BAB II PENGATURAN - Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam realita, hubungan-hubungan internasional yang dilakukan antar

  negara, negara dengan individu, maupun negara dengan organisasi internasional tak selamanya terjalin dengan baik. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi. Adapun sumber potensi tersebut diantaranya dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lainnya.

  Usaha-usaha penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian bahkan sejak awal abad ke-20 dimana usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip keamanan internasional.

  Adapaun yang dilakukan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional yaitu dengan memberikan cara agar para pihak menyelesaikan sengketa tersebut sesuai dengan aturan hukum internasional. Hukum internasional pada awalnya mengenal penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara perang.

  Cara perang merupakan cara yang telah dipraktikkan sejak lama bahkan telah menjadi bagian dari kebijakan luar negeri. Dengan adanya perang, bahkan dapat dilihat menjadi suatu tindakan dari negara yang berdaulat sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Robert Lansing.

  Semakin berkembanganya zaman, maka kekuatan militer dan perkembangan teknologi persenjataan pemusnah massal juga semakin berkembang. Sehingga masyarakat internasional menyadari akan dampak dan bahaya dari perang tersebut dan berusaha agar cara penyelesaian sengketa dengan perang ini dapat dihentikan.

  Awal perkembangan lahirnya cara penyelesaian sengketa secara damai secara formal bermula dengan lahirnya the Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian Den Haag) pada tahun 1899 dan 1907 yang menghasilkan the

  16 Convention on Pacific Settlement of International Disputes pada tahun 1907.

  Inisiatif dilaksanakannya konferensi tersebut dilakukan oleh Tsar Rusia Nicholas II tahun 1898 yang mengusulkan diperlukannya sutau konferensi untuk mengurangi gencatan senjata dan kemungkinan penghentiaan perkembangan persenjataan. Inisiatif ini kemudian disambut oleh Ratu Belanda, dimana mereka

  17 mengundang negara-negara lain dalam membahas usulan konferensi tersebut.

  Adanya Konferensi Perdamaian Den Haag memiliki arti penting diantaranya:

  1. Memberikan sumbangan penting bagi hukum humaniter;

  2. Memberikan sumbangan penting bagi aturan penyelesaian sengketa secara damai.

  Dengan lahirnya konvensi perdamaian tersebut, maka para negara anggota telah sepakat bahwa penyelesaian sengketa dengan cara-cara seperti jasa-jasa baik, mediasi, komisi penyelidik, jika dimungkinkan, akan lebih diutamakan. Jika 16 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika,

  2012) hlm. 8 17 Ibid hlm. 9

  cara-cara tersebut gagal, maka penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase dimungkinkan.

  Perkembangan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa secara damai dapat dilihat dari pengesahan perjanjian-perjanjian internasional berikut:

  18

  1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919;

  2. Statuta Mahkamah Internasional Permanen 1921;

  3. The General Treaty for the Renunciation of War 1928;

  4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928;

  5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945;

  6. Deklarasi Bandung 1955;

  7. The Declaration of the United Nations on Principle of International Law

  concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations 1970;

  8. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States 1982.

  Deklarasi Manila memiliki arti penting karenanya sebagai inisiatif dan upaya dari Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penyelesaian sengketa secara damai. Dalam deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa wajib bagi negara- negara yang bersengketa untuk mencari jalan dalam penyelesaian sengketanya dengan secepat mungkin dan seadil-adilnya. Negara juga diharapkan untuk mempertimbangkan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Mahkamah Internasional dan Sekretaris Jenderal PBB dalam menyelesaikan sengketa tersebut. 18 Ibid hlm. 9

  Sekarang ini, hukum internasional telah mewajibkan kepada semua negara (khususnya negara anggota PBB) untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui cara damai yang termuat dalam pasal 1, 2, dan 33 Piagam PBB. Dalam ketiga pasal tersebut menyebutkan bahwa sebagai bagian dari tujuan PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan inetrnasional maka setiap perselisihan harus menyelesaikan sengketa dengan cara-cara damai dengan mengedepankan perdamaian dan keadilan serta menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan.

B. Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa

  Perkembangan Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penggunaan cara damai dalam penyelesaian sengketa menjadi dasar bagi lahirnya Manila

  Declaration atau Deklarasi Manila. Sehingga dalam inti sari dari Deklarasi

  tersebut ditemukan esensi yang mendasari penyelesaian sengketa untuk menemukan solusi. Adapun prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa tersebut diantaranya: 1.

  Prinsip Itikad Baik (Good Faith) Dalam hukum keperdataan, maka tak asing bahwa salah satu unsur dari

  

19

  adanya sebuah perikatan yaitu itikad baik. Prinsip tersebut melandasi perikatan yang terjadi dalam keperdataan. Prinsip ini sangat diperlukan dalam penyelesaian

19 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1320 BW

  sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak untuk menyelesaian sengketa yang terjadi.

  20 Sebagai tonggak dari lahirnya prinsip tersebut, dalam Section 1 paragraph

  1 Deklarasi Manila telah mencantumkan prinsip itikad baik ini sebagai prinsip awal yang menyebutkan:

  ... all states shall act in good faith and in conformity with the purposes and

principles enshrined in the Charter of the United Nations with a view to

avoiding disputes among themselves likely to affect friendly relations

among States, thus contributing to the maintenance of international peace

and security. They shall live together in peace with one another as good

neighbours and strive for the adoption of meaningful measures for strenghtening international peace and security...

  Prinsip itikad baik dalam kutipan Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa negara-negara wajib dengan itikad baik sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam PBB untuk menghindari terjadinya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan antarnegara. Sehingga itikad baik dipandang sebagai suatu sikap negara untuk menjaga perdamaian dengan mengedepankan cara-cara bersahabat dengan tujuan untuk menyelesaikan perselisihan dan juga menjaga perdamaian.

  Dan dalam pasal 13 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia /

  TAC (Bali Concord 1976) menyebutkan: 20 Huala Adolf, Hukum......, Op.Cit. hlm. 15

  ...The high contracting parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising.

  Terjemahan: Pihak-pihak yang terkait wajib memiliki tekad dan itikad baik dalam mencegah timbulnya perselisihan.

  Dengan adanya prinsip ini dapat mencegah terjadinya sengketa yang dapat mengakibatkan renggangnya hubungan antarnegara dan dapat menyelesaikan sengketa secara lebih dini serta mensyaratkan bahwa sengketa yang terjadi hendaknya diselesaikan melalui cara-cara penyelesaian yang dikenal dalam hukum internasional (negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan) atau cara-cara yang dipilih oleh para pihak.

  21 2.

  Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa Sebagaimana dalam pasal 13 TAC yang memuat prinsip ini, menyatakan: ... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall refrain

  

from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes

among themselves through friendly negotiations.

  Atau dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dalam hal perselisihan yang menyangkut langsung para pihak, wajib menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan dan setiap saat menyelesaikan perselisihan antara para pihak melalui negosiasi yang ramah.

21 Ibid, hlm.16

  Prinsip ini juga dapat ditemui di Pembukaan ke-4 Deklarasi Manila. Dan dalam perjanjian internasional lainnya dapat dilihat dalam Pasal 5 Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 (Pact of the League of Arab States), Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of Reciprocal Assistance (1947) , dan lain-lain.

  3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Prinsip ini memberikan para pihak untuk memiliki kebebasan dalam memilih cara penyelesaian sengketa yang mereka sepakati (principle of free

  choice means).

  Prinsip ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan

  Section

  1 Paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5 dari Friendly Declaration. Dengan adanya pengaturan tersebut mejadikan prosedur penyelesaian sengketa harus didasarkan kepada pihak yang bersengketa dimana hal ini berlaku bagi sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang.

  4. Prinisp Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan

  22

  kelayakan (ex aequo et bono). Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan.

5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)

  Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak.

  Sebaliknya. prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.

  6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi Manila.

  Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh.

