BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Pengambilan Keputusan Remarriage pada Wanita ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)

  atau Human immunodeficiency virusitu sendiri adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel

  • – sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat, bukan penyakit keturunan. Immuno berarti sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan, sedangkan syndrome adalah kumpulan gejala. AIDS adalah penyakit yang disebabkan virus HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah diserang penyakit
  • – penyakit lain yang dapat berakibat fatal, padahal penyakit tersebut tidak akan menyebabkan gangguan yang sangat berarti pada orang yang sistem kekebalannya normal (Zein, 2006).

  HIV/ AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia sejak tahun 1987 dan sampai dengan bulan September tahun 2014, dilaporkan kasus HIV yang ada di Indonesia memiliki total 150.296 kasus HIV serta 55.799 kasus AIDS dengan 9.796 kasus meninggal. Pada provinsi Sumatera Utara sendiri dilaporkan sebanyak 9.219 kasus HIV terjadi dan 1.573 kasus AIDS yang terjadi. Penularan

  1 HIV/AIDS terbanyak yaitu melalui hubungan heteroseksual yaitu hubungan antara laki

  • – laki dan perempuan, yang dilaporkan sebanyak 34.305 kasus terjadi dari tahun 1987 sampai dengan september 2014di Indonesia (Dirgen.

  ).

  Communicable diseases & environmental health. RI,2014 Pada tahun 2006 silam, Indonesia dilaporkan sudah memasuki tahap epidemi AIDS. Aditya menyatakan bahwa pemaparan HIV/AIDS telah berkembang penularannya ke kelompok yang paling rentan yaitu perempuan dan bayi (Ria dan Irawan, 2007). Pernyataan ini juga sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi saat diwawancarai media massa VOIA di Jakarta pada tanggal 19 Maret 2013, mengatakan saat ini di Indonesia terdapat 75 kabupaten kota yang memiliki prevalensi HIV/AIDS yang sangat tinggi, antara lain karena penularan dari suami ke istri yang meningkat.Menurut Nafsiah, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari pasangan tetapnya cukup tinggi, mencapai 3.733 kasus akumulatif dari 1987 sampai 2012 (VOIA,2013) .

  Observasi penting yang dilakukan baru

  • – baru ini menyatakan bahwa penularan HIV melalui hubungan heteroseksual, yaitu hubungan antara pria dan wanita ditemukan lebih banyak terjadi pada wanita yang ditularkan oleh pria daripada pada pria yang ditularkan oleh wanita (Matlin, 2008). HIV ditularkan melalui berbagai cara seperti hubungan seksual antara laki
  • – laki dengan wanita, cara ini merupakan cara yang paling dominan seperti yang dinyatakan pada kalimat sebelumnya. HIV juga dapat ditularkan melalui tranfusi darah atau produk darah lainnya yang terinfeksi virus HIV, melalui transplantasi organ pengidap
HIV, penularan juga dapat terjadi dari ibu ke anaknya saat di dalam kandungan, dilahirkan dan sesudah kelahiran (Zein, 2006).

  Selain disebabkan oleh penularan dari pasangan, wanita juga secara fisiologisnya lebih rentan terpapar virus HIV dibandingkan laki

  • – laki. Estimasi terbaru memperlihatkan bahwa wanita yang tidak terproteksi saat sexual

  intercourse dengan laki

  • – laki yang terinfeksi HIV, 2 sampai 8 kali lebih beresiko tertular HIV daripada saat seorang laki
  • – laki melakukan sexual intercourse dengan wanita yang terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena konsentrasi HIV lebih tinggi pada cairan sperma daripada cairan vagina (dalam Matlin, 2008). Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan jumlah CD4 yang sama, perempuan dengan HIV positif mempunyai jumlah virus yang lebih rendah daripada
  • – laki dengan HIV positif. Hal ini mungkin mempengaruhi keputusan mengenai kapan memulai pengobatan. Hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa perempuan dengan HIV positif meninggal lebih cepat daripada laki
  • – laki dengan HIV Positif, tetapi perbedaan itu karena diagnosis yang tertunda. Perempuan yang mempunyai risiko paling besar untuk HIV mempunyai akses ke perawatan kesehatan yang lebih kecil (Gallant, 2010).

