Konsolidasi dan Percepatan Pelaksanaan Rekontruksi Kehutanan

Forum Kehutanan – Dewan Kehutanan Nasional:

KONSOLIDASI DAN PERCEPATAN PELAKSANAAN
RESTRUKTURISASI KEHUTANAN
LATAR BELAKANG
01. KONSOLIDASI PROGRAM KEHUTANAN. Sejak diundangkannya UU No 41/1999 tentang
Kehutanan, berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja pembangunan kehutanan telah
dilaksanakan. Berbagai inisiatif, baik di dalam lingkungan pemerintah dan pemerintah
daerah maupun di luar pemerintah telah berjalan, baik pada tataran pembuatan dan/atau
pembaruan peraturan-perundangan, langkah-langkah kolektif untuk menentukan
kesepahaman dan tindakan bersama maupun kegiatan operasional di lapangan.
Sementara itu diketahui bahwa hasil-hasil kegiatan yang telah dilakukan belum dapat
menjawab permasalahan, antara lain akibat belum terbentuknya konsolidasi untuk saling
memperkuat dalam upaya peningkatan kinerja pembangunan kehutanan;
02. DEWAN KEHUTANAN NASIONAL. Sejalan dengan upaya mewujudkan kebangkitan
kehutanan nasional, pada awal 2005 sejumlah pertemuan oleh berbagai pihak di lakukan
untuk memprakarsai terbentuknya Dewan Kehutanan Nasional (DKN). DKN dibentuk
September 2006 melalui Kongres Kehutanan Indonesia IV dengan perangkat presidium
yang terdiri dari lima kelompok konstituen yaitu, pemerintah, bisnis, masyarakat, LSM,
dan akademisi. DKN mempunyai program untuk melakukan perumusan dan/atau
penyempurnaan kebijakan kehutanan bersama pihak lain, melakukan mediasi proses

pelaksanaan pembangunan kehutanan dan menyediakan informasi dari pelaksanaan
evaluasi pembangunan kehutanan;
03. PERCEPATAN PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI KEHUTANAN. Selama tahun 2006 Departemen
Kehutanan telah memfasilitasi terbentuknya beberapa Kelompok Kerja mengenai
revitalisasi industri, tenurial, pembangunan hutan tanaman rakyat, serta pemberdayaan
masyarakat. Setiap Kelompok Kerja tersebut telah melaksanakan berbagai kegiatan dan
menghasilkan usulan kebijakan dan rekomendasi pelaksanaan restrukturisasi dan
revitalisasi pembangunan kehutanan. Prakarsa konsolidasi dan percepatan pelaksanaan
restrukturisasi kehutanan oleh DKN dimaksudkan untuk mewadahi usulan kebijakan dan
rekomendasi dari berbagai inisiatif serta memfasilitasi penguatan posisi dan peran pihakpihak agar terwujud sinergi untuk mempercepat pelaksanaan restrukturisasi kehutanan.

KONSOLIDASI ANTAR INISIATIF
04. KOMPLEKSITAS MASALAH. Penyelenggaraan kehutanan yang sudah dan sedang
dilaksanakan bertumpu pada kebijakan pemerintah dan pemda. Masyarakat merespon
kebijakan tersebut dan bereaksi untuk mengimplementasikannya di lapangan. Reaksi ini
dapat sejalan atau tidak sejalan dengan tujuan penyelenggaraan kehutanan. Masalahmasalah masih terus timbul akibat penyelesaiannya melalui implementasi kebijakan
biasanya hanya terfokus pada aspek tertentu – misalnya aspek pendanaan atau
penyelesaian hak atas sumberdaya hutan atau deregulasi perijinan atau kemitraan, dll. –
padahal masalah di lapangan cukup kompleks termasuk tingginya biaya transaksi
implementasi kebijakan itu sendiri.

05. ADOPSI DAN SINKRONISASI USULAN KEBIJAKAN. Berdasarkan kenyataan di atas,
penyelesaian masalah difokuskan terhadap upaya sinkronisasi antar usulan kebijakan
dan langkah-langkah operasional dari seluruh inisiatif yang telah ada. Agar upaya
sinkronisasi tersebut secara operasional dapat dijalankan, keikut-sertaan Pemerintah
(Dephut, DepDagri, Depdag, KLH, Bappenas, dll) dan Pemda sangat penting untuk dapat

1

mengadopsi hasil upaya sinkronisasi tersebut menjadi bagian dari penyempurnaan
program kerja serta reformasi birokrasi sebagai akar masalahnya.
Disamping pemerintah dan pemerintah daerah, perlu pula difahami pemikiran dan usulan
langkah-langkah penyelesaian masalah oleh pelaku usaha kehutanan. Di samping itu
perlu pula diperhatikan masalah dan upaya masyarakat dalam penguatan kelembagaan
masyarakat agar siap ikut-serta melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan. Upaya-upaya tersebut di atas tidak lepas dari peran Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam memobilisasi sumberdaya sosial, serta peran akademisi
kehutanan dalam melakukan transfer pengetahuan bagi pembaruan kebijakan maupun
langkah operasional di lapangan.

INISIATIF KELOMPOK KERJA DAN PIHAK-PIHAK

06. CAPAIAN KELOMPOK KERJA. Secara umum Kelompok Kerja mengenai revitalisasi industri,
tenurial, pemberdayaan masyarakat (termasuk di dalamnya pengembangan hutan
tanaman rakyat dan kemitraan) dan inisiatif lainnya, membahas tiga domain pokok dalam
pelaksanaan restrukturisasi kehutanan dengan upaya peningkatan peran masyarakat
yaitu: aspek hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, aspek bahan baku,
aspek permintaan hasil hutan dan industri, serta aspek perdagangan komoditi yang
dikembangkan. Ketiga aspek ini ditelaah masalahnya dan dicari soluasi pengembangan
kinerjanya dengan menggunakan bentuk-bentuk kebijakan yang mencakup kebijakan
yang terkait dengan kelembagaan dan kepemerintahan, kebijakan ekonomi dan aspek
legal (peraturan-perundangan). Untuk lebih operasional, ketiga domain dan segenap
bentuk kebijakan tersebut dialamatkan pada sejumlah kerangka pelaksanaan di
lapangan yang mencakup:
Dari sisi permintaan:
a. Upaya meminimumkan industri yang menggunakan bahan baku illegal dan
perdagangan bahan baku illegal. Upaya ini antara lain ditempuh melalui inisiatif VPA
serta pengembangan dan implementasi standar legalitas kayu.
b. Upaya penyediaan kayu dari hutan tanaman bagi sejumlah industri pulp dan kertas,
yang selama ini masih menggunakan bahan baku kayu dari hutan alam;
c. Upaya perbaikan struktur industri dan peningkatan nilai tambah secara nasional,
dengan cara antara lain adanya insentif untuk pengadaan mesin-mesin baru dan

