DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU
Page | 1
DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU:
Status Lembaga Gerakan Koperasi dalam Negara yang Berubah
Oleh: Firdaus Putra, HC.1 | Direktur Kopkun Institute2
Yang tak mau berubah, akan dipaksa berubah3
Anonim
Politik lebih terlihat sebagai pengeboran kayu keras yang sulit
dan lama daripada sebuah heroisme perjuangan4
R. William Liddle
PENGANTAR MASALAH
Sejarah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sangat panjang yang dimulai sejak 1947 dengan nama Sentral
Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI). Lantas berubah menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI),
Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) dan terakhir Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).
Wadah gerakan koperasi ini tersebar di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi (Dekopin Wilayah) sampai
tingkat kabupaten (Dekopin Daerah). Keanggotaannya meliputi Dekopin Wilayah, Dekopin Daerah, Induk
Koperasi dan organisasi penunjang gerakan koperasi lainnya.
1 HC kependekan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi sebuah atribusi non akademik. Korespondensi:
[email protected] | www.firdausputra.com
2 Adalah institut sosio-ekonomi dan koperasi yang concern pada tiga bidang: riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta
pemberdayaan sosial (http://kopkuninstitute.org). Merupakan lembaga semi-otonom Koperasi Konsumen Kopkun (http://kopkun.com).
3 Untuk para Pimpinan Dekopin.
4 Untuk mentor dan kolega saya, Suroto, dalam Demokrasi dan Kekecewaan, Yayasan Abad Demokrasi, 2011
Sebagai organisasi wadah gerakan koperasi (apex organization) fungsi Dekopin adalah: 1). Wadah perjuangan
cita-cita, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi; 2). Wakil gerakan koperasi Indonesia baik di dalam maupun
luar negeri; dan 3). Mitra pemerintah dalam pembangunan koperasi untuk mewujudkan tata ekonomi yang
berkeadilan5.
Tiga fungsi tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai kebijakan, strategi dan kegiatan untuk
mencapai tujuan yaitu: Membina dan mengembangkan kemampuan koperasi dalam kedudukannya sebagai
sistem dan pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan tata kelola ekonomi nasional yang
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dengan tetap menegakkan jati diri koperasi6.
Untuk mencapai tujuannya, Dekopin membutuhkan berbagai sumber daya termasuk pendanaan. Dalam
Anggaran Dasar pasal 31 menyebutkan bahwa keuangan Dekopin diperoleh dari iuran anggota, dana
pendidikan dari anggota, penerimaan lain yang sah dan tidak mengikat serta dapat menerima bantuan dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam konteks dapat menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
beberapa kalangan menilai hal tersebut salah dan tidak sepantasnya dilakukan oleh wadah gerakan koperasi
yang bersendi pada kemandirian. Dan sebagian kalangan lain melihat hal itu sebagai akar “kemandulan”
organisasi tersebut7.
Masalah lainnya adalah adanya sifat Dekopin sebagai wadah tunggal ditengarai oleh aktivis koperasi tanah air
sebagai bentuk pengkerdilan gerakan serta merugikan hak warga yang bebas untuk berkumpul dan
berserikat8. Hal ini erat kaitannya dengan hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28.
TUJUAN DAN HIPOTESIS
Paper ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan ilmiah dengan batasan yang ketat. Tujuan paper ini menjawab
dua masalah utama:
Apakah Dekopin sah/ tidak menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk menjalankan kegiatannya? Dan mengapa Dekopin sah/ tidak menerima bantuan
keuangan tersebut?
Apakah Dekopin sah/ tidak menjadi wadah gerakan koperasi di Indonesia? Dan mengapa Dekopin
sah/ tidak menjadi wadah gerakan koperasi di Indonesia?
Tentu saja paper ini bermaksud menguji kelembagaan Dekopin dalam dua konteks masalah utama tersebut.
Hipotesis saya adalah: 1). Dekopin sah menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah karena Dekopin merupakan lembaga negara bantu. 2). Dekopin sah menjadi satu-satunya wadah
gerakan koperasi karena merupakan lembaga negara bantu. Jadi, tesis utama saya adalah Dekopin sebagai
lembaga negara bantu.
5
Anggaran Dasar Dekopin pasal 3 sebagaimana terlampir dalam Keppres No. 6 Tahun 2011
Anggaran Dasar Dekopin pasal 2.
7 Lihat Djabarudin Djohan, Wajah Koperasi Indonesia, 2011 dan http://kopkuninstitute.org/2016/04/27/dekopin-macan-ompong/
8 Lihat Suroto dalam http://regional.kompas.com/read/2011/04/25/03152353/RUU.Perkoperasian.Kapitalis
6
Page | 2
Saya harus mengatakan bahwa bias pandangan mungkin terjadi dimana saya merupakan bagian dari
gerakan sebagai praktisi dan aktivis koperasi. Sehingga untuk memperkecil hal tersebut saya akan
memberikan rujukan-rujukan semaksimal mungkin.
RELASI KOPERASI DAN NEGARA
Page | 3
Koperasi dalam Konstitusi
Dalam penjelasan batang tubuh UUD 1945 sebelum amandemen menyebut kata “koperasi” secara
tekstual. Hal itu sebagaimana kutipan ini, “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi,
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang – seorang.
sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”9.
Secara berulang-ulang bahkan M. Hatta dalam berbagai pidatonya di berbagai kesempatan saat
menjabat sebagai Wakil Presiden dan selepas menjabat, menyebutkan kalimat yang sama,
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”10. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sedari
awal republik Indonesia berdiri menaruh perhatian khusus dan besar kepada entitas koperasi.
Sehingga cukup alasan bila Prof. Sri Edi Swasono menyebut koperasi sebagai Ekonomi
Konstitusional.
Lantas dalam semangat Reformasi, UUD 1945 dilakukan amandemen sampai empat kali. Pasal 33
sebagai pijakan konstitusi ekonomi juga mengalami amandemen dengan merubah, menambah dan
mengurangi ayatnya. Tidak lagi berbunyi bab tentang Kesejahateraan Sosial, melainkan
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Hasilnya adalah kata “koperasi” tidak lagi
tercantum sebagaimana sebelumnya. Prof. Jimly Asshidiqie mengulas panjang-lebar dinamika
amandemen Pasal 33 yang menjadi pijakan konstitusi ekonomi Indonesia. Dalam ulasannya beliau
mengatakan bahwa amandemen tersebut menjadikan koperasi dengan semangat kekeluargannya
sebagai visi umum perekonomian dan bukan semata pelaku usaha11. Sehingga katanya corak
perekonomian nasional Indonesia tetaplah sosialistik. Dalam ulasannya panjangnya Prof. Jimly
mengisahkan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan pertarungan intelektual antara ideologi
neoliberalisme yang pro pasar dengan demokrasi ekonomi.
Yang menarik adalah bahwa pandangan Founding Father itu telah menjadi legacy yang hidup dalam
kesadaran masyarakat Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan kekecewaan dan penuh tanya ketika
“koperasi” tak lagi tercantum dalam UUD 1945. Hal inilah yang ingin saya tunjukkan bahwa legacy
tersebut menjadi salah satu politik hukum tata perundang-undangan di Indonesia, khususnya
adalah perundang-undangan perkoperasian. Mahfud MD menjelaskan bahwa politik hukum
merupakan “Kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah; mencakup pula tentang pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan
9
UUD 1945 sebelum amandemen
Dalam Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Penerbit Kompas, 2015
11 Dalam Jilmy Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, 2010.
10
cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu ”12.
Berbagai konfigurasi aktor serta kekuatan berbagai elemen bangsa itu yang mempengaruhi politik
hukum pada setiap perundang-undangan yang dihasilkan. Yang mana aktor-aktor memiliki
preferensi pandangan ideologi dalam konteks ini pro terhadap koperasi.
Organisasi Gerakan Koperasi dalam Undang-undang
Politik hukum sebagaimana di atas kemudian muncul dan terekspresikan ke dalam beberapa
undang-undang perkoperasian dari zaman ke zaman. Yang dalam konteks itu, undang-undang
dalam hal ini adalah negara, memberikan peran yang besar bagi organisasi gerakan koperasi.
Peranan tersebut secara umum menempatkan organisasi gerakan koperasi yang disebut Dewan
Koperasi Indonesia (Dekopin) untuk membina dan mengembangkan koperasi di Indonesia dengan
posisi sebagai wadah tunggal.
Page | 4
Posisi gerakan koperasi dan/ atau Dekopin dari beberapa UU Perkoperasian di Indonesia
sebagaimana di bawah:
Masa
Orde
Lama
Orde
Baru
12
Legitimasi
No. 79
Tahun 1958
Posisi
Tidak diatur
PP No. 60
Tahun 1959
Tidak diatur
UU No. 14
Tahun 1965
Tunggal dan
piramidal
UU No. 12
Tahun 1967
Tunggal
UU No. 25
Tunggal
Ayat Penetapan
Penjelasan Pasal 6 Bimbingan dan pimpinan gerakan
Koperasi ada ditangan Pemerintah sehingga terjamin
terselenggaranya usaha rakyat Indonesia menguasai
perekonomian rakyat melalui Koperasi.
Penjelasan Pasal 22 Untuk mencegah penggunaan koperasi
sebagai alat dari pada suatu golongan masyarakat maka
perlu Pemerintah senantiasa mengawasi semua
perkumpulan yang bekerja dalam lapangan cita-cita
kekoperasian dalam rangka pelaksanaan ekonomi
terpimpin. Pemerintah berpendirian bahwa de-officialisasi
dari pada Gerakan Koperasi bertentangan dengan azas-azas
demokrasi dan ekonomi terpimpin
Pembentukan badan termaksud dalam ayat (1) pasal ini
serta penentuan garis-garis besar s
organisasi serta perincian tugasnya diatur dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia.
Untuk memperjuangkan tercapainya cita-cita, tujuan dan
kepentingan bersama Koperasi Indonesia,
didirikan satu Badan oleh gerakan Koperasi, yang bentuk
organisasinya tunggal.
Menteri memberikan pengesahan sebagai Badan Hukum
bagi Badan yang dimaksud dalam ayat (2)
diatas.
Koperasi secara bersama-sama mendirikan satu organisasi
Dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Poltik Hukum Menegakkan Konstitusi, 2006.
Tahun 1992
tunggal yang berfungsi sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai
pembawa aspirasi Koperasi.
Organisasi yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam
Page | 5
Pasal 57 ayat (1)disahkan oleh Pemerintah.
Reform UU No. 17
asi
Tahun 2012
(sudah
dibatalkan
oleh MK)
Tidak tunggal
Organisasi tersebut bukan merupakan badan usaha dan
karenanya tidak melakukan kegiatan usaha
ekonomi secara langsung. Pada saat diundangkannya
Undang-undang ini, organisasi ini yang bernama
Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) selanjutnya harus
menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini.
Tujuan dan kegiatan organisasi tersebut harus sesuai dan
selaras dengan jiwa dan semangat
yang terkandung dalam Undang-undang ini.
