Pluralisme Hukum Dualisme Hukum dan RUU
PLURALISME
DAN
DUALISME
HUKUM
DALAM
RANCANGAN
UNDANG-
UNDANG
KITAB
UNDANG-UNDANG
HUKUM
PIDANA1
Anom
Surya
Putra2
(Perkumpulan
Jarkom
Desa)
Pengantar
Naskah
akademik
dan
rumusan
norma
yuridis
Rancangan
Kitab
Undang-‐undang
Hukum
Pidana
(RUU
KUHP)
sudah
lama
dirancang
sejak
tahun
1981.
Hampir
memasuki
4
(empat)
dasawarsa
RUU
KUHP
dirancang
dan
diperdebatkan,
tahun
2017
ini
penting
kiranya
untuk
memastikan
RUU
KUHP
untuk
segera
disahkan.
Pembentukan
peraturan
perundang-‐undangan
KUHP
ini
merupakan
program
yang
ambisius,
yakni
suatu
upaya
politik
hukum
unifikasi-‐kodifikasi
atas
seluruh
norma
hukum
pidana
pasca-‐kolonial
di
Indonesia.
Sejarah
hukum
menunjukkan
bahwa
politik
hukum
unifikasi-‐kodifikasi
merupakan
praktek
kekuasaan
liberal
(berfokus
pada
kebebasan
individu)
sejak
dari
masa
kekuasaan
Napoleon
(Perancis)
yang
selanjutnya
direplikasi
oleh
Belanda
pada
“Hindia
Belanda”
(Indonesia
versi
kolonial).
Politik
unifikasi-‐kodifikasi
itu
ditujukan
pada
sumber
hukum
ordonantie
(sebutan
untuk
Undang-‐undang
yang
diterbitkan
kerajaan
Belanda)
antara
lain
meliputi:
a.
b.
c.
d.
desentralisasi
dan
otonomi
daerah,
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
(inlandsche
gemeente
ordonantie),
pidana
(wetboek
van
strafrecht),
perdata
(burgerlijk
wetboek),
dan
seterusnya.
Pasca
revolusi
17
Agustus
1945
seluruh
produk
unifikasi-‐kodifikasi
dimasukkan
kedalam
agenda
transisi
yang
dijustfikasi
dengan
“aturan
peralihan”
dalam
UUD
NRI
1945.
Konsekuensinya
adalah
seluruh
seluruh
aturan
hukum
yang
dibentuk
oleh
penguasa
kolonial
masih
berdaya
ikat
yuridis,
sambil
kedepan
nanti
dilakukan
perbaikan
atas
sistem
norma
yuridisnya
berdasarkan
pluralisme
hukum
(legal
pluralism)
maupun
dualisme
hukum
(legal
dualism)
di
masyarakat
Indonesia.
Pluralisme
hukum
(legal
pluralism)
merupakan
kehadiran/eksistensi
pluralitas
kelompok,
etnik,
suku,
marga,
dan
sebutan
lain
untuk
sub-nation.
Pluralitas
itu
ditandai
dengan
keragaman
nilai-‐nilai
dan
norma-‐norma
yang
bekerja
dalam
nilai-‐nilai
tersebut.
Dalam
konteks
demikian
pesantren
merupakan
sub-nation
1
Tulisan
awal
untuk
diskusi
tentang
RUU
KUHP,
yang
diselenggarakan
Panitia
Nasional
Munas
Alim
Ulama
dan
Konferensi
Besar
NU,
di
Kantor
PBNU,
Selasa,
17
Oktober
2017.
2
Ketua
Umum
Perkumpulan
Jaringan
Komunikasi
Desa.
Alumni
Fakultas
Hukum
Universitas
Airlangga,
Surabaya.
Bekerja
sebagai
konsultan
World
Bank,
village
law
regulatory,
VL-‐PASA.
Tulisan
ini
merupakan
pendapat
pribadi,
tidak
mewakili
organisasi
tempat
penulis
bekerja
sebagai
konsultan.
1
yang
hadir/eksis
sebagai
komunitas
muslim
di
Nusantara
yang
aktif
melakukan
kajian
pengambilan
keputusan
hukum-‐masyarakat
melalui
Bahtsul
Masa’il.
Nilai-‐
nilai
nahdliyin
menjadi
alas
pembentuk
norma
hukum
(ushul
fiqh,
fiqh,
dan
seterusnya)
yang
langsung
mempengaruhi
masyarakat
muslim.
Disisi
lain,
hukum
adat
(adatrecht)
pernah
diteliti
Van
Vollenhoven
dan
menghasilkan
deskripsi
atas
lokasi
penerapan
hukum
adat
yang
beragam.
Kesatuan
masyarakat
hukum
adat
merupakan
subjek
hukum
yang
menerapkan
hukum
adat.
Catatan
penting
dalam
pluralisme
hukum
adalah
ketiadaan
integrasi
atas
unsur-‐unsur,
elemen,
dan
keragaman
nilai-‐nilai
yang
hidup
di
masyarakat.
Negara
berfungsi
sebagai
organisasi
kekuasaan
yang
mengakui
(recognition)
atas
pluralitas
hukum
dan
bukan
sebagai
penekan
atas
pluralitas
hukum.
Dilain
pihak
kita
mengenal
pula
dualisme
hukum
(legal
dualism).
Dualisme
hukum
ditandai
dengan
kehadiran/eksistensi
hukum
masyarakat
dan
hukum
negara
yang
berdampingan,
serta
satu
sama
lain
mempunyai
interaksi.
Nilai-‐nilai
luhur
yang
menggambarkan
dualisme
hukum
antara
lain
“desa
mawa
cara,
negara
mawa
tata”,
yang
bermakna
bahwa
Desa/Gampong/Kampong/Nagari
punya
nilai-‐nilai
tradisi
yang
hidup
lebih
dahulu
daripada
negara
(seperti
musyawarah
mufakat,
peradilan
adat,
dan
kepala
Desa
sebagai
representasi
warga
dan
sekaligus
penyatuan
antara
kepala
Desa
dengan
warganya).
Nilai-‐nilai
hukum
masyarakat
itu
mempengaruhi
“negara
mawa
tata”
yang
bermakna
bahwa
Hukum
Tata
Negara
maupun
hukum
publik
lainnya
dipengaruhi
oleh
“desa
mawa
cara”
tadi,
dan
bukan
sebaliknya.
Pembahasan
RUU
KUHP
hampir
setengah
abad
ini
tidak
dapat
dilepaskan
dari
alam
pikir
sosiologi
hukum
yakni
pluralisme
hukum.