  Penularan virus HIV dari suami ke istri akan menimbulkan goncangan didalam sebuah ikatan pernikahan. Pernikahan itu sendiri merupakan hubungan yang sifatnya jangka panjang dan diketahui secara sosial dan didalamnya mencakup pengaturan secara ekonomi, sosial dan pengaturan reproduksi dengan pasangan. Selain itu, pernikahan tidak sekedar hubungan antara dua orang yang diresmikan dalam institusi yang legal, namun terdapat pembagian tugas antara suami dan istri dalam beberapa aspek penting dalam berumah tangga. Suatu pernikahan yang ideal mencakup intimacy, commitment, friendship, affection,

  sexual fulfillment, companionship , dan kesempatan untuk pengembangan

  emosional (Gardiner et al.,1998; Myers, 2000) Seseorang mulai menjalin hubungan yang intim atau hubungan romantis dengan lawan jenisnya pada usia dewasa muda, sehingga pada usia ini seorang individu cenderung diharapkan sudah menikah. Hal ini sesuai dengan tugas perkembangan yang dikemukakan oleh Havighurst , bahwa tugas perkembangan usia dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola sebuah rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tanggung jawab dalam masyarakat, membuat hubungan dengan kelompok sosial, dan memiliki pekerjaan(dalam Monks, Knoers & Hadinoto, 2001).Tugas perkembangan Havighurst tersebut juga didukung oleh teori mengenai normative life eventspada usia dewasa muda, yang merupakan suatu kejadian dalam kehidupan dimana seseorang cenderung akan sadar akan waktu mereka dan social clock yang merupakan norma masyarakat atau waktu yang pantas terjadinya kejadian tersebut menurut masyarakat dan pernikahan termasuk salah satu diatara kejadian – kejadian tersebut (dalam Papalia, 2009).

  Pernikahan seperti yang dijabarkan diatas merupakan kebutuhan seseorang dan juga merupakan tuntutan dalam norma masyarakatsaat dirinya berada di usia dewasa muda. Pernikahan selain untuk memenuhi tugas perkembangan seseorang, juga untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya. Pernikahan dapat memberikan kebutuhan akan cinta, kasih sayang, dukungan emosional, kesetiaan, kelanggengan, rasa aman, pemenuhan kebutuhan romantisme, dan kebersamaan. Sebagai contoh, pernikahan adalah usaha individu lepas dari beban hidup. Ketika individu bosan dengan cara hidup, kota, keluargadan sebagainya, ia merasa pernikahan adalah jalan keluar yang paling baik. Kebutuhan psikologis akan keintiman juga merupakan alasan pernikahan. Pasangan dalam pernikahan dianggap sebagai kawan bergaul dan cinta kasih, pernikahan dianggap sebagai suatu hubungan tim yang membutuhkan kerjasama yang baik. Setiap orang yang terikat pernikahan, berusaha memberikan kebutuhan psikologis tersebut pada pasangannya (Duvall, 2002).

  Tetapi tidak selamanya pernikahan dapat memenuhi kebutuhan maupun ekspektasi dalam pernikahan seperti yang telah dijabarkan diatas. Pada saat penularan HIV/AIDS terjadi dari suami kepada istri dan menimbulkan goncangan dalam rumah tangga, perempuan menikah yang terinfeksi HIV akan mengalami beban berat, apalagi jika kemudian diketahui bahwa anak mereka juga tertular virus, ketika itu perempuan dianggap bertanggung jawab karena telah menularkan virus kepada anak yang telah dilahirkan (dalam

  Ria dan Wirawan, 2007). Wanita selain harus bertanggung jawab dalam melahirkan seorang anak yang beresiko tertular virus HIV juga harus menanggung beban menjaga nama baik keluarga. Masalah – masalah tersebut yang menimbulkan konflik didalam suatu pernikahan. Hal ini juga dialami oleh partisipan penelitian yang mengakui bahwa saat dirinya mengetahui bahwa dia tertular, partisipan melakukan penolakan terhadap kenyataan tersebut dan memilih untuk lari dari kenyataan kaerna perasaan tertuduh. Hal ini dinyatakan dalam:

  “Waktu tau itu setelah suami meninggal, saya tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut karena takut tertuduh gitu. Saya melakukan pemeriksaan itu hanya dua tahun itu, sementara kan dia harus rutin. Dan belum tau wadahnya ini dimana. Pindahlah ke Medan.......

  .........Itu pindahlah ke medan saya gak melakukan pemeriksaan lagi.

Maksudnya ke Medan itu untuk pelarian. Ah engga lah, gak mungkin. Saya yakin engga.”

  (Wawancara Personal, 2015) Penularan HIV/AIDS dari suami ke istri yang telah dijabarkan sebelumnya dapat menyebabkanterenggutnya nyawa salah satu pasangan karena penyakit tersebut dan mengakibatkan berakhirnya sebuah rumah tangga. Seorang wanita dengan HIV/AIDS yang tertular dari suami keduanya seringkali harus menghadapi kematian dari pasangannya. Kematian seorang suami terasa berat secara khusus untuk seorang wanita yang selama pernikahannya telah membentuk kehidupannya dan identitasnya berkaitan dengan menyenangkan atau menjaga suami keduanya (Papalia, dkk., 2009). Mereka yang ditinggalkan karena kematian pasangan, seringkali menderita profound grief dan mengalami masalah finansial, kesepian, peningkatan penyakit fisik, masalah psikologis, termasuk depresi (dalam Santrock, 2009).Partisipan juga mengalami kematian pasangan, hal ini terdapat dalam:

  “Suami masuk LP Cipinang kan, karena nakoba, mungkin disitu kenaknya. Saya yakinnya disitu, soalnya kan 4 tahun setelah keluar, setahun bertahan hidup kan langsung meninggal. Setelah drop di rumah sakit umum. Sudah 0 CD4 dia dan dia sudah masuk tahap stadium 4, bukan HIV lagi langsung AIDS. Disitu langsung udah gak tertolong lag i.”

