Jurnal Konseling Andi Matappa
Jurnal Konseling Andi Matappa
Volume 1 Nomor 1 Februari 2017. Hal 116-124
p-ISSN: 2549-1857; e-ISSN: 2549-4279
(Diterima: bulan-2017; di revisi: bulan-2017; dipublikasikan: bulan-2017)
Hubungan Persepsi Dengan Motivasi Siswa Sekolah Menengah Kejuruan
Dalam Konseling Perorangan
1
Diastuti, 2Itsar Bolo Rangka, 3Wahyu Eka Prasetyaningtyas, 4Dian Renata
Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
Correspondence email: [email protected]
1234
Abstrak: Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi
siswa dengan motivasi siswa mengikuti konseling perorangan. Pengumpulan data
dilakukan terhadap 288 siswa di SMK Al Hidayah 1 Jakarta. Analisis data menggunakan
uji koefisien korelasi Gamma dan Somers’D. Hasil penelitian ditemukan bahwa nilai
koefisien Gamma dan Somers’D mencapai 0.496 dengan Zhitung > Ztabel atau 6.523 > 1.96.
Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan dan searah (positif) antara persepsi siswa
terhadap pelayanan konseling dan motivasi siswa mengikuti layanan konseling
perorangan.
Kata kunci: Konseling perorangan, persepsi, motivasi, konseling
Abstract: This study aimed to perform relationship between students perceptions on
counselling practice with motivational student’s in to individual counselling process.
Data collection was conducted against 288 students in Al Hidayah 1 Vocational School Jakarta. Data analysis used the correlation coefficient test Gamma and Somers'D. The
research findings showed coefficient Gamma and Somers'D test reached 0496 with Zhitung
> Ztable or 6,523 > 1.96. It means there is a significant relationship and positive direction
between the perceptions of students towards counselling and motivation of students
followed individual counselling service.
Keywords: Individual counseling; perceptions; motivation; counseling.
PENDAHULUAN
Pelayanan Bimbingan dan Konseling
(BK) di sekolah terdiri atas 10 (sepuluh) jenis
layanan dan 6 (enam) kegiatan pendukung. Tiap
layanan dalam BK memiliki tujuan dan manfaat
dalam setiap kegiatannya, salah satunya yaitu
layanan konseling perorangan yang merupakan
jantung hati dari pelayanan BK secara
menyeluruh (Prayitno, 2012; Prayitno & Amti,
2009).
Layanan konseling perorangan diberikan
kepada seluruh siswa, baik untuk siswa yang
datang sendiri kepada guru BK (Suwandi et al.,
2014) ataupun siswa yang ditunjuk oleh guru
mata pelajaran atau wali kelas untuk diundang
melakukan konseling perorangan dengan guru
BK (Prayitno, 2012). Siswa dapat menerima
layanan dari konselor di ruang BK atau pusat
konseling di sekolah, baik pada jam
pembelajaran maupun di luar jam pembelajaran.
Idealnya siswa akan mencari pusat
pelayanan konseling saat mereka membutuhkan
konsultasi dan/atau mengalami masalah; dan
rata-rata siswa mengunjungi pusat pelayanan
konseling sebanyak 5 kali tiap minggu (VasquezMartinez, 2015). Akan tetapi, banyak siswa yang
menghindari untuk berpartisipasi dalam sesi
konseling (Ryan, Lynch, Vansteenkiste, & Deci,
2010) karena beberapa alasan sebagaimana yang
diidentifikasi oleh Snyder, Hill, & Derksen,
(1972), yaitu: (1) klien tidak mengenal dengan
baik “apa itu konseling”, (2) adanya “stigma”
yang memandang konseling sebagai hal yang
tidak begitu menarik untuk diikuti bahkan
sebaiknya dihindari, (3) klien tidak memiliki
Ini adalah artikel dengan akses terbuka dibawah licenci CC BY-NC-4.0
(https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/ )
117 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
informasi yang menyeluruh terkait proses
konseling, (4) teman dekat diletakkan pada
pilihan pertama bagi klien ketika menghadapi
masalah pribadi dibanding orang lainnya,
termasuk konselor, (5) faktor gangguan
psikologis yang amat berat, (6) pengaruh orang
lain untuk tidak menggunakan layanan
konseling.
Siswa di jenjang pendidikan menengah,
khususnya di Sekolah menengah kejuruan
(SMK) merupakan kelompok individu yang
perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal ini
didasari fakta bahwa periode perkembangan usia
remaja terjadi banyak perubahan yang cukup
singnifikan
yang di
satu sisi
dapat
menguntungkan dan di sisi lain merugikan siswa
apabila tidak ditangani dengan baik (Hurlock,
2001).
Perubahan-perubahan tersebut di atas
meliputi fisik, emosional, hubungan sosial
dengan orang lain, adaptasi lingkungan, suasana
belajar, dan berbagai masalah yang mengikutinya
(Santrock, 1997). Dalam hal ini, keberadaan
pelayanan BK dibutuhkan untuk memfasilitasi
perkembangan siswa selaku peserta didik di
sekolah (Prayitno, 2012). Akan tetapi,
keberadaan pelayanan BK di sekolah tidaklah
dirasa cukup apabila pelayanan BK itu sendiri
tidak dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi siswa, sehingga siswa tidak
memiliki motivasi untuk menggunakan akses
pelayanan BK di sekolah.
Penelitian yang dilakukan oleh Strowig
& Sheets, (1967) dalam kaitannya dengan sikap
siswa terhadap pelayanan BK ditemukan bahwa
siswa pada tahun pertama menujukkan sikap
negatif terhadap layanan BK di sekolah, dan
mulai cenderung positif pada tahun kedua.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh
Wantz & Firmin, (2011) ditemukan bahwa siswa
lebih peduli terhadap proses konseling, apabila
konselor
memiliki
kepedulian
dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas,
memiliki wawasan yang luas (Rubin, 2014), dan
memiliki self-efikasi diri yang baik (Iarussi,
Tyler, Littlebear, & Hinkle, 2013). Mencermati
hal tersebut, maka peran konselor sebagai orang
dewasa dalam menjalin hubungan dan
memberikan perhatian terhadap siswa (Michael
John Scheel, Madabhushi, & Backhaus, 2009)
mutlak diperlukan.
Disadari pula bahwa keberhasilan proses
konseling lainnya terletak pada keberfungsian
dan kolaborasi konselor dengan klien (Michael J
Scheel, Davis, & Henderson, 2012). Banyak
konselor sangat mengharapkan klien mereka
menampilkan
motivasi
untuk
mengikuti
konseling, meskipun kenyataannya diketahui
sebenarnya motivasi klien mengikuti konseling
cukup rendah (Ryan et al., 2010). Pada kondisi
tersebut, konselor harus mampu meletakkan
pandangan bahwa satu-satunya orang yang
mampu memecahkan masalah, adalah orang
(klien) itu sendiri, dan konselor wajib menjamin
dan memfasilitasi terciptanya suasana konseling
yang penuh kepedulian dan rasa empati (Lindsay
& Langevin, 2017; Prayitno, 2012). Konselor
juga harus dapat memupuk terciptakan “aliansi
teraputik” yang maksimal dalam proses
konseling (Rangka, 2015) dengan tanpa
membeda-bedakan
nilai-nilai,
budaya,
kepercayaan, cara pandang terhadap kehidupan,
kebutuhan dan ekspektasi diri klien (Lin, 2001).
Hal ini dapat membuat siswa memandang
kehadiran pelayanan BK di sekolah sebagai suatu
keuntungan.
Diperlukan pula kesadaran dalam diri
siswa selaku klien untuk melihat konseling
sebagai suatu hubungan perbantuan yang
menjanjikan terentaskannya masalah yang
dihadapi oleh siswa. Akan tetapi, hal tersebut
hanya dapat tercipta jika ada persepsi yang baik
terhadap layanan konseling dan motivasi untuk
mengikuti konseling.
