Nurudin Media Massa dan Debat Cagub

Nurudin, Harian Joglosemar, 17 April 2013

Media Massa dan Debat Cagub Jateng
Oleh Nurudin
Ketua Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah (Jateng) hampir mengalami setback (mangkah
mundur). Setidaknya ketika Gubernur Jateng Bibit Waluyo (calon incumbent) mengusulkan agar
tidak perlu ada debat kandidat Calon Gubernur (Cagub). Untung saja, hal itu tidak direspon oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah.
KPU bersikeras tetap melaksanakan debat kandidat dengan alasan itu legal diatur dalam
Undang-Undang (UU) nomor 32/2004 tentang Pemerintah daerah dan Peraturan KPU nomor
9/2012. Sementara alasan Cabug incumbent itu karena alasan normatif, dia gubernur yang sudah
punya program yang dilaksanakan, sementara kandidat lain belum punya. Dia menganggap debat
itu tidak adil karena bisa jadi menguntungkan dirinya.

Keharusan Debat
Ada beberapa alasan mengapa debat kandidat tetap perlu dilakukan. Pertama , amanat
undang-undang. Ketentuan itu jelas diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 32/2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Peraturan KPU nomor 9/2012 tentang pelaksanaan debat. Undangundang dengan beberapa kelemahannya tetap harus dijunjung tinggi sebagai aturan tertinggi. Jika
UU dilanggar, maka ada alasan untuk melanggar aturan yang lain.

Bersikukuhnya KPU untuk menggelar debat sudah berada di jalan yang benar. Bagaimana
tanggapan masyarakat jika KPU melanggar UU? Bagaimana kredibilitas KPU terjamin atas
keputusan-keputusan lainya kalau dia sudah melanggar UU? Di sinilah KPU harus berpikir ulang
untuk tak melaksanakan debat.
Agenda KPU yang akan menggelar debat kandidat itu juga tidak harus dipahami sebagai
upaya penggembosan calon yang mengusulkan tidak perlu ada debat kandidat meskipun masih

Nurudin, Harian Joglosemar, 17 April 2013

menjadi gubernur aktif. Biarlah rakyat yang menentukan siapa yang layak menjadi gubernur
mendatang
Kedua , debat kandidat juga harus dilakukan karena kita sudah memasuki era transparansi

kepada publik, meskipun masih sangat terbatas. Dengan perantaraan teknologi komunikasi,
segala sesuatu yang menyangkut aib pun tidak akan bisa lepas dari sorotan publik.
Kita masih ingat bagaimana kasus penyerbuan Lapas di Sleman yang menyebabkan 11
anggota Kopassus jadi tersangka. Kita tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada era Orde
Baru (Orba). Ada saja cara untuk menutup-nutupi borok pemerintah, termasuk kebengisan
militer. Bagaimana akhir kasus Tanjung Priok, Haur Koneng dan kasus laian yang melibatkan
militer. Semua dengan mudahnya ditutupi.

Era transparansi saat ini menyiratkan tidak ada perilaku gubernur yang lepas dari
pengamatan masyarakat. Transparansi itu juga berarti janji calon gubernur. Dalam debat
kandidat calon gubernur bisa mengutarakan rencananya ketika ia memenangkan kompetisi
politik di tingkat provinsi. Masyarakat akan melihat juga bagaimana kapasitas masing-masing
calon.
Ketiga , usulan bahwa tidak perlu ada debat kandidat menunjukkan bahwa gubernur yang

juga calon incumbent sedang cemas. Meskipun dia beralasan bahwa itu tidak adil karena calon
lain tidak pernah punya program, nanti bicaranya hanya “saya akan”, “bila” dan lain-lain.
Sementara gubernur mengaku punya program yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2008.
Sebenarnya, ungkapan itu secara tersirat menunjukkan kesombongan bahwa calon
incumbent merasa punya kelebihan program. Namun demikian, kalau dipahami secara jeli, itu

wujud kecemasan. Kecemasan bahwa ia takut kalau program-program yang dilaksakan selama
ini banyak yang tidak beres. Cemas juga jangan-jangan itu akan menjadi titik kelemahan dirinya.
Jika tidak ada kecemasan, maka ia akan dengan gagah berani menerima semua keputusan
KPU untuk debat kandidat. Toh sebagai gubernur dia harus memberikan contoh bagaimana
mematuhi undang-undang dan aturan yang sudah disepakati berkaitan dengan pencalonan
gubernur Jateng mendatang.
Yang jelas, gubernur yang sekaligus calon incumbent itu sedang memainkan wacana untuk

menyongsong pemilihan. Atau biar ada kesan bahwa calon incumbent itu orang yang baik hati

Nurudin, Harian Joglosemar, 17 April 2013

dan peduli pada keadilan karena mementingkan kandidat lain. Jika dipahami secara jeli, ini
hanya wacana politik untuk membangun reputasi.