  (Wawancara Personal, 2015) Setelah berakhirnya suatu pernikahan, banyak yang melakukan pernikahan kembali dikarenakan berbagai alasan. Orang sering menikah kembali untuk cinta,

  practical matters seperti keamanan finansial, bantuan membesarkan anak, keluar

  dari kesepian dan penerimaan sosial, lebih ditemukan di pernikahan kedua daripada pertama (Berk, 2007). Seorang wanita yang menjadi single-parent dikatakan bahwa remarriage adalah cara yang paling cepat untuk keluar dari masalah finansial (Matlin, 2008).

  Kebutuhan akan cinta dan untuk keluar dari kesepian menjadi salah satu alasan dalam melakukan pernikahan kembali juga menjadi pertimbangan oleh seorang wanita ODHA. Rasa cinta yang diberikan oleh pasangan diakui menjadi penyemangat bagi seorang wanita ODHA untuk memperjuangkan hidupnya. Hal ini tampak dalam pengakuan salah seorang partisipan yang dinyatakan dalam:

  “ Ya pernikahan yang kedua ini karena cinta juga, karena juga kan dia bisa terima saya apa adanya kan, terus berarti dia juga cinta kan, karena kan kita udah gak siapa – siapa lagi..... .....Anugerah gitu, kayak hidup kembali. Jujur aja, karena yang sekarang betul

  • – betul menerima apa adanya. Seribu satu pun belum tentu dapet. ......”

  (Wawancara personal, 2015) Selain kebutuhan akan cinta dan keluar dari kesepian, dukungan dalam hal finansial juga menjadi salah satu alasan seseorang melakukan remarriage seperti yang telah dijabarkan diatas. Wanita ODHA juga mempertimbangkan hal ini, terlebih lagi karena perawatan akan penyakit mereka yang memerlukan biaya yang lebih banyak. Hal ini juga terlihat dalam pengakuan salah satu partisipan yang dinyatakan dalam:

  “ Ya untuk masa depan lah, menyimpan pundi – pundi, soalnya kita cewe. Bayangan saya paling 45 tahun, umur 45 tahun paling saya takuti.

Sekarang udah 35 sepuluh tahun lagi. Paling saya takut itu umur 45........

........ Memang tujuan fokus kesitu sama materi tadi untuk pertahanan hidup. Seperti asuransi, segala macem udah saya bikin........”

  (Wawancara personal, 2015) Melakukan remarriage bukan merupakan hal yang mudah untuk diputuskan begitu saja. Terlepas dari alasan

  • – alasan yang mendorong seseorang melakukan seperti yang telah dijabarkan diatas, ada beberapa hal

  remarriage

  • – hal yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan remarriage. Seperti orang yang sehat, Orang dengan HIV/AIDS juga melakukan pertimbangan sebelum melakukan penikahan kembali. Pada orang dengan HIV/AIDS ada beberapa hal tambahan yang terkait dengan penyakitnya yang menjadi pertimbangannya untuk melakukan pernikahan kembali. Orang dengan HIV/AIDS dikatakan cenderung disalahkan oleh lingkungan sosialnya.Bagi orang dengan HIV, terdapat masalah
  • – masalah lain yang bertambah dalam hubungan mereka. Untuk pasangan kekasih dan menikah, pasti akan ada keputusan yang sulit untuk diambil yaitu: apakah
pasangan perlu di tes, hubungan seksual seperti apa yang aman dilakukan, dan sebagainya. Untuk wanita khususnya, akan ada ketakutan kemungkinan menularkan pada bayi mereka bila mereka hamil. Beberapa wanita memutuskan punya anak, dan beberapa lainnya memutuskan untuk tidak punya anak, tapi keputusan manapun yng diambil akan menimbulkan kehilangan yang besar (Aggleton, Kim, Ian, 1994).

  Pendapat negatif dari lingkungan sekitar terhadap seseorang yang terkena virus HIV, ketakutan akan penularan terhadap bayi, atau bagaimana hubungan seks yang harus dilakukan dengan pasangan seperti yang telah dijabarkan diatas, membuat pengambilan keputusan untuk menikah kembali pada wanita ODHA tidak mudah. Seorang wanita harus menghadapi konflik untuk mempertimbangkan hal

  • – hal tersebut sebelum mengambil keputusan untuk menikah kembali.

