56 Bab 4 Memahami Ulang Yesus Sebagai Korban Dari Perspektif Ritus Oli Somba dalam Komunitas Masyarakat Aramaba 4.1 Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Ulang Yesus sebagai Korban (Mat.26:36-46):Perspektif P

  4.1 Pendahuluan

  Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah melakukan analisa tentang korban dalam konteks masyarakat Aramaba dan korban dalam konteks Injil Matius. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam bagian ini penulis akan melakukan penafsiran terhadap Matius 26:36- 46 dari perspektif poskolonial berdasarkan pengalaman Oli Somba yang telah penulis kemukakan pada bab 2. Tafsiran ini berisikan tentang ke terkaitan antara makna “korban” yang terkandung dalam ritus Oli Somba dengan Yesus sebagai korban dari teks Matius 26:36-

  46.

  4.2 Yesus Sebagai Korban Penyatuan Masyarakat (Pendamaian)

  Setelah melakukan analisa, penulis menemukan bahwa terdapat beberapa makna yang menunjukkan adanya keterkaitan atau kesamaan antara persembahan korban dalam konteks Aramaba dengan Yesus sebagai korban. Kesamaan/keterkaitan pertama yang penulis temukan adalah makna korban sebagai bentuk penyatuan masyarakat (pendamaian). Untuk itu pada bagian pertama ini, penulis akan memaparkan tentang keterkaitan Yesus sebagai korban dalam hubungannya dengan makna penyatuan masyarakat (pendamaian) yang terkandung dalam ritus Oli Somba. Hal ini akan penulis jelaskan dengan mengawalinya dari sebuah pertanyaan apakah Yesus juga merupakan korban untuk mencapai tujuan penyatuan masyarakat (pendamaian)? Tentunya penjelasan ini disesuaikan dengan teks yang penulis pilih yakni Matius 26:36-46. Banyak di antara para ahli yang sependapat bahwa kisah Yesus di Taman Getsemani merupakan permulaan dari segala penderitaan yang akan dialami oleh Yesus. Di Taman Getsemani, Yesus menjadi korban ketakutan, kegagalan, dan kekecewaan ditambah dengan kekecewaan yang luar biasa. Dalam perikop ini Matius menggambarkan bahwa Yesus yang tengah mempersiapkan diri untuk menjadi “korban” melakukan sebuah tindakan yang menunjukkan konflik batin yang dialami-Nya pada saat itu. Hal ini dipertegas dalam ayatnya yang ke-38

  “to,te le,gei auvtoi/j( Peri,lupo,j evstin h` yuch, mou e[wj qana,tou\ mei,nate w-de kai. grhgorei/te metV evmou/ ” Dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) kalimat ini diartikan sebagai “Lalu kata-Nya kepada mereka: “hatiku sangat sedih seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.

  ” Untuk menggambarkan perasaan yang dialami oleh Yesus rupanya Matius lebih memilih menggunakan kalimat yang lebih halus dibandingkan dengan Markus. Markus memakai kata ekthambeissthai yang

  1

  berarti sangat takut, sedangkan Matius memilih kata Barmejo mengemukakan “Peri,lupo,j”. bahwa pada waktu itu Yesus berada dalam situasi yang digambarkan oleh Mazmur 55:5-6 “Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku. Aku dirundung takut dan gentar, perasaan seram meliputi aku.” Menurutnya, secara samar-samar Yesus melihat peristiwa- peristiwa yang jelas segera akan menimpa diri-Nya. Pada waktu semua itu terjadi, Yesus tidak melihat siapa pun yang akan memberi dukungan atau hiburan kepada diri-Nya.

  Akibatnya, Ia merasa kehilangan daya dan sedih, hati remuk dan takut serta dikuasai oleh

  2

  depresi yang mendalam. Apa yang dialami-Nya bukanlah rasa sakit secara fisik karena dalam teks tersebut ditemukan bahwa tidak ada yang menyakiti-Nya pada saat itu. Rupanya nampak bahwa apa pun yang dirasakan-Nya pada saat itu berasal dari diri-Nya sendiri. Perkataan Yesus menunjukkan ketakutan-Nya atas penderitaan yang akan segera dialami-Nya sehingga Ia mengalami konflik batin yang sangat hebat. 1 2 J.T.Nielsien, Tafsiran Aliktab Kitab Injil Matius 23-28, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 107 Luis M. Barmejo, Selubung Kirmizi, Jejak-jejak Penyaliban Almasih, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 70

