitam memang ciri-ciri kategorikal,
bukan ciri-ciri individual atau perorangan. Oleh
karena itu, semua orang yang bercirikan Cina—
dengan segala atribut kecinaannya—digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat
dan jahat, sehingga harus dihancurkan agar
kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih
baik. Dalam kasus ini, secara tidak disadari,
orang Indonesia telah menggolongkan orang
Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa,
yaitu sebuah golongan sosial yang askriptif
berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui
secara sosial, berdasarkan atas sejumlah atribut
yang menjadi ciri-cirinya.
Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina
mempunyai ciri-ciri fisik yang berbeda dari
sukubangsa-sukubangsa pribumi, kecuali di
Minahasa atau di beberapa tempat di
Kalimantan dan Sulawesi Tengah. Bahasa lisan
dan tulis, ungkapan-ungkapan, nilai-nilai
budaya, dan keyakinan keagamaan mereka juga
berbeda dari sukubangsa-sukubangsa ‘pribumi’. Mereka dengan mudah dilihat dan
diperlakukan sebagai orang ‘asing’ dalam
kehidupan masyarakat sukubangsa setempat
dengan mengacu pada diskriminasi hukum
yang dibuat pemerintah Indonesia. Kegiatan
mereka yang terpusat pada perdagangan,
industri, dan berbagai pelayanan jasa yang
kurang/tidak digeluti anggota masyarakat
sukubangsa setempat, telah membuat mereka
menjadi sebuah sukubangsa yang nampak
berbeda. Di sisi lain, mereka juga menciptakan
batas-batas sukubangsa di antara mereka
berdasarkan asal daerah dan strata sosial
ekonomi. Mereka juga menciptakan dan
memantapkan batas-batas sukubangsa dengan
masyarakat sukubangsa di tempat mereka
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
hidup. Jarak sosial dan budaya dengan
masyarakat sukubangsa setempat lebih dipertegas ketika keyakinan keagamaan mereka
memperbolehkan memakan daging babi yang
bertentangan dengan keyakinan Islam masyarakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi
batas-batas sukubangsa antara orang Cina
dengan sukubangsa setempat—kecuali
berkeyakinan keagamaan yang sama—tetapi
hubungan simbiotik secara indvidual dan
kelompok telah terjadi selama ini. Hubungan
simbiotik yang ada dalam kehidupan ekonomi
atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948),
sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh
hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang ada
dalam masyarakat setempat.
Kerapuhan ini diperkuat oleh pandangan
kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat
orang Cina sebagai satuan sukubangsa
pendatang walaupun mereka telah menjadi
warganegara Indonesia. Pandangan kesukubangsaan ini diwujudkan dalam bentuk
perundangan yang diskriminatif berkenaan
dengan status kewarganegaraan mereka:
seorang anak Cina dari orang tua yang
warganegara Indonesia masih harus secara aktif
memohon pemberian kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah, sedangkan anak
orang Arab tidak diharuskan melakukan hal itu.
Pendiskriminasian orang Cina pada
masyarakat lokal sebenarnya tidak separah
diskriminasi yang dilakukan pemerintah
Melalui hubungan simbiotik seperti di atas,
kategori Cina dikenal dan disahkan keberadaannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
lokal yang bersangkutan. Selama ini mereka
dikenal sebagai orang Cina atau Cine dalam
kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam
kehidupan orang Melayu Riau, orang Cine
menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong
Cino menurut kata orang Jawa. Bahkan orang
31
Jawa memiliki sebutan piyantun Cinten (priyayi
Cina), untuk orang Cina yang berpenampilan
sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter,
misalnya.
Menarik untuk diperhatikan adalah gejala
kemunculan konsep Tionghoa yang sekarang
diaktifkan oleh tokoh-tokoh Cina, terutama di
Jakarta. Mereka dengan tegas menolak disebut
orang Cina, dan menuntut untuk dipanggil
dengan sebutan orang Tionghoa atau Chinese
(dari bahasa asing yang artinya juga orang
Cina). Saya tanyakan mengapa mereka tidak
mau disebut orang Cina, padahal sejak dahulu
mereka disebut orang Cina. Jawabannya, karena
kata Cina merupakan kata penghinaan, karena
mereka sering diteriaki ‘Cina, lu!’.
