Model Model dan Kepemimpinan Gereja

MODEL-MODEL KEPEMIMPINAN
GEREJA DALAM SEJARAH
Pendahuluan
1. Sistem kepemimpinan dan pemerintahan gereja adalah suatu yang sangat
menarik untuk dikaji apalagi system kepemimpinan gereja merupakan produk
dari sebuah konteks tertentu yang kemudian diwariskan ke konteks lain menurut
jaman yang berbeda. Jika berbicara tentang model kepemimpinan (termasuk
gereja), paling tidak sangat banyak hal harus diperhatikan misalnya menyangkut:
“budaya (kultur), pemahaman, falsapah hidup, system, distoritas tekstual/konteks
dan lain sebagainya”. Berhubung dengan pernyataan ini, mengingat pergumulan
panjang HKBP sebagai sebuah gereja yang terus menerus masih mencari model
dan bentuk kepemimpinannya yang ideal, jika diperhadapkan dengan konteks
jaman yang menantang HKBP sekarang, penelitian ini menjadi sangat menarik
diteruskan. Tentu dengan satu kesadaran bahwa sangat banyak konsep serta
defenisi mengenai kepemimpinan dan pemimpin dikemukakan oleh para ahli dan
semuanya mengantar kepada penegasan bahwa kepemimpinan merupakan
sesuatu yang sangat didasarkan pada wibawa, charisma, pengakuan, kuasa dan
otoritas dan lain sebagainya. Hanya, bahwa dalam hubungannya dengan
kepemimpinan gereja agaknya tidaklah demikian, sebab bila menyerupakan
apalagi mengadopsi serta menerapkan system, model, bentuk kepemimpinan
secara umum kepada gereja maka kepemimpinan gereja tidak dibedakan

dengan bentuk system kepemimpinan pada umumnya. 1
2. Berhubung dengan hikmat poin satu di atas, ketika Aturan Peraturan HKBP 2002
diterbitkan serta disyahkan untuk mengganti AP yang lama, upaya itu dilakukan
sangat berkaitan dengan latarbelakang HKBP mengantisipasi dampak dan
pengaruh globalisasi yang di antaranya mencakup era informatika,
perkembangan dan kemajuan teknologi. Sebelum AP 2002 dirumuskan, sangat
lama HKBP mempergumulkan bentuk kepemimpinan yang seperti apa yang
ideal dan dapat dituangkan di dalam AP (2002). Dalam menentukan bentuk dan
sifat kepemimpinan inilah dipikirkan dan dirumuskan: “bentuk struktur, hierarki,
pemerintahan (kepemimpinan), mekanisme pengambilan keputusan serta
pelaksanaan pelayanan yang relevan dan actual di HKBP ?”. Sebelumnya, ada
beberapa wacana di setiap perbicangan dan diskusi HKBP (berbagai seminar
dan pertemuan-pertemuan lainnya) muncul. Beberapa wacana yang muncul
yakni: Pertama, ada yang mengusulkan supaya bentuk kepemimpinan di HKBP
(AP 2002) sebaiknya dipakai system flat (mendatar) jangan dalam bentuk
hierarki monolitik (mono: “satu” sedang litos: “batu”. Monolitik artinya: satu batu
menjulang tinggi). Bentuk hierarki monolitik adalah bentuk kepemimpinan tunggal
pada posisi yang sangat tinggi untuk memimpin dari atas ke bawah. Dengan
system kepemimpinan flat, pengambilan keputusan diharapkan dapat dilakukan
secara sinergis (sun: “bersama-sama”, ergo: “bekerja, bekerja bersama-sama”).

1

Lih. Millard J. Erickson, Christian Theology (Michigan: Bakers Book, 2001) hl. 1079

1

Apabila pengambilan keputusan secara sinergis dilakukan, maka itu berarti
setiap keputusan harus merupakan perwujudan dari rasa dan pemikiran
kebersamaan. Dalam setiap pengambilan keputusan, pandangan dan
pemahaman orang lain harus dapat dipertimbangkan, dimasukkan dan turut
diperhitungkan. Kedua, berhubung dengan kesiapan HKBP menghadapi era
globallisasi yang esensinya melahirkan kemajemukan dalam bidang kehidupan,
ada tuntutan bahwa HKBP dalam menjalankan tugas pelayanannya corak dan
model kepemimpinannya harus bersikap inklusif, terbuka dan dialogis. Artinya
HKBP harus mau terbuka dan menerima keberadaan orang lain serta
mengedepankan pencapaian mutual understanding (pemahaman bersama yang
dapat disepakati bersama). Dua wacana inilah yang merupakan pergumulan
serius HKBP merumuskan model kepemimpinannya sebagaimana telah tertuang
dalam rumusan AP 2002.2
3. Sebagaimana gereja berkembang hingga abad 21, maka demikian bentuk

kepemimpinan dan pemerintahan gereja turut pula berkembang. 3 Hanya dapat
dikatakan bahwa seturut pertambahan waktu dan perkembangan gereja, bentuk/
model kepemimpinan gereja yang masih tetap efisien (walau klasik) adalah
bentuk: “episcopal, Presbyterian, congregational dan sebuah bentuk tanpa
kepemimpinan (pemerintahan)”. Ketika system kepemimpinan episkopal dan
Presbyterian, keduanya berlangsung di dalam strukturnya maka kuasa jabatan
keduanya berbeda menurut para pelaku jabatan itu. Lain halnya pada system
congregational, pada system ini kuasa (otoritas) jemaat adalah sebagai otoritas
tertinggi dalam kepemimpinan gereja. Pada system “non government” (tanpa
kepemimpinan), mereka mengklaim bahwa kuasa Roh Kudus sebagai wibawa
tertinggi dalam kepemimpinan gereja. Banyak gereja di beberapa negara
mencoba menerapkan supaya system demokrasi sebagai system kepemimpinan
dalam gereja, namun model: “kepemimpinan episkopal, presbyterian dan
congregational agaknya masih merupakan yang paling efisien sebagai system
kepemimpinan/pemerintahan gereja sepanjang jaman”. 4 Fokus pertanyaan
paling prinsip pada abad 20 ini terhadap kepemimpinan gereja adalah:
“sesungguhnya sejauh apa kuasa kesepakatan penting di dalam ibadah dan
pelayanan ? Ketika pelayanan pemberitaan firman dan sakramen berlangsung,
apakah kuasa kesepakatan pelayan jabatan tahbisan sebagai hal paling pokok
dan terpenting di dalam jemaat ?”. Millard J. Erikson, 5 mencoba menjawab

berbagai pertanyaan ini dengan menegaskan bahwa yang terpenting dianalisis
pada soal kepemimpinan jemaat yakni: “di posisi mana kekuasaan penting
ditempatkan di dalam jemaat ?”. Menurut Millard selanjutnya 6, banyak orang
mencoba memberi penjelasan kepada pergumulan ini dengan mengatakan:
2

3
4

5
6

Darwin Lumbantobing, “Kepemimpinan Pelayanan Tahbisan Menurut Aturan Peraturan HKBP,
2002” dalam: Darwin Lumbantobing (ed): Percikan Teologi Jubah Hitam (Pematangsiantar: LSAPA, 2008) hl. 279-281.
Oscar Culmann, The Early Church (London: SCM Press, 1956) hl. 105 ff
Dalam salah satu system/model kepemimpinan ini ada yang menekankan unsur demokrasi dalam
penyelenggaraan, pengelolaan dan pengawasan jemaat, yakni: model Congregasionalis.
Millard J. Erikson, Ibid., hl. 1078
Millard J. Erikson, Ibid