Norma
yuridis
dalam
KUHP
maupun
aturan
lain
yang
mencabut
dan
mengubah
Wetboek
van
strafrecht
senantiasa
berkontestasi
dengan
unsur-‐unsur
pluralisme
dan
dualisme
hukum.
Sebagai
contoh
pluralisme
hukum
adalah
epistemologi
hukum
Islam
yang
mengenalkan
jinayat,
hudud,
dan
lainnya,
yang
hidup
berdampingan
dengan
pengetahuan
Hukum
Pidana
yang
positivistik
dalam
KUHP
dan/atau
Wetboek
van
strafrecht.
Dilain
pihak,
pluralisme
dalam
delik
adat
seperti
denda
(batu,
babi,
dan
benda
lain
sesuai
wilayah
adat)
sampai
dengan
pengusiran
yang
beraspek
teritorial-‐genealogis
dari
Hukum
Adat,
tetap
berdampingan
dengan
sanksi
yang
diterapkan
oleh
institusi
peradilan
beralas
KUHP.
Dualisme
hukum
juga
nampak
dalam
praktek
hukum
pidana.
Nilai-‐nilai
dan
norma
hukum
dari
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
mempengaruhi
pengambilan
keputusan
oleh
hakim
(rechtsvinding).
Contoh
putusan
yang
populer
di
masa
Orde
Baru
adalah
pidana
pemerkosaan
yang
dihukum
dengan
pertimbangan
adat
dimana
keperawanan
atau
vagina
merupakan
bonda
yang
diambil
tanpa
izin
oleh
pihak
lelaki,
sehingga
pemerkosa
itu
terhukum
oleh
norma
pidana
pencurian
dalam
KUHP.
Sayangnya,
putusan
dari
pengadilan
negeri
dan
pengadilan
tinggi
di
Sulawesi
Selatan
itu
dibatalkan
karena
Mahkamah
Agung
menilai
bahwa
manusia
merupakan
subjek
hukum
yang
tidak
terbagi
dari
bonda
dan
bukan
bonda,
semuanya
menyatu.
Putusan
hakim
tersebut
dinilai
hakim
agung
sebagai
kesalahan
penerapan
hukum,
sehingga
putusan
dibatalkan
dan
pemerkosa
lolos
dari
jeratan
pidana.
Contoh
lain
pula,
kasus
perempuan
yang
hamil
oleh
lelaki
lain
tapi
tidak
terbukti
dalam
lingkup
pidana
ala
KUHP,
tapi
ada
petitum
yang
tidak
dibatalkan
oleh
hakim
agung
yakni
2
lelaki
yang
menghamili
perempuan
diluar
nikah
itu
memenuhi
untuk
kewajiban
hukum
adat
setempat
(denda,
atau,
pengusiran
dari
kesatuan
masyarakat
hukum
adat).
Berlarut-‐larutnya
pembahasan
RUU
KUHP
untuk
menggantikan
Wetboek
van
Strafrecht
disebabkan
pertarungan
mazhab
hukum
pidana
yang
bersifat
teknis-‐
instrumentalis
dalam
arena
politik
hukum
liberal
(unifikasi-‐kodifikasi),
namun
terdapat
pula
masalah
mendasar
tentang
kehendak
negara
dalam
menghadapi
pluralitas
hukum
dan
dualisme
hukum.
Uraian
singkat
sebelumnya
yang
membandingkan
kondisi
sosiologis
dan
antropologis
atas
norma
yuridis
KUHP
dan
pelaksanaan
putusan
peradilan,
mengerucut
pada
rekomendasi
kebijakan
publik
bahwa
RUU
KUHP
mendesak
untuk
segera
disahkan,
dengan
beralas
pada
pertimbangan
filosofis,
sosiologis
dan
yuridis
berikut
ini:
a. spirit
revolusi
hukum
atas
produk
hukum
kolonial
(Wetboek
van
Strafrecht);
b. materi
hukum
pidana
nasional
yang
disesuaikan
dengan
politik
hukum,
hak
asasi
manusia,
nilai-‐nilai
yang
bersumberkan
dari
Pancasila;
dan
c. materi
hukum
pidana
nasional
yang
mengakui
hukum
tertulis
(positivistik)
dan
hukum
yang
hidup
dalam
masyarakat
(living
law
tradition).
Pluralisme
Hukum
Salah
satu
pendekatan
populer
untuk
membentuk
suatu
peraturan
perundang-‐
undangan
adalah
Evidence-Based
Policymaking
(EBP).
Substansi
dalam
Naskah
Akademik
RUU
KUHP
telah
menempatkan
plurallitas
hukum
sebagai
evidence
kedalam
siklus
kebijakan
publik.
Pluralitas
hukum
yang
dikaji
dalam
Naskah
Akademik
merupakan
akibat
dari
pluralitas
kultur
lokal
yang
sub-nation
dalam
perkembangan
nation-state
Indonesia.
Naskah
akademik
RUU
KUHP
telah
memperlihatkan
suasana-‐batin
tentang
kubu
epistemik
asas
legalitas
dan
disisi
lain
pengakuan
(recognition)
terhadap
living
law
tradition
yang
hidup
di
kalangan
sub-nation
seperti
pengambilan
keputusan
berbasis
Hukum
Adat
dan
tradisi
Bahtsul
Masa’il
Nahdlatul
Ulama.
Kubu
epistemik
asas
legalitas
telah
dituangkan
kedalam
rumusan
Pasal
1
RUU
KUHP,
disertai
tambahan
ayat
yang
menegaskan
bahwa
“analogi”
dilarang
digunakan
dalam
menetapkan
adanya
tindak
pidana:
Pasal
1
RUU
KUHP
(1) Tiada
seorang
pun
pun
dapat
dipidana
atau
dikenakan
tindakan,
kecuali
perbuatan
yang
dilakukan
telah
ditetapkan
sebagai
tindak
pidana
dalam
peraturan
perundang-‐undangan
yang
berlaku
pada
saat
perbuatan
itu
dilakukan.
(2) Dalam
menetapkan
adanya
tindak
pidana
dilarang
menggunakan
analogi.
Pertanyaan
pluralisme
hukum
yang
kontekstual
dalam
rangka
membangun
pengetahuan
living
law
tradition,
setidaknya
merupakan
rumusan
pertanyaan
dalam
Bahtsul
Masa’il
adalah:
bagaimana
perbandingan
unsur
pengetahuan
antara
analogi
dan
qiyas?
