demokrasi dan masyarakat sipil doc

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Demokrasi dan masyarakat sipil (civil society) bagaikan dua sisi mata
uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Dengan civil society yang kuat, demokrasi
akan berjalan dengan baik (Putnam, 1993). Dan dalam suasana negara yang
demokratis, civil society akan berkembang dan tumbuh dengan kuat pula.
Nurcholish Madjid (1999) membuat metafor yang cukup menarik, civil society
adalah “rumah” persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin
dalam pemilu yang bebas dan demokratis, tetapi juga diperlukan persemaian
dalam “rumah”, yaitu civil society.
Larry Diamond (1994) mengatakan bahwa civil society memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi tumbuhnya demokrasi. Pertama, civil society
menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk
menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media
yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol
publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai
kepentingannya, bila diorganisasi dan dikelola dengan baik, maka hal ini dapat
menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang demokratis. Ketiga, akan
memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik,

meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan
(citizenship). Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil
society,

karena

kemandiriannya

terhadap

negara,

mampu

menjaga

independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi peran negara.
Kelima, sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru.
Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter.
Namun dalam pelaksanaannya dihadapkan pada kendala antara lain adalah

masih minimnya tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam
melakukan agregasi dan artikulasi aspirasi politik mereka untuk disalurkan

1|Page

melalui prosedur dan mekanisme politik yang sah, konstitusional dan beradab.
Kondisi seperti ini dapat dipahami sebagai proses awal dari dekratisasi. Sebuah
demokrasi tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah kesadaran dari masyarakat
yang merupakan pelaku demokrasi. Ketidaksadaran masyarakat akan membuat
mereka terbimbing masuk dalam sikap politik yang membuat mereka menjadi
massa yang tidak lagi mengerti tentang pilihan-pilihan politik. Depotisme
kemudian terjadi akibat dikorupsinya public spirit yang menyebabkan civil
society menjadi kehilangan arah (Keane, 1988).
Konsolidasi demokrasi melalui masyarakat sipil merupakan sebuah tema
yang sangat populer dalam konteks wacana dan gerakan demokratisasi di setiap
negara, termasuk di Indonesia. Tema itu selalu mengundang perhatian secara
optimis tetapi juga mengundang pertanyaan yang skeptis, jika bukan pesimis.
Kalangan yang optimis menyatakan bahwa masyarakat sipil merupakan kekuatan
utama yang meruntuhkan rezim otoritarian, yang kemudian menjadi kekuatan
alternatif dalam proses konsolidasi demokrasi. Berman (1997), misalnya,

berpendapat bahwa ketika institusi politik yang lemah dengan legitimasi rendah
membuat masyarakat sipil merupakan sebuah alternatif bagi demokratisasi.

2|Page

BAB II
Masyarakat Sipil dan Demokrasi
2.1 Hubungan Masyarakat Sipil (Civil Society) dan Demokrasi
Dalam hubungan masyarakat dengan negara, civil society memiliki tiga
fungsi, yaitu: Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil
society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan untuk melengkapi peran
negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor.
Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau
tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani
kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau
counterbalancing the state atau counterveiling forces. Kalangan civil society
melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk
mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana
alternatif di luar aparatur birokrasi negara.
Fungsi-fungsi di atas, mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi

gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial budaya ataukah pada lingkup
politik. Iwan Gardono (2001) berpendapat, bahwa civil society yang menekankan
pada aspek sosial budaya dapat bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan
“civility” atau keberadaan dan “fraternity”. Indigenisasi konsep civil society
dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Sedangkan
civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga
lebih dekat pada aspek citizen dan liberty. Perbedaan titik-tekan tersebut
berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang
beragam untuk menyebutkan civil society.
Dengan mengkombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi
komplementer, subtitutor, dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil
society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang mereka
lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis
masyarakat.