  7. Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1 Paragraph 1. Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan 22 Ibid hlm. 17 melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara.

  Adapun prinsip yang terdapat di Office of the Legal Affairs PBB memuat diantaranya: a.

  Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak; b.

  Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; c. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara; d. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional, yang semata-mata merupakan penjelmaan lebih lanjut dari prinsip ke-7, yaitu prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa

  Menurut J.G. Starke, bentuk- bentuk dalam penyelesaian sengketa dapat

  23

  digolongkan menjadi 2 bentuk ; 1.

  Penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan solusi yang bersahabat.

  2. Penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau diterapkan adalah melalui kekerasan.

  23 J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 , (Jakarta:Sinar Grafika, 2004) hlm.

  651

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai 1.

  Negosiasi Merupakan cara penyelesaian sengketa yang banyak ditempuh serta efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui perundingan tanpa melibatkan pihak ketiga. Penyelesaian sengketa dengan cara ini meskipun terlihat mudah namun juga sering mengalami kegagalan seperti adanya penolakan salah satu pihak untuk melakukan negosiasi.

  Beberapa kelemahan menggunakan cara negosiasi: a.

  Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang; b. Kadang-kadang sangat memerlukan waktu yang lama untuk mengajak pihak lain mau bernegosiasi; c.

  Jika salah satu pihak kontra produktif. Dalam hal telah disepakatinya suatu hal oleh para pihak dalam negosiasi, maka hal tersebut dituangkan dalam dokumen atau perjanjian antara pihak, yang berkekuatan hukum. Dan dalam hal kesepakatan tersebut gagal dipenuhi para pihak, secara tertulis juga, maka akan ditempuh cara lainnya seperti arbitrase, konsiliasi, mediasi, dan lain-lain. Dalam penyelesaian cara ini sering ditemui bahwa inilah satu-satunya cara yang dipakai karena negara sering merasakan keuntungannya meskipun

  24 sengketa itu rumit dan sulit untuk didamaikan.

  2. Jasa Baik (Good Offices) Dalam hal negosiasi tidak berjalan, maka pada umumnya dibutuhkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa. Dalam Jasa Baik ini, pihak ketiga tersebut berusaha mengupayakan pertemuan para pihak-pihak bersengketa untuk berunding, tanpa adanya keterlibatan dalam perundingan tersebut.

  Tujuan dari jasa baik ini agar kontak antar pihak tetap terjamin dengan mempertemukan para pihak agar mau berunding melalui keikutsertaan pihak ke-3. Setiap pihak dapat meminta kehadiran jasa baik meskipun tidak ada kewajiban bagi pihak lainnya untuk menerima hal tersebut. Hal

  25 tersebut tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.

  Sebagai contoh Finlandia sebagai good offices terhadap Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Dan PBB dalam mempertemukan Indonesia dengan Belanda pada tahun 1947. Indikator keberhasilan dari good offices dapat dilihat melalui kemampuan untuk dapat mempertemukan para pihak yang bersengketa.

  3. Mediasi 24 25 Huala Adolf, Hukum..., Op.Cit, hlm. 27 Ibid hlm.31

  Keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih kuat dimana mediator berperan aktif dalam mendamaikan pihak yang bersengketa dan dapat memberikan rekomendasi untuk penyelesaian sengketa. Mediasi bertujuan menciptakan hubungan langsung antara pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mengurangi ketegangan antara pihak bersengketa dan menjadi saluran informasi bagi pihak yang bersengketa serta dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan pihak yang bersengketa.

  Negara, NGO, individu atau organisasi regional maupun internasional yang dianggap netral dan bisa diterima oleh pihak yang bersengketa.

  Penetapan mediator dapat dipilih langsung oleh pihak yang bersengketa ataupun atas usul masyarakat internasional, adapun yang menawarkan jasanya untuk menjadi mediator dalam sebuah sengketa. Dalam mediasi harus dilakukan atas persetujuan para pihak yang bersengketa.

