BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi - Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Saturasi Oksigen Pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
PPOK merupakan penyebab ke-4 kesakitan dan kematian di Amerika Serikat dan diperkirakan urutan kelima beban penyakit di seluruh dunia tahun 2020, setelah
6 penyakit jantung iskemik, depresi, kecelakaan dan penyakit serebrovaskuler.
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada tahun 1997 penderita PPOK yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95%. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK rawat inap
7 sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).
PPOK merupakan gangguan heterogen ditandai dengan disfungsi pada saluran napas kecil dan besar dan dengan kerusakan parenkim dan pembuluh darah, dalam
8 kombinasi yang sangat bervariasi.
Hipoksemia dapat terjadi saat latihan pada pasien PPOK. Hal ini disebabkan
oleh hipoventilasi alveolar, keterbatasan difusi, shunt, ketidakcocokan ventilasi-perfusi, tekanan parsial oksigen darah vena yang rendah dan cardiac output yang rendah.
Hipoksemia yang diinduksi oleh latihan akan meningkatkan tekanan arteri pulmonalis saat beraktifitas dan dapat berkontribusi pada penurunan toleransi latihan pada beberapa
9 pasien.
Latihan fisik pada PPOK dibatasi oleh berbagai faktor yaitu ventilasi alveolar, kelemahan otot inspirasi, sesak napas, deconditioning, asidosis respiratorik, gagal
10,11
jantung dan disfungsi otot. Pasien PPOK berat lebih rentan terhadap hipoksemia selama kegiatan olahraga dan rutin. Hipoksemia yang terjadi saat latihan dapat
12 mengurangi toleransi latihan sehingga mengurangi manfaat rehabilitasi.
4 Pasien PPOK mengalami penurunan toleransi terhadap latihan. Pengukuran pertukaran gas selama latihan digunakan terhadap pasien dengan gangguan pernapasan.
Perubahan oksigen dalam darah selama latihan dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit paru, menilai derajat beratnya penyakit dan respon terhadap terapi. Beberapa cara dilakukan untuk menilai saturasi oksigen. Selain pulse oksimetri yang dalam hal ini merupakan tindakan yang non invasif juga dapat dilakukan secara invasif yaitu pengambilan darah secara langsung dari arteri. Pengambilan darah ini tidak selamanya
5 berhasil terutama pada pasien dengan arteri radial yang kecil.
Pulseoksimetri digunakan pada pasien PPOK stabil derajat berat (VEP1 < 50% prediksi), pasien dengan eksaserbasi juga pemeriksaan pasien di rumah untuk menilai
13 penanganan yang telah diberikan oleh dokter.
Penelitian Razi dkk.( tahun 2003) di Iran bertujuan mencari hubungan antara pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oksimetri dan analisa gas darah pada pasien yang hipoksemik dan non hipoksemik. Hasilnya dari 152 pasien penyakit paru baik yang hipoksemik atau yang non hipoksemik, didapati bahwa pulse oksimetri memiliki akurasi yang tinggi dalam menilai saturasi oksigen pada SpO
2
≥ 80% dan dapat
3 menggantikan analisa gas darah. Schenkel dkk. (tahun 1996) dalam penelitiannya ingin membandingkan saturasi oksigen pasien PPOK derajat sedang sampai berat dalam aktifitas sehari-hari. Dengan mengikutsertakan 30 pasien PPOK yang sedang menjalani rehabilitasi paru maka dijumpai penurunan saturasi paling tinggi saat berjalan diikuti dengan saat mencuci,
14 makan dan saat istirahat.
Penting untuk diketahui bahwa pulse oksimetri merupakan pelengkap dalam penilaian pasien PPOK. Spirometri tetap menjadi baku emas dalam diagnosis dan
13 penderajatan PPOK.
2.2 Definisi
Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurut GOLD (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun disertai perubahan struktural pada jaringan paru dan saluran nafas, didapatkan pula efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat
6
berat penyakit. Berdasarkan GOLD 2010 derajat PPOK dibagi atas: a.
Derajat I (Ringan) VEP1≥ 80% b.
Derajat II (Sedang) 50 ≤ VEP1 < 80% c. Derajat III (Berat) 30 ≤ VEP1 < 50% d.
Derajat IV (Sangat Berat) VEP1 < 30% atau VEP1 <50% prediksi disertai gagal napas kronik.
2.3. Faktor Risiko 2.3.1. Asap rokok.
15 Sekitar 15-44% dari perokok berkembang menjadi PPOK. Menurut WHO
(World Health Organization), 100 juta kematian disebabkan rokok pada abad 20 dan mencapai hingga 1 milyar pada abad 21. Jumlah perokok mencapai 1 milyar di seluruh dunia dan secara umum penggunaan produk tembakau ini meningkat terutama pada negara berkembang. Lebih dari 80% dari jumlah perokok di seluruh dunia berada di negara- negara miskin dan berkembang. Diperkirakan rokok membunuh 5,4 juta orang pertahun dan sekitar 10% adalah orang dewasa. PPOK merupakan penyebab terbesar angka kesakitan dan kematian di berbagai negara dengan merokok sebagai faktor risiko yang berperan penting. WHO memperkirakan 80 juta orang di seluruh dunia adalah penderita PPOK sedang sampai berat. Perokok pasif juga berkontribusi berkembangnya
16 PPOK melalui inhalasi partikel dan berbagai gas yang dikeluarkan asap rokok.
Perokok tembakau merupakan penyebab penting PPOK seperti beberapa dokter menyebutnya paru- paru perokok yang memberikan pesan yang jelas mengenai penyebab penyakit dan pentingnya menghentikan kebiasaan merokok. Usia mulai merokok, dalamnya isapan dan total jumlah batang rokok yang diisap menjadi faktor
15,16 yang penting.
