Eksistensi Tanah Sultan Ground Dalam Hukum Tanah Nasional

EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh LAYLA IZZA RUFAIDA NIM. E0007153 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERNYATAAN

Nama : Layla Izza Rufaida NIM

: E0007153

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH

NASIONAL adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 16 Januari 2012 Yang Membuat Pernyataan,

Layla Izza Rufaida NIM. E0007153

MOTTO

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang- orang yang beriman”.

(QS. Al-Imran : 139)

“Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh kesadaran”.

(James Thurber)

“A person who never made a mistake, never tried anything new”.

(Albert Einstein)

“Fiddunya wal 'akhiroh (dunia dan akhirat) harus seimbang“.

(Penulis)

ini Penulis

persembahkan untuk :

Kedua Orangtua ku Bapak Barja Wiyana dan Ibu Sutariyem;

Kakak ku Ana Nurul Hidayah; Adik ku M. Arif Rahman Himawan; Keluarga Besar Margo Utomo dan Prapto

Diharjo;

Keluarga Besar Gopala Valentara; Almamater Fakultas Hukum UNS.

ABSTRAK

Layla Izza Rufaida, E 0007153. 2012. EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria serta mengetahui pengelolaan tanah Sultan Ground yang dilakukan pemerintah berdasarkan kebijakan pertanahan nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat perspektif. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Tekhnik pengumpulan data yaitu dengan tekhnik studi kepustakaan. Beberapa data kemudian dimintakan konfirmasi dari Keraton Yogyakarta (Panitikismo) dan Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta. Teknik analisis data yang digunakan dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan sebagai berikut: Kesatu, eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional secara tegas belum ada atau belum eksis dalam hukum positif walaupun secara hukum adat tanah Sultan Ground eksistensinya masih diakui oleh masyarakat. Hal ini karena belum diakomodir dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 secara detail mengingat belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tanah Sultan Ground sebagaimana tercantum dalam Diktum ke empat huruf B. Kedua, dalam pengelolaannya tanah Sultan Ground selama ini dikelola oleh pihak Keraton (Panitikismo) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Guna menindaklanjuti hal tersebut, maka DPR dan Presiden Republik Indonesia diharuskan segera membentuk peraturan Undang-Undang Keistimewaan yang baru untuk menegaskan status Keraton Yogyakarta sebagai subyek hukum. Tujuannya agar polemik yang ada segera berakhir dan tercipta kepastian hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kata kunci : Sultan Ground, Keraton, Eksistensi, Pengelolaan

ABSTRACT Layla Izza Rufaida, E 0007153. 2012. THE EXISTENCE OF SULTAN

GROUND IN AGRARIAN LAW. Faculty of Law, Sebelas Maret University.

This research was purposed to determine the existence Sultan Ground in Agrarian Law based on Basic Agrarian Act and to know the Maintenance of Sultan Ground by the government based on national land policy in Yogyakarta.

This Type of Research was Normative-perspective research. Secondary Data was used as source of Data consists of primary, secondary and tertiary legal materials. The Techniques of Data Collection of this research were through literature Study. Afterward, the researcher asked for confirmation to Yogyakarta Palace and National Land Office. Data Analysis Techniques of this research were Syllogism method and interpretation by using deductive pattern analysis.

The results of this research show that expressly Sultan Ground has not been exist yet in Positive Law, even though it is still customarily acknowledged by its society. It is because the Sultan Ground has not accommodated yet in Agrarian Act 5 of 1960 completely considering the absence of government rules that regulates Sultan Ground as stated on dictum the fourth letter B. Besides, the management of Sultan Ground has been maintenance by the sides of Yogyakarta Palace based on act 3 of 1950. Responding to that case, President Republic of Indonesia and Parliaments have to form new privilege act to state the Yogyakarta Palace status as the subject of the law. The purpose is that the polemic will be over and the certain legal can be created in Yogyakarta.

Key Word: Sultan Ground, Yogyakarta Palace, The Existence, Management

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul : “EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL”. Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-syarat memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulisan hukum ini dalam pembuatannya melibatkan banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan dari awal hingga akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Untuk itu penulis megucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara dan Pembimbing yang telah dengan teliti dan sabar memberikan bimbingan kepada penulis dari awal hingga akhir proses penulisan hukum ini.

3. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama masa studi.

4. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Hukum UNS. Terimakasih telah memberikan ilmu dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan

di Fakultas Hukum UNS.

5. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, selaku Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan memberikan data kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Suhartono, S.H., selaku kepala Seksi Pendaftaran, Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Badan Pertanahan Nasional Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta selaku narasumber yang telah membantu penulis dalam mencari data.

7. Bapak Bambang, S.H., pada bagian pertanahan Biro Tata Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data.

8. Kedua orangtua penulis, Bapak Barja Wiyana dan Ibu Sutariyem yang telah memberikan semua hal yang sangat berarti dalam hidup penulis, juga untuk doa, harapan, cinta, motivasi, dan kepercayaan yang telah diberikan hingga detik ini.

9. Kakakku Ana Nurul Hidayah yang senantiasa menjadi teman dan sahabat tempat berbagi, terima kasih atas semua saran dan nasehat yang diberikan pada penulis hingga terselesaikannya masa studi ini

10. Adikku M. Arif Rahman Himawan yang selalu memberikan kasih sayangnya, telah memotivasi penulis dan menghibur dalam suka maupun duka.

11. Segenap keluarga besar Margo Utomo dan Prapto Diharjo terima kasih untuk dukungan, perhatian dan kehangatan didalamnya.

12. Saudara-saudaraku Diklatsar XXIV Gopala Valentara Perhimunan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum UNS, Dani, Tata, Septi, Peni, Ira, Dedy, Sandy, Surya, Agung, Binar, dan Ponco, untuk semua yang pernah kita lewati bersama. Kalian akan selalu menjadi bagian dari hidup penulis.

13. Segenap keluarga besar Gopala Valentara Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum UNS. Terima kasih untuk kebersamaan,

persaudaraan, ilmu, pengalaman dan petualangan yang sempat terukir, bangga rasanya menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa ini.

14. Sahabat-sahabat penulis, Solikhah, Hesti Indrayani dan Iedha Dwi Prasetyo, terima kasih untuk persahabatan kita selama ini dan semoga berlanjut hingga akhir hayat.

15. Teman-teman kos Tarita, Brehita, Arsa, Dani, Anggi, dan Marsini, terima kasih untuk kebersamaan dan kehebohan kita bersama.

16. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, tetap semangat untuk menjadi Sarjana Hukum yang profesional dan bermoral.

17. Untuk seluruh pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan.

Seperti pepatah yang mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari pula bahwa penyusunan penulisan hukum ini jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca sangat diharapkan.

Akhirnya, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Surakarta, 16 Januari 2012

Penulis,

Layla Izza Rufaida

2) Hubungan Manusia dengan Tanah……………. 19

3) Hakekat Negara ..................................................

4) Hubungan Negara dengan Tanah .......................

2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Tanah ........................

1) Pengertian Tanah Secara Umum .......................

2) Macam-Macam Tanah .......................................

3) Pengertian Hukum Tanah ...................................

4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta .......

3. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah ..................................

1) Pengertian Hak Atas Tanah ...............................

2) Macam-Macam Hak Atas Tanah .......................

4. Tinjauan Tentang Sultan Ground ....................................... 31

B. Kerangka Pemikiran ............................................................... 33

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................

A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta ...................

1. Letak Geografis ........................................................................

2. Luas Wilayah ...........................................................................

4. Tata Ruang dan Infrastruktur ...................................................

5. Keadaan Alam ..........................................................................

8. Penggunaan Tanah Sultan Ground di Yogyakarta ..................

B. Eksistensi Tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional …… ………. ...........................................................

C. Pengelolaan Tanah Sultan Ground Berdasarkan Kebijakan Pertanahan Nasional ..............................................................

BAB IV PENUTUP ...................................................................................

69

A. Simpulan ................................................................................

69

B. Saran .......................................................................................

70

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR BAGAN

Ragaan 1 : Kerangka Pemikiran…………………………………………... 33

DAFTAR TABEL

Tabel I : Luas Wilayah ..............................…………………………...

