BAB II TINJAUAN YURIDIS ATAS KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH ATAU RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2511KPDT1995 TANGGAL 9 SEPSTEMBER 1997) A. Keberadaan Girik Dalam Hukum Tanah Nasional - Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas

BAB II TINJAUAN YURIDIS ATAS KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH ATAU RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

  2511K/PDT/1995 TANGGAL 9 SEPSTEMBER 1997)

A. Keberadaan Girik Dalam Hukum Tanah Nasional

  Pemilikan tanah merupakan hak asasi dari setiap warga negara Indonesia yang diatur dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28 H yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

  Sebelum lahirnya UUPA, girik masih diakui sebagai tanda bukti hak atas tanah, tetapi setelah UUPA lahir dan PP No. 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya sertipikat hak atas tanah yang diakui sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Sekalipun demikian, selain sertipikat hak atas tanah nampaknya tanda hak lain-pun masih ada

  43 yang berlaku yakni Girik atau kikitir.

  Girik yang sebenarnya adalah surat pajak hasil bumi/verponding, sebelum diberlakukannya UUPA memang merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, tetapi setelah berlakunya UUPA, girik bukan lagi sebagai bukti hak atas tanah, namun hanya berupa surat keterangan objek atas tanah, dan dengan adanya UU. No. 12

43 A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hal. 3.

  28 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenal sebagai girik

  44 adalah DKOP/KP.PBB 4.1.

  Apabila ditelusuri lebih jauh sebelum lahirnya UUPA, secara yuridis formal, girik benar-benar diakui sebagai tanda bukti hak atas tanah, tetapi sekali lagi bahwa setelah berlakunya UUPA girik tidak berlaku lagi. Hal ini juga dipertegas dengan Putusan Mahkamah Agung RI. No. 34/K/Sip/1960, tanggal 19 Februari 1960 yang menyatakan bahwa surat petuk/girik (bukti penerimaan PBB) bukan tanda bukti hak

  45 atas tanah.

  Masih berkembangnya pemahaman bahwa girik merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah setelah UUPA, disebabkan adanya anggapan demikian yang masih terus berkembang di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan pemerintahan, termasuk di lingkungan peradilan. Dengan dasar bukti tersebut masyarakat sudah merasa aman, karena merasa telah memiliki bukti kepemilikan atas hak tanahnya.

  Setelah lahirnya UUPA, girik atau kikitir sudah tidak berlaku lagi sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Berdasarkan UUPA bukti kepemilikan yang sah adalah sertipikat hak atas tanah yang didapat melalui pendaftaran hak atas tanah. Dengan perkataan lain girik tidak lagi memiliki kekuatan hukum sebagai bukti kepemilikan atau tidak diakui lagi sebagai tanda bukti hak atas tanah. Tetapi permasalahannya di kalangan masyarakat secara umum, termasuk juga, instansi pemerintah seperti instansi perpajakan, instansi penegak hukum seperti Kepolisian, 44 45 Bintatar Sinaga, Loc. Cit.

  Ibid . Kejaksaan dan Pengadilan serta PPAT, masih mengangggap girik sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, sehingga masih banyak pula produk-produk pengadilan berupa putusan yang menguatkan keberadaan girik sebagai alat bukti kepemilikan. Sebagai contoh kasus tanah Meruya dan tanah disekitar Lapangan Gasibu Bandung. Kedua kasus ini sudah ada putusan pengadilannya. Kasus tanah Meruya sudah memiliki Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sedangkan kasus tanah di sekitar Gasibu Bandung sudah memiliki Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan saat ini sedang menunggu Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik

46 Indonesia.

  Setelah tahun 1960, girik atau kikitir tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, kecuali hanya sebagai alat keterangan objek tanah/bangunan dan sebagai bukti pajak tanah/bangunan.

  Menurut AP. Parlindungan terlalu banyak masalah yang ditimbulkan dari penilaian terhadap tanah adat seperti girik, letter c, petuk, grant sultan dan sejenis hak yang berasal dari hak-hak adat. Pengadilan direpotkan dengan perkara-perkara tanah yang seharusnya telah dikonversi. Tanah-tanah adat seharusnya sudah dikonversi dan tunduk pada ketentuan UUPA, karena pemerintah tidak mungkin lagi mengeluarkan bukti-bukti hak atas tanah yang tunduk pada sistem hukum yang lama. Sehingga dengan demikian girik, letter c, dan tanah-tanah hak adat lainnya tidak dapat lagi dijadikan bukti kepemilikan. 46

  http://joeharry-serihukumbisnis.blogspot.com/2009/06/kedudukan-hukum-girik- terhadap.html,sabtu 30 April 2014, pukul 20:40. Pembuktian hak lama berdasarkan Pasal 24 dan 25 PP. No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa pembuktian hak lama yang berasal dari konversi hak lama dibuktikan dengan alat bukti tertulis dan keterangan saksi dan/atau pernyataan pemohon yang kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar oleh Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran sporadis.