2.3.2. Polusi.
Polusi di dalam ruangan biasanya berasal dari bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan ruangan yang panas dengan ventilasinya buruk, sehingga dapat menyebabkan keterbatasan aliran udara. Polusi udara dalam ruangan terjadi dari pembakaran bahan bakar minyak atau kompor dimana hal ini adalah faktor penting dalam berkembangnya PPOK, terutama pada wanita di negara berkembang yang menggunakan api untuk memasak dengan ventilasi yang sangat minim untuk
18
mengeluarkan asap yang dihasilkan. Polusi udara di luar ruangan menambah beban partikel udara yang dihirup, walaupun kadarnya tidak diketahui. Hal ini meliputi partikel dan gas. Partikel ini terbentuk dari pembakaran yang tidak sempurna seperti minyak solar/diesel, abu, dan debu. Komponen utama gas adalah seperti belerang, nitrogen, karbon yang terionisasi dan juga pembakaran minyak yang berasal dari fosil,
17
hidrokarbon dan ozon. Polusi udara di luar ruangan merupakan gabungan ratusan zat polutan yang berasal dari industri, jalan raya, pembakaran sampah dan sumber-sumber lain. Berbeda dengan risiko lain, paparan polusi udara di luar ruangan terjadi selama rentang hidup. Bukti kuat menunjukkan bahwa paparan polusi udara luar ruangan
19
berkorelasi dengan eksaserbasi akut PPOK. Di negara berkembang seperti India 30- 50% bukan perokok menderita PPOK. Hal ini disebabkan penggunaan bahan bakar biomass seperti kayu yang mengeluarkan zat polutan seperti SO
2 , CO, NO 2 ,
18 formaldehid yang menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
2.3.3. Pekerjaan
Pekerjaan dengan lingkungan kerja yang kotor oleh karena polusi berupa gas dan partikel meningkatkan risiko PPOK. Pekerjaan lain yang berisiko misalnya pada penambang batubara, pekerja besi, pemanen gandum, pemanen kapas dan pekerja
17
pabrik kertas. Banyaknya pekerjaan yang berhubungan dengan debu berhubungan dengan bronkitis kronis dan berbagai penyakit saluran napas obstruktif berhubungan dengan lingkungan kerja misalnya bisinosis pada pekerja kapas, asma pada penyemprot cat, penyakit saluran napas obstruktif pada petani. Di Amerika faktor pekerjaan
19,20 berperan 15% menjadi risiko berkembangnya COPD.
2.3.4. Infeksi.
Peran infeksi virus pada saluran napas atas dan bawah dalam patogenesis PPOK masih belum jelas. Infeksi saluran pernapasan pada masa kanak-kanak juga berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan meningkatkan masalah pernapasan pada saat dewasa yang mana dapat menyebabkan PPOK. Saat PPOK ditegakkan kejadian eksaserbasi berulang oleh bakteri maupun virus sering dijumpai dan berperan dalam obstruksi jalan napas hingga menyebabkan penurunan fungsi paru. Penelitian Levent Erkan dkk di Turki (2002) meneliti kultur sputum penderita PPOK eksaserbasi hasilnya 46% disebabkan oleh infeksi bakteri tipikal dan 26% oleh bakteri atipikal dan
21 penyebab yang paling banyak adalah Haemophilus influenzae (30%).
2.3.5. Faktor genetik.
Hal ini jarang didapati. Faktor genetik yang paling sering disebutkan dalam literatur adalah defisiensi dari alpha- 1 antitripsin yang merupakan inhibitor dari serine protease yang terbanyak beredar dalam sirkulasi. Hal ini terutama dapat dilihat pada
1 7 emfisema panasinar yang secara umum menyerang paru bagian bawah.
Defisiensi genetik dari alpha 1 antitripsin berhubungan dengan emfisema pada usia muda. Hal ini menyumbang sedikitnya 1% dari semua kasus PPOK namun untuk
20 protease lain yang tidak teridentifikasi ini mungkin penting.
2.3.6. Jenis kelamin
Sering dinyatakan bahwa PPOK umumnya pada pria. Saat merokok dan paparan kerja diperhitungkan, risiko relatif berkembangnya PPOK pada pria lebih tinggi
17
dibanding pada wanita menjadi tidak signifikan. Jenis kelamin juga menjadi faktor risiko PPOK karena ada interaksi antara jenis kelamin dengan berbagai faktor risiko PPOK. Silverman dkk menemukan wanita memiliki prevalensi lebih tinggi (74%) pada
84 studi yang mengikutsertakan PPOK berat. Perempuan perokok juga dua kali lebih mudah terjadinya obstruksi saluran napas dan 3,5 kali lebih mudah mengalami obstruksi
15 berat dibandingkan laki-laki perokok.
2.3.7. Status sosio-ekonomi.
Pada penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 1950 dan 1960, ditemukan PPOK dengan prevalensi tinggi pada sosioekonomi rendah. Prevalensi tinggi juga dijumpai pada mereka yang merokok dengan tingkat sosioekonomi rendah, dan mereka lebih cenderung untuk dipekerjakan di lapangan pekerjaan di mana mereka mungkin berisiko mendapat paparan di tempat kerja. Kondisi perumahan yang sangat miskin dan penggunaan bahan bakar fosil untuk pemanasan tanpa ventilasi yang memadai mungkin
17 juga merupakan faktor penyebab yang penting.