65

Tabel II : Jumlah Tanah ..................................…………………...……... 66

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Fotokopi Surat Permohonan Hak Ngindung / Magersari Tanah Karaton Ngayogyakarto

Lampiran II Fotokopi Surat Perjanjian (Surat Kekancingan) Pinjam Pakai Tanah Milik Sri Sultan Hamengku Buwono Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat

Lampiran III Fotokopi Rijksblad Yogyakarta Nomor 16 Tahun 1918 Lampiran IV

Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

33 Tahun 1984

Lampiran V Fotokopi Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 570.34-2493

Lampiran VI Surat Pemberitahuan Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah

Lampiran VII Surat Keterangan / Ijin Penelitian dari Sekretariat Daerah Propinsi Yogyakarta

Lampiran VIII Surat Keterangan Penelitian dari Badan Pertanahan Nasional Propinsi Yogyakarta

Lampiran IX Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Propinsi Yogyakarta

Lampiran X Surat Keterangan Penelitian dari Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Karaton Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertanahan pada hakikatnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam hidup dan kehidupan manusia secara pribadi, dalam pergaulan masyarakat maupun bagi negara. Sepanjang hidupnya manusia selalu berhubungan dengan tanah untuk melakukan kegiatan maupun mencari penghidupan. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Tanah merupakan sumber kemakmuran dan kebahagiaan, baik secara lahiriah maupun batiniah.

Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya diyakini bahwa tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu, hak penguasaan yang tertinggi atas tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hak Bangsa Indonesia. Implikasinya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah secara pribadi harus memperhatikan kepentingan bangsa atau kepentingan yang lebih besar dalam masyarakat.

Adanya unsur pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya pembentukan Hukum Nasional tentang Tanah, didasarkan atas Hukum Adat TAP. MPRS. Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 4 ayat (3) merupakan basis pembangunan semesta. Indonesia merupakan negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang penting dan urgent . Urgensi ini disebabkan karena pada jaman penjajahan, Hukum Agraria Indonesia bersifat pluralistis, dan kurang memberi jaminan akan kepastian hukum serta dapat pula menghambat bahkan mungkin merintangi kesatuan bangsa Indonesia.

Di Indonesia terdapat dualisme hukum dalam bidang pertanahan, yaitu sistem Hukum Barat peninggalan jaman kolonial dan sistem Hukum Adat yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 24

September 1960 diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang secara resmi dicantumkan dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960 sebagai Hukum Agraria secara Nasional. Tujuannya untuk menggantikan Hukum Agraria yang pluralistis yang berbasis pada kedaerahan. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Pasal 33 UUD 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Landasannya yang termaktub didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyat yang perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti yang sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.

Hal itu juga diperkuat dalam dasar hukumnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Bab 1 mengenai Dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok Pasal 2 ayat (1) & (2) yang berbunyi:

(1) Atas dasar, ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi

wewenang untuk:

a. Mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenal bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia, tetapi maksud ini tidak bisa langsung terwujud setelah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diberlakukan. Hal ini dikarenakan tidak semua daerah di wilayah Indonesia bisa menerapkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Salah Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia, tetapi maksud ini tidak bisa langsung terwujud setelah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diberlakukan. Hal ini dikarenakan tidak semua daerah di wilayah Indonesia bisa menerapkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Salah

Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah Swapraja, seperti Kasultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah Hukum Tanah Adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad Nomor 474 tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa Swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 Nomor 16 juncto 1925 Nomor 23, serta Rijksblad 1918 Nomor 18 juncto Rijksblad 1925 Nomor 25 sehingga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) resmi berlaku Rijksblad Nomor 16 tahun 1918 dan Nomor 18 Tahun 1918, tentang tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom dan hak domain Kasultanan dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Dalam konsiderans Staatsblad Nomor 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum Swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Bagi Pemerintah Swapraja dimungkinkan untuk memberikan tanah-tanah Swapraja dengan hak-hak barat, sebagaimana yang diatur dalam Burgerlijk

Wetboe k.

(http://raja1987.blogspot.com/2008/08/opini-hukum- legalopinion.html>[6 Juli 2011 pukul 11.29 WIB]).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan suatu daerah yang pemerintahannya

setara dengan tingkat I (propinsi) dengan wilayahnya meliputi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman yang kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami perubahan dari sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah pada hukum pertanahan, yaitu adanya tanah Sultan Ground (tanah Kasultanan). Aturan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Alasannya adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah ada dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum zaman Belanda dan hukum adat. Menurut Pasal 4 ayat (1) juncto Lampiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diberi kewenangan urusan rumah tangga sendiri (otonomi) dalam bidang pertanahan yaitu :

1. Penerimaan penyerahan hak eigendom atas tanah eigendom kepada negeri (medebewind).

2. Penyerahan tanah negara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatan atau kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind).

3. Pemberian ijin membalik nama hak eigendom dan postal atas tanah, jika salah satu pihak atau keduanya masuk golongan bangsa asing (medebewind).