Gerakan Koperasi mendirikan suatu dewan Koperasi
Indonesia yang berfungsi sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai
pembawa aspirasi Koperasi, dalam rangka
pemberdayaan Koperasi.
Anggaran Dasar dewan Koperasi Indonesia disahkan oleh
Pemerintah.
Yang dimaksud dengan "dewan Koperasi Indonesia” yang
selanjutnya disingkat Dekopin merupakan kelanjutan dari
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia disingkat
SOKRI, yang didirikan pada tanggal 12 Juli 1947 oleh Kongres
Koperasi Seluruh Indonesia yang Pertama, yang
diselenggarakan di Tasikmalaya.
Dari kacamata politik hukum, saya ingin menegaskan bahwa posisi dan peranan Dekopin yang
begitu besar dan sampai ditetapkan langsung oleh UU bukanlah hal yang ahistoris dan mengadaada. Sebaliknya, konfigurasi aktor dalam perumusan UU tersebut menilai bahwa koperasi sebagai
soko guru ekonomi Indonesia dan organisasi gerakannya harus diatur dalam sebuah UU.
Meski demikian hal tersebut erat kaitannya dengan kepentingan politik rezim berkuasa untuk
menjinakkan gerakan-gerakan sosial menjadi kooperatif terhadap pemerintah. Pertama, rezim Orde
Lama dibawah kepemimpinan Soekarno melakukan kooptasi gerakan koperasi sebagai alat revolusi
menuju sosialisme Indonesia. Pada UU No. 14 Tahun 1965 Pasal 6 menegaskan peranan gerakan
koperasi sebagai berikut:
1.
Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen kecuali yang
merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan produksi, mengadilkan dan
meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapuskan sisa-sisa imperialisme, kolonialisme dan feodalisme;
3. Membantu memperkuat sektor ekonomi Negara yang memegang posisi memimpinnya;
Page | 6
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat Sosialis Indonesia.
Selang dua tahun UU Perkoperasian diganti dengan UU No. 12 Tahun 1967. Secara tegas UU ini
menilai bahwa UU No. 14 Tahun 1965 telah merusak gerakan koperasi karena, “Menempatkan fungsi
dan peranan koperasi sebagai abdi langsung daripada politik, sehingga mengabaikan Koperasi
sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat; Menyelewengkan landasan-landasan azas-azas dan
sendi- sendi dasar koperasi dari kemurniannya”.13
Tak berbeda jauh dengan Orde Lama, Soeharto melakukan kooptasi gerakan koperasi sebagai
instrumen pembangunan yang masih terus berlanjut pada UU No. 25 Tahun 1992. Pendekatan politik
Soeharto yang kooptatif tak hanya dilakukan kepada gerakan koperasi semata, melainkan pada
kelembagaan masyarakat lainnya. Sebutlah organisasi ICMI, monoloyalitas PNS, azas tunggal
Pancasila, proyek Jawanisasi di berbagai nama jalan dan tempat, organisasi kepemudaan, asosiasi
profesional seperti KADIN, HIPMI dan lain sebagainya14.
Orde Lama
Kooptasi
NGO
Orde Baru
Quasi NGO
Instrumentasi
Terminologi Quasi NGO15 dalam konteks ini saya batasi penggunaannya hanya untuk
menggambarkan transformasi gerakan sosial (NGO) yang telah dikooptasi oleh pemerintah sehingga
tak lagi memiliki derajat independensi yang mencukupi sebagai NGO dalam makna sebenarnya.
Meski tidak persis sama dalam konteks satu-dua dekade belakangan kita mendengar apa yang
namanya LSM Plat Merah yang dibuat oleh politisi, masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh
kucuran dana/ akses program pemerintah16.
Gerakan Koperasi dari Masa ke Masa
Fase 1947-1958
Gerakan
koperasi
saat itu bernama
SOKRI.
Dimana
13
Fase 1959-1965
Kooptasi dilakukan oleh
rezim
Orde
Lama
dengan membubarkan
Fase 1967-1998
KOKSI bentukan Orde
Lama
dibubarkan.
Kembali ke Dewan
Fase 1999-2010
Dalam era Reformasi
ini Dekopin mulai
menerima
dana
Bagian pertimbangan UU No. 12 Tahun 1967.
Lihat M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, 1996.
15 Dalam kajian Administrasi Publik, Quasi NGO kajian tersebut adalah lembaga privat bentukan pemerintah yang didanai pemerintah
untuk tujuan-tujuan pemerintahan. Stafnya bersifat pegawai swasta, bukan PNS. Kantornya di luar gedung pemerintahan. Lihat The Quasi
Non Governmental Organization, Andrew Carnigie, 1967.
16 Lihat Tuty Alawiyah, Sektor LSM di Indonesia, 2012.
14
hubungan gerakan
dengan pemerintah
harmonis
dan
17
“menyatu” .
Dewan
Koperasi
Indonesia (DKI) diganti
menjadi KOKSI dipimpin
langsung oleh Menteri.
Koperasi
Indonesia
(Dekopin).
Lantas
dikooptasi oleh rezim
Orde Baru sebagai alat
pembangunan (KUDsasi)
APBN.
Kemudian
terjadi konflik internal
antara Adi Sasono
dan Nurdin Halid18.
Negara yang sedang Negara yang otoriter Negara yang otoriter
mencari
bentuk dikenal
sebagai dikenal sebagai Era
pasca kemerdekaan Demokrasi Terpimpin.
Demokasi Pancasila.
dikenal sebagai Era
Demokrasi Liberal.
Negara
yang
demokratis
dan
desentralistik. Dikenal
sebagai
Era
Konsolidasi
Demokrasi.
Page | 7
Pada tabel di atas kita lihat bahwa gerakan koperasi selalu mudah dikooptasi/ dihegemoni oleh
negara. Saya berpendapat bawah hal itu disebabkan oleh dua hal:
1. Visi konstitusi Indonesia yang cenderung sosialistik meletakkan koperasi atau modus kooperatif
sebagai ideal type bangunan ekonomi bangsa. Visi tersebut merupakan legacy langsung dari
para Founding Father Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 dan beberapa UU lain seperti
UUPA 1960 dan sebagainya. Visi semacam itu yang disebut Eugen Ehrlich sebagai living law atau
hukum yang hidup di masyarakat19. Hal itulah yang membentuk politik hukum perundanganundangan di Indonesia dimana koperasi menjadi model favorit yang selalu diperjuangkan.
Terkonfirmasi misalnya dari survai Kompas yang menyebut:
2. Mudahnya gerakan koperasi dikooptasi oleh kekuasaan bukan hanya karena lembamnya aktoraktor atau aktivis koperasi tanah air, melainkan lebih mendasar dari itu bahwa gerakan koperasi
tanah air tidak memiliki tradisi politik gerakan radikal20 seperti serikat buruh, serikat tani dan
organisasi masyarakat sipil lainnya21. Tradisi koperasi cenderung mengembangkan “gerakan
pembangunan” yang karenanya akan selalu kompatibel dan bertemu dengan pemerintah.
Sebuah tradisi yang bila kita gunakan terminologi lama (dan terdaur ulang di masa kini) adalah
tradisi “kekaryaan”.
NEGARA YANG TERUS BERUBAH
Perubahan Paradigma Administrasi Negara
Sebagai entitas organik, negara sebenarnya bukan sesuatu yang tetap, ajeg dan status quo.
Sebaliknya, negara bersifat organis dan mengikuti perubahan zaman, dinamika global dan
sebagainya. Secara jelas misalnya kita bisa melihat perubahan “negara” Orde Lama, Orde Baru ke
17 Djabaruddin Djohan (2011) menggunakan istilah “menyatu” yang saya tafsirkan sebagai proses hegemoni pemerintah melalui M. Hatta
(Wakil Presiden) yang berperan langsung dalam pembinaan dan pengembangan koperasi di tanah air.
18 Dalam Djabaruddin Djohan, Wajah Koperasi Indonesia, 2011
19 Dalam Andi Kasmawati, Humanis, Volume XII Nomor 1, Januari 2011
20 Politik gerakan radikal (radikal berasal dari kata radix artinya mengakar) misalnya praktik yang dilakukan oleh John Bamba dalam CU
Gerakan:
http://indoprogress.com/2015/10/john-bamba-cu-gerakan-adalah-alternatif-terbaik-saat-ini-buat-gerakan-civil-society-diindonesia/
21 Simak analisis Dodi Faedulloh tentang Koperasi yang Progresif dalam http://indoprogress.com/2014/01/membangun-koperasi-progresif/
dan tulisan saya tentang hubungan Koperasi, Negara dan Politik di http://www.firdausputra.com/2010/10/koperasi-negara-dan-politik.html
Reformasi dan Pasca Reformasi dewasa ini. Berbagai faktor telah membuat atau memaksa negara
berubah menjadi lebih demokratis, terbuka dan partisipatif.
Dalam kajian Administrasi Publik, perubahan paradigma tersebut sangat terasa. Birokrasi Weberian
yang dikenal sebagai iron cage yang lamban, birokratis, korup tercermin dalam paradigma Old Public
Page | 8
Administration (OPA)22 mengalami perubahan ke arah New Public Management (NPM)23. Tuntutan
efisiensi sumber daya, efektivitas kinerja dan lain sebagainya menjadi indikator utama dalam
paradigma NPM atau yang dikenal dengan istilah mewirausahakan birokrasi. Sederhananya adalah
agar mesin birokrasi pemerintah seefisien dan efektif manajemen perusahaan swasta.
Kemudian ketika NPM dinilai kebablasan dan hilang arah dengan banyaknya privatisasi dan
komersialisasi yang dilakukan negara, lahirlah New Public Service (NPS)24. Paradigma ini
mengembalikan negara sebagai pelayan publik dengan merangkul masyarakat sehingga bersifat
partisipatif. Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya adalah perubahan paradigmatik dari
pemerintah (government) ke kepemerintahan (governance). Sehingga pemerintah tak lagi dianggap
sebagai satu-satunya penyedia layanan publik namun pada saat yang sama dapat dilakukan oleh
pihak swasta dan masyarakat25.
Perubahan sentrum dari government ke governance26 tersebut melahirkan banyak variasi
pendekatan: Good Governance yang menitikberatkan pada responsivitas dan akuntabilitas layanan
publik. Kemudian ada Collaborative Governance dengan corak tata kelola kolaboratif antara
pemerintah dengan swasta atau masyarakat yang skema umumnya dikenal sebagai Public Private
Partnership. Tren ini mulai terlihat jelas belakangan ini ditandai dengan misalnya: Relawan-relawan
yang berkolaborasi dengan pemerintah; Pelibatan masyarakat lebih terbuka luas dalam tata kelola;
Lahirnya berbagai badan-badan yang dikenal sebagai State Auxiliary Bodies (SAB) dan lain
sebagainya.