bagi perusahaan yang mengelola limbah dan lingkungannya secara profesional, riset
dan pengembangan bersama antara pemerintah, pengusaha dan perguruan tinggi;
d. Membentuk task force untuk mengawasi perusahaan yang nakal agar tidak
menggunakan kayu illegal serta membantu perusahaan dalam proses sertifikasi
produk untuk mandapatkan standar internasional.
Dari sisi pasokan:
e. Upaya penyelesaian konflik pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan serta
peningkatan akses masyarakat terhadap pembangunan kehutanan;
f. Upaya pembangunan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman oleh pemegang
IUPHHK-Hutan Tanaman;
g. Upaya pembangunan Hutan Tanaman Rakyat, dengan bantuan teknis dan finansial,
fasilitasi pemasaran kayu, serta kebijakan distribusi rente ekonomi secara adil
khususnya dalam pola kemitraan;
h. Upaya peningkatan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam bagi
pemegang IUPHHK-Hutan Alam;
i. Upaya penyelesaian masalah dan pembangunan Hutan Kemasyarakatan dan
Kemitraan Usaha antara pengusaha besar dengan pengusaha menengah dan kecil;
j. Upaya pengembangan sumber-sumber bahan baku alternatif (hutan rakyat, kayu dari
perkebunan, dll).


2

Dari hasil konsultasi dengan Kelompok Kerja di atas diketahui bahwa secara umum hasilhasil kegiatan dan rekomendasi kebijakan yang telah diperoleh setiap Kelompok Kerja
belum diadopsi menjadi kebijakan kehutanan. Mekanisme agar hasil Kelompok Kerja
tersebut dapat diadopsi menjadi kebijakan kehutanan juga belum tersedia. Kelompok
Kerja Terurial telah melakukan mediasi untuk mewujudkan penyelesaian konflik hak dan
akses sumberdaya hutan.
07. PANDANGAN ICRAF. Masalah utama pengembangan penanaman hutan berbasis
masyarakat di Indonesia yaitu:

1. Status hukum dan sistem penguasaan tanah bagi masyarakat. Hanya 10% hutan
negara yang ditunjuk melalui SK Menteri telah dikukuhkan dan sisanya dapat/telah
dipertanyakan status hukumnya. Sistem agroforestry di kawasan hutan merupakan
sistem pertanian masyarakat yang sering dianggap illegal karena didominasi oleh
tanaman pertanian/perkebunan.

2. Akses pada bibit unggul. Bibit unggul yang dikembangkan di Asia Tenggara fokus
pada species eksotis cepat tumbuh, dimana species ini merupakan sumber
germplasma yang bermutu dan hasil dari teknik propagasi dan pengelolaan. Namun
demikian, petani dan LSM pendukungnya memiliki akses yang terbatas pada jenisjenis spesies tersebut.


3. Produksi produk bermutu ke pasar. Ketiadaan insentif harga untuk meningkatkan
kualitas produk menyebabkan tetap rendahnya kualitas produk pertanian
masyarakat. Hambatan ini dapat diatasi apabila akses informasi terhadap pasar
dapat diperbaiki. Dengan memahami tata niaga dan fokus terhadap produk yang
mempunyai peluang pasar, dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

4. Peraturan akses pasar yang berlebihan. Perlu deregulasi kebijakan perdagangan
produk-produk kayu yang dihasilkan agroforestry sehingga dapat menstimulasi
pertumbuhan ekonomi sekaligus melindungi lingkungan.

5. Lemahnya imbalan bagi jasa lingkungan. Lemahnya mekanisme imbal jasa
lingkungan, dimana keuntungan dan biaya jasa lingkungan tidak diperhitungkan.
Dengan pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan yang efektif dan efisien
akan meningkatkan fungsi lingkungan sekaligus mencapai tujuan pembangunan.

6. Lemahnya kelembagaan. Dalam era desentralisasi, kewenangan dari penyuluhan
terletak pada pemerintah kabupaten. Namun, sebagian besar penyuluh kehutanan
berada di Jawa, sedangkan pada tahap awal kegiatan HTR diimplementasikan di
Sumatra dan Kalimantan. Selain itu, program ini akan berpotensi menyebabkan

konflik lahan sehingga dibutuhkan suatu mekanime penyelesaian/ pengelolaan
konflik di daerah.
Implikasi dari pembangunan HTR terhadap kebijakan lain, antara lain:
1. Dibutuhkan kepastian proses paduserasi antar RTRW pemerintah daerah dengan
TGHK Dept. Kehutanan agar menghindari dari tumpang tindih perijinan dari
pemerintah daerah. Selain itu pula, koordinasi antar pihak dibutuhkan agar status
kawasan hutan tersebut jelas dan bersih dari status pihak ketiga.
2. Koordinasi antar departemen seperti Dept. Pertanian, Dept. Kehutanan, Dept.
Perdagangan, Dept. Perindustrian dan sebagainya.
3. Sertifikasi produk benih.
08. PANDANGAN CIFOR DAN COMFORLINK1. Walaupun ketiga pola HTR – mandiri, kemitraan,
developer – yang akan dikembangkan merujuk kepada PP 6 Tahun 2007, definsi peran

1

ComForLink – Community Company Forest Link - adalah forum komunikasi yang difasilitasi oleh
CIFOR pada tanggal 20 Januari 2005 dengan beranggotakan perusahaan-perusahaan kehutanan yang
mempunyai inisiatif dalam pengembangan kemitraan dengan kelompok masyarakat. Forum ini bertujuan
3