3|Page

2.2 Membangun Pemerintahan Demokratis Melalui Peran Masyarakat Sipil
Pemerintahan demokratis adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan

kedaulatan rakyat. Pemerintahan demokratis bergantung pada seberapa besar
keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan
masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar
dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di
masyarakat. Keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi yang potensial
menumbuhkan sikap terbuka, trust, toleransi dan sikap positif lainnya kemudian
menjadi penting dalam bangunan politik nasional (Putnam, 1993). Dengan
demikian, demokrasi tidak menjadi makanan kaum elite saja, tapi mengalami
reeksaminasi oleh masyarakat secara transparan dan terus-menerus di ruang
publik, tidak saja pada masa pemilu.
Dalam konteks penumbuhan elemen-elemen demokrasi, kita tidak bisa
melepaskan diri dari komponen dasar demokrasi, yakni partisipasi aktif dari civil
society. Hal ini berarti perlu mengembalikan hak-hak rakyat sebagai stakeholders
di dalam pengambilan keputusan sehingga menunjukkan keterkaitan antara
demokrasi, otonomi, dan partisipasi.
1. Modal Sosial dan Trust
Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang demokrasi
adalah ada-tidaknya civic culture dalam suatu masyarakat. Civic culture menjadi
model demokrasi berbasis masyarakat dan merupakan bagian integral dari civil
society selain civic knowledge dan civic value.

Elemen dasar keterlibatan publik (civic engagement) menjadi akar tunjang
civil society yang menyuburkan demokrasi. Adanya kultur demokrasi yang
bersemai dalam masyarakat menjadi ukuran seberapa jauh keterlibatan publik
tersebut dihargai keberadaannya. Demokrasi tidak akan tumbuh dalam sebuah
masyarakat yang tidak memiliki kultur demokrasi. Inglehart (1999) meyakinkan
bahwa kultur demokrasi

erat

kaitannya

dengan

sikap saling

percaya

(interpersonal trust) antarwarganegara yang diyakini menjadi pendorong yang
cukup kuat ke arah demokrasi.
4|Page


Memang tidak mudah untuk membangun saling percaya di antara warga.
Minimnya interpersonal trust pada gilirannya nanti menyebabkan kurangnya
kepercayaan pada lembaga-lembaga publik. Misalnya, kurangnya rasa percaya
warga terhadap lembaga pengadilan, polisi, parlemen, dan lembaga-lembaga
publik yang nota bene adalah institusi demokrasi lainnya. Realitas sui-generis
tersebut,

tentu

menyulitkan

pertumbuhan

demokrasi

karena

demokrasi


membutuhkan pupuk yang bagus, yakni adanya modal sosial (social capital).
Modal sosial biasanya didefinisikan sebagai organisasi sosial itu sendiri atau
jaringan sosial yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jaringan sosial
ini berisi berbagai interaksi sosial. Interaksi sosial yang menumbuhkan civil
society harus dimulai dengan sikap berkeadaban yang mensyaratkan sikap saling
percaya, fairness, toleran, dan kesukarelaan. Secara normatif (Ace Hasan, 2002)
setiap agama manapun selalu mengajarkan sikap toleran dan saling percaya.
Modal sosial ditentukan oleh seberapa jauh dua jenis trust (sikap toleran
dan saling percaya) tersebut melembaga dalam kehidupan sosial. Memang social
capital hanya “penyumbang” bukan determinan faktor bagi demokrasi. Modal
sosial lebih khusus lagi menyumbang bagi “stabilnya”, bukan “munculnya”
demokrasi. Modal sosial terjadi melalui perubahan hubungan antarindividu yang
mempengaruhi perbuatan atau tindakan. Menurut Imam Prasodjo (2002), modal
sosial adalah akumulasi rasa saling percaya sebagaimana ditunjukkan oleh
keragaman dan kombinasi aksi sukarela yang pada akhirnya menghasilkan
pemerintahan yang efektif.
2. Partisipasi Sosial
Partisipasi sosial dan sikap percaya (trust) menjadi parameter civic
engagement dan merupakan satu sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan
dari keterlibatan politik (political engagement). Jika political engagement

menyangkut keterlibatan dan keterkaitan warga negara secara psikologis dengan
urusan-urusan politik dan pemerintahan, maka civic engagement menyangkut
keterlibatan warga negara di dalam kegiatan sosial secara sukarela dan trust
antarsesama warga negara.

