Sebaran Medan Massa Medan Tekanan dan Ar

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus
Geostropik di Perairan Utara Papua pada Bulan Desember
1991
Adi Purwandana
Laboratorium Oseanografi Fisika dan Iklim
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
email: adi.purwandana@lipi.go.id

Abstrak. Perbedaan properti fisik massa air laut antara satu tempat dengan tempat lain
menghasilkan gaya gradien tekanan yang memicu aliran massa air laut. Kehadiran rotasi bumi
menghasilkan gaya Gaya Coriolis yang berkontribusi ketika terjadi perpindahan massa air ini.
Kombinasi kedua hal tersebut dikenal sebagai faktor utama pembentuk arus geostropik yang
berperan pada transpor massa air. Penelitian arus geostropik dan transpornya dilakukan
berdasarkan data hasil observasi Kapal Riset Baruna Jaya I pada bulan Desember 1990-Januari
1991. Terdapat lima stasiun hidrografi yang dianalisis dalam kajian ini, yakni transek utara-selatan
yang membentang dari ~57 km lepas pantai Papua hingga 220 km ke arah utara (laut lepas). Dikaji
pada awal Musim Barat Laut, terjadi pengangkatan lapisan termoklin seiring mendekati pesisir.
Fenomena tersebut diduga terjadi akibat perpindahan massa air karena arus terpicu angin Muson

Barat Laut yang mengarah ke Timur Laut (di belahan bumi utara), sehingga trasnspor Ekman
meninggalkan pesisir. Peristiwa ini memicu pengangkatan massa air dari lapisan dalam untuk
mengisi lapisan atas, dan diduga merupakan tahap awal fenomena upwelling musiman di perairan
pesisir utara Papua. Berdasarkan hasil analisis arus geostropik dan transpor diperoleh adanya
aliran intensif pada lapisan termoklin. Secara umum, kecepatan arus relatif terhadap tekanan 900
dbar memiliki rentang -29,2 hingga 29,0 cm s-1. Kecepatan arus meningkat seiring mendekati
pesisir. Identifikasi arus-arus yang terjadi didasarkan pada dua kategori aliran, yakni aliran ke
barat dan aliran ke timur. Arus-arus yang mengarah ke barat yakni SEC (utara) dan SEC (selatan),
dan EIC, dengan besar kecepatan 24,8; 14,2; dan 22,9 cm s-1. Arus yang mengarah ke timur yakni
NECC, NSCC, dan EUC; dengan besar kecepatan maksimum berturut-turut 20,3; 6,1; dan 29,0 cm
s-1. Estimasi net transpor dari keseluruhan penampang menghasilkan aliran massa air sebesar 0,58
± 0,18 Sv (1 Sv=106 m3/s).

Kata kunci: Data hidrografi, arus geostropik, transpor geostropik, perairan utara Papua.
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan utama penelitian di
bidang oseanografi fisika adalah untuk
mendapatkan penjelasan mengenai sirkulasi
massa air lautan dalam skala luas, sebagai kajian
awal untuk memahami sistem iklim global,

distribusi sedimen lautan, dan pergerakan
lainnya. Jika dibandingkan dengan penelitian
atmosfer, pengukuran untuk mendapatkan arus
lautan secara langsung lebih sulit dilakukan dan
membutuhkan banyak biaya [1].

Terdapat beberapa metode untuk
memperoleh keterangan seputar sirkulasi lautan
dengan menggunakan data hidrografi. Kajian
tentang
kesetimbangan
geostropik
dan
kesetimbangan hidrostatik merupakan dasar
dinamika dari metode-metode tersebut. Metodemetode ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
tipe, berdasarkan pada dinamika dan perbedaan
penerapannya: (1) metode deskriptif, (2) metode
diagnostik dengan mengabaikan pengaruh angin
dan dasar laut, dan (3) metode diagnostik
dengan memperhitungkan pengaruh angin dan

dasar laut [1].

