PERGESERAN SISTEM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PADA SUKU ANAK DALAM
PERGESERAN SISTEM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PADA SUKU ANAK DALAM
Rahmi Hidayati
Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Lintas Jambi-Ma. Bulian KM. 16 Simpang Sei Duren
Jambi Luar Kota, 36361, Muaro Jambi E-mail: [email protected]
Naskah diterima tanggal 28 April 2016, revisi I tanggal 21 Mei 2016, dan revisi II tanggal 14 Juni 2016 Abstract: Suku Anak Dalam is one of the tribes that are in the province of Jambi, and are dependent natural
resources in the forest. They consider themselves Muslims and recognize marriage, divorce and polygamy. The Government, through the head of the BKM and KSPM Jambi province, has sought to give attention to Suku Anak Dalam to various fields, including the Islamic Family Law. Based on the research, that there has been
a social change in Suku Anak Dalam in the field of Islamic family law, especially in matters of marriage and divorce, both before and after converting to Islam. Thus, formal juridical, public Suku Anak Dalam have implemented Islamic law (especially family law) in their lives.
Keywords: Marriage, divorce, Suku Anak Dalam.
Abstrak: Suku Anak Dalam merupakan salah satu suku terasing yang terdapat di Propinsi Jambi, dan meng- gantungkan hidupnya dengan sumber daya alam di hutan. Mereka mengaku beragama Islam dan mengenal perkawinan, perceraian dan poligami. Pemerintah, melalui kepala BKM dan KSPM Propinsi Jambi, telah berupaya memberikan perhatian kepada Suku Anak Dalam untuk berbagai bidang, termasuk bidang Hukum Keluarga Islam. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa telah terjadi perubahan sosial pada Suku Anak Dalam pada bidang hukum keluarga Islam, terutama dalam masalah perkawinan dan perceraian, baik sebelum maupun setelah masuk Islam. Jadi, secara yuridis formal, masyarakat Suku Anak Dalam telah menerapkan hukum Islam (khususnya hukum keluarga) dalam kehidupan mereka.
Kata Kunci: Perkawinan, perceraian, Suku Anak Dalam.
Pendahuluan
1 rada di Bungo Tebo; dan 3. Memang asli dari
Suku Anak Dalam yang dikenal dengan
Jambi yang berada di kawasan Air Hitam Kabu- paten Sarolangun. Lihat Dinas Kesejahteraan So-
1 Berdasarkan sejarah suku anak dalam berasal sial Pemberdayaan Masyarakat, “Profil Komuni- dari tiga tempat yaitu: 1. dari Sumatera Selatan
tas Adat Terpencil dan Program Pemberdayaaan yang mayoritas tinggal di kabupaten Batanghari;
Propinsi Jambi”, dalam Munthalib, Suku Anak 2. Dari Sumatera Barat yang sebagian besar be-
Dalam di Pinggiran Kawasan Hutan Lindung
Al-Risalah
Vol. 16, No. 1, Juni 2016
Rahmi Hidayati
orang kubu 4 merupakan salah satu bagian alam yang ada di hutan. Mereka mengaku be- dari suku yang terdapat di Jambi. Sebagai ragama Islam, tetapi mereka tidak tahu ajaran
kelompok masyarakat yang berbudaya, Suku Islam itu sendiri atau dengan kata lain pema- Anak Dalam memiliki adat istiadat yang ban- haman mereka tentang Islam boleh dikatakan yak memiliki kesamaan dengan masyarakat nol besar, mereka juga mengenal pernikahan, melayu sekitarnya dan menjadi pegangan 5 perceraian dan poligami.
mereka dalam ikatan sosial kemasyarakatan. 3 Pada umumnya perkawinan pada Suku Hal terpenting pada Suku Anak Dalam ada- Anak Dalam dilakukan tanpa ada batasan
lah bahwa mereka memiliki adat istiadat serta 6 umur. Ukuran laki-laki dewasa menurut menggantungkan hidup dengan sumber daya mereka adalah bila fisiknya sudah kuat dan
dapat berburu sendiri sementara anak gadis, kedewasaan dapat diketahui bila sudah dapat
Taman Nasional Bukit XII Propinsi Jambi (Se-
menstruasi. Sedangkan dalam UU No. 1 Ta-
rang: A-Empat, 2014), hlm. 5.
2 Pemerintah mengadopsi istilah Komunitas hun 1974 “perkawinan hanya diizinkan jika
Adat Terpencil sebagai sebutan resmi untuk pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak masyarakat terasing (kubu). Lihat David Henley
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 7
and Jamie S Davidson, “In The Name of Adat:
Pada Suku Anak Dalam juga mengenal
Regional Perspectives on Reform, Tradition and Democracy in Indonesia,” Modern Asian Stud- perceraian, namun hak perceraian hanya ter- ies, Cambridge University Press, Vol. 42 No.4 letak pada suami sedangkan istri tidak mem- (Juli 2008), hlm. 833. Berdasarkan Keppres No. 111 tahun 1999, Negara mengkategorikan Suku
4 Muhammad Ibrahim Raden Gurniwan Kamil Anak Dalam sebagai Komunitas Adat Terpencil
Pasya, “Kehidupan Suku Anak Dalam di Keca- (KAT) yaitu suatu kelompok sosial budaya yang
matan Air Hitam Kabupaten Sarolangun,” Jurnal bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau be-
Antologi Geografi, Universitas Pendidikan Indo- lum terlibat dalam jaringan pembangunan sosial,
nesia, Vol. I No. 3, (Desember 2013), hlm. 1. ekonomi, dan politik. Sementara penyebutan ter-
5 Syamsu Rijal, “Dakwah dan Pengaruhnya Pada hadap Suku Anak Dalam merujuk pada banyak
Suku Anak Dalam”, Penelitian, DIPA IAIN STS nama yang digunakan untuk menunjuk satu et-
Jambi, Tahun 2012, hlm. 4 nis. Lihat Amilda, “Menjadi Melayu yang Islam:
6 Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa orang Politik Identitas Suku Anak Dalam dalam Meng-
yang menikah usia dini cenderung beresiko tinggi hadapi Dominasi Negara dan Etnis Mayoritas,”
terjadinya pembubaran pernikahan daripada yang Seloko Jurnal Budaya, Vol. 1 No. 2 (2014), hlm.
terlambat menikah. Lihat Evelyn L. Lehrer dalam 264. Istilah kubu memiliki konotasi merendah-
“Age at Marriage and Marital Instability : Revisit- kan menyurat keterbelakangan. Lihat Christian
ing the Becker-Landes-Michael Hypothesis,” Jour- Wawrinec, “Tribality and Indigeneity Malaysia
nal of Population Economic, Springer, Vol. 21 No. and Indonesia,” Austrian Journal of South-East
2, (April 2008), hlm. 464
Asian Studies (ASEAS), University of Vienna, 7 Dalam Penjelasan Umum Pasal 4 UU RI No. 1 Austria, Winter (2010), hlm. 98
Tahun 1974 mengatur prinsip bahwa calon sua- 3 Steven Sager, “The Sky Is Our Roof, the Earth
mi isteri itu harus telah masak jiwa raga untuk Our Floor (Suku Anak Dalam Customs and Re-
dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya ligion In The Bukit Duabelas Region of Jambi,
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara Sumatra)”, Disertasi, The Australian National
baik tanpa berakhir pada perceraian dan menda- University, May 2008, hlm. 5. Adi Prasetijo, “Be-
pat keturunan yang baik dan sehat. Undang-un- tween Dominance and Resistance: The Construc-
dang menentukan batas umur untuk kawin baik tion of Ethnic Identity of Orang Kubu”, Inter-
pria maupun wanita adalah 19 (sembilan belas) national Young Scholar Conference, Universiti
tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi Sains Malaysia, 2011, hlm. 2
wanita.
Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah
Pergeseran Sistem Perkawinan dan Perceraian punyai hak cerai. Sementara Islam mengakui 12 adat, hukum negara dan hukum Islam.
hak seorang istri untuk bercerai. 8 Perceraian Dengan masuknya pengaruh luar dan jarang terjadi pada Suku Anak Dalam, sebab adanya interaksi sosial dengan masyarakat mereka takut mendapat kutukan. Sebagai pendatang serta semakin massif terutama se-
konsekuensinya mereka memilih poligami 9 jak program transmigrasi yang dijalankan pe- dan hal ini umum dilakukan terutama oleh merintah di awal tahun 1980-an, mempunyai
penguasa adat, temenggung, mangku dan de- pengaruh dalam proses difusi kebudayaan pati. Sementara pemerintah meregulasi prose- terutama kehadiran industri perkebunan telah dur poligami kepada para pihak yang ingin menghapuskan pranata sosial komunitas Suku berpoligami dengan persyaratan alternatif dan Anak Dalam tersebut ke arah kemunduran dan
10 kumulatif dengan izin pengadilan agama. 13 marjinalisasi. Masyarakat Suku Anak Dalam Sebab dalam Islam poligami merupakan telah melakukan tata cara perkawinan menu-
masalah yang sangat kontroversial 11 , begitu rut hukum yang berlaku sesuai dengan agama juga hukum mengenai usia minimal untuk yang dianut, tetapi sifatnya yang prinsipil se-
menikah dan aspek lain dari pernikahan sep- suai dengan adat istiadat nenek moyang mer- erti perceraian dan poligami masih menjadi eka tetap dipertahankan. Hal ini disebabkan lapangan perdebatan akademik antara hukum karena takut mendapat sanksi hukum dari
penguasa adat. 14
8 Nehaluddin Ahmad, “A Critical Appraisal of
Oleh karena itu Pemerintah Propinsi
‘Triple Divorce’ in Islamic Law”, International Jambi bekerjasama dengan Departemen So- Journal of Law, Policy and The Family, 23 (29 sial melakukan pembinaan terhadap Suku Januari 2009), hlm. 59.
Anak Dalam tersebut. Melalui pembinaan
9 Dalam The Encyclopedia Americana disebut
“Poligamy is a form of poligamy in which one terhadap Suku Anak Dalam ini, diharapkan male is married to more than one female. Polian- segala bentuk program pemerintah dapat di- dry is a form of poligamy in which one female laksanakan dengan baik. Salah satu bentuk is married to more than one male. Lihat “Entri program pemerintah tersebut menyangkut UU Marriage”, dalam Bernard S. Cayne, (ed), The Encyclopedia Americana, vol. XVIII Glorier In-
12 Buttenheim, Alison M and Jenna Nobles, “Ethnic corporated, New York 1996, hlm. 345.
Diversity, Traditional Norms and Marriage Be- 10 Lia Noviana, “Persoalan Praktik Poligami Dalam
haviour in Indonesia,” Population Studies, Tay- Masyarakat Islam”, Jurnal UIN Maulana Malik
lor and Francis Ltd, Vol. 63 No. 3 (Nov. 2009), Ibrahim, Vol. 15 No. 1 (Juni 2012), hlm. 83.
hlm. 280.
11 Dalam poligami hal yang diperdebatkan adalah 13 Rian Hidayat, “Perubahan Sosial Komunitas lebih kepada persoalan jumlah maksimal istri
Suku Anak Dalam Batin Sembilan di Batin Ba- yang boleh dipoligami serta syarat-syarat yang
har, Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi”, harus dipenuhi oleh suami yang ingin berpo-
Proceeding The First International Conference ligami seperti kemampuan materi dan kewajiban
on Jambi Studies (ICJS 1) (2013), hlm. 480. Ge- berlaku adil terhadap istri. Ibnu Rusyd, Bidayatul
rard Persoon, “The Kubu and the outside World Mujtahid, Juz II, (Beirut: Dar al Fikr, 1995), hlm.
(South Sumatra, Indonesia) The Modification 33. Lihat juga Amira Mashhour, “Islamic Law
of Huntingand Gathering”, Anthropos Institut, and Gender Equality: Could There Be a Com-
1989, hlm. 510.
mon Ground? A Study of Divorce and Polygamy 14 Mereka tidak mau diganggu, hal ini dapat dili- in Sharia Law and Contemporary Legislation
hat dari istilah yang mereka gunakan “caro kamu in Tunisia and Egypt,” Human Rights Quarter-
caro kamulah, caro kami biarlah mak inilah, kar- ly, Vol. 27 No. 2 (2005), http://www.jstor.org/
ena ini warisan nenek moyang kami. Dalam” Ste- stable/20069797 , akses 25 Februari 2015.
ven Sager, Op. Cit., hlm. 5
Al-Risalah
Vol. 16, No. 1, Juni 2016
Rahmi Hidayati No. 1 tahun 1974. 15 ikut serta mendukung Program Pemerin-
Undang-undang ini telah berjalan selama tah untuk merealisasikan Undang-undang hampir empat dasawarsa dan sepatutnya memi- Perkawinan juga sebagai bahan pertimbangan liki peran besar sebagai alat rekayasa sosial. bagi pemerintah setempat dalam rangka pem- Namun peran ini dapat berjalan atau tidak ter- bangunan dan penerapan hukum secara adil gantung dan dipengaruhi oleh paradigma dan bagi kehidupan bermasyarakat. tindakan para penegak atau aparat hukum. 16
Sebab, perkawinan bukan merupakan kebu- Asal Usul Suku Anak Dalam
dayaan lokal yang berdiri sendiri, melainkan Sejak ratusan tahun yang lampau, daerah Jambi merupakan hak negara untuk mengelolanya telah dihuni oleh Suku Kerinci, Suku Melayu dengan baik dan benar menurut nilai-nilai dan Suku Anak Dalam. 18 Suku Anak Dalam yang diyakini masyarakat ataupun menurut merupakan bagian dari kelompok masyarakat peraturan perundang-undangan yang berlaku. terasing yang berada di Propinsi Jambi den- Oleh karena itu perkawinan harus sah dimata
17 gan populasi seluruhnya 2.951 kepala kelu- hukum negara dan dimata masyarakat.
