Perbedaan Psychological Well-Being Antara Wanita Menopause Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja

  BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Definisi Psychological Well-Being

  Diener & Johada (dalam Ryff, 1989) mengungkapkan bahwa penelitian tentang psychological well-being mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi lebih sering menekankan pada ketidakbahagiaan dan penderitaan daripada bagaimana individu dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Ryff (1989) menambahkan bahwa kesehatan mental seringkali dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi secara positif. Oleh sebab itu, orang-orang lebih mengenal kesehatan mental dengan istilah tidak adanya penyakit daripada berada dalam kondisi well-being. Formulasi seperti itu seakan mengabaikan kapasitas dan kebutuhan manusia untuk berkembang serta merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya.

  Well-being didefinisikan sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat

  berfungsi secara optimal (Ryan & Deci, 2001). Menurut Bradburn (dalam Ryff & Keyes, 1995), psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif (misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri). Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian

  14 penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya (Ryff, 1989).

  Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki

  

psychological well being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang

  berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Psychological well being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. Ryff menyebutkan bahwa psychological well being terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).

  Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Psychological

  well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis

  seseorang. Dimana individu dapat menerima segala kekurangan, kelebihan dan masa lalunya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.

2. Dimensi Psychological Well-Being

  Menurut Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) pondasi untuk diperolehnya

  psychological well-being adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi

  secara positif (positive psycholigical functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu: a.

  Otonomi Dimensi otonomi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.

  Individu tersebut tidak meminta persetujuan dari orang lain, namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar-standar pribadinya. Individu yang memiliki tingkatan yang baik dalam dimensi ini adalah inidividu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik b.

  Penguasaan Lingkungan Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Penguasaan lingkungan yang baik dapat dilihat dari sejauh mana individu dapat mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada di lingkungan. Individu yang memiliki tingkatan yang baik pada dimensi ini ditandai dengan kemampuan memilih atau menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungannya. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

  c.

  Pertumbuhan Pribadi Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Memanfaatkan secara maksimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang penting untuk mencapai

  psychological well-being . Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah

  adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru berarti individu tersebut akan terus berkembang bukan hanya mencapai suatu titik dimana semua masalah terselesaikan. Individu yang memiliki tingkatan yang baik dalam dimensi ini berarti memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang membosankan, kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku baru d.

  Hubungan Positif dengan Orang Lain Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dilihat juga sebagai salah satu komponen kesehatan mental.

  Hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari kedewasaan. Individu yang memiliki tingkatan yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia.

  Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini. e.

  Tujuan Hidup Dimensi ini menjelaskan mengenai adanya keyakinan bahwa hidup ini bermakna dan menuju ke sebuah tujuan tertentu. Individu mampu untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Individu yang memiliki nilai yang baik dalam dimensi ini adalah inividu yang memiliki target dan cita-cita dalam hidupnya serta merasa bahwa kehidupan di saat ini dan masa lalunya bermakna. Individu tersebut juga memegang teguh pada suatu kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti.

  f.

  Penerimaan Diri Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan dewasa. Penerimaan diri berarti merasa baik tentang diri sendiri, terhadap masa lalu, dan disaat yang bersamaan mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada dalam dirinya, baik itu yang merupakan kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa yang lalu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik dapat ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being

  Ryff (dalam Wells, 2010) mengungkapkan bahwa variasi well well-being dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut ini: a.

  Usia Usia dan tingkat pendidikan meletakkan individu dalan posisi tertentu dalam struktur sosial. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat adanya peningkatan seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya.

  Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Individu yang berada dalam tahap dewasa madya menunjukkan titik tertinggi dalam hal kemampuan untuk mengambil keputusan dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan keluarga dan pekerjaan. b.

  Tingkat pendidikan Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi dikatakan juga memiliki

  

psychological well-being yang tinggi. Individu yang memiliki kesempatan

  mendapatkan pendidikan yang lebih baik umumnya memiliki tingkat

  

psychological well-being yang juga lebih baik dibandingkan individu yang

  berpendidikan rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang baik akan mempengaruhi keputusan yang mereka pilih, pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka (Ryff, 2002).

  c.

  Status sosial ekonomi

  

Psychological well-being sering dikaitkan dengan status sosial ekonomi

  seseorang. Status sosial ekonomi berkaitan erat dengan beberapa dimensi

  

psychological well-bein seperti penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan

  lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff, dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological

  

well-being yang lebih tinggi. Berbagai hal yang mempengaruhi yaitu

  lingkungan sekitar, lingkungan pekerjaan, dan kesehatan berkaitan dengan seseorang. Seseorang dengan tingkat ekonomi yang

  psychological well-being

  rendah cenderung memiliki psychological well-being yang lebih rendah hal ini terkait dengan berbagai kemampuan mereka dalam mendapatkan kesehatan, pendidikan, dan hiburan yang layak. Seseorang dengan tingkat ekonomi dan sosial yang tinggi dikaitkan otonomi, pengembangan diri dan penguasaan lingkungan yang lebih baik.

  d.