  Konflik batin yang dialami oleh Yesus rupanya sama sekali tidak menjadi alasan bagi-Nya untuk berhenti menjalankan misi-Nya menjadi pihak yang dengan rela menunjukkan kasih Allah lewat penderitaan yang dialami-Nya. Kasih Allah kepada manusia bertujuan untuk menyatukan hubungan yang telah terputus antara Allah dengan manusia serta mengadakan pendamaian di antara keduanya. Untuk itu, Yesus dalam ketaatan kepada Allah walaupun dengan rasa takut dan gelisah yang begitu mencekam, tetap tunduk dan taat terhadap kedaulatan Allah. Memang tidak dijelaskan secara detail makna pendamaian dalam teks tersebut, namun di sini nampak bahwa misi-Nya untuk mendamaikan Allah dengan manusia sudah terkandung dalam teks tersebut. Oleh karena misi inilah sehingga Ia memilih untuk berdoa agar Ia dikuatkan oleh Allah sehingga mampu menghadapi penderitaan yang semakin dekat itu. Di sini nampak bahwa pemberian diri Yesus sebagai korban sangat penting untuk mengadakan pendamaian antara Allah dengan manusia. Allah seolah “tidak menemukan jalan lain” untuk membuat hati manusia terpukau akan kasih Allah dan membuat manusia menyadari bahwa manusia telah memberontak terhadap Allah sehingga menciptakan jarak di antara mereka.

  Berbicara mengenai karya pendamaian yang dilakukan oleh Allah, Karl Barth menyimpulkan tiga hal untuk memaknai hal tersebut. Pertama, pendamaian berisikan pengenalan Yesus Kristus sebagai Allah yang sejati yang merendahkan diri-Nya dan dengan demikian memperdamaikan. Kedua, pendamaian beriskan pengenalan Yesus sebagai manusia sejati yang ditinggikan dan diperdamaikan oleh Allah. Ketiga, pengenalan Yesus Kristus

  3

  sebagai penjamin dan saksi pendamaian tersebut. Yesus sebagai korban bertindak sebagai perantara untuk melakukan pendamaian.

  Jalan yang dipilih oleh Allah untuk melakukan pendamaian sesuai dengan tradisi yang terdapat dalam kehidupan bangsa Yahudi pada saat itu. Tradisi yang dimaksudkan ialah ritus 3 Karl Barth, Teolog Kemerdekaan, Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

  2003), 162 pemberian persembahan korban. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam tradisi Yahudi, pemberian korban erat kaitannya dengan pendamaian atau yang dalam bahasa setempat disebutkan dengan istilah syelamim. Para ahli menjelaskan syelamim sebagai sebuah upacara atau ritus yang bertujuan untuk memulihkan dan memperbaiki hubungan dari si penyembah dengan yang disembah (Tuhan). Korban pendamaian menyatakan sebuah kesadaran bahwa antara Allah yang Maha Kudus dan manusia berdosa itu ada jarak karena manusia telah membangkitkan murka Allah. Oleh karena itu, untuk memperbaiki hubungan

  4

  dengan Allah, maka ada darah yang harus dikorbankan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Abineno bahwa pendamaian menekankan peniadaan dari suatu

  5

  permusuhan. Namun, berbeda dengan yang dilakukan oleh Allah, Ia (sebagai pribadi yang disembah) yang berinisiatif untuk mengadakan persembahan korban dengan menjadikan Anak-Nya sebagai korban. Mirip dengan apa yang disampaikan oleh Yahya Wijaya bahwa bukan manusialah yang memprakarsai pendamaian dengan Allah, tetapi Allah sendiri.

  Dengan demikian, maka menurutnya, hubungan baik dengan Allah itu tidak tergantung pada kesempurnaan pihak manusia, tetapi semata-mata adalah kemurahan Allah sendiri. Allah membebankan hukuman atas dosa-dosa manusia kepada Yesus sehingga tidak ada lagi ganjalan dalam hubungan antara manusia dengan Allah. Manusia dibebaskan dari hukuman

  

6

  akibat pemberontakan mereka terhadap Allah. Di sini ditemukan perbedaan antara korban dalam ritus Oli Somba dan pemberian korban dalam ritus yang dilakukan oleh berbagai agama lainnya.