arga atau 12.909 orang yang tersebar di tiga Penelitian ini bertujuan untuk mengeta- kabupaten yaitu Kabupaten Batanghari, Ka- hui dan mendiskripsikan Corak Perkawinan bupaten Tebo dan Kabupaten Sarolangun. 19 dan Perceraian pada Suku Anak Dalam dengan Suku Anak Dalam atau yang sering disebut tipe penelitian fenomenologis dan mengguna- Orang Kubu 20 adalah suku yang hidup secara kan pendekatan sosiologis dan antropologis. berpindah-pindah dalam hutan di Propinsi Metode pengumpulan data melalui observasi, Jambi. Sebutan ini sebagai interprestasi dari wawancara dan dokumentasi. Adapun hasil kehidupan mereka yang sejak nenek moyang- penelitian ini secara teoritis penulis harap- nya menggantungkan kehidupan mereka pada kan dapat memperkaya kepustakaan tentang
Pergeseran Sistem Perkawinan dan Perceraian Pada Suku Anak Dalam. Sementara secara
18 Fachruddin Saudagar, “Masyarakat Kubu di Jam-
praktis diharapkan sebagai sumbangsih dan
bi”, dalam Suwardi, Profil Masyarakat Hukum Adat Tradisional di Nusantara dari Aceh sampai
15 Syamsu Rijal, Op. Cit., hlm. 8 Papua, (Pekanbaru: Alaf, 2011), hlm. 97 16 Ahmad Tholabi , “Modernisasi Hukum Keluarga
19 Badan Pusat Statistik Jambi, 2009. di Indonesia (1974-2008)”, Disertasi, Sekolah
20 Orang kubu, sebutan yang digunakan oleh Orang Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Melayu Jambi dan Palembang terhadap kelom- 2009, hlm. 9
pok masyarakat yang tinggal di dalam hutan. 17 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Orang rimba terdiri dari dua kelompok yang ber- merupakan peraturan perundang-undangan yang
beda. Pertama yang menyebut diri Orang Rimba harus ditaati dan dijadikan pedoman perkawinan
dan kedua yang menyebut diri Orang Batin Sem- umat Islam, artinya perkawinan umat Islam di
bilan. Orang Rimba tidak suka disebut Orang Indonesia tidak cukup dan belum dinyatakan sah
Kubu karena sarat dengan konotasi negatif sep- apabila hanya menggunakan kaidah-kaidah fiqh
erti kotor, kafir, menjijikkan, bodoh dan terting- munakahat, akan tetapi harus mengikuti landasan
gal. Lihat Christian Wawrinec, Op. Cit., hlm. 98. yuridis yang berlaku di Indonesia. Sebab perkaw-
Adi Prasetijo, Op. Cit., hlm. 3. Pemerintah meng- inan yang sah harus dilakukan menurut hukum
adopsi istilah Komunitas Adat Terpencil sebagai masing-masing agamanya dan kepercayaannya
sebutan resmi untuk masyarakat terasing (kubu). dan dicatat menurut peraturan perundang-undan-
Lihat David Henley and Jamie S Davidson, Op. gan yang berlaku.
Cit., hlm. 833.
Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah
Pergeseran Sistem Perkawinan dan Perceraian hutan dan hasil-hasilnya. 21 Suku Anak Dalam bagian ahli berpendapat mereka berasal dari
biasanya menyebar menempati kawasan ped- suku bangsa Deutro Melayu (Melayu Muda) alaman hulu-hulu sungai dari anak-anak sun- yang datang sekitar tahun 300 SM. gai Batang Hari. Di dalam kawasan ini Suku
Zainuddin menjelaskan bahwa terdapat Anak Dalam hidup sangat luar biasa dengan berbagai versi/cerita mengenai asal usul Suku mempertahankan cara hidup tersendiri yang Anak Dalam. Pertama, Orang Pelarian. Suku mereka warisi dari nenek moyangnya. 22 Mere- Anak Dalam merupakan keturunan pelarian, ka pada umumnya dan khususnya di Kecama- berasal dari Minangkabau Sumatera Barat, tan Mestong mempunyai sistem kepercayaan lari dari kampung halaman di wilayah Mi- yang mereka anut dan yakini.
nangkabau ke arah Jambi karena tidak mau Berdasarkan sejarah Suku Anak Dalam dijajah oleh Belanda. yang disebut dengan “Orang Rimbo” masih
Kedua, tentara Pagaruyung. Suku Anak penuh misteri, bahkan sampai saat ini tidak Dalam merupakan keturunan dari tentara Pa- ada yang dapat memastikan asal usul tentang garuyung, yang dikirim ke kerajaan Jambi. Suku Anak Dalam, asal mula mereka masih Merupakan tentara bantuan dari kerajaan penuh tanda tanya. Hanya beberapa teori, dan Pagaruyung untuk Ratu Jambi, Putri Selaro cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang Pinang Masak, yang sedang dalam peperan-
bisa menguak sedikit sejarah mereka. 23 gan menghadapi orang Kayo Hitam di Ujung Para ahli ada yang berpendapat bahwa Jabung (Selat Berhala). Dalam perjalanan
mereka adalah sisa-sisa dari suku bangsa Pro- menuju Jambi, tentara tersebut kehabisan to Melayu (Melayu Tua) yang datang sekitar bekal di Bukit Dua Belas. Tentara tersebut tahun 2500-1500 Sebelum Masehi (SM). Se- memilih untuk tetap dikawasan Bukit Dua Be-
las, dengan alasan kehabisan bekal dan kalau
21 Robert Aritonang, Orang Rimba Menantang pulang akan dihukum mati oleh raja Pagar- Zaman, (Jakarta: Warsi, 2010), hlm. 1. Kehidu- uyung. Tentara tersebut bersumpah “kemudik pan mereka hampir sama dengan suku Sakai di dikutuk rajo Minangkabau, ke ilir keno kutuk Riau. Baca Nathan Porath, “'They Have Not Pro-
rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, ditengah-
gressed Enough': Development's Negated Identi- ties Among Two Indigenous Peoples (orang asli) tengah di makan kumbang, kebawah tidak
in Indonesia and Thailand”, Journal of Southeast 24 berurat ditimpo kayu punggur”. Asian Studies, Vol. 41, No. 2 (June 2010), hlm.
Ketiga, asal usul Suku Anak Dalam ada-
lah keturunan Bujang Perantau dan Puteri
22 Robert Aritonang, Pengetahuan Lokal Orang Rimba dan Implikasinya Pada Strategi Berburu dan Meramu, (Jakarta: Kementrian Lingkungan
24 Maksud pepatah tersebut kurang lebih kalau Hidup, 2004), hlm. 122.
pulang ke Minangkabau pasti dimarahi raja 23 Reslawati , “Dinamika Perkembangan Sistem
Minangkabau karena tidak membawa hasil, ke Kepercayaan Suku Anak Dalam di Kecamatan
Jambi juga celaka karena tidak mempunyai bekal Mestong Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jam-
lagi. Kalau begitu biarlah tidak punya raja baik bi: Kajian Hak-hak Sipil”, Jurnal Multikultural &
raja Minangkabau maupun raja Jambi, lebih Multireligius Vol. X No. 3, Harmoni, 2011, hlm.
baik tetap di sana walaupun masih tetap celaka 574. Lihat kesaksian Tumenggung Tarib “Orang
namun tidak terlalu mendapat malu. Kalau ada Rimbo” dalam Hutan Adalah Rumah dan Sumber
yang mengkhianati juga tetap celaka karena akan Penghidupan Kami pada Sidang Perkara No. 35/
ditimpa kayu. Museum Negeri Jambi , Pameran PUU-X/2012 tanggal 27 juni 2012 di Mahkamah
Sekilas Kehidupan Rimba di DAS Batanghari, Konstitusi Republik Indonesia.