Meskipun banyak faktor yang dapat menyebabkan PPOK yang paling signifikan adalah merokok. Pajanan asap rokok menyebabkan proses inflamasi yang mempengaruhi sedikit banyak jalan napas dan juga mempengaruhi mekanisme
17, 20 pertahanan tubuh.
2.4 Patofisiologi PPOK
Berbagai kelainan fungsi paru terjadi pada PPOK namun penurunan yang terus
22
menerus aliran ekpirasi paksa maksimal merupakan gambaran fisiologis. Sebagai konsekuensi patologis, peradangan pada PPOK menginduksi serangkaian perubahan fisiologis yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dan kelangsungan hidup pasien PPOK. Pertama proteolisis elastin mengakibatkan penurunan elastisitas paru, sedangkan integritas dan pergerakan udara di bronkiolus terutama bergantung pada
elastic recoil yang disebabkan oleh jaringan elastis di sekitarnya. Kerusakan elastin
menyebabkan penyempitan saluran napas yang signifikan dengan penurunan aliran udara di bronkiolus dan air trapping di paru-paru. Kedua, remodeling dari jaringan yang mengalami fibrosis yang menghasilkan saluran napas menyempit hingga menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas yang tidak sepenuhnya kembali bahkan dengan pemberian bronkodilator. Ketiga, apoptosis dari sel alveolar dan sel-sel epitel bronkiolar dan pembuluh kapiler paru dan apoptosis kapiler paru pada gambaran histologis seperti emfisema dan gambaran fisiologis seperti penurunan luas permukaan alveoli untuk pertukaran gas dan ventilasi-sirkulasi mismatch (V/Q). Emfisema juga mengurangi tekanan elastisitas paru-paru yang menyebabkan berkurangnya aliran
18 ekspirasi melalui saluran udara yang menyempit.
Obstruksi jalan napas tetap menjadi tanda utama dalam mendiagnosis PPOK dan derajat keparahannya sesuai dengan gambaran intensitas peradangan saluran napas kecil (edema mukosa, remodeling saluran napas dan fibrosis impaksi mukosa) dan mungkin meningkatkan efek kolinergik otot polos saluran napas. Sejalan dengan obstruksi saluran napas dan resistensi saluran napas yang meningkat dijumpai aliran udara berkurang selama ekspirasi. Gambaran fisiologis PPOK biasanya terdeteksi dengan menggunakan spirometri yaitu menggunakan rasio volume udara dalam detik pertama (VEP1) dan volume total udara (KVP) selama ekspirasi kuat setelah inhalasi maksimal nilainya kurang dari 0,7 (VEP1/KVP <0,7). Penurunan VEP1 adalah ciri obstruksi jalan napas, dan pada pasien PPOK biasanya dijumpai penurunan progresif 50-60 ml nilai
23 VEP1 setiap tahun dibandingkan 20-30 ml pada orang dewasa normal.
2.4.1. Keterbatasan aliran udara dan hiperinflasi
Keterbatasan jalur ekspirasi adalah prinsip efek fisiologis dari PPOK. Faktor ekstrinsik jalan napas berhubungan dengan inflamasi dari dinding bronkial/ fibrosis dan peningkatan sekresi mukosa. Faktor ekstrinsik melibatkan hilangnya elastisitas jaringan pada saluran udara kecil dan tekanan ekspirasi yang dinamis dari saluran napas. Faktor lain seperti disfungsi otot pernapasan dapat memperberat keterbatasan aliran udara pada beberapa pasien. Hiperinflasi terjadi oleh karena peningkatan dari kapasitas residu fungsional (FRC) dimana sejumlah udara tertahan di dalam paru pada saat ekspirasi tidal. Hal ini menyebabkan terperangkapnya udara dan peningkatan volum residu (VR). Sebagai konsekuensinya dijumpainya peningkatan kerja napas (work of breathing) saat inspirasi, dimana hal ini menjadi faktor penting terjadinya sesak napas. Sama seperti saat ekspirasi yang bertujuan untuk mengosongkan paru, waktu untuk ini dapat berkurang oleh peningkatan respirasi seperti saat latihan. Hasilnya adalah peningkatan kapasitas residu fungsional (KRF). Fenomena ini disebut hiperinflasi dinamik yang
24 bertanggungjawab terhadap keterbatasan aktifitas pada PPOK.