4. Pengawasan pekerjaan daerah autonom di bawahnya tentang pertanahan (sebagian ada yang medebewind).

Dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto penjelasan Pasal 11 dinyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam mengatur masalah pertanahan harus berdasarkan prinsip atau asas domain sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad tahun 1918 Nomor 18, dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah milik / domain / kerajaan / keraton Yogyakarta

(Sultan Ground). Hak domain bagi Sultan (raja) pada Kerajaan / Kasultanan Yogyakarta ada sejak ditandatangani perjanjian Giyanti pada tahun 1755. (Umar Kusumoharyono, 2006: 2).

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang digunakan sebagai landasan adalah Hukum Adat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan ketentuan yang berlaku di dalam Keraton Yogyakarta ternyata juga hukum masyarakat setempat (hukum adat). Keadaan tersebut sangat berkaitan dengan keberadaan tanah Sultan Ground yang dimiliki sultan atas dasar asas domain yang masih berlaku pada waktu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. Sultan menyatakan bahwa seluruh tanah adalah milik Sultan (Sultan Ground) sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam) dan menggarapnya. (Tri Widodo. 2002: 123).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), wilayah administratif dikota Yogyakarta terbagi menjadi 5 (lima) kabupaten, yaitu kabupaten Yogyakarta, kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Kulonprogo dan kabupaten Gunungkidul. Pengelolaan tanah Sultan Ground diserahkan kepada masing-masing wilayah administratif atas persetujuan Sultan. Namun, pada kenyataannya dualisme dalam hukum pertanahan masih ada karena di satu pihak berlaku Peraturan Daerah dan di pihak lain berlaku peraturan pemerintahan pusat. (http://www.yousaytoo.com/ ochiana 048/latar -belakang-propinsi-daerah-istimewa-yogyakarta/20259> [7 Juli 211 pukul 13.12 WIB]). Dimana pada masing-masing kabupaten/wilayah administratif tersebut tanah Sultan Ground tersebar secara luas dan tak beraturan. Kasultanan Yogyakarta sampai saat sekarang ini masih mempunyai kewenangan- kewenangan atas tanah Sultan Ground yang dipunyai dan dimilikinya. Padahal status hukum dan kedudukan tanah Sultan Ground di dalam hukum tanah nasional masih menjadi polemik di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap status tanah Sultan

Ground tersebut. Oleh karena itu, penulis mengajukan penulisan hukum dengan judul “EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM

TANAH NASIONAL” .

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan hulu dari suatu penelitian yang merupakan pertanyaan-pertanyaan sebagai landasan bagi seorang peneliti guna mendapat jawaban dari suatu masalah yang diangkat dalam penelitian sehingga tujuan yang hendak dicapai menjadi lebih jelas sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimanakah eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground berdasarkan kebijakan pertanahan nasional?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuan tersebut adalah memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan masalah. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian metodologi penelitian. Tujuan penelitian yang baik adalah rumusannya operasional dan langsung menuju pokok permasalahan. Tujuan ini yang nantinya dapat diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001: 71).

Penelitian juga diperlukan guna memberikan arahan dalam mencapai maksud yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui eksistensi tanah Sultan Ground di Kota Yogyakarta berdasarkan dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground yang

dilakukan pemerintah ditinjau dari kebijakan pertanahan nasional.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data-data dan informasi sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis.

c. Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan

hukum.

D. Manfaat Penelitian

Hasil akhir yang diinginkan dalam setiap penelitian yaitu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lainnya, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian merupakan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara pada khususnya terutama berkaitan dengan Hukum Agraria mengenai tanah Sultan Ground .

b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.

c. Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah pengetahuan, pengalaman, dan dokumentasi ilmiah.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran dan wawasan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas sekaligus untuk mengetahui seberapa besar kemampuan dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Sebagai teori dan praktek penelitian dalam bidang hukum serta sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud, 2005 : 35). Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan guna menguji kebenaran maupun ketidak benaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan pendapat berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan ilmu hukum itu sendiri sebagai obyeknya, dalam hal ini yaitu peraturan-peraturan hukum (Johny Ibrahim, 2006: 57). Penulis memilih penelitian hukum normatif dikarenakan sesuai dengan objek kajian dan isu 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan pendapat berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan ilmu hukum itu sendiri sebagai obyeknya, dalam hal ini yaitu peraturan-peraturan hukum (Johny Ibrahim, 2006: 57). Penulis memilih penelitian hukum normatif dikarenakan sesuai dengan objek kajian dan isu

2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Sifat ilmu hukum adalah ilmu yang prespiktif dan terapan, yaitu ilmu hukum yang mempelajari mengenai tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud, 2005 : 22). Penelitian ini bersifat preskriptif karena berusaha menguraikan dan menjawab permasalahan mengenai eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional.

3. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud, pendekatan dalam penelitian hukum ada lima pendekatan, yaitu pendekatan perundangan-undangan (Statue Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach ), pendekatan perbandingan (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud, 2005: 93).

Adapun dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang diangkat yaitu pendekatan perundang- undangan dan pendekaan historis. Pendekatan perundangan-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud, 2005: 93). Pendekatan historis (Historical Approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi (Peter Mahmud, 2005: 94).

4. Jenis Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau fakta yang digunakan oleh seseorang secara tidak langsung dan diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, laporan, makalah, 4. Jenis Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau fakta yang digunakan oleh seseorang secara tidak langsung dan diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, laporan, makalah,

5. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoratif, artinya bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaanya, yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang- undang, dan putusan hukum, bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar- komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud, 2005: 141). Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu:

a) Bahan Hukum Primer Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis, meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah

Istimewa Yogyakarta.

3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 Perubahan atas Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1950 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

5) Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 tahun 1954 tentang

Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

6) Staatsblad Nomor 474 tahun 1915.

7) Rijksblad Kesultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Rijksblad

Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925.

8) Rijksblad Kasultanan Nomor 18 Tahun 1918 juncto Rijksblad

Kasultanan Nomor 25 Tahun 1925.

b) Bahan Hukum Sekunder Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi:

1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum.

2) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana.

3) Kamus-kamus hukum ensiklopedia.

4) Jurnal-jurnal hukum.

5) Literatur dan hasil penelitian lainnya.

6. Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu merupakan suatu tehnik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, data-data dan literatur lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagi hukum penunjang dalam penelitian ini.

7. Tehnik Analisis Data Penelitian normatif menggunakan tehnik analisis dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola pikir deduktif. Silogisme dengan tehnik analisis deduksi yaitu proses bermula dari penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan khusus yang diteliti. Penulisan hukum ini juga menggunakan interpretasi, interpretasi yang digunakan sebagai berikut:

1. Interpretasi harfiah

Interpretasi berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam undang- undang. Interpretasi ini dapat dilakukan dengan singkat, padat, serta akurat mengenai makna yang dimaksud dalam undang-undang tersebut nantinya tidak mengandung multitafsir atau arti yang bermacam-macam (Peter Mahmud, 2005:112).

2. Interpretasi historis

Interpretasi ini mengungkapkan makna adanya ketentuan undang- undang dilacak dari segi lahirnya ketentuan ini. Maksud pengertian itu, makna dibentuknya suatu peraturan dilihat dari asal mula alasan lahirnya ketentuan atau ketetapan itu dibuat.

3. Interpretasi teologis

Interpretasi yang menitikberatkan pada tujuan adanya undang- undang itu, dalam hal ini perlu ditelaah pemikiran dan penjelasan yang lebih rasional apakah yang melandasi dibentuknya undang-undang tersebut (Peter Mahmud, 2005: 113).

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dengan cara menginteventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab bagaimanakah eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional saat ini.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai aturan baru dalam penulisan hukum, maka Penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai aturan baru dalam penulisan hukum, maka Penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang meliputi latar belakang eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional kemudian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum yang dipergunakan dalam melakukan penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi: tinjauan tentang tanah, tinjauan tentang macam- macam tanah, tinjauan tentang hukum tanah dan tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogayakarta (DIY). Hal tersebut ditujukan agar pembaca memahami permasalahan yang diteliti.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Dalam pembahasan penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu menguraikan mengenai eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground berdasarkan kebijakan pertanahan nasional.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini, merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisikan kesimpulan yang merupakan jawaban-jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian penulis dan saran-saran mengenai permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hak Menguasai Negara

a. Pengertian Hak Menguasai Negara

Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah mengupayakan agar pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia meliputi yang terkandung di bumi, air, dan bahan galian dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. “Salah satu konsep dasar yang dikemukakan Moh. Hatta adalah pada dasarnya tanah adalah milik rakyat Indonesia dan negara merupakan penjelmaan dari rakyat yang mempunyai hak untuk mengatur penggunaannya agar dapat mengejar kemakmuran rakyat” (Subadi, 2010: 68). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen) yang diwujudkan dengan diberikannya Hak Menguasai Negara (HMN).

