Urgensi Etika dalam Manajemen dan Profes
Urgensi Etika dalam Bisnis dan Profesi Akuntan
Tinjauan Kritis atas Kasus Enron dan Arthur Andersen
Oleh Kasdin Sihotang
Dosen Etika Profesi Akuntan di FE dan Staf PPE Unika Atma
Jaya, Jakarta
Abstrak:
Bisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup
manusia. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, bisnis harus
dijalankan secara etis. Ini berarti, bisnis membutuhkan etika. Jika
seorang pelaku bisnis mengabaikan etika dalam kegiatannya, dia
melakukan tindakan bunuh diri. Pengabaian ini akan menyebabkan
kebangkrutan. Fakta inilah yang terlihat
dalam kebangkrutan
Enron dan Arthur Andersen. Kehancuran kedua perusahaan ini
telah membangkitkan kesadaran dan ekspektasi publik baik bagi
para pelaku bisnis untuk menerapkan tata kelola yang sehat
berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness dan
tanggung jawab maupun bagi akuntan untuk menerapkan etika
profesi yang meliputi integritas, independensi, objektivitas dan
kejujuran serta kepentingan publik. Kehancuran itu juga
mendorong agar etika profesi akuntan menjadi bagian integral dari
pendidikan untuk membangkitkan kesadaran calon akuntan akan
apa yang baik dan apa yang buruk dalam menjalankan
pekerjaannya kelak.
Kata-kata kunci: tata kelola, akuntabilitas, transparansi, fairness,
tanggung jawab, keadilan, otonomi, independensi, integritas, etika,
etika profesi, profesi akuntan, kepentingan publik dan profesi, serta
pendidikan.
Abstract:
Business is related to human life. As part of human life, it must be
done ethically. It means, business needs ethics. If businessman
ignores ethics from his activities, he will suicide. His immoral
action will cause a bankcruptcy. The bankruptcy of Enron and
Arthur Andersen are the examples of corporate badness. It raised
people’s awareness and expectation up both to businessman to
apply the principles of the good corporate governance, that are
accountability, transparency, fairness and responsibility and to
accountants to practice accounting ethics, including integrity,
independence, objectivity, honesty and public interest as well. It
was suggested that study on the ethics of accounting profession is
an integrated part of education to rise accounting student’s
awareness of rightness and badness in doing job.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
1
Key Words: Governance, accountability, transparency, fairness,
responsibility, justice, otonomy, independency, integrity, ethics,
professional ethics, the ethics of accounting profession, public
interest, profession and education.
Pengantar
Kehancuran sebuah bisnis tidak saja disebabkan oleh kebangkrutan
ekonomi, melainkan juga oleh kebangkrutan moralitas dalam
mengelolanya. Bahkan kebangkuran moral ini merupakan sumber
yang paling membahayakan bagi kelangsungan bisnis. Penegasan
ini bukan ilusi, melainkan fakta.
Banyak perusahaan yang bisa
dijadikan sebagai contoh. Kebangkuran Enron dan Arthur Andersen
yang terjadi di Amerika Serikat 1, yang menjadi fokus sorotan dalam
tulisan ini, adalah contoh yang jelas untuk itu.
Peristiwa tiga belas tahun lalu tersebut merupakan sesuatu yang
sangat mengejutkan bagi dunia bisnis, mengingat Enron masuk
dalam bilangan perusahaan terbesar ke-7 di Amerika Serikat
dengan tenaga kerja 25000 orang maupun Arthur Andersen sebagai
lembaga akuntan ternama2, namun memberi pelajaran berharga
tentang dampak negatif dari pengelolaan perusahaan yang tidak
sehat dan pengabaian etika dalam menjalankan profesi, khususnya
profesi akuntan.
1
Bdk. Leonard J Brooks & Paulin Dunn (2011), Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur,
Eksekutif, dan Akuntan Buku 1, terjemahan Kanti Pertiwi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat,
hal. 91.
2
Dalam perjalannnya sepanjang akhir periode 1990-an, pergerakan saham perusahaan
Enron sangat menggembirakan. Saham perusahaan ini naik secara perlahan-lahan, namun
meyakinkan dengan rentang perdagangan $20- $40. Dalam beberapa bulan awal milenium
baru, harga saham Enron melonjak menjadi $ 70. Selama tahun 2000 saham Enron
diperdagangkan di kisaran $ 60 sampai $90 dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus
2001 dengan harga $ 90.56. Peningkatan drastis harga saham ini menunjukkan tingkat
kepercayaan pasar sangat besar pada Enron. Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi
bagi Enron pada tahun 2001. Pada tahun itu perkembangan perusahaan mengalami
antiklimaks. Perdagangan saham menurun drastis hingga sampai pada satu titik di mana
saham Enron berada pada titik nol. Pada 2 Desember 2001 manajemen perusahaan Enron
meminta perlindungan dari kreditur di bawah pengawasan US Securities Act. Pada tanggal
2 April 2002 sahamnya hanya bernilai 24 sen pada pasar over the counter, yang artinya
tidak terdaftar pada pasar bursa saham utama. Ini berarti perusahaan Enron mengalami
gejala kebangkurtan (Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal.89.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
2
Berkaitan dengan kasus di atas, sejumlah pertanyaan mendasar
berikut
relevan
diajukan:
kebangkrutan Enron
Apa
dan Arthur
yang
menjadi
sebab
dari
Andersen? Dari segi etika,
khususnya etika profesi akuntan, apa yang bisa digali dari peristiwa
tersebut? Dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus tersebut
untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang di
kemudian? Tiga pertanyaan inilah yang menjadi titik berangkat
pembahasan dalam artikel ini.
Artikel
ini
dibagi
dalam
empat
butir.
Butir
pertama
akan
menganalisa akar dari kebangkrutan perusahaan Enron, yang
berfokus pada dua hal, yakni bagaimana penerapan prinsip-prinsip
tata
kelola
seperti
akuntabilitas,
transparansi,
fairness
serta
tanggung jawab dalam mengurus perusahaan dan bagaimana nilainilai etis profesi, khususnya etika profesi akuntan diterapkan di
dalamnya. Butir kedua akan berisikan pembahasan
tentang
berbagai ekspektasi etis publik sebagai implikasi peristiwa tersebut
dalam pengelolaan perusahaan dan kualitas profesi akuntan. Butir
ketiga berbicara tentang upaya preventif intensif melalui perhatian
pada pendidikan etika profesi sejak dini. Butir keempat merupakan
kesimpulan.
1.
Dua Akar Kehancuran
Kehancuran perusahaan Enron merupakan pukulan berat dalam
bisnis. Dan peristiwa buruk tersebut tidak pernah diduga oleh
banyak orang, khususnya pelaku bisnis
dan pengamat ekonomi,
mengingat perkembangan perusahaan Enron begitu pesat dalam
kurun
waktu
tahun
90-an,
bahkan
sempat
tercatat
sebagai
perusahaan yang memiliki reputasi sangat baik di tingkat dunia 3.
3
Ibid., hal. 89.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
3
Secara umum, ada dua akar hancurnya Enron dan Arthur Anderson.
Kedua akar itu adalah tidak berjalannya tata kelola dan minimnya
kepedulian pada etika dalam menjalankan profesi akuntan. Faktor
pertama sangat terkait dengan Enron, dan faktor kedua sangat
berhubungan dengan Arthur Andersen.4
1.1 Pengelolaan yang salah
Sumber pertama kehancuran Enron adalah pengelolaan perusahaan
yang tidak sehat5. Dalam bisnis modern kelanggengan sebuah
perusahaan sangat tergantung pada kualitas pengelolaan yang
diterapkan.
Pengelolaan
sehat
merupakan
syarat
bagi
kelanggengan itu. Demikian sebaliknya6, kalau pengelolaan yang
diterapkan tidak sehat, maka masa depan perusahaan akan
terancam. Aktivitasnya pun hanya bertahan dalam waktu yang
singkat. Itu berarti, prinsip-prinsip manajemen yang sehat menjadi
sebuah keharusan bagi bisnis modern 7. Dengan alasan ini, maka
good corporate governance (GCG) yang berasaskan pada prinsip
akuntabilitas, transparansi, fairness, dan tanggung jawab menjadi
penentu bagi kelangsungan perusahaan.8
Akan tetapi dalam pengelolaan Enron prinsip-prinsip GCG itu tidak
mendapat perhatian. Deviasi terhadap keempat prinsip itu sangat
4
Faktor kedua bersifat korelasional dengan faktor yang pertama. Artinya, kehancuran Enron
juga karena tidak diterapkannya etika dalam menjalankan proesi akuntan. Namun di paper
ini kedua faktor dipisah dalam uraian dengan tujuan memberi tekanan pada pentingnya
dua aspek dalam kegiatan bisnis, yakni pengelolaan dan etika dalam kerja.
5
Bdk. Leonard J Brooks., op.cit., hal. 84-121.
6
Bdk. Richard T de George, ( 2003). The Ethics of Information Techonolgy and Business,
United Kingdom: Blackwell, hal. 37.
7
Bdk. Leonard J Brooks & Paul Dunn ( 2012), Etika Bisnis dan Profesi untuk Direktur,
Eksekutif dan Akuntan, cet.ke- 5, Buku 2, Jakarta: Salemba Empat, hal. 2-40.
8
Ada empat prinsip dasar tata kelola, yakni akuntabilitas, transparansi, dan keadilan serta
tanggung jawab. Keadilan menjamin perlindungan hak para pemegang saham dan
menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor. Transparansi mewajibkan adanya
suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat diperbandingkan yang
menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan.
Akuntabilitas menjelaskan peran dan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk
menjamin penyeimbangan kepentingan manejemen dan pemegang saham sebagaimana
yang diawasi oleh Dewan Komisaris. (Lihat Archie B. Carrol and Ann K Buchholtz (2009).
Business & Society: Ethics and Stakeholder Management, South-Western: Cengage
Learneng, hal. 122. Juga lihat Adrian Sutedi, Good Corporate Governance, Sinar Grafka,
Jakarta, 2011, hal. 4.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
4
menonjol dalam cara pengelolaan tidak wajar yang dilakukan oleh
Enron seperti pelaporan yang tidak tansparan, pengawasan yang
tidak melekat, serta penghilangan dokumen laporan keuangan9.
1.1.1
Nihilnya Akuntabilitas
Terkait dengan akuntabitilitas, menurut Leonard J Brook, mengutip
Summary of Findings Power
Report10, ada lima penyimpangan
besar yang dilakukan oleh Enron.
preventif
dewan
direksi
yang
Pertama,
menyebabkan
minimnya upaya
berkembangnya
tindakan kelompok karyawan untuk memperkaya diri dengan
berbagai cara.11 Kedua, adanya upaya menyembunyikan aset dan
kewajiban dengan pendirian dan penggunaan kemitraan seperti
Chewco, LJMI dan LJM2 yang juga ditangani oleh karyawan Enron
sendiri untuk melakukan transaksi yang tidak dapat diatur dengan
entitas independen dan dirancang untuk mencapai hasil laporan
yang positif dengan mengabaikan pencapaian ekonomi yang jujur,
serta aturan-aturan akuntansi di Amerika Serikat.
9
Dengan merujuk laporan Power Report, Leonard J Brooks menyatakan bahwa pada
tanggal 16 Oktober 2001 Enron mengumumkan bahwa perusahan mengambil $ 544 juta
setelah pajak yang dibebankan pada laba yang terkait dengan transaksi LJM2 CoInvestment LP, menjadikan Fastow sebagai mitra, padahal Fastow adalah bagian dari
perusahaan. Enron juga mengumumkan pengurangan ekuitas pemegang sehamnya
sebesar$ 1.2 miliar yang berkaitan dengan transaksi dengan entitas yang sama. Kurang
dari satu bulan, Enron membuat laporan baru tentang kondisi keuangan yang keliru terkait
dengan transaksinya dengan kemitraan Fastow yang lain dan tambahan entitas pihak
terkait, yakni Chewco Investment, yang dikelola oleh karyawan Enron Global Finance.
Ditemukan pula bahwa ada penyajian kembali seperti yang sebelumnya dibebankan pada
laba dan pengurangan ekuitas pemegang saham yang jumlahnya sangat besar untuk
periode 1997 hingga 2001, karena kesalahan akuntansi terkait transaksi dengan kemitraan
Fastow yang lain, LJM Cayman, LP dan tambahan entitas pihak terkait, Chewco Investment
yang dikelola oleh Enron Global Enron. Dalam laporan ini Enron ada pengurangan rugi laba
sebesar $ 248 juta dari $ 979 pada tahun 1999 dan $299 juta dari total $ 979 juta pada
tahun 2000. Penyajian ulang menyebabkan pengurangan ekuitas pemegang saham yang
dilaporkan pada tahun 1997 yang besarnya $258 juta dan pada tahun 1998 $ 391 juta,
pada tahun 1999 $ 710 juta dan pada tahun 2000 # 754 juta. (Bdk Leonard J Brooks, Buku
1, op.cit., hal. 90-92).
10
Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 88-89.
11
Dilaporkan bahwa Fastow perusahaan yang ditangani oleh karyawan Enron memperoleh
uang sebesar $ 30 juta, demikian juga Kopper mendapat $ 10 juta ( Lihat Leonard J Brooks,
op.cit., hal. 87).
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
5
Ketiga, terjadinya transaksi yang tidak semestinya dengan jumlah
begitu besar yang implikasinya sangat signifkan dalam pelaporan
keuangan Enron. Hal ini dilakukan untuk
memberi kesan positif
terhadap kondisi keuangan Enron.
Keempat, terjadinya perlakuan yang salah terhadap akuntan. Enron
membayar Arthur Andersen dengan begitu mahal untuk mengaudit
perusahaan Chewco dan LJMI, yang adalah anak perusahaan Enron,
namun fungsi advisorialnya tidak berjalan, karena nasehat Athur
Anderson
tidak
dijadikan
sebagai
dasar
pelaporan
keungan,
malahan membayar Arthur Andersen dengan tarif yang begitu
mahal agar tidak membongkar berbagai kekeliruan Enron.