Persepsi merujuk pada bagaimana otak
manusia memproses dan mengorganisasikan
seluruh arus informasi yang berasal dari luar ke
dalam diri manusia berdasarkan daya tangkap /
kemampuan panca indra tertentu (Thomason,
2008). Sementara itu, pengertian motivasi dapat
diartikan sebagai mekanisme internal dan
eksternal (Kleinginna & Kleinginna, 1981), yang
mendorong manusia untuk melakukan suatu hal
tertentu (Morgan, Harmon, & Maslin-Cole,
1990). Persepsi klien terhadap konseling sangat
penting untuk membantu konselor merancang
program yang tepat bagi pelayanan konseling
yang akan dilakukannya (Paulson, Truscott, &
Stuart, 1999). Hal yang sama pula berlaku bagi
aspek motivasi klien dalam mengikuti konseling
karena motivasi klien adalah kunci utama
daripada kekuatan dan keberhasilan konseling
(Ryan et al., 2010; Michael J Scheel et al., 2012).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
persepsi dan motivasi siswa melakukan
konseling telah banyak didokumentasikan oleh
para ahli, antara lain ekpresi yang ditampilkan
konselor dalam proses konseling (Paulson et al.,
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
1999), ketepatan waktu dalam konseling (Legg
& Newton, 2016), pengalaman yang didapatkan
selama proses konseling berlangsung (Good,
Komiya, Good, & Sherrod, 1999; Houfek, SoltisVaughan, Atwood, Reiser, & Schaefer, 2015)
kelancaran dalam berkomunikasi (Gatti, Brivio,
& Calciano, 2016; Good et al., 1999) adanya
kolaborasi yang sehat antara konselor dengan
klien dengan prinsip pemberdayaan (Gruhl &
Van Leuven, 2014), adanya upaya untuk
menegakkan
kemandirian
klien
dengan
memberikan kebebasan untuk memilih solusi
(Nirenberg, Baird, Longabaugh, & Mello, 2013),
keterbukaan secara emosional (Good et al.,
1999), dan ketersediaan fasilitas pendukung
untuk melaksanakan konseling (Snyder et al.,
1972).
Tujuan penelitian ini, yaitu: (1) untuk
mengetahui persepsi siswa mengenai layanan
konseling perseorangan yang diberikan guru BK,
(2) untuk mengetahui motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan, dan (3) untuk mengetahui
hubungan persepsi siswa dengan motivasi siswa
mengikuti konseling perorangan di SMK Al
Hidayah I Jakarta. Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini, yaitu ada hubungan uang
singnifikan antara persepsi siswa terhadap
pelayanan konseling dan motivasi siswa
mengikuti layanan konseling perorangan.
Dengan demikian guru BK dapat
melakukan peningkatan rencana pengembangan
pelayanan konseling perorangan di sekolah serta
dapat lebih meningkatkan kegiatan-kegiatan
yang dapat meningkatan motivasi siswa
mengikuti layanan konseling perorangan.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif (survei) korelasional.
Tempat penelitian, yaitu di SMK Al Hidayah 1
|118
Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh
siswa-siswi SMK Al Hidayah 1 Jakarta Tahun
Ajaran 2015/2016 yang berjumlah 1.024 siswa.
Dari populasi tersebut ditarik sampel secara acak
dan proporsional menggunakan rumus Slovin
Formula (Sevilla, 1992), sehingga didapatkan
besaran sampel, yaitu 288 siswa.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan angket dengan Rating Scale,
dimana skala pengukuran pada data penelitian ini
merupakan skala ordinal, untuk membedakan
kategori berdasarkan tingkat atau urutan. Sebagai
unit ukur, persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan sebagai variabel X
meliputi aspek persepsi siswa atas (1) tujuan dan
manfaat konseling perorangan, (2) peran
konselor dan konseli dalam konseling
perorangan, dan (3) proses dan kegiatan dalam
konseling perorangan.
Sementara itu, motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan sebagai variabel Y
meliputi aspek (1) ketertarikan terhadap suasana
konseling, (2) dorongan untuk melakukan
konseling, dan (3) kebutuhan untuk melakukan
konseling. Reliabilitas skor angket pada 32 butir
item skala persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan mencapai 0.89; dan
reliabilitas skor angket pada 32 butir item skala
motivasi siswa mengikuti konseling perorangan
mencapai 0.90. Analisis data dalam penelitian
ini menggunakan uji non-parametrik yaitu
koefisien korelasi Gamma dan Somers’D.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persepsi Siswa terhadap Layanan Konseling
Perorangan
Gambaran terkait persepsi siswa
terhadap
layanan
konseling
perorangan
sebagaimana disajikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Deskripsi persepsi siswa terhadap layanan konseling perorangan di SMK
Skor
Kategori
Frekuensi
Prosentase
Sangat Baik
62
22%
> 104
Baik
184
64%
89 - 104
Cukup Baik
37
13%
73 - 88
Kurang Baik
5
2%
57 - 72
Tidak baik
0
0%
> 56
Jumlah
288
100%
Sumber: Diolah dari data penelitian 2016
Dari Tabel 1 di atas, dapat dilihat sebesar
22% siswa yang memiliki persepsi terhadap
layanan konseling perorangan dalam kategori
sangat baik sebanyak 62 siswa, sebesar 64%
119 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
kategori baik sebanyak 184 siswa, sebanyak 37
siswa dengan presentase 13% kategori cukup
baik, sedangkan untuk kategori kurang baik
sebanyak 5 siswa dengan presentase sebesar 2%,
dan 0% atau tidak ada siswa dalam kategori tidak
baik. Dengan demikian, mayoritas siswa SMK
Al Hidayah 1 Jakarta memiliki tingkat persepsi
yang baik terhadap layanan konseling
perorangan.
Akan tetapi, jika ditelaah berdasarkan
program keahlian tertentu di SMK Al Hidayah 1
Jakarta, yaitu (1) Program keahlian akuntansi, (2)
Program Keahlian Administrasi Perkantoran, (3)
Program Keahlian Pemasaran, dan (4) Program
Keahlian Teknik Komputer dan Jaringan,
ditemukan variasi persepsi yang berbeda-beda.
Persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan pada program keahlian
Akuntansi ditemukan bahwa 50 (69%) siswa
mempersepsikan Baik, 16 (22%) siswa
mempersepsikan sangat baik, 6 (8%) siswa
mempersepsikan cukup baik dan tidak ada siswa
mempersepsikan layanan konseling perorangan
kurang baik atau tidak baik. Sementara itu, pada
program keahlian Administrasi Perkantoran
ditemukan
bahwa
52
(63%)
siswa
mempersepsikan Baik, 13 (16%) siswa
(a) Akuntansi
(b) Administrasi Perkantoran
mempersepsikan sangat baik, 15 (18%) siswa
mempersepsikan cukup baik dan 2 (2%) siswa
mempersepsikan kurang baik, dan tidak ada
siswa mempersepsikan layanan konseling
perorangan kurang baik atau tidak baik.
Lebih lanjut, pada program keahlian
Pemasaran ditemukan bahwa 33 (63%) siswa
mempersepsikan Baik, 10 (19%) siswa
mempersepsikan sangat baik, 7 (13%) siswa
mempersepsikan cukup baik dan 2 (4%) siswa
mempersepsikan kurang baik, dan tidak ada
siswa mempersepsikan layanan konseling
perorangan kurang baik atau tidak baik.
Sementara itu, pada program keahlian
Teknik Komputer dan Jaringan, ditemukan
bahwa 49 (60%) siswa mempersepsikan Baik, 23
(28%) siswa mempersepsikan sangat baik, 9
(11%) siswa mempersepsikan cukup baik dan 1
(1%) siswa mempersepsikan kurang baik, dan
tidak ada siswa mempersepsikan layanan
konseling perorangan kurang baik atau tidak
baik.
Perbandingan gambaran persepsi siswa
terhadap
layanan
konseling
perorangan
berdasarkan program keahlian sebagaimana
dijabarkan di atas dapat dilihat pada Gambar 1
berikut.