  Peran Jenis Kelamin Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari dan psychological well-being seseorang. Umumnya wanita memiliki nilai yang lebih baik dalam menjalin hubungan positif dengan orang lain. Sedangkan secara keseluruhan pria memiliki self esteem dan well-being yang lebih baik dibandingkan wanita. Namun secara keseluruhan jika dilihat dari dimensi psychological well-being lainnya, pria memiliki tingkat psychoilogical well-being yang lebih baik dibandingkan dengan wanita. Pria dan wanita yang menikah memiliki self

  

esteem dan well-being yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak

menikah.

  Saat ini, jumlah wanita yang memasuki dunia kerja semakin meningkat disamping itu mereka masih tetap mempunyai tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan anak. Di saat seperti inilah wanita dituntut untuk mampu menyesuaikan beban pekerjaan yang meningkat antara pekerjaan dan tugas rumah tangga. Hal inilah yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan wanita. Tanggung jawab dalam keluarga penting peranannya terhadap psychological well-being. Menurut Escriba-Aguir (2004) wanita yang lebih banyak menghabiskan waktunya sebagi ibu rumah tangga memiliki

  

psychological well-being yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang

  bekerja. Sedangkan sebagian besar wanita yang bekerja memiliki tingat well-

  

being yang tinggi terkait dengan kepuasaan yang mereka rasakan antara

  keberhasilan dalam keluarga dan pekerjaan. sedan dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Selain itu tingkat well-being juga terkait dengan periode kehidupan, khususnya pada wanita yaitu terjadinya proses menopause. Well-being meningkat dari awal menopause hingga mencapai akhir tahapan menopause.

  e.

  Kepribadian Kepribadian sering kali dihubungkan dengan dimensi psychological well-

  

being , Scmutte dan Ryff (1997) menemukan bahwa sifat neurotic, ekstrovert

  dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi

  

well-being khususnya, penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan

  hidup. Walaupun begitu aspek-aspek psychological well-bieng yang lain juga berkorelasi dengan sifat-sifat yang lainnya. Misalnya sifat keterbukaam terhadap pengalaman baru dan esktrovert adalah prediktor dari dimensi pertumbuhan diri, sedangkan sifat agreeableness adalah prediktor dari dimensi hubungan positif dengan orang lain. Dimensi psychological well-being, otonomi, diprediksi oleh beberapa sifat, namun yang paling menonjol adalah

  neurotic f.

  Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Hal ini dikarenakan budaya individualism mendorong seseorang mampu menerima segala kekurangan agar dapat bertindak lebih mandiri dalam berbagai hal hal ini berbeda dengan budaya kolektivisme yang mengutakan rasa kebersamaan yang terkadang membuat seseorang tidak perlu berbuat banyak untuk dirinya dan orang-orang disekilingnya karena mereka masih memiliki orang-orang yang bersedia membantu.

B. WANITA BEKERJA 1.

  Definisi Wanita Bekerja Kerja (work) didefinisikan sebagai aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang bernilai, baik barang maupun jasa. As’ad (1998) mengatakan bahwa bekerja adalah aktivitas manusia baik fisik maupun mental yang pada dasarnya adalah bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapatkan kepuasan. Konsep kerja juga dinyatakan oleh Thomason (dalam Ndraha, 1999) sebagai aktivitas yang menuntut pengeluaran energi atau usaha untuk menciptakan produk dan jasa yang bernilai bagi manusia dari bahan/material mentah. Brown (dalam Anoraga, 2006) mengatakan bahwa kerja sesungguhnya merupakan bagian penting dari kehidupan manusia karena memberikan status dalam masyarakat, baik pria maupun wanita sejak dahulu kala memang menyukai pekerjaan.

  Wanita dapat dikatakan bekerja apabila mendapatkan penghasilan/gaji, setelah mengerjakan tugas-tugasnya (Matlin, 2004). Anoraga (2006) menyebutkan wanita yang bekerja dengan menggantikan istilah wanita karir. Menurut kamus besar bahasa indonesia (1996), wanita karir adalah wanita yang mempunyai pekerjaan atau jabatan, dimana diharapkan berkembang pada periode yang akan datang. Umumnya, wanita yang bekerja memiliki level kepuasan hidup yang lebih tinggi, merasa adekuat dan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak bekerja (Hooyer dan Roodin 2003).