  Pengambilan keputusan itu sendiri menurut Nigro (dalam Ridho, 2003) adalah suatu proses mengambil pilihan yang sadar dan teliti terhadap salah satu alternatif atau cara yang memungkinkan untuk merealisasikan tujuan yang diharapkan. Definisi tersebut sejalan dengan definisi menurut Siagian tentang memilih suatu alternatif, mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan paling tepat (dalam Hasan, 2004).

  Saat seorang individu akan mengambil suatu keputusan, individu tersebut harus melewati tahapan

  • – tahapan dalam pengambilan keputusan. Tahapan – tahapan tersebut menurut Janis dan Mann mencakup: 1) tahap menilai masalah, 2) tahap menilai alternatif-alternatif yang ada, 3) tahap menimbang alternatif, 4) tahapmembuat komitmen dan 5) tahap pemilihan untuk tetap melakukan komitmen meskipun ada umpan balik yang negatif (Janis & Mann, 1977).

  Tahapan

  • – tahapan pengambilan keputusan Janis dan Mann (1977) merupakan tahapan seseorang yang mengambil keputusan di kondisi yang penuh tekanan secara psikologis, hal ini dapat terlihat dari 2 buah jurnal yang berjudul “Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Pekerja Seks Komersial pada Remaja Putri”(Silahoho, 2012) dan “Peran Kearifan dalam Pengambilan Keputusan untuk Bercerai pada Istri yang Mengajukan Cerai Gugat di Pengadilan Agama” (Rizki;Yuliadi;Andayani, 2011). Kedua jurnal tersebut memperlihatkan gambaran tahapan pengambilan keputusan seseorang yang berada dalam kondisi mendapatkan tekanan secara psikologis.

  Penelitian pada jurnal yang berjudul “Tahapan Pengambilan Keputusan

Menjadi Pekerja Seks Komersial p ada Remaja Putri” memiliki dua hasil akhir

  yang berasal dari dua partisipan penelitian. Sebelum menjatuhkan pilihan untuk menjadi pekerja seks komersial, kedua partisipan dari penelitian tersebut melalui lima tahapan pengambilan keputusan yang sesuai dengan tahapan keputusan pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Janis and Mann(Noni Silahoho, 2012).

  Gambaran tahapan pengambilan keputusan oleh Janis dan Mann (1977) seperti yang dijelaskan oleh penelitian diatas juga digambarkan pada penelitian di jurnal kedua yang berjudul “Peran Kearifan dalam Pengambilan Keputusan untuk Bercerai pada Istri yang Mengajukan Cerai Gugat di Pengadilan Agama”. Hasil penelitian ini menggambarkan pengambilan keputusan untuk bercerai dengan melalui lima tahapan pengambilan keputusan oleh Janis dan Mann. Gambaran yang didapatkan mengenai kelima tahapan pengambilan keputusan dalam penelitian ini sedikit memiliki perbedaan pada tahapan terakhir, yaitu tahap bertahan pada umpan balik yang negatif, karena tidak semua partisipan melalui tahapan terakhir ini.(Rizki;Yuliadi;Andayani, 2011).

  Seperti yang telah dijabarkan diatas, seseorang yang melakukan pengambilan keputusan akan melewati tahapan

  • – tahapan pengambilan keputusan yang sesuai dengan tahapan pengambilan keputusan Janis dan Mann (1977) dengan detail gambaran yang memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Tahapan ini juga yang akan dilalui oleh ODHA dalam mengambil suatu keputusan penting, dalam hal ini adalah keputusan untuk menikah kembali.

  Menurut Janis dan Mann (1977), tahapan pertama adalah menilai masalah. Tahap ini meliputi pengenalan terhadap masalah, mencari informasi atau kejadian yang dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi tindakan yang akan dilakukan, menemukan tujuan yang ingin dicapai untuk menyelesaikan masalah yang kompleks. Hal ini terlihat pada pengakuan seorang partisipan wanita ODHA, dimana dia memikirkan tujuan dari pernikahan kembali yang akan dilakukannya, yang dinyatakan dalam:

  “Karena pemikiran saya waktu saat itu, sekuat apapun saya, karena sudah ada yang didalam tubuh ini tadi. Warisan, pasti suatu saat saya pasti lemah. Ini kita gatau ya, memang Tuhan semua yang ngatur. Mungkin paling pun saya bertahan dalam tempo 45 tahun karena secara medis, waktu kita menopause daya tahan tubuh kita semakin menurun, disitu

resikonya. Makanya buat keputusan buat menikah itu harus punya anak.