(c) Pemasaran
(d) Tek. Komputer dan Jaringan
Gambar 1. Perbandingan deskripsi persepsi siswa terhadap layanan konseling perorangan
berdasarkan program keahlian SMK Al Hidayah 1 Jakarta
2. Motivasi siswa
perorangan
mengikuti
konseling
Analisis deskriptif juga dilakukan untuk
melihat bagaimana motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan. Gambaran terkait motivasi
siswa untuk mengikuti konseling perorangan
secara keseluruhan di SMK Al Hidayah 1 Jakarta
sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Deskripsi motivasi siswa mengikuti konseling perorangan di SMK
Skor
Kategori
Frekuensi
Prosentase
Sangat Tinggi
82
28%
> 107
Tinggi
152
53%
92 - 107
Cukup Tinggi
49
17%
75 - 91
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
Skor
59 - 74
> 58
Kategori
Rendah
Sangat Rendah
Jumlah
Sumber: Diolah dari data penelitian 2016
Berdasarkan Tabel 2 di atas, tidak
ditemukan siswa yang tidak memiliki motivasi
untuk mengikuti konseling perorangan. Semua
siswa memiliki motivasi untuk melakukan
konseling dengan variasi, yaitu sebanyak 82
(28%) siswa memiliki motivasi yang sangat
tinggi untuk mengikuti konseling perorangan;
sebanyak 152 (53%) siswa memiliki motivasi
yang tinggi untuk mengikuti konseling
perorangan; sebanyak 49 (17%) memiliki
motivasi yang cukup tinggi untuk mengikuti
konseling perorangan dan hanya 5 (2%) siswa
yang memiliki motivasi yang rendah untuk
melakukan konseling perorangan.
Dengan demikian, mayoritas siswa SMK
Al Hidayah 1 Jakarta memiliki tingkat motivasi
yang tinggi untuk mendapatkan akses pelayanan
konseling perorangan di sekolahnya.
Sebagaimana analisis deskriptif pada
variabel persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan, maka penulis juga
melakukan analisis untuk membandingkan
capaian motivasi siswa untuk mengikuti
konseling perorangan berdasarkan program
keahlian di SMK Al Hidayah 1 Jakarta.
Pada program keahlian akuntansi
ditemukan bahwa 44 (61%) siswa memiliki
motivasi yang tinggi, 18 (25%) siswa memiliki
motivasi yang sangat tinggi, 10 (14%) siswa
memiliki motivasi yang tinggi dan tidak ada
siswa yang memiliki motivasi untuk mengikuti
konseling perorangan rendah atau sangat rendah.
Sementara itu, pada program keahlian
a) Akuntansi
(b) Administrasi Perkantoran
Frekuensi
5
0
288
|120
Prosentase
2%
0%
100%
Administrasi Perkantoran ditemukan bahwa 47
(57%) siswa memiliki motivasi yang tinggi untuk
mengikuti konseling perorangan, 17 (21%) siswa
memiliki motivasi yang sangat tinggi, 16 (20%)
siswa memiliki motivasi yang cukup tinggi, 2
(2%) siswa memiliki motivasi yang rendah, dan
tidak ada siswa yang memiliki motivasi sangat
rendah untuk mengikuti konseling perorangan.
Lebih lanjut, pada program keahlian
Pemasaran ditemukan bahwa 22 (42%) siswa
memiliki motivasi yang tinggi untuk mengikuti
konseling perorangan, 20 (38%) siswa memiliki
motivasi yang sangat tinggi, 8 (15%) siswa
memiliki motivasi yang cukup tinggi, 2 (4%)
siswa memiliki motivasi yang rendah, dan tidak
ada siswa memiliki motivasi yang sangat rendah
untuk mengikuti konseling perorangan.
Sementara itu, pada program keahlian
Teknik Komputer dan Jaringan, ditemukan
bahwa 39 (48%) siswa memiliki motivasi yang
tinggi untuk mengikuti konseling perorangan, 27
(33%) siswa memiliki motivasi yang sangat
tinggi, 15 (18%) siswa memiliki motivasi yang
cukup tinggi, 1 (1%) siswa siswa memiliki
motivasi yang rendah, dan tidak ada siswa
memiliki motivasi yang sangat rendah untuk
mengikuti konseling perorangan.
Perbandingan gambaran motivasi siswa
untuk
mengikuti
konseling
perorangan
berdasarkan program keahlian sebagaimana
dijabarkan di atas dapat dilihat pada Gambar 2
berikut.
(c) Pemasaran
(d) Tek. Komputer dan Jaringan
Gambar 2. Perbandingan deskripsi motivasi siswa untuk mengikuti konseling perorangan berdasarkan
program keahlian di SMK Al Hidayah 1 Jakarta
121 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
3. Analisis Data Penelitian
Analisis
data
dilakukan
dengan
menggunakan korelasi dengan data kuantitatif.
Sebelumnya, dilakukan uji persyaratan analisis
data yang meliputi (1) uji normalitas untuk
mengetahui apakah data berasal dari populasi
berdistribusi normal atau tidak, dan (2) uji
linearitas untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat linier atau
tidak.
Berdasarkan
uji
normalitas
data
ditemukan bahwa bahwa nilai probabilitas
(Asymp. Sig. (2-tailed)) data pada skala persepsi
dan motivasi siswa mengikuti konseling
perorangan sebesar 0.04 dengan menggunakan
taraf signifikansi alpha 5% atau (0.05), maka
diketahui bahwa nilai probabilitas 0.04 lebih
kecil dari 0.05, maka H0 ditolak. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa data persepsi dan motivasi
siswa
mengikut
konseling
perorangan
berdistribusi tidak normal.
Selanjutnya,
pada
uji
linearitas
ditemukan bahwa data pada variabel penelitian
memiliki nilai signifikansi yang lebih kecil dari
0.05, yaitu 0.000 < 0.05, hal ini menunjukkan
bahwa variabel penelitian adalah linear. Hal ini
juga dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Scatterplot hubungan antara variabel X dan Y
Berdasarkan gambar Scatterplot di atas
diketahui hubungan antar variabel dalam bentuk
titik-titik pertemuan nilai kuantitatif antara antara
variabel X dan Y yang hendak dianalisis
mengikuti garis lurus. Jadi peningkatan atau
penurunan kuantitas di satu variabel akan diikuti
secara linear oleh peningkatan atau penurunan
kuantitas di variabel lainnya. Dengan data skala
pengukuran pada data penelitian ini merupakan
skala ordinal pada sebaran populasi yang
berdistribusi tidak normal dan variabel penelitian
bersifat linear maka disimpulkan bahwa untuk
melakukan pengujian hipotesis dalam penelitian
ini menggunakan statistik non-parametrik
menggunakan uji korelasi Gamma dan Somer’s
D. Pengujian hipotesis dengan penggunaan
rumus Gamma dan Somer’s D.
Adapun hasil uji hipotesis diperoleh nilai
koefisien korelasi antara persepsi siswa terhadap
layanan konseling perorangan dengan motivasi
siswa mengikuti konseling perorangan sebesar
0.496 ≠ 0, menunjukkan bahwa terdapat
hubungan. Dikatakan ada hubungan jika nilai
Sommer’s D berkisar antara -1 (hubungan tidak
searah sempurna) dan +1 (hubungan searah
sempurna). Nilai 0.496 mendekati nilai 0.5
dengan kategori korelasi yang cukup kuat dengan
hubungan yang searah (positif) antara persepsi
dengan motivasi siswa mengikuti konseling
perorangan di SMK Al Hidayah 1 Jakarta.
Untuk mengetahui apakah koefisien
korelasi tersebut memiliki hubungan yang
bermakna atau tidak, dilakukan uji signifikansi
antara variabel X dan variabel Y dengan taraf
signifikansi (α) 5% atau sama dengan 0.05.
Apabila -Z Score ≥ -Z tabel atau +Z Score ≥ +Z
tabel, maka dikatakan ada hubungan yang
signifikan. Sebaliknya, Apabila -Z Score ≤ -Z
tabel atau +Z Score ≤ +Z tabel, maka dikatakan
tidak ada hubungan yang signifikan. Estimasi
nilai Z score pada uji Somer’s dilakukan melalui
perhitungan sebagai berikut:
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
Berdasarkan analisis data yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa nilai zhitung >
ztabel atau 6.523 > 1.96, sehingga dapat
diputuskan untuk menolak H0 atau ada hubungan
yang signifikan antara persepsi siswa terhadap
pelayanan konseling dan motivasi siswa
mengikuti layanan konseling perorangan.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan yang dilakukan atas Hubungan
Persepsi dengan Motivasi Siswa Mengikuti
Konseling Perorangan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Al Hidayah 1 Jakarta, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Persepsi
siswa terhadap layanan konseling perorangan di
SMK Al Hidayah 1 Jakarta berada pada kategori
Baik, (2) Motivasi siswa mengikuti konseling
perorangan di SMK Al Hidayah 1 Jakarta berada
pada kategori Tinggi, dan (3) terdapat hubungan
yang cukup kuat, positif (searah) dan signifikan
antara persepsi dengan motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan di SMK Al Hidayah 1
Jakarta.