  Hal utama yang didapatkan wanita yang bekerja dan mendapat upah adalah menjadikannya lebih mandiri secara finansial dan menjadikan wanita lebih tertantang untuk mampu bersaing dengan rekan kerja lainnya baik itu wanita ataupun pria. Bekerja di luar juga menjadikan mereka memiliki kedudukan yang lebih baik, meningkatkan status dan memberikan mereka arti keberadaan mereka dalam dunia kerja, yang menjadi faktor utama emansipasi wanita. Selain itu, bekerja dan mendapatkan upah juga memungkinkan wanita untuk menumbuhkan rasa hormat dan kepercayaan diri dalam diri mereka. Dalam era globalisasi ini, Pekerja wanita sudah menyatu dalam proses globalisasi. Dimana wanita yang mendapatkan gaji dari pekerjaannya tidak hanya menjadi pelengkap tetapi juga menyatu dengan berbagai dimensi perubahan ekonomi global. Kehadiran wanita dapat merubah dinamika dan mempengaruhi trend globalisasi (ILO, 2007)

  Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa wanita bekerja adalah wanita yang melakukan aktivitas pengeluaran energi/usaha dalam menghasilkan produk atau jasa dan bertujuan untuk mempertahankan hidup, mendapatkan kepuasan/kesenangan dan meningkatkan taraf kehidupan.

2. Peran Wanita Bekerja

  Saat ini tersedianya akses bagi wanita untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi memungkin wanita untuk memiliki kesempatan menjadi seorang profesional di berbagai bidang dan mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan terkadang lebih baik dibandingkan gaji yang di dapatkan suaminya. Oakley (dalam Berger, 1999) mengungkapkan catatan penting mengenai wanita bekerja, wanita yang bekerja biasanya memandang pekerjaan sebagai peran kedua disamping perannya menjadi istri dan ibu. Tidak hanya untuk kebutuhan ekonomi, bekerja juga dapat membuat wanita mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya karena tidak jarang dengan bekerja wanita dituntut untuk memiliki keahlian dan pendidikan yang lebih baik dan hasilnya adalah mendapatkan gaji yang menambah pemasukan keluarga. Wanita bekerja yang menikah umumnya mencari pekerja yang memungkinnya untuk tetap mengurusui suami, anak dan rumahnya (Chafetz dalam Berger, 1999).

  Banyak wanita yang memandang bahwa dengan mempunyai banyak peran akan memberikan pengaruh yang baik bagi mereka. Khususnya, aktivitas bekerja dapat dijadikan sebagai solusi melawan stres akibat berbagai masalah keluarga, dan aktivitas kehidupan keluarga menjadi pengalih dari berbagai masalah pekerjaan. Secara umum, wanita bekerja dilaporkan memiliki perasaan kompeten dan kecakapan yang lebih baik dibandingkan wanita yang tidak bekerja.

  Banyak wanita yang terdorong oleh tantangan akan tugas-tugas yang sulit dan banyak kesenangan akan pencapaian kesuksesan dalam bekerja (Matlin, 2004).

  Ketika wanita bekerja biasanya mereka juga dapat lebih independen dan dapat berperan serta dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga. Adanya kekuasan dan kemandirian yang lebih dalam mengambil keputusan inilah yang diasumsikan memiliki efek yang menguntungkan bagi wanita menopause. selain itu adanya dukungan dari rekan kerja yang dapat memberikan informasi mengenai menopause juga membuat wanita dapat memiliki sikap yang positif terhadap menopause (Berger, 1999).

  Meskipun demikian bekerja di luar rumah juga membutuhkan waktu dan energi yang lebih. Pekerjaan diluar rumah biasanya bersifat cepat, mudah berubah dan membutuhkan usaha keras karena kualitas kerjanya akan dinilai. Selain itu, pekerjaan itu biasanya membutuhkan usaha fisik dan pemikiran yang lebih dan biasanya juga berkaitan dengan konflik keluarga. Konflik biasanya terjadi ketika adanya kesulitan menyesuaikan peran mereka sebagai pekerja juga sebagai ibu dan istri. Keadaan menjadi sulit dan penuh tekanan ketika wanita harus bekerja dan juga diharapkan untuk selalu hadir di sisi suami dan anaknya. Peran ganda inilah yang seringkali juga dapat meningkatkan tekanan karena masalah keluarga dan dan pekerjaaan yang mungkin memberikan efek negative bagi well-being wanita menopause (Berger, 1999).

  Wanita bekerja adalah wanita yang memperoleh/mengalami perkembangan dan kemajuan dalam bidang pekerjaannya (Anoraga, 2006).

  Umumnya wanita bekerja memiliki jam kerja tertentu sekitar 30 jam atau lebih per minggunya (Mikchuka, 2011).