  

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Selain memikirkan tujuan, partisipan juga mencari informasi yang berpengaruh yaitu mengenai penularan yang dapat terjadi kepadasuami keduanyadan menimbulkan ketakutan dalam diri partisipan, yang dinyatakan dalam:

  “ Takut lah saya menularkan. Saya pikir, nanti kalau ketauan saya dibunuh gak nih ya. Itu aja, takut menularkan sama suami dan takut dia dendam sama saya, itu ajasih

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Partisipan juga menyadari bahwa dalam masalah penularan terhadap suami, bagaimana seks yang aman dengan suami keduanya juga terkait didalamnya dan dapat menimbulkan masalah dalam rumah tangganya kelak. Menurut pengakuan partisipan, beberapa orang mengatakan bahwa suami yang negatif kebanyakan akan menolak untuk menggunakan

  “pengaman”dalam berhubungan seks untuk mencegah penularan, ini dinyatakan dalam:

  “Maaf ngomong kan kadang kan kita yang negatif sama positif ini, kebanyakan kalau laki

  • – lakinya yang negatif mereka keberatan dengan pemakaian “pengaman”. Ada beberapa sih yang bilang, ada titik jenuhnya gitu. Banyak juga yang terakhir bosen, selingkuh, terus ditinggalkan, banyak itukawan
  • – kawan.”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Partisipan mengatakan dirinya tidak hanya memikirkan penularan terhadap suami keduanya, tetapi juga kemungkinan penularan terhadap bayi yang akan dikandungnya. Partisipan mengaku mencari informasi mengenai pencegahan penularan terhadap bayi. Hal ini dinyatakan dalam:

  

“ Iya tau dapat menularkan ke anak. Cuman pikirannya gak memberikan

ASI aja. Ternyata yang harus operasi saat melahirkan itu yang gatau. Karena kan kalau normal dia pasti terkena infeksi kan .”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Selain masalah penularan, kebutuhan

  • – kebutuhan yang dimiliki oleh partisipan juga menjadi pertimbangan dalam memutuskan akan menikah kembali
  • – yaitu masalah finansial untuk menopang kehidupannya dan kehidupan anak anaknya di masa sekarang maupun di masa depan. Hal ini terdapat dalam: “Ya untuk masa depan lah, menyimpan pundi – pundi, soalnya kita cewe.

  Bayangan saya paling 45 tahun saya hidup, umur 45 tahun paling saya takuti..... .......Penopang hidup sekarang juga di masa depan lah. Untuk anak yang pertama ini. Karena kan kebetulan sama

  • – sama orang Batak, pasti kan dia adatnya kental, paling tidak walau gak bapak kandngnya, istilahnya pertanggung jawabannya untuk kedepannya, seumpamanya pun gak kuliah, tapi ada kesusahan paling tidak sudah ada yang menolong dia.

  

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Pada tahapan ini juga terlihat bahwa partisipan menyadari bahwa dirinya juga akan menghadapi masalah yang berkaitan dengan umurnya yang tidak akan

  • – sepanjang yang dimiliki orang normal, sehingga timbul pertimbangan pertimbangan seperti keinginan memiliki anak lagi dari pernikahan keduanya untuk menemani anak dari pernikahannya yang pertama bila nantipartisipan meninggal dunia. Hal ini dinyatakan dalam:

  “Cuman planning saya sekarang, 10 tahun lagi kan anak saya yang 11 tahun nambah 10 tahun kan sudah 21 tahun makanya saya berani untuk memutuskan punya anak. Istilahnya kalaupun saya drop atau apa yang lebih buruk, sudah ada kakaknya untuk membimbing adeknya. Habis ini yasudah gapunya anak lagi . Udah menambah resiko lagi ”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Setelah mengenali masalah yang dihadapinya, pengambilan keputusan akan masuk ke tahapan yang kedua adalah menilai alternatif-alternatif yang ada.

  Setelah seseorang merasa yakin terhadap informasi yang berkaitan dengan masalahnya, dia mulai memusatkan perhatian pada berbagai alternatif pilihan yang ada. Partisipan juga setelah mengenal masalah

  • – masalah yang muncul mulai mempertimbangkan alternatif yang ada yaitu dengan mencari informasi tentang penyakitnya serta cara penularanpenyakit tersebut melalui media massa, hal tersebut dinyatakan dalam:

  “Pas waktu itu juga liat daai TV lah. Disitulah ada kak dewi, melakukan penyuluhan mengenai HIV/AIDS . Mencari info udah, kayak yang di DAAI TV itu ... ......Waktu itu kan informasinya cara pengobatan yang di Adam Malik. Yang saya jadi ketahui juga bahwa HIV dan AIDS itu rupanya beda tingkatannya. Makanya saya pikir engga ah. Karna saya liat disitu kan kalau AIDS itu dia sudah ada ruam

  • – ruam, sementara inikan gaada. Dia hanya sakit – sakitan. Sementara saya sakit, imunnya aja kan diserang. Ya jadi cuman tau gitu, ah penasaran mau check lah, tapi bimbang .”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Dalam menilai alternatif