Guru Bimbingan dan Konseling di
sekolah hendaknya mampu menciptakan suasana
kondusif dan membangun persepsi siswa ke arah
yang positif terhadap layanan konseling
perorangan serta meningkatkan kemampuan dan
kualitas sebagai guru bimbingan dan konseling di
sekolah. Dengan membekali keterampilan dan
wawasan yang luas, seorang guru bimbingan dan
konseling
disekolah
dapat
memberikan
pelayanan
konseling khususnya
layanan
konseling perorangan dengan lebih baik dan
semakin meningkat kualitas dalam proses
pelaksanaannya dan motivasi siswa untuk
|122
mengikuti konseling perorangan juga menjadi
lebih tinggi.
Para siswa hendaknya dapat secara
sukarela dan memberikan respon positif terhadap
layanan konseling perorangan sehingga siswa
dapat
memanfaatkan
layanan
konseling
perorangan dengan sebaik-baiknya untuk
membantu hambatan-hambatan yang dialami
serta
dalam
rangka
mengenali
dan
mengembangkan potensi yang dimiliki. Sehingga
dengan anggapan atau persepsi yang semakin
baik atas layanan konseling perorangan, maka
tingkat motivasi yang dimiliki akan semakin
tinggi untuk berperan dalam layanan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Gatti, F. M., Brivio, E., & Calciano, S. (2016).
“Hello! I know you help people here,
right?”: A qualitative study of young
people’s acted motivations in text-based
counseling. Children and Youth Services
Review,
71,
27–35.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2016.1
0.029
Good, G. E., Komiya, N., Good, G. E., &
Sherrod, N. B. (1999). Emotional Openness
as a Predictor of College Students â€TM
Attitudes Toward Seeking Professional
Psychological Help Emotional Openness as
a Predictor of College Students â€TM
Attitudes Toward Seeking Psychological
Help. Journal of Counseling Psychology,
47(June
2016),
138–143.
https://doi.org/10.1037/AJ022-0167
Gruhl, E., & Van Leuven, K. A. (2014).
Motivational interviewing for adolescents:
Behavior counseling for diet and exercise.
123 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
Journal for Nurse Practitioners, 10(7),
493–499.
https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2014.04.00
6
Houfek, J. F., Soltis-Vaughan, B. S., Atwood, J.
R., Reiser, G. M., & Schaefer, G. B. (2015).
Adults’ perceptions of genetic counseling
and genetic testing. Applied Nursing
Research,
28(1),
25–30.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2014.03.001
Hurlock, E. B. (2001). Developmental
psychology. Tata McGraw-Hill Education.
Iarussi, M. H., Tyler, J. M., Littlebear, S., &
Hinkle, M. S. (2013). Integrating
Motivational Interviewing into a Basic
Counseling Skills Course to Enhance
Counseling Self-Efficacy. The Professional
Counselor,
3(3),
161–175.
https://doi.org/10.15241/mhi.3.3.161
Kleinginna, P. R., & Kleinginna, A. M. (1981).
A categorized list of motivation definitions,
with a suggestion for a consensual
definition. Motivation and Emotion, 5(3),
263–291.
https://doi.org/10.1007/BF00993889
Legg, K. T., & Newton, M. (2016). Counselling
adults who experience a first seizure.
Seizure,
1–5.
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2016.09.01
2
Lin, Y. (2001). The effects of counseling styles
and stages on perceived counselor
effectiveness from Taiwanese female
university clients. Special Issue: Research
in Counseling Process and Outcome, 8(1),
35–60.
Retrieved
from
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&
PAGE=reference&D=psyc3&NEWS=N&
AN=2002-01509-003
Lindsay, A., & Langevin, M. (2017).
Psychological counseling as an adjunct to
stuttering treatment: Clients’ experiences
and perceptions. Journal of Fluency
Disorders,
52,
1–12.
https://doi.org/10.1016/j.jfludis.2017.01.00
3
Morgan, G. A., Harmon, R. J., & Maslin-Cole,
C. A. (1990). Mastery motivation:
Definition and measurement. Early
Education & Development, 1(5), 318–339.
https://doi.org/10.1207/s15566935eed0105
Nirenberg, T., Baird, J., Longabaugh, R., &
Mello, M. J. (2013). Motivational
counseling reduces future police charges in
court referred youth. Accident Analysis and
Prevention,
53,
89–99.
https://doi.org/10.1016/j.aap.2013.01.006
Paulson, B., Truscott, D., & Stuart, J. (1999).
(Paulson, Truscott & Stuart, 1999).pdf.
Journal of Counseling & Development.
https://doi.org/10.1037/0022-0167.46.3.317
Prayitno. (2012). Jenis Layanan dan Kegiatan
Pendukung Konseling. Padang: Jurusan
Bimbingan dan Konseling FIP-UNP.
Prayitno, & Amti, E. (2009). Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rhineka
Cipta.
Rangka, I. B. (2015). Genogram and Narrative
Counseling: a Approach for Helping
Student to Find Direction of Career Choice.
In The Association of Psychological and
Educational Counselors of Asia-Pacific
(APECA): A Counseling Based Approach
to Health and Wellness. Salatiga: UKSW Salatiga.
Rubin, O. (2014). Perceptions of Educational
Counseling as a Profession: The Role of
Education. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 116, 3646–3648.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.01.81
7
Ryan, R. M., Lynch, M. F., Vansteenkiste, M., &
Deci, E. L. (2010). Motivation and
Autonomy in Counseling, Psychotherapy,
and Behavior Change: A Look at Theory
and Practice 1 7. The Counseling
Psychologist,
39(2),
193–260.
https://doi.org/10.1177/0011000009359313
Santrock, J. W. (1997). Life-span development.
New York: Brown & Benchmark
Publishers Dubuque, IA.
Scheel, M. J., Davis, C. K., & Henderson, J. D.
(2012). Therapist Use of Client Strengths:
A Qualitative Study of Positive Processes.
The Counseling Psychologist, 20(5), 1–36.
https://doi.org/10.1177/0011000012439427
Scheel, M. J., Madabhushi, S., & Backhaus, A.
(2009). The Academic Motivation of AtRisk Students in a Counseling Prevention
Program. Counseling Psychologist, 37(8),
1147–1178.
https://doi.org/10.1177/0011000009338495
Sevilla, C. G. (1992). Research methods. Quezon
City: Rex Bookstore, Inc.
Snyder, J. F., Hill, C. E., & Derksen, T. P.
(1972). Why some students do not use
university counseling facilities. Journal of
Counseling Psychology, 19(4), 263–268.
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
https://doi.org/10.1037/h0033075
Strowig, R. W., & Sheets, S. E. (1967). Student
Perception of Counselor Role. Personnel
and Guidance Journal, May, 926–931.
Suwandi, A., Folastri, S., Rangka, I. B., Sofyan,
A., Hidayat, R., & Fijriani. (2014). Teknik
dan Praktik Laboratorium Konseling:
Panduan Praktis-Operasional Konseling
Perorangan (I). Bandung: Mujahid Press.
Thomason, T. (2008). The Influence of
Perception on the Search for Meaning in
Counseling. Wisconsin Counseling Journal,
(22),
39–47.
Retrieved
from
http://works.bepress.com/timothy_thomaso
n/17/
Vasquez-Martinez,
C.
(2015).