  Penilaian tersebut didapat atas dasar pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran Tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan, hak atas tanah yang data fisik dan data yuridisnya sudah lengkap dan tidak ada sengketa, dilakukan pembukuan dalam buku tanah dan diterbitkan sertipikat hak atas tanah.

  Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban- beban lain yang membebaninya (Pasal 1 angka (7) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan data Data Fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya (Pasal 1 angka (6) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

  Berdasarkan penjelasan di atas, seharusnya pembuktian kepemilikan hak atas tanah dengan dasar bukti girik saja tidak cukup, tetapi juga harus dibuktikan dengan data fisik dan data yuridis lainnya serta penguasaan fisik tanah oleh yang bersangkutan secara berturut-turut atau terus-menerus selama 20 (dua) puluh tahun atau lebih. Dengan catatan bahwa penguasaan tersebut dilakukan atas dasar itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya serta penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

  Dengan demikian pihak manapun yang mengklaim memiliki suatu hak atas tanah harus dapat membuktikan haknya atau membuktikan adanya hubungan hukum kepemilikan antara tanah dengan pihak yang bersangkutan, apabila belum ada sertifikat hak atas tanah, maka girik atau apapun namanya hanya dapat digunakan sebagai bukti permulaan adanya hubungan hukum tersebut yang kemudian diperkuat dengan data fisik yang dapat menjelaskan atau menggambarkan letak, batas, luas bidang dan bukti penguasaan atas tanah secara berturut-turut selama 20 (dua puluh) tahun, apabila tidak ada terdapat data yuridis maupun data fisik atas tanah tersebut.

  Cara mengetahui status hukum suatu tanah atau rumah dapat dilihat melalui kelengkapan-kelengkapan dokumennya, atau bisa juga dengan meminta bantuan jasa notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Lahan dengan status girik merupakan lahan bekas hak milik adat yang belum di daftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jadi girik bukanlah alat bukti kepemilikan hak, namun hanya merupakan bukti penguasaan atas suatu lahan dan pembayaran pajak atas tanah tersebut. Status Girik tidak memiliki kekuatan status hukum sebagaimana sertifikat, namun girik dapat dijadikan dasar untuk membuat sertifikat tanah. Sejarah kepemilikan lahan diperlukan jika ingin meningkatkan status hukum suatu lahan menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atau Sertifikat Hak Milik (SHM).

  47 Istilah Girik biasa juga dikenal dengan tanah adat, petok, ricik, ketitir dan lain-lain.

B. Upaya Mempertahankan Hak Atas Tanah

  Dalam mempertahankan hak atas tanah yang ada pada seseorang atau badan hukum sebagai subyek yang ditunjuk oleh UUPA dapat diwujudkan dengan dua bentuk yaitu pertama, melakukan serangkaian tindakan agar sangat sedikit kemungkinannya dapat diambil atau dikuasai oleh orang/pihak lain, hal tersebut dapat berwujud tindakan-tindakan pencegahan (preventif). Kedua, sebagai tindakan represif yaitu penanggulangan dan penyelesaian terhadap akibat di luar sepengetahuan atau kemampuan si pemilik yang berhak atas tanah itu telah diambil dan dikuasai oleh pihak lain. Penguasaan ataupun pemilikan yang dimaksud dapat berwujud penguasaan fisik dan non fisik.

1. Upaya Pencegahan (Preventif)

  Upaya ini adalah upaya yang mengandung resiko yang paling kecil dibanding upaya lainnya. Namun orang atau badan hukum yang berhak atas tanah tersebut

  48

  haknya itu. Ada beberapa hal pokok upaya yang dapat menjamin terlindunginya 47 Dody Tabrani, http://bangunrumahkpr.com/rumah-kpr/biaya-jual-beli-rumah/jenis- sertifikat-kepemilikan-rumah-atau-tanah, tanggal 30 April 2014, pukul 22:33. 48 Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan : Multi Grafik Medan, 2005) hal. 116.

  tanah dari gangguan pihak lain, baik terhadap tanah yang sudah terdaftar (bersertipikat) maupun yang belum, yaitu:

  a. Pemilikan tanah itu atas sepengetahuan masyarakat sekitar Perolehan tanah tersebut baik melalui mutasi atau pengalihan hak seperti jual beli, tukar menukar, hibah maupun melalui beralihnya hak karena pewarisan seperti kasus yang sedang di teliti harus diupayakan agar masyarakat sekitar mengetahuinya. Jika masyarakat sekitar mengetahui, maka mereka akan menjadi pencegah jika sekiranya ada pihak-pihak lain yang akan mengambil dan menduduki tanah tersebut secara paksa tanpa alas hak yang sah.