perusahaan BUMS/BUMN tidak dicantumkan secara jelas dalam PP tersebut.
Berdasarkan proses pembelajaran dari pelaksanaan kemitraan yang telah dilaksanakan,
dapat dikemukan beberapa bahasan dimana kecil sekali perusahaan swasta mempunyai
peluang atau tertarik ikut mengembangkan HTR berdasarkan pola-pola diatas karena
adanya resiko yang mungkin timbul sebagai implikasi dari berbagai faktor pendukung
program HTR (Tabel 1).
Hal-hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan HTR terhadap
kegiatan kemitraan yang sudah berjalan, yaitu:
1. Dampak pemberian pinjaman DR kepada koperasi (terutama bila koperasi ini adalah
mitra perusahaan yang sudah terikat kontrak – SPK), bisa menjadi counter
productive, antara lain resiko masyarakat akan membatalkan kontrak kemitraan yang
sudah disepakati dengan perusahaan, terlebih pula dengan kondisi law enforcement
yang lemah;
2. Resiko melegalisasi kegiatan para perambah hutan, bila individu yang menerima
IUPHHK-HTR sudah mengklaim areal di dalam kawasan hutan di lokasi lain. Untuk
itu diperlukan mekanisme konsultasi publik secara terbuka dalam proses verifikasi
pencadangan areal untuk HTR. Hal ini sangat penting untuk menghindari tumpangtindih hak dan konflik atas lahan. Perlu disusun kriteria kesesuaian lahan yang akan
dikembangkan sebagai HTR, misalnya lahan yang telah tidak produktif untuk
beberapa waktu tertentu. Hal ini untuk menghindari munculnya usulan atau tindakan
oportunistik yang semata-mata bertujuan memperoleh izin pemanfaatan kayu (IPK)

dan memanfaatkan DR saja.
3. Perlunya SK tata ruang HTR tersendiri, tidak dapat mengikuti tata ruang HTI, karena
tujuan dan model pengembangannya berbeda.
4. Perlu kejelasan siapa yang menanggung biaya untuk mempersiapkan dokumendokumen untuk pengusulan pencadangan areal HTR. Demikian pula untuk
tambahan modal penanaman jenis kayu serba guna/MPTS, dan pengolahan pasca
panen.
5. Akan ada resiko dari permasalahan yang timbul dalam perijinan pengangkutan kayu
2
setelah panen yang sudah tidak tergolong KBK (Kayu Bulat Kecil) karena ijin yang
diidentifikasikan dalam PP No. 6/ 2006, baru mencakup HTR, HR, dan HTHR,
sedangkan Pola Kemitraan belum tercantum.
6. Perencanaan, pengembangan dan pembiayaan yang fleksibel:
a. Proses pendanaan dan pengembalian dana perlu dipertimbangkan faktor resiko
yang harus ditanggung oleh anggota kelompok tani hutan/KTH
b. Untuk mengantisipasi adanya keterlambatan dalam pencarian dana, maka
prosedur pencabutan ijin akibat keterlambatan administrasi dan tidak adanya
kegiatan operasi, sebaiknya dijalankan setelah dana diterima dan bukan setelah
izin ditetapkan.

untuk meningkatkan proses pembelajaran dalam pengembangan hutan tanaman pola kemitraan yang

saling menguntungkan perusahaan dan masyarakat.
2

Misalnya, dalam kasus kayu yang mempunyai diameter diatas 30 cm yang dianggap bukan sebagai KBK (kayu bulat
kecil), sehingga perlu diklarifikasi dasar peraturan yang relevan yang dijadikan dasar untuk pemungutan, misalnya
PSDH (Permenhut no 55) .

4

Tabel 1. Skenario implikasi dari pola yang akan dikembangkan untuk melibatkan swasta
dalam Program HTR, dan pola kemitaan patungan sebagai alternatif

Faktor
pendukung
pengembangan
HTR

Skenario implikasi dari pola yang akan dikembangkan untuk
melibatkan swasta dalam Program HTR
Pola Kemitraan

Pola Developer

1. Jaminan hukum

Resiko ketidak pastian usaha
dari kemungkinan hak bisa
diperjual belikan oleh perserta
HTR, walaupun di dalam
kawasan hutan3.

Patungan berdasarkan
kepemilikan saham memberikan
jaminan kepastian hukum yang
lebih baik bagi kedua belah pihak,
karena masing-masing pihak
tidak mau kehilangan sahamnya.

2. Dukungan dana
(dan kelayakan
usaha)4

a.

Dukungan dana perusahaan
melalui kepemilikan saham dalam
perusahaan patungan, walaupun
kepemilikan saham mitra yang
diwakili oleh koperasi adalah
saham kosong, pembayaran bisa
dilakukan dari ‘dividen’ yang
diterima.

b.

c.
d.

3. Kelayakan
usaha

a.

b.

3

4
5
6
7

8

Hak sebagai developer dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh
lahan. Sebaliknya, developer
dapat merugi bila hak
pengelolaannya tidak diterbitkan
oleh pemerintah, walaupun
sudah membiayai pembangunan
awal dari modal sendiri.
Dukungan dana DR dapat
a. Belum adanya kepastian
menjadi sumber biaya
waktu pembayaran kembali
transaksi tinggi (?).
dari pemerintah/masyarakat
untuk modal awal yang telah
Resiko dari belum
dikeluarkan untuk
berkembangnya kapasitas
membangun dengan modal
pengelolaan dana (funding
management) dari koperasi
sendiri
Resiko pengembalian dana
b. Resiko dari adanya
tidak bisa dilakukan hanya
perbedaan perhitungan biaya
setelah satu rotasi5.
produksi per ha antara
Resiko dari tidak jelasnya
standar yang dipakai Dephut
mekanisme sangsi dalam
dengan perusahaan, siapa
proses pengembalian dana
yang akan menanggung
yang tertunda
kekurangannya6
c. Dukungan dana DR dapat
menjadi sumber biaya
transaksi tinggi (?).
d. Resiko dari tidak jelasnya
mekanisme sangsi dalam
proses pengembalian dana
yang tertunda
Ada perbedaan perhitungan biaya produksi per Ha antara
standar yang dipakai Dephut dengan perusahaan7, ataupun
perbedaan biaya produksi di setiap lokasi yang dikembangkan
oleh koperasi – Bila modal awal dari perusahaan, siapa yang
akan menanggung perbedaan biaya, atau kekurangan biaya
yang ditanggung oleh koperasi8
Resiko menjadi tidak layak karena penetapan harga dasar oleh
pemerintah dan tidak melalui mekanisme pasar (berdasarkan
PP 6 Tahun 2007).

Pola kemitraan patungan
sebagai alternatif

Perhitungan biaya per Ha +/sekitar Rp 11 juta per ha menurut
pengalaman perusahaan. Dalam
patungan ini dibiaya sepenuhnya
oleh perusahaan mitra patungan.