FB1

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Dinamika topografi permukaan laut
relatif terhadap muka referensi yang lebih dalam
merupakan salah satu cara pengukuran sirkulasi
di permukaan laut [2]. Wyrtki [3] melakukan
investigasi kemungkinan menggunakan profil
temperatur
dari
XBT
(expendable
bathythermograph) dalam kaitannya dengan
kurva rata-rata temperatur-salinitas untuk
menentukan dinamika topografi.
Variasi dinamika topografi biasanya

dapat dikategorikan berdasarkan pemicunya
menjadi dua kelompok, yakni reguler dan
random. Variasi reguler dipengaruhi oleh siklus
tahunan struktur termal, kaitannya dengan siklus
pemanasan dan pendinginan, serta perubahan
sistem medan angin global. Proses ini
merupakan kontributor utama dalam perubahan
dinamika topografi karena secara langsung
mempengaruhi densitas. Sedangkan variabilitas
random dipengaruhi oleh kelokan arus-arus,
eddy, gelombang internal serta pasang-surut.
Lebih jauh lagi, pengaruh gesekan angin dan
pemompaan Ekman juga mengakibatkan
perubahan struktur temperatur dan densitas yang
memunculkan
dinamika
topografi
dan
berpengaruh pada pola aliran geostropik [3].
Pada area ekuator, di mana perubahan

temperatur lapisan permukaan kecil, maka
perubahan dinamika topografi akan lebih
dipengaruhi oleh ketebalan lapisan hangat
permukaan
akibat
perpindahan
vertikal
termoklin karena perubahan medan angin
ketimbang akibat pemanasasan dan pendinginan
lautan [3].
Distribusi dan variabilitas kedalaman
dinamik tertinggi di Samudera pasifik berada
berada di sebelah barat samudera, yakni pada
lokasi arus-arus batas barat (western boundary
current); serta secara umum di seluruh bagian
barat samudera dan area ekuator. Variabilitas
terkecil dijumpai di wilayah subpolar dan bagian
timur samudera. Lebih jauh Stommel [4] dan
Reid [5] menyebutkan standar deviasi berkisar
±2 hingga ±5 dyn m.

Dalam tulisan ini, metode diagnostik
dengan mengabaikan pengaruh gesekan angin
dan gesekan dasar laut akan digunakan untuk
mendapatkan karakteristik kedalaman dinamik,
arus geostropik, perkiraan nilai transpor massa
air, dan identifikasi transpor massa air di
perairan laut lepas utara Papua. Secara khusus,

perhitungan kecepatan dan transpor geostropik
ini hanya dilakukan pada akhir monsoon
tenggara memasuki monsoon barat laut (musim
peralihan), yakni bulan Desember.
METODOLOGI
Data yang dianalisis dalam kajian ini
diperoleh dari hasil pengukuran karakteristik
massa air, yakni temperatur dan salinitas dengan
menggunakan CTD (conductivity, temperature,
depth) yang terdapat pada Kapal Riset Baruna
Jaya BPPT dalam kegiatan ekspedisi pada bulan
Desember 1991 - Januari 1992 di perairan

sebelah utara Papua.
Analisis hanya dilakukan dengan
mengambil satu transek utara-selatan, yakni
pada stasiun-stasiun hidrografi yang tepat berada
di atas kepala burung, Papua (Stasiun 12, 13, 14,
15, dan 16). Kelima stasiun tersebut berturutturut berada pada posisi 133,521o BT dan 1,333o
LU; 133,520o BT dan 0,817o LU; 133,520o BT
dan 0,333o LU; 133,520o BT dan 0,167o LS;
133,520o BT dan 0,650o LS (Gambar 1).
Keseluruhan stasiun tersebut diukur pada
tanggal 27 Desember 1991.

GAMBAR 1. Posisi stasiun hidrografi dalam
ekspedisi Kapal Riset Baruna Jaya I pada bulan
Desember 1990-Januari 1991 yang dianalisis dalam
kajian ini.

Pengolahan
dilakukan
dengan

menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel,
ODV 4 (Ocean Data View), Surfer 9, dan Origin
6. Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini
hanya dilakukan dengan memilih papar acuan
level of no motion pada kedalaman 900 dBar.
Meskipun kedalaman pengukuran hingga 1000
meter, perangkat lunak yang digunakan (ODV)