2

”kuasa firman Allah yang mestinya mutlak berkuasa di dalam gereja”.
Pergumulan lain yang muncul berhubungan dengan hal ini adalah; “kepada siapa
dan bagaimana Tuhan mengekspresikan (memberikan) kuasa kepemimpinan ini
di dalam jemaat ?” Pergumulan inilah yang menarik perhatian penulis seturut
dengan perkembangan bentuk kepemimpinan gereja hingga abad 21 ini dan
dicoba dituangkan pada paper ini.
Model dan Bentuk Kepemimpinan
(Pemerintahan) Gereja Dalam Sejarah
Menurut Millard J. Erikson,7 sepanjang perjalanan sejarahnya gereja telah
dipengaruhi oleh banyak system, model dan bentuk kepemimpinan/
pemerintahannya. Namun di antara banyaknya system dan model kepemimpinan
itu, yang paling efektif dan efisien bagi corak kepemimpinan gereja sepanjang
jaman adalah bentuk kepemimpinan: “Episcopal, Presbyterial, Congregational
dan Non-Pemerintahan/Kepemimpinan”. Empat model inilah yang dicoba
dijelaskan penulis pada paper ini, walau pada uraian berikut ada system yang
muncul serta diterapkan gereja dalam kepemimpinannya mulai abad mula-mula
hingga abad 21 ini, yakni bentuk: “sinodal dan papalisme/kepausan (gereja
Barat) dan Metropolish (gereja Timur)”.

A.
Episcopal
(Pengawas, Pengamat, Bishop, dan Penilik)
4. Sistem pemerintahan/kepemimpinan gereja dengan episkopal dapat diartikan
sebagai: “kuasa keputusan dan kepemimpinan tertinggi berada di tangan
seorang episkopos (επίσκοπος: seorang penilik/Bishop) yang diangkat untuk
jabatan tersebut”. Dalam realisasinya, sebenarnya ada banyak variasi system
kepemimpinan episkopal berlangsung di mana keadaan ini biasanya sangat
dipengaruhi bahkan ditentukan oleh ragam dan variasi tingkatan jabatan bishop
dalam jemaat.8 Berbicara mengenai model kepemimpinan gereja sebagai
“episkopal”, ini harus dimulai dari penelusuran terhadap makna kata: “episkopos”
(penilik) sesuai tradisi PB, sebab kata episkopos jelas merupakan produk dunia
jemaat mula-mula. Munculnya, jabatan “episkopos” dalam tradisi jemaat mulamula sangat didorong oleh kebutuhan akan kepemimpinan untuk menghadapi
segala rupa pengaruh kekafiran yang memang hidup di tengah-tengah jemaat,
sehingga mereka sangat membutuhkan pemimpin rohani yang kuat di dalam
jemaat-jemaat untuk menjaga kekudusan, kesaksian yang kuat terhadap
keesaan jemaat dan dan juga kepada tradisi rasuli yang dipercaya sebagai
7
8


Lih. Millard J. Erikson, Ibid., hal. 1079
Lih. Ibid., hl. 1081 Dalam prakteknya bentuk episkopal yang paling sederhana diterapkan dapat
ditemukan pada gereja Methodist yang hanya memiliki satu tingkatan bishop. System episkopal
sebagaimana perkembanggannya juga ditemukan pada gereja Anglikan. Dan system episkopal
paling rumit sebagai system peperintahan gereja dapat ditemukan pada gereja Katolik Roma
(GKR) sebab kuasa tertinggi kepemimpinan gereja tetap ada bishop Roma yakni: Paus.

3

jaminan keselamatan.9 Bila diperhatikan kesaksian PB, suatu hal yang sangat
menarik bahwa di dalam PB selalu berhubungan antara istilah episcopes dan
episkopos. Di mana epikopes (επισκοπης) melakukan kunjungan-kunjungan
(visitation) kepada jemaat-jemaat dan posisinya sebagai pengawas (position of
suvervisor) dan fungsi mengawasi (lih. Kis. 1:20 ; I Tim. 3:1 ; I Pet. 2:12 ;
Episkopos-επισκοπος: pengawas, pengamat, bishop, dan penilik, Kis. 20:28 ;
Filp. 1:1 ; I Tim. 3:2 ; Tit. 1:7 ; I Pet. 2:25). 10 Menurut Raymond E. Brown, 11
fungsi ini perlu diperdebatkan ulang mengingat bahwa di dalam Filp. 1:1 sudah
terungkap makna episkopos sesuai dengan konteksnya. Dalam konsep ini
“gereja sebagai tubuh Kristus” dapat dimaknai sebagai pertobatan (Rom 7:4) dan
baptisan (Rom 6:10).12 Paham lain yang berhubungan dengan ekklesiologi

Paulus dengan episkpos ada pada “eskatologi”-nya. Teologi Paulus secara
hakiki sangatlah bersifat eskatologis karena bersifat kristologis yang bertitik tolak
dari peristiwa kebangkitan Kristus. Gereja ada pada proses lanjutan, artinya
gereja adalah dasar dari periode dimulainya kebangkitan hingga parousia. Bagi
Paulus parousia bukan sesuatu yang semata-mata akan datang pada akhir
jaman melainkan pengaruhnya sudah dimulai dari sekarang. 13 Kerangka
eklesiologi inilah yang menuntun penelitian terhadap konsep episkopos (penilik
atau bishop) di dalam surat-suratnya. Jelasnya, Rasul Paulus di dalam
perkembangan jemaat dan melalui surat-suratnya ia memakai istilah “pelayan
Allah” (2 Kor. 6:4-5) yang menahan diri dengan penuh kesabaran terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dan di dalam proses selanjutnya,
disebutkannya bahwa bishop berfungsi sebagai pelayan penggembalaan

9

Lih. J.L. Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1997) hl. 50.
Jabatan episkopos dan jabatan presbuteros mula-mula merupakan suatu mejelis jabatan dari
penilik jemaat dan penatua (lih. Kis. 20:17-28 ; Tit. 1:5,7). Tetapi kemudian jabatan episkopos
makin lama makin menjadi satu-satunya pemimpin jemaat.
10

Lih. J. L Ch.abineno, Ibid. Di dalam PB, kata episkopos sering digunakan untuk menunjuk pada
jabatan pemimpin khususnya di dalam surat-surat pastoral. Di dalam surat-surat pastoral,
diungkapkan jabatan episkopos sebagai ex professo (karena jabatan) yang serius menekankan
struktur gereja.
11
Raymond E. Brown, A Brief Survey of The New Testament Evidence on Episkope and Episkopos,
dalam: Faith and Order paper, Episkope and Episkopate in Ecumenical Persfective (Geneva:
WCC, 1980) hl. 15 Perkembangan episkopos menjadi menarik ketika terjadi pergeseran
pemahaman terhadap jabatan episkopos yakni dari status jabatan yang lebih bersifat kolektif ke
jabatan yang tersentralistik (Filp. 1:1 ; I Tim. 3:2 ; Tit. 1:7). Perkembangan gagasan mengenai
jabatan episkopos (dalam PB) dapat dilihat melalui penjelasan Rasul Paulus di dalam suratsuratnya. Adalah jelas bahwa gagasan Rasul Paulus mengenai epikopos sangat erat hubungannya
dengan pikirannya sendiri mengenai eklesiologinya (paham mengenai gereja). Tentang gagasan
eklesiologi Paulus dapat dikatakan bahwa ia mengatakan bahwa gereja adalah sebagai Israel
sejati (Gal. 3:29), juga dikatakan bahwa gereja berkaitan dengan cabang zaitun yaitu Israel (Rom.
11:24). Kesimpulan dari argument ini dapat dikatakan bahwa menurut Paulus, ada kesinambungan
antara gereja dengan Israel. Namun yang menjadi kekhususan paham eklesiologi Paulus bahwa:
“kesatuan antara gereja dengan Kristus” di mana melalui gagasan ini ia sering menggunakan istilah
“gereja sebagai tubuh Kristus”.
12
Tom Jacobs, Gereja Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1988) hl. 334

13
Hans Conzelmann, An Outline of The Theology of the New testament (London: SCM Press,
1969) hl. 254-257). Paulus mengambil alih konsep eskatologi dari sejarah keselamatan. Gereja
merupakan milik Allah Israel (Gal. 6:16) dan Perjanjian Baru (2 Kor. 3:16).