  Seorang mediator diberikan kebebasan dalam menentukan proses penyelesaian sengketanya dengan memberikan saran maupun usulan yang diperolehnya dari hasil laporan para pihak terhadap sengketa tersebut. Mediator juga dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan kelayakan) sehingga tidak terbatas oleh hukum yang ada.

4. Pencari Fakta (Fact Finding/ Inquiry)

  Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak lain. Negara dan organisasi sering kali menggunakan inquiry.

  Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu

  maupun organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya. Tugas komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan pernyataan menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan suatu putusan (award). Pemilihan penyelesaian sengketa dengan cara inquiry harus dilakukan atas kesepakatan para pihak untuk memilih cara tersebut.

  Meskipun di lapangan, tim pencari fakta sering menemui kesulitan jika negara teritorial tempat penyelidikan diadakan kurang kooperatif. Maka dengan adanya ketentuan Pasal 39 Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB dapat mengirimkan komisi pencari fakta atas nama PBB tanpa persetujuan negara teritorial bila menurut Dewan Keamanan sengketa yang muncul sudah termasuk kategori mengancam atau melanggar perdamaian keamanan internasional atau juga tindakan agresi.

  Pasal 39 Piagam PBB: Dewan Keamanan PBB akan menentukan ada atau tidaknya suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.

5. Konsiliasi (Conciliation)

  Merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam cara ini, juga menggunakan pihak ketiga dalam menyelesaiakan sengketa. Melalui cara ini, pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang dipermasalahkan lalu memberikan usulan-usulan formal mengenai penyelesaian sengketanya. Usulan ini tidak mengikat para pihak yang bersengketa. Konsiliasi dapat dilakukan oleh lembaga atau komisi yang

  26 permanen maupun ad hoc.

  Yang membedakan konsiliasi dengan mediasi adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal yang dapat diterapkan dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi sedangkan mediasi tidak ada hukum acara formal yang mengaturnya.

  2. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan Dalam penyelesaian sengketa juga dimungkinkan untuk dilakukan dengan cara kekerasan apabila penyelesaian sengketa dengan cara damai tak tercapai. 26 Sefriani, Hukum... Op.Cit hlm. 322

  Penyelesaian ini sering juga disebut dengan penyelesaian secara tidak damai, diantaranya berupa: a.

  Perang Bertujuan untuk menaklukan negara lawan dimana negara yang dikalahkan tersebut akan menerima syarat penyelesaian-penyelesaian dan tidak memiliki alternatif lain selain mematuhi hal tersebut.

  Yang disebut dengan perang adil pada awal perkembangan hukum internasional adalah perang yang dilakukan dengan penggunaan senjata yang sederhana yang disertai pernyataan perang oleh satu pihak kepada pihak yang lain

  27

  dan pihak lain tersebut akan bersiap untuk membela dirinya. Pada abad ke-18, hak berdaulat untuk menyelesaikan sengketa dengan perang lebih ditekankan dan tidak mempermasalahkan parameter hak negara dalam menggunakan kekerasan.

  b.

  Retorsi Merupakan istilah pembalasan dendam oleh suatu negara atas tindakan kurang bersahabat dari negara lain. Bentuk retorsi dapat dicontohkan diantaranya: pemutusan hubungan diplomatik; pencabutan privilege-privilege diplomatik; deportasi dibalas deportasi; persona non grata dibalas persona non grata; dan lain sebagainya. Retorsi sah dan dibenarkan asalkan tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan.

  c.

  Reprisal Merupakan metode oleh negara-negara untuk mengupayakan ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan. Pada 27 Ibid hlm. 354 zaman dahulu, reprisal ini merupakan penyitaan harta benda maupun penahanan orang. Namun pada zaman sekarang ini, tindakan reprisal merujuk pada tindakan pemaksaan oleh satu negara kepada negara lain bertujuan menyelesaikan sengketa yang diakibatkan tindakan tidak sah negara tersebut.