  Untuk maksud itulah penulis Injil Matius menuliskan tentang penderitaan yang dialami oleh Yesus dan salah satu kisah yang diangkat, yakni tentang doa Yesus di Taman Getsemani. Ia melihat bahwa terjadi keretakan hubungan di antara penduduk wilayah 4 J, Verkuyl, Aku Percaya, Uraian Tentang Injil dan Seruan Untuk Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

  2001), 138 5 6 J. L. Ch. Abineno, Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 134 Yahya Wijaya, Kemarahan, Kemurahan Allah, dan Kemurahan, Teologi Sederhana Tentang Sifat Alah dan Budaya Masyarakat Kita, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 32

  Antiokhia pada saat itu. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya pertikaian tersebut diakibatkan oleh perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman iman mereka.

  Berdasarkan hal tersebut tentunya penulis Injil Matius berharap mereka dapat mengingat kembali pengorbanan Yesus sebagai tanda kasih-Nya kepada mereka dan menyatukan segala perbedaan yang timbul di antara mereka. Pendamaian yang telah dikerjakan oleh Allah di dalam Yesus Kristus menjadi dasar untuk menjalani kehidupan mereka. Di sini nampak bahwa hubungan yang baik itu tidak hanya harus terjadi antara Allah dengan umat-Nya saja, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya. Ketika hubungan antara manusia dengan yang Ilahi atau Tuhan telah diperdamaikan atau dipulihkan, maka tentu hubungan di antara sesamanya pun haruslah demikian. Pendamaian yang dilakukan oleh Allah menunjukkan bahwa dosa tidak dapat merusak hubungan manusia dengan Allah. Oleh karena itu, dosa juga

  7 tidak dapat merusak hubungan manusia dengan sesamanya.

  Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa korban memainkan peranan penting dalam upaya pendamaian. Pemahaman ini semakin dipersempit lagi bahwa korban yang dimaksudkan ialah darah dari makhluk hidup, bukan saja hewan tetapi manusia. Dalam upacara korban di Israel, darah amat penting untuk pemurnian. Tanpa penumpahan darah

  8

  tidak ada pengampunan dari dosa. Menurut gaya khas bangsa Semitis, darah digunakan

  9 dalam membuat perjanjian, dan bagi orang Israel, darah itu merupakan lambang kehidupan.

  Hal yang sama terdapat juga dalam pemaknaan darah menurut komunitas Aramaba, bahwa darah melambangkan kehidupan. Dengan mengorbankan darah sebagai lambang kehidupan, mereka meyakini bahwa darah dapat menciptakan pendamaian antara manusia dengan sesamanya, dengan alam terlebih kepada yang Ilahi/Lahatala.

  7 8 Yahya Wijaya, Kemarahan, Kemurahan..., 34 9 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 213 Luis M. Barmejo, Selubung Kirmizi..., 22 Yesus sebagai korban dan korban dalam ritus Oli Somba sama-sama diperhadapkan dalam situasi yang sulit dan menggoncangkan batin. Mereka sama-sama mempersiapkan diri untuk menghadapi penderitaan dengan menyadari bahwa segala upaya yang mereka lakukan untuk menghindar dari penderitaan adalah merupakan sebuah kesia-siaan. Dalam ketidakberdayaan itu mereka tetap menyerahkan diri mereka untuk dikorbankan demi kepentingan orang banyak. Misi mereka sama-sama ingin menjadi pihak yang menghadirkan kemurahan Allah dan kerendahan hati manusia sehingga terciptalah pendamaian. Darah mereka menjadi lambang kehidupan dan menunjukkan bahwa kehidupan yang benar adalah kehidupan yang penuh dengan kedamaian.