Hak Menguasai Negara terjadi pada saat bangsa Indonesia sebagai kumpulan manusia secara alamiah terbentuk. Menurut Charles Sebayang, “Hak Menguasai Negara tercipta pada saat ada pelimpahan tugas kewenangan dari bangsa Indonesia kepada negara yang dilakukan oleh wakil bangsa indonesia dalam menyusun UUD 1945 yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) yang mengandung tujuan negara” (http://hannarenata. blogspot.com/2011/05/hak-menguasai-dari-negara.html ).

Subjek Hak menguasai negara adalah pihak atau lembaga yang secara konstitusional dan/atau aturan merupakan pihak yang paling berhak dalam urusan penguasaan (menguasai) terhadap sesuatu atau objek tertentu. Subjek Hak Menguasai Negara menurut Pasal 33 ayat (3) adalah

negara. Negara dalam melaksanakan fungsinya mendelegasikan melalui lembaga negara, yaitu eksekutif/pemerintah. Artinya, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk melakukan perencanaan, merumuskan aturan, melaksanakan langkah-langkah dan tindakan atas pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah hukum Indonesia. Kekuasaan yang dipegang pemerintah melekat di dalamnya aspek kewenangan dan tanggung jawab, baik untuk melaksanakan, maupun untuk memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewenangan yang telah dijalankan. Sebagai subjek dari hak menguasai negara, maka pemerintah berlandaskan pada kewenangan yang dimiliknya mempunyai fungsi dasar sebagai berikut:

1) Berkuasa, berwenang, dan bertanggung jawab atas pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam; dan

2) Melakukan upaya paksa secara hukum, mulai dari teguran, peringatan, sampai dengan penghentian atas kegiatan usaha yang melanggar aturan dan mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek Hak Menguasai Negara adalah Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai lembaga negara yang dijamin oleh konstitusi negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Artinya, kalau ada pihak lain atau pihak ketiga yang melakukan kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam nasional hanyalah atas seizin dari pemerintah, dengan

kekuasaan pengendalian, pengaturan, dan pemanfaatan berada di tangan pemerintah (http: //www.indolawcenter.com/index.php? option = com_ content & view=article&id =1518% 3A subjek-hak-menguasai-negara& catid =174%3 &Itemid=237).

Hak Menguasai Negara merupakan sebutan hak yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara negara dan tanah Indonesia yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan Hak Menguasai Negara merupakan sebutan hak yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara negara dan tanah Indonesia yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan

tanah bersama

(http://charlessebayang.blogspot.com/2009/03/hak-menguasai-dari- negara.html ).

Dengan demikian, Pasal 2 UUPA memberikan sekaligus suatu tafsiran resmi interprestasi otentik mengenai arti perkataan dikuasai yang dipergunakan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pembatasan wewenang negara atas tanah yang diperinci dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA 1960 1960 (LNRI-1960-104, TLN-2043), yaitu:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan

Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (Boedi Harsono, 2003: 238).

Pelaksanaan dari Hak Menguasai Negara tersebut sebagian kewenangananya dapat juga diberikan dengan penugasan kepada daerah dalam rangka medebeweind dan kepada pejabat-pejabat pusat yang berada di daerah dalam rangka dekonsentrasi sehingga Hak Menguasai Negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaatrechtelijk. Makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana, dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam nasional tanpa harus berstatus sebagai pemilik sumber daya alam tersebut.

Pembatasan wewenang yang dimiliki negara atas tanah selain bersifat publik seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA juga terdapat wewenang Hak Menguasi Negara yang bersifat perdata yang tercermin dalam Pasal 4 UUPA. Berdasarkan wewenang dalam Pasal 4 UUPA, pemerintah diharuskan membuat suatu rencana umum mengenai Pembatasan wewenang yang dimiliki negara atas tanah selain bersifat publik seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA juga terdapat wewenang Hak Menguasi Negara yang bersifat perdata yang tercermin dalam Pasal 4 UUPA. Berdasarkan wewenang dalam Pasal 4 UUPA, pemerintah diharuskan membuat suatu rencana umum mengenai

Politis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan atau bangunan pemerintah termasuk bangunan pertahanan);

Ekonomis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri, pertambangan, transmigrasi, dan lain-lain); dan

Sosial (tanah dimanfaatkan unuk keperluan beribadat, pusat- pusat permukiman, keperluan sosial, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lain-lain).