Berdasarkan pengalaman kemitraan selama ini, dimana payung hukum belum ada, sehingga law enforcement untuk
kontrak yang diabaikan dan mekanisme menjatuhkan sangsi tidak dapat diterapkan. Lahan yang meningkat nilai
ekonominya karena telah menjadi hutan tanaman mempengaruhi peserta mitra untuk menjual lahannya pada pihak
yang menawarkan harga tinggi.
Pemberian dukungan dana tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan-pertimbangan kelayakan usaha
Lihat pembahasan mengenai point ini dalam bagian mengenai masalah dan tantangan kemitraan saat ini
Bila bisa dari bank komersial, apakah harus melalui BLU
Standar biaya Rp 8 Juta/ha yang dipakai dalam memberikan dana bagi individu/kelompok yang akan
mengembangkan hutan melalui HTR, disusun berdasarkan standar biaya seperti yang tercantum dalam SK Menhut
No. 126/Kpts-IV/99. Diperlukan SK baru untuk standar biaya HTI yang terkini.
Belum ada kejelasan bagaimana sistem pembayaran dari pemerintah – apakah pakai modal sendiri dulu dan bisa
mengajukan klaim atau pembayaran kembali seperti model pengembangan HTI skala besar yang terdahulu; ada
kemungkinan biaya standar dirubah menjadi Rp 6 juta/ha, belum jelas apakah sudah termasuk biaya pemeliharaan
untuk tahun kedua dan ketiga.

5

4. Pendampingan
penguatan
kelembagaan
masyarakat
5. Jaminan akses
ke pasar9

Resiko dari kelemahan dalam proses sosialisasi oleh perusahaan/pemerintah, dan tidak siapnya payung
hukum dalam pengaturan kelembagaan, antara lain termasuk belum adanya pola pemberdayaan
masyarakat yang efektif yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah (nasional dan lokal), perusahaan
maupun LSM.
a. Resiko jaminan pasokan
Resiko developer tidak bisa
Kalau patungan, akan lebih punya
dari masyarkat pemegang
memberikan jaminan pasar
komitmen untuk
hak mitra (IUPHHK-HTR)
membeli/menjamin pemasaran;
untuk memenuhi
secara pantungan dapat dijual ke
persyaratan pasokan bahan
industri lain dengan tawaran harga
baku dari segi kuantitas,
tertinggi; dan dapat memenuhi
dan kualitas secara
kualifikasi yang diinginkan pasar.
berkesinambungan.
b. Kemitraan yang akan
dikembangkan perlu
dikaitkan dengan industri
dengan berbagai skala
kapasitas dan kebutuhan
jenis kayunya, sehingga
penunjukan lokasi HTR
dapat disesuaikan

6.

Resiko dari tidak tepatnya jenis yang ditanam dengan kebutuhan industri yang terdekat (layak dari segi
pembiayaan panen, transport dan biaya TUK lainnya – makin dekat makin kecil biaya transaksinya,
khususnya yang informal) , bila belum ada mapping identifkasikan semua industri dengan berbagai skala
kapasitas pengolahannya dan kebutuhan jenis kayunya.

Pemilihan jenis
tanaman yang
tepat

7. Mekanisme resolusi konflik perlu ditambahkan dalam pelaksanaan HTR. Potensi
konflik muncul di setiap tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Mekanisme resolusi konflik diperlukan guna menyelesaikan sengketa yang terjadi
dalam pelaksanaaan kebijakan izin usaha HTR ini dan memberikan keadilan kepada
pemegang izin dari kesewenang-wenangan, misalnya dalam kasus pencabutan izin
usaha secara otomatis.
8. Mekanisme monitoring dan evaluasi perlu ditambahkan. Untuk memastikan
berjalannya kebijakan ini sesuai dengan yang diharapkan, dalam Permenhut perlu
ditambahkan mekanisme pemantauan dan evaluasi mulai dari tahap pencadangan
sampai pada pelaksanaan izin usaha.
Kemitraan yang dibangun antara perusahaan dan masyarakat, perlu mempertimbangkan
prinsip-prinsip kemitraan yang saling menguntungkan. Beberapa faktor pendukung agar
kemitraan saling menguntungkan (Nawir et al. 2003), antara lain:
1. Kelayakan komersial atas dasar perjanjian kontrak untuk kemitraan jangka panjang
yang berisi kesepakatan tentang tujuan-tujuan ekonomi dan sosial bersama;
2. Kesetaraan dalam perjanjian kerjasama, ditentukan melalui penilaian yang wajar dan
tidak berat sebelah atas kontribusi masing-masing pihak, termasuk perjanjian bagi
hasil;
3. Adanya pemahaman penuh dari kedua belah pihak akan kemungkinan resiko yang
timbul sebagai akibat diadakannya kegiatan kemitraan;
4. Adanya keterkaitan dengan pasar atau industri yang menjamin pemasaran hasil;
5. Adanya komitmen yang kuat, paling tidak selama jangka waktu kontrak yang telah
disepakati diantara peserta yang bermitra.
09. PANDANGAN ASOSIASI. Sebagai lembaga yang dapat berperan penting dalam
pengembangan kepastian usaha kehutanan, beberapa hal yang diharapkan oleh
Asosiasi Usaha Kehutanan adalah: kesamaan visi para pihak terhadap industri
kehutanan, optimalisasi peran para pihak, terdapat benang merah kebijakan nasional
tentang Industri kehutanan, terdapat pengawalan konsistensi kebijakan nasional tentang
9

Belum ada SK yang mengatur penanganan pasca-panen termasuk TUK (Tata Usaha Kayu)