Student
Perception. Statewide Agricultural Land
Use
Baseline
2015,
1.
https://doi.org/10.1017/CBO978110741532
4.004
Wantz, R. A., & Firmin, M. (2011). Perceptions
of professional counselors: Survey of
college student views. The Professional
Counselor: Research and Practice, 1(1),
71–81. https://doi.org/10.15241/raw.1.1.71
|124
Volume 1 Nomor 1 Februari 2017. Hal 116-124
p-ISSN: 2549-1857; e-ISSN: 2549-4279
(Diterima: bulan-2017; di revisi: bulan-2017; dipublikasikan: bulan-2017)
Hubungan Persepsi Dengan Motivasi Siswa Sekolah Menengah Kejuruan
Dalam Konseling Perorangan
1
Diastuti, 2Itsar Bolo Rangka, 3Wahyu Eka Prasetyaningtyas, 4Dian Renata
Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
Correspondence email: [email protected]
1234
Abstrak: Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi
siswa dengan motivasi siswa mengikuti konseling perorangan. Pengumpulan data
dilakukan terhadap 288 siswa di SMK Al Hidayah 1 Jakarta. Analisis data menggunakan
uji koefisien korelasi Gamma dan Somers’D. Hasil penelitian ditemukan bahwa nilai
koefisien Gamma dan Somers’D mencapai 0.496 dengan Zhitung > Ztabel atau 6.523 > 1.96.
Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan dan searah (positif) antara persepsi siswa
terhadap pelayanan konseling dan motivasi siswa mengikuti layanan konseling
perorangan.
Kata kunci: Konseling perorangan, persepsi, motivasi, konseling
Abstract: This study aimed to perform relationship between students perceptions on
counselling practice with motivational student’s in to individual counselling process.
Data collection was conducted against 288 students in Al Hidayah 1 Vocational School Jakarta. Data analysis used the correlation coefficient test Gamma and Somers'D. The
research findings showed coefficient Gamma and Somers'D test reached 0496 with Zhitung
> Ztable or 6,523 > 1.96. It means there is a significant relationship and positive direction
between the perceptions of students towards counselling and motivation of students
followed individual counselling service.
Keywords: Individual counseling; perceptions; motivation; counseling.
PENDAHULUAN
Pelayanan Bimbingan dan Konseling
(BK) di sekolah terdiri atas 10 (sepuluh) jenis
layanan dan 6 (enam) kegiatan pendukung. Tiap
layanan dalam BK memiliki tujuan dan manfaat
dalam setiap kegiatannya, salah satunya yaitu
layanan konseling perorangan yang merupakan
jantung hati dari pelayanan BK secara
menyeluruh (Prayitno, 2012; Prayitno & Amti,
2009).
Layanan konseling perorangan diberikan
kepada seluruh siswa, baik untuk siswa yang
datang sendiri kepada guru BK (Suwandi et al.,
2014) ataupun siswa yang ditunjuk oleh guru
mata pelajaran atau wali kelas untuk diundang
melakukan konseling perorangan dengan guru
BK (Prayitno, 2012). Siswa dapat menerima
layanan dari konselor di ruang BK atau pusat
konseling di sekolah, baik pada jam
pembelajaran maupun di luar jam pembelajaran.
Idealnya siswa akan mencari pusat
pelayanan konseling saat mereka membutuhkan
konsultasi dan/atau mengalami masalah; dan
rata-rata siswa mengunjungi pusat pelayanan
konseling sebanyak 5 kali tiap minggu (VasquezMartinez, 2015). Akan tetapi, banyak siswa yang
menghindari untuk berpartisipasi dalam sesi
konseling (Ryan, Lynch, Vansteenkiste, & Deci,
2010) karena beberapa alasan sebagaimana yang
diidentifikasi oleh Snyder, Hill, & Derksen,
(1972), yaitu: (1) klien tidak mengenal dengan
baik “apa itu konseling”, (2) adanya “stigma”
yang memandang konseling sebagai hal yang
tidak begitu menarik untuk diikuti bahkan
sebaiknya dihindari, (3) klien tidak memiliki
Ini adalah artikel dengan akses terbuka dibawah licenci CC BY-NC-4.0
(https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/ )
117 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
informasi yang menyeluruh terkait proses
konseling, (4) teman dekat diletakkan pada
pilihan pertama bagi klien ketika menghadapi
masalah pribadi dibanding orang lainnya,
termasuk konselor, (5) faktor gangguan
psikologis yang amat berat, (6) pengaruh orang
lain untuk tidak menggunakan layanan
konseling.
Siswa di jenjang pendidikan menengah,
khususnya di Sekolah menengah kejuruan
(SMK) merupakan kelompok individu yang
perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal ini
didasari fakta bahwa periode perkembangan usia
remaja terjadi banyak perubahan yang cukup
singnifikan
yang di
satu sisi
dapat
menguntungkan dan di sisi lain merugikan siswa
apabila tidak ditangani dengan baik (Hurlock,
2001).
Perubahan-perubahan tersebut di atas
meliputi fisik, emosional, hubungan sosial
dengan orang lain, adaptasi lingkungan, suasana
belajar, dan berbagai masalah yang mengikutinya
(Santrock, 1997). Dalam hal ini, keberadaan
pelayanan BK dibutuhkan untuk memfasilitasi
perkembangan siswa selaku peserta didik di
sekolah (Prayitno, 2012). Akan tetapi,
keberadaan pelayanan BK di sekolah tidaklah
dirasa cukup apabila pelayanan BK itu sendiri
tidak dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi siswa, sehingga siswa tidak
memiliki motivasi untuk menggunakan akses
pelayanan BK di sekolah.
Penelitian yang dilakukan oleh Strowig
& Sheets, (1967) dalam kaitannya dengan sikap
siswa terhadap pelayanan BK ditemukan bahwa
siswa pada tahun pertama menujukkan sikap
negatif terhadap layanan BK di sekolah, dan
mulai cenderung positif pada tahun kedua.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh
Wantz & Firmin, (2011) ditemukan bahwa siswa
lebih peduli terhadap proses konseling, apabila
konselor
memiliki
kepedulian
dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas,
memiliki wawasan yang luas (Rubin, 2014), dan
memiliki self-efikasi diri yang baik (Iarussi,
Tyler, Littlebear, & Hinkle, 2013). Mencermati
hal tersebut, maka peran konselor sebagai orang
dewasa dalam menjalin hubungan dan
memberikan perhatian terhadap siswa (Michael
John Scheel, Madabhushi, & Backhaus, 2009)
mutlak diperlukan.
Disadari pula bahwa keberhasilan proses
konseling lainnya terletak pada keberfungsian
dan kolaborasi konselor dengan klien (Michael J
Scheel, Davis, & Henderson, 2012). Banyak
konselor sangat mengharapkan klien mereka
menampilkan
motivasi
untuk
mengikuti
konseling, meskipun kenyataannya diketahui
sebenarnya motivasi klien mengikuti konseling
cukup rendah (Ryan et al., 2010). Pada kondisi
tersebut, konselor harus mampu meletakkan
pandangan bahwa satu-satunya orang yang
mampu memecahkan masalah, adalah orang
(klien) itu sendiri, dan konselor wajib menjamin
dan memfasilitasi terciptanya suasana konseling
yang penuh kepedulian dan rasa empati (Lindsay
& Langevin, 2017; Prayitno, 2012). Konselor
juga harus dapat memupuk terciptakan “aliansi
teraputik” yang maksimal dalam proses
konseling (Rangka, 2015) dengan tanpa
membeda-bedakan
nilai-nilai,
budaya,
kepercayaan, cara pandang terhadap kehidupan,
kebutuhan dan ekspektasi diri klien (Lin, 2001).
Hal ini dapat membuat siswa memandang
kehadiran pelayanan BK di sekolah sebagai suatu
keuntungan.
Diperlukan pula kesadaran dalam diri
siswa selaku klien untuk melihat konseling
sebagai suatu hubungan perbantuan yang
menjanjikan terentaskannya masalah yang
dihadapi oleh siswa. Akan tetapi, hal tersebut
hanya dapat tercipta jika ada persepsi yang baik
terhadap layanan konseling dan motivasi untuk
mengikuti konseling.