5|Page

Studi tentang civil society kaitannya dengan demokrasi pada dasarnya
membicarakan serangkaian partisipasi politik dalam hubungan sosial yang
dilakukan secara sukarela. Dengan demikian, demokrasi mengandaikan
mekanisme keterlibatan aktif masyarakat. Dalam pemerintahan demokratis,
partisipasi masyarakat dijamin eksistensinya. Partisipasi politik, secara umum
diartikan sebagai aksi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau
kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua,
yaitu: partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial.
Partisipasi sosial didefinisikan sebagai keterlibatan warga negara dalam
kehidupan sosial atau civic community. Dengan kata lain, keterlibatan warga atau
civic engagement dalam kelompok sosial menjadi ruhnya partisipasi sosial.
Kelompok sosial itu sendiri, ditandai oleh dua aktivitas. Pertama, intensitas
partisipasi dalam memecahkan masalah sosial antarwarga negara. Artinya, sesama

warga negara memiliki kepedulian dan tindakan konkret menyelesaikan problemproblem sosial kemasyarakatan di sekitar mereka dengan melakukan aksi atau
kegiatan kolektif (collective action). Hal ini dimungkinkan bila masing-masing
warga mau membuka diri untuk terlibat dalam berkomunikasi dan bergaul dengan
warga lainnya. Semakin intensif pergaulan antarwarga terjadi, maka peluang
terjadinya kegiatan kolektif secara positif dapat terbuka lebih lebar. Keterlibatan
warga negara dalam komunitas-komunitas kemasyarakatan atau kelompok sosial
jelas mempertebal jaringan sosial antarwarga. Pada gilirannya nanti, jaringan
sosial tersebut membuka kemungkinan besar bagi pemecahan-pemecahan masalah
publik. Sebaliknya, bila jaringan sosial menipis, yang ditandai sikap selfish yang
menguat dan enggan melibatkan diri dalam komunitas, bisa ditebak akan
melahirkan fenomena “bermain bola boling sendirian (bowling alone)”.
Kedua, kelompok sosial ditentukan oleh intensitas dalam membentuk
organisasi sosial. Aktivitas sosial yang kedua ini jelas membutuhkan skill atau
keterampilan, adanya aspek kepemimpinan (leadership), memiliki pengetahuan
dasar tentang keorganisasian dan tahu bagaimana menjalankannya, mempunyai
syarat-syarat atau elemen pokok organisasi dan lain-lain. Seberapa jauh suatu
intensitas warga membentuk kelompok atau organisasi sosial biasanya ditentukan

6|Page


oleh seberapa kuat jaringan sosial terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam
komunitas untuk membicarakan masalah-masalah publik terjalin di antara sesama
warga.
Intensitas partisipasi warga dalam memecahkan masalah-masalah sosial di
sekitarnya relatif tidak membutuhkan keahlian dan pengelolaan serta intensitas
yang besar ketimbang jenis kegiatan kelompok sosial yang pertama. Semakin
sering warga bertemu (berinteraksi) dan membicarakan masalah sosial, maka
peluang pemecahan masalah sosial tersebut semakin besar. Oleh karena itu, tidak
heran bila aktivitas sosial yang pertama lebih banyak frekuensinya ketimbang
jenis aktivitas sosial yang kedua. Partisipasi warga dalam menyelesaikan masalah
sosial juga lebih banyak ketimbang warga yang punya prakarsa membentuk
organisasi sosial. Biasanya jenis keanggotaan kelompok sosial dibagi menjadi
tiga, yakni anggota aktif, anggota tidak aktif, dan bukan anggota.
Selain berkemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah
sosial, terbentuknya asosiasi-asosiasi berdasarkan kesadaran masyarakat untuk
berkumpul dan berorganisasi juga menjadi salah satu indikator kesehatan
masyarakat ditinjau dari kemampuan masyarakat untuk mau mengatur dirinya
secara kolektif.
3. Partisipasi Politik
Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari masyarakat biasa
untuk menyampaikan aspirasi atau kepentingan, dan ikut memutuskan kebijakan
publik yang harus diambil pemerintah. Partisipasi menentukan siapa yang harus
menjadi pejabat publik, keputusan-keputusan apa yang harus diambil dan
dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan bagaimana pelaksanaan amanat dari
rakyat tersebut dikontrol hingga penyimpangannya dapat ditekan, kalau bukan
sama sekali dihilangkan.
Partisipasi politik didefinisikan sebagai tindakan –bukan keyakinan atau
sikap- warga negara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusankeputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok
masyarakat keagamaan tertentu misalnya, dan secara sukarela, bukan dipaksa