6

industri kehutanan, terdapat rasionalisasi peraturan menuju peraturan/regulasi yang
tepat, sederhana, efektif dan efisien, perpendekan dan penyederhanaan rantai birokrasi,
terdapat rasionalisasi pungutan dan efektifitas penggunaannya, maupun terdapat
hubungan Pusat–Daerah dan sinkronisasi peraturan Pusat–Daerah, serta penyelesaian
konflik lahan/areal kerja untuk kepastian usaha.
10. PANDANGAN DEPARTEMEN PERDAGANGAN. Saat ini masih terdapat permasalah internal
Departemen yaitu semacam adanya benturan otoritas dan tanggung-jawab, misalnya
terkait peran dan fungsi Bea dan Cukai dalam kegiatan ekspor, khususnya dalam kasus
penegakan hukum, persoalan regulasi yang tidak sinkron dan tumpang tindih, serta
persoalan proses verifikasi dan transportasi. Intinya, masih terdapat masalah lemahnya
koordinasi, sinergi dan komitmen di internal Departemen Perdagangan. Diakui lemahnya
birokrasi dan penegakan hukum sebagai bagian persoalan serius yang juga dihadapi
Depdag. Terkait dengan kehutanan, disinggung persoalan tata niaga kayu, keberadaan
BRIK, dan proses verifikasi di lapangan yang secara keseluruhan (masih) melahirkan
biaya transaksi tinggi.
Ditekankan pula bahwa Depdag sebagai ujung tombak pelaksana, lebih menekankan
pada produk akhir (end product) dengan nilai tambah tinggi baik untuk perdagangan
domestik maupun ekspor. Sebagai departemen teknis yang berada di hilir, prinsipnya
justru menunggu masukan siapapun dari pihak ”hulu”. Secara singkat diilustrasikan,
komoditi apa yang akan diperdagangkan dengan kriteria, ketentuan, dan mekanisme
seperti apa silakan tetapkan oleh ”hulu”, infokan ke ”hilir” dan Depdag tinggal
menjalankan. Intinya, Depdag siap untuk menerima masukan.
Dari konsultasi ini DKN perlu mengidentifikasi lebih lanjut akar masalah, identifikasi siapa
10
menangani apa terkait sejumlah masalh, antara lain: pajak ekspor, daya saing produk ,
11
ketimpangan nilai ekspor dengan nilai impor yang sangat tinggi , kepastian usaha di
12
dalam negeri, sertifikasi produk impor, tarif dan bea masuk. Untuk kehutanan, perlu
diangkat isu kelanjutan pelaksanaan Permen 51 dan 55 (Tata Niaga Kayu), yang di
lapangan dirasakan banyak praktisi perdagangan sangat menghambat. Setelah
identifikasi ini, Depdag mengusulkan kepada DKN agar dapat mengundang tim kecil
Depdag untuk membahas lebih lanjut langkah tindak yang diperlukan secara lebih
konkret. Selain isu di atas, disarankan DKN dapay mengusulkan kepada pemerintah agar
kehutanan dapat memperoleh subsidi suku-bunga sebagaimana yang diperoleh Deptan
sebesar Rp. 10 trilyun.
11. PANDANGAN DEPARTEMEN DALAM NEGERI. Berkaitan dengan inisiatif beberapa pihak
(WWF, Tropenbos, DepHut, Depdagri, KLH, Bappenas, IPB) tentang pembentukan
Kabupaten Konservasi dan kebijakan untuk membangun KPH oleh Departemen
Kehutanan, Depdagri menyambut dengan baik terhadap dua inisiatif ini. Kedua inisiatif ini
pada dasarnya membangun tata kepemerintahan dalam pengelolaan sumberdaya alam
umumnya dan khususnya sumberdaya hutan.
Pelaksanaan untuk melanjutkan kesiapan instrumen kebijakan Kabupaten Konservasi
segera diselesaikan akhir bulan April 2007 dan akan diadakan uji coba penerapan kriteria
dan indikator Kabupaten Konservasi di 6 Kabupaten (Kapuas Hulu, Malinau, Pasir,
Kuningan, Lampung Barat, dan Lebong). Depdagri dan Dephut sedang menyiapkan
payung hukum keberadaan Kabupaten Konservasi serta membahas opsi-opsi bentuk
insentif yang memungkinkan dapat berjalannya program ini.

10

Disinggung antara lain produk CPO dan gondorukem.
Dicontohkan kasus perdagangan produk kayu HS 4407 dengan China, dimana nilai ekspor tercatat hanya sekitar USD
3.4 juta, sementara nilai impor China untuk komoditi ini dilaporkan sebesar USD 19.3 juta. Terkait pajak ekpor, diduga
ada manipulasi data sortimen kayu yang diekspor, dengan cara meninggikan jumlah sortimen yang PE-nya rendah.
12
Antara lain penyederhanaan; saat ini terdapat sekitar 244 pos tarif yang tercantum dalam Buku Tarif

11

7

Dalam pembangunan KPH, Depdagri bersama-sama dengan Dephut sepakat untuk
menyusun landasan hukum, mobilisasi sumberdaya, serta memediasi pelaksanaan
pembangunan KPH oleh Pemda.

PROGRAM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI: PERAN LIMA PIHAK
Program Pemerintah
12. PEMETAAN FOKUS PROGRAM. Departemen Kehutanan telah mencanangkan 18 fokus
13
program pembangunan kehutanan . Dalam pembahasan terhadap program-program
tersebut ditunjukkan masih terdapat persoalan sebagai berikut:

1. EFEKTIVITAS STRUKTUR PROGRAM. Secara keseluruhan orientasi program tertuju pada
pengembangan pembangunan kehutanan dan kurang terfokus pada penyediaan
prasyarat dan infrastrukturnya. Program yang berkaitan dengan penyelesaian
prasyarat pengelolaan hutan seperti pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan
dan pembangunan wilayah pengelolaan kawasan hutan serta pengembangan
informasi sumberdaya hutan perlu sumberdaya lebih karena menjadi prasyarat bagi
program lainnya. Sementara itu 15 program lainnya berciri sebagai program
pengembangan (Gambar 1). Kelemahan tersebut tidak akan terjadi seandainya
persoalan pengelolaan hutan di lapangan tidak lagi memerlukan prasyarat
pengukuhan dan pembangunan wilayah pengelolaan kawasan hutan, meskipun
program pengembangan informasi senantiasa diperlukan sebagai dasar
pengambilan keputusan;

2. KEBUTUHAN

KOHERENSI PROGRAM. Program pembangunan kehutanan juga belum
disertai strategi implementasinya. Setiap unit kerja di Departemen Kehutanan
melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuannya masing-masing,
sedangkan diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan kehutanan di lapangan
memerlukan koherensi implementasi setiap kegiatan dari berbagai unit kerja di
Departemen Kehutanan;

13. USULAN KOHERENSI DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAM. Terlepas dari persoalan
tersebut, diperlukan sinkronisasi antara berbagai usulan kebijakan yang telah dilakukan
oleh Kelompok Kerja dengan fokus program yang telah dicanangkan Departemen
Kehutanan. Hal demikian ini diperlukan agar usulan-usulan dari Kelompok Kerja dapat
menjadi pertimbangan dan sejauh mungkin dapat menjadi agenda Departemen
Kehutanan. Bentuk sinkronisasi tersebut dapat dipetakan pada Gambar 2. Apabila fokus
program pembangunan kehutanan oleh Departemen Kehutanan digunakan sebagai
acuan, maka strategi implementasi program tersebut perlu ditetapkan terlebih dahulu,
sebagai berikut:
1. STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN. Bentuk-bentuk perijinan pemanfaatan kayu
berupa pengelolaan kawasan tidak dibebani hak (4), rehabilitasi hutan dan lahan
(11), hutan kemasyarakatan (13), hutan tanaman rakyat (14b), maupun pemanfaatan
hasil hutan non kayu (15), dalam pelaksanaannya memerlukan strategi
pengembangan kelembagaan. Kepastian hak diperlukan melalui pengukuhan
kawasan hutan (16) maupun pembangunan wilayah pengelolaan hutan (18). Dalam
13

