Cerita anak tentang kelinci dan kura teo

Cerita anak tentang kelinci dan kura-kura mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita
khususnnya bagi anak-anak, terlebih cerita tersebut sering di bacakan saat sebelum tidur.
Diceritakan pada suatu hari kura-kura yang berjalan ke suatu tempat, tiba-tiba kelinci melaju
dengan kencang melewati si kura-kura. Seekor kelinci mengejek seekor kura-kura karena
bergerak terlalu lambat.
"Pernahkah kamu tiba di tujuanmu?" kata sang Kelinci sambil tertawa.
"Ya," jawab sang Kura-kura, "dan Saya selalu tiba lebih cepat dari yang pernah kamu
bayangkan. "Mari kita berlomba dan membuktikan siapa yang lebih cepat."
Kelinci tersebut merasa lucu sekaligus senang dengan perlombaan lari yang diajukan oleh
sang Kura-kura, dan Ia pun menyetujui perlombaan lari itu. Untuk itu ditunjuklah seekor
Rubah yang diangkat menjadi wasit.
Saat perlombaan dimulai, sang Kelinci berlari dengan cepatnya hingga hampir tidak terlihat
lagi, dan untuk membuat sang Kura-kura merasa lebih bodoh karena memberikan tantangan
lomba melawan sang Kelinci, di pertengahan jalan, sang Kelinci pun berbaring dan tidur.
Sementara itu sang Kura-kura tetap berjalan perlahan, sedikit demi sedikit, dan melewati
tempat di mana sang Kelinci tidur. Saat sang Kura-kura mendekati garis finish, sang Kelinci
terbangun dan berlari sekencang-kencangnya untuk mencapai garis finish. Tetapi apa daya,
walaupun sang Kelinci berlari sekuat tenaga, Ia tidak dapat mengalahkan sang Kura-kura
yang telah mencapai finish terlebih dahulu. Perlombaan tidak selalu dimenangkan oleh yang
tercepat.
Cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya merupakan

hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan. Storey dalam bukunya yang
berjudul, Teori Budaya dan Budaya Pop (An Introductory Guide to Cultural Theory and
Popular Studies, 1993) telah memetakan budaya pop dalam lanskap cultural studies. Dalam
bukunya yang lebih bersifat sebagai pengenalan ini, Storey lebih memfokuskan kajiannya
pada implikasi teoretis, implikasi metodologis, dan percabangan yang terjadi pada saat-saat
tertentu dalam sejarah kajian budaya pop. Storey cenderung lebih memperlakukan teori
budaya atau budaya popular sebagai sebuah proses pembentukan wacana (discursive
formation).
Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey menempatkan Roland
Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan Pascastrukturalisme”. Barthes tidak hanya sering
disalahpahami konsep-konsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh
strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika. Buku-buku yang membicarakan

Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam kategorikategori tersebut.
Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir
Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut
saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar
Singkat edisi terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya St.
Sunardi (2004). Adapun Karya-karya Barthes tentang analisis sejumlah fenomena budaya pop
antara lain Mythologies, The Fashion System, dan Camera Lucida.

Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya tentang semiotika
(semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah
second order semiotic system. Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti
tanda. Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut
mewakili sesuatu objek representatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan
istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua
merujuk pada ilmu tentangnya. Istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi Saussurean yang
diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan Umberto Eco, sedangkan istilah semiologi lebih
banyak dipakai oleh Barthes. Baik semiotik ataupun semiologi merupakan cabang penelitian
sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda.
Didalam teori menandakan bahwa dalam cerita ini yang menjadi struktur adalah kelinci,
kura-kura, serigala, dan suasana hutan. Simbol yang di kaitkan dalam teori inni adalah
perlombaan tidak selalu di menangkan oleh yang tercepat tetapi juga kesabaran dan
ketekunan dalam perlombaan tersebut, sehingga menjadi juara.