7|Page

(Laporan Penelitian Islam dan Good Governance, 2002). Partisipasi politik
bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang
terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah
mendarat pada level psikomotorik yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi
pada level kognitif dan afektif.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam
menyuarakan aspirasinya, maka tidak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik
ini sangat beragam. Partisipasi politik paling tidak mencakup beberapa dimensi:
ikut dalam pemilihan umum (voting), kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
kampanye dan partai politik (kegiatan kampanye), kegiatan-kegiatan sosial di
tingkat kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait
dengan protes dan demonstrasi (protes).
Pemilihan umum berarti menyalurkan suaranya dalam bilik-bilik suara
dengan asumsi telah memenuhi beberapa tahapan untuk dapat mencoblos.
Partisipasi dalam kampanye misalnya, menghadiri kampanye model monologis
atau dialogis, menyebarluaskan atribut partai kepada orang lain, ikut dalam pawai
yang diselenggarakan partai politik yang sedang berkampanye, menonton atau
mendengarkan program kampanye partai di televisi atau radio dan lain-lain.
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi
diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka
biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara
yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan
partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi
meningkat, yang terjadi warga tidak punya keleluasaan untuk otonom dari jari
jemari kekuasaan dan tidak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang
otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju
demokrasi galib disibukkan dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat
banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak
sarana umum.
Proporsi terbesar masyarakat dalam berpartisipasi secara politik adalah
melalui pemilu. Di luar pemilu, yang paling besar proporsinya adalah partisipasi

8|Page

sosial, kemudian diikuti oleh partisipasi yang terkait dengan partai politik dan
kampanye (mengahadiri kampanye partai atau pawai partai, memakai tanda
gambar partai, menyebarkan selebaran partai, dan membantu partai), dan yang
paling rendah proporsinya adalah partisipasi dalam bentuk protes (demontrasi,
mogok, memboikot, dan protes dengan merusak sarana umum) yang dilakukan
untuk mendukung atau menolak keputusan yang berkaitan dengan kepentingan
publik. Di belahan dunia manapun, protes merupakan bentuk partisipasi yang
relatif jarang dilakukan oleh warga negara.
Dilihat dari kuantitasnya, di luar pemilu, hanya sekitar 17% yang tidak
pernah berpartisipasi dalam kegiatan politik. Yang menyatakan pernah melakukan
minimal satu bentuk partisipasi politik di luar pemilu sekitar 16%, dua bentuk
partisipasi 19%, dan sekitar tiga bentuk atau lebih partisipasi 48%. Proporsi
kuantitas partisipasi ini tidak banyak berbeda dengan di negara-negara demokrasi
lain

di

dunia

(TB

Ace

Hasan

Syadzily,

2003).

Keikutsertaan

dan

ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauh mana tingkat partisipasi
konvensional warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara
sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak
menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya
kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan
penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan
maupun partai dengan cara golput.
Mekanisme pemilu biasanya telah disepakati melalui institusi demokrasi
seperti perwakilan rakyat di parlemen dan dieksekusi oleh lembaga yang ditunjuk
pemerintah. Waktu pemilu telah ditentukan secara reguler –apakah empat, lima,
atau tujuh tahunan- yang biasanya termaktub dalam konstitusi negara, meskipun
tanggal pelaksanaannya secara pasti biasanya dimasukkan dalam tahapan-tahapan
pemilu yang telah disepakati bersama dan telah ditentukan prosedur dan teknis
operasionalnya.
Demikian pula dengan prosedur dan waktu kampanye dimasukkan dalam
tahapan-tahapan pemilu. Seorang warga yang mengikuti kampanye partai lebih
bermakna atau berarti ketimbang yang ikut pemilu saja. Apalagi jika partisipasi