FB2

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

membatasi pemilihan papar acuan supaya tidak
dilakukan dengan menggunakan batas terbawah
dari data. Disamping itu, menurut Rebert et al.
[6], pada stasiun-stasiun di dekat ekuator,
fluktuasi muka laut mencerminkan perubahan
densitas (medan massa) di atas 400 meter, dan
semakin menjauh dari ekuator menuju gyre

subtropis, muka laut hanya menggambarkan
perubahan struktur densitas lapisan dalam.
Dengan kata lain, pemilihan kedalaman
referensi atau papar acuan mulai 400 meter
sudah mencukupi karena aliran horizontal hanya
terkonsentrasi pada kedalaman kurang dari 400
meter [6].
Penentuan
pelapisan
massa
air
berdasarkan stratifikasi temperatur dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak Origin 6
dengan kriteria laju penurunan temperatur
lapisan termoklin atas dan bawah serta lapisan
dalam sebagaimana menurut Ilahude [7],
melalui analisis regresi linier untuk ketiga
lapisan tersebut. Lapisan termoklin atas, bawah,
dan dalam berturut-turut memiliki laju
penurunan temperatur 9,5oC; 1,3oC; dan 0,05oC

per 100 meter penurunan kedalaman. Gambar 2
memperlihatkan secara praktis penentuan
lapisan tercampur, lapisan termoklin atas dan
bawah, serta lapisan dalam.

Adapun penentuan kecepatan arus
geostropik dilakukan pada setiap antardua
stasiun hidrografi, dengan memperhatikan
gradien kedalaman dinamik antardua stasiun
tersebut. Perhitungan kecepatan geostropik
dilakukan sebagaimana menurut Pond dan
Pickard [8]:
(V 2  V1) 

10 [ ΔD 2 - ΔD1 ]
2 L Ω sin 

(1)

dengan (V1-V2) kecepatan geostropik absolut

antara stasiun 1 dan 2 (m/s); ΔD1 dan ΔD2
berturut-turut adalah kedalaman dinamik di
stasiun 1 dan 2 (dyn.m); L adalah jarak antara
stasiun 1 dan 2 (m); Ω adalah kecepatan sudut
rotasi bumi (7,292x10-5 rad/sec); dan φ adalah
posisi lintang antara dua stasiun (centered)
dalam derajat. Identifikasi massa air dilakukan
dengan mengacu pada kisaran nilai temperatur
dan salinitas sebagaimana Wyrtki [9], dan
ditampilkan dalam diagram T-S.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Massa Air

GAMBAR 2. Penentuan stratifikasi lapisan massa air
berdasarkan stratifikasi penurunan temperatur
terhadap kedalaman: lapisan tercampur (mixed layer),
lapisan termoklin atas (upper layer thermocline),
lapisan termoklin bawah (lower layer thermocline),
dan lapisan dalam (deeper layer).

Berdasarkan analisis stratifikasi termal
massa air kelima stasiun hidrografi yang
membentang dari utara (stasiun 12, ~220 km
lepas pantai Papua) hingga ke selatan (stasiun
16, ~57 km lepas pantai Papua) menunjukkan
adanya kemiringan (slope) yang menaik hilang
di stasiun 16 (Gambar 3). Seiring dengan
naiknya lapisan termoklin bahkan hingga ke
permukaan di stasiun 16, teridentifikasi pula
naiknya lapisan dalam di bawah lapisan
termoklin. Penaikan lapisan termoklin dan
lapisan dalam di dekat pesisir Papua ini
dimungkinkan terjadi karena pengaruh angin, di
mana pada bulan Desember, perairan Indonesia
memasuki masa peralihan dari muson tenggara
(southeast monsoon) menuju muson barat laut
(northwest monsoon) di belahan bumi selatan.

FB3

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

GAMBAR 3. Profil menegak dan melintang temperatur pada stasiun 12, 13, 14, 15, dan 16. Stasiun 16 merupakan
stasiun paling selatan, berada di dekat pesisir utara Papua.