4

(itinerant ministers) yang melakukan pelayanan kesaksian keliling. 14 Di dalam I
Tes. 5:12 dan Rom 12:8 ia berbicara tentang kepemimpinan jemaat. Paulus
langsung mengatakan: “orang-orang yang memimpinmu”. Dan di dalam I Kor.
12:28 disinggung tentang pengelolaan atau pelaksanaan kerja pemimpin. Di
dalam Filp. 1:1 disebutkan “bishop dan diaken” yang mengacu pada
latarbelakang jemaat hellenistik-Jahudi bahwa diakonoi memiliki jabatan
subordinasi episkopoi. Berdasarkan jenjang karir, diakonoi identik dengan
pelayanan, sedang episkopoi lebih memfokuskan diri pada fungsi mengawasi.
Semua jabatan ini hakekatnya bertanggungjawab untuk melakukan tugas social,
manajemen, memimpin ibadah pada aras local dan bertanggungjawab secara
kolektif kepada jemaat local.15 Hal ini memperlihatkan bahwa konteks pelayanan
episkopos, presbyter, dan diakonos lebih berorientasi pada kolektifitas kerja
sebagai team kerja (team work). Walau ada subordinasi bukan berarti diakonos

bertanggungjawab kepada episkopos, karena pertanggungjawaban keduanya
adalah pada persekutuan yang sudah terbentuk.
5. Pada jemaat mula-mula ada perkembangan pemahaman terhadap jabatan
episkopos secara sistematis. Perkembangan sistematis ini jelas terlihat melalui
konsep bahwa Kristus dimunculkan serta diperkenalkan sebagai “kepala”. Tubuh
Kristus tidak semata-mata dipandang sebagai metafora saja, tetapi sudah
diformulasikan menjadi historis maksudnya gereja diposisikan dalam rangka
misteri keselamatan. Intinya gereja tidak dilihat dari sudut pandang organisasi
dan strukturnya tetapi dari persfektip rencana dan sejarah keselamatan. Melalui
inilah Paulus meletakkan dasar pewartaannya kepada Kristus sebagai satusatunya dasar (I Kor. 3:11). Terhadap jabatan bishop, Kummel16
menghubungkan surat I Tim. 2:8-15 tentang laki-laki dan perempuan di dalam
ibadah dengan 3:1-7. Pada hubungan dua teks ini, diberi tekanan pada karakter
elder (penatua) dan bishop di mana pemberian karakter ini bertujuan untuk
memperlengkapi mereka dalam menghadapi guru-guru sesat yang muncul di
dalam jemaat. Menurut Kummel, 17 bahwa pelaksanaan peraturan gereja harus
dikongkritkan pada setiap level di dalam jemaat dan berkaitan dengan anugerah
Allah yang dinyatakan melalui Kristus sebagai pembawa keselamatan. Untuk
inilah perlu ditetapkan jabatan gereja yang tidak semata-mata bagi sifat yang
prestisius tetapi pada tugas dan tanggungjawab etis memimpin dan kewajiban.
Jabatan inilah yang kemudian dikenakan kepada presbiter dan bishop (I Tim. 3:1
; 5:17 ; Tit. 1:5). Presbyter dan bishop memimpin jemaat, dan konsekwensinya
pembentukan jabatan itu menjadi suatu yang wajar di dalam konteks surat
pastoral. Penting ditekankan bahwa di samping jabatan bishop menjadi jabatan
yang wajar untuk memimpin dan melindungi jemaat dari gangguan para
penyesat, namun tekanan paling kuat bagi realisasi jabatan episkopos ada pada
14

J. Hugh Michael, The epistle of Paul to the Philippians (London: Hodder and Stroughton, 1964)
hl. 5-6.
15
Bengt Holmberg, Paul and Power; The structure of authority in The Primitive Church as
Reflekted in The Pauline Epistle (Philadelphia: Fortress Press, 1980) hl. 99-100
16
Feine, Behm Kummel, Intoduction to the New Testakment (Nashville: Abingdon Press, 1966) hl.
259-270.
17
Kummel, Ibid.

5

tugas dan tanggungjawab etis sebagai dasar kepemimpinannya di dalam jemaat.
Kualifikasi berdasarkan kwalitas dari para bishop merupakan tuntutan dasar
dengan mengacu pada bentuk organisasi (lih. Tit. 1:7-9 ; I Tim. 3:5). Para
episkopos adalah pengajar resmi di dalam jemaat yang bertugas menjaga ajaran
sehat yang diwariskan oleh rasul Paulus kepada Timoteus dan Titus ( I Tim. 4:111 ; 5:17 ; Tit. 1:9-2:1). Konsekwensinya, jabatan episkopos harus menjadi
panutan bagi jemaat dengan alat ukur kepemimpinan di dalam keluarga. Sesuatu
yang sangat menarik adalah bahwa dalam konteks kepemimpinan jemaat adalah
sosialisasi wacana keluarga sebagai sebuah bangunan yang dikaitkan dengan
penggambaran kamunitas Kristen sebagai tubuh atau bangunan dengan Kristus
menjadi titik sentralnya (Kol. 2:7 ; Efs. 4:15-16 ; 2:20-22) dan sekaligus Kristus
sebagai kepala, dasar, dan batu penjuru. Menurut G. Kittel 18 bahwa ketika
pertama sekali istilah episkopos dipakai masuk ke dalam konteks jemaat mulamula, pemikiran awal yang muncul adalah bahwa jabatan ini sangat
berhubungan dengan aktifitas manusia yang bersifat melindungi atau mengawas
terhadap seseorang yang dianggap masih muda. Di pihak lain, episkopos sering
dipahami sebagai tanda jabatan. Ada juga pemahaman bahwa episkopos
merupakan jabatan local atau pejabat di dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan. Jabatan ini sangat berkaitan dengan system budaya dan
keagamaan hellenistis, antara lain berfungsi sebagai pembantu penjaga di bait
suci Yerusalem. Akhirnya, di dalam tradisi Yahudi maupun Hellenis, episkopos
selalu dimaknai sebagai bentuk kepemilikan kekuasaan atas kelompok atau
komunitas tertentu.
6. Perkembangan system pemerintahan ini hingga abad kedua, Ignatius (uskup
jemaat Anthiokia, 117M) sangat menegaskan system ini di dalam gereja.
Maksudnya hingga pada masa itu, jabatan uskup dikenakan kepada pemimpin
dari suatu jemaat yang disertai oleh sebuah dewan penatua dan kemudian
menjadi pemimpin dari beberapa jemaat dalam suatu wilayah keuskupan.
Semua uskup mempunyai kedudukan yang sama sebagai “pengganti para rasul”
(succession apostolica) untuk memimpin jemaat-jemaat dalam suatu wilayah
tertentu. Segala persoalan yang timbul di tengah-tengah jemaat di bawah
naungan seorang uskup diselesaikan oleh uskup tersebut. Jadi, uskup
mempunyai wewenang penuh terhadap jemaat-jemaat di wilayahnya. Tetapi,
kalau persoalan itu menyangkut seluruh jemaat, maka hal itu diputuskan dalam
rapat uskup-uskup. Rapat para uskup ini kemudian dikenal sebagai “synode”
atau konsili. Setelah gereja mendapat pengakuan dari Negara (kekaisaran
Romawi) mulai masa pemerintahan kaisar Konstantinus Agung (Th. 313), kaisar
memanggil konsili yang bersifat oikumenis yang meliputi seluruh gereja di dunia
pada waktu itu untuk menyelesaikan persoalan. Misalnya., konsili Nicea I (thn
325) yang dikenal sebagai konsili oikumenis yang pertama, dipanggil oleh Kaisar
Konstantinus Agung untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di tengahtengah gereja, yang bermula dari perbedaan paham antara uskup Alexandria,
tentang hubungan antara Yesus Kristus (logos) dengan Allah Bapa. Sejak itu
18