C. WANITA TIDAK BEKERJA 1.

  Definisi wanita tidak bekerja UU Perkawinan No.1/1974 pasal 31 ayat 3 mendefenisikan seorang istri sebagai ibu rumah tangga. Definisi ini menunjukkan bahwa seorang istri bertanggung jawab akan urusan rumah tangga, yang tidak menghasilkan, sehingga ia tergantung pada hasil kerja suaminya (Adiningsih, 2004). Sedyono (dalam Gardiner, Wagemann, Sulaeman dan Sulastri, 1996) mengungkapkan bahwa ibu rumah tangga adalah para istri yang pekerjaannya terbatas pada mengatur berbagai macam pekerjaan dalam rumah tangga mereka sendiri. Menurut Word Reference (2006) ibu rumah tangga adalah seorang ibu yang mengatur rumah tangga sementara suami bekerja mendapatkan gaji untuk pendapatan keluarga.

  Shaadi (2006) mengatakan bahwa ibu rumah tangga adalah wanita yang memiliki pekerjaan utama untuk menjaga atau merawat keluarga dan/ rumah, suatu bentuk untuk menggambarkan wanita yang tidak dibayar sebagai tenaga kerja untuk menjaga keluarganya.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita tidak bekerja adalah seorang ibu yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga atau merawat keluarga tanpa memiliki pekerjaan diluar rumah, tidak memiliki penghasilan sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melaksanakan pekerjaan dalam rumah tangga mereka.

2. Peran Wanita Tidak Bekerja

  Berger (1999) mengukapkan bahwa sampai saat ini masih banyak yang percaya tugas seorang wanita adalah di rumah. Apa yang diharapkan dari peran tradisional dan alami seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga, istri dan ibu bagi anak-anaknya. Beberapa pekerjaan yang termasuk pekerjaan rumah tangga adalah 1.

  Membersihkan, mengatur dan merawat rumah 2. Memastikan kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarga 3. Membentuk dan membina hubungan sosial.

  Ibu rumah tangga melakukan berbagai tugas di rumah sepanjang waktu. Rumah adalah tempat utama wanita dan peran sebagai ibu rumah tangga memiliki kelebihan dan kekurangan. Peran sebagai ibu rumah tangga sering dikararakteristikan sebagai pekerjaan yang rutin dan monoton. Sebagai ibu rumah tangga berarti wanita tidak dapat berhenti dari berbagai pekerjaan rumah, pekerjaan rumah biasanya banyak dan berulang, waktu kerja yang panjang dan pekerjaannya biasanya hanya dirumah saja. Selain itu Ibu rumah tangga juga lebih beresiko mengalami tekanan dan lebih sering mengeluhkan adanya gejala fisik dan psikologis yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis mereka selama menopause dibandingkan dengan wanita yang bekerja (Berger, 1999). Hal yang sama diungkapkan Azar &Vasudeva (2006), dan Mickhuka (2011) bahwa wanita bekerja cenderung memiliki kondisi psikologis yang lebih baik dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja yang hanya menjadi ibu rumah tangga.

  Selain itu biasanya sering terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pria dan wanita dalam rumah tangga jika wanita tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Pada situasi seperti ini biasanya pria memiliki kekuasaan yang lebi secara fisik dan keuangan untuk mengambil keputusan dalam rumah tangga.

  Namun di sisi lain berperan sebagai ibu rumah tangga saja berarti berarti tidak ada atasan yang mengawasi, dapat menentukan sendiri waktu yang tepat untuk melaksanakan berbagai pekerjaan rumah dan dapat terlibat langsung dalam perawatan anak dan mendisain rumah. (Berger, 1999).

D. DEWASA MADYA

1. Definisi Dewasa Madya

  Masa dewasa madya atau usia setengah baya adalah masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia, yang dibagi ke dalam dua subbagian, yaitu : usia madya dini (40-50 tahun) dan usia madya lanjut (50-60 tahun). Masa dewasa madya ditandai dengan adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental (Hurlock, 1999).

  Monks (2004) mengatakan bahwa pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa yang akan beralih menuju masa dewasa madya antara usia 40-45 tahun. permulaan dewasa madya antara 45-50 tahun yang selanjutnya ketika mencapai 50-55 tahun seringkali dianggap sebagai masa krisis bila seseorang tidak mampu menhadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Setelah itu seseorang memasuki masa puncak pada usia 55-60 tahun yang sekaligus merupakan pertanda akan memasuki masa dewasa akhir.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usia dewasa madya diawali pada usia 40 tahun dan akan berakhir pada usia 60 tahun yang juga merupakan pertanda memasuki masa dewasa akhir.

  2. Karakteristik Dewasa Madya

  Havighurst (dalam Hurlock,1999) mengatakan bahwa usia madya diasosiasikan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda. Adapun karakteristik tersebut adalah: 1.

  Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti Terdapat kepercayaan tradisional dimana pada masa ini terjadi kerusakan mental, fisik dan reproduksi yang berhenti serta merasakan bahwa pentingnya masa muda 2. Usia madya merupakan masa transisi

  Perubahan pada ciri dan perilaku masa dewasa yaitu perubahan pada ciri jasmani dan perilaku baru. Pada pria terjadi perubahan keperkasaan dan pada wanita terjadi perubahan kesuburan atau menopause.