Dilain
pihak
dualisme
hukum
juga
penting
mengajukan
pertanyaan
atas
fenomena
munculnya
‘peradilan
adat’
yang
akan
eksis
dalam
‘Desa
Adat’
3
menurut
UU
No.
6/2014
tentang
Desa.
Pemerintahan
Daerah
Sumatra
Barat
saat
ini
sedang
menyusun
draft
Perda
Provinsi
tentang
Nagari.
Didalamnya
terdapat
‘peradilan
adat’
yang
sudah
barang
tentu
melaksanakan
restorative
justice
dimana
delik
adat
tidak
melulu
menghukum
tetapi
juga
mengembalikan
kosmos
Nagari
kembali
harmoni.
Pertanyaannya,
bagaimana
ketentuan
larangan
analogi
dalam
Pasal
1
RUU
KUHP
konsisten
diikuti
oleh
‘peradilan
adat’
Nagari?
Jawaban
lengkap
atas
pertanyaan
itu
membutuhkan
riset
berbasis
evidence
atas
Nagari
maupun
riset-‐epistemologis
atas
qiyas
itu
sendiri.
Apakah
landasan
urgensi
untuk
melakukan
riset
berbasis
evidence
itu?
Pihak
pemerintah
telah
mengajukan
rumusan
penting
dalam
Pasal
2
RUU
KUHP,
yang
mengakui
(recognition)
atas
living
law
tradition:
Pasal
2
(1) Ketentuan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
1
ayat
(1)
tidak
mengurangi
berlakunya
hukum
yang
hidup
dalam
masyarakat
yang
menentukan
bahwa
seseorang
patut
dipidana
walaupun
perbuatan
tersebut
tidak
diatur
dalam
peraturan
perundang-‐undangan.
(2) Berlakunya
hukum
yang
hidup
dalam
masyarakat
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
sepanjang
sesuai
dengan
nilai-‐nilai
yang
terkandung
dalam
Pancasila,
hak
asasi
manusia,
dan
prinsip-‐
prinsip
hukum
umum
yang
diakui
oleh
masyarakat
bangsa-‐bangsa.
Van
Vollenhoven,
Ter
Haar,
Soepomo,
Hazairin,
M.
Yamin,
Soerjono
Soekanto,
Soleman
B.
Taneko,
Satjipto
Rahardjo,
Soetandyo
Wignjosoebroto
maupun
intelektual
sociology
of
law
lainnya
telah
lama
mengumandangkan
dan
melaksanakan
riset
berbasis
evidence
terhadap
nilai,
pranata,
atau
norma
hukum
adat.
Keseluruhan
hasil
riset
hukum
adat
itu
perlu
dikembangkan
dan
didorong
oleh
Nahdlatul
Ulama’
agar
mengalami
dialektika
dengan
prinsip-‐prinsip
al-
‘adatu
muhakkamah
dan
‘urf.
Substansi
al-‘adatu
muhakkamah
yang
sarat
dengan
perbuatan
yang
kontinyu
dan
diterima
nalar
itu
berpotensi
dikembangkan
dalam
lingkup
epistemologi,
sedangkan
‘urf
atau
adat
yang
diadatkan
tampak
dalam
perilaku
dan
perlu
kajian
sosiologi-‐antropologis
dalam
memberikan
makna
terhadapnya,
sehingga
terjalin
communicative
action
antara
NU
dan
organisasi
adat.
Antara
satu
sama
lain,
dalam
term
pluralisme
hukum,
tidak
perlu
dituntut
untuk
‘integrasi’
namun
tindakan
komunikatif
antar
elemen
organisasi
relijius
guna
mentransformasikan
pluralisme
hukum
yang
berwajah
Pancasila,
HAM,
dan
prinsip-‐prinsip
umum
yang
diakui
oleh
masyarakat
bangsa
(sub-nation).
Prinsip-‐prinsip
umum
yang
diakui
sub-nation
itulah
menjadi
suatu
arena/medan
pemaknaan
tentang
al-‘adatu
muhakkamah
dan
‘urf,
sekaligus
sarat
dengan
konsensus
antar
warga
dan
bukan
disensus
antara
hukum
masyarakat
(Islam
dan
Adat)
dengan
Hukum
Negara.
Dualisme
Hukum
Dualisme
hukum
antara
KUHP
dan
hukum
masyarakat
berujung
pada
daya
serap
(internalisasi)
kekuasaan
negara
terhadap
perkembangan
hukum
yang
hidup
4
dalam
masyarakat
(living
law
tradition).
Rumusan
asas
legalitas
dalam
Pasal
1
RUU
KUHP
sudah
barang
tentu
merupakan
tesis,
sedangkan
Hukum
Adat
merupakan
anti-‐tesisnya
karena
tidak
mengenal
sistem
prae-existence
regels
(sistem
pelanggaran
hukum
ditetapkan
terlebih
dahulu
berdasarkan
asas
legalitas).
Institusi
dalam
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
seperti
‘peradilan
adat’
dalam
Nagari
berhak
melakukan
adat
reactie
terhadap
perbuatan
yang
diadukan
oleh
warga
sebagai
pelanggaran
‘hukum
adat’.
Hal
ini
berbeda
dengan
Hukum
Islam
yang
telah
mengalami
daya
serap
(internalisasi)
kedalam
subsistem
hukum
Indonesia
melalui
Kompilasi
Hukum
Islam.
Politik
hukum
kompilasi
ini
telah
memutuskan
hukum
perdata
mana
yang
layak
ditransformasikan
kedalam
perangkat
hukum
negara
berikut
organisasi
pelaksananya
(Peradilan
Agama,
KUA,
dan
lainnya),
dan
tidak
melakukan
Kodifikasi
dalam
skala
yang
lebih
besar
seperti
Burgerlijk
Wetboek.
Resikonya,
Politik
Hukum
kompilasi
hukum
Islam
melalui
Instruksi
Presiden
itu
potensial
untuk
mengalami
intensionalitas
dengan
Politik
Hukum
Kodifikasi
Burgerlijk
Wetboek
meski
berujung
pada
implementasi
yang
opsional
bagi
warga
muslim.
Tantangan
dengan
adanya
RUU
KUHP
adalah
kedudukan/eksistensi
produk
pengetahuan
hukum
pidana
Islam,
terutama
atas
rancangan
norma
tentang
“pidana
tambahan”
dalam
Pasal
123
RUU
KUHP:
Pasal
123
Pidana
tambahan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
121
huruf
b
terdiri
atas:
a.
perampasan
keuntungan
yang
diperoleh
dari
tindak
pidana;
atau
b.
pemenuhan
kewajiban
adat.