Gerhard Kittel (ed), Theological Dictionary of the New testament, Vol. 2 (London: WmB
Eerdmenas Pub. Co, 1964) hl. 610-612. Pada abad ke-4 dan ke-5 di Athena, episkopos adalah
sebuah gelar bagi pejabat negara yang memiliki kekuasaan hukum peraturan dan aturan publik.

6

kaisar Romawi, yang mempunyai kepentingan politis akan kesatuan gereja di
lingkungan kekaisarannya telah berfungsi sebagai pelindung gereja.
Presbyterial
7. Secara kongkrit model kepemimpinan ini dapat diartikan bahwa: “keputusan
kebijakan tertinggi jemaat (kepemimpinan) ada pada keputusan majelis penatua
(presbyter)”. Kunci jabatan pada struktur Presbyterian ada pada penatua, sebuah
posisi yang latarbelakangnya ada pada synagoge Jahudi. 19 Dalam semua cerita
tradisi PL, jabatan presbyter asilnya telah memiliki sejarah panjang di mana
presbyter telah sejak lama bergabung dengan tradisi dua belas suku Israel yakni
pada system hukum patriarchal dua belas suku Israel yang paling tua. Setelah
bangsa Israel masuk ke tanah perjanjian pun, telah ada dewan penatua
(presbyter) yang berpengaruh di setiap wilayah local secara berbeda. Para
presbyter melakukan tugas masing-masing secara berkuasa baik pada tingkat
local dan akhirnya mereka menjadi dikenal dalam bentuk kepemimpinan
aristokrasi tradisi Israel. Di dalam tradisi PB, presbyter adalah anggota dewan
para penatua (istilah Yunani: presbyteroi) jemaat setempat. Di kalangan Yahudi
yang berbahasa Yunani, anggota dewan ini disebut presbiter. Para presbyter
juga sebagai pemuka jemaat yang ditempatkan sebagai wakil dari seorang rasul
di tiap-tiap jemaat (Kis. 14:23). Pada posisi tugas ini kadang-kadang mereka
disebut sebagai pengawas (Kis. 20:17). Para presbyter juga menjabat sebagai
penilik (yang sama tugasnya dengan episkopos), artinya uskup sangat menonjol
di antara para presbyter. Di jemaat Jerusalem, jabatan presbyter merupakan
posisi tertinggi dalam jemaat dan mereka sangat berpengaruh sebagai majelis
dewan yang berdaulat (συνηδρίΟν: lih. Luk 22:66 ; Kis 22:5). Pada system
kelompok persekutuan Yahudi yang lebih muda, mereka harus menerima ide
dari para pesbyter (penatua) di mana para presbyter lebih bertanggungjawab
kepada persekutuan itu.20
8. Dari semua kitab PB, Kisah Para Rasullah yang paling banyak dan lengkap
menjelaskan jabatan presbyter dalam jemaat (Kis. 6: “tujuh penatua”). Para
presbyter bertugas untuk mengumpulkan persembahan untuk diberikan ke bait
suci di Jerusalem (11:30) dan kepada dewan para rasul (15:2, 4, 6, 22 ; bnd.
16:4). Konsep presbyter paling tua dalam jemaat mula-mula sebagimana
dijelaskan Kisah Rasul ada pada jemaat di Jerusalem (para penatua di
Synagoge: Kis. 11:30). Mereka berkumpul di sekitar synagoge dan kadangkadang bersama dengan para rasul (Jak. 21:18) mereka memiliki kuasa hukum
19

20

S. L. Greenslade, The Ministry in the Early Church (London: Canterbury, 1947) hl. 55-61.
Pada konteks awalnya presbyter merupakan sebutan yang ditujukan kepada jabatan yang
memimpin persekutuan Yahudi yang di dalam tradisi Yahudi, presbyter merupakan suatu jabatan
yang sudah sangat tua. Pernyataan ini berarti bahwa jabatan presbyter bukan merupakan
pengembangan komposisi dari dewan penatua dalam jemaat mula-mula namun sudah terbentuk
jauh sebelum jemaat mula-mula ada.
Hans Kung, The Churh (New York: Image Books: A Division of Doubleday & Company, 1976)
hl. 516-517. Pada tradisi Qumran, presbytrer disahkan sebagai imam dan di wilayah administrasi
Jahudi yakni di synagoge dan para presbyter berfungsi sebagai pengawas atau penasehat di
mana mereka mengorganisasi persekutuan mereka di tengah masyarakat.

7

untuk seluruh jemaat (seperti Sanhedrin: Kis. 15:4). Para penatua local di
Jerusalem memiliki kesiapan untuk mengembangkan otoritas kuasa mereka di
dalam tradisi Yahudi Kristen. Pada generasi pertama jemaat, presbyter tidak
dikenal oleh jemaat dalam latarbelakang Hellenistik seperti persekutuan jemaat
Hellenistik di Yunani dan Makedonia. Selanjutnya Ingnatious dari Anthiokia (thn
110 M) kemudian membedakan secara jelas tiga jenjang jabatan dalam gereja
yakni: “uskup, imam (presbyter: ketua) dan diakon”. 21 Perkembangannya hingga
abad pertengahan, istilah presbyter menjadi priest (Inggris) atau Priestes
(Jerman) yang jabatan ini semakin dipandang dari segi peranan utamanya, yaitu
sebagai penanggungjawab terhadap setiap kegiatan perayaan Sakramen. Pada
jaman reformasi, istilah presbtyter kembali ditekankan di dalam gereja
khususnya dari corak Calvinis yang dikenakan kepada dewan penatua
(presbiterium) baik untuk anggota yang diordinasikan untuk pemberitaan firman
dan Sakramen maupun untuk penatua awam yang menjaga tata tertib dan
kemurnian ajaran.22
9. Menurut pencermatan penulis, bila model kepemimpinan prebyterial sebagai
sebuah bentuk kepemimpinan gereja ditelusuri lebih lanjut dan
mempertimbangkan focus model kepemimpinan episkopal, nampaknya sulit
membedakan bentuk ciri dan model kepemimpinan keduanya. Sebab sangat
kuat indikasi menjelaskan bahwa kekuasaan kolektif dari presbyterial (penatua)
pada akhirnya membentuk/mengkristal corak kepemimpinan episkopal.23 Artinya,
di dalam pengalaman jemaat mula-mula jabatan bishop (episkopal) muncul dari
antara kalangan presbyter dan episkopal menjadi pemimpin yang juga
merupakan bagian dari presbyter yang dipilih melalui klasifikasi dan kualifikasi
kwalitas moral keluarga dan hubungan dengan publik yang dijamin baik. Dengan
demikian, tidak ada perbedaan status antara presbyter dengan bishop
(episkopal). Perbedaannya hanya ada pada fungsi, sehingga jabatan ini bukan
jabatan prestisius tetapi sebagai jabatan yang dapat menjamin bahwa tradisi
yang diwariskan dapat dijaga. Pernyataan ini sangat kuat mengacu pada tradisi
yang mewarnai dan melingkupi konteks sejarah gereja yang nyata di dalam
organisasi gereja mula-mula. Artinya, wacana yang berkembang dalam
memaknai episkopos sangat tidak dapat dilepaskan dari pemaknaan presbyteros
(penatua: Yunani) yang menunjuk pada tugas dan fungsi dalam penentuan
kebijakan di dalam sinagoge Yahudi. Dalam konteks ini, presbyter sangat
berperan sebagai penilik pastoral yang mengatasi penatua Yahudi. Beberapa hal
yang dapat dilihat sebagai uraian tugas presbyter dalam jemaat mula-mula yakni:
“menerima sumbangan-sumbangan yang dikirim dari Anthiokia (KIs. 11:30),
menanggulangi berbagai persoalan yang menyangkut jemaat bersama dengan
rasul, presbyter juga turut dan berusaha melepaskan jemaat dari ketentuan
sunat, seperti yang disarankan oleh jemaat Anthiokia (Kis. 15:2)”. Dalam Kis.
21:18 dapat diketahui bahwa di Yerusalem telah terbentuk kelompok penatua,
dan nats inilah sebagai indikasi yang merujuk kepada kepemimpinan
21