22
Lembaga Negara Bantu
Lembaga Negara Bantu atau terminologi umumnya adalah State Auxiliary Bodies merupakan
ekspresi dari perubahan paradigma pemerintahan dari government ke arah governance. Hal
tersebut tak hanya terjadi di Indonesia yang menemukan momentum ketika Reformasi, melainkan
terjadi di banyak negara lain27. Lembaga Negara Bantu ini tak bisa lagi didefinisikan dalam cara
pandang konvesional ala Trias Politica-nya Montesquieu. Bahkan sebagian kalangan menyebut
Lembaga Negara Bantu ini sebagai Pilar Keempat dari tata pemerintahan kontemporer.
Jay M. Shafritz, dan Albert C. Hyde, Classics of Public Administration, 1995
Lihat Owen E. Hughes, Public Management and Administration: An Introduction (3rd Edition), 2003 dan David Osborne dan Ted
Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, 1996.
24 Lihat Robert B Denhardt dan Janet V. Denhardt, New Public Service, 2007
25 Lihat Miftah, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, 2008
26 Tentang Paradigma Governance, Stoker mengemukakan karakteristik paradigma tersebut: 1. Governance merupakan bangunan
institusi dan aktor yang melampaui pemerintah (state); 2. Governance teridentifikasi dalam kaburnya batas dan tanggungjawab dalam
konteks isu sosial dan ekonomi; 3. Governance teridentifikasi pada kemandirian kekuatan untuk mengelola aksi kolektif; 4. Governance
merupakan otonomi swa-kelola jaringan antar aktor; 5. Governance mengakui kapasitas untuk mendapatkan sesuatu yang tidak
tergantung pada kekuatan pemerintah. Lihat Stoker, Gerry. 1998. Governance as Theory: Five Propositions, 1998. Dan lihat Osborne,
Stephen P. Osborne, The New Public Governance?: Emerging Perspectives on The Theory and Practice on Public Governance, 2010
27 Ada 40.000 SAB di Italia, ratusan di Perancis, ribuan di Inggris dan lainnya. Lihat Rizky Argama, 2007.
23
Para ilmuwan mendefinisikan Lembaga Negara Bantu sebagai, “Keberadaannya bersifat publik, juga
didanai oleh dana publik, serta untuk kepentingan publik, sehingga tidak dapat disebut sebagai
NGO`s dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, secara tidak resmi memang masuk akal jika
disebut sebagai quasi NGO`s yang merupakan singkatan dari quasi autonomous Non Govermental
Organization”28.
Di Indonesia lahirnya Lembaga Negara Bantu erat kaitannya dengan tuntutan publik ketika
Reformasi 1998 dulu kala. Tuntutan-tuntutan tersebut seperti: Transparansi pemerintahan dan
bersih dari KKN, sehingga lahirlah KPK, Ombudsman dan sejenisnya; Penegakan hak-hak azasi
manusia, lahirlah Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan sebagainya; Keterbukaan akses
informasi untuk publik yang melahirkan Komisi Informasi Publik dan berbagai tuntutan lain yang
bersifat mendesak, khas, pemihakan dan tak bisa terwadahi dalam lembaga negara konvensional
yang ada.
Pemerintah menggunakan Lembaga Non Struktural (LNS) untuk menyebut jenis Lembaga Negara
Bantu tersebut. Per 2013 Lembaga Administrasi Negara (LAN) mencatat ada sekitar 135 Lembaga
Non Struktural dalam berbagai bentuknya: komisi, komite, dewan, badan, lembaga, tim dan
lainnya29. Keberadaan LNS tersebut ada yang dibentuk karena amanat UU, PP, Perpres dan Keppres.
Sebagai contoh yang dibentuk karena amanat UU seperti: Dewan Pers, Dewan Koperasi Indonesia,
Dewan Ketahanan Pangan, KPPU, KPAI, KPI, Komnas Perempuan dan sebagainya. Sedangkan yang
dibentuk berdasarkan Keppres seperti: KNKT, Dewan Gula, KONI, BAZNAS dan lainnya30.
Hamdan Zoelva mendefinisikan LNS sebagai, “Institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas
khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah (konvensional) dengan
keunikan tertentu dan memiliki karakteristik tugas yang urgen, unik, dan terintegrasi serta
efektif”31. Sedangkan Kementerian Sekretariat Negara menjelaskannya sebagai, “Sebagai lembaga
yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang fungsi negara dan
pemerintah, yang dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, serta
dibiayai oleh negara”32.
Karakteristik LNS menurut LAN sebagai berikut33:
1. Keberadaannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan
2. Melaksanakan tugas tertentu yang bersifat mandiri dan tidak dilakukan oleh instansi
pemerintah lainnya
3. Pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
4. Kedudukan berada di luar struktur pemerintahan
5. Bertanggungjawab kepada masyarakat
6. Tidak dapat diintervensi oleh institusi manapun
28
Dalam Sri Hadiati, Kriteria Lembaga Non Struktural Tinjauan Administrasi Negara, 2012
Dalam Arsitektur Kelembagaan Negara, 2015.
30 Profil Lembaga Non Struktural 2010, hal 146-148.
31 Dalam Kajian Kelembagaan Sekretariat Komisi Informasi Pusat, 2015.
32 Dalam Arsitektur Kelembagaan Negara, 2015.
33 Hal 69-70 Evy Trisulo, Konfigurasi
29
Page | 9
7.
Keanggotaan bisa berasal dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, kalangan perguruan
tinggi, profesional dan sebagainya.
Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan-tujuan
sebagai berikut34:
Page | 10
1. Efisiensi pelayanan;
2. Pemusatan (konsentrasi/ integrasi) fungsional;
3. Independensi dari intervensi politik dan mencegah konflik kepentingan;
4. Prinsip pembagian habis fungsi-fungsi kekuasaan negara dan pemerintahan sehingga
tidak ada yang tumpang tindih.
Sebab-sebab lahirnya Lembaga Negara Bantu sebagai berikut35:
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat
personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di
bidang kedokteran dan hukum.
4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi-yudisial dan berfungsi untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ alternatif
penyelesaian sengketa).
Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu
Seperti terjelaskan di muka bahwa secara negara terus mengalami perubahan yang ditandai dengan
perubahan pada level paradigmatik Administrasi Publik dan bertemu dengan momentum
Reformasi. Meletakkan Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu dalam konteks negara yang
berubah tersebut. Yang bila kita ingat bahwa Lembaga Negara Bantu bersifat independen yang
bertanggungjawab kepada masyarakat.
Dalam terminologi tata negara kontemporer Dekopin sudah cukup syarat menjadi sebagai Lembaga
Non Struktural (LNS) dengan karakteristik sebagaimana tersebut di atas. Hal-hal yang harus
menjadi titik tekan bahwa LNS dapat diisi oleh unsur masyarakat dan bertanggungjawab kepada
publik. Dengan begitu, Dekopin sebagai LNS tetap tidak tercerabut dari akar keberadaan dan
muasalnya (raison d’etre) sebagai lembaga gerakan koperasi.
Perubahan paradigma Administrasi Publik dari government ke governance merupakan bentuk
canggih evolusi tata pemerintahan yang membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam
kebijakan publik mulai dari perencanaan, sumber daya, implementasi, monitoring dan evaluasi. Hal
ini tidak bisa dipahami sebagai proses kooptasi rezim politik terhadap suatu organisasi masyarakat,
justru sebaliknya adalah partisipasi organisasi masyarakat secara langsung dan signifikan dalam tata
pemerintahan negara.
34
35
Makalah pada Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Struktural oleh Kantor Menpan Republik Indonesia, 1 Maret 2011
Lihat Rizky Argama, Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, 2007
Dekopin sebagai LNS dengan sendirinya sah secara konstitusional untuk menerima pembiayaan dari
APBN guna membiayai kerja-kerja publiknya. Yang selanjutnya karena Dekopin sebagai LNS maka
jumlahnya cukup satu sebagaimana yang dikatakan Jimly Asshidiqie di atas dalam rangka
pemusatan/ konsentrasi fungsional. Maka sudah cukup tepat perumus UU No. 17 Tahun 2012 (yang
Page | 11
dibatalkan MK) dengan menyebut, “Gerakan koperasi mendirikan suatu dewan Koperasi Indonesia
yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai
pembawa aspirasi koperasi, dalam rangka pemberdayaan koperasi”36.
Dekopin sebagai LNS harus mencukupi beberapa hal di bawah ini:
1. Para pengurusnya adalah para profesional, praktisi atau aktivis koperasi yang tidak menjabat
sebagai Pengurus Partai Politik. Hal ini sesuai dengan latar belakang berdirinya Lembaga Negara
Bantu yakni layanan yang tidak diintervensi kepentingan politik.
2. Melakukan pertanggungjawaban secara vertikal (kepada pemerintah) dan horizontal (kepada
gerakan koperasi) dan diagonal (kepada lembaga negara lainnya).
3. Menjaga independensi dan berpihak kepada gerakan koperasi sebagaimana perintah UU.
4. Menjalankan tata kelola yang baik (good governance)37.
REVITALISASI DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NON STRUKTURAL
a. Perubahan Paradigma
Reformasi
Pasca Reformasi
Kooptasi
Demokratisasi
Representasi
Instrumentasi
Governance
Partisipasi
NGO
SAB
Independent Organt
Orde Lama
Orde Baru
Quasi NGO
36
UU No. 17 Tahun 2012. Perlu diperhatikan bahwa JR yang dikabulkan MK dengan hasil pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 adalah
dari pemohon gerakan koperasi Jawa Timur yang pokok permohonannya adalah pengujian pasal-pasal: Pasal 1 angka 1 sepanjang
frasa“orang perseorangan”, Pasal 37 ayat (1) huruf f, Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 55 ayat (1),
Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), BAB VII tentang Modal yang terdiri atas Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71,
Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, dan Pasal 77, serta Pasal 80, Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Liat Amar Putusan MK tanggal 28 Mei 2014 tentang Pencabutan UU Perkoperasian No. 17
Tahun 2012 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1702_28%20PUU%202013UUKoperasi-telahucap-28Mei2014-tdk%20dtrima-%20wmActionWiz.pdf Status dikabulkan. Sehingga MK belum mengeluarkan justifikasi
terhadap
pasal
lembaga
gerakan
koperasi
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1701_60%20PUU%202013-UUKoperasitelahucap-28Mei2014%20-%20Copy-%20wmActionWiz.pdf Status tidak dapat diterima.
37 Ada 10 prinsip good governance: 1. Akuntabilitas 2. Pengawasan 3. Daya tanggap 4. Profesionalisme 5. Efisien dan efektif 6.
Transparansi 7. Kesetaraan 8. Wawasan ke depan 9. Partisipasi dan 10. Penegakan hukum.