  3. Usia madya adalah masa stres Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah terutama karena perubahan fisik dimana terjadi perubahan homeostatis fisik dan psikologis. Pada wanita terjadi pada usia 40-an yaitu masuk menopause dan anak-anak meninggalkan rumah dan pada pria umumnya terjadi pada usia 50-an saat masuk pensiun. disertai berbagai perubahan fisik. Stres somatik, stres budaya, stres ekonomi, dan stres psikologis.

  4. Usia madya adalah usia yang berbahaya Terjadi kesulitan fisik dikarekan terlalu banyak bekerja, cemas yang berlebihan, dan kurang perhatian terhadap kehidupan. Kondisi ini dapat mengganggu hubungan suami-isteri dan bisa terjadi perceraian, gangguan jiwa, alkoholisme, pecandu obat, hingga bunuh diri.

  5. Usia madya adalah usia canggung Serba canggung karena bukan ―muda‖ lagi dan bukan juga ‖tua‖. Kelompok usia madya seolah berdiri diantara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi senior.

  6. Usia madya adalah masa yang berprestasi Sejalan dengan masa produktif dimana terjadi puncak karir. Menurut Erikson, usia madya merupakan masa krisis yaitu generativity (cenderung untuk menghasilkan) vs stagnasi (cenderung untuk tetap berhenti) dan dominan terjadi hingga menjadi sukses atau sebaliknya.

  7. Usia madya merupakan masa evaluasi Terutama terjadi evaluasi diri. Mengevaluasi hidupnya berdasarkan aspirasi mereka dan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.

  8. Usia madya di evaluasi dengan standar ganda a.

  Aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani yaitu rambut menjadi putih, wajah keriput, otot pinggang mengendur b.

  Cara dan sikap terhadap usia tua yaitu tetpa merasa muda dan aktif menjadi tua dengan anggun, lambat, hati-hati hidup dengan nyaman.

  9. Usia madya merupakan masa sepi Masa sepi atau empty nest terjadi jika anak-anak tidak lagi tinggal dengan orang tua. Lebih terasa traumatik bagi wanita khususnya wanita yang selama ini mengurus pekerjaan rumah tangga dan kurang mengembangkan minat saat itu. Pada pria mengundurkan diri dari pekerjaan.

  10. Usia madya merupakan masa jenuh.

  Pada pria jenuh dengan kegiatan rutin dan kehidupan keluarga dengan sedikit hiburan. Pada wanita jenuh dengan urusan rumah tangga dan membesarkan anak.

  3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya

  Havighurst (dalam Hurlock, 1999) membagi tugas perkembangan dewasa madya menjadi empat kategori utama :

  1. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan fisik yang biasa terjadi pada usia madya

  2. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat warga negara dan sosial, minat orang yang berusia madya seringkali mengasumsikan tanggung jawab warga negara dan sosial, serta mengembangkan minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan pada tempat kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada keluarga yang biasanya dilakukan pada masa dewasa dini.

  3. Tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup relatif mapan

4. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga

  Berkaitan dengan pasangan, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

E. MENOPAUSE 1.

  Definisi Menopause Spencer & Brown (2007) mengartikan menopause sebagai suatu akhir proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan ovarium (indung telur). Sedangkan Ali (dalam Kasdu 2002) mengatakan apabila seseorang tidak mengalami haid selama satu tahun penuh, maka dapat disimpulkan bahwa menopause terjadi saat terakhir kali ia tidak mendapat haid.

  Menurut Kasdu (2002), menopause adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Men dan peuseis adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan berhentinya haid. Menurut kepustakaan abad 17 dan 18 menopouse dianggap sebagai suatu bencana dan malapetaka, sedangkan wanita setelah menopouse dianggap tidak berguna dan tidak menarik lagi.

  Webster’s

Ninth New Collection mendefinisikan menopause sebagai periode berhentinya

  haid secara alamiah. Baziad (dalam Kasdu, 2002) menyebutkan menopause sebagai pendarahan rahim terakhir yang masih diatur oleh fungsi hormon indung telur. Istilah menopause digunakan untuk menyatakan suatu perubahan hidup dan pada saat itulah seorang wanita mengalami periode terakhir masa haid.

  Dapat disimpulkan bahwa menopause merupakan suatu akhir proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen dan progesterone.

  2. Gejala Fisik dan Psikologis Datangnya menopause biasanya juga disertai dengan adanya gejala-gejala fisik yang mengganggu dan biasanya membuat mereka tidak nyaman (Berger,

  1999). Menurut Kasdu (2002) gejala-gejala fisik selama menopause meliputi: 1.