Hans Kung. Ibid
A. Heuken, Ensiklopedia Gereja IV Ph – To (Jakarta: Yayasan Cipta Loka, 1994) hl. 36
23
Lih. Raymond E. Brown, Gereja yang Apostolik (Yogyakarta: Kanisius, 1998) hl. 33-34
22

8

presbyteros di dalam jemaat mula-mula yang bertindak atas nama jemaat
dengan presbyterium Yakobus sebagai yang dominan (Jak. 5:14). Dalam nats ini
sangat jelas ditekankan tugas-tugas presbyter untuk mengunjungi orang-orang
sakit, berdoa bersama-sama mereka dan mengoles mereka dengan minyak.
Brown24 berpendapat bahwa konsep presbyteros, aslinya konsep ini dipinjam
dari konteks budaya Yahudi, sedang konsep episkopos berasal dari tata cara
dunia kafir dan merupakan penyederhanaan yang berlebihan dan mengabaikan
bukti-bukti dalam naskah-naskah Laut Mati. Pernyataan Brown ini didukung oleh
Andar Lumbantobing25 mengatakan: “di dalam surat-surat Rasul Paulus, tidak
ditemukan sebutan presbyter. Walau demikian tidak berarti bahwa di dalam
jemaat-jemaat yang menerima surat-suratnya tidak terdapat kelompok presbyter.
Dalam Kis. 20:28 para presbyter disebut penilik”. Hanya segera sesudah jemaat
pertama berdiri di Yerusalem, segera dibentuk sebuah kelompok penatua yang
ditugaskan khusus untuk merawat orang-orang sakit dan miskin.
Congregational
10.Tipe yang ketiga dari system pemerintahan gereja adalah system congregasional
dimana peran setiap anggota jemaat dominan pada kuasa pengelolaan sebuah
jemaat local. Pada system ini, dua konsep paling prinsip adalah otonomi dan
demokrasi. Pertama, pada sisi otonomi: “setiap jemaat local memiliki kebebasan
untuk mengatur diri sendiri tanpa ada pengaruh dan intervensi (kekuatan kuasa)
luar dalam pengawasan jemaat”. Kedua, pada sisi demokrasi bahwa: “setiap
anggota jemaat local memiliki kuasa berbicara untuk menentukan pengelolaan
dan masa depan jemaat”. Melalui hikmat ini, menurut system congregational
tidak dimungkinkan adanya otoritas berpusat dan berlangsung melalui kuasa
perorangan dalam kepemimpinan jemaat (seperti yang diterapkan pada structur
episkopal atau otoritas kelompok kecil sebagaimana diterapkan pada struktur
Presbyterial). Hal yang paling prinsip sebagaimana dianut oleh system
demokrasi pada system congregational adalah ditekankannya keputusan
bersama semua jemaat sebagai basis pengawasan dan pengelolaan jemaat. 26
Pada system congragasional, system otonomi diyakini direfleksikan oleh PB
dalam kepemimpinan gereja. Dalam kitab Kisah Para Rasul, focus pemilihan
pejabat ada pada jemaat local dan tidak merujuk kuasa lembaga di atasnya yang
menganyominya dan tidak perlu mendapat komando dari kesatuan lembaga
jemaat yang di atasnya (Gal. 1:11-24). 27 Prinsip otonomy dalam sysem
congregational, ini berarti bahwa setiap jemaat local harus memerintah diri
24
25

26

27

Brown, Ibid, hl. 34
Andar Lumabntobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak (Jakarta, BPK-GM,
1996) hl. 273
Edward T. Hiscox, The New Directory for Baptist Churches (Philadelphia: Judson, 1994) hl.
153. Di antara denominasi gereja yang menerapkan bentuk congregational sebagai system
pemerintahannya adalah: “gereja Baptis, Congregasionalist, dan secara umum denominasi pada
rumpun Lutheran”.
Franz Pieper, Christian Dogmatic’s (St. Louis:Concordia, 1953) vol. 3, hl. 421

9

sendiri. Setiap jemaat memanggil pendetanya dan menentukan sendiri dinamika
dan mekanisme pelayanan termasuk anggaran pelayanan jemaat local dan
jemaat dapat secara bebas mengatur dan mengelola jemaat.
Tentang keanggotaan dalam jemaat menurut system congregational bahwa
setiap orang dapat masuk ke dalam jemaat, yang secara umum melalui
beberapa alasan yakni: pertama, mereka harus menampakkan bentuk kesatuan
jemaat secara universal. Kedua, menekankan persekutuan jemaat sebagai basis
yang lebih dalam secara perorangan. Ketiga, memperbolehkan pelayan
melakukan gaya pelayanan yang lebih efektif di dalam jemaat local. Ke empat,
mendirikan jemaat baru di antara wilayah jemaat yang lebih besar. Serta ke lima,
struktur jemaat, rapat-rapat atau konferensi dibentuk oleh jemaat local dengan
pertimbangan bahwa mereka sendiri harus menekankan prinsip dasar
demokrasi. Jemaat tidak boleh diawasi melalui dominasi perorangan. Setiap
penatua jemaat harus melayani sesuai keinginan setiap anggota jemaat yang
secara khusus ditetapkan dalam batas periode waktu pelayanan. Pada fungsi ini
mereka berlaku seperti sekretaris eksekutif jemaat namun bukan sebagai bishop
dalam jemaat. Satu hal yang paling prinsip dalam otonomy jemaat
kongregasional adalah bahwa jemaat local harus memiliki kwalitas kesangupan
tertentu. Ketika sebuah jemaat menerima bantuan keuangan dari persekutuan
jemaat yang lebih besar, lembaga rapat jemaat akan menginformasikan
sumbangan ini kepada seluruh jemaat dan mengelolanya secara bersama. 28
Prinsip demokrasi sebagaimana ditekankan congregasional bahwa kuasa jemaat
local harus berhenti pada skop perorangan. Ada banyak unsur demokrasi dalam
bentuk pemerintahan gereja secara congregational. Tentu setiap orang dipilih
secara bebas oleh setiap anggota jemaat dalam pelayanan khusus. Mereka juga
tidak secara bebas merealisasikan otoritas jabatannya yang melawan keinginan
jemaat. Jika mereka melakukannya, mereka diberhentikan dari jabatannya oleh
rapat jemaat. Misalnya keputusan terhadap pembelian keperluan jemaat,
seorang pendeta tidak boleh berdiri sendiri dalam kebijakan keputusanya tetapi
harus melalui kesepakatan jemaat secara keseluruhan yang diputuskan melalui
suara terbanyak. Beberapa argumen yang berkembang dalam system
congregasional adalah bentuk normatif pemerintahan jemaat di mana bentuk ini
dirujuk dari kitab Kisah Rasul.
Beberapa keberatan (kritik) terhadap bentuk kepemimp[inan congregasional
adalah pertama, skema pemerintahan congregasional dianggap otoritasnya
kurang mendapat dasarnya dalam kitab suci. Misalnya, ketika Rasul Paulus
mengangkat para Rasul (Kis. 14:23) dan memerintahkan Titus (Tit. 1:5). Dalam
banyak kesempatan Rasul Paulus berbicara dan menulis kepada jemaat-jemaat
28