Dispnea merupakan hasil perubahan dinamis paru-paru, yang menjadi karakteristik dari PPOK. Adanya keterbatasan aliran ekspirasi didefinisikan sebagai aliran udara ekspirasi maksimal dicapai selama bernapas dengan volume tidal- meningkatkan hiperinflasi paru dinamis atau air trapping. Seiring waktu, peningkatan hiperinflasi dinamis dan penurunan kapasitas inspirasi, menyebabkan dispnea dan keterbatasan latihan. Luasnya hiperinflasi dinamis berkorelasi dengan penurunan kapasitas inspirasi. Selama latihan, volume tidal harus ditingkatkan untuk mengimbangi kebutuhan metabolik, namun, pada PPOK, hiperinflasi dinamis membatasi peningkatan volume tidal (atau ruang untuk bernapas), sehingga menimbulkan dispnea pada beban kerja rendah dan akibatnya membatasi toleransi terhadap latihan fisik. Pada individu sehat selama latihan fisik volume paru pada akhir ekspirasi menurun sedikit, dan bernapas menggunakan sebagian dari volume cadangan ekspirasi. Peningkatan volume cadangan inspirasi paru-paru, menggunakan sebagian dari kapasitas cadangan inspirasi, dan volume tidal juga meningkat secara substansial. Pada pasien dengan PPOK, pengosongan paru-paru terhambat oleh peningkatan resistensi jalan napas dan penurunan elastisitas paru hingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengosongkan paru. Selama latihan, waktu untuk mengosongkan paru-paru berkurang sejalan dengan frekuensi pernapasan meningkat, sehingga pengosongan paru-paru tidak lengkap. Pada orang sehat, kapasitas inspirasi meningkat selama latihan. Namun pada pasien PPOK saat latihan berlangsung, secara progresif kapasitas inspirasi semakin berkurang sebagai peningkatan volume cadangan ekspirasi terhadap kapasitas paru
8
total. Respon volume paru terhadap latihan pada PPOK dan orang sehat dijabarkan dalam gambar 1.
25 Gambar 1. Respon volume paru terhadap latihan pada PPOK dan orang sehat.
2.4.2. Gangguan Pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas disebabkan oleh ketidakcocokan dari ventilasi dan perfusi. Proses ini menyebabkan hipoksemia namun bila penyakit berlanjut dapat menimbulkan hiperkapnia dan asidosis respiratorik kronik. Adapun faktor lain yang berkontribusi terhadap gangguan pertukaran gas pada kasus PPOK pada tingkat lanjut adalah hipertensi pulmonal dan gagal jantung. Dimana hal ini dapat mengakibatkan
26 berkurangnya percampuran oksigenasi darah vena.
2.4.3. Disfungsi otot ventilasi
Sejumlah faktor berkontribusi untuk disfungsi otot ventilasi pada PPOK yang menjadi faktor utama akibat dari hiperinflasi. Faktor utama adalah konsekuensi dari hiperinflasi yang membatasi kekuatan dan daya tahan otot, dan menempatkan otot-otot inspirasi pada kerugian mekanis. Faktor lainnya termasuk perubahan gizi, respons inflamasi berkelanjutan yang mempengaruhi bagian yang berkontraksi, hipoksia jaringan, dan kehilangan massa otot. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi otot rangka
24 lainnya, yang selanjutnya dapat berkontribusi untuk pembatasan latihan.
2.4.4. Gangguan kardiovaskular
Gangguan kardiovaskular umumnya terjadi pada PPOK, hal ini merupakan komplikasi penyakit ini yang dipicu oleh faktor yang sama yaitu merokok. Peradangan
24
paru secara langsung mempengaruhi aterogenesis melalui inflamasi sistemik. Seluruh perubahan yang terjadi di dalam paru yang berperan dalam patofisiologi PPOK terdapat
18
dalam Gbr.2
Berkurangnya elastisitas Penurunan paru terhadap tekanan elastisitas jaringan dinding dada hingga meningkatkan kapasitas
Hiperinfla Penyempitan jalan napas mengakibatkan keterbatasan aliran udara
Sel alveolar mengalami apoptosis menyebabkan berkurangnya k dif i
Perubahan di dalam paru yang berperan dalam patofisiologi PPOK
18 Gambar 2. Perubahan di dalam paru yang berperan dalam patofisiologi PPOK.
2.5. Latihan fisik pada PPOK
Latihan fisik merupakan salah satu bagian dari rehabilitasi paru dimana banyak hal bermanfaat yang didapat. Pada orang normal keuntungan yang didapat dapat diukur dari biokimia otot dan transportasi oksigen. Beberapa pasien PPOK sangat terganggu dalam beraktifitas. Hal ini terjadi oleh karena disfungsi mekanik dari paru sehingga pasien tidak mampu melakukan pelatihan tingkat aerobik. Ini disebabkan adanya disfungsi mekanika paru, otot ventilasi yang lemah, menurunnya peregangan diafragma, resistensi saluran napas meningkat, pertukaran gas yang tidak memadai, kelemahan otot, asidosis laktat, daya tahan yang buruk, status gizi tidak memadai, fungsi jantung terganggu, dan dispnea. Semua ini membuat pasien cacat dan bergantung pada orang lain. Program latihan dapat mengurangi keterbatasan ini. Bahkan, program latihan memberikan dampak yang lebih besar atas pasien dibandingkan orang sehat karena
27 pasien dapat dilatih secara maksimal.
Pasien PPOK mengurangi aktivitas fisik harian mereka untuk menghindari ketidaknyamanan pernapasan. Hal ini menyebabkan atrofi otot rangka dengan penurunan fungsionalnya. Mekanisme terjadinya sesak napas dan intoleransi terhadap latihan melibatkan banyak hal. Intoleransi terhadap latihan terjadi akibat pembatasan ventilasi sebagai efek dari resistensi saluran napas yang meningkat, namun mekanisme lainnya dianggap berperan, termasuk: a) pengurangan kegiatan sehari-hari yang menyebabkan deconditioning otot b) gangguan pertukaran gas, hipoksemia arteri sistemik dan aliran O
2 tidak memadai pada akhirnya mengakibatkan oksigenasi tidak
cukup di jaringan, c) metabolisme yang buruk akibat dari gizi buruk dan sebagai akibat
28 deplesi energi fosfat dalam otot rangka.