(Jambi: Pemprov Jambi, 2010), hlm. 8
Al-Risalah
Vol. 16, No. 1, Juni 2016
Rahmi Hidayati Buah Gelumpang. Menurut hasil penelitian yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu,
Muntholib dalam disertasinya menyatakan kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya bahwa pada zaman dahulu ada seorang peran- itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu tau laki-laki yang bernama Bujang Peran- ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di tau. Ketika perantau itu sampai di Bukit Dua hutan. Bahkan, bukan hanya itu, mereka tidak Belas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam diperbolehkan untuk memperlihatkan diri ke- mimpinya ia disuruh agar mengambil buah ge- pada orang lain. lumpang, kemudian buah itu dibungkus den-
Pendapat ke lima mengatakan bahwa gan kain putih. Jika itu dilakukan maka akan masyarakat Suku Anak Dalam adalah orang- timbul keajaiban. Begitu bangun, ia langsung orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwi- melakukannya. 25
jaya mengalami keruntuhan karena serangan Buah gelumpang yang dibungkus dengan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya kain putih itu menjelma menjadi seorang putri yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan yang sangat cantik (Puteri Buah Gelumpang). asing tadi melarikan diri ke hutan, sehingga Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. mereka akhirnya dikenal sebagai Suku Anak Akan tetapi, Bujang Perantau menjawab bah- 27 Dalam seperti saat sekarang ini. wa tidak ada orang yang mau mengawinkan.
Apabila ditelisik dari berbagai versi dia- Mendengar jawaban itu Sang Puteri men- tas maka Suku Anak Dalam dapat dikelom- yarankan agar Bujang Perantau menebang pokkan ke dalam tiga versi yang memiliki ke- pohon bayur kemudian dikupas agar licin samaan tentang asal usul Suku Anak Dalam, dan dilintangkan di sungai. Bujang Perantau yakni berasal dari suku bangsa lain, baik suku disuruhnya meniti dari salah satu ujung ba- bangsa Melayu maupun suku bangsa Mi- tangnya. Sementara, Puteri Buah Gelumpang nangkabau. Berdasarkan penelusuran sejarah meniti dari ujung yang satunya lagi. 26 Jika di tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak se- tengah titian tersebut mereka bertemu dan mua Suku Anak Dalam merupakan etnis atau beradu kening, maka itu berarti sah menjadi suku asli, sebagian komunitas ini juga terdiri suami-isteri. Jika gagal maka mereka harus dari suku pendatang. mengulang kembali. Mereka ternyata dapat
melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, Bentuk Pergeseran Sistem Perkawinan
mereka sah menjadi suami-isteri.
dan Perceraian
Pendapat keempat menceritakan bahwa, pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering
1. Sistem Perkawinan
didatangi para bajak laut. Mereka biasanya Secara umum perkawinan dilakukan untuk
datang bersama isteri dan anaknya. Suatu saat menjaga eksistensi keberlangsungan kehidu-
seorang anak lelakinya diketahui berhubun- pan umat manusia. Dalam adat Jambi disebut-
gan intim dengan adik perempuannya. Pada- kan bahwa perkawinan bukanlah urusan kedua
hal hubungan seperti itu merupakan perbuatan belah pihak calon penganten, tetapi merupa-
kan kewajiban kedua belah pihak orang tua,
25 Muntholib, Op. Cit., hlm. 48.
nenek mamak, dan tengganai mereka. Seperti
26 Proses pernikahan yang dilakukan oleh Puteri Buah Gelumpang dan Bujang Perantau masih di- lakukan oleh Suku Anak Dalam yang masih ber-
27 Sindu Galba, “Manusia dan Kebudayaan Kubu”, sifat primitif.
Naskah Laporan Hasil Penelitian, 2002, hlm. 33.
Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah
Pergeseran Sistem Perkawinan dan Perceraian dijelaskan dalam hukum kekeluargaan, maka
seseorang mencari jodoh di luar lingkun- adalah menjadi hutang bagi orang tua, teru-
gan sosial, kerabat, golongan sosial atau tama ayahnya “Untuk mengantarkan anaknyo
lingkungan pemukiman, seperti di daerah berumah tanggo, terutamo anak betino”. 28 Gayo, Alas, tapanuli, Minangkabau , Su-
Secara nasional hukum perkawinan 29 matera Selatan, Boru dan Seram. berlaku seragam bagi umat Islam di Indone-
c. Sistem eleutherogami, yang tidak menge- sia, sedangkan secara regional ia diwarnai
nal larangan-larangan seperti dua sistem oleh hukum adat setempat. 30 Ada tiga sistem
di atas. Larangan terjadi jika ada ikatan perkawinan yang terdapat di Indonesia, yakni
keluarga senasab atau hubungan keluarga sistem endogami, eksogami dan eleutheroga-
(mushaharah) seperti yang terdapat dalam
31 mi. 33 Islam.
a. Sistem endogami, mengharuskan ses- Menurut Muntholib dalam disertasinya eorang mencari jodoh di lingkungan so- menyebutkan bahwa Pada Suku Anak Dalam sial, kerabat, kelas sosial atau lingkungan sistem perkawinan menganut sistem endoga- pemukiman. Sistem ini jarang terjadi di 34 mi , yaitu mengharuskan seseorang mencari
Indonesia. 32 jodoh di lingkungan sosial, kerabat, kelas
b. Sistem eksogami, yang mengharuskan sosial atau lingkungan pemukiman mereka. Suku Anak Dalam lebih menekankan perkaw-
28 Maksudnya adalah perkawinan merupakan ke- inan itu harus dilakukan sesama Suku Anak wajiban orang tua untuk mengantarkan anaknya Dalam. Mereka tidak mau anak dan keluarg- berumah tangga terutama anak perempuan.
anya menikah dengan orang yang bukan be-
29 Dari semua undang-undang di negara-negara
rasal dari Suku Anak Dalam. Hal ini tentunya
Muslim, hukum keluarga merupakan satu-sat- unya hukum yang melekat fiqh tradisionalnya. terlarang bagi orang-orang yang datang dari Dalam Lynn Welchman, “Woman and Muslim luar hutan yang disebut mereka sebagai urang Family Laws In Arab States: A Comparative luor atau urang beru untuk menikah dengan Overview of Textual Development and Advoca- orang rimba. Kalaupun ini terjadi maka akan cy,” Middle East Journal, Amsterdam University Press, (2007), hlm. 728.
33 Ibid.
30 Tentang penjelmaan Adat menjadi satu sistem 34 Menurut mereka jika wanita menikah dengan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Soe-
orang diluar rimbo akan merusak pola tatanan pomo tampak dalam putusan petugas hukum.
mereka sehingga berakibat struktur sosial ter- Misalnya putusan kumpulan desa, putusan
ganggu dan kehidupan tidak seimbang disamping kepala adat, hakim perdamaian desa, pegawai
itu juga untuk sebagai bentuk mempertahankan agama dan sebagainya. Jika hakim menemukan
identitas mereka sebagai Suku Anak Dalam. Li- peraturan yang harus dipertahankan oleh kepala
hat Muntholib, Op. Cit., hlm. 116; Bandingkan adat dan petugas-petugas hukum lain, maka per-
dengan praktek perkawinan eksogami dan en- aturan-peraturan adat itu terang bersifat hukum.
dogami pada masyarakat Arab. Dalam Alexander Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakar-
A. Weinreb, “Characteristics of Women in Con- ta: Pradya Paramita, 1993), hlm. 28-29, dan hlm.
sanguineous Marriages in Egypt, 1988-2000,” 35. Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia,
European Journal of Population, Springer, Vol. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum
24. 2, (2008), hlm. 189-190; dan Farzana Per- Adat, (Jakarta, Rajawali Press, 1981), hlm. 2.
veen, “Occurrence of Consanguineous Marriage 31 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-
in Bajaur Agency, Federally Administered Tribal Azas Hukum Adat, (Jakarta: Masagung, 1994),
Areas, Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan”, Mintage hlm. 32
Journal of Pharmaceutical & Medical Sciences 1 32 Ibid.