9|Page

dalam pemilu bersifat ritual dan dimaknai sebagai kewajiban warga negara, bukan
hak sebagai citizenship. Hal ini sudah mengasumsikan bahwa mobilisasi warga
untuk berpartisipasi dalam pemilu diekslusikan karena mobilisasi pada dasarnya
bukanlah partisipasi. Mobilisasi selalu mengandung unsur keterpaksaan, bukan
atas dasar kesukarelaan.
Oleh karena itu, seseorang yang ikut kampanye membuktikan tingkat
kepedulian yang lebih baik ketimbang mencoblos pemilu karena partisipasi politik
juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat partisanship warga. Turut serta dalam
kampanye partai politik menunjukkan keingintahuan (curiosity) seseorang
terhadap program partai sebelum ia menjatuhkan pilihan suaranya dalam
perhelatan pemilu.
Lain halnya jika orang ikut kampanye karena dimobilisasi oleh partai atau
ditawari mendapatkan keuntungan ekonomis. Lepas daripada itu, kampanye tetap
menjadi indikasi seberapa jauh sikap partisan warga terhadap partai. Namun
demikian, orang yang ikut kampanye tidak berkorelasi secara positif dengan
pilihannya waktu pemilu. Kampanye suatu partai mungkin diikuti secara meriah,
tapi waktu pemilu partai politik bersangkutan hanya mendapat sedikit suara. Hal
ini menunjukkan kampanye hanya dilihat sebagai bagian mencari kesesuaian
program partai tersebut dengan pilihan konstituennya.
2.3 Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Demokrasi
Secara umum, demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dengan menjunjung HAM serta partisipasi
rakyat dalam pemerintahan. Untuk masyarakat sipil (civil society) sendiri
memiliki makna sebagai sebuah entitas di luar Negara yang posisinya tepat beradi
diantara ruang private dan Negara. Menurut Stepan (1998), masyarakat sipil
merupakan wilayah dimana ia memiliki banyak gerakan sosial dan organisasi
profesi yang berjuang membentuk diri mereka menjadi suatu kesatuan demi
memperjuangkan kepentingannya, sedangkan menurut Alexis de Tocqueville
masyarakat sipil adalah non-state actor atau lembaga-lembaga otonom(dari
negara) yang mampu menimbangi kekuasaan Negara. Perspektif lain juga
dikemukakan oleh Gramsci (1971) yang mengartikan masyarakat sipil sebagai

10 | P a g e

kumpulan organisme private yang berbeda dengan negara yang disebutnya
sebagai masyarakat politik (political society).
Dari penjabaran di atas, secara tersirat kita ketahui bahwa masyarakt sipil
selalu terkait namun berbeda dengan masyarakat politik yang berorientasikan pada
kekuasaanm maupun masyarakat ekonomi yang tujuanya mencari keuntungan.
Masyarakat sipil masih dapat terjun ke pemerintahan dan politik namun tidak
dengan terbuka, misalnya saja dengan menjadi pressure group yang menggunakan
pengaruh politiknya pada issue yang sedang berkembang di suatu Negara. Dengan
pengaruhnya yang cukup besar itu, masyarakat sipil dapat beperan sebagai
pengawas, memberi evaluasi pada pemerintah, civic education, menjadi mediator
bagi masyarakat dan melindungi masyarakat dari kemungkinan dominasi Negara.
Mayarakat sipil terdiri dari beragam organisasi, baik yang formal maupun
informal, selain menjadi organisasi yang sukarela, mandiri dan independent dari
negara, masyarakat sipil memiliki lima karakteristik lain yang membedakanya
dengan organisasi lain. Pertama, masyarakat sipil merupakan oraganisasi yang
berorientasikan pada tujuan-tujan public bukan private. Kedua, meski mereka
kerap berhubungan dengan negara, tetapi tidak berniat untuk merebut
kekuasaanya. Ketiga, masyarakat sipil merupakan bentuk pluralism dan
keberagaman. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh
kepentingan pribadi atau komunitas. Kelima, masyarakat sipil dibedakan dari
fenomena civic community yang meningkatkan kualitas dan konsolidasi
demokrasi.
Tidak semua organisasi masyarakat sipil berorientasi pada demokrasi,
mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Ada lima karakteristik yang
membedakan antara organisasi masyarakat sipil demokratis dengan organisasi
mayarakat sipil lain, yaitu
1. Masyarakat sipil demokratis mengelola urusan internalnya sendiri secara
formal.
2. Memiliki berbagai tujuan yang terorganisir

11 | P a g e

3. Adanya tingkatan kelembagaan
Masyarakat sipil mengukur kapasitas kelembagaan para aktornya dengan
empat kriteria Samuel Huntington yaitu:
-

Otonom
: aktor masyarakat sipil harus bisa memisahkan diri
dari dominasi
negara atau pemimpin individual (penguasa).

-

Adaptasi
: organisasi
mengadaptasikan misi,

masyarakat

sipil

harua

bisa

fungsi, dan struktur mereka dengan konteks politik
dan
sosialyang berubah ubah dan peluang peluang
yang berbeda.
-

Koherensi
: berisi consensus tentang misi organisasi batas
fungsional dan
prosedur penyelesaian konflik

-

Kompleksitas : penjabaran berbagai fungsi dan subunit dan hal ini
punya potensi
menyusutkan koherensi, tapi tidak selamanya
kompleksitasi
menegasikan koherensi.