Peran hipoksemia dan disfungsi otot rangka sangat tinggi dalam membatasi toleransi latihan pada PPOK. Hipoksemia berhubungan dengan penurunan pengiriman O
2 dari darah ke otot. Dalam beberapa kasus hipoksemia memburuk selama latihan oleh
karena pengurangan lebih lanjut dari ketersediaan O
2 di otot kapiler. Hal ini
menyebabkan difusi O
2 dalam otot terganggu. Dengan demikian, hipoksemia
mempengaruhi ketersediaan O
2 untuk otot yang berpengaruh pada pengiriman dan
difusi O . Pada PPOK kondisi hipoksemia kronis berpengaruh terhadap otot sehingga
2
otot menjadi kurang aktif. Pengurangan dalam jumlah kapiler akan menurunkan konduktansi O
2 dengan mengurangi pertukaran dan atau dengan meningkatkan waktu
transit sel darah merah dalam serat otot. Cardiac output dan aliran darah otot mungkin akan terpengaruh karena deconditioning. Perekrutan kapiler otot mungkin tidak memadai dan kepadatan kapiler dapat menjadi dibatasi. Luas permukaan rendah yang tersedia untuk difusi O
2 dan perfusi, metabolisme heterogenitas lebih lanjut dapat
28 mengganggu otot.
2.5.1. Jenis latihan fisik
Kekuatan otot dan daya tahan meningkat pada otot yang dilatih. Dengan demikian, baik tungkai atas dan tungkai bawah dianjurkan untuk dilatih. Pelatihan tungkai bawah meliputi treadmill, cycle ergometri dan berjalan di koridor (corridor
walking) . Berbagai penelitian telah melaporkan peningkatan puncak kapasitas latihan,
jarak berjalan dan daya tahan. Banyak pasien PPOK memiliki kesulitan dalam melakukan kegiatan yang melibatkan penggunaan tungkai atas. Pelatihan tungkai atas meliputi ergometri, melempar dan angkat beban. Sama seperti latihan otot tungkai bawah, ketahanan dan kekuatan otot juga meningkat dengan latihan otot tungkai
28,29 atas.
2.5.2. Intensitas dan durasi latihan Latihan dengan intensitas tinggi meningkatkan 90-100% kapasitas maksimal.
Skala Borg lebih dari 4-6 atau munculnya laktat darah mungkin dapat diambil sebagai indikator intensitas latihan. Latihan dengan intensitas tinggi dalam jangka pendek akan meningkatkan kekuatan otot, sedangkan latihan dengan intensitas rendah dalam jangka waktu lama akan meningkatkan daya tahan. Latihan intensitas sedang dapat mencapai 60-80% dari kapasitas maksimal. Program pelatihan dengan durasi yang lebih lama menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan durasi pendek. Sesi pelatihan rawat jalan setidaknya tiga sesi per minggu Program latihan sebaiknya diikuti minimum
29 6-7 minggu. Pelatihan dengan waktu kurang dari 6 minggu kurang bermanfaat.
2.5.3 Pemeliharaan latihan Manfaat program latihan setelah berhenti akan berkurang seiring dengan waktu.
Berbagai program perawatan telah dipelajari dengan hasil variabel. Foglio dkk telah mempelajari efek dari program rehabilitasi paru yang diadakan setiap tahun. Mereka menemukan manfaat dengan program delapan minggu. Studi lainnya telah menemukan efek sederhana pemeliharaan program pada hasil jangka panjang. Penelitian lebih lanjut
30 diperlukan untuk menentukan durasi, jenis dan intensitas program pemeliharaan.
Pasien dengan PPOK berat yang diindikasikan untuk pemeriksaan spirometri, biasanya menunjukkan desaturasi oksigen selama beraktifitas. Hal ini merupakan hasil dari rendahnya tekanan oksigen darah vena diikuti dengan rendahnya ventilasi perfusi dan hipoventilasi. Pada pasien PPOK derajat ringan pasien mungkin mengalami dispnea saat beraktivitas berat dan akan menurun seiring dengan usia. Pada pasien derajat sedang dan berat umumnya mengalami kesulitan melakukan tugas sehari-hari, rekreasi olahraga, hobi, dan perawatan diri. Dispnea, kelelahan kaki, dan ketidaknyamanan adalah gejala utama yang membatasi latihan, dan pasien biasanya membatasi kegiatan mereka untuk menghindari ketidaknyamanan. Ketidakmampuan beraktifitaspun berlanjut hingga meningkatkan suatu upaya pernapasan sesuai dengan beban yang diberikan. Akhirnya, pasien menjadi semakin terisolasi dan memilih tinggal di rumah, yang dapat berkembang menjadi depresi dan merasa kecemasan. Beberapa faktor berkontribusi untuk intoleransi terhadap latihan pasien PPOK. Yang penting, adalah sedapat mungkin meningkatkan toleransi latihan dari pasien PPOK, disamping penurunan fungsi paru yang permanen. Optimalisasi terapi medis, penggunaan strategi pernapasan seperti pursed-lips breathing dan terapi oksigen, manajemen cemas,
29.30 pernapasan dalam dan lambat, dan intervensi gizi sangatlah bermanfaat. Program latihan telah terbukti secara meyakinkan dapat meningkatkan toleransi latihan pada pasien PPOK melebihi keuntungan yang didapat dengan mengoptimalkan terapi medis. Harus dicatat bahwa banyak uji klinis menunjukkan manfaat dari latihan telah dilakukan dalam konteks program rehabilitasi paru (PR) yang komprehensif.