Skema di atas memperlihatkan bahwa harus terjadi transformasi paradigmatik peran Dekopin
dalam negara yang berubah ini. Dekopin meskipun dari dulu berwujud Quasi NGO karena
dikooptasi/ dihegemoni pemerintah terus menerus, pada masa Pasca Reformasi ini harus
meneguhkan dirinya sebagai Lembaga Non Struktural yang bersifat independen. Keberadaan
Dekopin merupakan mandat UU yang ditugaskan untuk mengawal gerakan koperasi tanah air.
Faktor yang mendorong perubahan tersebut bisa berupa insentif dan disinsentif sumber daya. Bila
Dekopin tidak dapat memerankan diri sebagai lembaga independen, akuntabel, transparan, efektif
dan efisien, maka Kementerian PAN dan RB bisa melakukan evaluasi terhadap keberadaannya 38.
Dekopin sebagai LNS justru akan lebih mudah dievalusi secara konstitusional daripada melingkar
dalam model Quasi NGO yang susah dituntut pertanggungjawabannya baik secara vertikal maupun
horizontal.
Dalam Manajemen Perubahan (change management) dinyatakan bahwa perubahan bisa berasal
dari dalam internal organisasi atau tuntutan lingkungan eksternal. Dalam konteks yang demikian,
Dekopin sebagai LNS dituntut (dari eksternal) untuk melakukan perubahan-perubahan secara
fundamental. Dekopin harus mampu merepresentasikan diri sebagai independent organt yang
menyaratkan adanya partisipasi dari basis gerakan terlibat aktif dalam lembaga. Tentu saja ruang
partisipasi tidak boleh sebatas prosedural belaka bahwa Dekopin terbuka bagi semua lembaga,
namun harus dimulai dari sikap Dekopin yang membuka diri lewat transparansi kinerja dan
anggaran.
38
Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/13083781/Kementerian.PAN-RB.Ajukan.Izin.Pembubaran.14.Lembaga.NonStruktural
Page | 12
b. Perbandingan Akuntabilitas Dekopin
Dekopin sebagai Lembaga Non Struktural
Pemerintah
Page | 13
Kemenkop
BPK
Kemenkeu
KPK
Kemen PAN
Ombudsman
KIP
Dekopin
AMKI
AKSI
MPI
Induk
ICW
Pusat
Dekopinwil
Dekopinda
Fitra
Koperasi
MTI
Publik
Sebagai LNS maka akuntabilitas Dekopin sebagaimana di atas: Akuntabilitas Vertikal, Akuntabilitas
Horizontal dan Akuntabilitas Diagonal. Akuntabilitas Vertikal (ke atas) terkait dengan keberadaan
dirinya sebagai LNS yang memperoleh pembiayaan APBN. Akuntabilitas Vertikal (ke bawah) adalah
pertanggungjawaban kinerja Dekopin kepada anggota-anggotanya: Dekopin Wilayah di tingkat
provinsi, Dekopin Daerah di tingkah kabupaten. Lantas kepada koperasi-koperasi anggota Dekopin
Daerah sebagai basis riil keanggotaan Dekopin. Juga tak ketinggalan kepada publik dalam makna
umum adalah warga negara mengingat Dekopin sebagai Lembaga Non Struktual.
Akuntabilitas Horizontal (ke kanan) ini kepada Induk dan Pusat Koperasi baik anggota atau pun non
anggota Dekopin yang karena kapasitas mereka sebagai organisasi payung (apex organization)
dalam sektornya masing-masing. Akuntabilitas Horizontal (ke kiri) adalah kepada organ-organ
gerakan koperasi lainnya seperti Masyarakat Perkoperasian Indonesia (MPI), Asosiasi Koperasi
Seluruh Indonesia (AKSI) dan lain sebagainya.
Akuntabilitas Diagonal (ke atas) adalah akuntabilitas Dekopin kepada sesama lembaga negara yang
memiliki fungsi pengawasan: transparansi informasi (KIP), kinerja pelayanan (Ombudsman) dan
bahkan penyidikan atas masalah seperti kasus korupsi (KPK). Sedangkan Akuntabilitas Diagonal (ke
bawah) yakni kepada LSM-LSM yang concern memantau penyelenggaraan pemerintahan seperti
ICW, Fitra dan sebagainya.
Dekopin sebagai LNS dituntut oleh perundang-undangan untuk akuntabel kepada lembagalembaga tersebut. Keberadaannya sebagai lembaga publik menginsyaraktkan adanya keterbukaan
Page | 14
informasi kepada publik sebagaimana perintah UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 7 bahwa tentang
Kewajiban Badan Publik:
1. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang
berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang
dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
2. Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
3. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus
membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola
Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
4. Badan Publik wajib membuat pertimbangan secaratertulis setiap kebijakan yang diambil untuk
memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.
5. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
6. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
UU tersebut mendefinisikan Badan Publik dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai berikut:
Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luarnegeri.
Dekopin sebagai LNS tentu harus tunduk pada UU Keterbukaan Informasi Publik sehingga masalah
transparansi anggaran yang selama ini banyak dikeluhkan oleh praktisi, pemerhati dan aktivis
koperasi tanah air harus terselesaikan. Seperti misalnya Teguh Boediyana dalam tulisannya
mengatakan, “Bahkan saat ini terdapat masalah karena sementara organisasi koperasi menganggap
penggunaan dana APBN tersebut tidak jelas dan tranparan”.39
39
Dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, Sinar Harapan, 2009.
Dekopin sebagai NGO
Dekopin
AMKI
AKSI
MPI
Induk
Pusat
Page | 15
Dekopinwil
Dekopinda
Koperasi
Berbeda dengan mekanisme akuntabilitas di atas, akuntabilitas Dekopin sebagai NGO lebih
sederhana dan ditujukan kepada lingkaran gerakan koperasi sendiri. Hal ini tentu membuat berbagai
tuntutan transparansi kinerja dan anggaran dapat dimentahkan begitu saja. Seolah adagium yang
berlaku adalah “semua teman sendiri” atau “semua keluarga sendiri” sehingga lebih banyak
permakluman bagi kekeliruan atau ketidakmasimalan kerja.
c. Ilusi Dekopin Kembali ke Khittah
ebagian kalangan praktisi dan aktivis gerakan koperasi menyerukan agar Dekopin kembali ke
khittah-nya sebagai gerakan sosial murni (NGO). Menurut hemat saya, gagasan kembali ke khittah
tersebut memiliki tiga kelemahan mendasar:
1. Telisik sejarah memperlihatkan bahwa Dekopin selalu dikooptasi/ dihegemoni oleh
pemerintah dari rezim ke rezim yang secara tidak resmi berperilaku sebagai Quasi NGO. Hal
itu sudah terjadi lama sehingga membentuk sebuah budaya organisasi dari Pusat, Wilayah
sampai Daerah. Menurut hemat saya, alih-alih mengembalikan besi bengkok, sebaiknya
gerakan koperasi membangun wadah gerakan baru dan/ atau memaksimalkan gerakan
lain yang sudah ada seperti AKSI dan MPI sebagai genuine NGO.
2. Dalam negara yang berubah ini, maka mendorong Dekopin sebagai LNS yang par excellent
adalah lebih rasional yang akan memaksanya mengikuti berbagai peraturan perundangundangan yang ada. Ditambah dengan Akuntabilitas Vertikal, Horizontal dan Diagonal,
Dekopin akan dipaksa menjadi lembaga publik yang independen, profesional dan
transparan. Pada titik ini saya bersepakat dengan gagasan Teguh Boediyana yang
menyontohkan MPI sebagai pengimbang Dekopin40.
3. UU Perkoperasian yang baru (sebagai contoh UU No. 17 Tahun 2012) sama sekali tidak
membatasi ruang bagi gerakan koperasi untuk membangun organisasi-organisasi
penunjang yang baru. Hal ini adalah momentum bagi MPI dan AKSI untuk uji tesis dan
praktik bahwa yang bottom up itu akan lebih berdaya ledak.
40
Dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, Sinar Harapan, 2009.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Dekopin sah menerima pembiayaan APBN dan menjadi wakil gerakan koperasi di Indonesia
karena berbentuk Lembaga Negara Bantu yang disebut sebagai Lembaga Non Struktural yang
bersifat independen.
Page | 16
2. Alih-alih terpasung pada ilusi Dekopin sebagai NGO, justru kita harus mendorong peran Dekopin
sebagai Lembaga Non Struktural yang bersifat independen secara par excellent. Imbasnya
adalah Dekopin harus akuntabel baik secara vertikal, horizontal dan diagonal.
Rekomendasi
1. Dekopin karena statusnya adalah LNS maka sama sekali tidak menutup kesempatan bagi
elemen gerakan koperasi lainnya untuk membentuk organisasi lainnya. Misalnya sudah
terbentuk salah satunya Asosiasi Koperasi Seluruh Indonesia (AKSI)41. Kemudian ada
Indonesian Cooperator Club (ICC)42. Ada Asosiasi Manajer Koperasi Indonesia (AMKI)43. Ada
Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I)44. Ada Masyarakat
Perkoperasian Indonesia (MPI)45. Ada Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Indonesia46. Organisasi-organisasi non pemerintahan (NGO) yang murni tersebut dapat
memerankan fungsi salah satunya sebagai Kemenkop dan Dekopin Watch47.
2. Dekopin karena statusnya adalah LNS harus menerapkan good governance dalam tata kelola
kelembagaannya. Yang paling sedikit harus dilakukan adalah:
a. Transparansi anggaran dan penggunaannya kepada publik yang selalu dikeluhkan oleh
aktivis atau pemerhati koperasi dari tahun ke tahun. Transparansi seperti dalam UU No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat dilakukan lewat media elektronik
seperti website;
b. Pelaporan kinerja secara rutin melalui media sejenis;
3. Masalah kinerja Dekopin yang telah lama dinilai kalangan gerakan koperasi cenderung
amburadul harus mendapat perhatian Kementerian PAN dan RB agar dapat dimonitor dan
dievaluasi keberadaannya sebagai LNS.
PENUTUP
Demikian penelitian singkat saya tentang status Dekopin dalam negara yang berubah ini. Studi lain
diperlukan misalnya perbandingan dewan koperasi di Indonesia dan negara-negara lainnya.
Justifikasi terhadap kelembagaan Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu ini tidak sama dengan saya
mendukung terhadap rezim kepemimpinan Dekopin saat ini. Terimakasih. []
41
Dipimpin oleh Suroto.
Dipimpin oleh Sujatmiko.
43 Dipimpin oleh Larto.
44 Dipimpin oleh Djabaruddin Djohan.
45 Dipimpin oleh Deddy SA Kodir.
46 Dipimpin oleh Suroto.
47 Sehingga dengan banyaknya organisasi-organisasi penunjang gerakan koperasi yang bersifat murni NGO, hemat saya kita move on
dari ilusi Dekopin = NGO. Saatnya membuktikan pengorganisasian bottom up akan lebih handal dan berdaya ledak lewat organisasiorganisasi gerakan yang saya sebut tadi. Gagasan ini seperti pokok pikiran Teguh Boediyana yang menghendaki adanya Indonesian
Cooperative Corruption Wacth (ICCW) dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, 2009.