  Dalam hal ini sudah memberikan fungsi yang jelas dimana masyarakat sekitar yang menjadi saksi akan adanya sengketa tanah yang terjadi antara para pihak sebagaimana yang terdapat didalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2511K/PDT/1995 yang di teliti.

  b. Tanahnya diberi batas yang pasti dan jelas Penetapan batas tanah tidak bisa ditetapkan hanya secara sepihak oleh yang mewariskan tanah itu pada waktu peralihan haknya. Tanda batas dapat dinyatakan sudah pasti jika pemilik yang berbatasan sepakat atas tanda batas dimaksud. Dan jika telah ada bukti-bukti tertulis maka ukuran tanah dan tanda batas itu harus bersesuaian dengan keadaan yang sebenarnya. Tanda batas itu semestinya jelas bagi siapa saja yang ingin menyaksikannya. Oleh karena itu tanda batas yang permanen tidak mudah rusak, tidak mudah bergeser dan tidak mudah hapus harus diupayakan, misalnya dengan tanda batas yang terbuat dari besi atau semen yang harus timbul diatas permukaan tanah sekitar

  49 2-cm dan tertanam 80cm.

  c. Tanah tersebut diusahai atau digunakan Penggunaan tanah harus sesuai dengan sifat dan peruntukan haknya akan merupakan bukti fisik yang nyata adanya hak seseorang atasnya. Sekalipun yang bersangkutan tidak berdiam di atas tanah tersebut tetapi dengan diusahainya atau digunakannya secara baik dan benar akan menghambat niat orang lain untuk mengambil atau mendudukinya. Apalagi penguasaan/pemilikannya telah di dukung oleh bukti hak tertulis yang benar.

  Dengan kata lain jika tanahnya tanah hak seseorang, penggunaannya (right to

  use

  ) tidak menyimpang dari ketentuan dan telah dipergunakan secara terus- menerus akan lebih kokohlah kepemilikannya atas tanah tersebut. Pihak lain akan lebih tidak mungkin mengambil atau menguasainya tanpa alas hak yang sah.

  Tanah-tanah yang sudah dimiliki seseorang bahkan meskipun sudah terdaftar atau bersertipikat jika dengan sengaja tidak dipergunakan menurut sifat dan tujuan pemberian haknya maka akan jatuh menjadi tanah terlantar. Adapun pengertian dari “tanah terlantar” tersebut dapat dipedomani dengan

  50 49 ketentuan sebagai berikut: , hal.118. 50 Ibid Ibid.

  1.) Tanah diterlantarkan adalah tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya (penjelasan Pasal 27 UUPA). 2.) Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak dasar atas tanah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998). 3.) Tanah milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998). Akibat hukum yang timbul jika tanah diterlantarkan, hak si pemilik atas tanah tersebut akan hapus. Sebagai contoh, bahwa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai akan hapus jika diterlantarkan (Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA dan Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

  d. Berdiam di atas tanahnya Walaupun tanah yang dimiliki seseorang itu tidak dipergunakan secara baik dan benar, jika pemiliknya berdiam di atasnya akan mempunyai daya cegah yang tinggi. Karena setiap saat ada pantauan terhadap usaha-usaha pihak lain yang ingin menguasai dan mendudukinya secara tidak sah.

  Jika dilihat dari kacamata hukum dalam praktek, keberadaan seseorang di atas tanahnya sekalipun tidak didukung oleh bukti hak yang benar akan lebih beruntung daripada orang yang berhak atas tanah itu secara hukum tetapi tanahnya tersebut dikuasai oleh orang lain. Artinya orang lain yang tidak berhak secara hukum yang menguasai dan berdiam di atasnya akan memperoleh keuntungan.

  e. Pendaftaran Tanahnya Dengan hak apapun suatu bidang tanah dikuasai, tanah yang bersangkutan tersebut adalah sebagian dari tanah bersama Bangsa Indonesia. Maka penetapan peruntukan dan penggunaannya misalnya selain berpedoman pada kepentingan pribadi pemegang haknya, wajib juga memperhatikan kepentingan bersama. Kepentingan bersama tersebut antara lain diwujudkan dan dituangkan dalam Rencana Tata Ruang atau Rencana Tata Guna Tanah

  51 Wilayah yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

  Dalam tataran Peraturan Perundang-undangan, objektif pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA semakin disempurnakan posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dalam hal kepastian akan 51 haknya dan kepastian pemegang haknya, termasuk jaminan teknis dalam arti

  M.J Pello dkk, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, (Mahkamah Agung-RI, 1996), hal. 7. kepastian batas-batas fisik bidang tanah, kepastian luas dan kepastian letaknya serta bangunan yang ada diatas tanah tersebut.

  52 Pasal 19 UUPA telah menetapkan ketentuan mengenai pendaftaran tanah

  4. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang berkaitan dengan pendaftaran tanah termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

  55

  adalah:

  54 Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

  Fiscale-Cadaster jadi tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hukum.

  10 Tahun 1961 yaitu pendaftaran tanah dengan sistem Rechts-Cadaster, bukan

  Implementasi dari Pasal 19 UUPA diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor

  3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria;

  yaitu sebagai berikut:

  c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

  b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

  a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;

  2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:

  1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah;

  53

  “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, 52 Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hlm. 105. 53 A.P. Parlindungan, Pendaftaran dan Konvensi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 1. 54 Affan Mukti, Loc. Cit. 55 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya , (Jakarta: Jilid I, Djambatan, 2003), hal. 460. dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan- satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” Dengan diterbitkannya ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 merupakan upaya untuk mencapai kesempurnaan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Jika dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut menurut A.P Parlindungan telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, karena:

  56

  1. Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.