No. 1 (2012), hlm. 23-27.
Al-Risalah
Vol. 16, No. 1, Juni 2016
Rahmi Hidayati ada konsekwensi hukuman yang akan diber- apabila mereka bisa melepas ikatan tersebut
lakukan kepada mereka yang melanggar adat dan masih hidup barulah mereka dinikahkan tersebut. Sanksi hukuman ini akan dikenakan keduanya, namun itu sangatlah jarang sekali kepada kedua belah pihak baik itu orang yang jika mereka masih hidup. Hukum adat ini dari luar maupun dari dalam. 35
dimaksudkan agar keturunan mereka tidak Larangan perkawinan antara Suku Anak sampai berkembang ikatan darah mereka agar Dalam dan orang luar tidak semata-mata un- 38 terputus. tuk menegakkan adat nenek moyang mereka,
Secara garis besar larangan perkawinan akan tetapi lebih jauh dari itu sebagai bentuk pada Suku Anak Dalam dikenal juga dengan mempertahankan identitas mereka sebagai Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hu- orang Rimba (Suku Anak Dalam). 36 Mereka kum empat ke atas : hidup di rimba, dibesarkan dan meninggal
a. Mencara telur / tidak boleh kawin dengan di dalam rimba. Rimba bagi mereka sesuatu
anak.
yang sangat berharga yang harus dipertah-
b. Menikam bumi / tidak boleh kawin den- ankan dari segala macam gangguan ataupun
gan induk dewek atau ibu sendiri. pengrusakan. 37
c. Melebung dalam / tidak boleh kawin den- Disamping itu juga pada Suku Anak Da-
gan dulur / saudara kandung sendiri. lam pernikahan yang dilarang adalah pernika-
d. Mandi pancuran gading / tidak boleh han yang sedarah atau disebut dengan nyum- 39 kawin dengan bini / istri orang.
bang atau mutus waris, atau nikah dengan Pelanggaran atas empat hukum diatas ; sepupu, anak adik beradik, anak ambilan yang bak emas mati dak emas mati (dibayar tidak satu susuan, ini sangat tidak dibolehkan un- dibayar harus mati atau hukum tidak boleh tuk melakukan pernikahan, seandainya masih dibayar tetap harus dijatuhi hukuman mati). dilakukan pernikahan maka hukumnya yang Aturan larangan perkawinan pada Suku Anak disebut oleh mereka hukum “suma” ini dis- Dalam tidak bertentangan dengan aturan da- ebut juga hukum mati, pernikahan semacam 40 lam pasal 39 KHI, yang menyebutkan bahwa ini disebut oleh mereka memutus waris, hu- larangan kawin dikarenakan : kum suma ini adalah bagi yang melakukan-
a. Karena pertalian nasab nya mereka berdua diikat dimasukkan keda- lam karung, lalu dimasukkan kedalam sungai
38 Wawancara dengan Asnawi, Ketua RW Dusun Nebang Parah, 21 Desember 2015 39 Anne Erita Venasen Berta, “People of The Jun-
35 Munthalib, Op. Cit., hlm. 17 gle” Adat, Women and Change among Orang 36 Badr-Eddine Sari, Mourad Aribi, dan Badia Saari,
Rimba”, Disertasi, Department of Social An- “Effect of Endogamy and Consanguinity om the
thropology University of Oslo, 2014, hlm. 46. Development of Labial Venous Malformations in
Lihat kesaksian Tumenggung Tarib “Orang Rim- Area of Tlemeen (West Algeria)”, The Open Ge-
bo” dalam Hutan Adalah Rumah dan Sumber nomics Journal, 1 (2008), hlm. 1-5.
Penghidupan Kami pada Sidang Perkara nomor 37 Setiap agama mengajarkan agar menjaga dan
35/PUU-X/2012 tanggal 27 Juni 2012 di Mahka- melestarikan alam serta menentang kerusakan
mah Konstitusi Republik Indonesia. Kawin den- lingkungan. Lihat Samuel Snyder, “New Streams
gan istri orang lain diharamkan karena antara dia of Religion: Fly Fishing as a Lived, Religion of
dengan suaminya masih terikat tali perkawinan Nature”, Journal of The Amercan Academy of
yang sah.
Religion, Vol. 75, No. 4 (2007), http://www.jstor. 40 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indo- org/stable/40005968, akses 20 Desember 2015.
nesia, hlm. 121-123
Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah
Pergeseran Sistem Perkawinan dan Perceraian
b. Karena pertalian kerabat semenda
soloko adat.
c. Karena pertalian sesusuan. Lamanya masa bersemendo ini diten- Memasuki masa remaja, tidak ada istilah tukan oleh pihak keluarga perempuan. Jika pacaran dalam kamus Suku Anak Dalam. 41 Hal mereka cepat yakin bahwa si laki-laki mampu ini sesuai dengan ajaran Islam yang melarang menghidupi keluarganya, maka cepat dipu- seorang laki-laki muslim dan perempuan tuskan untuk menerimanya sebagai menantu. muslimah melakukan khalwat (bersepi-sepi), Namun tak jarang bersemendo bisa dilakukan yakni berdua-duaan dengan orang lain yang sampai 3 tahun, dan bahkan dibatalkan pihak berbeda jenis kelamin dan tidak memiliki perempuan karena melihat si laki-laki diang- hubungan suami istri atau hubungan kemah- gap tidak mampu menghidupi keluarganya. raman. 42 Nabi mengingatkan: “Seorang pria Jika diterima maka proses selanjutnya dis- benar-benar tidak diperbolehkan berkhal- epakati waktu dan tempat akan dilangsungkan wat (bersepi-sepian) dengan seorang perem- 43 pesta perkawinan tersebut. puan, karena orang/pihak ketiganya adalah
Adapun hal-hal yang disiapkan pihak la- syaitan”.
ki-laki untuk perkawinan berupa : mas kawin, Bagi anak laki-laki yang sudah memasu- bahan makanan (manis-manisan, ubi, beras, ki masa layak menikah dan menginginkannya, daging binatang hasil buruan, ladang/sawah, dia akan menyampaikan kepada orang tuan- dan lain-lain), separuh dari kebutuhan perkaw- ya, siapa yang diinginkannya untuk menjadi inan. Apabila semua syarat-syarat oleh pihak istrinya. Keluarga si laki-laki lalu menyam- laki-laki terpenuhi maka dapat dilangsungkan paikan maksud ini ke pihak keluarga perem- perkawinan. puan. Jika diterima keluarga perempuan maka
Secara umum sifat perkawinan dalam mulailah masa yang disebut bersemendo. Di- masyarakat Suku Anak Dalam dapat dilihat mana si laki-laki akan hidup di keluarga calon dari tiga segi yaitu : istri. Namun keduanya tidak diperbolehkan
a. Pertukaran gadis (bride-exchange), yaitu berdekatan apalagi bercakap-cakap.
pertukaran gadis antara satu kelompok Selama bersemendo, si laki-laki harus
dengan kelompok yang lainnya. menampilkan ketrampilannya yang paling
b. Pencurahan tenaga (bride-service), yaitu baik. Berupa jeli berburu, mencari makanan
prinsip adat yang harus dilaksanakan. di hutan. Tujuannya untuk meyakinkan ke-
Tradisi ngikut calon mertua minimal satu luarga si perempuan bahwa ia memang layak
musim. Selama ngikut ini ia harus dapat dijadikan menantu dan sanggup menghidupi
membuktikan bahwa ia seorang kepala keluarganya kelak. Selama bersemendo selain
rumah tangga yang bertanggung jawab harus tampil meyakinkan sebagai pria sejati,
dan calon menantu yang baik. Dan calon si laki-laki juga harus tampil sopan dan mem-
mertua akan menilai apakah calon menan- perlihatkan kepintarannya dalam menguasai
tunya itu layak atau tidak untuk menikahi anak gadisnya.