Adanya sinyal penaikan lapisan dalam
dan terangkatnya lapisan termoklin di dekat
pesisir Papua ini mengindikasikan pengaruh
angin yang berasal dari arah barat laut (yang
direpresentasikan oleh muson barat laut) lebih
kuat dibandingkan pengaruh angin pasat
maupun angin muson tenggara yang kian
melemah. Akibatnya, terjadi transpor massa air
permukaan meninggalkan pesisir utara Papua.
Konsekuensinya, terjadilah penaikan massa air
lapisan dalam menggantikan perpindahan yang
terjadi pada lapisan permukaan.
Di samping itu, kedalaman lapisan
termoklin
yang
direpresentasikan
oleh

kedalaman kontur permukaan isotermal atau
densitas dapat dijadikan indikasi jumlah massa
air permukaan yang terdapat pada lokasi
tersebut [6]. Lebih lanjut, integrasi horiontal
volume lapisan atas ini akan memungkinkan
perhitungan pasokan massa air, serta
perpindahannya [10].
Tabel 1 memperlihatkan ketebalan dan
laju penurunan temperatur terhadap kedalaman
lapisan tercampur (mixed layer), lapisan
termoklin atas dan bawah (upper layer
thermocline, lower layer thermocline), dan
lapisan dalam (deep layer).

TABEL 1. Laju penurunan temperatur per 100 meter kedalaman pada lapisan tercampur, lapisan termoklin atas,
lapisan termoklin bawah, dan lapisan dalam.

Station

12

13

14

Layer

Thickness
(m)

Mixed
Upper Thermocline
Lower Thermocline
Deep
Mixed
Upper Thermocline
Lower Thermocline
Deep
Mixed
Upper Thermocline
Lower Thermocline
Deep

43
153
232
>572
38
88
262
>612
37
91
250
>622

Decreasing Rate of
Temperature
(oC/100 m)
0.00
-9.78
-2.01
-0.65
0.00
-14.47
-3.15
-0.65
0.00
-15.78
-3.02
-0.68

FB4

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

15

16

Mixed
Upper Thermocline
Lower Thermocline
Deep
Mixed
Upper Thermocline
Lower Thermocline
Deep

Bersesuaian
dengan
karakteristik
temperatur,
teridentifikasi
pula
adanya
penaikan/desakan lapisan massa air dengan
salinitas minimum dari lapisan dalam (Gambar
4). Proses ini berdampak pada penipisan lapisan
ini (core layer) lapisan salinitas maksimum
menuju
pesisir
Papua.
Dimungkinkan,
sebagaimana indikasi sebelumnya, pengaruh
angin muson barat daya pada perairan sebelah
selatan ekuator memindahkan massa air
permukaan
menjauhi
pesisir,
sehingga
mengangkat lapisan massa air pada lapisan
bawah.

36
152
121
>691
231
84
>685

0.00
-10.43
-3.30
-0.67
-3.02
-0.72

Tampak pula adanya penebalan lapisan
inti salinitas maksimum pada stasiun 14, dengan
ketebalan ~110 meter. Kondisi ini berkaitan
dengan posisi stasiun 14 yang berada di sebelah
utara ekuator, di mana angin muson timur laut
dan angin pasat pada sekitar ekuator akan
menghasilkan upwelling di ekuator meskipun
intensitasnya mengecil menuju barat Samudera
Pasifik. Massa air permukaan yang dipindahkan
ini dimungkinkan membentuk zona konvergen
di utara ekuator. Analisis ini bersesuaian dengan
profil kedalaman dinamik sebagaimana pada
Gambar 7.

GAMBAR 4. Profil menegak dan melintang salinitas pada stasiun 12, 13, 14, 15, dan 16. Stasiun 16 merupakan
stasiun paling selatan, berada di dekat pesisir utara Papua.

Penipisan
lapisan
inti
salinitas
maksimum pada stasiun 16 sebagaimana pada
Gambar 5 diikuti oleh fenomena penurunan
lapisan haloklin. Derajat kenaikan salinitas
terhadap kedalaman untuk stasiun 12, 13, 14,
15, dan 16 berturut-turut adalah 0,0009; 0,0018;
0,0013; 0,0014; dan 0,0011 PSU/meter atau
rata-rata 0,0013 PSU/meter. Terjadi pula
penurunan lapisan haloklin pada stasiun 16,
dengan
penurunan
sebesar
70
meter

dibandingkan pada stasiun 12, dan 20 meter jika
dibandingkan dengan stasiun 15.
Gambar 5 juga memperlihatkan adanya
penggoyangan lapisan inti salinitas maksimum
terutama pada stasiun 16, di mana memiliki
lapisan inti yang sangat tipis. Fenomena ini
berkaitan dengan stabilitas massa air tersebut
yang rendah, dimungkinkan berkaitan dengan
desakan massa air salinitas minimum yang
berada di bawahnya yang berada pada kisaran
34,45–34,48 PSU, dengan inti pada kedalaman

FB5

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

~300 meter. Terpantaunya salinitas tinggi di
lapisan permukaan pada stasiun 16 dengan nilai
yang relatif berada pada kisaran yang sama
dengan nilai lapisan salinitas maksimum pada
stasiun di sebelah utaranya mengindikasikan
sumber massa air pada stasiun 16 adalah hasil
pengangkatan dan percampuran dengan massa
air salinitas maksimum di utaranya.