  2. Dengan informasi pertanahan yang tersedia di Kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.

  3. Dengan Administrasi Pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.

  Menurut Mariam Darus Badrulzaman, lembaga pendaftaran tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda (tanah) terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Tanpa sifat kebendaan hak atas tanah belum mempunyai kaitan dengan milik. Dalam arti selama pendaftaran belum dilakukan, hak hanya mempunyai arti terhadap para pihak pribadi, dan umum belum mengetahui perubahan status hukum dari benda. Pengakuan masyarakat baru terjadi pada saat hak milik atas 56 Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hlm. 106. benda tersebut didaftarkan. Dengan pendaftaran lahirlah pengakuan umum atas

  57 hubungan hak dengan benda.

  Menurut beberapa ahli Agraria menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah

  58

  yang berlaku di Indonesia adalah sistem Torrens, yang diidentifikasikan dari:

  1. Orang yang berhak atas tanah harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah itu agar Negara dapat memberikan bukti hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan.

  2. Dilakukan penelitian atas alas hak dan objek bidang tanah yang diajukan permohonan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang bersifat sporadis.

  Pendaftaran tanah secara sistematis merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan disuatu wilayah dengan inisiatif pelaksanaan

  59 berasal dari Pemerintah.

  Pendaftaran ini pelaksanaannya didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini bisa dilihat pada PRONA (Program Operasi Nasional Agraria) dan Pendaftaran Tanah melalui Proyek Ajudikasi. Pendaftaran tanah secara sistematik akan memuat daftar isian yang mencantumkan peta bidang 57 58 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit , hal. 37. 59 Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 114.

  Ibid , hal. 138. atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran, yang diumumkan selama 30 (tiga puluh ) hari yang dilakukan di Kantor Desa atau Kelurahan dimana tanah itu terletak, hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan pada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan terhadap penerbitan sertifikat.

  Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal, dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut hanya satu bidang tanah yang dilakukan

  

60

atas permintaan pihak yang berkepentingan.

  Pendaftaran tanah secara sporadik ini pelaksanaannya dapat dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individu atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik diumumkan selama 60 (enam puluh) hari dan pengumuman bisa dilakukan di Kantor Pertanahan atau Kantor Desa atau Kelurahan dimana tanah itu terletak dan juga bisa melalui media masa. Pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individu dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan yang akan makin meningkat kegiatannya.

  Asas pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

  61

  adalah sebagai berikut: 60 , hal. 139. 61 Ibid Affan Mukti, Op. Cit, hal. 53.

  1. Asas Aman Yaitu untuk menunjuk bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan dari pendaftaran tanah tersebut.

  2. Asas Sederhana Yaitu dimana dalam pendaftaran tanah tersebut ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama kepada pemegang hak atas tanah.

  3. Asas Terjangkau Yaitu dimana pendaftaran tanah tersebut harus memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah dengan memberikan pelayanan yang terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

  4. Asas Mutakhir Yaitu dimana dalam pendaftaran tanah tersebut merupakan suatu kelengkapan memadai di dalam pelaksanaan dan kesinambungan di dalam pemeliharaan data, untuk itu perlu diikuti dengan kewajiban mendaftarkan dan pencatatan perubahan yang terjadi dikemudian hari.

  Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

  62 Tanah menyebutkan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah yaitu:

62 A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 126.

  a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

  b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

  c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

  Objek pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Tanah sebagai berikut:

  1. Objek Pendafataran Tanah meliputi:

  a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

  b. Tanah hak pengelolaan.

  c. Tanah wakaf.

  d. Hak milik atas satuan rumah susun.

  e. Hak tanggungan.

  f. Tanah negara.

  2. Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan sebidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.

2. Tindakan Penanggulangan (Represif)

  a. Prosedur Hukum Bila tanah hak seseorang akan diambil pihak lain melalui prosedur hukum maka yang bersangkutan dapat menghadapinya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

  1) Secara konvensional Pengambilan tanah secara konvensional maksudnya dengan cara yang biasa seperti melalui jual-beli, tukar-menukar, dan lain-lan tentu diawali dengan pertemuan untuk tercapainya suatu kesepakatan, tanpa adanya

  63 kesepakatan tentu tidak akan bisa terjadi pengalihan hak yang dimaksud.

  Ada ketentuan khusus untuk jenis tanah terdaftar dan belum terdaftar yaitu jika tanahnya belum terdaftar/bersertipikat maka dapat dilakukan sekaligus pengalihan dan pendaftaran tanahnya dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali. Tentu untuk masalah biaya akan memerlukan biaya yang besar. Sedangkan jika tanahnya sudah terdaftar/bersertipikat Cuma memerlukan pendaftaran pengalihan/penyerahan haknya saja. Sertipikat tetap (tidak dibuat yang baru) namun didalamnya dicatat bahwa pemegang hak 63 sudah beralih kepada pihak lain.