Kelima, eliminasi prinsip independensi pemilik perusahaan untuk
membuat sebuah investasi ekuitas substantif sekurang-kurangnya 3
persen dari aset special purpose entities (SPE) dan 3 persen
sebagai berisiko di seluruh transaksi serta independensi melakukan
pengendalian terhadap SPE12.
1.1.2 Pengabaian Transparansi
Informasi materi perusahaan yang akurat dan tepat waktu antara
lain meliputi situasi keuangan, kinerja perusahaan, manejemen
perusahaan serta faktor risiko yang mungkin timbul merupakan
kerangka
kerja
corporate
governance.
Dengan
kata
lain,
penyebaran informasi secara terbuka, dan objektif termasuk dalam
laporan keuangan merupakan bagian dari pengelolaan perusahaan.
Inilah hakikat dari transparansi.
12
Kondisi ini harus dipenuhi menurut aturan akuntan AS agar Enron bisa mencatat
keuntungan dan kerugian transaksi dengan SPE serta aset dan kewajiban SPE tidak
dimasukkan dalam neraca Enron walaupun Enron dan SPE berkaitan erat (Bdk. Mark Chefer
& Michael Pakaluk, (2007), Understanding Accounting Ethics, Massuchette: Allen Davis
Press, hal. 91-94.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
6
Enron secara jelas mengabaikan hakikat transparansi tersebut,
khusunya berkaitan dengan laporan keuangan13.
Enron berusaha
menutupi kondisi keuangan yang buruk dengan menghilangkan
dokumen transaksi keuangan secara luas. Penghilangan dokumen
itu dilakukan untuk menghindari pertanggungjawaban keuangan
yang akuntabel. Yang paling buruk, Dewan Direksi dengan sengaja
mengijinkan Enron untuk melakukan kecurangan itu agar para
investor
dan
perusahaan.
diketahui
pemegang
saham
tidak
menarik
uangnya
dari
Untuk menjaga agar tindakan buruk itu tidak
publik,
kebebasan
auditor
internal
perusahaan
dibungkam dalam menjalankan fungsi yang sebenarnya. Auditor
harus mengikuti kemauan auditee, yang justru sikap ini sangat
bertentangan dengan tugas, dan wewenang, serta fungsi seorang
auditor.14
1.1.3 Minimnya Tanggung Jawab
Kesalahan pengelolaan itu diperparah dengan minusnya tanggung
jawab yang diperlihatkan oleh top management perusahaan. Pada
hakikatnya, prinsip tanggung jawab memuat dua hal, yakni di satu
sisi
mengusahakan
pengelolaan
yang
baik
dengan
mempertimbangkan dampak baik dan dampak buruk seluruh
perbuatan yang dilakukan secara matang, di lain sisi berani
menanggung reriko dari sebuah tindakan atau keputusan yang
dilakukan15.
13
Dalam tata kelola perusahaan, laporan keuangan yang transparan mempunyai korelasi
dengan tingkat kepercayaan para investor dan pemegang saham. Di negara-negara maju,
para investor bersedia memberi premium yang cukup tinggi kepada perusahaan yang
menerapkan prinsip transparansi dengan konsisten. Hal ini ditemukan oleh Mc Kinsey
(Lihat, Adrian Sutedi, op.cit., hal. 57).
14
Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, (2006), Accounting Ethics, USA: Blacwell
Publishing, hal. 107.
15
Bdk. Kasdin Sihotang, (2014), Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses, Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, hal. 157. Lihat juga Ronald F Duska, op.cit., hal. 156.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
7
Dalam konteks perusahaan, tanggung jawab top management
adalah mengembangkan perusahaan secara berkelanjutan dengan
menghindari segala hal yang merugikan perusahaan. Dengan kata
lain, cost beneft analysis dijadikan oleh top management sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
pengambil
keputusan
tentang
perusahaan.
Dewan Direksi adalah bagian dari top management. Sesuai dengan
tugas utamanya, Dewan Direksi mempunyai kewajiban fdusia,
yakni meninjau strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan,
memilih dan memberikan kompensasi eksekutif senior perusahaan,
mengevaluasi eksternal perusahaan dan mengevaluasi laporan
keuangan perusahaan serta memantau kinerja perusahaan secara
keseluruhan16. Dewan Direksi juga
bertanggungjawab untuk
mengawasi lini bisnis dan strateginya, termasuk memastikan
kualitas pertanggungjawaban laporan keuangan untuk menjamin
kepercayaan investor dan pemegang saham. Karena itu penyajian
laporan keuangan yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung
jawab besar bagi manajemen perusahaan17.
Namun
dalam
pengelolaan,
hakikat
prinsip
tanggung
jawab
tersebut tidak diindahkan oleh Enron, khususnya Dewan Direksi.
Pengawasan Dewan Direksi terhadap manajemen perusahaan
sangat lemah. Bahkan, tiga tugas besar status fdusia direktur,
yakni
ketaatan, loyalitas
dan
ketekunan18 sama
sekali
tidak
dipejalankan. Dewan Direksi justru mengembangkan sejumlah
strategi
bisnis
perusahaan
utilitarianistik
yang
merugikan
masa
depan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan
pihak-pihak tertentu, namun merugikan stakeholders . Tindakan ini
16
Bdk. Joseph W Weis, (2000). Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management
Approach, South Western: Thomson, hal. 140.
17
Bdk. Adrian Sutedi, op.cit., hal. 89.
18
Bdk. Leonard J Brook, op.cit., hal. 100.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
8
menurut
Doughlas
M
Branson
merupakan
perbuatan
yang
bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty.19
1.1.4
Ketidakadilan
Prinsip tata kelola lain yang dilanggar oleh Enron adalah fairness.
Fairness
berkaitan
dengan
keadilan.
Keadilan
mempunyai
pengertian yang sangat luas. Namun, arti sederhana bisa diambil
dari
ungkapan
Romawi
bertuliskan
tribuere
cuique,
artinya
memberikan apa yang menjadi hak orang 20. Keadilan berkaitan
dengan
pengaturan
hak
dan
kewajiban
semua
pemangku
kepentingan secara fair. Dengan kata lain, hak legal, hak ekonomis
dan
hak
moral
serta
kewajiban-kewajiban
seperti
ketaatan,
konfdensialitas dan loyalitas menjadi objek material dari keadilan
. Ini juga menjadi hakikat pengelolaan yang sehat. Dalam tata
21
kelola, sebagaimana ditegaskan oleh Adrian Sutedi, keadilan atau
fairness terungkap dalam perlakuan yang sama terhadap pemegang
saham dengan keterbukaan inrormasi yang penting serta melarang
pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang
dalam22.
Peluang-peluang yang memberi ruang ketidakseimbangan terhadap
hak dan kewajiban pada pihak-pihak tertentu serta membuat
kebijakan manipulatif merupakan praktik ketidakadilan dalam
bisnis. Dan manajemen Enron melakukan hal ini.
Seperti sudah
disinggung dalam butir sebelumnya, kalangan karyawan dan mitra
19
Bdk. Douglas M Branson (1993). Corporate Governance, Virginia: The Michie Company,
hal. 32.
20
Bdk. K Bertens, (2000), Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, hal. 86.
21
Yang dimaksudkan dengan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan kesejahteraan
secara ekonomis meliputi hak mendapatkan gaji atau upay yang adil, hak mendapatkan
jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan hak mendapatkan bagian bonus atau
insentif karena prestasi. Hak hukum berarti hak untuk diperlakukan secara sama sesuai
dengan aturan-aturan atau norma-norma hukum yang berlaku dalam perusahaan.
Sementara hak moral adalah hak atas kebebasan suara hati, hak atas rahasia pribadi dan
hak atas perlakuan yang sama. Termasuk dalam hak moral adalah melaporkan kecurangan
perusahaan, termasuk whistle blowing (Bdk. Kasdin Sihotang, op.cit., hal. 167-179).
22
Bdk. Adrian Sutedi, op.cit., hal. 130.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
9
memperkaya diri
dengan mudah,
Dewan Direksi.
karena lemahnya pengawasan
Ini berarti, di satu sisi ada pihak yang
diuntungkan, di lain sisi ada pihak yang sangat dirugikan. Yang
diuntungkan
adalah
mereka
yang
mempunyai
andil
dengan
manejemen perusahaan dan mendapat kesempatan untuk itu,
seperti
karyawan,
sedangkan
yang
dirugikan
adalah
yang
sebaliknya, termasuk di dalamnya pemegang saham dan investor.
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
pengelolaan perusahaan Enron telah menerapkan tata kelola yang
salah, karena melanggar
governance
yang
akuntabilitas,
Pengabaian
prinsip-prinsip dasar good corporate
berintikan
transparansi,
terhadap
pada
empat
tanggung
nilai
jawab
prinsip-prinsip
tata
utama,
yakni
serta
keadilan.
kelola
demikian
menyumbang bagi kehancuran Enron.
1.2 Deviasi Etika Profesi Akuntan
Selain pengelolaan yang tidak sehat, penyimpangan nilai-nilai etis
profesi
akuntan menjadi penyebab lain bagi kehancuran Enron.
Dengan kata lain, kebangkrutan Enron juga terjadi karena prinsipprinsip etika profesi, yang dalam hal ini adalah etika profesi
akuntan,
diabaikan
dalam
tugas-tugas
sebagai
akuntan.
Pelanggaran ini sangat jelas dilakukan oleh lembaga akuntan
bernama Arthur Andersen (AA)23.
Sebagai
bertindak
lembaga
secara
berdasarkan
audit
keuangan
profesional,
prinsip-prinsip
ternama,
dalam
formal
arti
audit24.
AA
seharusnya
melakukan
Namun
AA
audit
tidak
melakukan hal ini. Sebagaimana dijelaskan di atas, Enron telah
23
Dalam kasus ini WorldCom juga mempunyai andil bagi kehancuran Enron. Namun penulis
membatasi diri pada Enron dan Arthur Andersen saja, karena menurut penulis AA sudah
mereprentasikan pelanggaran etis dalam bidang akuntansi.
24
Bdk. Mark Chefers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 233.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
10
melakukan
berbagai
keuangan
berbentuk
kekeliruan,
termasuk
manipulasi
mempertanyakan kekeliruan itu.
data.
dalam
pelaporan
Namun
AA
tidak
Sebaliknya, AA berkompromi
dengan perusahaan, bahkan menawarkan jasa kepada Enron untuk
turut memperbaiki kekeliruan yang menurut hukum audit sudah
jelas-jelas serharusnya menjadi penemuan mayor25.
Ada empat nilai utama etika profesi akuntan yang dilanggar oleh
Arthur Andersen. Pertama, independensi. Independensi berarti
tidak
tergantung
pada
kemauan
atau
kepentingan
tertentu.
Menurut Michael Pakaluk setiap profesi memiliki independensi
dalam melakukan tugasnya. Mengingat akuntan juga merupakan
sebuah profesi, maka independensi juga menjadi bagian prinsip
bagi
seorang
akuntan.
Akuntan
tidak
boleh
tunduk
pada
kepentingan tertentu entah kepentingan diri sendiri ataupun
kepetingan auditee, selain tunduk pada prinsip-prinsip audit dan
kepentingan
umum26.
Bahkan
menurut
Ronald
F
Duska,
kepentingan publik harus mengatasi kepentingan-kepentingan di
luarnya.27
Dengan
kata
lain,
seorang
akuntan
haruslah
berpendirian dalam tugasnya. Seorang auditor memang memberi
pelayanan
nasihat
manejemen
kepada
perusahaan.
Namun
pelayanan itu bertujuan untuk melihat sejumlah alasan-alasan
objektif terhadap data perusahaan yang diaudit. Di sini kemandirian
sangat penting. Tugas auditor adalah membuat laporan objektif
tentang segala hal dalam pandangan mereka yang mungkin menjadi
bahan pertimbangan bagi investor untuk membuat keputusan
investasi28.
25
Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 75-92.
Bdk. Michael Pakaluk & Mark Chefers, (2011), Accounting Ethics and the Near Collapse of
The World’s Financial System, Massachusetts: Alen Daved Press, hal. 277.
27
Tentang hal ini Ronald F Duska mengatakan, “It discusses four concepts that relate to
independence: (1) threats, (2) safeguards, (3) independence risk, (4) signifcance of threats/
efectiveness of safeguards”. ( Bdk Ronald F Duska, opt.cit., hal. 128).
28
Bdk. Michael Pakaluk & Mark Chefers, op.cit., hal. 277.
26
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
11
Akan tetapi prinsip demikian tidak menjadi perhatian bagi Arthur
Andersen. AA justru menempatkan kepentingan di atas prinsip etis
tersebut.
Arthur
Andersen
malah
melakukan
sesuatu
yang
bertentangan dengan prinsip independensi, yakni mendiskusikan
dan mengakomodir kekeliruan yang dilakukan oleh Enron.29 Selain
bayaran yang tinggi, banyaknya Akuntan Arthur Anderson yang
menjadi auditor internal Enron menunjukkan bahwa AA tidak
berpegang teguh pada independednsi, karena kondisi ini justru
sarat dengan kepentingan.
Dengan kata lain, para auditor telah
terkooptasi oleh ketergantungan pada pihak lain sehingga ia bukan
lagi orang yang bebas dan otonom untuk membela prinsip-prinsip
profesinya30.
Kedua, adalah integritas. Integritas merupakan elemen karakter
dasar bagi pengakuan profesional. Integritas berkaitan dengan
kualitas yang dengannya kepercayaan publik muncul, sekaligus
menjadi ujian bagi pengambilan keputusan. Menurut Steven MR
Covey,
orang
yang
mempunyai
integritas
adalah
dia
yang
berpegang pada prinsip dan menjadikan prinsip itu sebagai
karakternya. Dia memiliki keutuhan diri. Ia tahu apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan. Dia juga tidak
mudah dipengaruhi oleh iming-iming. Dia berani mengatakan benar
kalau memang benar, salah kalau memang salah.31 Ketika ia
berhadapan dengan kekosongan standar, aturan, dan petunjuk
dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, seorang yang
berintegritas mampu mengambil keputusan berdasarkan suara
hatinya.