Sebagian
kelompok
muslim
akan
bersikap
moderat
dalam
bentuk
mengkaji
prinsip
dan
nilai-‐nilai
hukum
pidana
Islam
tanpa
kehendak
penerapan
yang
tekstual/skripturalis
untuk
mengalahkan
kewajiban
adat,
namun
disisi
lain
kelompok
muslim
yang
berada
dalam
alam
pikir
“perang”
akan
menerapkan
hukuman
rajam
(atau
sanksi
lainnya)
pada
unsur
kelompok
yang
melanggar
hukum
pidana
Islam
(tanpa
mempedulikan
kewajiban
adat
setempat).
Disinilah
letak
distingsi
(distinction)
antara
NU
dan
kelompok
muslim
konservatif
ketika
menerapkan
hukum
pidana
Islam.
Keputusan
hukum
“pidana”
dari
organisasi
NU
akan
mengalami
perkembangan
dalam
alur
pikir
antara
negara
konstitusional
(verfassungsstaat),
hukum
adat
(traditionelles
Recht)
dan
teori
badan
hukum
kekeluargaan
(genossenschaftheorie)
di
Indonesia,
antara
lain:
a. Pertama,
bagaimana
mengelola
pengetahuan
“pidana
tambahan”
tersebut
dalam
konteks
verfassungsstaat
yakni
negara
keselamatan
(dar
al-salam)
dan
bukan
negara
Islam
(dar
al-islam)
atau
negara
perang
(dar
al-harb).
b. Kedua,
mengembangkan
riset
eklektik
atas
hukum
pidana
adat
(traditionelles
Recht)
dan
pengetahuan
hukum
pidana
Islam.
c. Ketiga,
mengembangkan
secara
demokratis-‐kekeluargaan
ala
Soepomo
antara
nilai-‐nilai
budaya
dan
adat
serta
norma
hukum
yang
eksis
dikalangan
kesatuan
masyarakat
hukum
adat.
5
Gagasan
Soepomo
dikritik
oleh
Marsillam
Simanjuntak
sebagai
ide
totalitarianisme.
Berbeda
dengan
pendapat
kritik
filosofis
atas
Soepomo
itu,
dalam
konteks
linguistik
Jerman
istilah
“negara
integralistik”
bukanlah
menunjuk
pada
“isme”
dalam
totalitarianisme,
tapi
pada
demokrasi
asli
di
Nusantara
yang
menunjuk
pada
integrasi
kepala
Desa
dengan
rakyatnya
(mutatis
mutandis
pada
integrasi
kepala
negara/pemerintahan
dengan
rakyatnya)
dan
integrasi
teritorial-‐genealogis
seperti
terdapat
pada
Hukum
Adat.
Gagasan
Hukum
Adat
sudah
terbukti
menyelamatkan
batas
laut
dalam
konvensi
Internasional,
sehingga
potensial
untuk
dikembangkan
NU
dalam
integrasi
antar
unsur
masyarakat
yang
saat
ini
sedang
dihadapi
masyarakat
Indonesia.
Sumatra
Barat,
Bali,
dan
Papua
merupakan
lokasi
yang
menarik
untuk
diteliti
lebih
lanjut
tentang
bagaimana
praktek
hukum
adat,
karena
integrasi
pemimpin
dan
rakyatnya
berfungsi
sebagai
mediasi
konflik
atas
kasus
pidana.
Untuk
memastikan
institusi
hakim
melaksanakan
ketentuan
Pasal
2
dan
Pasal
123
RUU
KUHP,
maka
Komisi
Yudisial
perlu
diajak
dialog
sebagai
organisasi
yang
memastikan
rechtsvinding
hakim
berdasarkan
rekomendasi
hukum
moral
dalam
Bahtsul
Masa’il
dan
kesatuan
masyarakat
hukum
adat.
Kiranya
uraian
gagasan
singkat
ini
berakhir
sementara
untuk
menegaskan
Bahtsul
Masa’il
qanuniyah
menjadi
ruang
terbuka
untuk
meneliti
kembali
dan
bahkan
melakukan
revolusi
gagasan
yang
kritis,
refleksif,
praxis,
dan
komunikatif
antara
Hukum
Adat
dan
Hukum
Islam.
Kesimpulan
dan
Rekomendasi
1. Naskah
akademik
RUU
KUHP
sudah
relevan
dari
sisi
intelektual-‐akademis
pidana,
meski
perlu
kehati-‐hatian
dalam
menyikapi
politik
hukum
kodifikasi
warisan
liberalisme-‐hukum
sejak
zaman
Perancis
(Napoleon
Bonaparte)
dan
Belanda
bahwa
living
law
tradition
akan
kurang
diakui
dalam
pelaksanaan
putusan.
2. Nahdlatul
Ulama’
sebagai
organisasi
kemasyarakatan
yang
hari
ini
sedang
tegak
lurus
menghadapi
ancaman
kebangsaan,
perlu
mendorong
agar
RUU
KUHP
segera
disahkan.
Forum
genossenschaft
seperti
Bahtsul
Masa’il
dapat
membahas
politik
hukum
kodifikasi
atas
pencabutan
Wetboek
van
Strafrecht
dengan
catatan
bahwa
pihak
legislator
benar-‐benar
komitmen
pada
Pancasila,
Hak
Asasi
Manusia,
dan
nilai-‐nilai
adat
yang
berkembang
di
masyarakat
terutama
nilai-‐nilai
adat
yang
sudah
terintegrasi
dengan
nilai-‐
nilai
keislaman
yang
toleran.
3. Tantangan
kedepan
adalah
mengembangkan
ketentuan
dalam
Pasal
2
dan
Pasal
123
RUU
KUHP
bahwa
hasil
keputusan
Bahtsul
Masa’il
dan
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
dapat
menjadi
pertimbangan
majelis
hakim
(rechtsvinding)
dalam
pengambilan
keputusan.
Terutama,
mengembangkan
pengetahuan
akademis
tentang
prinsip
al-‘adatu
muhakkamah
dan
‘urf.