  Tampil Anshari Siregar, Loc. Cit, hal. 127.

  2) Melalui Lembaga Pengadaan Pengambilan tanah melalui lembaga pengadaan tanah tentu diawali dengan musyawarah. Dalam musyawarah tentu dengan bantuan Panitia

  Pengadaan Tanah dengan beberapa hal yang harus diperhatikan untuk disepakati secara bersama yaitu:

  64

  a. Tata cara pelaksaan musyawarah;

  b. Siapa-siapa peserta musyawarah, apakah seluruh pemilik tanah jika jumlahnya lebih dari 1 (satu) orang atau cukup dengan perwakilan saja; c. Besar dan bentuk ganti kerugian yang dibayarkan kepada pemilik/yang menguasai tanah; d. Waktu penyerahan ganti kerugian; e. Hal-hal lain yang dianggap penting.

  Atas dasar kesepakatan itulah yang dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan dan pelepasan hak atas tanahnya. Namun jika tidak tercapai kesepakatan maka dapat ditempuh dengan permohonan pencabutan hak atas tanah tersebut.

  3) Melalui Lembaga Pencabutan Hak Pengambilan tanah melalui lembaga pencabutan hak atas tanah harus memenuhi syarat-syarat yang utama yaitu sebagai berikut:

  65

  a. Harus dan hanya untuk kepentingan umum; 64 Ibid. 65 Ibid.

  b. Harus diberi ganti kerugian yang layak;

  c. Harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku (sekarang Undang-Undang No. 20 Tahun 1961) dan peraturan pelaksanaannya.

  Pencabutan hak atas tanah tersebut dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:

  a. Pencabutan hak atas tanah secara biasa Yaitu harus sudah melalui musyawarah berkali-kali antara pihak yang memerlukan tanah dan pemilik/yang menguasai tanah tersebut dan telah pasti bahwa tidak akan mungkin lagi diperoleh tanah tersebut atas persetujuan si pemilik/yang menguasainya. Atas dasar itulah oleh pihak yang memerlukan tanah mengajukan permohonan pencabutan hak kepada Presiden. Setelah keputusan Presiden keluar yaitu penetapan bahwa tanah tersebut dicabut haknya dan surat keputusan tersebut sudah sampai ke tangan si pemilik tanah dan pihak yang memohon pencabutan hak itu maka segeralah disusul dengan pembayaran ganti kerugian si pemilik tanah, baru kemudian tanah tersebut dapat diambil, dikuasai dan dipergunakan oleh si pemohon pencabutan hak itu.

  b. Pencabutan hak atas tanah secara mendesak Yaitu harus dilatarbelakangi adanya hal-hal yang sangat mendesak dan memerlukan tanah tersebut harus diambil dan digunakan segera, seperti karena adanya bencana alam, perang, wabah penyakit dan lain-lain. Namun juga harus diminya kepada si pemilik sebagaimana pada pencabutan hak secara biasa, tentu tidak perlu dan mesti berkali- kali. Dalam hal ini jika Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah menerima permohonan yang ditujukan kepadanya secara langsung melalui Kakanwil BPN Provinsi (melampaui instansi dibawahnya) telah menyetujui pengambilan tanah yang dimohon itu maka pihak lebih dahulu menunggu terbitnya keputusan pencabutan hak oleh Presiden dan pembayaran ganti kerugiannya kepada si pemilik. Jauh sebelum UUPA berlaku pada tanggal 24 September 1960, sudah banyak peraturan hukum yang dijadikan alat untuk menyelesaikan sengketa pertanahan.

  Pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebutlah yang dipandang sebagai perwujudan upaya mempertahankan hak-hak si pemilik tanah melalui lembaga pengadilan dan/atau lembaga lain yang ditentukan oleh Pemerintah.

  Peraturan Perundang-undangan yang pernah dilaksanakan sebelum UUPA berlaku adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Undang-undang ini berkaitan dengan penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat yang menegaskan bahwa barang siapa melanggar/merintangi ketentuan dalam surat keputusan bersama antara Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman yaitu pemakaian tanah perkebunan dimaksud jika tidak dengan seizin pengusaha setelah berlakunya undang-undang tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan

  66

  atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500,- Dan menurut Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1956, jika rakyat menyerahkan tanah yang dipakainya tanpa izin tersebut kepada orang lain

  (selain kepada negara atau pengusaha yang bersangkutan) sebelum berlakunya undang-undang darurat itu maka hapuslah haknya mendapatkan penyelesaian soal pemakaian tanah tersebut.

  Namun kedua undang-undang darurat tersebut sudah dicabut setelah berlakunya Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1951 tentang larangan

  67 pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya.

  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1956 Sementara undang-undang N. 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan dijelaskan bahwa telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1957 tentang penjelasan undang-undang No. 28 Tahun 1956 dan undang-undang No. 29 Tahun 1956 yang menegaskan bahwa bagi pemohon yang tidak memberi keterangan yang benar sesuai dengan persyaratan dan pemegang hak atau

  68 pengurus tanah perkebunan yang tidak memenuhi kewajiban akan dipidana.