29
Nanette Brynes menyatakan bahwa AA menerima dana sebesar $ 25 juta dari Enron
dan jasa konsultas sebesar $ 27 juga yang implikasinya adalah AA membantu memperbaiki
laporan keuangan dengan bayaran tambahan lebih dari $ 1 juta. (Bdk. Nanette Byrnes, et
al, “Publik Accounting in Crisis”, Business Week, January 28, 2002, hal. 46.)
30
Bdk Michael Pakaluk & Mark Chefers, op.cit., hal. 276.
31
Steven MR Covey menunjukkan tiga muatan dalam integritas, yakni konsistensi,
humilitas, dan keberanian. Artinya, orang yang berintegritas menjalankan apa yang
dikatakan dan dipikirkan serta diketahui, namun ia berpihak pada nilai-nilai kebenaran serta
memiliki keberanian untuk menolak segala hal yang bertentangan dengan prinsip yang
dipegangnya (Bdk. Steven M R Covey with Rebecca R Merril, 2008. The Speed of Trust: The
One Thing That Changes Everything, New York: Free Press, hal. 59-61).
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
12
Pengertian Steven Covey di atas menurut Mickhael Pakaluk juga
berlaku bagi seorang akuntan. 32 Ini berarti, seorang akuntan harus
berani mengatakan kebenaran, serta tunduk pada prinsip-prinsip
profesinya secara konsisten, dan tidak mudah terpengaruh oleh
godaan.33
Dalam praktiknya,
hakikat integritas itu dilanggar oleh AA. AA
dengan begitu mudah tergoda oleh uang. Bahkan uang menjadi
pegangan dan mampu membeli dirinya dan profesinya. Seperti
disebutkan di atas Arthur Anderson tahu bahwa Enron telah
melakukan penghilangan data penting berupa dokumentasi laporan
keuangan.
Berhadapan dengan situasi seperti ini seharusnya
auditor mempertanyakan dan menggali alasan Enron mengapa
melakukan penghilangan itu.
Namun AA tidak melakukan tugas itu. AA justru melakukan
kompromi dengan Enron dalam kesalahan, yang mana sikap ini
menurut Ronald Duska merupakan pelanggaran besar dalam etika
profesi akuntan dan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip audit34.
Dengan kompromi, AA telah mengabaikan tugas seorang akuntan
untuk
berpijak
mengamankan
pada
akuntansi,
dan
peranannya
untuk
kepercayaan, kepentingan fungsi yang baik dari
pasar dengan memberikan kenyataan keuangan secara objektif,
akuntabel dan dapat diverifkasi35.
Ketiga
adalah
objektivitas.
independen. Prinsip ini
Objektivitas
adalah
ungkapan
memuat sikap imparsial, jujur secara
intelektual, bebas dari konfik kepentingan. Objektivitas berkaitan
dengan kebenaran faktual,
bukan pada penafsiran. Ini
juga
32
Di Amerika Serikat, prinsip ini merupakan bagian dari kode etik bagi Akuntan Publik yang
bersertifkat yang dituangkan pada Section 54-Artikel III ( Bdk. Robert F Duska, op.cit., hal.
202).
33
Bdk. Michael Pakaluk, op.cit., hal. 279.
34
Tentang ini Ronald F Duska menulis dengan jelas, “An Accountant should maintain
objektivity and be free of confict of interest in discharging profesional responsibilities.
He/She should be independen in fact and apperance when prividing auditing and other
attestation services ( Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 85).
35
Bdk Mikhael Pakaluk, op.cit., hal. 288.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
13
merupakan bagian prinsip yang harus dipegang oleh seorang
akuntan. Objektivitas seorang akuntan terlihat pada bagaimana ia
menempatkan data dalam mengevaluasi dan menyimpulkan hasil
auditnya. Jelas bahwa bagi seorang akuntan data menjadi sumber
dan dasar untuk memberikan penilaian terhadap situasi keuangan
yang diaudit. Inilah menurut Mark Chefer sikap objektif.36
Dalam perilaku AA sikap-sikap di atas juga tidak diindahkan. Data
justru diabaikan, digantikan dengan kepentingan. Sudah jelas-jelas
AA menemukan masalah dalam laporan keuangan Enron bahwa
Enron
telah
menghancurkan
data-data
keuangan
yang
mempengaruhi, bahkan menentukan arah situasi buruk keuangan
perusahaan, namun AA tidak melaporkan penemuan itu, melainkan
berkompromi dengan kesalahan perusahaan dengan menawarkan
diri menjadi konsultan37.
Dalam kaitan dengan itulah menurut Mikhael, ada tiga konsiderans
yang dilanggar oleh AA.
Pertama,
fungsi untuk menyatakan
kebenaran dengan memperlihatkan diri sebagai seorang peneliti
berpendidikan.
Kedua, fungsi untuk melakukan verifkasi atas
penemuan-penemuannya, dan ketiga, melayani kepentingan yang
lain
yang
eksistensi
membutuhkan
seorang
hasil
akuntan
pekerjaannya.
adalah
melayani,
Dalam
hal
ini
bukan
mencari
kepentingan diri atau melindungi diri.38
Prinip keempat yang dilanggar oleh AA adalah tanggung jawab
kepada publik. Ronald F Duska menyatakan bahwa peranan dan
konsistensi
integritas,
pernyataan
menjalankan
dan
otonomi,
fnansial
kewajiban
serta
merupakan
untuk
kejujuran
wujud
mempertahankan
dalam
dari
memberikan
tanggung
jawab
36
Bdk. Mark Chefer and Michael Pakaluk , op.cit., hal. 102.
Tentang hal ini Mark Chefer menulis, “Andersens’ lack of objectivity in expression is
apparent internal memo: The memo states that, “a signifcance discussion was hel
regarding the related party transactions with LJM including the materially of such amount
to Enrons income statement and the emount retain of ballance sheet” ( Bdk. Mark Chefer
and Michael Pakaluk, op.cit., hal. 102).
38
Bdk. Michael Pakaluk, op.cit., hal. 89.
37
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
14
seorang
akuntan
kepada
publik39.
Kendati
seorang
akuntan
mempunyai hubungan dengan kliennya, namun hubungan itu tetap
dalam kerangka profesi.
Dengan kata lain, hubungan auditor
dengan klien bukanlah hubungan privat, melainkan hubungan
profesional.
Pernyataan
di
atas
memuat
makna
bahwa
konfik
antara
kepentingan klien dengan kepentingan publik harus diatasi oleh
seorang auditor dengan loyal pada prinsip-prinsip audit. Seorang
auditor tidak bertanggung jawab pada klien. Ia bertanggungjawab
pada publik sebagai konsekuensi dari tuntutan profesinya. Melihat
hal ini, Ronald F Duska setuju dengan ungkapan Justice Burger
yang menyatakan bahwa
akuntan adalah
“a public watchdog
function”40. Singkatnya, tanggung jawab seorang akuntan publik
adalah
mengutamakan
kepentingan
pihak
ketiga,
bukan
kepentingan pribadi klien maupun kepentingan pribadi.
Hakikat tanggung jawab di atas sangat diabaikan oleh Arthur
Andersen dalam menjalankan tugasnya sebagai akuntan eksternal
Enron. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, AA tidak bisa
membedakan mana kepentingan pribadi, dan klien, serta mana
kepentingan
publik.
Kepentingan
pribadi
dan
klien
justru
mengalahkan kepentingan publik. AA juga mengabaikan prinsipprinsip audit sebagai dasar menjalankan tugasnya. 41 Semua ini
merupakan bukti nyata minimnya tanggung jawab profesi.
Deviasi moral yang dilakukan oleh AA telah memiliki implikasi yang
sangat mendasar bagi reputasinya sebagai lembaga akuntan yang
ternama dan eksistensinya di depan publik. Dengan penyimpangan
itu, kepercayaan publik terhadap lembaga terhenti dan hilangnya
kepercayaan ini telah mengancam
eksistensi dan masa depan
perusahaan. Penyimpangan terhadap semua prinsip etis di atas
39
40
41
Ibid., hal. 113
Ibid., hal. 115.
Bdk. Mikhael Pakaluk, op.cit., hal. 299.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
15
menunjukkan bahwa AA tidak profesional. AA tidak bisa memilahmilah
kepentingan
pribadi
mengindakan independensi,
dari
kepentingan
publik,
tidak
serta integritas, objektivitas, yang
keempat nilai-nilai ini merupakan inti etika profesionalisme seorang
akuntan42.
2.
Ekpektasi
Etis
terhadap
Tata
kelola
dan
Profesi
Akuntan
Kebangkuran Enron membawa pelajaran yang berharga tidak hanya
bagi Enron dan Athur Andersen sendiri, melainkan juga bagi
masyarakat
dunia.
mempunyai
dampak
Dengan
kata
yang
luas,
lain,
peristiwa
sekaligus
buruk
itu
membangkitkan
ekspektasi etis dalam berbagai bidang kehidupan seperti
bidang
ekonomi, profesi, maupun bidang politik. Ekspektasi etis itu adalah
harapan dan kesadaran baru di masyarakat luas akan pentingnya
penerapan etika dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Peristiwa buruk demikian juga menjadi antitesis bagi pandangan
kelompok yang memisahkan etika dan moral dari kegiatan bisnis,
yang diistilahkan Joseph W Weis dengan kelompok penganut mitos
bisnis amoral43. Artinya, memandang moral sebagai sesuatu yang
terpisah dari etika merupakan sesuatu yang keliru. Karena fakta
kehancuran Enron telah membuktikan hal itu.
42
Bdk. Ken McPhail and Diane Walters, (2009). Accounting & Business Ethics, London and
New York: Rougledge Taylor & Francis Group, hal. 111.
43
Menurut Joseph W Weis, mitos bisnis amoral merupakan pandangan yang menyatakan
bahwa penempatan etika dalam bisnis merupakan sebuah mitos. Ada lima yang dijadikan
sebagai dasar argument untuk menyatakan hal ini. Pertama, etika bersifat personal dan
urusan pribadi, bukan urusan publik sehingga tidak relevan ditempatakan dalam bisnis
yang berkaitan dengan lembaga. Kedua, etika dan bisnis tidak bisa dikaitkan karena
keduanya mempunyai aturan dan bidang yang berbeda. Ketiga, etika bersifat relative
dalam arti tidak ada prinsip-prinsip yang bisa dijadikan sebagai standar yang sama. Situasi
dan kondisi yang berbeda membuat tuntutan dan aturan berbeda. Keempat, etika sudah
termuat dalam upaya menjalankan bisnis yang baik, karena itu bisinis yang baik etika yang
baik sama dengan bisnis yang baik. Kelima informasi dan computer adalah amoral, karena
tidak bisa dimintai pertanggungjawaban darinya, dan bisnis berkecimpung dalam dua
sarana ini.( Bdk. Joseph W Weis, op.cit., hal. 14-28.)
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
16
Pertanyaannya,
apa
substansi
ekspektasi
etis
dari
peristiwa
tersebut? Dengan pertanyaan lain, pelajaran moral apa yang bisa
ditarik dari kehancuran Enron dan Arthur Andersen? Ada dua hal
sebagai jawaban pertanyaan ini, yakni
tuntutan penerapan tata
kelola secara konsisten dan peningkatan kesadaran para akuntan
untuk mempraktikkan etika profesi.
2.1 Tuntutan Aplikasi Good Corporate Governance
Terkait dengan tata kelola, peristiwa Enron telah memunculkan
harapan baru, yakni ekspektasi etis di masyarakat berkaitan dengan
kualitas pengelolaan perusahaan di belahan dunia,. Dan ekspektasi
etis ini telah mendapat tanggapan dari berbagai perusahaan baik
perusahaan besar maupun perusahaan kecil. Leonard J Brooks
menunjukkan bahwa di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat,
Kanada, Australia dan Inggris, kesadaran untuk memperbaiki
kerangka kerja tata kelola organisasi ke arah yang lebih baik demi
mengembalikan kepercayaan dalam sistem pasar modal perusahaan
mengalami peningkatan44.
Terkait dengan itu Brooks mencatat sekurang-kurangnya tujuh
kesepakatan dalam upaya memenuhi harapan publik.45 Pertama,
pentingnya klarifkasi peran, tanggung jawab dan akuntabilitas dari
44
Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 11.
Perhatian pada tata kelola sesungguhnya sudah ada sebelum kasus Enron, namun
menurut Leonard J Brooks lebih signifkan dan lebih serius sesudah tragedi Enron. Terkait
dengan ini Brook mencoba mengurutkan perubahan itu secara kronologis sebagai berikut.
Pada tahun 1994, ada peninjauan tata kelola perusahaan dan membuat rekomentasi untuk
praktik perusahaan
terbaik yang merupakan hasil dari pembicaraan Toronto Stock
Exchange. Pada tahun 1999 hal yang sama terjadi sebagai kelanjutan sebelumnya dengan
mengadakan survei dan analisis prosedur tata kelola perusahaan-perusahaan. Satu tahun
kemudian dihasilkan Kode Etik tentang prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan prinsip
teladan pengelolaan. Pada bulan November terjadi pengkajian kondisi tata kelola
perusahaan di Kanada dan membuat rekomendasi perubahan yang akan memastikannya
sebagai contoh pengelolaan di Kanada. Pada tahun 2002, diadakan kembali diskusi Toronto
Stock Exchange dengan membuat petunjuk-petunjuk baru. Hasil mengejutkan adalah
kesepakatan bahwa CEO dan DVO mengesahkan 8-K, yang berisikan pentingnya
meningkatkan akuntabilitas, integritas dan transparansi dari perusahaan yang terdaftar di
New York Stock Exchange ( Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 11).
45
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
17
Dewan Direksi, subkomitenya, dan para direktur pribadi, serta
auditor.