4. Komisi
Yudisial
yang
berwenang
mengawasi
perilaku
etik
Hakim
perlu
diajak
dialog
tentang
hasil-‐hasil
Bahtsul
Masa’il
qanuniyah
agar
Hakim
mempertimbangkan
living
law
tradition
dalam
pidana
tambahan.***
6
DAN
DUALISME
HUKUM
DALAM
RANCANGAN
UNDANG-
UNDANG
KITAB
UNDANG-UNDANG
HUKUM
PIDANA1
Anom
Surya
Putra2
(Perkumpulan
Jarkom
Desa)
Pengantar
Naskah
akademik
dan
rumusan
norma
yuridis
Rancangan
Kitab
Undang-‐undang
Hukum
Pidana
(RUU
KUHP)
sudah
lama
dirancang
sejak
tahun
1981.
Hampir
memasuki
4
(empat)
dasawarsa
RUU
KUHP
dirancang
dan
diperdebatkan,
tahun
2017
ini
penting
kiranya
untuk
memastikan
RUU
KUHP
untuk
segera
disahkan.
Pembentukan
peraturan
perundang-‐undangan
KUHP
ini
merupakan
program
yang
ambisius,
yakni
suatu
upaya
politik
hukum
unifikasi-‐kodifikasi
atas
seluruh
norma
hukum
pidana
pasca-‐kolonial
di
Indonesia.
Sejarah
hukum
menunjukkan
bahwa
politik
hukum
unifikasi-‐kodifikasi
merupakan
praktek
kekuasaan
liberal
(berfokus
pada
kebebasan
individu)
sejak
dari
masa
kekuasaan
Napoleon
(Perancis)
yang
selanjutnya
direplikasi
oleh
Belanda
pada
“Hindia
Belanda”
(Indonesia
versi
kolonial).
Politik
unifikasi-‐kodifikasi
itu
ditujukan
pada
sumber
hukum
ordonantie
(sebutan
untuk
Undang-‐undang
yang
diterbitkan
kerajaan
Belanda)
antara
lain
meliputi:
a.
b.
c.
d.
desentralisasi
dan
otonomi
daerah,
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
(inlandsche
gemeente
ordonantie),
pidana
(wetboek
van
strafrecht),
perdata
(burgerlijk
wetboek),
dan
seterusnya.
Pasca
revolusi
17
Agustus
1945
seluruh
produk
unifikasi-‐kodifikasi
dimasukkan
kedalam
agenda
transisi
yang
dijustfikasi
dengan
“aturan
peralihan”
dalam
UUD
NRI
1945.
Konsekuensinya
adalah
seluruh
seluruh
aturan
hukum
yang
dibentuk
oleh
penguasa
kolonial
masih
berdaya
ikat
yuridis,
sambil
kedepan
nanti
dilakukan
perbaikan
atas
sistem
norma
yuridisnya
berdasarkan
pluralisme
hukum
(legal
pluralism)
maupun
dualisme
hukum
(legal
dualism)
di
masyarakat
Indonesia.
Pluralisme
hukum
(legal
pluralism)
merupakan
kehadiran/eksistensi
pluralitas
kelompok,
etnik,
suku,
marga,
dan
sebutan
lain
untuk
sub-nation.
Pluralitas
itu
ditandai
dengan
keragaman
nilai-‐nilai
dan
norma-‐norma
yang
bekerja
dalam
nilai-‐nilai
tersebut.
Dalam
konteks
demikian
pesantren
merupakan
sub-nation
1
Tulisan
awal
untuk
diskusi
tentang
RUU
KUHP,
yang
diselenggarakan
Panitia
Nasional
Munas
Alim
Ulama
dan
Konferensi
Besar
NU,
di
Kantor
PBNU,
Selasa,
17
Oktober
2017.
2
Ketua
Umum
Perkumpulan
Jaringan
Komunikasi
Desa.
Alumni
Fakultas
Hukum
Universitas
Airlangga,
Surabaya.
Bekerja
sebagai
konsultan
World
Bank,
village
law
regulatory,
VL-‐PASA.
Tulisan
ini
merupakan
pendapat
pribadi,
tidak
mewakili
organisasi
tempat
penulis
bekerja
sebagai
konsultan.
1
yang
hadir/eksis
sebagai
komunitas
muslim
di
Nusantara
yang
aktif
melakukan
kajian
pengambilan
keputusan
hukum-‐masyarakat
melalui
Bahtsul
Masa’il.
Nilai-‐
nilai
nahdliyin
menjadi
alas
pembentuk
norma
hukum
(ushul
fiqh,
fiqh,
dan
seterusnya)
yang
langsung
mempengaruhi
masyarakat
muslim.
Disisi
lain,
hukum
adat
(adatrecht)
pernah
diteliti
Van
Vollenhoven
dan
menghasilkan
deskripsi
atas
lokasi
penerapan
hukum
adat
yang
beragam.
Kesatuan
masyarakat
hukum
adat
merupakan
subjek
hukum
yang
menerapkan
hukum
adat.
Catatan
penting
dalam
pluralisme
hukum
adalah
ketiadaan
integrasi
atas
unsur-‐unsur,
elemen,
dan
keragaman
nilai-‐nilai
yang
hidup
di
masyarakat.
Negara
berfungsi
sebagai
organisasi
kekuasaan
yang
mengakui
(recognition)
atas
pluralitas
hukum
dan
bukan
sebagai
penekan
atas
pluralitas
hukum.
Dilain
pihak
kita
mengenal
pula
dualisme
hukum
(legal
dualism).
Dualisme
hukum
ditandai
dengan
kehadiran/eksistensi
hukum
masyarakat
dan
hukum
negara
yang
berdampingan,
serta
satu
sama
lain
mempunyai
interaksi.
Nilai-‐nilai
luhur
yang
menggambarkan
dualisme
hukum
antara
lain
“desa
mawa
cara,
negara
mawa
tata”,
yang
bermakna
bahwa
Desa/Gampong/Kampong/Nagari
punya
nilai-‐nilai
tradisi
yang
hidup
lebih
dahulu
daripada
negara
(seperti
musyawarah
mufakat,
peradilan
adat,
dan
kepala
Desa
sebagai
representasi
warga
dan
sekaligus
penyatuan
antara
kepala
Desa
dengan
warganya).
Nilai-‐nilai
hukum
masyarakat
itu
mempengaruhi
“negara
mawa
tata”
yang
bermakna
bahwa
Hukum
Tata
Negara
maupun
hukum
publik
lainnya
dipengaruhi
oleh
“desa
mawa
cara”
tadi,
dan
bukan
sebaliknya.
Pembahasan
RUU
KUHP
hampir
setengah
abad
ini
tidak
dapat
dilepaskan
dari
alam
pikir
sosiologi
hukum
yakni
pluralisme
hukum.