Media Massa
Berbagai persiapan termasuk debat kandidat tidak akan banyak berguna jika tak sisiarkan
media massa (cetak elektronik). Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan, media adalah
the extension of man (media itu ekstensi manusia). Dengan kata lain, perasaan, keinginan,

ambisi, tujuan akan bisa diperluas melalui media massa. Tanpa media massa semua akan
menjadi sia-sia belaka.
Pendapat McLuhan ini jika diartikan juga bisa berarti bahwa pengaruh media massa
sedemikian besarnya. Bahkan kesimpulan terhadap apa yang dikatakan seseorang tak sedikit
berdasarkan dari apa yang pernah mereka dengar, baca, dan tonton dari media.
Ini tidak berarti menganggap komunikasi lisan atau face to face tidak penting. Hanya untuk
ukuran sebuah debat kandidat media massa satu-satunya saluran yang paling baik digunakan
untuk saat ini.

Melalui debat di media massa seseorang akan bisa dilihat performance-nya. Apa yang
menjadi misinya di masa datang, bagaimana cara menanggapi perbedaan pendapat antar
kandidat, bagaimana menyelesaikan kritikan yang pahit yang

tidak dikehendaki sekalipun.

Semua akan bisa disaksikan di media massa.
Memang diakui, debat melalui media massa itu tidak bisa menggambarkan secara
keseluruhan kemampuan diri seorang kandidat. Apa yang ditampilkan hanya mewakili
kepentingan, perasaan, atau emosi dari kandidat. Bisa jadi, kandidat yang pandai bicara akan
mendominasi dan merasionalisasi apa yang dikatakan. Itu sangat mungkin terjadi. Tetapi seorang
kandidat tidak akan menjadi seorang calon yang asal bunyi (asbun) di forum debat yang
disaksikan hampir seluruh masyarakat Jateng.
Masyarakat akan menilai apakah yang dikatakan kandidat-kandidat itu memang nyata apa
adanya atau sekadar dibuat-buat. Tetapi ini masih mending daripadat idak ada debat kandidat
yang mengakibatkan masyarakat tidak tahu sosok yang akan dipilihnya apalagi programprogramnya di masa datang.

Nurudin, Harian Joglosemar, 17 April 2013

Jika tidak ada debat yang disiarkan media massa, calon dari incumbent tentu yang akan

menuai untung. Dia diuntungkan karena dikenal sebagai gubernur. Sementara yang lain tidak
dikenal sama sekali. Bagai masyarakat yang punya akses di media massa (menonton televisi,
membaca berita media cetak, mendengarkan radio) tentu mengenal kandidat. Tetapi bagaimana
dengan masyarakat yang jarang mendapat akses media massa?

Politis
Memang tidak ada jaminan bahwa dengan debat akan dihasilkan calon gubernur yang
sempurna. Gubernur adalah jabatan politis. Karena jabatan politis maka berbagai kepentingan
ada di sekitarnya atau melatarbelakanginya. Mengapa Rustriningsih akhirnya tidak “direstui”
oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjaangan (DPP PDI-P) menjelang
batas akhir penutupan pendaftaran? Ini jelas politis. Kalau tidak kenapa tidak diberikan
rekomendasi sejak awal sehingga Rustri bisa mencari “kendaraan politik” lain?
Hal demikian pernah terjadi juga di Malang. Istri walikota Malang (Heri Pudji Utami)
ingin menjadi kandidat karena suaminya sudah tidak mungkin setelah menjabat 2 periode. Restu
dari DPP pun tidak menghendaki istri walikota itu, yang direstui adalah wakil DPR wilayah
Malang (Sri Rahayu). Karena keputusan DPP masih longgar menjelang batas akhir penutupan
pendaftaran calon walikota, ia “membeli” kendaraan lain. Akhirnya ia bisa mencalonkan diri
bersaing dengan calon yang direstui DPP itu.
Yang pasti, demokrasi kita memang masih terseok-seok untuk maju ke depan. Tidak boleh
ada yang mencederai termasuk seorang pejabat sekalipun hanya gara-gara punya ambisi pribadi.

Berambisi memang boleh, tetapi ambisi yang mematikan nilai-nilai luhur yang sedang
diperjuangkan itu jangan.