Kedua,
penurunan
konfik
kepentingan
yang
mempengaruhi para direktur, eksekutif dan auditor sehingga pihakpihak ini melatih kesetiaan, penilaian independen dan objektivitas
demi kepentingan terbaik para pemegang saham atau perusahaan,
atau dalam kasus auditor untuk kepentingan publik.
Ketiga,
memastikan bahwa para top management memiliki informasi yang
cukup mengenai rencana dan kegiatan perusahaan,
cakupan
kebijakan dan pengendalian internal untuk memastikan kepatuhan,
termasuk keprihatinan pada whislte blower. Keempat, memastikan
bahwa para direktur memiliki kompetensi keuangan yang memadai
dalam keahlian yang diperlukan.
Kelima, memastikan bahwa laporan keuangan dibuat dengan
akurat, lengkap, dapat dipahami dan bersifat transparan. Keenam,
memastikan
standar
akuntansi
memadai
untuk
melindungi
kepentingan para investor. Ketujuh, memastikan bahwa pengaturan
dan pengawasan auditor perusahaan publik, seperti janji dan porsi
parameter, apakah telah mencukupi atau tidak.
2.2 Kepedulian akan Etika Profesi Akuntan
Ekspektasi etis publik tidak hanya pada tata kelola, tetapi juga
kualitas profesi akuntan. Peristiwa Enron dan Arthur Andersen
telah membangkitkan kesadaran baru untuk menempatkan etika
profesi secara konsisten sebagai pegangan dalam profesi akuntan.
Dengan kata lain, kedua kasus tersebut memberikan kesadaran
yang jauh lebih besar terhadap masalah dan tren etika yang sedang
berjalan,
termasuk
konfik
kepentingan
pribadi,
kontrol
kepentingan pribadi, tugas fdusia direksi kepada pemegang saham
dan auditor terhadap kepentingan umum, serta makna sebuah
bisnis yang baik dalam mengembangkan budaya etis dalam profesi
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
18
akuntan. Budaya etis itu harus didasarkan pada kejujuran, keadilan,
integritas, objektivitas, tanggung jawab, dan kepercayaan, serta
penghargaan kepada kepentingan pemangku kepentingan.
Itu berarti, kegagalan kedua perusahaan meningkatkan perhatian
pada etika dan reputasi secara serius. Apa yang dikatakan oleh
Richard T De George bahwa etika adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari bisnis dan menjadi lem yang merekatkan semua
pihak yang terkait dalam bisnis46 semakin diakui oleh pelaku bisnis.
Ini mengubah paradigm lama yang hanya melihat risiko ekonomi
sebagai
dasar
pertimbangan
menempatkan risiko
etis
dengan
paradigm
baru
yang
sebagai dasar pertimbangan dalam
menjalankan bisnis.
Besarnya perhatian pada etika profesi akuntan itu diperkuat
dengan kehadiran dokumen bernama Sarbanes-Oxley Act (SOX).
Selain landasan legal formal, bagi profesi akuntan, SOX
juga
memberikan
dan
kejelasan
tentang
peran,
tanggung
jawab
keanggotaan subkomite audit atas dewan, karena dokumen ini
memuat penegasan tentang kedudukan subkomite audit yang
secara langsung bertanggungjawab atas janji, kompensasi dan
pengawasan, serta tugas-tugas subkomite audit seperti membuat
prosedur untuk menerima dan menanggapi keluhan terkait dengan
akutansi,
audit,
pengendalian
internal,
termasuk
menetapkan
prosedur yang memungkinkan karyawan mengajukan keluhan
secara anonim, serta menyetujui setiap layanan nonaudit yang akan
diberikan oleh auditor47.
Dari uraian panjang di atas jelaslah bahwa tuntutan untuk
menjalankan profesi berdasarkan standar moral semakin gencar.
Nilai-nilai etis bahkan dilihat sebagai ukuran yang menentukan
profesionalitas
seorang
akuntan.
Menurut
Mark
Chefers,
46
Tentang ini Richard De George mengatakan, “morality is the oil as well as the glue of
society and therefore of business” seperti dikutip K. Bertens, op.cit., hal. 379.
47
Bdk. Michael Pakaluk., op.cit, hal. 120.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
19
internalisasi
dan
penerapan
etika
secara
maksimal
akan
menghindari kehancuran profesi48. Inilah pelajaran berharga dari
kasus Arthur Andersen.
3.
Pentingnya Etika Profesi Akuntansi dalam Pendidikan
Terkait dengan pernyataan akhir butir di atas, pertanyaan yang
relevan dimunculkan, upaya apa yang diperlukan agar etika profesi
sungguh mendarah daging bagi para
akuntan? Jawabnya adalah
internalisasi nilai-nilai etis sejak dini. Dan wadah yang sangat
strategis
untuk
itu
adalah
dunia
pendidikan.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Filsuf klasik Yunani, Plato, dunia pendidikan
merupakan wadah yang sangat tepat dalam pembentukan kualitas
pribadi seseorang49. Masa pendidikan merupakan kesempatan
untuk mempersiapkan para calon akuntan sebelum dia terjun ke
masyarakat. Di dalamnya mutu kepribadian seorang akuntan
dibentuk.
Jadi,
humanisasi
dan
dalam
masa
hominisasi,
pendidikan
sebagaimana
akuntan
mengalami
ditegaskanoleh
N
Driyarkara50.
Karena masa sekolah merupakan humanisasi dan hominisasi, maka
mutu pendidikan perlu menjadi perhatian. Dan pendidikan yang
bermutu adalah pendidikan mengembangkan kepribadian peserta
didik secara komprehensif.
Artinya, bukan hanya kemampuan
kognitif berupa pengetahuan yang memadai perlu dikembangkan,
tetapi
juga
kemampuan
afektif
dan
psikomotorik 51.
Dalam
mengembangkan dua aspek terakhir, etika harus dijadikan sebagai
bagian integral pendidikan. Berkaitan dengan profesi akuntan, etika
48
Bdk. Mark Chefers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 20
Bdk. Plato (2006), Rebublic, translated by Jhon Lleweyln Davies and David James
Vaughan, Great Britain: Wordsworth Classics of World Literature, hal. 206,
50
Bdk. A Sudiardja, SJ, (2006), Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta & Yogyakarta: Gramedia &
Kanisius, hal. 366.
51
Bdk. Benjamin S. Bloom, (1956), Taxonomy of Educational Objectives: The Classifcation
of Educational Goals , New York: David McKay.
49
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
20
profesi akuntan menjadi sangat relevan. Ini merupakan upaya untuk
membekali para calon akuntan tentang prinsip-prinsip etis sebelum
terjun ke masyarakat. Internalisasi etika profesi tidak terjadi dalam
waktu yang singkat dan tidak pula terjadi dengan sendirinya.
Proses dan waktu yang panjang diperlukan untuk itu. Dan awal dari
proses dan waktu yang panjang itu adalah dunia pendidikan.
Memang harus diakui bahwa pengajaran mata kuliah etika profesi
tidak secara otomatis membuat kaum professional, termasuk
akuntan
berperilaku
etis, namun
minimal kesadaran mereka
tentang nilai-nilai moral dibuka. Dengan kesadaran itulah mereka
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mampu
mengambil keputusan secara tepat, serta mencari solusi atas
masalah yang dihadapi di lapangan di kemudian hari. Seperti
dikatakan oleh Socrates, pengetahuan tentang apa yang baik dan
yang buruk merupakan dasar untuk menilai apa yang baik dan apa
yang buruk52.
Ini berarti pengetahuan merupakan langkah awal
dalam membentuk perilaku dan dasar penilaian etis. Kasus Arthur
Andersen
telah
menjadi
sebuah
pelajaran
berharga
bahwa
minimnya kesadaran etis merupakan akar kehancuran pada masa
depan profesi.
Dalam mengantisipasi agar hal ini tidak terjadi, etika profesi
memiliki andil besar. Karena itu etika profesi sangat relevan
bahkan mendesak dijadikan sebagai bagian integral pendidikan
akuntansi maupun Pendidikan Profesi Akuntan. Kedudukan akuntan
sebagai jantung atau hati dari korporasi53 mengisyaratkan bahwa
seorang akuntan harus mempunyai kesadaran yang memadai
tentang etika profesi demi menjamin mutu pekerjaan dan eksistensi
perusahaan.
52
Bdk. Hugh Trendennick & Harold Tarrant ( 2006). Plato, Hari-hari Terakhir Socrates, terj.
Eleonora Brigita, Jakarta: Elexmedia Komputindo, hal. 1.
53
Bdk. Josep L Signour , (20102), Etika Bisnis, Jakarta: Penerbit Obor, hal. 49.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
21
Ada empat alasan mengapa etika profesi perlu menjadi bagian
pendidikan akuntan54. Pertama, sebagaimana sudah terlihat dalam
kasus Arthur Andersen, seorang akuntan berhadapan dengan
masalah
yang kompleks, yang jawabannya kadang-kadang tidak
bisa disandarkan pada keyakinan yang dimilikinya maupun
yang
ada di masyarakat. Berhadapan dengan situasi itu, pertanyaan yang
muncul, ke mana ia harus mencari jawaban? Jawabanya adalah
pada suara hatinya55. Namun suara hati harus terus dibina, dan
pembinaan itu terjadi salah satunya melalui pendidikan.56
Kedua, di lapangan seorang akuntan harus mengambil keputusan
berhadapan dengan berbagai nilai yang dihadapinya, bahkan bisa
saja terjadi dilemma, seperti yang dialami Arthur Andersen. Dalam
berhadapan dengan situasi dilematis ini, etika memberikan insight
bagi sang akuntan. Etika akan mendorongnya untuk aktif mencari
alasan-alasan yang memadai mengapa ia menolak sesuatu, tetapi
menolak yang lain.
Dengan kata lain, etika membuat seorang
akuntan bertindak secara rasional dan objektif dalam menjalankan
tugasnya kelak.
Ketiga, terkait dengan alasan kedua, etika mengantar seorang
akuntan untuk mengkritisi apa yang dihadapi dan dikerjakan agar
layak dijalani. Sebagaimana dikatakan oleh Socrates, hidup yang
tidak teruji tidak layak dihidupi57. Bagi seorang akuntan ini penting
agar semakin memberi makna bagi profesinya, dan terhindar dari
konfik kepentingan.
Keempat, pendidikan etika profesi membekali calon akuntan
dengan
kemampuan
yang
memadai
dalam
mengidentifkasi
berbagai persoalan di lapangan dan menerapkan prinsip-prinsip
54
Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 28-29.
Bdk. Franz Magnis Suseno (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta: Kanisius, hal. 76.
56
Bdk. J Sudarminta (2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori
Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius, hal. 72.
57
Bdk. Hugh Tredennick & Harold Tarrant, op.cit., hal. 149.
55
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
22
dasar di tengah persoalan itu secara konsisten dalam mengemban
profesinya. Dengan kejernihan pikiran ini kelak calon akuntan bisa
bertindak secara benar. Dengan dasar inilah calon akuntan yang
berintegritas,
otonom,
bertanggungjawab,
bertindak
objektif,
memiliki kepedulian pada kepentingan umum, yang semuanya
menjadi prinsip-prinsip utama bagi seorang akuntan dan menjadi
ciri-ciri karakter akuntan profesional58 akan terbentuk. Semua
prinsip ini merupakan muatan dari etika profesi akuntan.
4.
Penutup
Peristiwa selalu mempunyai makna dan makna itu harus digali
secara
mendalam
agar
bisa
menjadi
pelajaran
berharga
di
kemudian hari. Suatu peristiwa merupakan kesaksian sejarah.
Namun kesaksian sejarah itu bukan tanpa makna, sebaliknya sarat
dengan maknya. Dengan demikian peristiwa sejarah juga bisa
memuat fungsi penyebaran nilai.59 Jika pernyataan ini dikaitkan
dengan Enron dan Arthur Andersen, maka jelaslah kebangkrutan
keduanya pada tahun 2001 merupakan kesaksian sejarah yang
sarat dengan pelajaran moral yang berharga.
Ada dua pelajaran moral berharga yang bisa diambil dari peristiwa
tersebut. Pertama, pentingnya pengelolaan yang sehat dalam
menangani
bisnis.
Inti
pengelolaan
yang
sehat
itu
adalah
pemberlakuan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness serta
tanggung
jawab
dalam
menangani
bisnis
atau
perusahaan.
Kesadaran dan tekad untuk konsisten untuk menerapkan semua
prinsip ini akan menghindari kehancuran bisnis.
Kedua, dalam menjalankan profesi, seorang profesional harus
berpijak pada nilai-nilai etis. Akuntan sebagai profesi tidak luput
58
Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 77 – 90.
Bdk. Kasdin Sihotang (2009), Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme,
Jakarta: Kanisius, hal. 189.
59
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
23
dari tuntutan ini. Karena itu pula seorang akuntan harus menjaga
profesionalisme dalam menjalankan tugasnya
dengan komitmen
pada prinsip-prinsip formal akuntansi dan etika profesi akuntan
yang berintikan pada integritas, otonom, tanggung jawab, dan
independen, objektif, serta berpihak pada kepentingan umum.