James M. Bulman, “Church, Nature and Government of Autonomy Views” in: Encyclopedia
Christianity, Vol. 2, hl. 478. Dalam Kisah Rasul, jemaat secara keseluruhan menetapkan pejabat
untuk pengawasan jemaat, mereka memilih Judas (Kis 1) sebagai pewaris jabatan Rasul, memilih
diakon yang pertama (Kis. 13:1-3). ketika mereka kembali ke Anthiokia, para rasul membuat
laporan ke seluruh jemaat (Kis. 14:27). Akhirnya Paulus mengirim Barnabas ke Jerusalem untuk
menolong jemaat menenangkan keadaan (Kis. 15:2-3). Inilah fakta dalam pola perkembangan
system congregasional ada pada Kis. 6.

10

namun ia tidak menasehatkan para majelis jemaat secara khusus namun ia
memerintah mereka. Kedua, adalah jelas bahwa ada perbedaan bishop,
penatua, dan diakon dalam jemaat mula-mula. Menurut pengalaman jemaat
mula-mula bahwa otoritas bishop mendapat persetujuan dan pengakuan jemaat.
Bila ini ditekankan maka ada kecenderungan bahwa jemaat tidak kuat dasarnya
sebagai tubuh Kristus dalam PB atau kita memperkuat asumsi bahwa jemaat
memang sama sekali tidak berdasar pada PB. Ketiga, ketika surat-surat rasul
Paulus dialamatkan kepada seluruh jemaat dan para pemimpinnya, maka suratsuratnya jelas adalah bertujuan untuk untuk mengatur kepemimpinan jemaat.
Model Tanpa Kepemimpinan
11. Ada jemaat Kristen mengatakan bahwa bentuk yang terbaik bagi model
kepemimpinan gereja adalah model: “tanpa pemerintahan (non-government)”.
Yang paling kuat dan tegas menekankan ini adalah kelompok jemaat dalam
aliran Plymouth Brethern.29 Plymouth Brethern menolak pentingnya struktur
ada dalam kepemimpinan (pemerintahan) gereja. Menurut mereka bahwa
kepemimpinan jemaat cukuplah sebagai buah refleksi batin manusia dari
karunia Roh Kudus. Yang menganut system ini secara langsung
memanfaatkan anggapan ini sebagai model khusus lembaga dan organisasi
jemaat. Plymouth Brethren menekankan bahwa “terang batin” jemaat secara
pribadi dan makna keanggotaan jemaat secara kolektif sedapat mungkin
diminimalisasi, yang ditonjolkan adalah keanggotaan jemaat secara individu
(keselamatan pribadi) yang melaluinya pengaturan jemaat secara eksplisit
ditolak. Di pihak lain, pada jemaat-jemaat local ada pengawas yang
menyelenggarakan pertemuan jemaat, dan pertemuan-pertemuan jemaat ini
hanya berlangsung untuk menentukan aksi pelayanan walau tanpa melalui
kesepakatan sesama jemaat. Mereka menganggap bahwa kesepakatan dalam
jemaat hanya boleh terjadi kalau melalui hasil dari tuntunan Roh Kudus.
Kelompok jemaat Plymouth Brethren sebagai penganut system ini, mereka
menolak konsep gereja yang kelihatan (visible church), menurut mereka bahwa
gereja eksis di dunia ini terutama hanya dalam bentuk gereja yang tidak
kelihatan (invisible church) yang dibentuk oleh komunitas semua orang
percaya. Bagi kelompok ini tidak ada kebutuhan akan suatu bentuk organisasi
termasuk pejabat khusus dalam gereja. Roh Kuduslah yang mengatur semua
unsur dalam jemaat.30 Setiap kelompok jemaat sedapat mungkin nyata selalu
berusaha untuk menolak structur organisasi dan mereka berpendirian bahwa
kuasa pekerjaan Roh-lah sebagai model langsung yang memimpin keinginan
mereka pada kebutuhan kepemimpinan jemaat. Kelompok ini menganggap
bahwa sensivitas Roh Kudus merupakan unsur idealistis di dalam jemaat.
Menurut mereka issue utama dalam hal ini adalah bagaimana menghargai
Alkitab sebagai alat komunikasi dengan Roh kudus yang menuntun kepada
kehidupan.
29
30

Millard J. Erikson, Op.Cit., hl. 1093
Rufus M. Jones, The Faith and Practice of the Quakers (London: Methuen, 1928) hl. 54-59

11

B.
Sinodal
12. Secara sederhana, sinode diartikan sebagai: “berjalan bersama-sama” (Sinode:
ist Yunani, sun artinya bersama-sama, hodos artinya: “jalan”). Sisi sinodal
dalam jemaat ini berwujud kolektif antara jemaat secara umum mulai dari
jemaat local, wilayah, konferensi wilayah hingga ke tingkat nasional sampai ke
tingkat universal. Dalam gereja Katolik misalnya, persekutuan/persaudaraan
sinodal berarti berjalan bersama-sama sebagai saudara-saudara seiman,
sebagai umat Allah menuntut hubungan erat dan wajar di antara anggotaanggota hierarki atau klerus dan umat beriman pada tingkat keuskupan. Atas
dasar ini uksup dapat menghadirkan dan mewakili gereja Partikular yang
dipercayakan kepadanya demikian pada tingkat keuskupan. Segi horizontal
(sinodal, kolegial, konsiliar) tidak boleh dimatikan oleh segi vertical (sentralisme
Penguasa), dua hal ini harus saling melengkapi. Di gereja Protestan sinode
diadakan sebanyak mungkin untuk secara bersama menentukan arah
perkembangan jemaat yang bersangkutan. Kerjasama antara jemaat dengan
gereja yang berlangsung dalam suatu sinode (konsili) pada tingkat yang
berbeda disebut konsiliarisme.31 Masa abad mula-mula, sidang-sidang para
uskup untuk mengambil sikap dan keputusan tentang masalah-masalah ajaran/
doktrin, tata tertib dan tindakan pastoral serta administrasi ini dilakukan pada
satu sinode yang disebut juga sebagai Konsili. Dasar teologis konsili (sinode)
adalah sifat gereja sebagai persekutuan (communio), yang oleh karenanya
anggota-anggota yang mengemban tugas dan tanggungjawab sebagai pelayan
berkumpul untuk secara bersama mempergumulkan dan mencari jalan
bagaimana memelihara hubungan antara jemaat dengan Kristus sebagai
kepala gereja (dan menjauhkan segala seuatu apa yang menjauhkan jemaat
dari Kristus misalnya konflik, ajaran sesat, skisma/bidat dan lain-lain). Inilah
dasar dan alasan yang paling kuat mengapa sinode (konsili) menjadi unsur
konstitusional dalam gereja artinya keputusan-keputusannya dapat diterima
oleh seluruh gereja (bnd. Sinode pertama para rasul, Kis. 15 ; lih juga Gal 2:110).
Ke-Paus-an
(Papalisme)
13. Paus (ke-Paus-an: Papal) adalah: “system pemerintahan atau kepemimpinan
gereja Roma Katolik (RK) mulai dari abad mula-mula hingga sekarang”. Dalam
system ini gereja RK dipimpin oleh Paus yang disebut sebagai papal”.32 Paus
(Bishop Roma) adalah pemimpin spiritual paling prinsip dan kuasa pastoral
31
32