Intoleransi terhadap latihan umumnya terjadi pada pasien PPOK dan dibutuhkan kesesuaian dalam kegiatan sehari-hari yang akhirnya berhubungan dengan kualitas
30 hidup.
2.6. Prinsip Latihan
Kelebihan beban (overloading). Untuk mencapai efek pelatihan perlu untuk mengekspos seseorang dengan beban berlebih, yaitu melalui stres yang lebih besar daripada yang biasanya. Kelebihan beban ini dimodulasi oleh durasi, intensitas dan
31 frekuensi latihan fisik.
Pemberian beban berlebih secara progresif. Intensitas beban yang dibutuhkan untuk menghasilkan dan meningkatkan efek kinerja latihan ditingkatkan dalam pelatihan. Oleh karena itu, sebagai adaptasi terhadap beban yang diberikan, intensitas
32 pelatihan harus terus ditingkatkan untuk mencapai perbaikan lebih lanjut.
Spesifisitas dari beban. Merupakan adaptasi fisiologis khusus untuk jenis latihan (yaitu daya tahan atau resistance training) terhadap kelompok otot yang dilatih
32 (ekstremitas atas atau bawah) dan modus latihan (latihan terus menerus atau interval).
De-Conditioning . Adaptasi fisiologis terbentuk oleh program pelatihan.
Kebanyakan PPOK didasarkan pada daya tahan yang melibatkan latihan tubuh bagian bawah baik di atas treadmill atau sepeda ergometer stasioner. Pelatihan ketahanan umumnya dilaksanakan secara simultan karena keterbatasan otot utama kardiorespirasi dan perifer dari pasien yang biasanya menyebabkan pernapasan tertahankan dan ketidaknyamanan kaki. Dengan demikian, telah ditunjukkan bahwat latihan yang dinamis akan mengurangi dipsnea secara signifikan setelah periode 8 hingga 10 minggu latihan pada latihan dengan beban yang sedang (60-70% puncak kapasitas) sedangkan respon kinetik dari pengambilan oksigen dan denyut jantung untuk beban konstan
31
latihan bertambah, sehingga fungsi kardiovaskular akan meningkat. Tes 6 menit berjalan umumnya digunakan untuk menilai kapasitas latihan pada pasien jantung dan paru sedang sampai berat. Meskipun pengukuran pertama pada tes ini adalah jarak jalan, namun saturasi oksigen selama tes penting juga diukur. Penelitian terbaru menunjukkan penurunan saturasi oksigen selama tes pada pasien PPOK dan fibrosis paru idiopatik dapat memperkirakan angka kematian. Deteksi akurat dari penurunan saturasi mungkin
33 penting dalam penilaian prognosis dan petunjuk terapi.
2.7. Pursed lip breathing
Pursed lip breathing (PLB) adalah teknik dimana ekshalasi udara dilakukan
melalui penyempitan bibir. Meskipun manuver pernapasan sering secara spontan diadopsi oleh pasien PPOK, hal ini juga secara rutin diajarkan sebagai latihan bernapas dalam program rehabilitasi paru dan dipercaya dapat mengurangi dispnea. Tampaknya
34 tidak semua pasien PPOK mendapat manfaat dari teknik ini.
PLB bertujuan untuk meningkatkan ekspirasi dengan cara memperpanjang waktu ekspirasi secara aktif melalui bibir setengah terbuka untuk mencegah kolapsnya jalan napas. Pasien menghirup udara melalui hidung selama beberapa detik dengan mulut tertutup dan kemudian buang napas perlahan selama 4 detik. Dibandingkan dengan pernapasan spontan PLB dapat mengurangi laju napas, dispnea dan PaCO
2 ,
meningkatkan volum tidal dan saturasi oksigen saat istirahat. Namun aplikasi PLB saat treadmill tidak menunjukkan peningkatan gas darah. Beberapa pasien PPOK menggunakan teknik secara naluriah, sementara pasien lain tidak. Perubahan ventilasi semenit dan pertukaran gas tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada pasien yang secara klinis sesaknya berkurang. Beberapa pasien mendapat keuntungan melalui peningkatan volum tidal, penurunan frekuensi napas, ventilasi semenit dan tekanan parsial karbon dioksida dalam darah arteri (PaCO
2 ). Di sisi lain beberapa laporan
menunjukkan manfaat penurunan elastic recoil. PLB juga dicatat dapat meningkatkan tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (PaO
2 ) dan persentase hemoglobin yang
berikatan dengan oksigen dalam darah arteri (SaO
2 ). Perubahan konsumsi oksigen
(VO ) kurang konsisten. PLB dilaporkan dapat mengurangi dispnea dan karenanya
2
dapat meningkatkan toleransi latihan serta mengurangi keterbatasan dalam aktivitas
34 sehari-hari.
2.8. Pulse oksimetri
Pulse oksimetri adalah suatu metode noninvasif untuk mengukur persentase hemoglobin yang berikatan dengan oksigen di dalam darah. Dalam beberapa tahun terakhir pulse oksimetri telah mengalami kemajuan teknologi yang pesat. Karena ukurannya kecil dan harga yang terjangkau, pulse oksimetri telah banyak digunakan di tempat pelayanan kesehatan yang mencakup perawatan intensif, ruang rehabilitasi, dan monitoring pasien anestesia. Data yang ada telah melaporkan bahwa pulse oksimetri dapat digunakan pada pasien dengan insufisiensi pernapasan akut (termasuk serangan
35 asma akut) dan follow up gangguan pernapasan kronik.