Tuntutan semakin besar untuk memperhatikan nilai-nilai etis dalam
profesi akuntan mengisyaratkan pentingnya menempatkan etika
profesi
sebagai bagian integral dalam pendidikan akuntansi dan
profesi akuntan. Dengan kata lain, etika profesi akuntan menjadi
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
pendidikan
calon-calon
akuntan60. Tujuannya adalah untuk memberikan mereka modal
hidup dalam mengemban profesi berbentuk kemampuan untuk
membedakan yang baik dari yang buruk, yang benar dengan yang
salah, kesadaran yang besar tentang prinsp-prinsip etis. Kelak
dengan berbekalkan semua ini mereka dapat mengambil keputusan
yang tepat dalam pekerjaannya. Dan modal yang mendasar itu
didapatkan melalui pendidikan etika profesi. Karena itulah tuntutan
untuk menempatkan etika profesi sangat
Tinjauan Kritis atas Kasus Enron dan Arthur Andersen
Oleh Kasdin Sihotang
Dosen Etika Profesi Akuntan di FE dan Staf PPE Unika Atma
Jaya, Jakarta
Abstrak:
Bisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup
manusia. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, bisnis harus
dijalankan secara etis. Ini berarti, bisnis membutuhkan etika. Jika
seorang pelaku bisnis mengabaikan etika dalam kegiatannya, dia
melakukan tindakan bunuh diri. Pengabaian ini akan menyebabkan
kebangkrutan. Fakta inilah yang terlihat
dalam kebangkrutan
Enron dan Arthur Andersen. Kehancuran kedua perusahaan ini
telah membangkitkan kesadaran dan ekspektasi publik baik bagi
para pelaku bisnis untuk menerapkan tata kelola yang sehat
berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness dan
tanggung jawab maupun bagi akuntan untuk menerapkan etika
profesi yang meliputi integritas, independensi, objektivitas dan
kejujuran serta kepentingan publik. Kehancuran itu juga
mendorong agar etika profesi akuntan menjadi bagian integral dari
pendidikan untuk membangkitkan kesadaran calon akuntan akan
apa yang baik dan apa yang buruk dalam menjalankan
pekerjaannya kelak.
Kata-kata kunci: tata kelola, akuntabilitas, transparansi, fairness,
tanggung jawab, keadilan, otonomi, independensi, integritas, etika,
etika profesi, profesi akuntan, kepentingan publik dan profesi, serta
pendidikan.
Abstract:
Business is related to human life. As part of human life, it must be
done ethically. It means, business needs ethics. If businessman
ignores ethics from his activities, he will suicide. His immoral
action will cause a bankcruptcy. The bankruptcy of Enron and
Arthur Andersen are the examples of corporate badness. It raised
people’s awareness and expectation up both to businessman to
apply the principles of the good corporate governance, that are
accountability, transparency, fairness and responsibility and to
accountants to practice accounting ethics, including integrity,
independence, objectivity, honesty and public interest as well. It
was suggested that study on the ethics of accounting profession is
an integrated part of education to rise accounting student’s
awareness of rightness and badness in doing job.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
1
Key Words: Governance, accountability, transparency, fairness,
responsibility, justice, otonomy, independency, integrity, ethics,
professional ethics, the ethics of accounting profession, public
interest, profession and education.
Pengantar
Kehancuran sebuah bisnis tidak saja disebabkan oleh kebangkrutan
ekonomi, melainkan juga oleh kebangkrutan moralitas dalam
mengelolanya. Bahkan kebangkuran moral ini merupakan sumber
yang paling membahayakan bagi kelangsungan bisnis. Penegasan
ini bukan ilusi, melainkan fakta.
Banyak perusahaan yang bisa
dijadikan sebagai contoh. Kebangkuran Enron dan Arthur Andersen
yang terjadi di Amerika Serikat 1, yang menjadi fokus sorotan dalam
tulisan ini, adalah contoh yang jelas untuk itu.
Peristiwa tiga belas tahun lalu tersebut merupakan sesuatu yang
sangat mengejutkan bagi dunia bisnis, mengingat Enron masuk
dalam bilangan perusahaan terbesar ke-7 di Amerika Serikat
dengan tenaga kerja 25000 orang maupun Arthur Andersen sebagai
lembaga akuntan ternama2, namun memberi pelajaran berharga
tentang dampak negatif dari pengelolaan perusahaan yang tidak
sehat dan pengabaian etika dalam menjalankan profesi, khususnya
profesi akuntan.
1
Bdk. Leonard J Brooks & Paulin Dunn (2011), Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur,
Eksekutif, dan Akuntan Buku 1, terjemahan Kanti Pertiwi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat,
hal. 91.
2
Dalam perjalannnya sepanjang akhir periode 1990-an, pergerakan saham perusahaan
Enron sangat menggembirakan. Saham perusahaan ini naik secara perlahan-lahan, namun
meyakinkan dengan rentang perdagangan $20- $40. Dalam beberapa bulan awal milenium
baru, harga saham Enron melonjak menjadi $ 70. Selama tahun 2000 saham Enron
diperdagangkan di kisaran $ 60 sampai $90 dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus
2001 dengan harga $ 90.56. Peningkatan drastis harga saham ini menunjukkan tingkat
kepercayaan pasar sangat besar pada Enron. Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi
bagi Enron pada tahun 2001. Pada tahun itu perkembangan perusahaan mengalami
antiklimaks. Perdagangan saham menurun drastis hingga sampai pada satu titik di mana
saham Enron berada pada titik nol. Pada 2 Desember 2001 manajemen perusahaan Enron
meminta perlindungan dari kreditur di bawah pengawasan US Securities Act. Pada tanggal
2 April 2002 sahamnya hanya bernilai 24 sen pada pasar over the counter, yang artinya
tidak terdaftar pada pasar bursa saham utama. Ini berarti perusahaan Enron mengalami
gejala kebangkurtan (Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal.89.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
2
Berkaitan dengan kasus di atas, sejumlah pertanyaan mendasar
berikut
relevan
diajukan:
kebangkrutan Enron
Apa
dan Arthur
yang
menjadi
sebab
dari
Andersen? Dari segi etika,
khususnya etika profesi akuntan, apa yang bisa digali dari peristiwa
tersebut? Dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus tersebut
untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang di
kemudian? Tiga pertanyaan inilah yang menjadi titik berangkat
pembahasan dalam artikel ini.
Artikel
ini
dibagi
dalam
empat
butir.
Butir
pertama
akan
menganalisa akar dari kebangkrutan perusahaan Enron, yang
berfokus pada dua hal, yakni bagaimana penerapan prinsip-prinsip
tata
kelola
seperti
akuntabilitas,
transparansi,
fairness
serta
tanggung jawab dalam mengurus perusahaan dan bagaimana nilainilai etis profesi, khususnya etika profesi akuntan diterapkan di
dalamnya. Butir kedua akan berisikan pembahasan
tentang
berbagai ekspektasi etis publik sebagai implikasi peristiwa tersebut
dalam pengelolaan perusahaan dan kualitas profesi akuntan. Butir
ketiga berbicara tentang upaya preventif intensif melalui perhatian
pada pendidikan etika profesi sejak dini. Butir keempat merupakan
kesimpulan.
1.
Dua Akar Kehancuran
Kehancuran perusahaan Enron merupakan pukulan berat dalam
bisnis. Dan peristiwa buruk tersebut tidak pernah diduga oleh
banyak orang, khususnya pelaku bisnis
dan pengamat ekonomi,
mengingat perkembangan perusahaan Enron begitu pesat dalam
kurun
waktu
tahun
90-an,
bahkan
sempat
tercatat
sebagai
perusahaan yang memiliki reputasi sangat baik di tingkat dunia 3.
3
Ibid., hal. 89.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
3
Secara umum, ada dua akar hancurnya Enron dan Arthur Anderson.
Kedua akar itu adalah tidak berjalannya tata kelola dan minimnya
kepedulian pada etika dalam menjalankan profesi akuntan. Faktor
pertama sangat terkait dengan Enron, dan faktor kedua sangat
berhubungan dengan Arthur Andersen.4
1.1 Pengelolaan yang salah
Sumber pertama kehancuran Enron adalah pengelolaan perusahaan
yang tidak sehat5. Dalam bisnis modern kelanggengan sebuah
perusahaan sangat tergantung pada kualitas pengelolaan yang
diterapkan.
Pengelolaan
sehat
merupakan
syarat
bagi
kelanggengan itu. Demikian sebaliknya6, kalau pengelolaan yang
diterapkan tidak sehat, maka masa depan perusahaan akan
terancam. Aktivitasnya pun hanya bertahan dalam waktu yang
singkat. Itu berarti, prinsip-prinsip manajemen yang sehat menjadi
sebuah keharusan bagi bisnis modern 7. Dengan alasan ini, maka
good corporate governance (GCG) yang berasaskan pada prinsip
akuntabilitas, transparansi, fairness, dan tanggung jawab menjadi
penentu bagi kelangsungan perusahaan.8
Akan tetapi dalam pengelolaan Enron prinsip-prinsip GCG itu tidak
mendapat perhatian. Deviasi terhadap keempat prinsip itu sangat
4
Faktor kedua bersifat korelasional dengan faktor yang pertama. Artinya, kehancuran Enron
juga karena tidak diterapkannya etika dalam menjalankan proesi akuntan. Namun di paper
ini kedua faktor dipisah dalam uraian dengan tujuan memberi tekanan pada pentingnya
dua aspek dalam kegiatan bisnis, yakni pengelolaan dan etika dalam kerja.
5
Bdk. Leonard J Brooks., op.cit., hal. 84-121.
6
Bdk. Richard T de George, ( 2003). The Ethics of Information Techonolgy and Business,
United Kingdom: Blackwell, hal. 37.
7
Bdk. Leonard J Brooks & Paul Dunn ( 2012), Etika Bisnis dan Profesi untuk Direktur,
Eksekutif dan Akuntan, cet.ke- 5, Buku 2, Jakarta: Salemba Empat, hal. 2-40.
8
Ada empat prinsip dasar tata kelola, yakni akuntabilitas, transparansi, dan keadilan serta
tanggung jawab. Keadilan menjamin perlindungan hak para pemegang saham dan
menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor. Transparansi mewajibkan adanya
suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat diperbandingkan yang
menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan.
Akuntabilitas menjelaskan peran dan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk
menjamin penyeimbangan kepentingan manejemen dan pemegang saham sebagaimana
yang diawasi oleh Dewan Komisaris. (Lihat Archie B. Carrol and Ann K Buchholtz (2009).
Business & Society: Ethics and Stakeholder Management, South-Western: Cengage
Learneng, hal. 122. Juga lihat Adrian Sutedi, Good Corporate Governance, Sinar Grafka,
Jakarta, 2011, hal. 4.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
4
menonjol dalam cara pengelolaan tidak wajar yang dilakukan oleh
Enron seperti pelaporan yang tidak tansparan, pengawasan yang
tidak melekat, serta penghilangan dokumen laporan keuangan9.
1.1.1
Nihilnya Akuntabilitas
Terkait dengan akuntabitilitas, menurut Leonard J Brook, mengutip
Summary of Findings Power
Report10, ada lima penyimpangan
besar yang dilakukan oleh Enron.
preventif
dewan
direksi
yang
Pertama,
menyebabkan
minimnya upaya
berkembangnya
tindakan kelompok karyawan untuk memperkaya diri dengan
berbagai cara.11 Kedua, adanya upaya menyembunyikan aset dan
kewajiban dengan pendirian dan penggunaan kemitraan seperti
Chewco, LJMI dan LJM2 yang juga ditangani oleh karyawan Enron
sendiri untuk melakukan transaksi yang tidak dapat diatur dengan
entitas independen dan dirancang untuk mencapai hasil laporan
yang positif dengan mengabaikan pencapaian ekonomi yang jujur,
serta aturan-aturan akuntansi di Amerika Serikat.
9
Dengan merujuk laporan Power Report, Leonard J Brooks menyatakan bahwa pada
tanggal 16 Oktober 2001 Enron mengumumkan bahwa perusahan mengambil $ 544 juta
setelah pajak yang dibebankan pada laba yang terkait dengan transaksi LJM2 CoInvestment LP, menjadikan Fastow sebagai mitra, padahal Fastow adalah bagian dari
perusahaan. Enron juga mengumumkan pengurangan ekuitas pemegang sehamnya
sebesar$ 1.2 miliar yang berkaitan dengan transaksi dengan entitas yang sama. Kurang
dari satu bulan, Enron membuat laporan baru tentang kondisi keuangan yang keliru terkait
dengan transaksinya dengan kemitraan Fastow yang lain dan tambahan entitas pihak
terkait, yakni Chewco Investment, yang dikelola oleh karyawan Enron Global Finance.
Ditemukan pula bahwa ada penyajian kembali seperti yang sebelumnya dibebankan pada
laba dan pengurangan ekuitas pemegang saham yang jumlahnya sangat besar untuk
periode 1997 hingga 2001, karena kesalahan akuntansi terkait transaksi dengan kemitraan
Fastow yang lain, LJM Cayman, LP dan tambahan entitas pihak terkait, Chewco Investment
yang dikelola oleh Enron Global Enron. Dalam laporan ini Enron ada pengurangan rugi laba
sebesar $ 248 juta dari $ 979 pada tahun 1999 dan $299 juta dari total $ 979 juta pada
tahun 2000. Penyajian ulang menyebabkan pengurangan ekuitas pemegang saham yang
dilaporkan pada tahun 1997 yang besarnya $258 juta dan pada tahun 1998 $ 391 juta,
pada tahun 1999 $ 710 juta dan pada tahun 2000 # 754 juta. (Bdk Leonard J Brooks, Buku
1, op.cit., hal. 90-92).
10
Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 88-89.
11
Dilaporkan bahwa Fastow perusahaan yang ditangani oleh karyawan Enron memperoleh
uang sebesar $ 30 juta, demikian juga Kopper mendapat $ 10 juta ( Lihat Leonard J Brooks,
op.cit., hal. 87).
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
5
Ketiga, terjadinya transaksi yang tidak semestinya dengan jumlah
begitu besar yang implikasinya sangat signifkan dalam pelaporan
keuangan Enron. Hal ini dilakukan untuk
memberi kesan positif
terhadap kondisi keuangan Enron.
Keempat, terjadinya perlakuan yang salah terhadap akuntan. Enron
membayar Arthur Andersen dengan begitu mahal untuk mengaudit
perusahaan Chewco dan LJMI, yang adalah anak perusahaan Enron,
namun fungsi advisorialnya tidak berjalan, karena nasehat Athur
Anderson
tidak
dijadikan
sebagai
dasar
pelaporan
keungan,
malahan membayar Arthur Andersen dengan tarif yang begitu
mahal agar tidak membongkar berbagai kekeliruan Enron.