42
DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU:
Status Lembaga Gerakan Koperasi dalam Negara yang Berubah
Oleh: Firdaus Putra, HC.1 | Direktur Kopkun Institute2
Yang tak mau berubah, akan dipaksa berubah3
Anonim
Politik lebih terlihat sebagai pengeboran kayu keras yang sulit
dan lama daripada sebuah heroisme perjuangan4
R. William Liddle
PENGANTAR MASALAH
Sejarah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sangat panjang yang dimulai sejak 1947 dengan nama Sentral
Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI). Lantas berubah menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI),
Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) dan terakhir Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).
Wadah gerakan koperasi ini tersebar di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi (Dekopin Wilayah) sampai
tingkat kabupaten (Dekopin Daerah). Keanggotaannya meliputi Dekopin Wilayah, Dekopin Daerah, Induk
Koperasi dan organisasi penunjang gerakan koperasi lainnya.
1 HC kependekan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi sebuah atribusi non akademik. Korespondensi:
[email protected] | www.firdausputra.com
2 Adalah institut sosio-ekonomi dan koperasi yang concern pada tiga bidang: riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta
pemberdayaan sosial (http://kopkuninstitute.org). Merupakan lembaga semi-otonom Koperasi Konsumen Kopkun (http://kopkun.com).
3 Untuk para Pimpinan Dekopin.
4 Untuk mentor dan kolega saya, Suroto, dalam Demokrasi dan Kekecewaan, Yayasan Abad Demokrasi, 2011
Sebagai organisasi wadah gerakan koperasi (apex organization) fungsi Dekopin adalah: 1). Wadah perjuangan
cita-cita, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi; 2). Wakil gerakan koperasi Indonesia baik di dalam maupun
luar negeri; dan 3). Mitra pemerintah dalam pembangunan koperasi untuk mewujudkan tata ekonomi yang
berkeadilan5.
Tiga fungsi tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai kebijakan, strategi dan kegiatan untuk
mencapai tujuan yaitu: Membina dan mengembangkan kemampuan koperasi dalam kedudukannya sebagai
sistem dan pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan tata kelola ekonomi nasional yang
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dengan tetap menegakkan jati diri koperasi6.
Untuk mencapai tujuannya, Dekopin membutuhkan berbagai sumber daya termasuk pendanaan. Dalam
Anggaran Dasar pasal 31 menyebutkan bahwa keuangan Dekopin diperoleh dari iuran anggota, dana
pendidikan dari anggota, penerimaan lain yang sah dan tidak mengikat serta dapat menerima bantuan dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam konteks dapat menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
beberapa kalangan menilai hal tersebut salah dan tidak sepantasnya dilakukan oleh wadah gerakan koperasi
yang bersendi pada kemandirian. Dan sebagian kalangan lain melihat hal itu sebagai akar “kemandulan”
organisasi tersebut7.
Masalah lainnya adalah adanya sifat Dekopin sebagai wadah tunggal ditengarai oleh aktivis koperasi tanah air
sebagai bentuk pengkerdilan gerakan serta merugikan hak warga yang bebas untuk berkumpul dan
berserikat8. Hal ini erat kaitannya dengan hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28.
TUJUAN DAN HIPOTESIS
Paper ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan ilmiah dengan batasan yang ketat. Tujuan paper ini menjawab
dua masalah utama:
Apakah Dekopin sah/ tidak menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk menjalankan kegiatannya? Dan mengapa Dekopin sah/ tidak menerima bantuan
keuangan tersebut?
Apakah Dekopin sah/ tidak menjadi wadah gerakan koperasi di Indonesia? Dan mengapa Dekopin
sah/ tidak menjadi wadah gerakan koperasi di Indonesia?
Tentu saja paper ini bermaksud menguji kelembagaan Dekopin dalam dua konteks masalah utama tersebut.
Hipotesis saya adalah: 1). Dekopin sah menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah karena Dekopin merupakan lembaga negara bantu. 2). Dekopin sah menjadi satu-satunya wadah
gerakan koperasi karena merupakan lembaga negara bantu. Jadi, tesis utama saya adalah Dekopin sebagai
lembaga negara bantu.
5
Anggaran Dasar Dekopin pasal 3 sebagaimana terlampir dalam Keppres No. 6 Tahun 2011
Anggaran Dasar Dekopin pasal 2.
7 Lihat Djabarudin Djohan, Wajah Koperasi Indonesia, 2011 dan http://kopkuninstitute.org/2016/04/27/dekopin-macan-ompong/
8 Lihat Suroto dalam http://regional.kompas.com/read/2011/04/25/03152353/RUU.Perkoperasian.Kapitalis
6
Page | 2
Saya harus mengatakan bahwa bias pandangan mungkin terjadi dimana saya merupakan bagian dari
gerakan sebagai praktisi dan aktivis koperasi. Sehingga untuk memperkecil hal tersebut saya akan
memberikan rujukan-rujukan semaksimal mungkin.
RELASI KOPERASI DAN NEGARA
Page | 3
Koperasi dalam Konstitusi
Dalam penjelasan batang tubuh UUD 1945 sebelum amandemen menyebut kata “koperasi” secara
tekstual. Hal itu sebagaimana kutipan ini, “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi,
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang – seorang.
sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”9.
Secara berulang-ulang bahkan M. Hatta dalam berbagai pidatonya di berbagai kesempatan saat
menjabat sebagai Wakil Presiden dan selepas menjabat, menyebutkan kalimat yang sama,
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”10. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sedari
awal republik Indonesia berdiri menaruh perhatian khusus dan besar kepada entitas koperasi.
Sehingga cukup alasan bila Prof. Sri Edi Swasono menyebut koperasi sebagai Ekonomi
Konstitusional.
Lantas dalam semangat Reformasi, UUD 1945 dilakukan amandemen sampai empat kali. Pasal 33
sebagai pijakan konstitusi ekonomi juga mengalami amandemen dengan merubah, menambah dan
mengurangi ayatnya. Tidak lagi berbunyi bab tentang Kesejahateraan Sosial, melainkan
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Hasilnya adalah kata “koperasi” tidak lagi
tercantum sebagaimana sebelumnya. Prof. Jimly Asshidiqie mengulas panjang-lebar dinamika
amandemen Pasal 33 yang menjadi pijakan konstitusi ekonomi Indonesia. Dalam ulasannya beliau
mengatakan bahwa amandemen tersebut menjadikan koperasi dengan semangat kekeluargannya
sebagai visi umum perekonomian dan bukan semata pelaku usaha11. Sehingga katanya corak
perekonomian nasional Indonesia tetaplah sosialistik. Dalam ulasannya panjangnya Prof. Jimly
mengisahkan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan pertarungan intelektual antara ideologi
neoliberalisme yang pro pasar dengan demokrasi ekonomi.
Yang menarik adalah bahwa pandangan Founding Father itu telah menjadi legacy yang hidup dalam
kesadaran masyarakat Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan kekecewaan dan penuh tanya ketika
“koperasi” tak lagi tercantum dalam UUD 1945. Hal inilah yang ingin saya tunjukkan bahwa legacy
tersebut menjadi salah satu politik hukum tata perundang-undangan di Indonesia, khususnya
adalah perundang-undangan perkoperasian. Mahfud MD menjelaskan bahwa politik hukum
merupakan “Kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah; mencakup pula tentang pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan
9
UUD 1945 sebelum amandemen
Dalam Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Penerbit Kompas, 2015
11 Dalam Jilmy Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, 2010.
10
cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu ”12.
Berbagai konfigurasi aktor serta kekuatan berbagai elemen bangsa itu yang mempengaruhi politik
hukum pada setiap perundang-undangan yang dihasilkan. Yang mana aktor-aktor memiliki
preferensi pandangan ideologi dalam konteks ini pro terhadap koperasi.
Organisasi Gerakan Koperasi dalam Undang-undang
Politik hukum sebagaimana di atas kemudian muncul dan terekspresikan ke dalam beberapa
undang-undang perkoperasian dari zaman ke zaman. Yang dalam konteks itu, undang-undang
dalam hal ini adalah negara, memberikan peran yang besar bagi organisasi gerakan koperasi.
Peranan tersebut secara umum menempatkan organisasi gerakan koperasi yang disebut Dewan
Koperasi Indonesia (Dekopin) untuk membina dan mengembangkan koperasi di Indonesia dengan
posisi sebagai wadah tunggal.
Page | 4
Posisi gerakan koperasi dan/ atau Dekopin dari beberapa UU Perkoperasian di Indonesia
sebagaimana di bawah:
Masa
Orde
Lama
Orde
Baru
12
Legitimasi
No. 79
Tahun 1958
Posisi
Tidak diatur
PP No. 60
Tahun 1959
Tidak diatur
UU No. 14
Tahun 1965
Tunggal dan
piramidal
UU No. 12
Tahun 1967
Tunggal
UU No. 25
Tunggal
Ayat Penetapan
Penjelasan Pasal 6 Bimbingan dan pimpinan gerakan
Koperasi ada ditangan Pemerintah sehingga terjamin
terselenggaranya usaha rakyat Indonesia menguasai
perekonomian rakyat melalui Koperasi.
Penjelasan Pasal 22 Untuk mencegah penggunaan koperasi
sebagai alat dari pada suatu golongan masyarakat maka
perlu Pemerintah senantiasa mengawasi semua
perkumpulan yang bekerja dalam lapangan cita-cita
kekoperasian dalam rangka pelaksanaan ekonomi
terpimpin. Pemerintah berpendirian bahwa de-officialisasi
dari pada Gerakan Koperasi bertentangan dengan azas-azas
demokrasi dan ekonomi terpimpin
Pembentukan badan termaksud dalam ayat (1) pasal ini
serta penentuan garis-garis besar s
organisasi serta perincian tugasnya diatur dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia.
Untuk memperjuangkan tercapainya cita-cita, tujuan dan
kepentingan bersama Koperasi Indonesia,
didirikan satu Badan oleh gerakan Koperasi, yang bentuk
organisasinya tunggal.
Menteri memberikan pengesahan sebagai Badan Hukum
bagi Badan yang dimaksud dalam ayat (2)
diatas.
Koperasi secara bersama-sama mendirikan satu organisasi
Dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Poltik Hukum Menegakkan Konstitusi, 2006.
Tahun 1992
tunggal yang berfungsi sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai
pembawa aspirasi Koperasi.
Organisasi yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam
Page | 5
Pasal 57 ayat (1)disahkan oleh Pemerintah.
Reform UU No. 17
asi
Tahun 2012
(sudah
dibatalkan
oleh MK)
Tidak tunggal
Organisasi tersebut bukan merupakan badan usaha dan
karenanya tidak melakukan kegiatan usaha
ekonomi secara langsung. Pada saat diundangkannya
Undang-undang ini, organisasi ini yang bernama
Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) selanjutnya harus
menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini.
Tujuan dan kegiatan organisasi tersebut harus sesuai dan
selaras dengan jiwa dan semangat
yang terkandung dalam Undang-undang ini.