Cara-cara negara dalam melaksanakan hak yang dimilikinya demi menjamin kepentingan-kepentingan yang dituntut oleh masyarakat harus dilaksanakan melalui cara-cara pengambilan keputusan yang adil dan beradab atas dasar musyawarah bersama berlandaskan hikmah kebijaksanaan sebagai landasan keputusan. Setiap orang dalam suatu komunitas (bangsa) memiliki hak tertentu sebagai dasar dari kepentingannya. Sebaliknya, setiap orang juga memiliki kepentingan yang menjadi dasar dari haknya. Setiap orang harus menjalankan secara seimbang dengan kewajiban untuk memenuhi keperluan hidup masyarakat secara luas, sehingga sikap adil dan beradab merupakan konsekuensi yang perlu ditampakkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan pelaksanaan wewenang dan hak yang dimiliki oleh negara.

b. Dasar-Dasar Pemikiran yang Melatarbelakangi Hak Menguasai Negara atas Tanah

1) Eksistensi Manusia Indonesia

Sejak lahir manusia adalah pribadi yang tersusun atas jasmani dan rohani dengan akal budi dan kehendak. Unsur manusia tersebut berpotensi untuk terus berkembang agar mencapai eksistensinya. Atas dasar itu manusia Indonesia memandang adanya hak kodrati Sejak lahir manusia adalah pribadi yang tersusun atas jasmani dan rohani dengan akal budi dan kehendak. Unsur manusia tersebut berpotensi untuk terus berkembang agar mencapai eksistensinya. Atas dasar itu manusia Indonesia memandang adanya hak kodrati

Untuk mencapai eksistensinya, manusia Indonesia memandang bahwa tidak mungkin mampu mencukupi kebutuhannya tanpa bantuan dari manusia yang lain dalam masyarakat. Hal ini mempunyai konsekuensi adanya hidup saling membantu antara manusia dan masyarakat. Dalam konteks kehidupan bernegara, maka manusia Indonesia juga memerlukan peran negara untuk mempertahankan eksistensinya. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa manusia secara kodrati adalah makhluk individu dan sosial. Dasar eksistensi manusia sebagai makhluk sosial adalah sifat dan hakekat manusia sebagai makhluk berketuhanan (Winahyu Erwiningsih, 2009: 109).

2) Hubungan Manusia dengan Tanah

Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia haruslah menciptakan hak dan kewajiban secara seimbang. Keseimbangan hak dan kewajiban berarti bahwa hak tidak diperlakukan melampaui kewajiban dan sebaliknya kewajiban tidak diperlakukan melampaui hak. Perilaku yang mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah perilaku yang mencerminkan pula sifat adil dan beradab sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia yang adil dan beradab merupakan suatu keyakinan dan moral sebagai pedoman kenyataan hidup yang terwujud dalam hubungan manusia dengan masyarakat dan negara secara keseluruhan.

Menurut pandangan Ronald Z. Tihatelu, dengan dasar manusia sebagai makhluk Tuhan dan sikap adil dan beradab dalam hubungan manusia, maka tanah merupakan pemberian Tuhan kepada pribadi, keluarga, masyarakat, dan Bangsa Indonesia. Memiliki tanah merupakan hak yang diturunkan karena adanya pemberian Tuhan, namun demikian sejalan dengan itu pula, kewajiban dalam pemilikan Menurut pandangan Ronald Z. Tihatelu, dengan dasar manusia sebagai makhluk Tuhan dan sikap adil dan beradab dalam hubungan manusia, maka tanah merupakan pemberian Tuhan kepada pribadi, keluarga, masyarakat, dan Bangsa Indonesia. Memiliki tanah merupakan hak yang diturunkan karena adanya pemberian Tuhan, namun demikian sejalan dengan itu pula, kewajiban dalam pemilikan

3) Hakekat Negara

Istilah negara mengandung makna suatu alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan- hubungan manusia dalam masyarakat dalam menertibkan gejala- gejala kekuasaan dalam masyarakat. “Hakekat negara adalah suatu penggambaran tentang sifat dari negara. Negara sebagai wadah dari suatu bangsa untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita bangsanya. Tujuan negara merupakan kepentingan utama dari tatanan suatu negara” (Soehino, 1998:146).