A. Heuken, Ensyklopedia; IV Ph - To, Op.Cit., hl. 243
Kata “papal “ berasal dari bahasa Latin: “papa (pope: Paus) diartikan sebagai Bapa”. Paus
dianggap sebagai Bapa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam gereja. Lih. Joseph A
Komonchak dkk (ed), The New Dictionary of Theology (Wilmington: Delewre, 1989) hl. 779784

12

yang paling tinggi di dalam gereja Roma Katolik. Sebutan paling klasik bagi
Paus berasal dari bahasa Belanda (dari kata Italia) yakni: “papa” yang diartikan
sebagai “Bapa”. Awalnya sebutan Paus muncul dalam gereja Timur yakni di
Patriarch Alexandria, yang dari abad ke-6 sebutan papa ini baru dikenakan
kepada Bishop Roma dan kemudian abad ke-8 dipergunakan untuk gereja
Barat. Menurut kebiasaan komunitas jemaat Koptik di Mesir masa abad mulamula, untuk menyapa bapa keluarga, pemimpin biara dan batrik dari Alexandria
biasa dipakai sebutan: “appa”. Misalnya, Atanasius sebagai Batrik (keuskupan
untuk gereja Barat) Alexandria yang dengan gigih menyerang bidat Arianisme
kemudian membawa sapaan ini ke Roma, waktu terpaksa mengungsi masa
abad ke-4 ke kota Roma. Hingga masa abad 20 ini, sapaan “Paus” juga masih
sebagai gelar resmi bagi Batrik gereja Koptik Alexandria. 33 Selanjutnya, karena
Paus dianggap sebagai bapa rohani seluruh jemaat dalam gereja RK, maka ia
disapa sebagai “Santo Padre” (Bapa Suci) yang dikaitkan dengan gelar: “wakil
Kristus di bumi”. Gelar lain disebut juga sebagai: Servus Servorum Dei (abdi
para abdi Allah) juga disebut sebagai: Pontifex Maximus (Imam Agung) di
mana dalam gereja RK semua gelar ini harus merujuk pada Mat. 23:8-12. Bagi
gereja Katolik gelar Paus menunjukkan keunikan kekuasaan dan
tanggungjawab dari jataban ini. Sesuai tradisi (dalam sejarah) RK, sebutansebutan yang kemudian dikenakan kepada jabatan Paus, ia disebut sebagai:
“Bishop Roma, wakil Yesus Kristus, pewaris jabatan Rasul, Paus (Pastor
tertinggi) bagi gereja yang universal, Patriarkh Barat, Uskup tertinggi Italia,
uskup besar atau metropolitan wilayah Roma, kedaulatan tertinggi Negara kota
Vatikan, hamba dari hamba Tuhan”. 34 Kepausan adalah: “lembaga terbesar
dari semua tradisi Barat yang tidak hanya bagi gereja tetapi juga bagi Negara”.
Ia juga uskup agung untuk wilayah gereja Roma yang sejak tahun 1054, Paus
dipilih oleh para imam bersama umat. Menurut RK, Kristuslah yang telah
menetapkan Rasul Petrus dan para penggantinya yang bertanggungjawab
agar seluruh gereja RK bersatu di dalam iman dan cinta kasih. Paus adalah
anggota sekaligus sebagai kepala dewan para uskup seperti Rasul Petrus
diangkat Kristus menjadi anggota sekaligus sebagai kepala dewan para rasul.
Oleh karena itu, dipandang dari berbagai segi menurut RK, para uskup dan
Paus adalah merupakan penerus tugas para rasul dan Petrus. Paus bukan
pengganti Kristus, melainkan pengganti Rasul Petrus. Jabatan kepausan bukan
fungsi dewan uskup sedunia dan para uskup bukan alat atau wakil Paus.
Sebagai kepala dewan uskup, uskup Roma mempunyai kuasa jabatan
tertinggi, lengkap, langsung dan mengenai seluruh gereja. Uskup Roma tidak
memiliki kuasa duniawi atas umat (kecuali dalam batas-batas Kota Vatikan).
Keuskupan Roma digembalakan sehari-hari oleh seorang wakil yang atas
nama Paus yang katedralnya adalah Basilika Lateran.
Sebagai sebuah system kepemimpinan di dalam gereja (khususnya di Barat),
system kepausan dimulai masa abad kelima ketika uskup yang berkedudukan
33

34

Lih. A. Heuken, Ensiklopedi Gereja: III Kons – Pe (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1993) hl. 290.
Lih. Josph A Komonchak, Op.Cit., hl. 779-784

13

di Roma dianggap sebagai Paus yang pertama. Uskup Roma yang pertama
menunjukkan diri sebagai “Paus” (bapa seluruh uskup dan gereja) ialah uskup
Leo I (Agung) yang memegang jabatan uskup dari tahun 440-461. Pada waktu
itu kota Roma dan daerah-daerah lain dari wilayah kekaisaran Romawi Barat
telah dikuasai oleh orang-orang “Barbar” terutama suku-suku Jerman dari
Eropa Utara. Jatuhnya kota Roma ke tangan suku Barbar ini dirasakan oleh
penguasa Romawi dan juga masyarakat Kristen waktu itu sebagai suatu
musibah. Dengan peristiwa itu banyak orang Kristen mengatakan bahwa “akhir
dari dunia telah tiba”. Yerome, seorang ahli Alkitab terkenal pada masanya dan
telah menjadi seorang rahib Kristen di Betlehem mengatakan bahwa peristiwa
itu adalah merupakan hukuman yang diberikan oleh Allah atas dosa
masyarakat Kristen Romawi yang dinilai telah jatuh kepada sifat keduniawian.
Paus sebagai gembala seluruh umat Katolik, ia bukan uskup dari segala
keuskupan, karena uskup diosesan memperoleh jabatannya langsung dari
Kristus. Sebutan Paus sebagai uskup bagi seluruh gereja, ini dimaksudkan
untuk membina persatuan semua gereja dalam iman yang sama, untuk
memajukan kesejahteraan rohani gereja seluruhnya dan setiap gereja
Partikular atau keuskupan bersama-sama. Dari segi isinya kuasa kepausan
merupakan pelayanan untuk mengkuduskan (misalnya dengan mangatur
pokok-pokok ibadah), untuk mengajar dan menggembalakan umat dengan
menggunakan kuasa legislative (mendukung kitab-kitab hukum Kanonik
berbagai ritus Katolik), yudikatif (yang dijalankan oleh peradilan kepausan) dan
adsministratif (misalnya melalui kunjungan). Tidak semua kuasa kepausan
berdasarkan hukum ilahi, sebagian besar fungsinya tumbuh dan berkembang
di dalam sejarah misalnya hak pengangkatan uskup. Ketegangan antara
papalisme dan episkopalisme selalu terjadi dan harus diatasi dalam semangat
persekutuan seluruh jemaat dan tidak secara yuridis adsministratif semata.
Sebagian besar tugas-tugas kepausan dilaksanakan melalui lembaga-lembaga
Kuria Roma. Keputusan Paus adalah keputusan tertinggi yang menurut hukum
gereja tidak boleh digugat (naik banding) dan Paus tidak boleh diadili oleh
kuasa apa pun di dunia, tetapi harus mempertanggungjawabkan segala
tindakannya kepada Kristus sebagai kepala gereja satu-satunya. 35
Sejak tahun 1179, sisytem pemilihan Paus telah diselenggarakan oleh para
anggota dewan Kardinal yang usia seorang Paus dapat dicalonkan harus di
bawah delapan puluh tahun. Selama pemilihan, para cardinal dikurung dalam
suatu ruangan khusus (konklaf) untuk menjaga karahasiaan pemilihan dan
untuk mencegah sedapat mungkin pengaruh dari luar. System pemilihan Paus
diatur oleh sebuah konstitusi gereja yang disebut “Romano Pontifici Eligendo”
(Pemilihan Paus Gereja Roma). Proses pemilihan dilakukan dengan
pemungutan suara, dua kali setiap pagi dan sore, sampai salah seorang
memperoleh lebih dari dua per tiga suara cardinal yang hadir. Dalam pemilihan
yang alot dapat digunakan cara lain atas persetujuan semua cardinal, yakni: a).
Dengan menunjuk beberapa cardinal (9-15 orang) untuk mewakili semua yang
lain; b). Dengan mengubah aturan mayoritas suara (lebih dari dua per tiga
35