Gerakan Koperasi mendirikan suatu dewan Koperasi
Indonesia yang berfungsi sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai
pembawa aspirasi Koperasi, dalam rangka
pemberdayaan Koperasi.
Anggaran Dasar dewan Koperasi Indonesia disahkan oleh
Pemerintah.
Yang dimaksud dengan "dewan Koperasi Indonesia” yang
selanjutnya disingkat Dekopin merupakan kelanjutan dari
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia disingkat
SOKRI, yang didirikan pada tanggal 12 Juli 1947 oleh Kongres
Koperasi Seluruh Indonesia yang Pertama, yang
diselenggarakan di Tasikmalaya.
Dari kacamata politik hukum, saya ingin menegaskan bahwa posisi dan peranan Dekopin yang
begitu besar dan sampai ditetapkan langsung oleh UU bukanlah hal yang ahistoris dan mengadaada. Sebaliknya, konfigurasi aktor dalam perumusan UU tersebut menilai bahwa koperasi sebagai
soko guru ekonomi Indonesia dan organisasi gerakannya harus diatur dalam sebuah UU.
Meski demikian hal tersebut erat kaitannya dengan kepentingan politik rezim berkuasa untuk
menjinakkan gerakan-gerakan sosial menjadi kooperatif terhadap pemerintah. Pertama, rezim Orde
Lama dibawah kepemimpinan Soekarno melakukan kooptasi gerakan koperasi sebagai alat revolusi
menuju sosialisme Indonesia. Pada UU No. 14 Tahun 1965 Pasal 6 menegaskan peranan gerakan
koperasi sebagai berikut:
1.
Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen kecuali yang
merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan produksi, mengadilkan dan
meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapuskan sisa-sisa imperialisme, kolonialisme dan feodalisme;
3. Membantu memperkuat sektor ekonomi Negara yang memegang posisi memimpinnya;
Page | 6
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat Sosialis Indonesia.
Selang dua tahun UU Perkoperasian diganti dengan UU No. 12 Tahun 1967. Secara tegas UU ini
menilai bahwa UU No. 14 Tahun 1965 telah merusak gerakan koperasi karena, “Menempatkan fungsi
dan peranan koperasi sebagai abdi langsung daripada politik, sehingga mengabaikan Koperasi
sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat; Menyelewengkan landasan-landasan azas-azas dan
sendi- sendi dasar koperasi dari kemurniannya”.13
Tak berbeda jauh dengan Orde Lama, Soeharto melakukan kooptasi gerakan koperasi sebagai
instrumen pembangunan yang masih terus berlanjut pada UU No. 25 Tahun 1992. Pendekatan politik
Soeharto yang kooptatif tak hanya dilakukan kepada gerakan koperasi semata, melainkan pada
kelembagaan masyarakat lainnya. Sebutlah organisasi ICMI, monoloyalitas PNS, azas tunggal
Pancasila, proyek Jawanisasi di berbagai nama jalan dan tempat, organisasi kepemudaan, asosiasi
profesional seperti KADIN, HIPMI dan lain sebagainya14.
Orde Lama
Kooptasi
NGO
Orde Baru
Quasi NGO
Instrumentasi
Terminologi Quasi NGO15 dalam konteks ini saya batasi penggunaannya hanya untuk
menggambarkan transformasi gerakan sosial (NGO) yang telah dikooptasi oleh pemerintah sehingga
tak lagi memiliki derajat independensi yang mencukupi sebagai NGO dalam makna sebenarnya.
Meski tidak persis sama dalam konteks satu-dua dekade belakangan kita mendengar apa yang
namanya LSM Plat Merah yang dibuat oleh politisi, masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh
kucuran dana/ akses program pemerintah16.
Gerakan Koperasi dari Masa ke Masa
Fase 1947-1958
Gerakan
koperasi
saat itu bernama
SOKRI.
Dimana
13
Fase 1959-1965
Kooptasi dilakukan oleh
rezim
Orde
Lama
dengan membubarkan
Fase 1967-1998
KOKSI bentukan Orde
Lama
dibubarkan.
Kembali ke Dewan
Fase 1999-2010
Dalam era Reformasi
ini Dekopin mulai
menerima
dana
Bagian pertimbangan UU No. 12 Tahun 1967.
Lihat M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, 1996.
15 Dalam kajian Administrasi Publik, Quasi NGO kajian tersebut adalah lembaga privat bentukan pemerintah yang didanai pemerintah
untuk tujuan-tujuan pemerintahan. Stafnya bersifat pegawai swasta, bukan PNS. Kantornya di luar gedung pemerintahan. Lihat The Quasi
Non Governmental Organization, Andrew Carnigie, 1967.
16 Lihat Tuty Alawiyah, Sektor LSM di Indonesia, 2012.
14
hubungan gerakan
dengan pemerintah
harmonis
dan
17
“menyatu” .
Dewan
Koperasi
Indonesia (DKI) diganti
menjadi KOKSI dipimpin
langsung oleh Menteri.
Koperasi
Indonesia
(Dekopin).
Lantas
dikooptasi oleh rezim
Orde Baru sebagai alat
pembangunan (KUDsasi)
APBN.
Kemudian
terjadi konflik internal
antara Adi Sasono
dan Nurdin Halid18.
Negara yang sedang Negara yang otoriter Negara yang otoriter
mencari
bentuk dikenal
sebagai dikenal sebagai Era
pasca kemerdekaan Demokrasi Terpimpin.
Demokasi Pancasila.
dikenal sebagai Era
Demokrasi Liberal.
Negara
yang
demokratis
dan
desentralistik. Dikenal
sebagai
Era
Konsolidasi
Demokrasi.
Page | 7
Pada tabel di atas kita lihat bahwa gerakan koperasi selalu mudah dikooptasi/ dihegemoni oleh
negara. Saya berpendapat bawah hal itu disebabkan oleh dua hal:
1. Visi konstitusi Indonesia yang cenderung sosialistik meletakkan koperasi atau modus kooperatif
sebagai ideal type bangunan ekonomi bangsa. Visi tersebut merupakan legacy langsung dari
para Founding Father Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 dan beberapa UU lain seperti
UUPA 1960 dan sebagainya. Visi semacam itu yang disebut Eugen Ehrlich sebagai living law atau
hukum yang hidup di masyarakat19. Hal itulah yang membentuk politik hukum perundanganundangan di Indonesia dimana koperasi menjadi model favorit yang selalu diperjuangkan.
Terkonfirmasi misalnya dari survai Kompas yang menyebut:
2. Mudahnya gerakan koperasi dikooptasi oleh kekuasaan bukan hanya karena lembamnya aktoraktor atau aktivis koperasi tanah air, melainkan lebih mendasar dari itu bahwa gerakan koperasi
tanah air tidak memiliki tradisi politik gerakan radikal20 seperti serikat buruh, serikat tani dan
organisasi masyarakat sipil lainnya21. Tradisi koperasi cenderung mengembangkan “gerakan
pembangunan” yang karenanya akan selalu kompatibel dan bertemu dengan pemerintah.
Sebuah tradisi yang bila kita gunakan terminologi lama (dan terdaur ulang di masa kini) adalah
tradisi “kekaryaan”.
NEGARA YANG TERUS BERUBAH
Perubahan Paradigma Administrasi Negara
Sebagai entitas organik, negara sebenarnya bukan sesuatu yang tetap, ajeg dan status quo.
Sebaliknya, negara bersifat organis dan mengikuti perubahan zaman, dinamika global dan
sebagainya. Secara jelas misalnya kita bisa melihat perubahan “negara” Orde Lama, Orde Baru ke
17 Djabaruddin Djohan (2011) menggunakan istilah “menyatu” yang saya tafsirkan sebagai proses hegemoni pemerintah melalui M. Hatta
(Wakil Presiden) yang berperan langsung dalam pembinaan dan pengembangan koperasi di tanah air.
18 Dalam Djabaruddin Djohan, Wajah Koperasi Indonesia, 2011
19 Dalam Andi Kasmawati, Humanis, Volume XII Nomor 1, Januari 2011
20 Politik gerakan radikal (radikal berasal dari kata radix artinya mengakar) misalnya praktik yang dilakukan oleh John Bamba dalam CU
Gerakan:
http://indoprogress.com/2015/10/john-bamba-cu-gerakan-adalah-alternatif-terbaik-saat-ini-buat-gerakan-civil-society-diindonesia/
21 Simak analisis Dodi Faedulloh tentang Koperasi yang Progresif dalam http://indoprogress.com/2014/01/membangun-koperasi-progresif/
dan tulisan saya tentang hubungan Koperasi, Negara dan Politik di http://www.firdausputra.com/2010/10/koperasi-negara-dan-politik.html
Reformasi dan Pasca Reformasi dewasa ini. Berbagai faktor telah membuat atau memaksa negara
berubah menjadi lebih demokratis, terbuka dan partisipatif.
Dalam kajian Administrasi Publik, perubahan paradigma tersebut sangat terasa. Birokrasi Weberian
yang dikenal sebagai iron cage yang lamban, birokratis, korup tercermin dalam paradigma Old Public
Page | 8
Administration (OPA)22 mengalami perubahan ke arah New Public Management (NPM)23. Tuntutan
efisiensi sumber daya, efektivitas kinerja dan lain sebagainya menjadi indikator utama dalam
paradigma NPM atau yang dikenal dengan istilah mewirausahakan birokrasi. Sederhananya adalah
agar mesin birokrasi pemerintah seefisien dan efektif manajemen perusahaan swasta.
Kemudian ketika NPM dinilai kebablasan dan hilang arah dengan banyaknya privatisasi dan
komersialisasi yang dilakukan negara, lahirlah New Public Service (NPS)24. Paradigma ini
mengembalikan negara sebagai pelayan publik dengan merangkul masyarakat sehingga bersifat
partisipatif. Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya adalah perubahan paradigmatik dari
pemerintah (government) ke kepemerintahan (governance). Sehingga pemerintah tak lagi dianggap
sebagai satu-satunya penyedia layanan publik namun pada saat yang sama dapat dilakukan oleh
pihak swasta dan masyarakat25.
Perubahan sentrum dari government ke governance26 tersebut melahirkan banyak variasi
pendekatan: Good Governance yang menitikberatkan pada responsivitas dan akuntabilitas layanan
publik. Kemudian ada Collaborative Governance dengan corak tata kelola kolaboratif antara
pemerintah dengan swasta atau masyarakat yang skema umumnya dikenal sebagai Public Private
Partnership. Tren ini mulai terlihat jelas belakangan ini ditandai dengan misalnya: Relawan-relawan
yang berkolaborasi dengan pemerintah; Pelibatan masyarakat lebih terbuka luas dalam tata kelola;
Lahirnya berbagai badan-badan yang dikenal sebagai State Auxiliary Bodies (SAB) dan lain
sebagainya.