  Hal yang sangat mengganggu dari makna pendamaian ini ialah korban yang disiapkan adalah seorang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan permasalahan yang sedang terjadi. Mereka, baik Yesus maupun budak dalam ritus Oli Somba adalah dua pribadi yang tidak bersalah. Hal ini kemudian melahirkan sebuah pertanyaan, mengapa orang-orang yang bersalah itu diloloskan atau dibiarkan hidup sementara orang yang tak berdosa dibuat menderita? Benar bahwa sesuai dengan tradisi dari masing-masing konteks dalam tahap pemilihan haruslah mereka yang bersih dan tak bercela. Namun, ada kesan bahwa pemilihan korban seperti itu sepertinya menunjukkan bahwa ada “ketidakadilan” dalam upaya pencapaian pend amaian. Rupanya ukuran “ketidakadilan” ini tidak sesuai dengan konsep pemberian korban dalam ritual dalam kedua konteks tersebut. Mereka malah melihat pemberian korban seperti memberi sebuah kesan bahwa orang yang melakukan kesalahan/dosa akan merasakan perasaan bersalah yang semakin dalam karena terbeban dengan darah orang lain yang dicurahkan. Jika karena mereka orang lain dikorbankan, maka kemungkinan besar kesalahan yang sama atau bahkan kesalahan-kesalahan yang lain itu tidak akan dilakukannya lagi. Pendamaian seperti inilah yang dikehendaki sehingga pemberian korban itu tidak menjadi sia-sia, tetapi bermakna besar dan membekas dalam pribadi setiap mereka yang menjalan ritual tersebut. Manusia menjadi “terpukau” dengan kebesaran hati dari pribadi yang memberi diri untuk dikorbankan sehingga mereka terbebani dengan rasa syukur yang harus dinyatakan lewat sikap dan tindakan hidup mereka.

  Perkataan korban berarti persembahan. Manusia mempersembahkan sesuatu persembahan kepada suatu Allah dengan maksud untuk memperoleh kemurahan hati Allah tersebut. Persembahan tersebut berupa korban yang bertujuan sebagi permohonan mereka kepada yang ilahi. Makna permohonan yang tersirat dalam ritus Oli Somba adalah sama halnya dengan ritus korban pada umumnya. Dalam komunitas yang pernah bahkan masih menjalankan ritus semacam ini pun melakukan hal yang sama, yakni pernyampaian permohonan kepada yang transenden dengan harapan permintaan mereka akan dikabulkan. Pertanyaannya ialah apakah Yesus sebagai korban juga merupakan sebuah bentuk korban permohonan kepada Allah yang transenden itu? Untuk itulah, maka pada bagian ini penulis akan berusaha untuk menemukan jawaban serta menjelaskan apakah terdapat kesamaan antara korban Yesus dengan korban dalam ritus Oli Somba.

  Jika kita membaca Matius 26:36-46 secara keseluruhan, maka terlihat dengan jelas bahwa kisah ini mengemukakan tentang doa atau permohonan yang tengah dinaikkan oleh Yesus kepada Allah. Dalam ketakutan dan kegelisahan-Nya terhadap peristiwa mencekam yang akan segera dialami-Nya, Ia pun merasa perlu untuk manaikkan permohonan kepada Allah. Lalu, apa sebenarnya maksud penulis Matius untuk mengemukakan kisah ini dalam hubungannya dengan korban Yesus sebagai bentuk permohonan kepada Allah? Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melihat bahwa ada dua poin penting yang terkandung kisah Yesus di Taman Getsemani untuk menggambarkan makna permohonan dalam teks dimaksud.

  Pertama, kisah di Getsemani merupakan sebuah permohanan pribadi yang disampaikan oleh Yesus kepada Allah. Jika kita melihat korban dalam konteks ritus Oli

  

Somba, korban dianggap sebagai bentuk permohonan kepada Lahatala melalui ucapan

  doa/mantra yang dilakukan oleh Labbe. Dengan ketiga pokok doa yang disampaikan dan persembahan yang diberikan dipercaya dapat memuaskan hati Lahatala sehingga dapat menjauhkan mereka dari angkara murka. Selain itu, ritus ini dilakukan agar dapat tercipta hubungan yang harmonis antara mereka yang melakukan ritus maupun antara manusia dengan Lahatala. Pemaknaan yang demikian sepertinya tidak terdapat dalam kisah di Getsemani. Doa Yesus di Getsemani memang merupakan bentuk permohonan kepada Allah, namun doa itu bertujuan untuk meneguhkan hati-Nya agar siap untuk masuk dalam penderitaan. Salah satunya tertera dalam ayat ke 39, “kai. proelqw.n mikro.n e;pesen evpi. pro,swpon auvtou/ proseuco,menoj kai. le,gwn( Pa,ter mou( eiv dunato,n evstin( parelqa,tw avpV evmou/ to. poth,rion tou/to\ plh.n ouvc w`j evgw. qe,lw avllV w`j su,Å

  ” Dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kalimat ini diartikan sebagai “... Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Baik Matius maupun Markus dan Lukas memakai ungkapan “topoth,rion tou/to (cawan ini).” Kata ini jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris berarti a cup, dringking vessel (cangkir, tempat minum). Sama seperti dalam

  10 Matius 20:22, “cawan” mengiaskan penderitaan yang semakin dekat (bnd. Yes. 51:17, 22).

  Hal ini berarti bahwa dalam doa tersebut, Yesus menaikkan permohonan kepada Allah agar Ia sekiranya mungkin/if it be possible (evstin) Ia bisa dilalukan dari penderitaan.

  Selain itu, Ia juga memohon agar bukan hanya diri-Nya saja yang diteguhkan hati- Nya, tetapi Ia berharap hal yang sama juga berlaku bagi beberapa murid-Nya yang bersama dengan-Nya pada saat itu. Hal ini terlihat dalam ayatnya yang ke 41 “grhgorei/te kai. 10 J.T.Nielsien, Tafsiran Aliktab..., 108 proseu,cesqe( i[na mh. eivse,lqhte eivj peirasmo,n\ to. me.n pneu/ma pro,qumon h` de. sa.rx avsqenh,jÅ.

  ” Dalam terjemahan LAI kalimat ini berarti “Berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan. Roh (pneuma) memang penurut, tetapi daging (sarks) lemah.” Menurut Nielsien, ungkapan pneuma dan sarks menunjukkan dua kekuatan yang sangat aktif dalam diri manusia, yakni dorongan baik dan dorongan jahat dari teologi kaum rabi. Kata-kata itu mungkin merujuk ke Mazmur 51:14 (naskah Ibrani). Jika dugaan ini benar, maka dalam ayat 41 ini Yesus menyatakan bahwa dalam diri manusia ada unsur, yaitu roh, yang memang rela melakukan apa yang perlu dilaukan demi Allah. Sekalipun demikian, manusia selaku manusia lemah seringkali gagal melakukan apa yang

  11

  diperintahkan Allah kepadaNya. Untuk itu, para murid harus senantiasa berjaga-jaga agar tidak gagal melakukan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. Jika Yesus juga adalah manusia seperti manusia lainnya, maka dapat dikatakan bahwa perkataan tersebut bukan saja ditujukan kepada manusia, tetapi juga ditujukan kepada diri-Nya. Bahwa Ia sebagai manusia sejati pun harus melakukan hal yang sama agar tidak mudah jatuh ke dalam pencobaan. Dalam hal ini yang dimasudkan ialah Yesus tidak mengikuti keinginan dagingnya sehingga Ia tetap mampu menjalani apa yang dikehendaki oleh Allah.

  Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Yesus yang adalah korban sebelum menghadapi penderitaan, juga menaikkan permohonan atau doa kepada Allah. Permohonan yang dilandasi ketakutan dan kesedihan ini menunjukkan betapa pentingnya sebuah permohonan yang disampaikan oleh manusia yang tengah mengalami penderitaan kepada Allah yang transenden agar terlepas dari malapetaka dan musibah/bencana lainnya. Yesus dalam doa- Nya berharap agar “cawan” derita-Nya itu tidak dialami oleh-Nya karena Ia tahu betapa beratnya penderitaan tersebut. Ia sungguh tidak dapat mengerti bagaimana kematian yang penuh derita itu sesuai dengan rencana penyelamatan Allah. J. Fitzmyer 11 J.T.Nielsien, Tafsiran Aliktab..., 110 mengungkapkan dengan baik. Menurutnya, Yesus mengungkapkan penolakan secara naluriah terhadap nasib yang menanti-Nya. Tanggapannya tidak hanya menunjukkan penderitaan fisik dan kecemasan psikis yang akan datang, tetapi mungkin meliputi juga kesedihan dan

  12

  keraguan batin mengenai makna dari semua itu. Yesus tahu bahwa Ia akan menghadapi kematian yang keji lewat peristiwa penyaliban. Ia tahu bahwa wewenang untuk menjatuhkan hukuman mati ada di tangan penguasa Roma. Oleh karena itu, jika Yesus harus mati di tangan orang Roma, maka Ia pun harus mengikuti tradisi mereka di mana hukuman mati bagi penjahat atau budak adalah dengan penyaliban. Penyaliban tersebut biasanya didahului

