VITAMIN A dan Manifestasi Defisiensi Vit

Manifestasi Klinis Defisiensi Vitamin A
Sudah tidak dapat di pungkiri lagi bahwasannya penggunaan mikronutrien bagi tubuh manusia
walaupun jumlah yang di gunakan hanyalah sedikit namun memiliki dampak yang sangat luas apabila
terjadi defisiensi dari zat mikronutrien. Kelebihan mikronutrien seperti vitamin pun akan
menyebabkan efek toksik bagi seorang individu yang bersangkutan. Perihal defisiensi vitamin,
terkhususnya Vitamin A, maka sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu bagaimanakah fungsi,
struktur dan beberapa hal yang sekiranya penting untuk kita memahami apa itu vitamin A.
Vitamin A dapat di peroleh dari hewani maupun nabati. Vitamin A yang berasal dari hewani ada
retinol, retinaldehida dan asam retinoat. Sedangkan karotenoi yang terdapat di dalam tumbuhan
terdiri dari karotaen dan senyawa terkait yang merupakan precursor dari vitamin A. α,β dan γ
karoten serta kriptoxantin merupakan karotenoid provitamin A terpenting. Setidaknya harus ada
konversi dari karoten untuk menjadi retinol. Menurut biokomia harper “ 6 mikrogram β-Karoten
hanya mampu untuk mengkonversi kan zat tersebut menjadi 1 mikrogram reinol “. Dan terdapat
statement yang berbeda dari buku aja nutrisi pediatrik dan penyakit metabolic yang mengatakan “
untuk mengkonversi 1 mikrogram retinol dibutuhkan 12 mikroogram β-Karoten dan atau 24
mikrogram α-Karoten atau β Kriptoxantin. Terlepas dari hal tersebut, terungkap suatu fakta
bahwasannya selama ini kita berfikiran bahwa wortel adalah sayuran yang memiliki kadar provitamin
A yang paling tinggi. Hal tersebut hamper saja benar, namun ternyata berdasarkan RAE (Retinol
Activity Equivalent) menyatakan bahwa Ubi Jalar yang di rebus tanpa menggunakan garam dengan
berat 146 gram memiliki kadar RAE sebesar 1403 IU, dimana 1 IU setara dengan 0,3 mikrogram
Retinol. Pada wortel sendiri dengan berat 110 gram memiliki nilai RAE sebesar 919 IU. Kadar RAE

tertinggi di pegang oleh Daging Kalkun panggan dengan nilai RAE sebesar 15569 IU.
Sebelum dapat di gunakan oleh tubuh dalam bentuk retinol, pada fungsi penglihatan (mata) kite
mengetahui bahwasannya ada sel batang (rhodopsin) dan sel keruccut (iodopsin). Pembahasan pada
hal ini kita batasi kepada Rodopsin saja sebab rhodopsin adalah sel yang peka terhadap cahaya
termasuk gelap maupun terang yang memiliki hubungan dengan vitamin A. Retinol dalam bentuk All
Trans Retinol akan mengalami proses isomerasi menjadi 11-cis-retinol dan selanjutnya akan di
oksidasi menjadi 11—cis-transretinaldehid. Dalam bentuk 11-cis-transretinaldehid inilah bentuk
vitamin A yang paling di butuhkan, sebab ia akan berikatan dengan residu lisin di opsin untuk
selanjutnya dapat menjadi rhodopsin. Defisiensi dari vitamin a akan mengganggu proses
pembentukan rhodopsin atau pemecahan kembali menjadi opsin dan all trans retinal.
Selain untuk mata, vitamin A juga penting untuk terhadap proses pembentukan sel darah merah,
pertumbuhan, perkembangan yang sebenarnya secara keseluruhan penting untuk mengatur regulasi
dan ekspresi gen dan diferensiasi jaringan. Hal ini di atur oleh asam all-trans-retinoat dan 9-cisretinoat yang mengatur pertumbuhan, perkembangan dan diferensiasi jaringan. Bisa kita bayangkan,
apabila terjadi defisiensi vitamin A maka hal apakah yang dapat terjadi terhadap jaringan yang sering
melakukan diferensiasi ?
Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat kita ambil jawaban terhadap permasalahan defisiensi
vitamin A. Bahwa vitamin A memang di butuhkan dalam kadar yang tidak terlalu banyak akan tetapi
untuk dapat mendapatkan vitamin A dalam bentuk retinol cukuplah sulit, sebab terdapat
perbandingan konversi yang cukup banyak untuk mengubah provitamin A menjadi vitamin A. Padahal
untuk bayi dan anak-anak belum terlalu dapat mengkonsumsi makanan-makanan seperti daging