Norma
yuridis
dalam
KUHP
maupun
aturan
lain
yang
mencabut
dan
mengubah
Wetboek
van
strafrecht
senantiasa
berkontestasi
dengan
unsur-‐unsur
pluralisme
dan
dualisme
hukum.
Sebagai
contoh
pluralisme
hukum
adalah
epistemologi
hukum
Islam
yang
mengenalkan
jinayat,
hudud,
dan
lainnya,
yang
hidup
berdampingan
dengan
pengetahuan
Hukum
Pidana
yang
positivistik
dalam
KUHP
dan/atau
Wetboek
van
strafrecht.
Dilain
pihak,
pluralisme
dalam
delik
adat
seperti
denda
(batu,
babi,
dan
benda
lain
sesuai
wilayah
adat)
sampai
dengan
pengusiran
yang
beraspek
teritorial-‐genealogis
dari
Hukum
Adat,
tetap
berdampingan
dengan
sanksi
yang
diterapkan
oleh
institusi
peradilan
beralas
KUHP.
Dualisme
hukum
juga
nampak
dalam
praktek
hukum
pidana.
Nilai-‐nilai
dan
norma
hukum
dari
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
mempengaruhi
pengambilan
keputusan
oleh
hakim
(rechtsvinding).
Contoh
putusan
yang
populer
di
masa
Orde
Baru
adalah
pidana
pemerkosaan
yang
dihukum
dengan
pertimbangan
adat
dimana
keperawanan
atau
vagina
merupakan
bonda
yang
diambil
tanpa
izin
oleh
pihak
lelaki,
sehingga
pemerkosa
itu
terhukum
oleh
norma
pidana
pencurian
dalam
KUHP.
Sayangnya,
putusan
dari
pengadilan
negeri
dan
pengadilan
tinggi
di
Sulawesi
Selatan
itu
dibatalkan
karena
Mahkamah
Agung
menilai
bahwa
manusia
merupakan
subjek
hukum
yang
tidak
terbagi
dari
bonda
dan
bukan
bonda,
semuanya
menyatu.
Putusan
hakim
tersebut
dinilai
hakim
agung
sebagai
kesalahan
penerapan
hukum,
sehingga
putusan
dibatalkan
dan
pemerkosa
lolos
dari
jeratan
pidana.
Contoh
lain
pula,
kasus
perempuan
yang
hamil
oleh
lelaki
lain
tapi
tidak
terbukti
dalam
lingkup
pidana
ala
KUHP,
tapi
ada
petitum
yang
tidak
dibatalkan
oleh
hakim
agung
yakni
2
lelaki
yang
menghamili
perempuan
diluar
nikah
itu
memenuhi
untuk
kewajiban
hukum
adat
setempat
(denda,
atau,
pengusiran
dari
kesatuan
masyarakat
hukum
adat).
Berlarut-‐larutnya
pembahasan
RUU
KUHP
untuk
menggantikan
Wetboek
van
Strafrecht
disebabkan
pertarungan
mazhab
hukum
pidana
yang
bersifat
teknis-‐
instrumentalis
dalam
arena
politik
hukum
liberal
(unifikasi-‐kodifikasi),
namun
terdapat
pula
masalah
mendasar
tentang
kehendak
negara
dalam
menghadapi
pluralitas
hukum
dan
dualisme
hukum.
Uraian
singkat
sebelumnya
yang
membandingkan
kondisi
sosiologis
dan
antropologis
atas
norma
yuridis
KUHP
dan
pelaksanaan
putusan
peradilan,
mengerucut
pada
rekomendasi
kebijakan
publik
bahwa
RUU
KUHP
mendesak
untuk
segera
disahkan,
dengan
beralas
pada
pertimbangan
filosofis,
sosiologis
dan
yuridis
berikut
ini:
a. spirit
revolusi
hukum
atas
produk
hukum
kolonial
(Wetboek
van
Strafrecht);
b. materi
hukum
pidana
nasional
yang
disesuaikan
dengan
politik
hukum,
hak
asasi
manusia,
nilai-‐nilai
yang
bersumberkan
dari
Pancasila;
dan
c. materi
hukum
pidana
nasional
yang
mengakui
hukum
tertulis
(positivistik)
dan
hukum
yang
hidup
dalam
masyarakat
(living
law
tradition).
Pluralisme
Hukum
Salah
satu
pendekatan
populer
untuk
membentuk
suatu
peraturan
perundang-‐
undangan
adalah
Evidence-Based
Policymaking
(EBP).
Substansi
dalam
Naskah
Akademik
RUU
KUHP
telah
menempatkan
plurallitas
hukum
sebagai
evidence
kedalam
siklus
kebijakan
publik.
Pluralitas
hukum
yang
dikaji
dalam
Naskah
Akademik
merupakan
akibat
dari
pluralitas
kultur
lokal
yang
sub-nation
dalam
perkembangan
nation-state
Indonesia.
Naskah
akademik
RUU
KUHP
telah
memperlihatkan
suasana-‐batin
tentang
kubu
epistemik
asas
legalitas
dan
disisi
lain
pengakuan
(recognition)
terhadap
living
law
tradition
yang
hidup
di
kalangan
sub-nation
seperti
pengambilan
keputusan
berbasis
Hukum
Adat
dan
tradisi
Bahtsul
Masa’il
Nahdlatul
Ulama.
Kubu
epistemik
asas
legalitas
telah
dituangkan
kedalam
rumusan
Pasal
1
RUU
KUHP,
disertai
tambahan
ayat
yang
menegaskan
bahwa
“analogi”
dilarang
digunakan
dalam
menetapkan
adanya
tindak
pidana:
Pasal
1
RUU
KUHP
(1) Tiada
seorang
pun
pun
dapat
dipidana
atau
dikenakan
tindakan,
kecuali
perbuatan
yang
dilakukan
telah
ditetapkan
sebagai
tindak
pidana
dalam
peraturan
perundang-‐undangan
yang
berlaku
pada
saat
perbuatan
itu
dilakukan.
(2) Dalam
menetapkan
adanya
tindak
pidana
dilarang
menggunakan
analogi.
Pertanyaan
pluralisme
hukum
yang
kontekstual
dalam
rangka
membangun
pengetahuan
living
law
tradition,
setidaknya
merupakan
rumusan
pertanyaan
dalam
Bahtsul
Masa’il
adalah:
bagaimana
perbandingan
unsur
pengetahuan
antara
analogi
dan
qiyas?