  Hot flueshes (rasa panas) Pada saat memasuki masa menopause wanita akan mengalami rasa panas yang menyebar dari wajah ke seluruh tubuh. Rasa panas ini terutama terjadi pada dada, wajah, dan kepala. Rasa panas ini sering diikuti dengan timbulnya warna kemerahan pada kulit dan berkeringat malam yang menyebabkan tidur tidak nyaman serta timbulnya rasa cemas dan detak jantung yang lebih cepat.

  2. Keringat berlebihan Berkeringat di malam hari merupakan suatu kesatuan dengan gelora panas.

  Terlebih pada pukul 3 dan 4 pagi merupakan saat yang paling umum dimana wanita pra menopause mandi keringat. Sehingga perlu mengganti pakaian dimalam hari. Berkeringat malam hari tidak saja mengganggu tidur melainkan juga teman atau pasangan tidur. Akibatnya diantara keduanya merasa lelah dan lebih mudah tersinggung, karena tidak dapat tidur nyenyak.

  3. Vagina kering Gejala pada vagina yang timbul akibat perubahan yang terjadi pada lapisan dinding vagina. Ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen. Selain itu, juga muncul rasa gatal dan sakit saat berhubungan seksual hingga akhirnya wanita menopause rentan terhadap infeksi vagina

  4. Penambahan berat badan Banyak wanita mengalami peningkatan berat badan saat menopause, terutama di area sekita perut. Hal ini berhubungan dengan menurunnya kadar estrogen dan gangguan pertukaran zat dasar metabolisme lemak 5. Sulit tidur

  

Insomnia (sulit tidur) lazim terjadi pada waktu menopause, tetapi hal ini

  mungkin ada kaitannya dengan rasa tegang akibat berkeringat amalam hari, hot flush, dan perubahan lainnya (Nugroho, 1995).

  6. Perubahan kulit Estrogen berperan dama mnjaga elastisitas kulit, ketika menstruasi berhenti maka kulit akan terasa lebih tipis, kurang lelastis terutama pada daerah sekitar wajah, leher, dan lengan. Kulit dibagian wajah menjadi mengembung seperti kantong, lingkaran hitam dibagian ini menjadi permanen dan jelas

  7. Menurunnya gairah seks (Hilangnya hasrat seksual) Wanita mengalami penurunan dalam kadar estrogen mereka selama pra menopause ini dapat mengakibatkan hilangnya hasrat seksual. Tapi bagi sebagian wanita masalah libido terkait dengan kurangnya hormon estrogen atau menipisnya jaringan vagina (Northrup, 2006).

  Selama menopause sebagian besar wanita juga mengalami beberapa gejala-gejala psikologis yang menyertai munculnya gejala-gejala fisik. Menurut Kuntjoro (2002) gejala-gejala psikologis selama menopause meliputi: 1.

  Perubahan suasana hati (yang paling sering rasa kesal) Banyak wanita merasakan bahwa perubahan suasana hati mereka lebih parah dibanding sebelumnya menjelang haid mereka datang, meningkatnya suasana hati yang negatif.

  2. Cemas Kecemasan pada wanita menopause umunya bersifat relative, artinya da yang cemas dan dapat tenang kembali, setelah mendapatkan semangat/dukungan daro orang disekitar nya namun ada juga yang terus menerus cemas, meskipun orang-orang disekitarnya telah memberikan dukungan. Akan tetapi banyak juga wanita yang mengalami menopause namun tidak mengalami perubahan yang berarti dalam kehidupannya. Menopause rupanya mirip atau sama saja juga dengan masa pubertas yang dialami seorang remaja sebagai awal berfungsinya alat-alat reproduksi, dimana remaja juga mengalami kecemasan, ada yang khawatir namun ada juga yang bisa-biasa sehingga tidak menimbulkan gejolak

  3. Depresi Beberapa wanita yang mengalami masa menopause tidak sekedar mengalami perubahan mood yang sangat drastis bahkan ada yang mengalami depresi.

  Wanita ini akan lebih sering merasa sedih karena kehilangan reproduksinya,kehilangan kesempatan untuk memiliki anaknya, kehilangan daya tariknya dan tertekan jika kehilangan seluruh perannya sebagai wanita.

  4. Ingatan menurun Ingatan menurun, sebelum menopause seorang wanita dapat mengingat dengan mudah, tetapi setelah mengalami menopause kecepatan dan daya ingatnya menurun.

  5. Mudah marah Gejala ini juga muncul sebagai salah satu gejala psikologis yang muncul akibat adanya perubahan hormonal. Menurut Brown (1999), hormon estrogen dapat berfungsi salah satunya untuk mengatur metabolisme karbohidrat dan tekanan darah. Pada saat menopause, kadar hormon estrogen yang berubah mengakibatkan berubahnya pula tekanan darah wanita sehingga menyebabkan munculnya sumber-sumber stress pada psikologis wanita tersebut. Akibatnya, wanita tersebut akan menjadi mudah marah dan tidak bisa mengendalikan emosinya.