GAMBAR 5. Profil menegak salinitas pada stasiun
12, 13, 14, 15, dan 16 lapisan permukaaan hingga
kedalaman 500 meter, di mana salinitas maksimum
dan minimum teridentifikasi. Tanda panah
menunjukkan penurunan batas atas lapisan inti
salinitas maksimum stasiun 16.

Adapun
terdeteksinya
penurunan
salinitas massa air hingga kedalaman ~70 meter
pada stasiun 16 dimungkinkan merupakan
kontribusi dari daratan yang berasal dari sungai
di daratan Papua. Dengan pertimbangan pula
bahwa nilai salinitas maksimum terpantau tidak
lebih rendah daripada rendahnya nilai salinitas
rendah tersebut, maka tidak mungkin hanya
merupakan kontribusi dari penaikan massa air
salinitas maksimum lapisan bawah.
Berdasarkan analisis identifikasi massa
air dari diagram T-S sebagaimana pada Gambar
6, mengacu pada kisaran sebagaimana Wyrtki
[9], terpantau adanya massa air subtropis atas

(subtropical lower water, SLW), massa air
lapisan pertengahan Pasifik utara (northern
intermediate water, NIW), dan massa air lapisan
pertengahan
Pasifik
selatan
(southern
intermediate water, SIW). Kisaran nilai massa
air ini oleh Wyrtki [8] kaitannya dengan massa
air yang teridentifikasi dalam penelitian ini
ditunjukkan pada Tabel 2.

GAMBAR 6. Diagram T-S dari kelima stasiun
hidrografi di utara Papua. Zonasi dengan garis merah
merupakan identifikator massa air menurut Wyrtki
[9]. Tanda panah menunjukkan salinitas maksimum
pada stasiun 16 yang bergeser ke bawah dan
cenderung tidak berada dalam zonasi.

Sebagaimana disajikan pada Gambar 6,
kisaran pola diagram T-S untuk kelima stasiun
memiliki kisaran yang relatif sama pada areaarea identifikasi. Penyimpangan terlihat pada
stasiun 16, di mana massa air salinitas
maksimum SLW sangat tipis. Hal ini berkaitan
dengan penurunan dan penipisan lapisan
haloklin yang telah dijelaskan sebelumnya.

FB6

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)
TABEL 2. Karakteristik massa air di bagian barat Samudera Pasifik yang teridentifikasi dalam kajian ini.
Water Type

T,
C

S, ‰

S Minimum

7-11

34.10 – 34.50

S Minimum

5-7

34.45 – 34.60

S Maximum

1524

34.50 – 34.90

Characteristics

Nortern
Intermediate Water,
NIW
Southern
Intermediate Water,
SIW
Subtropical Lower
Water, SLW

Struktur Arus dan Transpor
Distribusi medan massa dan tekanan
yang direpresentasikan dengan kedalaman
dinamik diperlihatkan pada Gambar 7. Nilai
N

0o

o

anomali kedalaman dinamik yang digunakan
untuk menghitung kecepatan arus geostropik
berada pada kisaran -0,038 hingga 0,086 dyn.m,
nol pada kedalaman papar acuan.

S

GAMBAR 7. Profil menegak dan melintang salinitas pada stasiun 12, 13, 14, 15, dan 16. Stasiun 16 merupakan
stasiun paling selatan, berada di dekat pesisir utara Papua.