Ke 18 program tersebut yaitu: 1. Pengamanan Kawasan Hutan, 2. Penertiban Peredaran Hasil Hutan, 3. Restrukturisasi
Industri Primer Kehutanan, 4. Pengelolaan Kawasan yang tidak Dibebani Hak, 5. Pengelolaan Pemanfaatan Hutan
Tanaman, 6. Pengelolaan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam, 7. Pengendalian Kebakaran, 8. Pengelolaan Kawasan
Konservasi, 9. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dan tata niaga satwa langka (TSL), 10. Pemanfaatan Jasa
Lingkungan dan Wisata Alam, 11. Rehabilitasi Hutan dan Lahan, 12. Optimalisasi Pengelolaan DAS, 13.
Pengembangan hutan kemasyarakatan, 14. Pengembangan Hutan Rakyat, 15. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu,
16. Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, 17. Pengembangan Informasi Sumberdaya Hutan, 18.
Pembangunan Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan

8

kaitan ini peran Kelompok Kerja Tenurial dan Pemberdayaan Masyarakat sangat
diperlukan;

PENGEMBANGAN

PRASYARAT/
INFRASTRUKTUR

i&
m
no
ko si
: E ak
gi ns
te ra
ra T
St

St
ra
Ke teg
le i: P
m e
ba ng
ga em
an b

Gambar 1. Pemetaan Fokus Program Pembangunan Kehutanan

g
te
a
es
el
ny k
Pe fli
i: on
K
n
ia

St
ra

ra
St

te
g
da i: P
n en
te ge
kn m
ol b
og M
i an
aj

PENGEMBANGAN

PRASYARAT/
INFRASTRUKTUR

Gambar 2. Pemetaan Program, Strategi dan Peran Kelompok Kerja
Penjelasan Gambar 1.
Garis horizontal menunjukkan tingkat program. Sisi kiri adalah program-program bertujuan untuk menyelesaikan
prasyarat dan infrastruktur pengelolaan hutan, sisi kanan adalah program-program bertujuan untuk pengembangan
usaha kehutanan. Garis vertikal menunjukkan keterkaitan program dengan kawasan hutan. Sisi bawah adalah
program-program terkait dengan kawasan hutan, sisi atas program-program yang sama sekali atau tidak langsung
terkait kawasan hutan.
Penjelasan Gambar 2.
Garis horizontal sama dengan Gambar 1. Garis vertikal menunjukkan keterkaitan dengan unit manajemen. Sisi
atas menunjukkan program-program yang tidak langsung atau belum terdapat unit manajemen yang kuat, sisi
bawah program-program yang terkait dengan unit manajemen yang sudah ada.

9

2. STRATEGI EKONOMI DAN TRANSAKSI. Berbagai bentuk kebijakan ekonomi dan transaksi
antar pihak diperlukan sebagai strategi pelaksanaan program-program peredaran
hasil hutan (2), restrukturisasi industri (3), pengendalian kebakaran hutan (7),
pelestarian keanekaragaman-hayati (9), pengembangan jasa lingkungan dan wisata
alam (10), pengelolaan DAS (12), dan pengembangan hutan rakyat (14). Dalam
kaitan ini peran Kelompok Kerja Restrukturisasi Industri dan Pemberdayaan
Masyarakat sangat diperlukan;
3. STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK. Terhadap pelaksanaan perijinan hasil hutan kayu
dari hutan alam (5) dan tanaman (6) serta pengelolaan kawasan konservasi (8) yang
masih banyak mengalami konflik hak atas sumberdaya hutan perlu perhatian khusus
dalam upaya untuk penyelesaian konflik. Kepastian hak diperlukan melalui
pengukuhan kawasan hutan (16) maupun pembangunan wilayah pengelolaan hutan
(18), serta pengamanan kawasan hutan (1). Ketiga kegiatan terakhir ini dilakukan
dengan memperhatikan penyelesaian atas konflik-konflik yang telah terjadi. Dalam
kaitan ini peran Kelompok Kerja Tenurial dan Pemberdayaan Masyarakat sangat
diperlukan;
4. STRATEGI PENGEMBANGAN MANAJEMEN DAN TEKNOLOGI. Terhadap pelaksanaan
perijinan hasil hutan kayu dari hutan alam (5) dan tanaman (6) serta pengelolaan
kawasan konservasi (8) yang relatif terbebas dari konflik hak atas sumberdaya hutan
perlu perhatian dalam pengembangan manajemen dan teknologi. Meskipun program
pengamanan kawasan hutan (1) masih diperlukan, upaya pengembangan sistem
silvikultur, jenis unggul maupun mekanisme pemanfaatan jasa lingkungan dapat
dikembangkan di kawasan ini. Dalam kaitan ini peran Kelompok Kerja Restrukturisasi
Industri sangat diperlukan;

14. KEBUTUHAN

PROGRAM BARU. Terhadap seluruh pelaksanaan strategi implementasi
program di atas, diperlukan program penyediaan informasi (17), penelitian dan
pengembangan (19), pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (20), serta peningkatan
kapasitas lembaga kehutanan daerah (21). Dalam jangka pendek, program penyediaan
informasi, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perlu difokuskan untuk mendukung
upaya peningkatan kapasitas lembaga kehutanan daerah, yangmana saat ini program
peningkatan kapasitas lembaga kehutanan daerah tersebut justru belum ada yang
menanganinya.