Kelima, eliminasi prinsip independensi pemilik perusahaan untuk
membuat sebuah investasi ekuitas substantif sekurang-kurangnya 3
persen dari aset special purpose entities (SPE) dan 3 persen
sebagai berisiko di seluruh transaksi serta independensi melakukan
pengendalian terhadap SPE12.
1.1.2 Pengabaian Transparansi
Informasi materi perusahaan yang akurat dan tepat waktu antara
lain meliputi situasi keuangan, kinerja perusahaan, manejemen
perusahaan serta faktor risiko yang mungkin timbul merupakan
kerangka
kerja
corporate
governance.
Dengan
kata
lain,
penyebaran informasi secara terbuka, dan objektif termasuk dalam
laporan keuangan merupakan bagian dari pengelolaan perusahaan.
Inilah hakikat dari transparansi.
12
Kondisi ini harus dipenuhi menurut aturan akuntan AS agar Enron bisa mencatat
keuntungan dan kerugian transaksi dengan SPE serta aset dan kewajiban SPE tidak
dimasukkan dalam neraca Enron walaupun Enron dan SPE berkaitan erat (Bdk. Mark Chefer
& Michael Pakaluk, (2007), Understanding Accounting Ethics, Massuchette: Allen Davis
Press, hal. 91-94.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
6
Enron secara jelas mengabaikan hakikat transparansi tersebut,
khusunya berkaitan dengan laporan keuangan13.
Enron berusaha
menutupi kondisi keuangan yang buruk dengan menghilangkan
dokumen transaksi keuangan secara luas. Penghilangan dokumen
itu dilakukan untuk menghindari pertanggungjawaban keuangan
yang akuntabel. Yang paling buruk, Dewan Direksi dengan sengaja
mengijinkan Enron untuk melakukan kecurangan itu agar para
investor
dan
perusahaan.
diketahui
pemegang
saham
tidak
menarik
uangnya
dari
Untuk menjaga agar tindakan buruk itu tidak
publik,
kebebasan
auditor
internal
perusahaan
dibungkam dalam menjalankan fungsi yang sebenarnya. Auditor
harus mengikuti kemauan auditee, yang justru sikap ini sangat
bertentangan dengan tugas, dan wewenang, serta fungsi seorang
auditor.14
1.1.3 Minimnya Tanggung Jawab
Kesalahan pengelolaan itu diperparah dengan minusnya tanggung
jawab yang diperlihatkan oleh top management perusahaan. Pada
hakikatnya, prinsip tanggung jawab memuat dua hal, yakni di satu
sisi
mengusahakan
pengelolaan
yang
baik
dengan
mempertimbangkan dampak baik dan dampak buruk seluruh
perbuatan yang dilakukan secara matang, di lain sisi berani
menanggung reriko dari sebuah tindakan atau keputusan yang
dilakukan15.
13
Dalam tata kelola perusahaan, laporan keuangan yang transparan mempunyai korelasi
dengan tingkat kepercayaan para investor dan pemegang saham. Di negara-negara maju,
para investor bersedia memberi premium yang cukup tinggi kepada perusahaan yang
menerapkan prinsip transparansi dengan konsisten. Hal ini ditemukan oleh Mc Kinsey
(Lihat, Adrian Sutedi, op.cit., hal. 57).
14
Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, (2006), Accounting Ethics, USA: Blacwell
Publishing, hal. 107.
15
Bdk. Kasdin Sihotang, (2014), Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses, Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, hal. 157. Lihat juga Ronald F Duska, op.cit., hal. 156.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
7
Dalam konteks perusahaan, tanggung jawab top management
adalah mengembangkan perusahaan secara berkelanjutan dengan
menghindari segala hal yang merugikan perusahaan. Dengan kata
lain, cost beneft analysis dijadikan oleh top management sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
pengambil
keputusan
tentang
perusahaan.
Dewan Direksi adalah bagian dari top management. Sesuai dengan
tugas utamanya, Dewan Direksi mempunyai kewajiban fdusia,
yakni meninjau strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan,
memilih dan memberikan kompensasi eksekutif senior perusahaan,
mengevaluasi eksternal perusahaan dan mengevaluasi laporan
keuangan perusahaan serta memantau kinerja perusahaan secara
keseluruhan16. Dewan Direksi juga
bertanggungjawab untuk
mengawasi lini bisnis dan strateginya, termasuk memastikan
kualitas pertanggungjawaban laporan keuangan untuk menjamin
kepercayaan investor dan pemegang saham. Karena itu penyajian
laporan keuangan yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung
jawab besar bagi manajemen perusahaan17.
Namun
dalam
pengelolaan,
hakikat
prinsip
tanggung
jawab
tersebut tidak diindahkan oleh Enron, khususnya Dewan Direksi.
Pengawasan Dewan Direksi terhadap manajemen perusahaan
sangat lemah. Bahkan, tiga tugas besar status fdusia direktur,
yakni
ketaatan, loyalitas
dan
ketekunan18 sama
sekali
tidak
dipejalankan. Dewan Direksi justru mengembangkan sejumlah
strategi
bisnis
perusahaan
utilitarianistik
yang
merugikan
masa
depan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan
pihak-pihak tertentu, namun merugikan stakeholders . Tindakan ini
16
Bdk. Joseph W Weis, (2000). Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management
Approach, South Western: Thomson, hal. 140.
17
Bdk. Adrian Sutedi, op.cit., hal. 89.
18
Bdk. Leonard J Brook, op.cit., hal. 100.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
8
menurut
Doughlas
M
Branson
merupakan
perbuatan
yang
bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty.19
1.1.4
Ketidakadilan
Prinsip tata kelola lain yang dilanggar oleh Enron adalah fairness.
Fairness
berkaitan
dengan
keadilan.
Keadilan
mempunyai
pengertian yang sangat luas. Namun, arti sederhana bisa diambil
dari
ungkapan
Romawi
bertuliskan
tribuere
cuique,
artinya
memberikan apa yang menjadi hak orang 20. Keadilan berkaitan
dengan
pengaturan
hak
dan
kewajiban
semua
pemangku
kepentingan secara fair. Dengan kata lain, hak legal, hak ekonomis
dan
hak
moral
serta
kewajiban-kewajiban
seperti
ketaatan,
konfdensialitas dan loyalitas menjadi objek material dari keadilan
. Ini juga menjadi hakikat pengelolaan yang sehat. Dalam tata
21
kelola, sebagaimana ditegaskan oleh Adrian Sutedi, keadilan atau
fairness terungkap dalam perlakuan yang sama terhadap pemegang
saham dengan keterbukaan inrormasi yang penting serta melarang
pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang
dalam22.
Peluang-peluang yang memberi ruang ketidakseimbangan terhadap
hak dan kewajiban pada pihak-pihak tertentu serta membuat
kebijakan manipulatif merupakan praktik ketidakadilan dalam
bisnis. Dan manajemen Enron melakukan hal ini.
Seperti sudah
disinggung dalam butir sebelumnya, kalangan karyawan dan mitra
19
Bdk. Douglas M Branson (1993). Corporate Governance, Virginia: The Michie Company,
hal. 32.
20
Bdk. K Bertens, (2000), Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, hal. 86.
21
Yang dimaksudkan dengan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan kesejahteraan
secara ekonomis meliputi hak mendapatkan gaji atau upay yang adil, hak mendapatkan
jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan hak mendapatkan bagian bonus atau
insentif karena prestasi. Hak hukum berarti hak untuk diperlakukan secara sama sesuai
dengan aturan-aturan atau norma-norma hukum yang berlaku dalam perusahaan.
Sementara hak moral adalah hak atas kebebasan suara hati, hak atas rahasia pribadi dan
hak atas perlakuan yang sama. Termasuk dalam hak moral adalah melaporkan kecurangan
perusahaan, termasuk whistle blowing (Bdk. Kasdin Sihotang, op.cit., hal. 167-179).
22
Bdk. Adrian Sutedi, op.cit., hal. 130.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
9
memperkaya diri
dengan mudah,
Dewan Direksi.
karena lemahnya pengawasan
Ini berarti, di satu sisi ada pihak yang
diuntungkan, di lain sisi ada pihak yang sangat dirugikan. Yang
diuntungkan
adalah
mereka
yang
mempunyai
andil
dengan
manejemen perusahaan dan mendapat kesempatan untuk itu,
seperti
karyawan,
sedangkan
yang
dirugikan
adalah
yang
sebaliknya, termasuk di dalamnya pemegang saham dan investor.
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
pengelolaan perusahaan Enron telah menerapkan tata kelola yang
salah, karena melanggar
governance
yang
akuntabilitas,
Pengabaian
prinsip-prinsip dasar good corporate
berintikan
transparansi,
terhadap
pada
empat
tanggung
nilai
jawab
prinsip-prinsip
tata
utama,
yakni
serta
keadilan.
kelola
demikian
menyumbang bagi kehancuran Enron.
1.2 Deviasi Etika Profesi Akuntan
Selain pengelolaan yang tidak sehat, penyimpangan nilai-nilai etis
profesi
akuntan menjadi penyebab lain bagi kehancuran Enron.
Dengan kata lain, kebangkrutan Enron juga terjadi karena prinsipprinsip etika profesi, yang dalam hal ini adalah etika profesi
akuntan,
diabaikan
dalam
tugas-tugas
sebagai
akuntan.
Pelanggaran ini sangat jelas dilakukan oleh lembaga akuntan
bernama Arthur Andersen (AA)23.
Sebagai
bertindak
lembaga
secara
berdasarkan
audit
keuangan
profesional,
prinsip-prinsip
ternama,
dalam
formal
arti
audit24.
AA
seharusnya
melakukan
Namun
AA
audit
tidak
melakukan hal ini. Sebagaimana dijelaskan di atas, Enron telah
23
Dalam kasus ini WorldCom juga mempunyai andil bagi kehancuran Enron. Namun penulis
membatasi diri pada Enron dan Arthur Andersen saja, karena menurut penulis AA sudah
mereprentasikan pelanggaran etis dalam bidang akuntansi.
24
Bdk. Mark Chefers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 233.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
10
melakukan
berbagai
keuangan
berbentuk
kekeliruan,
termasuk
manipulasi
mempertanyakan kekeliruan itu.
data.
dalam
pelaporan
Namun
AA
tidak
Sebaliknya, AA berkompromi
dengan perusahaan, bahkan menawarkan jasa kepada Enron untuk
turut memperbaiki kekeliruan yang menurut hukum audit sudah
jelas-jelas serharusnya menjadi penemuan mayor25.
Ada empat nilai utama etika profesi akuntan yang dilanggar oleh
Arthur Andersen. Pertama, independensi. Independensi berarti
tidak
tergantung
pada
kemauan
atau
kepentingan
tertentu.
Menurut Michael Pakaluk setiap profesi memiliki independensi
dalam melakukan tugasnya. Mengingat akuntan juga merupakan
sebuah profesi, maka independensi juga menjadi bagian prinsip
bagi
seorang
akuntan.
Akuntan
tidak
boleh
tunduk
pada
kepentingan tertentu entah kepentingan diri sendiri ataupun
kepetingan auditee, selain tunduk pada prinsip-prinsip audit dan
kepentingan
umum26.
Bahkan
menurut
Ronald
F
Duska,
kepentingan publik harus mengatasi kepentingan-kepentingan di
luarnya.27
Dengan
kata
lain,
seorang
akuntan
haruslah
berpendirian dalam tugasnya. Seorang auditor memang memberi
pelayanan
nasihat
manejemen
kepada
perusahaan.
Namun
pelayanan itu bertujuan untuk melihat sejumlah alasan-alasan
objektif terhadap data perusahaan yang diaudit. Di sini kemandirian
sangat penting. Tugas auditor adalah membuat laporan objektif
tentang segala hal dalam pandangan mereka yang mungkin menjadi
bahan pertimbangan bagi investor untuk membuat keputusan
investasi28.
25
Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 75-92.
Bdk. Michael Pakaluk & Mark Chefers, (2011), Accounting Ethics and the Near Collapse of
The World’s Financial System, Massachusetts: Alen Daved Press, hal. 277.
27
Tentang hal ini Ronald F Duska mengatakan, “It discusses four concepts that relate to
independence: (1) threats, (2) safeguards, (3) independence risk, (4) signifcance of threats/
efectiveness of safeguards”. ( Bdk Ronald F Duska, opt.cit., hal. 128).
28
Bdk. Michael Pakaluk & Mark Chefers, op.cit., hal. 277.
26
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
11
Akan tetapi prinsip demikian tidak menjadi perhatian bagi Arthur
Andersen. AA justru menempatkan kepentingan di atas prinsip etis
tersebut.
Arthur
Andersen
malah
melakukan
sesuatu
yang
bertentangan dengan prinsip independensi, yakni mendiskusikan
dan mengakomodir kekeliruan yang dilakukan oleh Enron.29 Selain
bayaran yang tinggi, banyaknya Akuntan Arthur Anderson yang
menjadi auditor internal Enron menunjukkan bahwa AA tidak
berpegang teguh pada independednsi, karena kondisi ini justru
sarat dengan kepentingan.
Dengan kata lain, para auditor telah
terkooptasi oleh ketergantungan pada pihak lain sehingga ia bukan
lagi orang yang bebas dan otonom untuk membela prinsip-prinsip
profesinya30.
Kedua, adalah integritas. Integritas merupakan elemen karakter
dasar bagi pengakuan profesional. Integritas berkaitan dengan
kualitas yang dengannya kepercayaan publik muncul, sekaligus
menjadi ujian bagi pengambilan keputusan. Menurut Steven MR
Covey,
orang
yang
mempunyai
integritas
adalah
dia
yang
berpegang pada prinsip dan menjadikan prinsip itu sebagai
karakternya. Dia memiliki keutuhan diri. Ia tahu apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan. Dia juga tidak
mudah dipengaruhi oleh iming-iming. Dia berani mengatakan benar
kalau memang benar, salah kalau memang salah.31 Ketika ia
berhadapan dengan kekosongan standar, aturan, dan petunjuk
dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, seorang yang
berintegritas mampu mengambil keputusan berdasarkan suara
hatinya.