Sebagaimana disajikan pada Gambar 7
(kanan), arus geostropik di perairan utara Papua
berada pada kisaran -29,2 hingga 29,0 cm/s;
dengan intensifikasi arus secara keseluruhan
mengarah ke barat. Khusus untuk arus
geostropik pada area ekuator, dua stasiun
hidrografi yang berseberangan (stasiun 14 dan
15) akan menghasilkan karakteristik aliran yang
berbeda karena perbedaan posisi lintang

keduanya (stasiun 14 di sebelah utara ekuator,
stasiun 15 di sebelah selatan ekuator).
Identifikasi atas arus-arus yang terdapat
dalam kajian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Secara umum, pola pada Gambar 8
diderivasikan sebagaimana Wyrtki dan Kilonsky
[11] dalam kajiannya pada area ekuator antara
Hawaii-Tahiti. Pola tersebut setidaknya akan
relatif sama untuk area-area yang berada di
sekitar ekuator. Namun, intensifikasi aliran
maupun pelemahan aliran dimungkinkan terjadi

FB7

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

pada area ekuator spesifik sebagaimana di
Indonesia, di mana pengaruh muson menggeser
peran angin pasat. Lebih khusus lagi, perairanperairan batas barat samudera, seperti pada
lepas pantai utara Papua New Guinea hingga
utara Papua Barat berkembang arus pesisir New
Guinea (New Guinea coastal current, NGCC).
NGCC memiliki karakteristik aliran ke arah
barat laut pada muson tenggara, dan ke arah
tenggara pada muson barat laut[12].
Berdasarkan perhitungan kecepatan
geostropik yang telah dilakukan, kecepatan arus
pada kedalaman hingga 100 meter berkisar 25,5
cm/s ke arah barat (antara stasiun 15 dan 16).
Nilai kecepatan ini lebih kecil daripada hasil
pengukuran langsung Kuroda [12] pada posisi
2,5 LS; 142 BT, lepas pantai Papua New Guinea
pada muson tenggara mencapai 60 cm/s ke arah
barat. Di samping itu, memasuki bulan
Desember, arah NGCC permukaan hingga
kedalaman 100 meter akan berbalik ke timur
dengan kecepatan hingga 100 cm/s seiring
berhembusnya angin muson barat laut [12].
Lebih kecilnya nilai dan berbedanya
karakteristik arah arus yang terpantau pada
kajian ini dimungkinkan terjadi akibat
pelemahan NGCC memasuki kawasan utara
Papua (utara kepala burung) yang sebelumnya
arus ini melintasi gugus kepulauan di sebelah
timurnya.
Pelemahan
ini
juga
dapat
dimungkinkan terjadi karena kondisi angin di
utara Papua yang tidak cukup kuat sebagaimana
pada area 2,5 LS. Hal ini berkaitan dengan
posisi perairan utara Papua yang berdekatan
dengan ekuator, di mana intensitas angin muson
yang melintasi ekuator akan cenderung
melemah.
Pada kedalaman 150 hingga 900 meter,
diperoleh kecepatan arus geostropik antara
stasiun 15 dan 16 adalah 5,2 cm/s ke arah barat,
dengan maksimum pada kedalaman 150 meter
sebesar 14,6 cm/s. Jika dibandingkan dengan
Kuroda [12], arus bawah pesisir New Guinea
(NGCUC) memiliki kecepatan rata-rata 54 cm/s
pada kedalaman 210 meter, pada 2,5 LS dan
menurun ke arah laut lepas. NGCUC memiliki
karakter arah aliran yang konsisten, di mana
pengaruh perubahan musiman angin muson
hanya mengubah besar kecepatannya. NGCUC
kuat pada musim kemarau, khususnya bulan
September dan Juni-Juli, dan melemah pada

bulan Nopember-Desember dan April [12].
NGCUC mengalir ke arah barat menyusuri
pesisir utara pulau Papua, dan bergabung
dengan SEC dari timur Pasifik.
Dengan demikian, kecilnya intensitas
kecepatan arus geostropik pada lapisan >150
meter di utara Papua ini sejalan dengan Kuroda
[12], di mana arus melemah pada bulan
Desember, di samping juga posisinya yang lebih
jauh dari lokasi terbentuknya SEC di lintang
sedang. Penekanan kajian arus antara stasiun 15
dan 16 (dekat pesisir utara Papua), ini
diperlukan mengingat arus selatan ekuator SEC
sesampainya pada perairan utara pulau Papua
akan
mengalami
intensifikasi
ataupun
pelemahan di area dekat pesisir.
Secara rinci, dari kajian ini terpantau
intensitas arus sebagaimana diidentifikasi pada
Gambar 8. Arus balik utara ekuator, NECC dan
arus balik bawah permukaan utara, NSCC
maksimum berturut-turut sebesar 3,5 cm/s dan
3,0 cm/s. Jika dibandingkan dengan Wyrtki dan
Kilonsky [11] di Pasifik timur, kedua arus ini
memiliki nilai untuk NECC dan NSCC berturutturut adalah 20,3 dan 6,1 cm/s. Lebih kecilnya
nilai kedua arus pada hasil kajian ini disebabkan
relatif jauhnya stasiun hidrografi dalam kajian
ini dari posisi arus utama keduanya.