4. Pluralism dan
5. Kesolid-an
Dalam kaitanya dengan demokrasi, masyarakat sipil mempunyai peranan
yang besar. Mereka mendorong terjadinya transisi dari pemerintah otoriter
menjadi demokratis dan memperkuat demokrasi dengan melakukan konsolidasi,
hal ini pernah terjadi di Afrika, Chili, Polandia dan Nigeria. Besarnya peran
masyarakat sipil menimbulkan pertanyaan, bagaimana cara masyarakat sipil
mendorong pengembangan dan konsolidasi demokrasi?
Pada dasarnya masyarakat sipil merupakan “alat” pengembangan,
penguatan serta konsolidasi demokrasi dengan berbagai cara, salah satunya adalah
12 | P a g e

memberi batasan terhadap kekuasaan pemerintah agar tidak absolut dan
melengkapi peran dari partai politik dalam meningkatkan partisipasi, keterampilan
serta mengetahuan warga melalui pendidikan politik. Masyarakat sipil juga perlu
mengangkat issue-issue public yang kurang diperhatikan pemerintah.
Kontekstualisasi masyarakat sipil dan demokrasi dapat kita lihat pada
penyelenggaraan pemilu di Indonesia dari masa ke masa dan transisi dari
pemerintahan otoriter menjadi demokrasi di Indonesia.
membahas

mengenai

pemilu,

dimana

pasca

Pertama kita akan

merdeka,

Indonesia

telah

melaksanakan pemilu sebanyak sebelas kali, sekali saat orde lama (1955), enam
kali saat orde baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) dan 4 kali saat era
reformasi(1999,2004,2009,2014). Seperti kita ketahui, ketika orde baru kita
menganut system demokrasi meskipun dalam pelaksanaanya cenderung kearah
otoriter. Kekuasaan presiden sangat dominan dengan Golkar sebagai pihak yang
selalu memenangkan pemilu, kebebasan masyarakat untuk berpendapat,
berserikatpun diawasi dan dibatasi, contohnya dapat kita lihat pada perbandingan
jumlah partai yang mengikuti pemilu ketika orde baru dan reformasi. Partai saat
orde baru lebih sedikit dibanding ere reformasi saat ini, mengindikasikan
masyarakat sulit untuk berserikat dan membawa kepentinganya ke atas.
Meski diawal tadi saya mengatakan bahwa masyarakat sipil berbeda
dengan masyarakat politik namun jumlah partai ini dapat dijadikan indicator
peranan masyarakat sipil saat itu. Sedikitnya jumlah partai maka sedikit pula
peluang orang untuk berserikat dan semakin kecil juga jalan masyarakat untuk
menyampaikan aspirasinya. Prinsip demokrasi yang menjunjung kebebasan serta
partisipasi rakyat tidak berjalan dengan semestinya saat itu dan organisasi
masyarakat sipil sulit berkembang.
Kedua, kontekstualisasi masyarakat sipil dengan demokrasi dapat kita lihat
ketika terjadinya transisi dari otoriter menjadi demokrasi. Masyarakat yang sudah
tiga decade dibawah kepemimpinan otoriter mulai merasa gerah dan melakukan
serangkaian protes. Hal ini didasari karena krisis ekonomi yang sedang melanda
dan masyarakat yang mulai menuntut hak asasi serta hak berpolitiknya. Mulai
13 | P a g e

saat itu, Indonesia memasuki masa transisi yang disertai dengan proses
desentralisasi yang menekankan pada otonomi rakyat dan pemerintahan yang
transparan.
Disini, masyarakat sipil menjadi actor utama, mereka memberdayakan
warga, menggalang massa yang memiliki kepentingan sama dengan mereka lalu
membentuk kelompok-kelompok agar aktif menyampaikan aspirasi serta
tuntutanya dengan harapan pemerintah bisa mempertimbangkan, hal ini dirasa
penting karena partai politik yang berperan sebagai intermediary antara warga
dengan pemerintah dianggap gagal saat itu. Alhasil, semangat masyarakat sipil
tersebut berhasil menggulingkan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Dari penjelasan di atas kita lihat bahwa hubungan antara demokrasi
dengan masyarakat sipil selalu berjalan beriringan, akan tetapi, sesungghnya telah
timbul dilema dan keberatan dimasyarakat, dimulai dengan asosiasi masyarakat
sipil dan media massa sebagai saran mobilisasi informasi yang hanya dapat
menjalankan peran pembangunan demokrasi jika memiliki beberapa otonomi dari
negara dalam pembiayaan, operasi, dan legal standing. Selanjutnya, muncul civic
deficit, hal ini berkaitan dengan nilai positif dari