Posisi dan Peran Swasta (Asosiasi)
15. MASALAH POKOK. Secara umum usaha kehutanan menghadapi masalah ketidak-pastian
usaha dan ekonomi biaya tinggi. Upaya untuk mengatasi kondisi demikian itu sangat
ditentukan oleh masalah kepemerintahan yang secara signifikan menentukan iklim usaha
kehutanan. Masalah kepemerintahan tidak dapat diharapkan diselesaikan hanya dengan
mengandalkan kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah untuk memecahkannya,
pelaku usaha itu sendiri mempunyai peran sangat penting dalam memecahkan masalah
kepemerintahan.
16. POSISI DAN PERAN ASOSIASI. Keberadaan asosiasi di bidang kehutanan dan industri hasil
hutan saat ini, seperti MPI, APHI, APKINDO, ISWA, Asosiasi Industri Kertas, dll., serta
BRIK perlu dikuatkan posisinya dengan tujuan agar sasaran dan kebijakan lembagalembaga ini sejalan dengan masalah – masalah pokok pengelolaan hutan dan industri
hasil hutan yang harus segera dipecahkan. Untuk itu masing-masing Asosiasi perlu ada
kesepakatan untuk berbagi peran agar tidak tumpang tindih dan efektif dalam mencapai
tujuan. Komunikasi dan koordinasi dalam pelaksanaan peran masing-masing Asosiasi
harus intensif, sehingga dapat mengikuti perkembangan dalam implementasi perannya
masing-masing. Dengan demikian diharapkan terdapat optimalisasi pemanfaatan sumber
daya antar Asosiasi secara komprehensif.

10

Posisi dan Peran Masyarakat
17. MASALAH POKOK. Kebijakan kehutanan pada masa kekuasaan Orba mengabaikan
keberadaan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya. Unit-unit sosial
seperti desa, marga, nagari, lembang dan sebagainya diacak-acak sehingga nyaris
hancur sama sekali. Hal-hal itu mengakibatkan pemiskinan masyarakat adat &
masyarakat lokal lainnya, baik secara ekonomi, kelembagaan maupun politik. Pada sisi
lain, pengingkaran keberadaan hak masyarakat adat & masyarakat lokal lainnya yang
diikuti dengan perampasan, pada gilirannya menimbulkan berbagai konflik vertikal yang
berkepanjangan sampai sekarang ini. Menyadari situasi tersebut MPR-RI mengeluarkan
TAP nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria & Pengelolaan Sumber Daya
Alam. TAP tersebut dimaksudkan sebagai dasar pijakan bagi semua pihak dalam
merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Sementara itu peluang-peluang
yang telah tersedia bagi masyarakat adat dan lokal lainnya melalui beberapa bentuk
kebijakan setelah tahun 1999 belum dapat dimanfaatkan secara optimal hingga saat ini.
Selain masalah ketidak-pastian hak dan akses, infrastruktur ekonomi bagi
pengembangan usaha berbasis masyarakat juga masih sangat terbatas.
18. POSISI MASYARAKAT. Dengan kondisi demikian, masyarakat yang telah ditempatkan
sebagai subyek dalam pembangunan kehutanan perlu ditingkatkan kapasitasnya melalui
penguatan kelembagaan masyarakat, agar siap dalam memanfaatkan hak dan akses
terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, serta mampu berpartisipasi
dalam proses reformasi kebijakan kehutanan.

Posisi dan Peran LSM
19. MASALAH POKOK. Pelaksanaan pembangunan nasional umumnya dan khususnya
pembangunan kehutanan masih senantiasa lebih terfokus pada pengadaan saranasarana fisik. Hal demikian ini telah diketahui menjadi kelemahan, akibat sedikitnya upaya
untuk menguatkan kapasitas masyarakat sebagai subyek pembangunan. Berbagai
bentuk bantuan pembangunan seperti dana dan sarana produksi seringkali tidak efektif
dan bahkan menjadi pemicu konflik akibat belum siapnya kelembagaan masyarakat.
Perhatian untuk menguatkan kelembagaan masyarakat melalui mobilisasi sumberdaya
sosial, dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan.
20. POSISI LSM. Dalam rangka konsolidasi untuk percepatan pelaksanaan restrukturisasi
kehutanan, LSM berupaya untuk melakukan mobilisasi sumberdaya sosial agar gap
pelaksanaan pembangunan kehutanan selama ini dapat diminimalkan.

Posisi dan Peran Akademisi
21. MASALAH POKOK. Perkembangan pendidikan tinggi kehutanan tidak terlepas dari
perkembangan kinerja pembangunan kehutanan. Dengan orientasi pengelolaan hutan
yang lebih berat ke masalah finansial (komersial) jangka pendek yang telah berlangsung
puluhan tahun yang lalu, menyebabkan orientasi masyarakat terhadap manfaat hutan
sebatas manfaat finansial dalam jangka pendek juga. Sebaliknya, jasa lingkungan hutan
tidak menjadi perhatian. Hal yang demikian itu menjadikan terjadinya kerusakan hutan
yang sebenarnya bersifat struktural (sistematis). Terjadinya kerusakan hutan, menjadikan
minat masyarakat terhadap pengelolaan hutan menjadi terpengaruh, yang kemudian juga
mempengaruhi minat studi perguruan tinggi dalam program studi kehutanan. Sementara
itu, kebutuhan tenaga profesional kehutanan di masa depan semakin meningkat.
22. POSISI AKADEMISI. Pendidikan tinggi kehutanan perlu menjadi bagian dari transfer
pengetahuan dan berbagai pengalaman lapangan untuk menunjang pembuatan dan/atau
pembaruan kebijakan kehutanan. Independensi akademisi senantiasa diperlukan agar
terwujud hubungan-hubungan antar pihak secara kritis dalam melihat permasalahan
pembangunan kehutanan. Pada hakekatnya, independensi (obyektifitas) akademisi
senantiasa diperlukan dalam pengawalan formulasi serta implikasi kebijakan pengelolaan

11

sumber daya hutan, agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip (principles) kebenaran
ilmiah (filosofis).