GAMBAR 8. Skema zonasi arah arus-arus zonal
antara stasiun 12 (133,521o BT dan 1,333o LU)
hingga stasiun 16 (133,520o BT dan 0,650o LS)
hingga kedalaman 900 meter (papar acuan, level of
no motion). NECC, NSCC, SEC, EUC, dan EIC
berturut-turut adalah arus balik utara ekuator (north
equatorial counter current), arus balik bawah
permukaan utara (northern subsurface counter
current), arus selatan ekuator (south equatorial

FB8

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)
current), arus bawah ekuator (equatorial under
current), dan arus pertengahan ekuator (equatorial
intermediate current). Pembagian arus-arus dalam
zona arah yang sama (NECC dan NSCC serta SEC
dan EIC) dilakukan berdasarkan kedalaman menurut
Wyrtki dan Kilonsky [11].

SEC di sebelah utara ekuator dan
sebelah selatan ekuator terpantau memiliki
kecepatan maksimum berturut-turut sebesar 8,9
dan 27,7 cm/s. Jika dibandingkan dengan
Wyrtki dan Kilonsky [11] di Pasifik timur,
kedua arus ini memiliki nilai untuk SEC utara
ekuator dan SEC selatan ekuator berturut-turut
24,8 cm/s dan 14,2 cm/s. Dalam kajian ini, lebih
rendahnya SEC di utara ekuator disebabkan oleh
menurunnya intensitas seiring pelemahan oleh
angin pasat (pemicu SEC) oleh angin muson
barat laut, sedangkan lebih besarnya SEC di
selatan ekuator berkaitan dengan intensifikasi
oleh NGCUC.
EUC dalam kajian ini memiliki
kecepatan maksimum hingga 29,0 cm/s pada
kedalaman 150-200 meter. Nilai ini relatif tidak
berbeda jauh dengan hasil kajian Wyrtki dan
Kilonsky [11] yakni sebesar 37,5 cm/s di Pasifik
timur. Namun, lebih kecilnya nilai yang
diperoleh dari kajian ini dimungkinkan terjadi
akibat melemahnya EUC di bagian barat
samudera seiring melemahnya angin pasat
karena pengaruh muson. Sehingga zona
divergen tidak terbentuk optimal sebagaimana
di bagian tengah dan timur samudera.
EIC dalam kajian ini terpantau memiliki
kecepatan maksimum 22,9 cm/s. Jika
dibandingkan dengan Wyrtki dan Kilonsky [11]
di Pasifik timur, EIC memiliki nilai 6,1 cm/s.
Lebih tingginya nilai EIC dalan kajian ini
berkaitan dengan intensifikasi aliran oleh
NGCUC
sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya.
Hasil perhitungan transpor dalam kajian
ini ditunjukkan pada Gambar 9. Diperoleh net
transpor massa air yang melewati penampang
antara stasiun 12 hingga 16 yang berjarak
220.351 meter dan kedalaman 900 meter (papar
acuan) atau seluas ~198 Km2 sebesar 0,58 ±
0,18 Sv (1 Sv= 106 m3/s). Nilai ini sangat rendah
dibandingkan dengan nilai transpor oleh
NGCUC pada 2,5o LS sebesar 11 Sv pada bulan
Januari dan meningkat menjadi 20-30 Sv pada

bulan Juli [12]. Kondisi ini dapat dipahami
sebagaimana argumentasi sebelumnya terkait
dengan pelemahan kecepatan arus di lepas
pantai Papua.

Gambar 9. Profil Net transpor geostropik setiap
antardua stasiun hidrografi, satuan dalam sverdrup,
Sv (1 Sv=106 m3/s).