Persepsi merujuk pada bagaimana otak
manusia memproses dan mengorganisasikan
seluruh arus informasi yang berasal dari luar ke
dalam diri manusia berdasarkan daya tangkap /
kemampuan panca indra tertentu (Thomason,
2008). Sementara itu, pengertian motivasi dapat
diartikan sebagai mekanisme internal dan
eksternal (Kleinginna & Kleinginna, 1981), yang
mendorong manusia untuk melakukan suatu hal
tertentu (Morgan, Harmon, & Maslin-Cole,
1990). Persepsi klien terhadap konseling sangat
penting untuk membantu konselor merancang
program yang tepat bagi pelayanan konseling
yang akan dilakukannya (Paulson, Truscott, &
Stuart, 1999). Hal yang sama pula berlaku bagi
aspek motivasi klien dalam mengikuti konseling
karena motivasi klien adalah kunci utama
daripada kekuatan dan keberhasilan konseling
(Ryan et al., 2010; Michael J Scheel et al., 2012).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
persepsi dan motivasi siswa melakukan
konseling telah banyak didokumentasikan oleh
para ahli, antara lain ekpresi yang ditampilkan
konselor dalam proses konseling (Paulson et al.,
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
1999), ketepatan waktu dalam konseling (Legg
& Newton, 2016), pengalaman yang didapatkan
selama proses konseling berlangsung (Good,
Komiya, Good, & Sherrod, 1999; Houfek, SoltisVaughan, Atwood, Reiser, & Schaefer, 2015)
kelancaran dalam berkomunikasi (Gatti, Brivio,
& Calciano, 2016; Good et al., 1999) adanya
kolaborasi yang sehat antara konselor dengan
klien dengan prinsip pemberdayaan (Gruhl &
Van Leuven, 2014), adanya upaya untuk
menegakkan
kemandirian
klien
dengan
memberikan kebebasan untuk memilih solusi
(Nirenberg, Baird, Longabaugh, & Mello, 2013),
keterbukaan secara emosional (Good et al.,
1999), dan ketersediaan fasilitas pendukung
untuk melaksanakan konseling (Snyder et al.,
1972).
Tujuan penelitian ini, yaitu: (1) untuk
mengetahui persepsi siswa mengenai layanan
konseling perseorangan yang diberikan guru BK,
(2) untuk mengetahui motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan, dan (3) untuk mengetahui
hubungan persepsi siswa dengan motivasi siswa
mengikuti konseling perorangan di SMK Al
Hidayah I Jakarta. Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini, yaitu ada hubungan uang
singnifikan antara persepsi siswa terhadap
pelayanan konseling dan motivasi siswa
mengikuti layanan konseling perorangan.
Dengan demikian guru BK dapat
melakukan peningkatan rencana pengembangan
pelayanan konseling perorangan di sekolah serta
dapat lebih meningkatkan kegiatan-kegiatan
yang dapat meningkatan motivasi siswa
mengikuti layanan konseling perorangan.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif (survei) korelasional.
Tempat penelitian, yaitu di SMK Al Hidayah 1
|118
Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh
siswa-siswi SMK Al Hidayah 1 Jakarta Tahun
Ajaran 2015/2016 yang berjumlah 1.024 siswa.
Dari populasi tersebut ditarik sampel secara acak
dan proporsional menggunakan rumus Slovin
Formula (Sevilla, 1992), sehingga didapatkan
besaran sampel, yaitu 288 siswa.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan angket dengan Rating Scale,
dimana skala pengukuran pada data penelitian ini
merupakan skala ordinal, untuk membedakan
kategori berdasarkan tingkat atau urutan. Sebagai
unit ukur, persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan sebagai variabel X
meliputi aspek persepsi siswa atas (1) tujuan dan
manfaat konseling perorangan, (2) peran
konselor dan konseli dalam konseling
perorangan, dan (3) proses dan kegiatan dalam
konseling perorangan.
Sementara itu, motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan sebagai variabel Y
meliputi aspek (1) ketertarikan terhadap suasana
konseling, (2) dorongan untuk melakukan
konseling, dan (3) kebutuhan untuk melakukan
konseling. Reliabilitas skor angket pada 32 butir
item skala persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan mencapai 0.89; dan
reliabilitas skor angket pada 32 butir item skala
motivasi siswa mengikuti konseling perorangan
mencapai 0.90. Analisis data dalam penelitian
ini menggunakan uji non-parametrik yaitu
koefisien korelasi Gamma dan Somers’D.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persepsi Siswa terhadap Layanan Konseling
Perorangan
Gambaran terkait persepsi siswa
terhadap
layanan
konseling
perorangan
sebagaimana disajikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Deskripsi persepsi siswa terhadap layanan konseling perorangan di SMK
Skor
Kategori
Frekuensi
Prosentase
Sangat Baik
62
22%
> 104
Baik
184
64%
89 - 104
Cukup Baik
37
13%
73 - 88
Kurang Baik
5
2%
57 - 72
Tidak baik
0
0%
> 56
Jumlah
288
100%
Sumber: Diolah dari data penelitian 2016
Dari Tabel 1 di atas, dapat dilihat sebesar
22% siswa yang memiliki persepsi terhadap
layanan konseling perorangan dalam kategori
sangat baik sebanyak 62 siswa, sebesar 64%
119 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
kategori baik sebanyak 184 siswa, sebanyak 37
siswa dengan presentase 13% kategori cukup
baik, sedangkan untuk kategori kurang baik
sebanyak 5 siswa dengan presentase sebesar 2%,
dan 0% atau tidak ada siswa dalam kategori tidak
baik. Dengan demikian, mayoritas siswa SMK
Al Hidayah 1 Jakarta memiliki tingkat persepsi
yang baik terhadap layanan konseling
perorangan.
Akan tetapi, jika ditelaah berdasarkan
program keahlian tertentu di SMK Al Hidayah 1
Jakarta, yaitu (1) Program keahlian akuntansi, (2)
Program Keahlian Administrasi Perkantoran, (3)
Program Keahlian Pemasaran, dan (4) Program
Keahlian Teknik Komputer dan Jaringan,
ditemukan variasi persepsi yang berbeda-beda.
Persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan pada program keahlian
Akuntansi ditemukan bahwa 50 (69%) siswa
mempersepsikan Baik, 16 (22%) siswa
mempersepsikan sangat baik, 6 (8%) siswa
mempersepsikan cukup baik dan tidak ada siswa
mempersepsikan layanan konseling perorangan
kurang baik atau tidak baik. Sementara itu, pada
program keahlian Administrasi Perkantoran
ditemukan
bahwa
52
(63%)
siswa
mempersepsikan Baik, 13 (16%) siswa
(a) Akuntansi
(b) Administrasi Perkantoran
mempersepsikan sangat baik, 15 (18%) siswa
mempersepsikan cukup baik dan 2 (2%) siswa
mempersepsikan kurang baik, dan tidak ada
siswa mempersepsikan layanan konseling
perorangan kurang baik atau tidak baik.
Lebih lanjut, pada program keahlian
Pemasaran ditemukan bahwa 33 (63%) siswa
mempersepsikan Baik, 10 (19%) siswa
mempersepsikan sangat baik, 7 (13%) siswa
mempersepsikan cukup baik dan 2 (4%) siswa
mempersepsikan kurang baik, dan tidak ada
siswa mempersepsikan layanan konseling
perorangan kurang baik atau tidak baik.
Sementara itu, pada program keahlian
Teknik Komputer dan Jaringan, ditemukan
bahwa 49 (60%) siswa mempersepsikan Baik, 23
(28%) siswa mempersepsikan sangat baik, 9
(11%) siswa mempersepsikan cukup baik dan 1
(1%) siswa mempersepsikan kurang baik, dan
tidak ada siswa mempersepsikan layanan
konseling perorangan kurang baik atau tidak
baik.
Perbandingan gambaran persepsi siswa
terhadap
layanan
konseling
perorangan
berdasarkan program keahlian sebagaimana
dijabarkan di atas dapat dilihat pada Gambar 1
berikut.