  Perbedaan antara reprisal dengan retorsi menurut Starke adalah bahwa reprisal adalah pembalasan yang meliputi tindakan yang boleh dikatakan merupakan perbuatan ilegal sedangkan dalam retorsi tindakan balas dendam

  28 tersebut dibenarkan oleh hukum.

  Reprisal dapat berupa suatu pemboikotan berang terhadap suatu negara tertentu; embargo; demonstrasi angkatan laut; atau pemboman. Dalam perkembangan praktek internasional, reprisal dibenarkan dalam hal negara lawan tersebut bersalah atas tindakan suatu pelanggaran internasional. Reprisal tidak dibenarkan dalam hal negara pelanggar tanpa diminta memberikan ganti rugi atas kesalahannya atau tindakan reprisal itu melebihi proporsi atas kerugian yang diderita.

  d.

  Blokade secara damai Merupakan blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk memaksa negara yang di blokade tersebut agar memenuhi ganti rugi yang diderita negara yang memblokade. Dapat dikatakan bahwa blokade damai ini dalam tahapan melebihi reprisal namun masih di bawah perang. Beberapa penulis telah meragukan legalitas tindakan ini, dan keabsahan blokade damai masih dipertanyakan ditinjau dari Piagam PBB. 28 J.G.Starke, Pengantar..., Op.Cit hlm. 680 e.

  Embargo Merupakan larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo.

  Embargo juga ditetapkan sebagai sanksi bagi negara pelanggar hukum internasional.

  f.

  Intervensi Menurut Starke, intervensi termasuk dalam cara penyelesaian sengketa

  29

  dengan kekerasan. Intervensi yang dalam kaitan ini berarti suatu tindakan yang melebihi campur tangan saja, yang lebih kuat daripada

  30

  mediasi atau usulan diplomatik. Campur tangan yang bertentangan dengan kepentingan negara tersebut dilarang dan sudah termasuk kategori intervensi. Adapun bentuk intervensi yang dibenarkan dalam hukum

  31

  internasional yaitu: 1)

  Intervensi kolektif, merupakan intervensi dibawah kewenangan Dewan Keamanan PBB sesuai dengan bab VIII Piagam PBB;

  2) Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan serta jiwa warga negara di luar negeri;

  3) Intervensi untuk pertahanan diri, diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata;

  4) Intervensi dalam urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaan negara tersebut;

  29 30 JG Starke, Pengantar...., Op.Cit., hlm. 679 JG Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm.

  135 31 Ibid, hlm. 137

  5) Intervensi dalam hal negara pengintervensi telah melakukan pelanggaran berat dalam hukum internasional dalam melakukan operasi intervensinya.

  3. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum a.

  Melalui Jalur Arbitrase Menurut Komisi Hukum Internasional, penyelesaian sengketa melalui

  Arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa antar negara yang bersifat mengikat berdasar hukum dan hasilnya dapat diterima secara sukarela.

  Prinisip kesukarelaan terlihat dalam Arbitrase, yaitu para pihak sepakat untuk membawa sengketanya ke arbitrase.

  Permanent Court of Arbitration (PCA) dibentuk melalui Konvensi Den

  Haag 1899 dan 1907 yang mengatur proses beracara di PCA. Kompetensi PCA juga meliputi sengketa yang terjadi antara negara dengan subjek hukum internasional non negara yang mana tidak dapat ditangani oleh Mahkamah Internasional.

  Arbitrase berfokus pada masalah hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dilihat dari hukum internasional. Dengan penerapan hukum sesuai dengan fakta yang ada, maka diharapkan penyelesaian sengketa akan tercapai.

  Putusan Arbitrase bersifat mengikat secara hukum bagi para pihak yang terkait. Mayoritas putusan arbitrase dipatuhi oleh para pihak meskipun belum ada perangkat untuk menjamin penguatan hukum akan itu.

  Para pihak dalam proses arbitrase dapat memilih atbitrator nya sendiri. Serta juga dapat memasukkan ahli-ahli teknis yang diperlukan dan menentukan sendiri prosedur yang harus dijalani seperti untuk tidak mempublikasi putusan arbitrase.

  b.

