Pengertian Maqamat dan Tahapannya Zuhud

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat
berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan
istilah stages

yang

berarti

tangga.

Sedangkan

dalam

ilmu

Tasawuf,


maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan samping
itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.
Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam
melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu
tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum
menyempurnakan

maqam

sebelumnya[1].Adapun

penjelasan

maqamat-

maqamat[2] dalam tasawuf akan kami bahas setelah ini.
B. Maqamat-maqamat dalam Tasawuf
Ini adalah lanjutan tujuan pembahasan kita kali ini sebagaimana judul makalah
kami setelah memahami maqamat, maka kita akan memahami tingkatan maqamat

itu sendiri yaitu zuhud, wira’i, tawakkal dan ridha.
a. Zuhud
Zuhud adalah meninggakan dunia dan kehidupan materi. Kehidupan dunia
dipandang hanya sebagai alat untuk tujuan yang hakiki, yaitu dekat kepada
Allah SWT. Zuhud merupakan tahapan pemantapan taubat yang telah dilalui
pada tahapan pertama. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat
penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan duniawi.[3]

b. Wira’i
1

. Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN
SA Press, 2011), hal 243.
2
. Maqamat (tingkatan-tingkatan religi) dalam perspektif kaum Suf.
3
. Margiono, Akidah Akhlak Kelas 11 MA ,Bogor , Yudhistira, 2011, Hal.92.

3


4

Setelah selesai dari zuhud, calon sufi memasuki tahapan wara’ atau wira’i.
Secara harfiah, al-wara’ artinya shalih, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam
pengertian sufi wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat
keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).[4]
Meski sebenarnya kami (penyusun makalah) lebih meyakini bahwa zuhud itu
lebih tinggi daripada wara’, sebagaimana perkataan Ibnul Qoyim menyebutkan
definisi zuhud dan wara’ yang pernah beliau dengar dari gurunya, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah –rahimahumallah[ 5]-, Ibnul Qoyim mengatakan; “Saya
mendengar Syaikhul Islam – semoga Allah mensucikan ruhnya – pernah
mengatakan,“Zuhud adalah meninggalkansesuatu yang tidak bermanfaat untuk
kehidupan akhirat.” Dan “Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang
dikhawatirkan membahayakan bagi kehidupan di akhirat.”Kemudian Ibnul
Qoyim menegaskan,Ungkapan ini adalah definisi terbaik dan paling mewakili
untuk kata zuhud dan wara’. (Madarij as-Salikin, 2/10)[6].
Berdasarkan pengertian di atas, zuhud lebih tinggi derajatnya dibandingkan
wara’.Karena zuhud pasti wara’ dan tidak sebaliknya seperti wara’ yang hanya
meninggalkan sesuatu yang sifatnya jika dikhawatirkan atau ragu-ragu saja,

apabila

tidak

khawatirkan

maka

orang

tersebut

belum

tentu

mau

meninggalkannya.
c. Tawakkal

Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan
washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia, agar tidak terikat
dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah SWT.
Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda
dengan
4
5

suf.
6

konsep

agama.

Tawakkal

menurut

para


sufi

bersifat

. Ibid.
. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayim bukanlah tokoh

. Ammi Nur Baits, Apa itu Zuhud? Dan Bagaimana Cara agar
Zuhud?,https://konsultasisyariah.com/23514-apa-itu-zuhud-dan-bagaimanacara-agar-zuhud.html ,Sep 25, 2014.

5

fatalis/majburyakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan
kehendak Allah SWT.[7]
Mari kita renungkan kemuliaan besar sifat tawakkal ini yang terungkap
dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (zikir): Bismillahi
tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama
Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan

kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya:
“(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan
(dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga
setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada
temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang
telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?”.( HR Abu
Dawud (no. 5095) dan at-Tirmidzi (no. 3426), dishahihkan oleh at-Tirmidzi
dan al-Albani).
Arti dari itu semua ialah diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan lurus,
diberi kecukupan dalam semua urusan dunia dan akhirat, serta dijaga dan
dilindungi dari segala keburukan dan kejelekan, dari setan atau yang lainnya.
(Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 235).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah termasuk
sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan,
kezhaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya
sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal
kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah
Ta’ala maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa
mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu
yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan

dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak
akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan yang
7

. Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur, Bahan Ajar Akhlak, Mojokerto : CV.
Sinar Mulia, 2012, hal 104.

6

secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan
kebaikan

baginya

(untuk

menghapuskan

dosa-dosanya)


dan

untuk

menundukkan nafsunya, dan gangguan (dari musuh-musuhnya) yang
dihilangkan darinya”.(Lihat Kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/464-465).
d. Ridha (Kerelaan)
Ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang
terhadap apapun keputusan Allah SWT kepada seorang hamba , meskipun hal
tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap rida merupakan buah dari
kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya. Imam Gazali
mengatakan bahwa hakikat rida adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan
sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami seluruh
aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka
mencari keridaan Allah Subhanahu Watala.[8]Sebagaimana hadits ‘Abbas bin
‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah
shallallahu

‘alaihi


wa

sallam

bersabda,

“Akan

merasakan

kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya
dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasul-Nya”
(Hr.Muslim (no. 34)).
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada
Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan
pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang.(Lihat kitab “Syarh
shahih Muslim” (2/2) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/311)).
Imam an-Nawawi[9] – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika
menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak
menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan

agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai
dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya
kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan
8
9

. Ibid, hal 105.
. Beliau rahimahullah juga bukan tokoh suf.

7

kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”.(“Syarh shahih
Muslim” (2/2)).
Disini akan sedikit kami simpulkan yang semoga bisa kita fahami letak
perbedaannya bahwa Zuhud adalah meninggakan dunia dan kehidupan materi
demi akhirat, sedangkan wira’i ialah meninggalkan segala yang di dalamnya
terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Tawakkal lebih
mengarah pada berserah diri, dan ridha ialah sikap menerima dengan lapang dada
dan senang terhadap apapun keputusan Allah ázza wajal.
C. Pendapat-pendapat Maqamat Para Sufi
Berikut beberapa pendapat tentang jalan atau cara yang dilalui para tokoh sufi :
1. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi
a)

Tobat

b)

Zuhud

c)

Sabar

d)

Kefakiran

e)

Kerendahan hati

f)

Tawakkal

g)

Kerelaan

2. Abu Nashar al-Sarraj al-Thusi
a)

Tobat

b)

Wara’

c)

Zuhud

d)

Kefakiran

e)

Sabar

f)

Tawakkal

g)

Kerelaan

8

3. Al-Ghazali
a)

Tobat

b)

Sabar

c)

Kefakiran

d)

Zuhud

e)

Tawakkal

f)

Mahabbah

g)

Makrifat

h)

Kerelaan

4. Al-Kalabadzi
a)

Tobat

b)

Zuhud

c)

Sabar

d)

Kefakiran

e)

Rendah hati

f)

Tawakkal

g)

Kerelaan

h)

Mahabbah

i)

Makrifat

5. Abd al-Qasim al-Qusyairi al-Naisaburi
a)

Tobat

b)

Wara’

c)

Zuhud

d)

Tawakkal

e)

Sabar

9

f)

10

Rida.[10]

. Margiono, Akidah Akhlak Kelas 11 MA...,Hal. 94