(c) Pemasaran
(d) Tek. Komputer dan Jaringan
Gambar 1. Perbandingan deskripsi persepsi siswa terhadap layanan konseling perorangan
berdasarkan program keahlian SMK Al Hidayah 1 Jakarta
2. Motivasi siswa
perorangan
mengikuti
konseling
Analisis deskriptif juga dilakukan untuk
melihat bagaimana motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan. Gambaran terkait motivasi
siswa untuk mengikuti konseling perorangan
secara keseluruhan di SMK Al Hidayah 1 Jakarta
sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Deskripsi motivasi siswa mengikuti konseling perorangan di SMK
Skor
Kategori
Frekuensi
Prosentase
Sangat Tinggi
82
28%
> 107
Tinggi
152
53%
92 - 107
Cukup Tinggi
49
17%
75 - 91
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
Skor
59 - 74
> 58
Kategori
Rendah
Sangat Rendah
Jumlah
Sumber: Diolah dari data penelitian 2016
Berdasarkan Tabel 2 di atas, tidak
ditemukan siswa yang tidak memiliki motivasi
untuk mengikuti konseling perorangan. Semua
siswa memiliki motivasi untuk melakukan
konseling dengan variasi, yaitu sebanyak 82
(28%) siswa memiliki motivasi yang sangat
tinggi untuk mengikuti konseling perorangan;
sebanyak 152 (53%) siswa memiliki motivasi
yang tinggi untuk mengikuti konseling
perorangan; sebanyak 49 (17%) memiliki
motivasi yang cukup tinggi untuk mengikuti
konseling perorangan dan hanya 5 (2%) siswa
yang memiliki motivasi yang rendah untuk
melakukan konseling perorangan.
Dengan demikian, mayoritas siswa SMK
Al Hidayah 1 Jakarta memiliki tingkat motivasi
yang tinggi untuk mendapatkan akses pelayanan
konseling perorangan di sekolahnya.
Sebagaimana analisis deskriptif pada
variabel persepsi siswa terhadap layanan
konseling perorangan, maka penulis juga
melakukan analisis untuk membandingkan
capaian motivasi siswa untuk mengikuti
konseling perorangan berdasarkan program
keahlian di SMK Al Hidayah 1 Jakarta.
Pada program keahlian akuntansi
ditemukan bahwa 44 (61%) siswa memiliki
motivasi yang tinggi, 18 (25%) siswa memiliki
motivasi yang sangat tinggi, 10 (14%) siswa
memiliki motivasi yang tinggi dan tidak ada
siswa yang memiliki motivasi untuk mengikuti
konseling perorangan rendah atau sangat rendah.
Sementara itu, pada program keahlian
a) Akuntansi
(b) Administrasi Perkantoran
Frekuensi
5
0
288
|120
Prosentase
2%
0%
100%
Administrasi Perkantoran ditemukan bahwa 47
(57%) siswa memiliki motivasi yang tinggi untuk
mengikuti konseling perorangan, 17 (21%) siswa
memiliki motivasi yang sangat tinggi, 16 (20%)
siswa memiliki motivasi yang cukup tinggi, 2
(2%) siswa memiliki motivasi yang rendah, dan
tidak ada siswa yang memiliki motivasi sangat
rendah untuk mengikuti konseling perorangan.
Lebih lanjut, pada program keahlian
Pemasaran ditemukan bahwa 22 (42%) siswa
memiliki motivasi yang tinggi untuk mengikuti
konseling perorangan, 20 (38%) siswa memiliki
motivasi yang sangat tinggi, 8 (15%) siswa
memiliki motivasi yang cukup tinggi, 2 (4%)
siswa memiliki motivasi yang rendah, dan tidak
ada siswa memiliki motivasi yang sangat rendah
untuk mengikuti konseling perorangan.
Sementara itu, pada program keahlian
Teknik Komputer dan Jaringan, ditemukan
bahwa 39 (48%) siswa memiliki motivasi yang
tinggi untuk mengikuti konseling perorangan, 27
(33%) siswa memiliki motivasi yang sangat
tinggi, 15 (18%) siswa memiliki motivasi yang
cukup tinggi, 1 (1%) siswa siswa memiliki
motivasi yang rendah, dan tidak ada siswa
memiliki motivasi yang sangat rendah untuk
mengikuti konseling perorangan.
Perbandingan gambaran motivasi siswa
untuk
mengikuti
konseling
perorangan
berdasarkan program keahlian sebagaimana
dijabarkan di atas dapat dilihat pada Gambar 2
berikut.
(c) Pemasaran
(d) Tek. Komputer dan Jaringan
Gambar 2. Perbandingan deskripsi motivasi siswa untuk mengikuti konseling perorangan berdasarkan
program keahlian di SMK Al Hidayah 1 Jakarta
121 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
3. Analisis Data Penelitian
Analisis
data
dilakukan
dengan
menggunakan korelasi dengan data kuantitatif.
Sebelumnya, dilakukan uji persyaratan analisis
data yang meliputi (1) uji normalitas untuk
mengetahui apakah data berasal dari populasi
berdistribusi normal atau tidak, dan (2) uji
linearitas untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat linier atau
tidak.
Berdasarkan
uji
normalitas
data
ditemukan bahwa bahwa nilai probabilitas
(Asymp. Sig. (2-tailed)) data pada skala persepsi
dan motivasi siswa mengikuti konseling
perorangan sebesar 0.04 dengan menggunakan
taraf signifikansi alpha 5% atau (0.05), maka
diketahui bahwa nilai probabilitas 0.04 lebih
kecil dari 0.05, maka H0 ditolak. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa data persepsi dan motivasi
siswa
mengikut
konseling
perorangan
berdistribusi tidak normal.
Selanjutnya,
pada
uji
linearitas
ditemukan bahwa data pada variabel penelitian
memiliki nilai signifikansi yang lebih kecil dari
0.05, yaitu 0.000 < 0.05, hal ini menunjukkan
bahwa variabel penelitian adalah linear. Hal ini
juga dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Scatterplot hubungan antara variabel X dan Y
Berdasarkan gambar Scatterplot di atas
diketahui hubungan antar variabel dalam bentuk
titik-titik pertemuan nilai kuantitatif antara antara
variabel X dan Y yang hendak dianalisis
mengikuti garis lurus. Jadi peningkatan atau
penurunan kuantitas di satu variabel akan diikuti
secara linear oleh peningkatan atau penurunan
kuantitas di variabel lainnya. Dengan data skala
pengukuran pada data penelitian ini merupakan
skala ordinal pada sebaran populasi yang
berdistribusi tidak normal dan variabel penelitian
bersifat linear maka disimpulkan bahwa untuk
melakukan pengujian hipotesis dalam penelitian
ini menggunakan statistik non-parametrik
menggunakan uji korelasi Gamma dan Somer’s
D. Pengujian hipotesis dengan penggunaan
rumus Gamma dan Somer’s D.
Adapun hasil uji hipotesis diperoleh nilai
koefisien korelasi antara persepsi siswa terhadap
layanan konseling perorangan dengan motivasi
siswa mengikuti konseling perorangan sebesar
0.496 ≠ 0, menunjukkan bahwa terdapat
hubungan. Dikatakan ada hubungan jika nilai
Sommer’s D berkisar antara -1 (hubungan tidak
searah sempurna) dan +1 (hubungan searah
sempurna). Nilai 0.496 mendekati nilai 0.5
dengan kategori korelasi yang cukup kuat dengan
hubungan yang searah (positif) antara persepsi
dengan motivasi siswa mengikuti konseling
perorangan di SMK Al Hidayah 1 Jakarta.
Untuk mengetahui apakah koefisien
korelasi tersebut memiliki hubungan yang
bermakna atau tidak, dilakukan uji signifikansi
antara variabel X dan variabel Y dengan taraf
signifikansi (α) 5% atau sama dengan 0.05.
Apabila -Z Score ≥ -Z tabel atau +Z Score ≥ +Z
tabel, maka dikatakan ada hubungan yang
signifikan. Sebaliknya, Apabila -Z Score ≤ -Z
tabel atau +Z Score ≤ +Z tabel, maka dikatakan
tidak ada hubungan yang signifikan. Estimasi
nilai Z score pada uji Somer’s dilakukan melalui
perhitungan sebagai berikut:
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
Berdasarkan analisis data yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa nilai zhitung >
ztabel atau 6.523 > 1.96, sehingga dapat
diputuskan untuk menolak H0 atau ada hubungan
yang signifikan antara persepsi siswa terhadap
pelayanan konseling dan motivasi siswa
mengikuti layanan konseling perorangan.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan yang dilakukan atas Hubungan
Persepsi dengan Motivasi Siswa Mengikuti
Konseling Perorangan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Al Hidayah 1 Jakarta, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Persepsi
siswa terhadap layanan konseling perorangan di
SMK Al Hidayah 1 Jakarta berada pada kategori
Baik, (2) Motivasi siswa mengikuti konseling
perorangan di SMK Al Hidayah 1 Jakarta berada
pada kategori Tinggi, dan (3) terdapat hubungan
yang cukup kuat, positif (searah) dan signifikan
antara persepsi dengan motivasi siswa mengikuti
konseling perorangan di SMK Al Hidayah 1
Jakarta.