Secara umum, perhitungan perkiraan
transpor geostropik mengandung beberapa
ketidaktepatan. Pertama, dikarenakan kajian ini
hanya mempertimbangkan komponen baroklinik
dari transpor. Kedua, seringkali terjadi
ketidaktepatan dalam memilih kedalaman papar
acuan yang biasanya didasarkan dari kedalaman
maksimum dari data. Ketiga, kondisi temporal
lokal dimungkinkan mempengaruhi akurasi
estimasi transpor geostropik yang dilakukan
[13]. Faktor-faktor tersebut dimungkinkan juga
memberikan andil terhadap akurasi perhitungan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Meskipun berada di area ekuator,
perairan laut dalam sebelah utara Papua
merupakan kawasan tepi barat Samudera Pasifik
yang berbeda dengan kawasan ekuator di bagian
tengah maupun timur Samudera Pasifik.
Terdapatnya arus-arus batas barat samudera
seperti arus pesisir New Guinea (NGCC,
NGCUC) serta berada di area yang dipengaruhi
oleh angin muson menjadikan perairan ini
memiliki karakteristik yang khas. Berdasarkan
kajian medan massa dan tekanan dari lima
stasiun hidrografi di Samudera Pasifik utara
Papua pada bulan Desember 1991-Januari 1992,

FB9

Prosiding Seminar Nasional Fisika IV Tahun 2013, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang (UNNES)

menunjukkan adanya pengaruh angin muson
barat laut pada stratifikasi dan transpor massa
air. Diperlukan pengukuran arus secara
langsung untuk melakukan verifikasi atas
perhitungan yang telah dilakukan seiring dengan
keterbatasan
metode
estimasi
transpor
geostropik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Prof. Dr. Mulia Purba, M.Sc. dari
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB atas
masukan-masukan dalam penulisan makalah ini.
REFERENSI
1. Wang G., L. Rongfeng, Y. Changxiang.
2003. Advances in Studying Oceanic
Circulation from Hydrographic Data with
Applications in the South China Sea.
Advances in Atmospheric Sciences Vol. 20
No. 6. 914-920.
2. Reid, J. L., Jr. 1961. On the geostrophic flow
at the surface of the Pacific Ocean with
respect to the 1,000-decibar surface. Tellus,
13:489-502.
3. Wyrtki, K. 1975. Fluctuations of dynamic
topography in the Pacific Ocean. Journal of
Physical Oceanography Vol. 5: 450-459.
4. Reid, R. O. 1959. Influence of some errors in
the equation of state or in observations on
geostrophic currents. Physical and Chemical
Properties of Sea Water, Nat. Acad. Sci.
Publ. No. 600: 367-385.
5. Stommel, H. S. 1947. Note on use of the T-S
correlation for dynamic height anomaly
computations. Journal of Marine Research,
5: 85-92.
6. Rebert, J. P., J. R. Donguy, and G. Eldin.
1985. Relation between sea level,
thermocline depth, heat content, and

dynamic height in the tropical Pacific Ocean.
Journal of Geophysical Research Vol. 90
No. C6: 11,719-11,725.
7. Ilahude, A. G. 1999. Pengantar ke
Oseanologi Fisika. Jakarta. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. 112-115 pp.
8. Pond, S. and Pickard, G. L. 1983.
Introductory Dynamical Oceanography. 2nd
edition. Toronto. Pergamon Press.
9. Wyrtki, K. 1961. Naga Report: Physical
Oceanography of the Southeast Asian
Waters. La Jolla, California. The University
of California – Scripps Institution of
Oceanography.
10. Wyrtki, K. 1985. Water Displacements in the
Pacific and the Genesis of El Nino Cycles.
Journal of Geophysical Research Vol. 90
No. C4: 7129-7132.
11. Wyrtki, K., and B. Kilonsky, 1984. Mean
water and current structure during the
Hawaii-to-Tahiti shuttle experiment. J. Phys.
Oceanogr., 14 (2), 242-254.
12. Kuroda, Yoshifumi. 2000. Variability of
currents off the northern coast of New
Guinea. Journal of Oceanography. Vol.
56:103-116.
13. Fieux, M., R. Molcard, and A. G. Ilahude.
1996. Geostrophic transport of the PacificIndian Oceans throughflow. Journal of
Geophysical Research Vol. 101 No. C5:
12,421-12,432.

FB10