  13

  dengan proses penyiksaan yang sangat kejam. Dari sisi kemanusiaan-Nya, Yesus tentu melihat peristiwa tersebut sebagai sebuah malapetaka bagi diri-Nya. Untuk itulah, Ia dengan segala kerendahan hati menaikkan permohonan kepada Allah dengan tanpa memaksakan kehendak-Nya. Malapetaka tersebut tentu disadari oleh Yesus bahwa akan tertimpa juga bagi para pengikut atau murid-murid-Nya sehingga mereka diminta oleh Yesus agar tetap berjaga- jaga.

  Pada bagian ini jelas bahwa kisah Yesus sebagai korban dan korban dalam ritus Oli

  

Somba memperlihatkan makna permohonan yang sangat penting dalam peristiwa

  pengorbanan. Keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk menaikkan permohonan agar terlepas dari malapetaka dari yang transenden. Permohonan dalam Oli Somba bertujuan agar masyarakat setempat tidak mengalami malapetaka dar Lahatala sebagai akibat dari pembunuhan yang dilakukan oleh salah satu anggota dari masyarakat Aramaba. Mereka berharap penuh kepada Lahatala agar mengampuni kesalahan yang telah dilakukan oleh mereka dan bersedia untuk menjauhkan mereka dari angkara murka Lahatala. Yesus pun melakukan hal yang sama. Dalam permohonan-Nya Ia berharap agar Ia terlepas dari penderitaan-Nya yang begitu mengerikan bagi-Nya. 12 13 Luis M. Barmejo, Selubung Kirmizi..., 71 Luis M. Barmejo, Selubung Kirmizi..., 68

  Kedua, permohonan dari Allah kepada manusia. Dari peristiwa pengorbanan Yesus, penulis melihat bahwa ada pertukaran tempat dari pihak yang menyampaikan permohonan kepada pihak yang menerima permohonan. Allah sebagai pribadi yang seharusnya menjadi pribadi yang kepada-Nya disampaikan permohonan justru berbalik menjadi pribadi yang berinisiatif untuk menjalankan proses pengorbanan tersebut. Jika Allah yang berinisiatif melakukan pengorbanan tersebut, maka pertanyaannya ialah kepada siapakah permohonan itu ditujukan? Sangat tidak mungkin jika Allah menyampaikan permohonan kepada diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, menurut penulis, dengan memakai kaca mata dari ritus Oli Somba, maka nampak bahwa Allah sepertinya menyampaikan permohonan-Nya kepada manusia yang telah memberontak kepada-Nya. Allah dalam kebesaran-Nya menurunkan derajatnya menjadi sama dengan manusia dan bertindak sebagai pemohon dengan harapan manusia dapat melihat perbuatan-Nya yang besar dan kembali berbalik kepada-Nya. Suatu tindakan yang sulit ditemukan di mana pun. Allah yang begitu dimegahkan dalam kemulian-Nya tanpa paksaan dari pihak mana pun melakukan hal tersebut. Ia tidak memikirkan bahwa perbuatan- Nya itu akan menjadi bahan ejekan/olokan. Ia juga tidak merasa terhina dan dilecehkan. Ia dalam kemuliaan-Nya merendahkan diri dan menunjukkan permohanan-Nya kepada manusia yang semestinya terhina itu. Bahkan kekejaman penderitaan yang akan dihadapi oleh Anak- Nya yang Tunggal tidak menjadi alasan bagi-Nya untuk mengurungkan niat-Nya. Menurut Barmejo, kasih-Nya yang besar kepada manusia pada akhirnya melampaui segala batas-batas tersebut.