  3. Peperpu No. 11 Tahun 1958 66 67 Tampil Anshari Siregar, Op.Cit, hal. 134.

  Lihat, Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1951 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. 68 Tampil Anshari Siregar, Op. Cit, hal. 135. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu) ini berkaitan dengan larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya menegaskan bahwa:

  69

  a. Barangsiapa setelah berlakunya Peperpu No. 11 Tahun 1958 tersebut memakai tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya yang sah sedang sebelumnya ia tidak memakai tanah itu, dan/atau,

  b. Barangsiapa mengganggu pemilik atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas sebidang tanah dan/atau, c. Barangsiapa menyuruh, mengajak atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melaksanakan perbuatan yang dimaksud dan/atau, d. Barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan di atas dan/atau e. Barangsiapa menyampaikan laporan yang tidak benar mengenai hal-hal tersebut di atas, di ancam dengan hukuman pidana.

  Adapun upaya hukum yang semestinya dilakukan pemilik atau yang menguasai sebidang tanah apabila tanahnya telah diambil dan dikuasai oleh pihak lain adalah sebagai berikut:

  1. Musyawarah Melakukan pertemuan dengan pihak yang mengambil/menguasai tanah dimaksud dengan tujuan untuk menyadarkan pihak dimaksud bahwa tindakan 69 Ibid , hal. 136. itu telah melanggar hukum dan harus mengembalikan/menyerahkan tanah tersebut kepada pemiliknya kembali.

  Berkaitan dengan hal tersebut jika seandainya pihak yang mengambil/menguasai tanah yang bukan miliknya itu menuntut sejumlah ganti kerugian dengan alasan baik yang dapat diterima akal ataupun tidak, jangan si pemilik mendasarkan semata-mata karna faktor ketidakabsahannya pengambilan/penguasaan tanah tersebut. Akan tetapi arif jika dihitung apakah lebih untung atau tidak, jika dipenuhi permintaannya ketimbang dimajukan gugatan ke pengadilan, khususnya mengenai besar kecilnya dana yang harus dikeluarkan. Karena akan lebih menguntungkan jika pengembalian tanah dimaksud dengan cara demikian. Prosesnya lebih singkat dan tidak memakan waktu yang panjang.

  Kenyamanan pemilikpun kemudian di dalam penguasaan dan penggunaan tanah tersebut akan lebih baik dari pada jika diperoleh kembali melalui keputusan pengadilan.

  2. Penuntutan Jika upaya hukum dengan musyawarah ternyata tidak memberikan hasil, pihak yang mengambill/menguasai tanah itu tidak mau menyerahkan/mengembalikan kepada si pemilik maka haruslah dimajukan tuntutan ke pengadilan. Jika ditempuh dengan cara lain, seperti menggunakan kekuasaan, kekuatan atau kekerasan dan lain-lain sudah merupakan tindakan berdasarkan hukum rimba, itu sudah diluar koridor hukum yang berlaku.

  Untuk mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan sendiri atau dengan memberi kuasa kepada pihak atau lembaga yang dapat melakukannya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Namun sebelum mengambil keputusan demikian, pelajari kembali persoalannya secara cermat dan jernih agar jangan sampai terjadi pihak yang menuntut adalah pemegang ujung pisau yang akan ditusukkannya kepada pihak yang dituntut.

70 Begitu pentingnya status dan kepemilikan hak atas suatu tanah, maka dari itu

  pentingnya dilakukan pendaftaran tanah agar tanah tersebut dapat dikatakan jelas dan sesuai dengan ketetapan pemerintah.

  

C. Analisis Atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah atau Rumah dalam

Sengketa Tersebut

  Akibat perkembangan kehidupan manusia yang satu sama lain tidak mempunyai nasib yang sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah barang tentu tanah milik bersama dalam satu kawasan atau satu keluarga pun akan menjadi sasaran untuk dikeluarkan bahagian-bahagian tertentu kepada individu anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan kepemilikan bersamanya. Proses seperti ini bahkan semakin lama semakin menjadi kegiatan manusia secara ilmiah dan tidak terelakkan terjadi di atas tanah-tanah adat atau tanah milik keluarga sekalipun seperti yang diteliti ini.

  71 70 ibid , hal. 138. 71 Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 98.

  Akhirnya milik bersama yang sifatnya publiekrechtelijke pun berkembang ke semakin terindividualisasi menjadi privat (hak milik adat). Milik bersama tersebut tidak mungkin ditahan untuk menjadi benda/barang milik individu dan untuk

  72 kemudian dapat dialihkan dan beralih dari kepemilikan bersama tersebut.

  Hubungan hukum antara orang dengan tanah bersifat universal, berawal dari hubungan yang bersifat kolektif (tanah sebagai hak bersama) kemudian berkembang menjadi hubungan yang bersifat individual. Hukum tanah bersumber pada hukum adat.