  Melalui Pengadilan Internasional Ada beberapa pengadilan internasional, diantaranya:

  1) International Court of Justice (ICJ)

  Adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara di bidang hukum internasional;

  2) International Tribunal for the Law of the Sea

  Khusus untuk mengadili sengketa di bidang hukum laut internasional;

  3) International Criminal Court (ICC) dan Ad Hoc Tribunal

  Mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan kejahatan internasional.

  ICJ merupakan salah satu organ penting PBB yang diatur oleh Statuta Mahkamah Internasional. Meskipun negara anggota PBB juga merupakan anggota statuta tapi tidak ada kewajiban negara anggota untuk membawa sengketanya ke hadapan ICJ.

  ICJ dianggap cara utama penyelesaian sengketa meskipun statistik menunjukkan hanya 4-5 perkara saja yang diajukan ke ICJ setiap tahunnya. Adapun alasan mengapa masyarakat internasional jarang menyelesaikan sengketa melalui ICJ dipengaruhi beberapa faktor: 1)

  Proses ICJ dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah; 2)

  Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi; 3)

  ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) Adapun sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ diantaranya menyangkut:

   Penafsiran suatu perjanjian;  Setiap masalah hukum internasional;  Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban hukum internasional;  Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran kewajiban hukum internasional.

  ICJ terdiri dari 15 hakim dengan kewarganegaraan berbeda yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak oleh Majelis Umum dengan rekomendasi Dewan Keamanan. Komposisi ini termasuk satu hakim dari masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan (Hak Veto tidak berlaku). Lima orang dari negara-negara barat, tiga dari Afrika (1 orang dari negara berbahasa Prancis yang menganut Civil Law, 1 orang dari negara berbahasa Inggris yang menganut Common Law, dan 1 orang dari Arab), tiga orang dari Asia, dua orang dari Eropa Timur, dan dua orang dari Amerika Latin. Adapun hakim-hakim dalam ICJ ini tidak bertindak mewakili negaranya.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Tiga Dimensi Rekayasa Penempatan Posisi Damper pada Struktur Multistory Frame dengan Tipe Pengaku Bracing

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN - Analisa Tiga Dimensi Rekayasa Penempatan Posisi Damper pada Struktur Multistory Frame dengan Tipe Pengaku Bracing

0 0 16

ANALISA TIGA DIMENSI REKAYASA PENEMPATAN POSISI DAMPER PADA STRUKTUR MULTISTORY FRAME DENGAN TIPE PENGAKU BRACING TUGAS AKHIR - Analisa Tiga Dimensi Rekayasa Penempatan Posisi Damper pada Struktur Multistory Frame dengan Tipe Pengaku Bracing

0 0 20

2.1.2. Toksonomi Duku - Efektifitas EkstrakKulit Duku ( Lansiumdomesticum) Sebagai Insektisida Nabati Dalam Membunuh Nyamuk Aedesspp Tahun 2014

0 2 24

2.1. Permainan Bekel - Game Adaptasi Bekel Berbasis Android

0 3 15

2.1. Produksi Kelapa Sawit - Prediksi Produksi Panen Kelapa Sawit Menggunakan Jaringan Saraf Radial Basis Function (RBF)

1 0 22

1.1. Latar Belakang - Prediksi Produksi Panen Kelapa Sawit Menggunakan Jaringan Saraf Radial Basis Function (RBF)

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Kapasitas Daya Dukung Tiang Pancang Tunggal dengan Panjang Tiang 21 meter dan Diameter 0,6 meter Secara Analitis dan Metode Elemen Hingga (Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu Lokasi Jembatan Sei Bat

0 1 129

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Kapasitas Daya Dukung Tiang Pancang Tunggal dengan Panjang Tiang 21 meter dan Diameter 0,6 meter Secara Analitis dan Metode Elemen Hingga (Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu Lokasi Jembatan Sei Batu Ging

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas AntioksidanN Ekstrak Etanol Daun Cincau Perdu

0 1 10