22
Lembaga Negara Bantu
Lembaga Negara Bantu atau terminologi umumnya adalah State Auxiliary Bodies merupakan
ekspresi dari perubahan paradigma pemerintahan dari government ke arah governance. Hal
tersebut tak hanya terjadi di Indonesia yang menemukan momentum ketika Reformasi, melainkan
terjadi di banyak negara lain27. Lembaga Negara Bantu ini tak bisa lagi didefinisikan dalam cara
pandang konvesional ala Trias Politica-nya Montesquieu. Bahkan sebagian kalangan menyebut
Lembaga Negara Bantu ini sebagai Pilar Keempat dari tata pemerintahan kontemporer.
Jay M. Shafritz, dan Albert C. Hyde, Classics of Public Administration, 1995
Lihat Owen E. Hughes, Public Management and Administration: An Introduction (3rd Edition), 2003 dan David Osborne dan Ted
Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, 1996.
24 Lihat Robert B Denhardt dan Janet V. Denhardt, New Public Service, 2007
25 Lihat Miftah, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, 2008
26 Tentang Paradigma Governance, Stoker mengemukakan karakteristik paradigma tersebut: 1. Governance merupakan bangunan
institusi dan aktor yang melampaui pemerintah (state); 2. Governance teridentifikasi dalam kaburnya batas dan tanggungjawab dalam
konteks isu sosial dan ekonomi; 3. Governance teridentifikasi pada kemandirian kekuatan untuk mengelola aksi kolektif; 4. Governance
merupakan otonomi swa-kelola jaringan antar aktor; 5. Governance mengakui kapasitas untuk mendapatkan sesuatu yang tidak
tergantung pada kekuatan pemerintah. Lihat Stoker, Gerry. 1998. Governance as Theory: Five Propositions, 1998. Dan lihat Osborne,
Stephen P. Osborne, The New Public Governance?: Emerging Perspectives on The Theory and Practice on Public Governance, 2010
27 Ada 40.000 SAB di Italia, ratusan di Perancis, ribuan di Inggris dan lainnya. Lihat Rizky Argama, 2007.
23
Para ilmuwan mendefinisikan Lembaga Negara Bantu sebagai, “Keberadaannya bersifat publik, juga
didanai oleh dana publik, serta untuk kepentingan publik, sehingga tidak dapat disebut sebagai
NGO`s dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, secara tidak resmi memang masuk akal jika
disebut sebagai quasi NGO`s yang merupakan singkatan dari quasi autonomous Non Govermental
Organization”28.
Di Indonesia lahirnya Lembaga Negara Bantu erat kaitannya dengan tuntutan publik ketika
Reformasi 1998 dulu kala. Tuntutan-tuntutan tersebut seperti: Transparansi pemerintahan dan
bersih dari KKN, sehingga lahirlah KPK, Ombudsman dan sejenisnya; Penegakan hak-hak azasi
manusia, lahirlah Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan sebagainya; Keterbukaan akses
informasi untuk publik yang melahirkan Komisi Informasi Publik dan berbagai tuntutan lain yang
bersifat mendesak, khas, pemihakan dan tak bisa terwadahi dalam lembaga negara konvensional
yang ada.
Pemerintah menggunakan Lembaga Non Struktural (LNS) untuk menyebut jenis Lembaga Negara
Bantu tersebut. Per 2013 Lembaga Administrasi Negara (LAN) mencatat ada sekitar 135 Lembaga
Non Struktural dalam berbagai bentuknya: komisi, komite, dewan, badan, lembaga, tim dan
lainnya29. Keberadaan LNS tersebut ada yang dibentuk karena amanat UU, PP, Perpres dan Keppres.
Sebagai contoh yang dibentuk karena amanat UU seperti: Dewan Pers, Dewan Koperasi Indonesia,
Dewan Ketahanan Pangan, KPPU, KPAI, KPI, Komnas Perempuan dan sebagainya. Sedangkan yang
dibentuk berdasarkan Keppres seperti: KNKT, Dewan Gula, KONI, BAZNAS dan lainnya30.
Hamdan Zoelva mendefinisikan LNS sebagai, “Institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas
khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah (konvensional) dengan
keunikan tertentu dan memiliki karakteristik tugas yang urgen, unik, dan terintegrasi serta
efektif”31. Sedangkan Kementerian Sekretariat Negara menjelaskannya sebagai, “Sebagai lembaga
yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang fungsi negara dan
pemerintah, yang dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, serta
dibiayai oleh negara”32.
Karakteristik LNS menurut LAN sebagai berikut33:
1. Keberadaannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan
2. Melaksanakan tugas tertentu yang bersifat mandiri dan tidak dilakukan oleh instansi
pemerintah lainnya
3. Pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
4. Kedudukan berada di luar struktur pemerintahan
5. Bertanggungjawab kepada masyarakat
6. Tidak dapat diintervensi oleh institusi manapun
28
Dalam Sri Hadiati, Kriteria Lembaga Non Struktural Tinjauan Administrasi Negara, 2012
Dalam Arsitektur Kelembagaan Negara, 2015.
30 Profil Lembaga Non Struktural 2010, hal 146-148.
31 Dalam Kajian Kelembagaan Sekretariat Komisi Informasi Pusat, 2015.
32 Dalam Arsitektur Kelembagaan Negara, 2015.
33 Hal 69-70 Evy Trisulo, Konfigurasi
29
Page | 9
7.
Keanggotaan bisa berasal dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, kalangan perguruan
tinggi, profesional dan sebagainya.
Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan-tujuan
sebagai berikut34:
Page | 10
1. Efisiensi pelayanan;
2. Pemusatan (konsentrasi/ integrasi) fungsional;
3. Independensi dari intervensi politik dan mencegah konflik kepentingan;
4. Prinsip pembagian habis fungsi-fungsi kekuasaan negara dan pemerintahan sehingga
tidak ada yang tumpang tindih.
Sebab-sebab lahirnya Lembaga Negara Bantu sebagai berikut35:
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat
personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di
bidang kedokteran dan hukum.
4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi-yudisial dan berfungsi untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ alternatif
penyelesaian sengketa).
Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu
Seperti terjelaskan di muka bahwa secara negara terus mengalami perubahan yang ditandai dengan
perubahan pada level paradigmatik Administrasi Publik dan bertemu dengan momentum
Reformasi. Meletakkan Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu dalam konteks negara yang
berubah tersebut. Yang bila kita ingat bahwa Lembaga Negara Bantu bersifat independen yang
bertanggungjawab kepada masyarakat.
Dalam terminologi tata negara kontemporer Dekopin sudah cukup syarat menjadi sebagai Lembaga
Non Struktural (LNS) dengan karakteristik sebagaimana tersebut di atas. Hal-hal yang harus
menjadi titik tekan bahwa LNS dapat diisi oleh unsur masyarakat dan bertanggungjawab kepada
publik. Dengan begitu, Dekopin sebagai LNS tetap tidak tercerabut dari akar keberadaan dan
muasalnya (raison d’etre) sebagai lembaga gerakan koperasi.
Perubahan paradigma Administrasi Publik dari government ke governance merupakan bentuk
canggih evolusi tata pemerintahan yang membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam
kebijakan publik mulai dari perencanaan, sumber daya, implementasi, monitoring dan evaluasi. Hal
ini tidak bisa dipahami sebagai proses kooptasi rezim politik terhadap suatu organisasi masyarakat,
justru sebaliknya adalah partisipasi organisasi masyarakat secara langsung dan signifikan dalam tata
pemerintahan negara.
34
35
Makalah pada Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Struktural oleh Kantor Menpan Republik Indonesia, 1 Maret 2011
Lihat Rizky Argama, Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, 2007
Dekopin sebagai LNS dengan sendirinya sah secara konstitusional untuk menerima pembiayaan dari
APBN guna membiayai kerja-kerja publiknya. Yang selanjutnya karena Dekopin sebagai LNS maka
jumlahnya cukup satu sebagaimana yang dikatakan Jimly Asshidiqie di atas dalam rangka
pemusatan/ konsentrasi fungsional. Maka sudah cukup tepat perumus UU No. 17 Tahun 2012 (yang
Page | 11
dibatalkan MK) dengan menyebut, “Gerakan koperasi mendirikan suatu dewan Koperasi Indonesia
yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai
pembawa aspirasi koperasi, dalam rangka pemberdayaan koperasi”36.
Dekopin sebagai LNS harus mencukupi beberapa hal di bawah ini:
1. Para pengurusnya adalah para profesional, praktisi atau aktivis koperasi yang tidak menjabat
sebagai Pengurus Partai Politik. Hal ini sesuai dengan latar belakang berdirinya Lembaga Negara
Bantu yakni layanan yang tidak diintervensi kepentingan politik.
2. Melakukan pertanggungjawaban secara vertikal (kepada pemerintah) dan horizontal (kepada
gerakan koperasi) dan diagonal (kepada lembaga negara lainnya).
3. Menjaga independensi dan berpihak kepada gerakan koperasi sebagaimana perintah UU.
4. Menjalankan tata kelola yang baik (good governance)37.
REVITALISASI DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NON STRUKTURAL
a. Perubahan Paradigma
Reformasi
Pasca Reformasi
Kooptasi
Demokratisasi
Representasi
Instrumentasi
Governance
Partisipasi
NGO
SAB
Independent Organt
Orde Lama
Orde Baru
Quasi NGO
36
UU No. 17 Tahun 2012. Perlu diperhatikan bahwa JR yang dikabulkan MK dengan hasil pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 adalah
dari pemohon gerakan koperasi Jawa Timur yang pokok permohonannya adalah pengujian pasal-pasal: Pasal 1 angka 1 sepanjang
frasa“orang perseorangan”, Pasal 37 ayat (1) huruf f, Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 55 ayat (1),
Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), BAB VII tentang Modal yang terdiri atas Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71,
Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, dan Pasal 77, serta Pasal 80, Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Liat Amar Putusan MK tanggal 28 Mei 2014 tentang Pencabutan UU Perkoperasian No. 17
Tahun 2012 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1702_28%20PUU%202013UUKoperasi-telahucap-28Mei2014-tdk%20dtrima-%20wmActionWiz.pdf Status dikabulkan. Sehingga MK belum mengeluarkan justifikasi
terhadap
pasal
lembaga
gerakan
koperasi
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1701_60%20PUU%202013-UUKoperasitelahucap-28Mei2014%20-%20Copy-%20wmActionWiz.pdf Status tidak dapat diterima.
37 Ada 10 prinsip good governance: 1. Akuntabilitas 2. Pengawasan 3. Daya tanggap 4. Profesionalisme 5. Efisien dan efektif 6.
Transparansi 7. Kesetaraan 8. Wawasan ke depan 9. Partisipasi dan 10. Penegakan hukum.
Skema di atas memperlihatkan bahwa harus terjadi transformasi paradigmatik peran Dekopin
dalam negara yang berubah ini. Dekopin meskipun dari dulu berwujud Quasi NGO karena
dikooptasi/ dihegemoni pemerintah terus menerus, pada masa Pasca Reformasi ini harus
meneguhkan dirinya sebagai Lembaga Non Struktural yang bersifat independen. Keberadaan
Dekopin merupakan mandat UU yang ditugaskan untuk mengawal gerakan koperasi tanah air.