Heuken, Op.Cit., hl. 291

14

suara menjadi lebih dari mayoritas mutlak; c). Jika prosedur yang ditempuh
berlarut-larut, dipilih salah seorang dari dua calon yang memperoleh suara
terbanyak dalam pemungutan suara sebelumnya. Cara lain yang tidak bisa
ditempuh ialah dengan aklamasi, yakni semua cardinal memberikan suara
bulat secara spontan tanpa pemungutan suara. Setiap tahap pemilihan,
segera dibakar kertas-kertas suara, yang asapnya tampak keluar dari cerobong
ruang pemilihan di Capel Sikstina di Vatikan. Selama jumlah suara yang
dibutuhkan belum tercapai, dari cerobong itu keluar asap hitam (karena kertas
suara dicampur jerami lembab), kalau sudah tercapai, keluar asap putih. Jioka
calon terpilih menerima pilihan itu, maka mulai sejak saat itu, ia resmi menjadi
uskup Roma dan karenanya Paus, jika ia sudah ditahbiskan uskup, kalau
belum ia harus ditahbiskan uskup lebih dahulu. Orang yang menjadi Paus
dengan pemilihan Kanonik, penerimaan hasil pemilihan dengan bebas dan
tahbisan uskup. Paus baru kemudian mengenakan pakaian kepausan serta
cincin nelayan, lalu para Karinal menyatakan janji kesetiaan kepadanya.
Selanjutnya, cardinal senior memaklumkan terpilihnya Paus baru dari balkon
gereja Santo Petrus Roma dan selanjutnya ia memberikan berkat “Urbi et Orbi”
(Latin: untuk kota Roma dan seluruh dunia). Paus dipilih untuk seumur hidup,
dan jika seorang Paus mengundurkan diri, maka Paus baru harus dipilih
menurut aturan-aturan yang lajim.36
Sampai masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II, sudah terdapat 262
Paus mulai dari Rausl Petrus. Sejak tahun 1009, setiap Paus terpilih berhak
memilih nama resmi yang baru yang dihubungkan dengan perubahanperubahan nama di dalam Alkitab (misalnya: Abram-Abraham, Simon-Petrus,
Saulus-Paulus). Paus adalah kepala Negara Vatikan, tujuannya supaya
dengan bebas dan leluasa Paus dapat menjalin hubungan diplomasi dengan
semua pemimpin Negara dan keuskupan gereja (semua umat Katolik) di
semua Negara di dunia. Hingga masa sekarang ada dua unsur terpenting yang
oleh para ahli teologia diintergrasikan kepada lembaga kepausan, yakni:
pertama, kepausan adalah unsur pertama dan terutama dalam bingkai struktur
organisasi gereja. Gereja Roma Katolik yakin bahwa kepausan adalah sebuah
unsur yang sangat esensial di dalam gereja tetapi tidak sebagai pusat utama
komitmen dan kesaksian gereja. Allah, Kristus, Roh dan kerajaan Allah adalah
focus utama kesaksian kekristenan. Kepausan berada pada posisi hubungan
yang paling mendasar dari kebenaran orang Kristen dengan ketetapan
keunikan missi. Kedua, pada unsur keilahiannya ini merupakan dimensi
sejarah. Paus adalah jabatan yang mempengaruhi wilayah kebudayaan, social
dan politik. Sebagai jabatan dalam gereja mula-mula, Paus tidak sama dengan
Paus masa sekarang. Perkembangan gagasan tentang kepausan terjadi
secara lambat laun bersamaan dengan pertambahan abad demi abad. 37

36
37

Heuken, Ibid., hl. 293
Komonchak, Ibid.

15

Patriarkh
14. Sebagai sebuah system pemerintahan gereja, awalnya istilah Patriark
dipergunakan untuk para Bapa leluhur dalam PL seperti: “Abraham, Ishak dan
Yakub serta untuk keduabelas anak Yakub”. Namun dalam gereja Timur istilah
ini merupakan gelar untuk lima pusat utama kekeristenan pertama yakni: Roma
(Barat), Aleksandria, Anthiokia, Jerusalem dan Konstantinopel (empat terakhir
setelah abad ke III berada di Timur). Di dalam gereja Timur, kuasa Patriark ini
hingga abad ke VI (sebelum muncul dan berkembangnya Islam) sangat tinggi
sebab Patriarkh berhak mengangkat seorang Batrik dimana Batrik yang
diangkat ini mempunyai wewenang atas gereja dan sipil di wilayah propinsi
pelayanannya, seorang Batrik dapat disebut sebagai Metropolitan. 38 Terhadap
focus tekanan penelitian ini, penting diingat bahwa sejak awalnya gereja
merupakan satu kesatuan yang kokoh yang sangat berusaha berjuang
mengikuti pola iman dan ajaran Yesus Kristus yang kemudian diwariskan
kepada para rasul. Pemisahan gereja sebagai Barat dan Timur 39 (mulai abad
ke-III melalui motif perbedaan budaya dan bahasa) sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan Romawi yang berbahasa Latin dan di Timur sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan Hellenis yang berbahasa Yunani. Hingga abad ke IV
pemisahan ini semakin dipertajam melalui pertikaian ketritunggalan (konsili
Nicea, 325). Walau keduanya sempat rujuk sebab didamaikan oleh hasil
keputusan Konsili Konstantinopel (381) dan Konsili Chalsedon (451).
Selanjutnya masa abad ke V, dengan runtuhnya kekaisaran Romawi Barat oleh
Persia (Ottoman), kesatuan politik Romawi Barat dengan kekaisaran Romawi
Timur sangat mempengaruhi gereja di Timur artinya hubungan keduanya
semakin sangat menjauhi satu sama lain. Di Barat, kelembagaan dan
pemerintahan gereja kemudian sangat menguat dengan bentuk kepausan yang
cirinya sangat yakin kepada tororitas gereja. Di Timur menguat bentuk
Patriarkh dengan wilayah pelayanan gereja yang disebut sebagai Batrik yang
cirinya sangat kuat menganggap diri sebagai ortodoks (maksudnya gereja yang
resmi dan sesuai dengan ajaran dan tradisi Kristen yang diwariskan secara
langsung dari para rasul pengikut Yesus Kristus). Selanjutnya, mulai tahun
1054 hingga akhir abad pertengahan (abad XV) tanda