  Hukum Adat, khususnya hukum tanah adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam berlakunya tergantung dari basis sosial yang mendukungnya yaitu masyarakat itu sendiri. Namun demikian dalam berlakunya mendapat pengaruh dari berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat termasuk pengaruh dari kekuatan politik dimana sebagian diantaranya telah diformulasikan melalui berbagai ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian sekalipun sebenarnya berlakunya hukum adat khususnya hukum tanah adat dalam masyarakat tidak tergantung pada ketentuan perundangan sebagai hukum tidak tertulis tapi dalam pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari rumusan Pasal-Pasal perundangan yang mengatur persoalan tersebut.

  Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau diatur dalam ketentuan adat dalam bentuk peraturan yang tidak tertulis. Peraturan ini dipelihara dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat secara turun temurun dengan baik, sehingga apabila timbul sengketa mengenai masalah tanah, maka mereka juga akan 72 ibid , hal. 98. menyelesaikan dengan peraturan adat yang ada dalam masyarakat yang disebut juga dengan hukum acara perdata adat. Ketentuan-ketentuan adat ini baik dalam penguasaan tanah maupun dalam mempertahankan ataupun menyelesaikan sengketa yang timbul sehubungan dengan tanah akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat sebagai asas dalam pergaulan bermasyarakat bagi masyarakat Minangkabau. Dalam mufakat ini masyarakat Minangkabau akan slalu mengikutsertakan dan berpegang kepada unsur-unsur yang ada dan berkembang dakam kehidupan masyarakat, serta yang mengatur masyarakat. Unsur-unsur ini lebih dikenal dengan

  

tali tigo sapilin (tali tiga sepilin) yaitu meliputi unsur-unsur agama, adat dan undang-

  undang. Diatas ketiga unsur inilah dibangun Nagari dan diatur masyarakatnya

  

73

berdasarkan asas musyawarah dan mufakat.

  Terjadinya sengketa-sengketa harta pusaka tinggi yang pada akhirnya bermuara ke pengadilan disebabkan karena rasa ketidakpuasan para pihak yang bersengketa atas putusan pengadilan adat atau penguasa adat. Adalah ironi sekali dimana sengketa harta pusaka tinggi pada waktu sebelumnya dapat diselesaikan secara baik pada tingkat penyelesaian adat nagari tempat sengketa berawal, dengan kata lain jarang sekali sengketa tersebut sampai pada tingkat pengadilan umum seperti dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 tersebut. Dimana yang menjadi objek sengketa adalah tanah pusaka tinggi. 73 Firman Hasan Dkk, Dinamika Masyarakat Adat dan Minangkabau, (Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1988), hal. 72.

  Pasal 1 huruf (f) Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 36 Tahun 2003 menyatakan “ Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pimpinannya.”

  Adapun fungsi dari Nagari tersebut adalah sebagai kesatuan masyarakat

  74

  hukum adat antara lain sebagai berikut:

  1. Membantu Pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan disegala bidang, terutama dibidang kemasyarakatan dan budaya.

  2. Mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat dalam Nagari.

  3. Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat Nagari guna kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya sengketa atau perkara perdata adat.

  4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khususnya.

  5. Menjaga, memelihara, dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari.

  Seperti yang telah diketahui bahwa harta pusaka tinggi adalah merupakan

  75

  harta menurut adat Minangkabau dapat dibagi sebagai berikut:

  1. Harta pusaka tinggi adalah harta pusaka yang diterima secara turun-temurun dalam suatu kaum yang bertalian darat menurut garis keturunan ibu.

  2. Harta pusaka rendah adalah harta peninggalan bukan turun-temurun tetapi diperoleh dari harta pencaharian suami istri yang dipusakai oleh anak- anaknya, tidak dipusakai oleh kemenakannya. Dalam harta pusaka tinggi sering terjadi perselisihan atau persengketaan dalam suatu kaum yang mana harta pusaka tinggi tersebut dijual tanpa sepengetahuan 74 Amir, MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Mutiara Sumber widya, 2001), hal. 56. 75 H. Idroes Hakimy Dt. R. Penghuloe, Sako Pusako dan Sangketo Menurut Adat Minangkabau , (Sumatera Barat: penerbit LKAAM, 1986), hal. 10.

  kaumnya. Sebab didalam adat Minangkabau harta pusaka tinggi merupakan martabat dan harga diri suatu kaum, maka dari itu apabila terjadi penjualan harta tinggi sama halnya menghilangkan salah satu dari daerah suatu kaum atau suku, akhirnya

  76 mengurangi ulayat atau Nagari.

  Sebagaimana telah dijelaskan didalam latar belakang masalah bahwa sengketa yang diteliti ini telah sebelumnya dilakukan suatu musyawarah pada tanggal 18 Pebruari 1993 jam 14:00 wib, dimana telah disepakati secara bersama bahwa tanah yang menjadi sengketa tersebut adalah milik Haji Basyarudin yang diperolehnya secara turun-temurun dari Marak. Dalam musyawarah tersebut juga sudah saling sepakat bahwa pihak Ibrahim cs tidak boleh menggarap atau mendirikan rumah diatas tanah tersebut tanpa sepengetahuan pihak Haji Basyarudin cs sebagaimana terlampir dalam surat pernyataan/perdamaian bermaterai Rp.1000,-

  Sebagaimana diketahui kebutuhan dasar manusia dalam menjalani kehidupan yaitu dengan ketersediaan akan pangan, papan dan sandang. Sesuai dengan Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia, yang berarti “terpenuhinya kebutuhan pangan,

  77 pakaian, perumahan, perawatan medis dan pelayanan sesuai yang diperlukan”.