Kemudian, mengapa mereka ingin disebut
orang Tionghoa? Jawabannya, karena kata
Tionghoa berarti orang dari Kerajaan Tengah
atau Pusat Kerajaan di Cina. Dengan kata lain,
mereka minta diperlakukan sebagai orang
kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang
dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka itu orang
asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat lokal. Ciri
keasingan mereka juga ditegaskan kembali
dalam pengidentifikasian diri sebagai orang
Chinese, sebutan yang biasa ditujukan kepada
orang Cina dari luar Indonesia.
Sebagai catatan penutup, patut dicatat
bahwa orang Cina di Indonesia, yang warga
negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai
orang Indonesia baik secara hukum maupun
secara sosial dan budaya. Mereka ingin
diperlakukan sama oleh sukubangsa manapun,
tanpa diskriminasi walaupun mereka keturunan
asing yang bukan pribumi Indcnesia.
Namun di pihak lain, mereka tidak mau
disederajatkan secara sosial dan budaya
dengan sukubangsa-sukubangsa di Indonesia.
Mereka menuntut diperlakukan sebagai orang
asing yang terhormat yang lebih tinggi daripada
32
orang Indonesia lainnya, yaitu sebagai orang
dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokohtokoh dan cendekiawan Cina memikirkan
sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut
sebagai orang Tionghoa atau Chinese bila
mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang
asing dan tidak ingin didiskriminasi. Ada
baiknya mereka belajar dari pengalaman orang
Cina di Amerika (Suparlan 2002). Mereka dapat
belajar bagaimana orang Cina di Amerika yang
semula didiskriminasi secara hukum dan sosial
secara bertahap menjadi bagian dari masyarakat
Amerika yang sama hak dan kewajibannya
dengan setiap orang Amerika lainnya. Jadi,
bukan justru mengaktifkan dan menunjukkan
diri sebagai orang Tionghoa atauChinese yang
asing, yang pada gilirannya hanya akan
mengasingkan dan mendiskriminasikan mereka
secara hukum dan sosial.
Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang
menekankan pentingnya kesukubangsaan,
akan selalu menempatkan orang Cina sebagai
orang asing walaupun mereka berstatus sebagai
WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan
politik dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka itu bagian dari
masyarakat Indonesia adalah yang utama. Hal
ini menuntut dilakukannya kajian-kajian
mendalam baik oleh para cendekiawan dan
tokoh Cina di Indonesia maupun oleh ilmuwan
sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal
itu.
Mengingat corak masyarakat Indonesia
yang menekankan kesukubangsaan dan
afinitas, secara hipotetis mungkin ada dua isu
dapat didiskusikan, yaitu: apakah orang Cina
di Indonesia harus diperlakukan sebagai
sebuah sukubangsa, atau sebagai bagian dari
sukubangsa-sukubangsa setempat di mana
mereka itu telah dan sedang hidup di dalam
masyarakatnya.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Referensi
Bruner, E.M.
1974 ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam A.Cohen (peny.) Urban
Ethnicity. London: Tavistock. Hlm.251–288.
Furnivall, J.S.
1944 Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University
Press.
Nuranto, N.
1999 ’Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru’, dalam I. Wibowo
(peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia.
Hlm.50–74
Suparlan, P.
1979 ‘Ethnic Groups of Indonesia’, The Indonesian Quarterly 7(2):55–75.
1995 Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia yang
Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR.
1999a ‘Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa’, dalam I. Wibowo
(peny.) Retrospeksi dan RekontekstualisasiMasalah Cina. Jakarta: Gramedia.
Hlm.149–173.
1999b ‘Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan’, Jurnal
Antropologi Indonesia 23(58):13–20.
2000a ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71–85.
2000b ‘Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia’, dalam M. Leigh (peny.) Proceedings
of the Sixth Bienneal Borneo Research Conference. Kucing, Sarawak: Institute of
East Asian Studies, University of Malaysia. Hlm.97–128.
2001 ‘Kerusuhan Ambon’, Jurnal Polisi Indonesia (3):1–30.
2002 Orang Cina Amerika. Makalah untuk Seminar Orang Cina di Amerika. Kajian Wilayah
Amerika, UI, 6 Juni.
Taher, T.
1997 Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa Indonesia. Jakarta:
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
Thung Ju Lan
1999a ‘Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia’, dalam I. Wibowo (peny.)
Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.3–23.
1999b ‘Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam’, Jurnal Antropologi
Indonesia 23(58):21–35.
Wibowo, I.
1999 ‘Pendahuluan’, dalam I.Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi
Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.ix–xxxi.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
33