Faktor yang mendorong perubahan tersebut bisa berupa insentif dan disinsentif sumber daya. Bila
Dekopin tidak dapat memerankan diri sebagai lembaga independen, akuntabel, transparan, efektif
dan efisien, maka Kementerian PAN dan RB bisa melakukan evaluasi terhadap keberadaannya 38.
Dekopin sebagai LNS justru akan lebih mudah dievalusi secara konstitusional daripada melingkar
dalam model Quasi NGO yang susah dituntut pertanggungjawabannya baik secara vertikal maupun
horizontal.
Dalam Manajemen Perubahan (change management) dinyatakan bahwa perubahan bisa berasal
dari dalam internal organisasi atau tuntutan lingkungan eksternal. Dalam konteks yang demikian,
Dekopin sebagai LNS dituntut (dari eksternal) untuk melakukan perubahan-perubahan secara
fundamental. Dekopin harus mampu merepresentasikan diri sebagai independent organt yang
menyaratkan adanya partisipasi dari basis gerakan terlibat aktif dalam lembaga. Tentu saja ruang
partisipasi tidak boleh sebatas prosedural belaka bahwa Dekopin terbuka bagi semua lembaga,
namun harus dimulai dari sikap Dekopin yang membuka diri lewat transparansi kinerja dan
anggaran.
38
Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/13083781/Kementerian.PAN-RB.Ajukan.Izin.Pembubaran.14.Lembaga.NonStruktural
Page | 12
b. Perbandingan Akuntabilitas Dekopin
Dekopin sebagai Lembaga Non Struktural
Pemerintah
Page | 13
Kemenkop
BPK
Kemenkeu
KPK
Kemen PAN
Ombudsman
KIP
Dekopin
AMKI
AKSI
MPI
Induk
ICW
Pusat
Dekopinwil
Dekopinda
Fitra
Koperasi
MTI
Publik
Sebagai LNS maka akuntabilitas Dekopin sebagaimana di atas: Akuntabilitas Vertikal, Akuntabilitas
Horizontal dan Akuntabilitas Diagonal. Akuntabilitas Vertikal (ke atas) terkait dengan keberadaan
dirinya sebagai LNS yang memperoleh pembiayaan APBN. Akuntabilitas Vertikal (ke bawah) adalah
pertanggungjawaban kinerja Dekopin kepada anggota-anggotanya: Dekopin Wilayah di tingkat
provinsi, Dekopin Daerah di tingkah kabupaten. Lantas kepada koperasi-koperasi anggota Dekopin
Daerah sebagai basis riil keanggotaan Dekopin. Juga tak ketinggalan kepada publik dalam makna
umum adalah warga negara mengingat Dekopin sebagai Lembaga Non Struktual.
Akuntabilitas Horizontal (ke kanan) ini kepada Induk dan Pusat Koperasi baik anggota atau pun non
anggota Dekopin yang karena kapasitas mereka sebagai organisasi payung (apex organization)
dalam sektornya masing-masing. Akuntabilitas Horizontal (ke kiri) adalah kepada organ-organ
gerakan koperasi lainnya seperti Masyarakat Perkoperasian Indonesia (MPI), Asosiasi Koperasi
Seluruh Indonesia (AKSI) dan lain sebagainya.
Akuntabilitas Diagonal (ke atas) adalah akuntabilitas Dekopin kepada sesama lembaga negara yang
memiliki fungsi pengawasan: transparansi informasi (KIP), kinerja pelayanan (Ombudsman) dan
bahkan penyidikan atas masalah seperti kasus korupsi (KPK). Sedangkan Akuntabilitas Diagonal (ke
bawah) yakni kepada LSM-LSM yang concern memantau penyelenggaraan pemerintahan seperti
ICW, Fitra dan sebagainya.
Dekopin sebagai LNS dituntut oleh perundang-undangan untuk akuntabel kepada lembagalembaga tersebut. Keberadaannya sebagai lembaga publik menginsyaraktkan adanya keterbukaan
Page | 14
informasi kepada publik sebagaimana perintah UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 7 bahwa tentang
Kewajiban Badan Publik:
1. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang
berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang
dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
2. Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
3. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus
membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola
Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
4. Badan Publik wajib membuat pertimbangan secaratertulis setiap kebijakan yang diambil untuk
memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.
5. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
6. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
UU tersebut mendefinisikan Badan Publik dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai berikut:
Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luarnegeri.
Dekopin sebagai LNS tentu harus tunduk pada UU Keterbukaan Informasi Publik sehingga masalah
transparansi anggaran yang selama ini banyak dikeluhkan oleh praktisi, pemerhati dan aktivis
koperasi tanah air harus terselesaikan. Seperti misalnya Teguh Boediyana dalam tulisannya
mengatakan, “Bahkan saat ini terdapat masalah karena sementara organisasi koperasi menganggap
penggunaan dana APBN tersebut tidak jelas dan tranparan”.39
39
Dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, Sinar Harapan, 2009.
Dekopin sebagai NGO
Dekopin
AMKI
AKSI
MPI
Induk
Pusat
Page | 15
Dekopinwil
Dekopinda
Koperasi
Berbeda dengan mekanisme akuntabilitas di atas, akuntabilitas Dekopin sebagai NGO lebih
sederhana dan ditujukan kepada lingkaran gerakan koperasi sendiri. Hal ini tentu membuat berbagai
tuntutan transparansi kinerja dan anggaran dapat dimentahkan begitu saja. Seolah adagium yang
berlaku adalah “semua teman sendiri” atau “semua keluarga sendiri” sehingga lebih banyak
permakluman bagi kekeliruan atau ketidakmasimalan kerja.
c. Ilusi Dekopin Kembali ke Khittah
ebagian kalangan praktisi dan aktivis gerakan koperasi menyerukan agar Dekopin kembali ke
khittah-nya sebagai gerakan sosial murni (NGO). Menurut hemat saya, gagasan kembali ke khittah
tersebut memiliki tiga kelemahan mendasar:
1. Telisik sejarah memperlihatkan bahwa Dekopin selalu dikooptasi/ dihegemoni oleh
pemerintah dari rezim ke rezim yang secara tidak resmi berperilaku sebagai Quasi NGO. Hal
itu sudah terjadi lama sehingga membentuk sebuah budaya organisasi dari Pusat, Wilayah
sampai Daerah. Menurut hemat saya, alih-alih mengembalikan besi bengkok, sebaiknya
gerakan koperasi membangun wadah gerakan baru dan/ atau memaksimalkan gerakan
lain yang sudah ada seperti AKSI dan MPI sebagai genuine NGO.
2. Dalam negara yang berubah ini, maka mendorong Dekopin sebagai LNS yang par excellent
adalah lebih rasional yang akan memaksanya mengikuti berbagai peraturan perundangundangan yang ada. Ditambah dengan Akuntabilitas Vertikal, Horizontal dan Diagonal,
Dekopin akan dipaksa menjadi lembaga publik yang independen, profesional dan
transparan. Pada titik ini saya bersepakat dengan gagasan Teguh Boediyana yang
menyontohkan MPI sebagai pengimbang Dekopin40.
3. UU Perkoperasian yang baru (sebagai contoh UU No. 17 Tahun 2012) sama sekali tidak
membatasi ruang bagi gerakan koperasi untuk membangun organisasi-organisasi
penunjang yang baru. Hal ini adalah momentum bagi MPI dan AKSI untuk uji tesis dan
praktik bahwa yang bottom up itu akan lebih berdaya ledak.
40
Dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, Sinar Harapan, 2009.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Dekopin sah menerima pembiayaan APBN dan menjadi wakil gerakan koperasi di Indonesia
karena berbentuk Lembaga Negara Bantu yang disebut sebagai Lembaga Non Struktural yang
bersifat independen.
Page | 16
2. Alih-alih terpasung pada ilusi Dekopin sebagai NGO, justru kita harus mendorong peran Dekopin
sebagai Lembaga Non Struktural yang bersifat independen secara par excellent. Imbasnya
adalah Dekopin harus akuntabel baik secara vertikal, horizontal dan diagonal.
Rekomendasi
1. Dekopin karena statusnya adalah LNS maka sama sekali tidak menutup kesempatan bagi
elemen gerakan koperasi lainnya untuk membentuk organisasi lainnya. Misalnya sudah
terbentuk salah satunya Asosiasi Koperasi Seluruh Indonesia (AKSI)41. Kemudian ada
Indonesian Cooperator Club (ICC)42. Ada Asosiasi Manajer Koperasi Indonesia (AMKI)43. Ada
Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I)44. Ada Masyarakat
Perkoperasian Indonesia (MPI)45. Ada Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Indonesia46. Organisasi-organisasi non pemerintahan (NGO) yang murni tersebut dapat
memerankan fungsi salah satunya sebagai Kemenkop dan Dekopin Watch47.
2. Dekopin karena statusnya adalah LNS harus menerapkan good governance dalam tata kelola
kelembagaannya. Yang paling sedikit harus dilakukan adalah:
a. Transparansi anggaran dan penggunaannya kepada publik yang selalu dikeluhkan oleh
aktivis atau pemerhati koperasi dari tahun ke tahun. Transparansi seperti dalam UU No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat dilakukan lewat media elektronik
seperti website;
b. Pelaporan kinerja secara rutin melalui media sejenis;
3. Masalah kinerja Dekopin yang telah lama dinilai kalangan gerakan koperasi cenderung
amburadul harus mendapat perhatian Kementerian PAN dan RB agar dapat dimonitor dan
dievaluasi keberadaannya sebagai LNS.
PENUTUP
Demikian penelitian singkat saya tentang status Dekopin dalam negara yang berubah ini. Studi lain
diperlukan misalnya perbandingan dewan koperasi di Indonesia dan negara-negara lainnya.
Justifikasi terhadap kelembagaan Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu ini tidak sama dengan saya
mendukung terhadap rezim kepemimpinan Dekopin saat ini. Terimakasih. []
41
Dipimpin oleh Suroto.
Dipimpin oleh Sujatmiko.
43 Dipimpin oleh Larto.
44 Dipimpin oleh Djabaruddin Djohan.
45 Dipimpin oleh Deddy SA Kodir.
46 Dipimpin oleh Suroto.
47 Sehingga dengan banyaknya organisasi-organisasi penunjang gerakan koperasi yang bersifat murni NGO, hemat saya kita move on
dari ilusi Dekopin = NGO. Saatnya membuktikan pengorganisasian bottom up akan lebih handal dan berdaya ledak lewat organisasiorganisasi gerakan yang saya sebut tadi. Gagasan ini seperti pokok pikiran Teguh Boediyana yang menghendaki adanya Indonesian
Cooperative Corruption Wacth (ICCW) dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, 2009.
42