masyarakat sipil untuk

demokrasi. Masyarakat sipil harus otonom dari negara, tetapi tidak terasing dari
itu. Mereka harus mewaspadainya tapi juga menghormati otoritas negara, ia harus
mewujudkan beberapa derajat keseimbangan antara subjek dan partisipan.
Dilema lain adalah, muncul ketergantungan yang semakin besar, bukan
pada negara, namun pada

komunitas internasional (masalah financing).

Dukungan dari dunia internasional tersebut dianggap dapat menguatkan, namun
juga dapat membebankan negara secara aktif atau pasif. Ini dapat menjadi indikasi
kemunduran dari masyarakat sipil yang seharusnya otonom tanpa ditunggangi
oleh kepentingan pemerintah.
Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa Masyarakat sipil atau civil society
dapat, dan harus, memainkan peran sentral, menjadi tiang utama dalam
membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi.

14 | P a g e

Meski perannya tidak

menentukan, bahkan bukan yang paling penting dalam negara, namun dengan
semakin

aktif,

pluralistik,

cerdas,

dilembagakan

dan

semakin

efektif

menyeimbangkan ketegangan dalam hubungan dengan negara (antara otonomi
dan kerjasama, kewaspadaan dan loyalitas, skeptisisme dan kepercayaan,
ketegasan dan kesopanan) demokrasi akan lebih mudah timbul dan tumbuh lebih
kuat. Masyarakat sipil tidak bisa memisahkan diri dari Negara karena ia
membutuhkan pengakuan serta perlindungan dari Negara, masyarakat sipil juga
tidak bisa menggantikan peran partai politik, karena mereka bukan masyarakat
politik, namun masyarakat sipil dapat menggalang massa demi terjadinya transisi
demokrasi.
Hubungan masyarakat sipil dengan demokrasi seperti dua sisi koin yang
tidak dapat dipisahkan karena pada dasarnya tujuan dari masyarakat sipil atau
civil society adalah mewujudkan pemerintah yang demokratis. Demokrasi di suatu
negara dapat dikatakan baik jika masyarakat sipil di dalamnya berperan aktif baik
dalam berserikat, berpendapat maupun melakukan pengawasan terhadap
pemerintah, sebaliknya demokrasi di suatu Negara dianggap buruk jika
masyarakat sipilnya tidak dapat menjalankan fungsi dan memperoleh hak nya.

15 | P a g e

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Civil society bukan sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk
mengartikulasikan kepentingan mereka, tetapi juga ada kesadaran secara
horizontal dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi
dan organisasi sukarela bekerjasama dalam bingkai keteraturan (ensemble of
arrangement).
Demokrasi adalah semacam sistem yang lebih berorientasikan masyarakat
(based on communities). Berbeda dengan sistem otoritarianisme yang bisa berdiri
tegak dengan memakai aparatus ideologi negara saja, demokrasi tidak akan
berjalan stabil bila tidak mendapatkan dukungan riil masyarakat. Demokrasi yang
hanya melibatkan segelintir elite politik biasanya menjurus pada “otoritarianisme
baru” atas nama demokrasi itu sendiri.
Pemerintahan demokratis selalu dicirikan oleh karakteristik sebagai berikut:
setiap kebijakan diputuskan dengan melibatkan keikutsertaan anggota atau
masyarakat dalam pemerintahan (participation), tanggap terhadap aspirasi yang
berkembang di bawah (responsiveness), bertumpu pada aspek penegakkan hukum
(law enforcement) dan aturan hukum (rule of law), terbuka terhadap
keanekaragaman anggotanya (inclusiveness), bertumpu pada konsensus, dapat
dipertanggungjawabkan kepada anggotanya (accountability), efisien, efektif,
stabil, bersih (check and balance) dan adanya proses yang transparan (Saiful

16 | P a g e

Mujani, 2001). Dengan demikian, pemerintahan demokratis tergantung pada
seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses
pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik
menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di
masyarakat.

17 | P a g e