Kebanyakan transport oksigen oleh sel darah merah melalui ikatan dengan
hemoglobin dan derajat ikatan ini disebut saturasi yaitu menunjukkan persentase
hemoglobin yang terisi dengan oksigen. Pulse oksimeter bekerja dengan cara
mendeteksi dan mengkalkulasi absorpsi cahaya yang masuk untuk menghasilkan pengukuran yaitu SpO 2 dimana memberikan gambaran saturasi oksigen darah arteri
35 (SaO 2 ).
Pulse oksimetri mendeteksi transmisi cahaya menggunakan dua gelombang yang disesuaikan untuk deoksigenasi dan oksigenasi hemoglobin. Sinyal ini berbeda dalam menyerap cahaya antara gelombang sistolik dan diastolik, perbedaannya 1–10% dari total cahaya yang diabsorpsi. Karboksihemoglobin dan methemoglobin mengabsorpsi cahaya pada gelombang yang sama seperti deoksihemoglobin, maka persentase HbO
2
menjadi overestimasi oleh kehadiran HbCO. Kelemahan pulse oksimeter yaitu tidak sensitif pada hipoksemia tingkat rendah yaitu saat Pa,O2 berkisar 13.3 turun menjadi 10 kPa perubahan HbO
2 hanya 3% (97.5 sampai 94.5%) sesuai bentuk kurva disosiasi
oksihemoglobin. Keunggulan pulse oksimetri adalah kemampuannya dalam mengikuti perubahan dari istirahat ke latihan, dari udara luar ke pernapasan, dan monitoring
35,36 oksigen pada malam hari.
Penggunaan pulse oksimetri di laboratorium dan di rumah dapat menilai terapi oksigen di rumah, monitoring saat latihan, monitoring di rumah (pasien sendiri)
36 sepanjang hari.
Penelitian Razi dkk menunjukkan pemeriksaan spirometri pada beberapa penyakit paru dengan SpO
2 lebih dari 80% memiliki akurasi yang tinggi dan dapat
digunakan sebagai pengganti AGDA. Pada pasien dengan saturasi oksigen kurang dari
19 80% maka penggunaan pulseoksimetri tidak dapat menggantikan AGDA.
Pada orang sehat, hasil pemeriksaan pulseoksimetri umumnya memiliki perbedaan rata-rata (bias) kurang dari 2% dan standar deviasi (presisi) kurang dari 3% saat SaO
2 90% atau lebih. Hasil yang sebanding juga telah diperoleh pada pasien sakit
kritis dengan perfusi arteri yang baik. Akurasi pulseoksimetri menurun ketika SaO
2 jatuh sampai < 80%. Pada orang sehat dalam kondisi hipoksia, bias pulsa oksimetri bervariasi dari -15.0 menjadi 13,1 sedangkan presisi berkisar 1,0-16,0. Dalam sebuah penelitian pada pasien kritis, delapan dari 13 pulseoksimetri memiliki bias ± 5% saat
33 saturasi kurang dari 80%.
Pada pasien PPOK, pulseoksimetri berguna pada pasien derajat berat (VEP1 <50% prediksi), pada pasien eksaserbasi akut, juga digunakan di rumah untuk membantu manajemen mereka di bawah bimbingan dokter. Penting untuk dicatat bahwa pulseoksimetri berfungsi melengkapi bukan bersaing dengan spirometri dalam penilaian pasien PPOK. Spirometri tetap standar emas untuk mendiagnosis PPOK, sementara pulseoksimetri menyediakan metode cepat untuk penilaian saturasi oksigen dalam
35 jangka pendek pasien dengan gangguan pernapasan.
2.8.1 Prinsip penggunaan pulseoksimetri.
Prinsip penggunaan pulseoksimetri sebagai alat untuk mengukur kejenuhan HbO pada pembuluh darah tepi adalah elektrofotometri. Alat ini biasanya diletakkan
2
pada jari atau daun telinga. Prinsip dasar kerjanya adalah membandingkan penyerapan
2 dengan Hb total (HbO
2
- cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu oleh HbO Hb). Pada alat ini digunakan cahaya dengan dua panjang gelombang yang berbeda, yaitu dengan panjang gelombang dimana molekul HbO
2 dan Hb mempunyai nilai
penyerapan yang sama (850 nm) dan cahaya dengan panjang gelombang dimana molekul HbO
2 dan Hb mempunyai nilai selisih penyerapan terbesar (660 nm) dimana
perbandingan nilai penyerapan oleh dua molekul ini diketahui. Penyerapan cahaya yang dipancarkan ini disebabkan oleh dua unsur yaitu ketebalan jaringan (ketebalan dan pigmentasi) sebagai komponen statis dan pembuluh darah arterial yang berdenyut sebagai komponen pulsatil. Rangkaian elektronik pada alat ini dirancang untuk mampu membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan cahaya yang diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan hanya komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen pulsatil pada kedua panjang gelombang cahaya diatas dibandingkan secara empiris dengan pemeriksaan SaO
2 yang dilakukan secara invasif sehingga nilai SaO
2 pada pulse36 oksimeter tidak memerlukan kalibrasi.