41 Profil Suku Anak Dalam Hasil SP 2010, (BPS : Jambi, 2011), hlm. 24
43 Al Qur’an tidak menganggap tabu (berdosa) se- 42 Mahram adalah sebutan bagi wanita-wanita yang
orang pria meminang seorang perempuan (khit- karena satu dan lain hal haram dinikahi seorang
batin-nisa) atau sebaliknya (seorang perempuan laki-laki baik untuk sementara waktu maupun
meminang seorang pria) sepanjang dilakukan untuk selamanya
dengan cara-cara yang makruf (dianggap baik)
Al-Risalah
Vol. 16, No. 1, Juni 2016
Rahmi Hidayati
c. Mas kawin (bride-price) 44 . Perkawinan tinggal. Apalagi sudah terjadi akulturasi bu-
dapat terjadi atau dibolehkan untuk memi- daya antara Suku Anak Dalam dengan orang lih calon istri yang disukai artinya tanpa kampung dengan adanya perkawinan antara dilarang. Tetapi bagi wanita dilarang me- Suku Anak Dalam yang sudah menetap den- nikah dengan orang luar atau berlainan gan orang luar, dan mereka tinggal di perkam- suku. 45
pungan komunitas Suku Anak Dalam. Bahkan Dengan masuknya pengaruh luar dan mereka membuat tradisi perkawinan dengan adanya interaksi sosial dengan masyarakat cara tersendiri, yaitu dengan melakukan la- pendatang serta semakin massif terutama se- maran dan memberikan antaran semua kebu- jak program transmigrasi yang dijalankan pe- tuhan pihak perempuan oleh laki-laki sebelum merintah di awal tahun 1980-an, mempunyai terjadinya perkawinan. pengaruh dalam proses difusi kebudayaan
Menurut peneliti, adanya perubahan terutama kehadiran industri perkebunan telah ini tidak hanya dikarenakan percampuran menghapuskan pranata sosial komunitas Suku perkawinan antara Suku Anak Dalam dengan Anak Dalam tersebut ke arah kemunduran dan orang luar saja, tetapi juga adanya perubahan marjinalisasi. 46 Masyarakat Suku Anak Dalam pola berfikir dari Suku Anak Dalam itu sendiri telah melakukan tata cara perkawinan menu- dan mulai membuka diri untuk melakukan pe- rut hukum yang berlaku sesuai dengan agama rubahan dalam diri mereka. Pergaulan mereka yang dianut, tetapi sifatnya yang prinsipil se- dengan orang-orang desa/kampung telah mer- suai dengan adat istiadat nenek moyang mer- ubah cara berfikir dan bersikap Suku Anak eka tetap dipertahankan. Hal ini disebabkan Dalam. Dengan demikian mereka tidak takut karena takut mendapat sanksi hukum dari lagi meninggalkan kepercayaan yang mereka penguasa adat. 47
yakini selama ini, tanpa harus mendapatkan Bila diamati dari perkembangan tradisi sanksi adat. perkawinan di lingkungan Suku Anak Dalam
Menurut Alo Liliweri, perubahan struk- khususnya di kecamatan Mestong sudah ban- tur budaya dan struktur sosial pada gilirannya yak mengalami perubahan, walaupun masih akan mengubah identitas seorang individu, ada yang mempertahankan tradisi. Dulu mer- dan perubahan identitas budaya itu, lebih di- eka melakukan perkawinan dengan tata cara maksudkan sebagai perubahan pola persepsi, tradisi mereka, tetapi sekarang sudah mengi- berfikir dan perasaan bukan sekedar peruba- kuti pola masyarakat kampung sekitar mereka 48 han perilaku. Sementara dalam corak asimi-
lasi Suku Anak Dalam ingin dinilai sebagai
44 Muntholib, Op. Cit., hlm. 118; Robert Aritonang, masyarakat yang beradab dan tidak terbela-
Suku Anak…, Op. Cit., hlm. 13.
kang. Mereka berusaha mengartikulasikannya
45 Muntholib, Op. Cit., hlm. 116; Alexander A. dalam penampilan citra atas perilaku yang
Weinreb, Op. Cit., hlm. 189-190; dan Farzana
dilakukan dan melalui lambang yang diper-
Perveen, Op. Cit., hlm. 23-27.
46 Rian Hidayat, Op. Cit., hlm. 480; Gerard Persoon, lihatkan dan mengacu kepada patokan nilai
Op. Cit., hlm. 510.
masyarakat umum, misalnya berubah menjadi
47 Mereka tidak mau diganggu, hal ini dapat dili- Islam, hidup menetap dan berpakaian leng-
hat dari istilah yang mereka gunakan “caro kamu caro kamulah, caro kami biarlah mak inilah,
48 Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Bu- karena ini warisan nenek moyang kami. Steven
daya, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002), hlm. Sager, Op. Cit., hlm. 5
Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah
Pergeseran Sistem Perkawinan dan Perceraian kap. Citra ini merupakan citra yang diingink- saat sekarang ini, setiap akan melakukan per-
an oleh pemerintah dan masyarakat umum ceraian haruslah di depan pengadilan, sean- tentang Suku Anak Dalam yaitu Orang Rimba dainya tidak di depan pengadilan maka tidak yang beradab, tidak keras kepala, mau menu- sahlah perceraiannya menurut hukum Indone- ruti semua saran pemerintah, hidup menetap sia seperti dalam UU RI No. 1 Tahun 1974, dan mau memeluk salah satu agama yang di- termasuk juga bagi masyarakat Suku Anak
akui keabsahannya oleh pemerintah. 49 Dalam yang memiliki kedudukan yang sama sebagai warga negara Indonesia.