serta sayuran dan buah tersebut dalam jumlah yang cukup banyak dan di tambah lagi oleh minimnya
pemberian ASI oleh sang ibu.

Salah satu manifestasi klinis yang sangat Nampak, dan merupakan puncak gunung es terhadap
defisiensi vitamin A adalah apabila di temukannya bercak bitot pada konjungtiva. Hal ini berkenaan
dengan Xeroftalmia. Xeroftalmia sendiri di definisikan sebagai dari Bahasa yunani yang berarti mata
kering. Sebagaimana yang telah kita pahami, konjungtiva merupakan selaput lender yang sekiranya
mampu untuk membasahi bola mata kita agar tidak kering untuk menjaga funsi normal mata tetap
seperti sedia kala. Defisiensi vitamin A dalam perihal hubunganya dengnan fungsi penglihatan yang
paling awal sekali adalah apabila di temukan sang anak mengalami Nyctalopia. Nyctalopia atau XN
merupakan rabun senja. Hal ini sebagai akibat dari terganggunya penyusunan kembali rhodopsin
sebagaimana yang telah di jelaskan di atas. Dari cahaya terang di siang, menuju cahaya yang mulai
kurang terang pada sore dan menjadi cukup temaram pada saat senja, apabila terdapat defisiensi
vitamin A tentunya sangatlah mengganggu proses penyusunan kembali rhodopsin. Hasilnya adalah
anak akan terlihat terdiam pada senja yang biasanya si anak ini cukup aktif. Lalu anak apabila sudah
dapat berjalan dapat menabrak benda yang ada di sekelilingnya. Tahap selanjutnya adalah X1A atau
xerosis konjungtiva, dimana kongjutiva akan tampak kering. X1B merupakan tahap lanjut, sebagai
akibat dari daya re-epitelisasi yang buruk karena lagi-lagi di sebabkan oleh defisiensi vitamin A, maka
terdapat penumpukan sel-sel di sekitar bola mata yang Nampak putih seperti sabun atau keju yang
di kenal sebaai bercak bitot. X2 merupakan xerosis kornea, dimana kornea tampak matte, tidak

mengkilat dan terlihat sangat ppucat dan kering. Untuk XN hingga X2 ini masih dapat dilaksanakan
perbaikan hingga pulih sebagaimana awalnya, khusus X2 harus segera di lakukan tindakan
penatalaksanaan yang cepat dan segera. Apabila X2 sudah terlanjur menjadi X3A dan tahap-tahap
selanjutnya, maka fungsi normal penglihatan sudah pasti terganggu dan dapat menimbulkan
kecacatan. X3A dan X3B atau yang biasa dikenal dengan sebutan keratomalasia atau ulkus kornea,
sesuai dengan namanya terbentuk ulkus pada kornea orang tersebut. Apabila masih mengenai
kurang dari 1/3 kornea di sebut sebagai X3A dan apabila lebih dari 1/3 di sebut sebagai X3B. Cukup
beralasan mengapa nantinya dapt terjadi XS atau xerosis scars sebagai akibat dari ulkus yang ada
pada X3A dan X3B sebelumnya. Yang paling parah adalah apabila sudah terjadi XF atau xeroftalmia
fundus. Penderita xeroftalmia juga biasanya memiliki riwayat terhadapat penyakit campak, oleh
karena itu perlu di tanyakan saat melaksanakan anamnesis bahwasannya pakah sang anak ada
menderita campak dalam 3 bulan terakhir atau dapat kita lihat kondisi anak sekarang sedang
mendertia campak atau tidak. Sebab penatalaksanaan untuk anak yang menderita campak yang
disertai xeroftalmia nantinya akan berbeda dengan anak yang hanya menderita xeroftalmia.