KERANGKA KONSOLIDASI
23. TUJUAN KONSOLIDASI. Permasalahan pembangunan kehutanan secara umum disebabkan
oleh lemahnya kapasitas Pemerintah dan Pemda dalam menjalankan kebijakan relatif
terhadap besarnya persoalan yang dihadapi, lemahnya kapasitas masyarakat termasuk
dunia usaha, belum tersedianya pra-syarat pemungkin seperti kepastian hak atas
sumberdaya hutan, infrastruktur ekonomi, dll. serta timbulnya biaya transaksi tinggi
dalam implementasi kebijakan kehutanan. Sementara itu, berbagai kegiatan yang telah
dan sedang dilakukan oleh berbagai pihak baik yang berada di dalam lingkup
Departemen Kehutanan, lembaga pemerintah lainnya, maupun pengalaman dan
pengetahuan yang telah diperoleh oleh berbagai kelompok atau perorangan di lembagalembaga penelitian, LSM, dan lembaga-lembaga internasional, mempunyai arti penting
sebagai masukan kebijakan maupun praktek-praktek penyelesaian masalah di lapangan.
Atas dasar kenyataan tersebut, kerangka konsolidasi bertujuan untuk mensinergikan
peran semua pihak sehingga dapat ditemukan bentuk koherensi peran antara satu
dengan lainnya dan tersusun perumusan dan/atau penyempurnaan kebijakan kehutanan
dan/atau pelaksanaan praktek-praktek penyelesaian masalah-masalah kehutanan di
lapangan;
24. MEKANISME. Untuk mencapai tujuan konsolidasi tersebut, DKN melakukan analisis
berbagai masukan, dengar pendapat dengan berbagai pihak, serta perumusan usulanusulan kebijakan dan langkah-langkah nyata yang akan divalidasi melalui kamar
pemerintah, bisnis, masyarakat, LSM dan akademisi yang diperluas, bukan hanya
terbatas pada anggota predisium DKN. Dalam pelaksanaan konsolidasi ini, selain
konsultasi dengan pemerintah, Kelompok Kerja, juga konsultasi dengan CIFOR, ICRAF
dan pemerintah daerah. Kelompok Kerja dan lembaga-lembaga tersebut terutama
diminta untuk menyampaikan pengalaman pembelajaran dalam hal adopsi pengetahuan
dan pengalaman yang telah diperoleh bagi pembuatan kebijakan maupun langkahlangkah operasional di lapangan. Bentuk sinerja antar pihak-pihak tersebut sebagaimana
diilustrasikan dalam Gambar 3.

PENGUATAN
KELEMBAGAAN
MASY.

PENGUATAN
STRATEGI MOBILISASI
SUMBERDAYA SOSIAL
LEMBAGA
SWADAYA
MASYARAKAT

MASYARAKAT :
DATA DAN LOKAL
LAINNYA

WG
TENURE

WG
KELEMB

PENGUATAN
TRANSFER
PENGETAHUAN
AKADEMISI

PEMERINTAH:
DEPERIN,
DEPDAG,
DEPDAGRI,
EFEKTIVITAS DEPHUT

PROGRAM DAN
REFORMASI
BIROKRASI

PENGUSAHA:
HA, HT, INDUSTRI

WG
RESTRUK.

PENGUATAN
FUNGSI DAN
PERAN ASOSIASI

CIFOR
ICRAF

PEMBELAJARAN
DAN ADOPSI
KEBIJAKAN

Gambar 3.

Konsolidasi Posisi dan Peran Pihak-Pihak dalam
Percepatan Pelaksanaan Restrukturisasi Kehutanan
12

25. SUBSTANSI. Konsolidasi di atas menghasilkan nota kesepakatan yang dapat menjadi
program perumusan kebijakan dan mediasi setelah konsolidasi ini dilaksanakan.
Kerangka penetapan substansi pada dasarnya merupakan penetapan masalah-masalah
yang perlu diselesaikan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan, sebagaimana
diuraikan dalam Tabel 2. Berdasarkan isu dan masalah yang diangkat oleh pihak-pihak
pada saat konsultasi, penetapan substansi yang lebih fokus dapat dilakukan terhadap:
a. Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan;
b. Restrukturisasi Industri dan Perdagangan;
c. Kepemerintahan kehutanan dan tata hutan nasional.

Tabel 2. Kerangka Penetapan Subtansi Koherensi Kebijakan/Program/Kegiatan

FOKUS
PROGRAM

STRATEGI
IMPLEMENTASI
PROGRAM
KEHUTANAN

Hutan Tanaman
Rakyat dan Hutan
Kemasyarakatan

Kelembagaan
Ekonomi dan Transaksi
Penyelesaian Konflik
Manajemen dan Teknologi

Restrukturisasi
Industri dan
Perdagangan

Kelembagaan
Ekonomi dan Transaksi
Penyelesaian Konflik
Manajemen dan Teknologi

Koherensi Kebijakan/Program/Kegiatan
PEMRTH
BISNIS
MASY.
LSM
AKADMS
Efektivitas
Program dan
Reformasi
Birokrasi




Penguatan
Posisi dan
Peran
Asosiasi

Penguatan
Kelembagaan
Masyarakat







Penguatan
Mobilisasi
Sumberdaya Sosial












Penguatan
Transfer
Pengetahuan















Kelembagaan
Kepemerintahan


Ekonomi dan Transaksi
Kehutanan dan Tata Penyelesaian Konflik





Hutan Nasional

Manajemen dan Teknologi
Keterangan: ►= Peran utama yang diharapkan mengisi strategi implementasi program kehutanan, terbuka

peran lain yang dapat diisi dalam sel yang lain sesuai kasus yang dibahas.
26. PERAN PARA PIHAK. Untuk kebutuhan perbaikan dan/atau pembaruan kebijakan, baik di
tingkat nasional maupun daerah, semua pihak dapat mengambil peranannya masingmasing. Namun demikian, untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu, peran para pihak
sangat tergantung situasi dan kondisi yang telah dan sedang terjadi. Berdasarkan Tabel
2 di atas, kamar masyarakat, bisnis, dan pemerintah, masing-masing mempunyai peran
utama dalam pengembangan HTR dan HKm, restrukturisasi industri dan perdagangan,
dan kepemerintahan kehutanan dan tata hutan nasional. Sedangkan kamar LSM dan
akademisi menjadi penopang dalam mobilisasi sumberdaya sosial dan transfer
pengetahuan. Bagaimana para pihak dalam konsolidasi ini dapat bertransaksi untuk
menjalankan peranannya masing-masing, akan difasilitasi melalui diskusi kelompok.
Hasil transaksi tersebut diharapkan dapat ditindak-lanjuti melalui:
a. Menjadi masukan bagi penguatan fokus program Departemen Kehutanan,
sehingga pelaksanaan program dan kegiatan Departemen Kehutanan sejalan
dengan kebutuhan penyelesaian masalah, baik di tingkat kebijakan maupun di
lapangan;
b. Menjadi bagian substansi yang perlu ditindak-lanjuti oleh sektor terkait di Pusat,
Daerah, dengan masukan dari Asosiasi Usaha Kehutanan, masyarakat, LSM,
akademisi serta lembaga lainnya;

13

c.

Apabila disepakati bersama, dapat menjadi proses mediasi penyelesaian
masalah di lapangan yang dapat dilakukan oleh DKN;
d. Forum konsolidasi ini dapat pula merancang bentuk evaluasi atas tindak-lanjut di
atas baik melalui Komisi-Komisi yang ada di dalam organisasi DKN atau
berbentuk Tim Ad Hoc sesuai kesepakatan bersama.

14