2. Sistem Perceraian
Namun masyarakat Suku Anak Dalam sampai saat sekarang ini masih banyak yang
Perceraian menurut Suku Anak Dalam tidak menikah di bawah tangan atau yang dis- jauh berbeda dengan perceraian menurut Is- ebut oleh mereka “nikah sirih pinang” (me- lam dan undang-undang pada umumnya. Per- nikah hanya dengan adat di masyarakat Suku ceraian menurut masyarakat Suku Anak Dalam Anak Dalam) yang saat sekarang ini disebut adalah putusnya hubungan antara suami istri nikah siri, sehingga masih banyak yang be- akibat dari perselisihan paham didalam rumah lum memiliki kartu nikah. Oleh karena itu tangga atau disebut “berakhirnya jodoh”. Per- masyarakat Suku Anak Dalam tidak bisa cerai ceraian bagi mereka adalah sesuatu yang san-
di pengadilan.
gat menakutkan dimana perceraian merusak Suku Anak Dalam juga mengenal yang hubungan antara suami istri. namanya talaq 1, talaq 2, dan talaq 3, dimana Masyarakat Suku Anak Dalam men- talaq 1 itu masih bisa rujuk kembali, “yang genal cerai itu sejak dahulu, nenek moyang disebut oleh masyarakat Suku Anak Dalam Suku Anak Dalam lah yang mengenalkan gugurlah talaq 1, dimana jarak talaq 1 itu tiga kemasyarakat Suku Anak Dalam tentang per- bulan sepuluh hari itu disebut jatuhlah cerai ceraian, namun perceraian yang dilakukan masyarakat Suku Anak Dalam”, yang disebut oleh nenek moyang Suku Anak Dalam dahulu talaq 2 dan talaq 3 ini lebih berat lagi, karena tidak seperti perceraian yang dilakukan pada dalam talaq ini masyarakat Suku Anak Dalam saat sekarang ini. Perceraian yang dilakukan tidak bisa menikah lagi kecuali sudah me- nenek moyang Suku Anak Dalam dulu ada- nikah baru bisa rujuk kembali yang seperti ini lah proses perceraian yang selesai dilakukan disebut nikah “cino buto” 51 yang artinya bisa hanya dengan tuo-tuo tengganai, cerdik pan- menikah kalau sudah menikah dulu dengan dai, serta keluarga dari kedua belah pihak
orang lain.
atau yang disebut dengan “perceraian sirih pinang”. 50
Menurut mereka juga apabila di dalam Perceraian sirih pinang ini biasa rumah tangga seorang laki-laki atau seorang dilakukan oleh masyarakat Suku Anak Dalam suami telah mengatakan “aku cerai kau” maka apabila ada yang akan melakukan perceraian, jatuhlah cerai bagi istri itu, ini disebabkan kar- sehingga tidak perlu datang ke pengadilan, ena suami memiliki hak lebih tinggi daripada tidak seperti perceraian yang dilakukan pada istri apalagi dalam urusan cerai. Karena di
49 Adi Prasetijo, Serah Jajah dan Perlawanan yang masyarakat Suku Anak Dalam yang memiliki
Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi, (Ja- karta: Wedatama Widya Sastra, 2011), hlm. 288.
51 Wawancara dengan Mat Safar, Tuo Tengganai 50 Wawancara dengan Asnawi, Ketua RW Dusun
masyarakat Suku Anak Dalam Dusun Nebang Nebang Parah, 20 Desember 2015
Parah, 20 Desember 2015
Al-Risalah
Vol. 16, No. 1, Juni 2016
Rahmi Hidayati
162 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah
peran penting dalam memutuskan perceraian (memberikan talak) adalah seorang suami, sedangkan istri tidak bisa menjatuhkan talak kepada suami, walaupun sang istri berkali- kali mengatakannya, bahkan bagi masyarakat Suku Anak Dalam tidak mengenal yang na- manya cerai gugat. 52
Apabila istri benar-benar memiliki ke- inginan bercerai namun suami tidak mau menceraikannya maka tidak akan jatuh ta- laknya, bahkan si istri bisa dikenakan hukum adat masyarakat Suku Anak Dalam, dalam permasalahan semacam ini oleh mereka dis- ebut dengan “mancal” yang artinya “istri itu nak belaki baru”, itu juga sama dengan “masang jerat di hutan terang”, artinya istri tidak akan bisa bercerai malahan dikenakan hukuman, dan apabila terbukti akan menikah lagi dengan laki-laki lain atau telah bersel- ingkuh maka jatuh hukum adat mereka yang disebut “tebus talak” dengan denda yang dis- ebut serba 20, serba 20 ini adalah semuanya bernilaikan 20. Ayam 20 ekor, beras 20 cupak selemak semanis duit 4 ringgit, kambing atau kerbau. 53
Bentuk-bentuk perceraian pada Masyarakat Suku Anak Dalam adalah sebagai berikut :
a. Cerai Mati
b. Cerai hidup Adapun proses dan tata cara perceraian dalam masyarakat Suku Anak Dalam di- antaranya yang disebut dengan perceraian “sirih pinang” prosesnya adalah apabila ada masyarakat Suku Anak Dalam yang terjadi keributan yang terdengar oleh tetangga maka dikumpulkanlah kedua belah pihak tersebut,
52 Wawancara dengan Syafi’I, Kepala Suku Anak Dalam Dusun Nebang Parah, 11 November 2015
53 Wawancara dengan Asnawi, Ketua RW Dusun Nebang Parah, 20 Desember 2015
dan diundanglah tuo-tuo tengganai, nenek mamak, ketua adat, yang disebut juga dengan kepala suku dikumpulkan semua orang-orang tersebut di bawalah sirih senampan lalu di makan lah sirih itu dan mengatakan dari pihak laki-laki “kami sudah idak sanggup lagi un- tuk hidup serumah sebagai suami istri dengan demikian kami kembalikan anak ini sebagai mana kami mengambilnya dulu tanpa kurang satu pun “ menurut Suku Anak Dalam juga adalah proses yang sangat sulit dibandingkan dengan pernikahan, kata mereka “cerai itu tidak semudah membalikkan telapak tangan”, jadi di masyarakat Suku Anak Dalam sangat jarang sekali terjadi yang namanya bercerai, bahkan tidak ada yang bercerai, karena mer- eka takut dengan adat seperti itu.
Secara adat mereka, proses cerai cukup dengan disaksikan nenek mamak cerdik pan- dai lalu suami yang mengatakan cerai maka cerailah mereka. Cerai mereka juga tidak perlu dicatat, cukup dengan disebut itu sudah cukup kuat dan sangat dipegang sampai ka- pan pun, karena ingatan mereka yang masih sangat kuat.
Kaitannya dengan Penegakan Hukum Secara Yuridis Formal
Dalam sejarah kehidupan Suku Anak Dalam juga mempunyai adat perkawinan yang cukup unik. Ada aturan adat yang sangat ketat men- gatur tentang tata cara peminangan anak gadis dalam adat Suku Anak Dalam. 54
Perkawinan pada Suku Anak Dalam mayoritas tidak tercatat. 55 Hal ini tidak hanya di Indonesia, di Iran juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Menurut penelitian
54 Robert Aritonang, Orang Rimba…, Op. Cit., hlm.
12 55 Wawancara dengan Sapren, Wakil Penghulu
Desa Nyogan, 20 Desember 2015
Pergeseran Sistem Perkawinan dan Perceraian yang dilakukan oleh Ziba Mir-Hossani di Iran, ingkupinya, sehingga hubungan antar mereka
seperti dikutip Khoiruddin Nasution, menun- pun saling mempengaruhi terhadap tindakan- jukkan bahwa aturan administrasi perkawinan tindakan selanjutnya. cenderung hanya ditaati masyarakat kota saja,
Tidak efektifnya penerapan pencatatan sedangkan dalam masyarakat pedesaan justru perkawinan di Indonesia ini tidak hanya ter- sebaliknya.
jadi pada Suku Anak Dalam saja tetapi may- Dengan kata lain, dalam masyarakat tra- oritas terjadi pada masyarakat yang tinggal di disional terkadang hukum dan aturan adat pelosok seperti suku Baduy di Desa Kenekes, istiadat lebih diutamakan daripada hukum Kecamatan Leuwidamar, Lebak. Praktek yang diterapkan oleh pemerintah. Dan untuk perkawinan yang tidak pernah dicatatkan di masalah tersebut, apa yang disebutkan oleh KUA ini telah dilakukan oleh masyarakat se- Chamblish dalam bagian sebelumnya cukup cara turun-temurun, sehingga anak-cucu pun relevan untuk dinyatakan, bahwa masyarakat 57 enggan melaksanakannya. Tidak hanya da- tradisional lebih cenderung menggunakan hu- lam masalah pencatatan, hal inipun terjadi kum kerukunan dibanding masyarakat kom- 58 dalam masalah perceraian dan poligami. pleks yang lebih memilih peraturan.