Dilain
pihak
dualisme
hukum
juga
penting
mengajukan
pertanyaan
atas
fenomena
munculnya
‘peradilan
adat’
yang
akan
eksis
dalam
‘Desa
Adat’
3
menurut
UU
No.
6/2014
tentang
Desa.
Pemerintahan
Daerah
Sumatra
Barat
saat
ini
sedang
menyusun
draft
Perda
Provinsi
tentang
Nagari.
Didalamnya
terdapat
‘peradilan
adat’
yang
sudah
barang
tentu
melaksanakan
restorative
justice
dimana
delik
adat
tidak
melulu
menghukum
tetapi
juga
mengembalikan
kosmos
Nagari
kembali
harmoni.
Pertanyaannya,
bagaimana
ketentuan
larangan
analogi
dalam
Pasal
1
RUU
KUHP
konsisten
diikuti
oleh
‘peradilan
adat’
Nagari?
Jawaban
lengkap
atas
pertanyaan
itu
membutuhkan
riset
berbasis
evidence
atas
Nagari
maupun
riset-‐epistemologis
atas
qiyas
itu
sendiri.
Apakah
landasan
urgensi
untuk
melakukan
riset
berbasis
evidence
itu?
Pihak
pemerintah
telah
mengajukan
rumusan
penting
dalam
Pasal
2
RUU
KUHP,
yang
mengakui
(recognition)
atas
living
law
tradition:
Pasal
2
(1) Ketentuan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
1
ayat
(1)
tidak
mengurangi
berlakunya
hukum
yang
hidup
dalam
masyarakat
yang
menentukan
bahwa
seseorang
patut
dipidana
walaupun
perbuatan
tersebut
tidak
diatur
dalam
peraturan
perundang-‐undangan.
(2) Berlakunya
hukum
yang
hidup
dalam
masyarakat
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
sepanjang
sesuai
dengan
nilai-‐nilai
yang
terkandung
dalam
Pancasila,
hak
asasi
manusia,
dan
prinsip-‐
prinsip
hukum
umum
yang
diakui
oleh
masyarakat
bangsa-‐bangsa.
Van
Vollenhoven,
Ter
Haar,
Soepomo,
Hazairin,
M.
Yamin,
Soerjono
Soekanto,
Soleman
B.
Taneko,
Satjipto
Rahardjo,
Soetandyo
Wignjosoebroto
maupun
intelektual
sociology
of
law
lainnya
telah
lama
mengumandangkan
dan
melaksanakan
riset
berbasis
evidence
terhadap
nilai,
pranata,
atau
norma
hukum
adat.
Keseluruhan
hasil
riset
hukum
adat
itu
perlu
dikembangkan
dan
didorong
oleh
Nahdlatul
Ulama’
agar
mengalami
dialektika
dengan
prinsip-‐prinsip
al-
‘adatu
muhakkamah
dan
‘urf.
Substansi
al-‘adatu
muhakkamah
yang
sarat
dengan
perbuatan
yang
kontinyu
dan
diterima
nalar
itu
berpotensi
dikembangkan
dalam
lingkup
epistemologi,
sedangkan
‘urf
atau
adat
yang
diadatkan
tampak
dalam
perilaku
dan
perlu
kajian
sosiologi-‐antropologis
dalam
memberikan
makna
terhadapnya,
sehingga
terjalin
communicative
action
antara
NU
dan
organisasi
adat.
Antara
satu
sama
lain,
dalam
term
pluralisme
hukum,
tidak
perlu
dituntut
untuk
‘integrasi’
namun
tindakan
komunikatif
antar
elemen
organisasi
relijius
guna
mentransformasikan
pluralisme
hukum
yang
berwajah
Pancasila,
HAM,
dan
prinsip-‐prinsip
umum
yang
diakui
oleh
masyarakat
bangsa
(sub-nation).
Prinsip-‐prinsip
umum
yang
diakui
sub-nation
itulah
menjadi
suatu
arena/medan
pemaknaan
tentang
al-‘adatu
muhakkamah
dan
‘urf,
sekaligus
sarat
dengan
konsensus
antar
warga
dan
bukan
disensus
antara
hukum
masyarakat
(Islam
dan
Adat)
dengan
Hukum
Negara.
Dualisme
Hukum
Dualisme
hukum
antara
KUHP
dan
hukum
masyarakat
berujung
pada
daya
serap
(internalisasi)
kekuasaan
negara
terhadap
perkembangan
hukum
yang
hidup
4
dalam
masyarakat
(living
law
tradition).
Rumusan
asas
legalitas
dalam
Pasal
1
RUU
KUHP
sudah
barang
tentu
merupakan
tesis,
sedangkan
Hukum
Adat
merupakan
anti-‐tesisnya
karena
tidak
mengenal
sistem
prae-existence
regels
(sistem
pelanggaran
hukum
ditetapkan
terlebih
dahulu
berdasarkan
asas
legalitas).
Institusi
dalam
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
seperti
‘peradilan
adat’
dalam
Nagari
berhak
melakukan
adat
reactie
terhadap
perbuatan
yang
diadukan
oleh
warga
sebagai
pelanggaran
‘hukum
adat’.
Hal
ini
berbeda
dengan
Hukum
Islam
yang
telah
mengalami
daya
serap
(internalisasi)
kedalam
subsistem
hukum
Indonesia
melalui
Kompilasi
Hukum
Islam.
Politik
hukum
kompilasi
ini
telah
memutuskan
hukum
perdata
mana
yang
layak
ditransformasikan
kedalam
perangkat
hukum
negara
berikut
organisasi
pelaksananya
(Peradilan
Agama,
KUA,
dan
lainnya),
dan
tidak
melakukan
Kodifikasi
dalam
skala
yang
lebih
besar
seperti
Burgerlijk
Wetboek.
Resikonya,
Politik
Hukum
kompilasi
hukum
Islam
melalui
Instruksi
Presiden
itu
potensial
untuk
mengalami
intensionalitas
dengan
Politik
Hukum
Kodifikasi
Burgerlijk
Wetboek
meski
berujung
pada
implementasi
yang
opsional
bagi
warga
muslim.
Tantangan
dengan
adanya
RUU
KUHP
adalah
kedudukan/eksistensi
produk
pengetahuan
hukum
pidana
Islam,
terutama
atas
rancangan
norma
tentang
“pidana
tambahan”
dalam
Pasal
123
RUU
KUHP:
Pasal
123
Pidana
tambahan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
121
huruf
b
terdiri
atas:
a.
perampasan
keuntungan
yang
diperoleh
dari
tindak
pidana;
atau
b.
pemenuhan
kewajiban
adat.