Guru Bimbingan dan Konseling di
sekolah hendaknya mampu menciptakan suasana
kondusif dan membangun persepsi siswa ke arah
yang positif terhadap layanan konseling
perorangan serta meningkatkan kemampuan dan
kualitas sebagai guru bimbingan dan konseling di
sekolah. Dengan membekali keterampilan dan
wawasan yang luas, seorang guru bimbingan dan
konseling
disekolah
dapat
memberikan
pelayanan
konseling khususnya
layanan
konseling perorangan dengan lebih baik dan
semakin meningkat kualitas dalam proses
pelaksanaannya dan motivasi siswa untuk
|122
mengikuti konseling perorangan juga menjadi
lebih tinggi.
Para siswa hendaknya dapat secara
sukarela dan memberikan respon positif terhadap
layanan konseling perorangan sehingga siswa
dapat
memanfaatkan
layanan
konseling
perorangan dengan sebaik-baiknya untuk
membantu hambatan-hambatan yang dialami
serta
dalam
rangka
mengenali
dan
mengembangkan potensi yang dimiliki. Sehingga
dengan anggapan atau persepsi yang semakin
baik atas layanan konseling perorangan, maka
tingkat motivasi yang dimiliki akan semakin
tinggi untuk berperan dalam layanan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Gatti, F. M., Brivio, E., & Calciano, S. (2016).
“Hello! I know you help people here,
right?”: A qualitative study of young
people’s acted motivations in text-based
counseling. Children and Youth Services
Review,
71,
27–35.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2016.1
0.029
Good, G. E., Komiya, N., Good, G. E., &
Sherrod, N. B. (1999). Emotional Openness
as a Predictor of College Students â€TM
Attitudes Toward Seeking Professional
Psychological Help Emotional Openness as
a Predictor of College Students â€TM
Attitudes Toward Seeking Psychological
Help. Journal of Counseling Psychology,
47(June
2016),
138–143.
https://doi.org/10.1037/AJ022-0167
Gruhl, E., & Van Leuven, K. A. (2014).
Motivational interviewing for adolescents:
Behavior counseling for diet and exercise.
123 |
JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa Vol. 1 No. 2 Agustus 2017
Journal for Nurse Practitioners, 10(7),
493–499.
https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2014.04.00
6
Houfek, J. F., Soltis-Vaughan, B. S., Atwood, J.
R., Reiser, G. M., & Schaefer, G. B. (2015).
Adults’ perceptions of genetic counseling
and genetic testing. Applied Nursing
Research,
28(1),
25–30.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2014.03.001
Hurlock, E. B. (2001). Developmental
psychology. Tata McGraw-Hill Education.
Iarussi, M. H., Tyler, J. M., Littlebear, S., &
Hinkle, M. S. (2013). Integrating
Motivational Interviewing into a Basic
Counseling Skills Course to Enhance
Counseling Self-Efficacy. The Professional
Counselor,
3(3),
161–175.
https://doi.org/10.15241/mhi.3.3.161
Kleinginna, P. R., & Kleinginna, A. M. (1981).
A categorized list of motivation definitions,
with a suggestion for a consensual
definition. Motivation and Emotion, 5(3),
263–291.
https://doi.org/10.1007/BF00993889
Legg, K. T., & Newton, M. (2016). Counselling
adults who experience a first seizure.
Seizure,
1–5.
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2016.09.01
2
Lin, Y. (2001). The effects of counseling styles
and stages on perceived counselor
effectiveness from Taiwanese female
university clients. Special Issue: Research
in Counseling Process and Outcome, 8(1),
35–60.
Retrieved
from
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&
PAGE=reference&D=psyc3&NEWS=N&
AN=2002-01509-003
Lindsay, A., & Langevin, M. (2017).
Psychological counseling as an adjunct to
stuttering treatment: Clients’ experiences
and perceptions. Journal of Fluency
Disorders,
52,
1–12.
https://doi.org/10.1016/j.jfludis.2017.01.00
3
Morgan, G. A., Harmon, R. J., & Maslin-Cole,
C. A. (1990). Mastery motivation:
Definition and measurement. Early
Education & Development, 1(5), 318–339.
https://doi.org/10.1207/s15566935eed0105
Nirenberg, T., Baird, J., Longabaugh, R., &
Mello, M. J. (2013). Motivational
counseling reduces future police charges in
court referred youth. Accident Analysis and
Prevention,
53,
89–99.
https://doi.org/10.1016/j.aap.2013.01.006
Paulson, B., Truscott, D., & Stuart, J. (1999).
(Paulson, Truscott & Stuart, 1999).pdf.
Journal of Counseling & Development.
https://doi.org/10.1037/0022-0167.46.3.317
Prayitno. (2012). Jenis Layanan dan Kegiatan
Pendukung Konseling. Padang: Jurusan
Bimbingan dan Konseling FIP-UNP.
Prayitno, & Amti, E. (2009). Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rhineka
Cipta.
Rangka, I. B. (2015). Genogram and Narrative
Counseling: a Approach for Helping
Student to Find Direction of Career Choice.
In The Association of Psychological and
Educational Counselors of Asia-Pacific
(APECA): A Counseling Based Approach
to Health and Wellness. Salatiga: UKSW Salatiga.
Rubin, O. (2014). Perceptions of Educational
Counseling as a Profession: The Role of
Education. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 116, 3646–3648.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.01.81
7
Ryan, R. M., Lynch, M. F., Vansteenkiste, M., &
Deci, E. L. (2010). Motivation and
Autonomy in Counseling, Psychotherapy,
and Behavior Change: A Look at Theory
and Practice 1 7. The Counseling
Psychologist,
39(2),
193–260.
https://doi.org/10.1177/0011000009359313
Santrock, J. W. (1997). Life-span development.
New York: Brown & Benchmark
Publishers Dubuque, IA.
Scheel, M. J., Davis, C. K., & Henderson, J. D.
(2012). Therapist Use of Client Strengths:
A Qualitative Study of Positive Processes.
The Counseling Psychologist, 20(5), 1–36.
https://doi.org/10.1177/0011000012439427
Scheel, M. J., Madabhushi, S., & Backhaus, A.
(2009). The Academic Motivation of AtRisk Students in a Counseling Prevention
Program. Counseling Psychologist, 37(8),
1147–1178.
https://doi.org/10.1177/0011000009338495
Sevilla, C. G. (1992). Research methods. Quezon
City: Rex Bookstore, Inc.
Snyder, J. F., Hill, C. E., & Derksen, T. P.
(1972). Why some students do not use
university counseling facilities. Journal of
Counseling Psychology, 19(4), 263–268.
Diastuti,Rangka, Prasetyaningtyas, Renata. Khairani. Hubungan Persepsi
https://doi.org/10.1037/h0033075
Strowig, R. W., & Sheets, S. E. (1967). Student
Perception of Counselor Role. Personnel
and Guidance Journal, May, 926–931.
Suwandi, A., Folastri, S., Rangka, I. B., Sofyan,
A., Hidayat, R., & Fijriani. (2014). Teknik
dan Praktik Laboratorium Konseling:
Panduan Praktis-Operasional Konseling
Perorangan (I). Bandung: Mujahid Press.
Thomason, T. (2008). The Influence of
Perception on the Search for Meaning in
Counseling. Wisconsin Counseling Journal,
(22),
39–47.
Retrieved
from
http://works.bepress.com/timothy_thomaso
n/17/
Vasquez-Martinez,
C.
(2015).
Student
Perception. Statewide Agricultural Land
Use
Baseline
2015,
1.
https://doi.org/10.1017/CBO978110741532
4.004
Wantz, R. A., & Firmin, M. (2011). Perceptions
of professional counselors: Survey of
college student views. The Professional
Counselor: Research and Practice, 1(1),
71–81. https://doi.org/10.15241/raw.1.1.71
|124