  6. Mudah tersinggung Perasaan menjadi sangat sensitive terhadap sikap dan perilaku orang-orang disekitarnya, terutama jika sikap dan perilaku tersebut dipersepsikan sebagai menyinggung proses penerimaan yang sedang terjadi dalam dirinya (yatim, 2001)

  Selain gejala-gejala yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa gejala lainnya yang terkadang dialami wanita pada saat menopause. gejala-gejala lainnya tersebut misalnya tidak dapat menahan air seni, gangguan mata dan nyeri tulang sendi, mudah lelah, semangat berkurang, gelisah, konsentarasi berkurang , dan merasa tidak berguna lagi (Berger, 1999).

  3. Tahap-tahap menopause a. premenopause, adalah masa sebelum menopause yang ditandai dengan timbulnya keluhan-keluhan klimakterium dan periode pendarahan uterus yang bersifat tidak teratur. Dimulai sekitar usia 40 tahun. Pendarahan terjadi karena penurunan kadar estrogen.

  a. perimenopause, periode dengan keluhan memuncak, rentang waktu 1 sampai 2 tahun sebelum dan sesudah menopause. Masa wanita mengalami akhir datangnya haid sampai berhenti sama sekali. Keluhan yang sering dijumpai adalah berupa gejolak panas (hot flushes), berkeringat banyak, insomnia, depresi serta perasaan mudah tersinggung.

  b. postmenopause, periode setelah menopause sampai senilis. Masa yang berlangsung kurang lebih 3-5 tahun setelah menopause

  4. Usia Memasuki Menopause Menurut Kasdu (2002) menopause alami terjadi antara usia 45-55 tahun, kemudian ditambah dengan masa menopause yang berlangsung selama 5 tahun.

  Masa ini adalah tahap normal kehidupan dimana setiap wanita akan melaluinya antara umur 40 sampai 60 tahun (Life challenges, 2007). Namun menurut Rahman (dalam Kasdu, 2002) rata-rata seseorang memasuki masa menopause berbeda pada setiap ras. Dan dalam satu ras, tiap orang dapat mengalami menopause pada usia yang berbeda juga. Misalnya, wanita ras Asia mengalami menopause pada usia 44 tahun, sementara wanita Eropa mengalami menopause sekitar usia 47 tahun.

  Selain itu Morgan (dalam Kasdu, 2002) menyatakan bahwa kecenderungan bawaan, penyakit, stres, dan pengobatan dapat mempengaruhi waktu terjadinya menopause. Di Amerika Utara, usia rata-rata wanita yang mengalami menopause adalah sekitar 51 tahun. Data statistik menunjukkan bahwa wanita perokok cenderung mendapat menopause lebih awal dan wanita yang kelebihan berat badan cenderung mendapat menopause lebih lambat. Sedangkan Spencer & Brown (2007) menyatakan bahwa menopause umumnya dialami wanita pada rentang usia 45-55 tahun dan dengan usia rata-rata wanita memasuki menopause adalah 51 tahun.

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usia seseorang mengalami menopause sangat bervariatif. Jika diambil rata-ratanya, seseorang akan mengalami menopause sekitar usia 45-60 tahun.

F. PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ANTARA WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK BEKERJA

  Menopause sering dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dalam kehidupan seorang wanita. Kekhawatiran ini mungkin berawal dari pemikiran bahwa dirinya akan menjadi tidak sehat, tidak bugar, dan tidak cantik lagi. Menopause juga merupakan pertanda terjadinya masa transisi yaitu peralihan dari periode reproduktif menuju non-reproduktif yang biasanya diiringi dengan perubahan fisik dan psikologisnya (Jones, 2007). Selama menopause, wanita mengalami perubahan penampilan yang meliputi payudara tidak kencang, bibir dan kulit menjadi kering dan kurang halus, rambut beruban, menipis dan mudah rontok, selaput bening mata menjadi lebih kering, lekuk tubuh menjadi rata dan tubuh menjadi gemuk (Maspaitella,2006). Selain perubahan fisik yang telah disebutkan diatas, Gulli (dalam Longe, 2002) juga mengungkapkan gejala-gejala fisik yang menyertai menopause seperti rasa panas (hot flush), keluarnya keringat yang terlalu berlebih, sulit tidur, iritasi pada kulit, kekeringan vagina, mudah lelah, sakit kepala dan jantung berdebar kencang.