29
Nanette Brynes menyatakan bahwa AA menerima dana sebesar $ 25 juta dari Enron
dan jasa konsultas sebesar $ 27 juga yang implikasinya adalah AA membantu memperbaiki
laporan keuangan dengan bayaran tambahan lebih dari $ 1 juta. (Bdk. Nanette Byrnes, et
al, “Publik Accounting in Crisis”, Business Week, January 28, 2002, hal. 46.)
30
Bdk Michael Pakaluk & Mark Chefers, op.cit., hal. 276.
31
Steven MR Covey menunjukkan tiga muatan dalam integritas, yakni konsistensi,
humilitas, dan keberanian. Artinya, orang yang berintegritas menjalankan apa yang
dikatakan dan dipikirkan serta diketahui, namun ia berpihak pada nilai-nilai kebenaran serta
memiliki keberanian untuk menolak segala hal yang bertentangan dengan prinsip yang
dipegangnya (Bdk. Steven M R Covey with Rebecca R Merril, 2008. The Speed of Trust: The
One Thing That Changes Everything, New York: Free Press, hal. 59-61).
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
12
Pengertian Steven Covey di atas menurut Mickhael Pakaluk juga
berlaku bagi seorang akuntan. 32 Ini berarti, seorang akuntan harus
berani mengatakan kebenaran, serta tunduk pada prinsip-prinsip
profesinya secara konsisten, dan tidak mudah terpengaruh oleh
godaan.33
Dalam praktiknya,
hakikat integritas itu dilanggar oleh AA. AA
dengan begitu mudah tergoda oleh uang. Bahkan uang menjadi
pegangan dan mampu membeli dirinya dan profesinya. Seperti
disebutkan di atas Arthur Anderson tahu bahwa Enron telah
melakukan penghilangan data penting berupa dokumentasi laporan
keuangan.
Berhadapan dengan situasi seperti ini seharusnya
auditor mempertanyakan dan menggali alasan Enron mengapa
melakukan penghilangan itu.
Namun AA tidak melakukan tugas itu. AA justru melakukan
kompromi dengan Enron dalam kesalahan, yang mana sikap ini
menurut Ronald Duska merupakan pelanggaran besar dalam etika
profesi akuntan dan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip audit34.
Dengan kompromi, AA telah mengabaikan tugas seorang akuntan
untuk
berpijak
mengamankan
pada
akuntansi,
dan
peranannya
untuk
kepercayaan, kepentingan fungsi yang baik dari
pasar dengan memberikan kenyataan keuangan secara objektif,
akuntabel dan dapat diverifkasi35.
Ketiga
adalah
objektivitas.
independen. Prinsip ini
Objektivitas
adalah
ungkapan
memuat sikap imparsial, jujur secara
intelektual, bebas dari konfik kepentingan. Objektivitas berkaitan
dengan kebenaran faktual,
bukan pada penafsiran. Ini
juga
32
Di Amerika Serikat, prinsip ini merupakan bagian dari kode etik bagi Akuntan Publik yang
bersertifkat yang dituangkan pada Section 54-Artikel III ( Bdk. Robert F Duska, op.cit., hal.
202).
33
Bdk. Michael Pakaluk, op.cit., hal. 279.
34
Tentang ini Ronald F Duska menulis dengan jelas, “An Accountant should maintain
objektivity and be free of confict of interest in discharging profesional responsibilities.
He/She should be independen in fact and apperance when prividing auditing and other
attestation services ( Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 85).
35
Bdk Mikhael Pakaluk, op.cit., hal. 288.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
13
merupakan bagian prinsip yang harus dipegang oleh seorang
akuntan. Objektivitas seorang akuntan terlihat pada bagaimana ia
menempatkan data dalam mengevaluasi dan menyimpulkan hasil
auditnya. Jelas bahwa bagi seorang akuntan data menjadi sumber
dan dasar untuk memberikan penilaian terhadap situasi keuangan
yang diaudit. Inilah menurut Mark Chefer sikap objektif.36
Dalam perilaku AA sikap-sikap di atas juga tidak diindahkan. Data
justru diabaikan, digantikan dengan kepentingan. Sudah jelas-jelas
AA menemukan masalah dalam laporan keuangan Enron bahwa
Enron
telah
menghancurkan
data-data
keuangan
yang
mempengaruhi, bahkan menentukan arah situasi buruk keuangan
perusahaan, namun AA tidak melaporkan penemuan itu, melainkan
berkompromi dengan kesalahan perusahaan dengan menawarkan
diri menjadi konsultan37.
Dalam kaitan dengan itulah menurut Mikhael, ada tiga konsiderans
yang dilanggar oleh AA.
Pertama,
fungsi untuk menyatakan
kebenaran dengan memperlihatkan diri sebagai seorang peneliti
berpendidikan.
Kedua, fungsi untuk melakukan verifkasi atas
penemuan-penemuannya, dan ketiga, melayani kepentingan yang
lain
yang
eksistensi
membutuhkan
seorang
hasil
akuntan
pekerjaannya.
adalah
melayani,
Dalam
hal
ini
bukan
mencari
kepentingan diri atau melindungi diri.38
Prinip keempat yang dilanggar oleh AA adalah tanggung jawab
kepada publik. Ronald F Duska menyatakan bahwa peranan dan
konsistensi
integritas,
pernyataan
menjalankan
dan
otonomi,
fnansial
kewajiban
serta
merupakan
untuk
kejujuran
wujud
mempertahankan
dalam
dari
memberikan
tanggung
jawab
36
Bdk. Mark Chefer and Michael Pakaluk , op.cit., hal. 102.
Tentang hal ini Mark Chefer menulis, “Andersens’ lack of objectivity in expression is
apparent internal memo: The memo states that, “a signifcance discussion was hel
regarding the related party transactions with LJM including the materially of such amount
to Enrons income statement and the emount retain of ballance sheet” ( Bdk. Mark Chefer
and Michael Pakaluk, op.cit., hal. 102).
38
Bdk. Michael Pakaluk, op.cit., hal. 89.
37
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
14
seorang
akuntan
kepada
publik39.
Kendati
seorang
akuntan
mempunyai hubungan dengan kliennya, namun hubungan itu tetap
dalam kerangka profesi.
Dengan kata lain, hubungan auditor
dengan klien bukanlah hubungan privat, melainkan hubungan
profesional.
Pernyataan
di
atas
memuat
makna
bahwa
konfik
antara
kepentingan klien dengan kepentingan publik harus diatasi oleh
seorang auditor dengan loyal pada prinsip-prinsip audit. Seorang
auditor tidak bertanggung jawab pada klien. Ia bertanggungjawab
pada publik sebagai konsekuensi dari tuntutan profesinya. Melihat
hal ini, Ronald F Duska setuju dengan ungkapan Justice Burger
yang menyatakan bahwa
akuntan adalah
“a public watchdog
function”40. Singkatnya, tanggung jawab seorang akuntan publik
adalah
mengutamakan
kepentingan
pihak
ketiga,
bukan
kepentingan pribadi klien maupun kepentingan pribadi.
Hakikat tanggung jawab di atas sangat diabaikan oleh Arthur
Andersen dalam menjalankan tugasnya sebagai akuntan eksternal
Enron. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, AA tidak bisa
membedakan mana kepentingan pribadi, dan klien, serta mana
kepentingan
publik.
Kepentingan
pribadi
dan
klien
justru
mengalahkan kepentingan publik. AA juga mengabaikan prinsipprinsip audit sebagai dasar menjalankan tugasnya. 41 Semua ini
merupakan bukti nyata minimnya tanggung jawab profesi.
Deviasi moral yang dilakukan oleh AA telah memiliki implikasi yang
sangat mendasar bagi reputasinya sebagai lembaga akuntan yang
ternama dan eksistensinya di depan publik. Dengan penyimpangan
itu, kepercayaan publik terhadap lembaga terhenti dan hilangnya
kepercayaan ini telah mengancam
eksistensi dan masa depan
perusahaan. Penyimpangan terhadap semua prinsip etis di atas
39
40
41
Ibid., hal. 113
Ibid., hal. 115.
Bdk. Mikhael Pakaluk, op.cit., hal. 299.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
15
menunjukkan bahwa AA tidak profesional. AA tidak bisa memilahmilah
kepentingan
pribadi
mengindakan independensi,
dari
kepentingan
publik,
tidak
serta integritas, objektivitas, yang
keempat nilai-nilai ini merupakan inti etika profesionalisme seorang
akuntan42.
2.
Ekpektasi
Etis
terhadap
Tata
kelola
dan
Profesi
Akuntan
Kebangkuran Enron membawa pelajaran yang berharga tidak hanya
bagi Enron dan Athur Andersen sendiri, melainkan juga bagi
masyarakat
dunia.
mempunyai
dampak
Dengan
kata
yang
luas,
lain,
peristiwa
sekaligus
buruk
itu
membangkitkan
ekspektasi etis dalam berbagai bidang kehidupan seperti
bidang
ekonomi, profesi, maupun bidang politik. Ekspektasi etis itu adalah
harapan dan kesadaran baru di masyarakat luas akan pentingnya
penerapan etika dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Peristiwa buruk demikian juga menjadi antitesis bagi pandangan
kelompok yang memisahkan etika dan moral dari kegiatan bisnis,
yang diistilahkan Joseph W Weis dengan kelompok penganut mitos
bisnis amoral43. Artinya, memandang moral sebagai sesuatu yang
terpisah dari etika merupakan sesuatu yang keliru. Karena fakta
kehancuran Enron telah membuktikan hal itu.
42
Bdk. Ken McPhail and Diane Walters, (2009). Accounting & Business Ethics, London and
New York: Rougledge Taylor & Francis Group, hal. 111.
43
Menurut Joseph W Weis, mitos bisnis amoral merupakan pandangan yang menyatakan
bahwa penempatan etika dalam bisnis merupakan sebuah mitos. Ada lima yang dijadikan
sebagai dasar argument untuk menyatakan hal ini. Pertama, etika bersifat personal dan
urusan pribadi, bukan urusan publik sehingga tidak relevan ditempatakan dalam bisnis
yang berkaitan dengan lembaga. Kedua, etika dan bisnis tidak bisa dikaitkan karena
keduanya mempunyai aturan dan bidang yang berbeda. Ketiga, etika bersifat relative
dalam arti tidak ada prinsip-prinsip yang bisa dijadikan sebagai standar yang sama. Situasi
dan kondisi yang berbeda membuat tuntutan dan aturan berbeda. Keempat, etika sudah
termuat dalam upaya menjalankan bisnis yang baik, karena itu bisinis yang baik etika yang
baik sama dengan bisnis yang baik. Kelima informasi dan computer adalah amoral, karena
tidak bisa dimintai pertanggungjawaban darinya, dan bisnis berkecimpung dalam dua
sarana ini.( Bdk. Joseph W Weis, op.cit., hal. 14-28.)
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
16
Pertanyaannya,
apa
substansi
ekspektasi
etis
dari
peristiwa
tersebut? Dengan pertanyaan lain, pelajaran moral apa yang bisa
ditarik dari kehancuran Enron dan Arthur Andersen? Ada dua hal
sebagai jawaban pertanyaan ini, yakni
tuntutan penerapan tata
kelola secara konsisten dan peningkatan kesadaran para akuntan
untuk mempraktikkan etika profesi.
2.1 Tuntutan Aplikasi Good Corporate Governance
Terkait dengan tata kelola, peristiwa Enron telah memunculkan
harapan baru, yakni ekspektasi etis di masyarakat berkaitan dengan
kualitas pengelolaan perusahaan di belahan dunia,. Dan ekspektasi
etis ini telah mendapat tanggapan dari berbagai perusahaan baik
perusahaan besar maupun perusahaan kecil. Leonard J Brooks
menunjukkan bahwa di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat,
Kanada, Australia dan Inggris, kesadaran untuk memperbaiki
kerangka kerja tata kelola organisasi ke arah yang lebih baik demi
mengembalikan kepercayaan dalam sistem pasar modal perusahaan
mengalami peningkatan44.
Terkait dengan itu Brooks mencatat sekurang-kurangnya tujuh
kesepakatan dalam upaya memenuhi harapan publik.45 Pertama,
pentingnya klarifkasi peran, tanggung jawab dan akuntabilitas dari
44
Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 11.
Perhatian pada tata kelola sesungguhnya sudah ada sebelum kasus Enron, namun
menurut Leonard J Brooks lebih signifkan dan lebih serius sesudah tragedi Enron. Terkait
dengan ini Brook mencoba mengurutkan perubahan itu secara kronologis sebagai berikut.
Pada tahun 1994, ada peninjauan tata kelola perusahaan dan membuat rekomentasi untuk
praktik perusahaan
terbaik yang merupakan hasil dari pembicaraan Toronto Stock
Exchange. Pada tahun 1999 hal yang sama terjadi sebagai kelanjutan sebelumnya dengan
mengadakan survei dan analisis prosedur tata kelola perusahaan-perusahaan. Satu tahun
kemudian dihasilkan Kode Etik tentang prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan prinsip
teladan pengelolaan. Pada bulan November terjadi pengkajian kondisi tata kelola
perusahaan di Kanada dan membuat rekomendasi perubahan yang akan memastikannya
sebagai contoh pengelolaan di Kanada. Pada tahun 2002, diadakan kembali diskusi Toronto
Stock Exchange dengan membuat petunjuk-petunjuk baru. Hasil mengejutkan adalah
kesepakatan bahwa CEO dan DVO mengesahkan 8-K, yang berisikan pentingnya
meningkatkan akuntabilitas, integritas dan transparansi dari perusahaan yang terdaftar di
New York Stock Exchange ( Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 11).
45
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
17
Dewan Direksi, subkomitenya, dan para direktur pribadi, serta
auditor.