Pulseoksimetri adalah alat yang berguna untuk tujuan klinis untuk mengukur secara tidak langsung saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dengan pulseoksimetri (SpO ) dapat digunakan untuk evaluasi dan kontrol hipoksemia pada
2 PPOK. Hal ini dapat dibedakan dari komponen yang tidak berdenyut karena vena,
kapiler, dan jaringan penyerapan cahaya. Sebuah dioda pemancar cahaya merah (LED) pada satu sisi probe dengan LED infra merah fotodetektor di sisi lain. Cahaya transmisi yang diterima foto detektor dibagi menjadi dua komponen A dan B. Komponen A ditransmisikan oleh cahaya dengan intensitas yang berbeda dimana terjadi suatu sistol dan ini berfungsi sebagai pulsasi dari darah arteri yang teroksigenasi. Komponen B adalah transmisi cahaya (selama diastole) yang memiliki intensitas yang konstan dan merupakan fungsi jaringan yang bervariasi (seperti pigmen kulit, otot, lemak, tulang, dan darah vena). Pulse oksimetri membagikan absorbsi pulsasi dari komponen A dengan mengabsorbsi cahaya latar belakang komponen B pada dua panjang gelombang
37 yang berbeda untuk mendapatkan ratio absorbsi (R).
Fotodetektor menukar sinyal cahaya kepada sinyal elektrik yang seterusnya diamplifikasi dan dikonversi kepada informasi digital. Persentasi SpO
2 ditentukan
menurut ratio absorbsi warna merah pada gelombang infra merah. Maka, persentasi
SpO
2 digunakan untuk mengestimasi saturasi oksigen arteri per jumlah hemoglobin
36
yang terdapat dalam darah (%SaO 2 ).
2.8.2 Keterbatasan pulse oksimetri
Pulse oksimetri memiliki sejumlah keterbatasan yang dapat menyebabkan pembacaan tidak akurat. Pulse oksimetri mengukur SaO
2 yang fisiologis terkait dengan
tekanan oksigen arteri (PaO2) sesuai dengan kurva disosiasi HbO
2 . Karena kurva
disosiasi HbO
2 memiliki bentuk sigmoid, pulse oksimetri relatif tidak sensitif dalam
37
mendeteksi pengembangan hipoksemia pada pasien dengan tingkat dasar tinggi PaO 2 . Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesalahan dalam perkiraan oleh pulse oksimeter meliputi konsentrasi arteri karboksihemoglobin (HbCO) dan methemoglobin (MetHb), kehadiran pewarna intravena, variabilitas LED, tingkat hipoksemia, pigmen kulit,dan respon sinyal. Keakuratan pengukuran ko-oksimeter dipengaruhi oleh frekuensi instrumen, kalibrasi dan teknik pengambilan sampel darah. Dua komponen sebagaimana dicatat mengasumsikan, pulse oksimeter mampu membedakan hanya dua hemoglobin (HbO, dan Hb). Algoritma yang digunakan dalam pulseoksimetri menggabungkan kurva kalibrasi berasal dari studi di mana tingkat saturasi oksigen arteri adalah > 70%. Selain itu, selama kondisi hipoksia, tingkat hemoglobin berkurang sangat besar sehingga dapat memperbesar kesalahan. Fanconi melaporkan penggunaan pulse oksimetri selama episode hipoksemia pada 9 penelitian dan menemukan hasil yang beragam. Secara keseluruhan, hanya sedikit pulseoksimeters yang berkinerja yang baik pada tingkat saturasi oksigen kurang dari 70%. Selain itu, menurut Technology
Assessment Task Force of the Society of Critical Care Medicine dan AARC menduga
bahwa untuk tingkat SaO
2 kurang dari 80% pembacaan pulse oksimetri kurang akurat karena oksihemoglobin dan deoksihemoglobin hampir sama warnanya pada tingkat
38,39,40 kejenuhan (saturasi).
Ketika perfusi jaringan perifer buruk, sinyal dari aliran darah akan terganggu. Dengan demikian, jika pulsa perifer tidak ada (cardiac arrest) atau amplitudo rendah (hipovolemia, hipotensi, hipotermia, edema perifer, alpha-adrenergik infus, syok kardiogenik, atau bypass jantung), pembacaan pulse oksimetri akan terputus-putus atau
38,40,41 tidak muncul.
Tabel 1. Keterbatasan pulseoksimetri. Kondisi Permasalahan SpO
2 < 80% Pulse oksimetri dapat berlebihan dalam menilai saturasi
oksigen, terutama pada kulit berpigmen gelap Rendahnya perfusi seperti pada Dapat mengakibatkan mesin tidak dapat membaca hasil hipotensi, hipovolemia, cuaca dingin, atau gagal jantung Anemia Pengiriman oksigen ke jaringan tidak memadai, tetapi
SpO
2 normal
Paparan karbon monoksida Karbon monoksida berikatan dengan hemoglobin, sehingga transportasi oksigen tidak memadai meskipun pembacaan pulse oksimetri normal
Sedang memakai obat retroviral Mempengaruhi ikatan oksigen dengan hemoglobin Pergerakan pasien, pasien Pulse oksimetri mungkin tidak dapat mengidentifikasi menggigil, aritmia jantung sinyal secara memadai Penggunaan cat kuku, kotor, kuku Dapat menyebabkan kesalahan pembacaan atau tidak palsu mampu membaca Penyakit sickle sel Dapat mengacaukan hasil terutama pada anak-anak