Dengan kata lain, dalam masyarakat tradis- Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat ional terkadang aturan hukum dan aturan adat yang sederhana dan tradisional, dimana aturan istiadat lebih diutamakan daripada hukum administratif tidak begitu dipentingkan, justru yang diterapkan oleh pemerintah. Sebab bagi memengaruhi kinerja para penegak hukum itu mereka pencatatan perkawinan, berikut denda sendiri. Tidak hanya dalam pencatatan, hal atau hukuman bagi yang melanggar hanyalah inipun terjadi dalam masalah perceraian dan merupakan peraturan administratif saja, tidak poligami. 56
termasuk sebagai salah satu syarat sahnya Meskipun masyarakat mengakui pen- 59 perkawinan di Indonesia.
catatan perkawinan sebagai sesuatu yang Seperti yang dilaporkan Christian Snouck penting, namun pada praktiknya di lapangan Hurgronje (1857-1936) ketika ia berada di In- masyarakat lebih cenderung terikat dengan donesia dan melihat praktik perkawinan yang kebiasaan-kebiasaan yang secara turun-temu- dilakukan umat Islam saat itu (1891). Menu- run dilakukan. Budaya atau kebiasaan yang rut Hurgronje, kebiasaan umat Islam saat itu telah tertanam lama inilah yang akhirnya
menimbulkan dilema bagi aparat penegak hu- 57 Di Lebak Pernikahan Dibawah Tangan Relatif
Tinggi, (Jakarta) Kapanlagi,com. 18 Februari
kum untuk menegakkan aturan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Tidak seperti
58 Untuk catatan tentang dilema yang dialami KUA
masyarakat perkotaan atau masyarakat ter-
di pedesaan ini. Lihat Euis Nurlelawati, “Mod-
didik yang lebih menerima pencatatan seba-
ernization, Tradisition and Identity: The Kompi- lasi Hukum Islam and Legal Practice in the In-
gai suatu tertib administrasi, pegawai KUA
donesian Religious Courts”, Disertasi Doktor,
dalam beberapa kasus justru masih sangat
Leiden University, 2007, hlm. 227-229
terikat dengan lingkungan sosial yang mel-
59 Lihat Pasal 3 dan Pasal 45 ayat (1) huruf a PP No. 9 Tahun 1975; Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) 56 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hu- Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
kum Islam dijelaskan bahwa pencatatan perkaw- Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia,
inan hanya sebagai sarana untuk menjamin ketert- (Jakarta: INIS, 2002), hlm. 273
iban setiap perkawinan bagi masyarakat Islam.
Al-Risalah
Vol. 16, No. 1, Juni 2016
Rahmi Hidayati (terutama di daerah Betawi) adalah menikah adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
di depan guru dan beberapa saksi, tetapi tidak masing-masing agamanya dan kepercayaan- dilaporkan kepada catatan sipil, sehingga nya itu”. Dan bagi perkawinan yang tidak menurut dia, mustahil untuk mengharapkan dicatatkan, maka tidak mempunyai kekuatan adanya akibat hukum dari perkawinan itu. 62 hukum. Fakta ini pula yang menjadi perhatian cukup 63 Ambigguitas substansi hukum, tidak penting pemerintahan Kolonial Belanda kala hanya membuat masyarakat menjadi bimbang itu. 60
dengan aturan yang ada tetapi juga menjadi- Sementara itu, pada masyarakat adat, kan hukum tidak berjalan efektif. Di satu sisi tiadanya pencatatan perkawinan, tidak akan masyarakat mengakui pencatatan perkawinan menjadi suatu masalah yang besar, karena sebagai rumusan undang-undang, tetapi di- pada kenyataannya masyarakat adat, terutama sisi lain, masyarakat juga masih sangat yakin kepala adat masing-masing, memegang peran bahwa dalam pandangan Islam (fiqh) perkaw- sebagai pemutus perceraian. Melalui fungsi- inan yang tidak dicatatkan adalah sah. Hal fungsi yang dimilikinya, lembaga adat mam- inilah yang kemudian menjadi salah satu fak- pu mencegah kesewenang-wenangan pihak tor mengapa perkawinan yang tidak tercatat suami untuk menceraikan istrinya. 61 Begitu masih sering dijumpai dalam masyarakat. juga yang terjadi pada masyarakat Suku Anak
Menurut Khoiruddin Nasution, faktor Dalam. Dalam konteks masyarakat seperti tidak begitu efektifnya pemberlakuan pen- ini pula, menurut penulis, hukum Islam akan catatan perkawinan dan perceraian di Indo- tetap relevan, karena masih mampu dijangkau nesia pertama, perempuan sendiri seringkali oleh masyarakat atau tokoh adat setempat.
tidak menyadari bahwa undang-undang telah Terkait dengan status hukum pencata- memberikannya hak yang setara dengan laki- tan perkawinan ini dapat diambil kesimpulan laki. Kedua, tradisionlisme penegak hukum bahwa pencatatan perkawinan yang hanya yang masih dikuasai oleh tradisi, kultur, dan berstatus administratif ini justru memberikan penafsiran klasik atas al Qur’an. Ketiga, pem- ambiguitas dalam pemahaman dan penerapan- bentukan undag-undag perkawinan sangat nya. Pencatatan perkawinan yang tidak ter- dipengaruhi oleh tradisi, kultur dan agama di masuk syarat sahnya perkawinan melahirkan Indonesia (Islam), sehingga terwujud pula da- konsekuensi yuridis bahwa setiap perkawinan yang dilakukan menurut agama yang bersang-
62 Lihat Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam
kutan dapat dianggap sah—meski tidak di-
63 Ambiguitas pelaksanaan Pasal 2 ini juga pernah
catatkan—karena dalam Pasal 2 ayat (1) UU
disebutkan oleh Marzuki Darusman pada 1997,
RI No. 1 Tahun 1974 disebutkan “Perkawinan
saat itu ia menjabat Ketua Komnas HAM RI. Nur- sahbani Katjasungkana, “Kebijakan Pemerintah
60 Surat Snouck Hurgronje pada bulan Juli 1891. Li- Tentang Perempuan Hamil di Luar Nikah, Nikah hat E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat
di Bawah Tangan, Pelecehan Seksual dan Korban Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Ke-
Kekerasan”, dalam Muhammad Atho Mudzhar pada Pemerintahan Hindia Belanda 1889-1936,
dkk, (ed), Perempuan Dalam Masyarakat Indo- Penerjemah Sukardi (Jakarta : INIS, 1992), hlm.
nesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan, 916-920.