Kedua,
penurunan
konfik
kepentingan
yang
mempengaruhi para direktur, eksekutif dan auditor sehingga pihakpihak ini melatih kesetiaan, penilaian independen dan objektivitas
demi kepentingan terbaik para pemegang saham atau perusahaan,
atau dalam kasus auditor untuk kepentingan publik.
Ketiga,
memastikan bahwa para top management memiliki informasi yang
cukup mengenai rencana dan kegiatan perusahaan,
cakupan
kebijakan dan pengendalian internal untuk memastikan kepatuhan,
termasuk keprihatinan pada whislte blower. Keempat, memastikan
bahwa para direktur memiliki kompetensi keuangan yang memadai
dalam keahlian yang diperlukan.
Kelima, memastikan bahwa laporan keuangan dibuat dengan
akurat, lengkap, dapat dipahami dan bersifat transparan. Keenam,
memastikan
standar
akuntansi
memadai
untuk
melindungi
kepentingan para investor. Ketujuh, memastikan bahwa pengaturan
dan pengawasan auditor perusahaan publik, seperti janji dan porsi
parameter, apakah telah mencukupi atau tidak.
2.2 Kepedulian akan Etika Profesi Akuntan
Ekspektasi etis publik tidak hanya pada tata kelola, tetapi juga
kualitas profesi akuntan. Peristiwa Enron dan Arthur Andersen
telah membangkitkan kesadaran baru untuk menempatkan etika
profesi secara konsisten sebagai pegangan dalam profesi akuntan.
Dengan kata lain, kedua kasus tersebut memberikan kesadaran
yang jauh lebih besar terhadap masalah dan tren etika yang sedang
berjalan,
termasuk
konfik
kepentingan
pribadi,
kontrol
kepentingan pribadi, tugas fdusia direksi kepada pemegang saham
dan auditor terhadap kepentingan umum, serta makna sebuah
bisnis yang baik dalam mengembangkan budaya etis dalam profesi
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
18
akuntan. Budaya etis itu harus didasarkan pada kejujuran, keadilan,
integritas, objektivitas, tanggung jawab, dan kepercayaan, serta
penghargaan kepada kepentingan pemangku kepentingan.
Itu berarti, kegagalan kedua perusahaan meningkatkan perhatian
pada etika dan reputasi secara serius. Apa yang dikatakan oleh
Richard T De George bahwa etika adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari bisnis dan menjadi lem yang merekatkan semua
pihak yang terkait dalam bisnis46 semakin diakui oleh pelaku bisnis.
Ini mengubah paradigm lama yang hanya melihat risiko ekonomi
sebagai
dasar
pertimbangan
menempatkan risiko
etis
dengan
paradigm
baru
yang
sebagai dasar pertimbangan dalam
menjalankan bisnis.
Besarnya perhatian pada etika profesi akuntan itu diperkuat
dengan kehadiran dokumen bernama Sarbanes-Oxley Act (SOX).
Selain landasan legal formal, bagi profesi akuntan, SOX
juga
memberikan
dan
kejelasan
tentang
peran,
tanggung
jawab
keanggotaan subkomite audit atas dewan, karena dokumen ini
memuat penegasan tentang kedudukan subkomite audit yang
secara langsung bertanggungjawab atas janji, kompensasi dan
pengawasan, serta tugas-tugas subkomite audit seperti membuat
prosedur untuk menerima dan menanggapi keluhan terkait dengan
akutansi,
audit,
pengendalian
internal,
termasuk
menetapkan
prosedur yang memungkinkan karyawan mengajukan keluhan
secara anonim, serta menyetujui setiap layanan nonaudit yang akan
diberikan oleh auditor47.
Dari uraian panjang di atas jelaslah bahwa tuntutan untuk
menjalankan profesi berdasarkan standar moral semakin gencar.
Nilai-nilai etis bahkan dilihat sebagai ukuran yang menentukan
profesionalitas
seorang
akuntan.
Menurut
Mark
Chefers,
46
Tentang ini Richard De George mengatakan, “morality is the oil as well as the glue of
society and therefore of business” seperti dikutip K. Bertens, op.cit., hal. 379.
47
Bdk. Michael Pakaluk., op.cit, hal. 120.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
19
internalisasi
dan
penerapan
etika
secara
maksimal
akan
menghindari kehancuran profesi48. Inilah pelajaran berharga dari
kasus Arthur Andersen.
3.
Pentingnya Etika Profesi Akuntansi dalam Pendidikan
Terkait dengan pernyataan akhir butir di atas, pertanyaan yang
relevan dimunculkan, upaya apa yang diperlukan agar etika profesi
sungguh mendarah daging bagi para
akuntan? Jawabnya adalah
internalisasi nilai-nilai etis sejak dini. Dan wadah yang sangat
strategis
untuk
itu
adalah
dunia
pendidikan.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Filsuf klasik Yunani, Plato, dunia pendidikan
merupakan wadah yang sangat tepat dalam pembentukan kualitas
pribadi seseorang49. Masa pendidikan merupakan kesempatan
untuk mempersiapkan para calon akuntan sebelum dia terjun ke
masyarakat. Di dalamnya mutu kepribadian seorang akuntan
dibentuk.
Jadi,
humanisasi
dan
dalam
masa
hominisasi,
pendidikan
sebagaimana
akuntan
mengalami
ditegaskanoleh
N
Driyarkara50.
Karena masa sekolah merupakan humanisasi dan hominisasi, maka
mutu pendidikan perlu menjadi perhatian. Dan pendidikan yang
bermutu adalah pendidikan mengembangkan kepribadian peserta
didik secara komprehensif.
Artinya, bukan hanya kemampuan
kognitif berupa pengetahuan yang memadai perlu dikembangkan,
tetapi
juga
kemampuan
afektif
dan
psikomotorik 51.
Dalam
mengembangkan dua aspek terakhir, etika harus dijadikan sebagai
bagian integral pendidikan. Berkaitan dengan profesi akuntan, etika
48
Bdk. Mark Chefers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 20
Bdk. Plato (2006), Rebublic, translated by Jhon Lleweyln Davies and David James
Vaughan, Great Britain: Wordsworth Classics of World Literature, hal. 206,
50
Bdk. A Sudiardja, SJ, (2006), Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta & Yogyakarta: Gramedia &
Kanisius, hal. 366.
51
Bdk. Benjamin S. Bloom, (1956), Taxonomy of Educational Objectives: The Classifcation
of Educational Goals , New York: David McKay.
49
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
20
profesi akuntan menjadi sangat relevan. Ini merupakan upaya untuk
membekali para calon akuntan tentang prinsip-prinsip etis sebelum
terjun ke masyarakat. Internalisasi etika profesi tidak terjadi dalam
waktu yang singkat dan tidak pula terjadi dengan sendirinya.
Proses dan waktu yang panjang diperlukan untuk itu. Dan awal dari
proses dan waktu yang panjang itu adalah dunia pendidikan.
Memang harus diakui bahwa pengajaran mata kuliah etika profesi
tidak secara otomatis membuat kaum professional, termasuk
akuntan
berperilaku
etis, namun
minimal kesadaran mereka
tentang nilai-nilai moral dibuka. Dengan kesadaran itulah mereka
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mampu
mengambil keputusan secara tepat, serta mencari solusi atas
masalah yang dihadapi di lapangan di kemudian hari. Seperti
dikatakan oleh Socrates, pengetahuan tentang apa yang baik dan
yang buruk merupakan dasar untuk menilai apa yang baik dan apa
yang buruk52.
Ini berarti pengetahuan merupakan langkah awal
dalam membentuk perilaku dan dasar penilaian etis. Kasus Arthur
Andersen
telah
menjadi
sebuah
pelajaran
berharga
bahwa
minimnya kesadaran etis merupakan akar kehancuran pada masa
depan profesi.
Dalam mengantisipasi agar hal ini tidak terjadi, etika profesi
memiliki andil besar. Karena itu etika profesi sangat relevan
bahkan mendesak dijadikan sebagai bagian integral pendidikan
akuntansi maupun Pendidikan Profesi Akuntan. Kedudukan akuntan
sebagai jantung atau hati dari korporasi53 mengisyaratkan bahwa
seorang akuntan harus mempunyai kesadaran yang memadai
tentang etika profesi demi menjamin mutu pekerjaan dan eksistensi
perusahaan.
52
Bdk. Hugh Trendennick & Harold Tarrant ( 2006). Plato, Hari-hari Terakhir Socrates, terj.
Eleonora Brigita, Jakarta: Elexmedia Komputindo, hal. 1.
53
Bdk. Josep L Signour , (20102), Etika Bisnis, Jakarta: Penerbit Obor, hal. 49.
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
21
Ada empat alasan mengapa etika profesi perlu menjadi bagian
pendidikan akuntan54. Pertama, sebagaimana sudah terlihat dalam
kasus Arthur Andersen, seorang akuntan berhadapan dengan
masalah
yang kompleks, yang jawabannya kadang-kadang tidak
bisa disandarkan pada keyakinan yang dimilikinya maupun
yang
ada di masyarakat. Berhadapan dengan situasi itu, pertanyaan yang
muncul, ke mana ia harus mencari jawaban? Jawabanya adalah
pada suara hatinya55. Namun suara hati harus terus dibina, dan
pembinaan itu terjadi salah satunya melalui pendidikan.56
Kedua, di lapangan seorang akuntan harus mengambil keputusan
berhadapan dengan berbagai nilai yang dihadapinya, bahkan bisa
saja terjadi dilemma, seperti yang dialami Arthur Andersen. Dalam
berhadapan dengan situasi dilematis ini, etika memberikan insight
bagi sang akuntan. Etika akan mendorongnya untuk aktif mencari
alasan-alasan yang memadai mengapa ia menolak sesuatu, tetapi
menolak yang lain.
Dengan kata lain, etika membuat seorang
akuntan bertindak secara rasional dan objektif dalam menjalankan
tugasnya kelak.
Ketiga, terkait dengan alasan kedua, etika mengantar seorang
akuntan untuk mengkritisi apa yang dihadapi dan dikerjakan agar
layak dijalani. Sebagaimana dikatakan oleh Socrates, hidup yang
tidak teruji tidak layak dihidupi57. Bagi seorang akuntan ini penting
agar semakin memberi makna bagi profesinya, dan terhindar dari
konfik kepentingan.
Keempat, pendidikan etika profesi membekali calon akuntan
dengan
kemampuan
yang
memadai
dalam
mengidentifkasi
berbagai persoalan di lapangan dan menerapkan prinsip-prinsip
54
Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 28-29.
Bdk. Franz Magnis Suseno (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta: Kanisius, hal. 76.
56
Bdk. J Sudarminta (2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori
Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius, hal. 72.
57
Bdk. Hugh Tredennick & Harold Tarrant, op.cit., hal. 149.
55
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
22
dasar di tengah persoalan itu secara konsisten dalam mengemban
profesinya. Dengan kejernihan pikiran ini kelak calon akuntan bisa
bertindak secara benar. Dengan dasar inilah calon akuntan yang
berintegritas,
otonom,
bertanggungjawab,
bertindak
objektif,
memiliki kepedulian pada kepentingan umum, yang semuanya
menjadi prinsip-prinsip utama bagi seorang akuntan dan menjadi
ciri-ciri karakter akuntan profesional58 akan terbentuk. Semua
prinsip ini merupakan muatan dari etika profesi akuntan.
4.
Penutup
Peristiwa selalu mempunyai makna dan makna itu harus digali
secara
mendalam
agar
bisa
menjadi
pelajaran
berharga
di
kemudian hari. Suatu peristiwa merupakan kesaksian sejarah.
Namun kesaksian sejarah itu bukan tanpa makna, sebaliknya sarat
dengan maknya. Dengan demikian peristiwa sejarah juga bisa
memuat fungsi penyebaran nilai.59 Jika pernyataan ini dikaitkan
dengan Enron dan Arthur Andersen, maka jelaslah kebangkrutan
keduanya pada tahun 2001 merupakan kesaksian sejarah yang
sarat dengan pelajaran moral yang berharga.
Ada dua pelajaran moral berharga yang bisa diambil dari peristiwa
tersebut. Pertama, pentingnya pengelolaan yang sehat dalam
menangani
bisnis.
Inti
pengelolaan
yang
sehat
itu
adalah
pemberlakuan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness serta
tanggung
jawab
dalam
menangani
bisnis
atau
perusahaan.
Kesadaran dan tekad untuk konsisten untuk menerapkan semua
prinsip ini akan menghindari kehancuran bisnis.
Kedua, dalam menjalankan profesi, seorang profesional harus
berpijak pada nilai-nilai etis. Akuntan sebagai profesi tidak luput
58
Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 77 – 90.
Bdk. Kasdin Sihotang (2009), Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme,
Jakarta: Kanisius, hal. 189.
59
File: Etika dan Peranannya Mengurangi Reduksi
23
dari tuntutan ini. Karena itu pula seorang akuntan harus menjaga
profesionalisme dalam menjalankan tugasnya
dengan komitmen
pada prinsip-prinsip formal akuntansi dan etika profesi akuntan
yang berintikan pada integritas, otonom, tanggung jawab, dan
independen, objektif, serta berpihak pada kepentingan umum.
Tuntutan semakin besar untuk memperhatikan nilai-nilai etis dalam
profesi akuntan mengisyaratkan pentingnya menempatkan etika
profesi
sebagai bagian integral dalam pendidikan akuntansi dan
profesi akuntan. Dengan kata lain, etika profesi akuntan menjadi
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
pendidikan
calon-calon
akuntan60. Tujuannya adalah untuk memberikan mereka modal
hidup dalam mengemban profesi berbentuk kemampuan untuk
membedakan yang baik dari yang buruk, yang benar dengan yang
salah, kesadaran yang besar tentang prinsp-prinsip etis. Kelak
dengan berbekalkan semua ini mereka dapat mengambil keputusan
yang tepat dalam pekerjaannya. Dan modal yang mendasar itu
didapatkan melalui pendidikan etika profesi. Karena itulah tuntutan
untuk menempatkan etika profesi sangat