  Menurut Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 menyatakan “bahwa hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Yang artinya dalam kelangsungan hidupnya harus ada ketersediaan papan/perumahan berarti adanya bangunan rumah sebagai tempat tinggal bagi setiap orang dan keluarganya sebagai warga negara yang dibebani hak

  78 dan kewajiban oleh Negara”. 76 . 77 Ibid 78 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 33.

  Ibid , hal. 33. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang disempurnakan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa “rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya”.

  Sebenarnya pada prinsipnya rumah adalah tempat tinggal atau tempat hunian

  79

  untuk membina keluarga. Maka pemilikan rumah harus didukung oleh sarana dan prasarana yang mendukung ketertiban, keamanan dan kenyamanan, tidak hanya keamanan fisik tetapi dikaitkan dengan keamanan dalam penguasaan dan penggunaan tanah dan rumah berupa pemberian jaminan kepastian hukum dalam pemilikan dan

  80 pemanfaatan rumah tersebut.

  A.P Parlindungan dalam mengomentari terbitnya UU No. 4 Tahun 1992 dengan tegas menyatakan bahwa sangat disayangkan bahwa undang-undang ini tidak terkait dengan UUPA maupun UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sebab seharusnya undang-undang ini dapat mengatur pembatasan luas tanah yang boleh dimiliki seseorang dan banyaknya persil seperti yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, yang menyebutkan untuk kepemilikan persil

  81 keenam harus ada izin. 79 80 Affan Mukti, Op. Cit, hal. 110. 81 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 34.

  A.P Parlindungan, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan UUPA, (Bandung : Mandar Maju, 1992), hal. 63. Menurut Pasal 3 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, menyatakan bahwa tujuan dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah untuk: a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

  b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah).

  c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik dikawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan.

  d. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

  e. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya,

  f. Menjamin terwujudnya rumah layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

  Bentuk rumah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dibedakan berdasarkan hubungan atau

  82

  keterikatan antar bangunan, meliputi:

  a. Rumah tunggal yakni rumah yang mempunyai kavling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kavling.

  b. Rumah deret adalah beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kavling sendiri.

  c. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan, secara fungsional, baik dalam arahan horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

82 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 44.

  Terkait dengan kepastian hukum pembangunan rumah dan perumahan, Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman menentukan bahwa pembangunan rumah tunggal, rumah deret dan rumah susun dapat dilakukan di atas tanah: a. Hak milik;

  b. Hak gunan bangunan, baik diatas tanah Negara mapun diatas tanah pengelolaan; atau c. Hak pakai di atas tanah negara. Pemberian status Hak Milik atas pemilikan rumah tempat tinggal tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemiliknya dalam rangka penguasaan dan penggunaan tanahnya agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan tersebut, formalitas tersebut dilakukan dengan kegiatan pendaftaran tanah.

  Melihat dari unsur rumah yang terdapat dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 2511K/PDT/1995 tanggal 9 September 1997 tersebut sudahlah memenuhi unsur-unsur dari adanya rumah yang terdapat di dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, di mana rumah tersebut layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Dokumen yang terkait

Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA NO. 2511K/PDT/1995 Tanggal 09 September 1997

1 68 136

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN TANAH WAKAF OLEH AHLI WARIS KEPADA NAZHIR (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 456 K/AG/2007)

0 8 17

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN TANAH WAKAF OLEH AHLI WARIS KEPADA NAZHIR (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 456 K/AG/2007)

5 18 9

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS MAHKAMAH AGUNG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP TERDAKWA AKBAR TANJUNG (STUDI PUTUSAN MA RI NO. 572 K/PID/2003)

0 4 17

ANALISIS YURIDIS SENGKETA MEREK BIORE DENGAN MEREK BIORF (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 590 K/PDT.SUS/2012)

12 72 143

KAJIAN YURIDIS TANTANG GIGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS KASUS UNJUK RASA MAHASISWA BENGKULU TERHADAP KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO.3515.K/Pdt/1999)

0 5 15

BAB II PENGUASAAN ATAS TANAH, HAK ATAS TANAH DAN PERALIHANNYA MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA A. Penguasaan Atas Tanah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim terhadap Penguasaan Tanah Secara Melawan Hukum: S

2 2 24

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PERDATA TENTANG PERJANJIAN BAKU (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 560 KPdt.Sus2012)

0 1 17

Eksistensi Tanah Sultan Ground Dalam Hukum Tanah Nasional

0 1 87

BAB II FAKTOR YANG MENYEBABKAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN DIBATALKAN PENGADILAN PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 140KTUN2011 - Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur atas Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah y

0 0 36