Sebagian
kelompok
muslim
akan
bersikap
moderat
dalam
bentuk
mengkaji
prinsip
dan
nilai-‐nilai
hukum
pidana
Islam
tanpa
kehendak
penerapan
yang
tekstual/skripturalis
untuk
mengalahkan
kewajiban
adat,
namun
disisi
lain
kelompok
muslim
yang
berada
dalam
alam
pikir
“perang”
akan
menerapkan
hukuman
rajam
(atau
sanksi
lainnya)
pada
unsur
kelompok
yang
melanggar
hukum
pidana
Islam
(tanpa
mempedulikan
kewajiban
adat
setempat).
Disinilah
letak
distingsi
(distinction)
antara
NU
dan
kelompok
muslim
konservatif
ketika
menerapkan
hukum
pidana
Islam.
Keputusan
hukum
“pidana”
dari
organisasi
NU
akan
mengalami
perkembangan
dalam
alur
pikir
antara
negara
konstitusional
(verfassungsstaat),
hukum
adat
(traditionelles
Recht)
dan
teori
badan
hukum
kekeluargaan
(genossenschaftheorie)
di
Indonesia,
antara
lain:
a. Pertama,
bagaimana
mengelola
pengetahuan
“pidana
tambahan”
tersebut
dalam
konteks
verfassungsstaat
yakni
negara
keselamatan
(dar
al-salam)
dan
bukan
negara
Islam
(dar
al-islam)
atau
negara
perang
(dar
al-harb).
b. Kedua,
mengembangkan
riset
eklektik
atas
hukum
pidana
adat
(traditionelles
Recht)
dan
pengetahuan
hukum
pidana
Islam.
c. Ketiga,
mengembangkan
secara
demokratis-‐kekeluargaan
ala
Soepomo
antara
nilai-‐nilai
budaya
dan
adat
serta
norma
hukum
yang
eksis
dikalangan
kesatuan
masyarakat
hukum
adat.
5
Gagasan
Soepomo
dikritik
oleh
Marsillam
Simanjuntak
sebagai
ide
totalitarianisme.
Berbeda
dengan
pendapat
kritik
filosofis
atas
Soepomo
itu,
dalam
konteks
linguistik
Jerman
istilah
“negara
integralistik”
bukanlah
menunjuk
pada
“isme”
dalam
totalitarianisme,
tapi
pada
demokrasi
asli
di
Nusantara
yang
menunjuk
pada
integrasi
kepala
Desa
dengan
rakyatnya
(mutatis
mutandis
pada
integrasi
kepala
negara/pemerintahan
dengan
rakyatnya)
dan
integrasi
teritorial-‐genealogis
seperti
terdapat
pada
Hukum
Adat.
Gagasan
Hukum
Adat
sudah
terbukti
menyelamatkan
batas
laut
dalam
konvensi
Internasional,
sehingga
potensial
untuk
dikembangkan
NU
dalam
integrasi
antar
unsur
masyarakat
yang
saat
ini
sedang
dihadapi
masyarakat
Indonesia.
Sumatra
Barat,
Bali,
dan
Papua
merupakan
lokasi
yang
menarik
untuk
diteliti
lebih
lanjut
tentang
bagaimana
praktek
hukum
adat,
karena
integrasi
pemimpin
dan
rakyatnya
berfungsi
sebagai
mediasi
konflik
atas
kasus
pidana.
Untuk
memastikan
institusi
hakim
melaksanakan
ketentuan
Pasal
2
dan
Pasal
123
RUU
KUHP,
maka
Komisi
Yudisial
perlu
diajak
dialog
sebagai
organisasi
yang
memastikan
rechtsvinding
hakim
berdasarkan
rekomendasi
hukum
moral
dalam
Bahtsul
Masa’il
dan
kesatuan
masyarakat
hukum
adat.
Kiranya
uraian
gagasan
singkat
ini
berakhir
sementara
untuk
menegaskan
Bahtsul
Masa’il
qanuniyah
menjadi
ruang
terbuka
untuk
meneliti
kembali
dan
bahkan
melakukan
revolusi
gagasan
yang
kritis,
refleksif,
praxis,
dan
komunikatif
antara
Hukum
Adat
dan
Hukum
Islam.
Kesimpulan
dan
Rekomendasi
1. Naskah
akademik
RUU
KUHP
sudah
relevan
dari
sisi
intelektual-‐akademis
pidana,
meski
perlu
kehati-‐hatian
dalam
menyikapi
politik
hukum
kodifikasi
warisan
liberalisme-‐hukum
sejak
zaman
Perancis
(Napoleon
Bonaparte)
dan
Belanda
bahwa
living
law
tradition
akan
kurang
diakui
dalam
pelaksanaan
putusan.
2. Nahdlatul
Ulama’
sebagai
organisasi
kemasyarakatan
yang
hari
ini
sedang
tegak
lurus
menghadapi
ancaman
kebangsaan,
perlu
mendorong
agar
RUU
KUHP
segera
disahkan.
Forum
genossenschaft
seperti
Bahtsul
Masa’il
dapat
membahas
politik
hukum
kodifikasi
atas
pencabutan
Wetboek
van
Strafrecht
dengan
catatan
bahwa
pihak
legislator
benar-‐benar
komitmen
pada
Pancasila,
Hak
Asasi
Manusia,
dan
nilai-‐nilai
adat
yang
berkembang
di
masyarakat
terutama
nilai-‐nilai
adat
yang
sudah
terintegrasi
dengan
nilai-‐
nilai
keislaman
yang
toleran.
3. Tantangan
kedepan
adalah
mengembangkan
ketentuan
dalam
Pasal
2
dan
Pasal
123
RUU
KUHP
bahwa
hasil
keputusan
Bahtsul
Masa’il
dan
kesatuan
masyarakat
hukum
adat
dapat
menjadi
pertimbangan
majelis
hakim
(rechtsvinding)
dalam
pengambilan
keputusan.
Terutama,
mengembangkan
pengetahuan
akademis
tentang
prinsip
al-‘adatu
muhakkamah
dan
‘urf.
4. Komisi
Yudisial
yang
berwenang
mengawasi
perilaku
etik
Hakim
perlu
diajak
dialog
tentang
hasil-‐hasil
Bahtsul
Masa’il
qanuniyah
agar
Hakim
mempertimbangkan
living
law
tradition
dalam
pidana
tambahan.***
6