  • – alternatif yang ada, partisipan juga mengakui telah mencari informasi mengenai dimana tempat yang dapat memberikan layanan pada penyakitnya dan layanan obat gratis yang diberikan di tempat tersebut, hal ini dinyatakan dalam:

  “Oh ke RS. Adam Malik yang soal obat itu. Iya informasinya di rumah sakit sana dengan obat gratis, dia bilang, berarti kalau misalnya itu bener, berarti aku kesana gaperlu biaya besar gitu. ”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Selain mencari informasi mengenai penyakitnya dan cara pengobatannya, partisipan juga mencari informasi mengenai cara penularan penyakitnya serta cara pencegahan penularannya. Hal tersebut dinyatakan dalam:

  “Saya pemikirannya menular dari ASI, darah, suntik, sama seks, udah itu aja. Jujur. Mangkanya gitu lahir gak pake ASI hari itu..... ......Ya pencegahannya pada saat itu hanya darah aja tau saya. Saya tau darah sama suntik aja. Eh itu penularannya maksudnya, pencegahannya ya yang dijaga dari darah dan suntik itu juga

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Menurut pengakuan partisipan selain mencari informasi mengenai penyakitnya, pengobatan, penularan, dan pencegahan penularan, calon suami yang memiliki banyak kesibukan serta sering bekerja keluar negri, yang menyebabkan partisipan dan calon suami akan jarang bertemu pada saat menikah juga menjadi salah satu alternatif yang dipertimbangkan oleh partisipan akan dapat menurunkan resiko penularan virus, hal ini dinyatakan dalam:

  “Kebetulan, karena abang pun diluar kota memperkecil ketakutan itu. Terus saya sering kerjanya di Singapur, kadang di penang. Jadi paling sebulan sekali ketemu. Jadi pada saat saya sebelum menikah itu mikir, ga mungkin lah ya gini

  • – gini terus. Cuman itunya, pertemuannya kita kadang cuman

    sebulan sekali kadang dua bulan sekali. Makanya mungkin dia negatif. ”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Dalam tahapan kedua ini, pernikahan kembali itu sendiri juga dirasakan merupakan alternatif atau jalan keluar bagi masalah finansial yang akan muncul akibat perawatan penyakit yang partisipan derita, hal ini dinyatakan dalam: “Ya untuk masa depan lah, menyimpan pundi – pundi, soalnya kita cewe.....

  ......Memang tujuan fokus kesitu sama materi tadi untuk pertahanan hidup. Seperti asuransi, segala macem udah saya bikin.

  

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Setelah mencari alternatif

  • – alternatif yang berguna bagi pertimbangan keputusan yang dilakukan, pengambilan keputusan akan masuk ke tahapan yang ketiga yaitu tahap menimbang alternatif. Pada tahap ini, seorang pengambil keputusan mulai mengevaluasi seluruh pilihan yang ada berdasarkan konsekuensi dan kemungkinan untuk dilakukan. Partisipan wanita ODHA juga
mempertimbangkan mengenai konsekuensi negatif apa yang akan dia dapatkan dari pernikahan. Salah satu konsekuensi yang difikirkan adalah perceraian.

  Perceraian dirasakan partisipan dapat muncul apabila suami tidak dapat menerima kenyataan penyakit yang diderita oleh partisipan. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan partisipan yang terdapat dalam:

  “Pemikiran saya pada saat itu kan, kayak mana ya penyakit saya ini, tapi pikran saya begini, gaada lah itu penyakit. Kalau pun nantinya setelah menikah ketauan, ya paling cerai saja”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Selain konsekuensi negatif yang dapat muncul, keuntungan yang didapatkan dari pernikahan juga menjadi evaluasi yang penting bagi pertimbangan pengambilan keputusan partisipan. Partisipan telah mempertimbangkan bahwa pernikahan akan membawa dirinya kepada kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut menjadi pendukung keputusannya untuk menikah, hal ini dinyatakan dalam:

  “Iya, jadi lebih baik lah kehidupan saya. Daripada saya pacar – pacaran lagi, tergoda lagi ke si A si B, penularannya lagi, bagus menikah aja. Mau panjang gak panjang, ya nanti itu. Yang penting dia mau menerima apa adanya.....

  ......Iya, lebih baik kedepannya, karena ada perencanaan. Karena terbukti setelah menikah kita ada kredit rumah, asuransi tetap jalan semua. Terus program anak, tinggal menyusunnya aja.