  Munculnya gejala-gejala atau perubahan fisik saat menopause dapat mengacaukan emosi, dan penurunan kadar estrogen dapat menjadi penyebab yang mempengaruhi suasana hati dan ketenangan secara tidak langsung (Spencer & Brown, 2007). Hal ini sejalan dengan penelitian Bromberger, dkk.(2001) yang menguji tentang kaitan antara distres psikologis dan menopause pada komunitas wanita Afrika Amerika, kulit putih, Cina, Hispanic dan Jepang. Ia menemukan bahwa dari 16065 wanita dengan usia 40-55 tahun, 28,9% wanita perimenopause mengalami psychologic distress yang tinggi. Sedangkan 20,9% wanita menopause dan 22% postmenopause juga mengalami psychologic distress namun tidak setinggi wanita perimenopause. Psychologic distress yang dialami berupa merasa tegang, sedih, dan mudah marah selama masa menopause.

  Perubahan selama masa menopause tidak jarang menimbulkan tekanan bagi mereka yang dapat berakibat pada penurunan well-being mereka. Pimenta (2011) melalui hasil penelitiannya tentang menopause dan well-being pada 1003 wanita menopause menemukan bahwa depressive mood yang merupakan simptom menopause secara signifikan berkaitan dengan penurunan well-being seseorang.

  Selain itu stress dan pengalaman hidup yang negatif terkait krisis usia paruh baya juga memberi pengaruh yang besar terhadap well-being seseorang

  Well-being sendiri diartikan sebagai fungsi optimal yang dimiliki individu

  (Ryan &Deci, 2001). Menurut Ryff (1989), well-being itu sendiri terkait dengan fungsi psikologi positif yang selanjutnya disebut sebagai psychological well-

  being . Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari

  potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan, kelebihan dan masa lalunya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta mampu mengembangkan pribadinya. Ryff (dalam Papalia, 2007) mengungkapkan bahwa

  psychological well-being seseorang dapat diketahui melalui keenam dimensinya

  yaitu, kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri, kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan.

  Menurut Keyes, Ryff dan Shmotkin (2002) well-being setiap orang itu berbeda karena dipengaruhi oleh faktor usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan ciri kepribadian. Selain faktor yang telah disebutkan diatas, ideologi peran jenis kelamin juga mempengaruhi psychological well-being seseorang.

  Wanita yang menjalankan peran ganda yakni sebagai bekerja dan ibu rumah tangga memiliki psychological well-being yang lebih baik. Hal ini dikarenkan dengan bekerja wanita menjadi lebih puas, bahagia, dan memiliki self efficacy yang tinggi. Selain itu hal ini juga berkaitan dengan tantangan dalam peran ganda yang mendorong mereka untuk mampu mengatur berbagi peran dan komitmen yang dimilikinya sehingga membuat mereka menjadi lebih mandiri (Ahrens & Ryff, 2006). Sedangkan menurut Sollie dan Leslie (dalam Strong dan Devault, 1989) Peran yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan

  psychological well-being seseorang. Sebagain besar wanita yang menjalankan

  perannya sebagai ibu rumah tangga lebih menunjukkan gejala-gejala distress dan ketidakpuasan hidup dibandingkan dengan wanita yang bekerja. Hal ini dikarenakan peran sebagai ibu rumah tangga sering dikarakteristikkan sebagai pekerjaan yang rutin dan monoton. Kondisi ini terkadang membuat mereka bosan dan mengurangi kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih luas dengan orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda (Berger, 1999)..

  Wanita menopause yang bekerja umumnya merasakan hal yang positif. Mereka merasakan kepercayaan diri yang meningkat dan merasa lebih bebas serta tidak merasakan gejala-gejala menopause (Griffiths, MacLennan, & Wong, 2010).

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Pengambilan Keputusan Remarriage pada Wanita ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)

0 0 24

Gambaran Pengambilan Keputusan Remarriage pada Wanita ODHA (Orang dengan HIVAIDS)

0 0 14

Respons Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max(L.) Merrill) Terhadap Pemberian Debu Vulkanik Hasil Erupsi Gunung Sinabung Dan Pupuk Kandang Sapi

0 0 26

Respons Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max(L.) Merrill) Terhadap Pemberian Debu Vulkanik Hasil Erupsi Gunung Sinabung Dan Pupuk Kandang Sapi

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Mixing - Perancangan Dan Simulasi Mesin Mixer Kapasitas 6,9 Liter Putaran 280 Rpm Menggunakan Ansys Fluent 14.0 Dan Pengujian

0 2 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelapisan Permukaan Logam - Analisa Kekerasan Dan Struktur Mikro Pada Daerah Interface Hasil Proses Cladding Material Stainless Steel Terhadap Baja Karbon Menengah

0 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemecahan Saham (Stock Split) - Analisis Dampakstock Split Terhadap Harga Saham Dan Volume Perdagangan Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bei (Sektor manufaktur, pertambangan, finansial dan agrikulturdari tahun 2010-2013)

0 2 17

Pengaruh Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona Sureni Merr.)

0 0 13

Pengaruh Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona Sureni Merr.)

0 0 9

Pengaruh Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona Sureni Merr.)

0 0 13