  

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Partisipan juga berfikir bahwa dengan menikah dirinya akan memiliki pasangan yang dapat memberikan semangat dan motivasi kepadanya. Partisipan merasa suami keduanya dapat menjadi tempat curahan hatinya dan meringankan beban pikirannya kelak. Hal ini dinyatakan dalam:

  “Yang saya pikirkan kalau nanti timbul penyakit baru , dia kan virus ini kumpulan beberapa penyakit, kita gatau yang mana nanti terserang. Kebetulan kan saya di paru kemarin. Jadi pemikiran saya gini aja kalau saya nikah, ada temen, terus ada temen curhat, pikiran saya jadi tenang. Otomatis saya tidak mikir yang lain

  • – lain. Gak susah hati lah. Istilahnya gak takut, gak ragu lagi istilahnya gak kuatir lagi besok gimana ya. Jangan – jangan gini, ah udah hilang dia. Istilahnya jadi gak takut mati lagi. Suami bilang orang yang sehat, yang lagi duduk aja bisa meninggal kok.

  

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Selain itu alternatif pencegahan penularan dan pengobatan yang sudah dipertimbangkan sebelumnya juga dirasakan oleh partisipancukup efektif untuk dilakukan. Hal ini juga memberi keyakinan pada diri partisipan untuk menikah kembali, hal ini terlihat dalam:

  “Pada saat itu iya menurut saya sudah efektif pencegahannya. Yaudah gapapa itu menikah lah. Tapi syukurnya kan memang gapapa, buktinya gak menular.

  

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Selanjutnya, tahapan akan masuk kedalam membuat komitmen.Tahap ini ditandai dengan penumpukan tegangan dalam mempertimbangkan banyaknya alternatif. Hal ini hanya dapat diatasi dengan membuat komitmen terhadappilihan. Hal ini terlihat dari pengakuan partisipan yang akhirnya membuat komitmen untuk menikah yang kedua kalinya. Semua keraguan untuk menikah kembali diakui telah hilang karena partisipan yang kembali sehat sebelum menikah. Partisipan juga mengakui bahwa ketakutan akan penularan juga hilang. Hal ini dinyatakan dalam:

  “Sehat saya, balik lagi badannya gemuk. Iya disitu sehat, udah mau nikah udah gemuk lagi. Jadi mikir gapapa menikah, gaada ini lah penyakitnya, orang saya sehat..... ......Ketakutan penularan hilang, gaada itu. Itu pemikirannya, gaada itu orang udah sehat kok, gaada sakit

  • – sakit lagi.”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Partisipan merasa yakin untuk berkomitmen menikah kembali dikarenakan informasi

  • – informasi yang telah didapatkan sebelumnya mengenai penyakit mendukung keyakinan bahwa dirinya sehat dan resiko yang dapat ditimbulkan dari pernikahannya telah hilang. Hal ini dinyatakan dalam:

  “Informasinya mendukung lah, karena kan gaada ruam – ruam,segala macem gaada, bersih, putih. Lebih putih dari sini dulu. Iya karna gaada ruam – ruam itu, gaada beser – beser juga. Lucunya disitu, gaada jamur di mulut”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Setelah seseorang membuat komitmennya, pengambilan keputusan akan masuk kedalam tahap terakhir yaitu tetap melakukan komitmen meskipun ada

  feedback yang negatif. Komitmen tersebut haruslah dilakukan dengan serius dan

  sungguh-sungguh meskipun akan memberikan efek yang negatif. Jika komitmen tidak dilakukan, maka itu bukanlah suatu keputusan, tapi hanya sebatas hasrat atau keinginan. Dalam tahapan ini partisipan wanita ODHA mengakui bahwa ada

  feedback negatif yang didapatkan karena penerimaan status partisipan oleh suami

  setelah menikah yang kurang baik. Walaupun begitu partisipan berusaha memperbaiki masalah tersebut sehingga pernikahan dapat dipertahankan. Hal tersebut terdapat dalam:

  “Oh dia bilang waktu ketauan, dia sih gak marah. Dia cuman bilang, apa lo sebelumnya pernah periksa darah ya? Belum pernah yakan. Ya aku cerita aja sejujurnya. Cuman itu ajasih 2 bulan aja, tetep satu rumah, tapi dua bulan itu kita sama

  • – sama mempertimbangkan, lanjut engga. Kalau engga gapapa, tapi dengan cara baik – baik. Terakhir konsul pernikahan itulah.....

  .....oh ya tetep, kalau awal pasti ada feedback negatif. Semua pasti gabisa terima dengan gampang. Tapi kalau semua didasari dengan cinta dan sayang, dia pasti mempertimbangkan, kalau sudah dimasukkan informasi yang benar, itu gak akan terjadi.

  

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Diakui oleh partisipan setelah melewati masalah penerimaan suami yang buruk tersebut pernikahan mereka kembali baik. Walaupun begitu banyak omongan negatif dari orang lain tentang pernikahan partisipan, yaitu tentang kemungkinan suami mencari wanita lain. Tetai walaupun begtu partisipan memilih untuk tidak mendengarkan omongan negatif tersebut dan fokus pada mempertahankan pernikahannya dan membesarkan anak mereka. Hal tersebut terdapat dalam:

  “Orang bilang gitu nanti dia nikah lagi. Tapi aku fokusnya sekarang. Sekarang ya sekarang, nanti ya nanti, kalau aku gitu prinsip hidupku. Sekarang aku fokusnya ke anak, aku dapat anak dari dia. Aku berharap anakku negatif, udah itu untuk menjagaku nanti dua orang ini.....

  .......Cuman yang perlu dijaga sekarang gimana dia biar gak bosan. Kitalah yang harus tau diri, kita harus bisa lebih berlapang dada sih kita. Seumpama dia bosan udah ada dua orang ini. Ada yang hilang, ada yang datang. Memang udah aku pikirkan matang

  • – matang, istilahnya kita pun ga pengen lah dia nikah lagi. Tapi seumpamanya terjadi, ngapain kita susah hati, udah cukup susah, seumur hidup nanti.”

  (Wawancara Interpersonal, 2015) Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa seorang wanita ODHA juga melewati 5 tahapan pengambilan keputusan oleh Janis dan Mann dalam memutuskan untuk menikah kembali. Fenomena tersebut yang akhirnya melatar belakangi ketertarikan peneliti untuk mengetahui lebih dalam mengenai bagaimanan gambaran pengambilan keputusan untuk menikah pada seorang wanita yang mengidap HIV/AIDS. Ketertarikan ini,yang sesuai dengan fenomena yang ada, memunculkan beberapa pertanyaan pada penelitian yaitu, bagaimana gambaran proses pengambilan keputusan remarriage pada seorang wanita ODHA? Bagaimana tahapan pengambilan keputusannya? Pertanyaan

  • – pertanyaan tersebut yang akan diulas lebih jauh dalam penelitian ini.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dalam hal ini pertanyaan utama dari penelitian ini adalah: Bagaimana tahapan dari proses pengambilan keputusan remarriagepada wanita ODHA ( Orang dengan HIV AIDS) berdasarkan tahapan dalam pengambilan keputusan?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti menetapkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah: Melihat gambaran pengambilan keputusanremarriagepada wanita ODHA ( Orang dengan HIV AIDS).

  D. MANFAAT PENELITIAN 1.

  Manfaat Teoritis a.

  Memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu Psikologi, terutama Psikologi Perkembangan mengenai proses pengambilan keputusan remarriagepada wanita ODHA (Orang dengan HIV AIDS).

  b.

  Memberikan informasi mengenai tugas perkembangan untuk menikah. a.

  Memberikan informasi kepada wanita ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yang ingin melakukan remarriage mengenai gambaran tahapan pengambilan keputusan remarriageyang dilalui.

  b.

  Sebagai tambahan informasi kepada pendamping atau konselor ODHA dalam memberikan pendampingan, mengenai tahapan serta proses pengambilan keputusan untuk remarriage, yang dihadapi ODHA.

  c.

  Memberikan informasi kepada lembaga - lembaga yang terkait dengan isu HIV/AIDS mengenai gambaran proses pengambilan keputusan untuk remarriagepada wanita ODHA, agar lembaga dapat memberikan informasi sesuai khususnya bagi hal yang terkait dengan pernikahan yang kedua kalinya bagi wanita ODHA.

  Sistematika penulisan berisikan inti sari dari :

  Bab I : Pendahuluan Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teoritis

  Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian, terdiri dari teori-teori mengenai wanita ODHA (Orang dengan HIV AIDS) dan pengambilan keputusan untuk menikah

  Bab III : Metode Penelitian Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, partisipan penelitian, metode pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan prosedur penelitian.

  Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan Berisi analisa data masing

  • – masing partisipan dan pembahasan menggunakan teori yang berkaitan.

  Bab V: Kesimpulan dan Saran Berisi kesimpulan dari hasil penelitian, saran praktis serta metodologis dari penelitian yang telah dilakukan.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obat - Persyaratan dan Analisis Mutu Keseragaman Bobot dan Kadar Air pada Sediaan Obat vTradisional Jamu di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Medan

0 1 23

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 3.1 Rumah Sakit Islam Malahayati Medan 3.1.1 Sejarah Singkat Rumah Sakit Islam Malahayati Medan - Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan pada Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

0 1 72

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan pada Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

0 0 34

Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan pada Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

1 2 13

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) A. Sejarah Singkat Berdirinya Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur - Praktik Kerja Lapangan Mandiri Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Ora

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN - Praktik Kerja Lapangan Mandiri Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah - Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (Studi Tentang Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Investment Opportunity Set (IOS) - Analisis Pengaruh Investment Opportunity Set Terhadap Kebijakan Deviden Dengan Struktur Modal Sebagai Variabel Moderating Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indone

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian - Analisis Pengaruh Investment Opportunity Set Terhadap Kebijakan Deviden Dengan Struktur Modal Sebagai Variabel Moderating Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

0 0 7

BAB II LANDASAN TEORITIS - Gambaran Pengambilan Keputusan Remarriage pada Wanita ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)

0 0 23