  Hal yang berikut ialah permohonan yang dilakukan oleh manusia yang menjalankan ritus Oli Somba mengharapkan kebaikan untuk kehidupan mereka. Atau dengan perkataan lain, pelaksanaan ritus yang dilakukan semata-mata bertujuan untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka berharap agar Lahatala (Tuhan) menjawab doa dan harapan mereka sehingga mereka diluputkan dari segala malapetaka. Namun, sebaliknya, permohonan yang dilakukan oleh Allah terhadap manusia bukanlah untuk kepentingan diri-Nya. Bukan supaya Ia mendapatkan pujian dan disanjung-sanjung oleh manusia. Yang Ia harapkan dari permohonan-Nya ialah untuk kepentingan dari manusia itu sendiri. Ia tidak memikirkan diri- Nya, tetapi malah memikirkan kebaikan manusia agar diluputkan dari kebinasaan akibat dosa dan pemberontakan manusia. Sekalipun Ia di dalam anak-Nya Yesus harus mengalami konflik batin dan gangguan psikis yang begitu berat sehingga membuat-Nya takut, gelisah, dan sedih namun tetap tidak merubah keputusan-Nya. Menurut Barmejo, cerita di Getsemani menunjukkan bahwa Allah Bapa yang diharapkan dapat mendengar dan merespon doa Yesus serasa teramat jauh, diam, bisu, dingin seperti batu, acuh tak acuh, dan tak menaruh perhatian

  14

  terhadap malapetaka yang akan menimpa Yesus. Sikap Allah yang digambarkan oleh Barmejo menunjukkan bahwa Allah benar-benar merelakan diri-Nya dan membiarkan diri- Nya menjadi pribadi yang memohon kepada manusia agar diluputkan dari kemurkaan Allah.

  Dengan penjelasan di atas ditemukan bahwa ada dua hal yang berbeda dari pemahaman tentang permohonan kepada Tuhan dalam hubungannya dengan pemberian korban persembahan. Pertama, permohonan yang dilakukan dalam ritus Oli Somba ditujukan kepada

  

Lahatala dengan harapan dikabulkannya permintaan mereka. Sementara itu, dalam versi

  Yesus sebagai korban, justru Allah sendiri yang menyampaikan permohonan-Nya kepada manusia yang telah memberontak terhadap-Nya. Kedua, permohonan bertujuan untuk kepentingan si pemohon, tetapi berbeda dengan yang dilakukan oleh Allah. Ia justru menyampaikan permohonan demi kepentingan manusia.

  Peristiwa ini menunjukkan kasih Allah yang besar kepada seluruh manusia tanpa membedakan antara yang suci dan yang berdosa. Apa pun yang dilakukan oleh manusia terhadap Allah, Allah tetap mengusahakan yang terbaik bagi mereka. Untuk itu Allah, di dalam Yesus Kristus, telah banyak menderita, sengsara, berkorban, dihina, sampai mati di 14 Luis M. Barmejo, Selubung Kirmizi..., 77 kayu salib. Semuanya itu dilakukan oleh Allah demi kebaikan manusia, bahkan dunia dan

  15 seluruh isinya.

  Berbicara mengenai penebusan kesalahan, para ahli telah banyak menjelaskan bahwa penderitaan dan kematian yang dialami oleh Yesus bertujuan untuk menebus dosa dan kesalahan atas apa yang telah dilakukan oleh manusia. Kata

  “tebusan” adalah sebutan yang

  16 dipakai untuk sejumlah uang sebagai harga pembebasan seorang hamba/budak.

  Salah satu beban pikiran yang dipikul oleh Yesus pada saat Ia berdoa di Taman Getsemani, ialah penebusan dosa/kesalahan manuisa. Penebusan dosa menjadi misi-Nya hadir di dunia, tetapi dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Dosa yang dilakukan oleh orang lain harus ditanggung oleh Dia yang tak berdosa. Yesus sejak zaman Perjanjian Lama telah dipilih sebagai korban. Bagi Allah tidak ada dasar lain untuk keselamatan. Penebusan

  17

  dan pengampunan dosa hanya terjadi lewat tercurahnya darah Yesus. Dengan demikian kematian Kristus dapat dipandang sebagai suatu tebusan bagi orang banyak. Istilah khas Perjanjian Baru untuk penebusan ialah Apolutrosis yang berarti pembebasan berdasarkan harga tunai dan tuntas, dan harga itu adalah kematian Juruslamat sebagai tebusan.

  Hal ini sama juga dengan korban sebagai tebusan dalam konteks Oli Somba. Budak yang dicurahkan darahnya pada saat pelaksanaan ritual tersebut menjadi tebusan bagi kesalahan yang telah dilakukan oleh seorang pembunuh. Penebusan kesalahan ini semata- mata bertujuan untuk menghapus kesalahan si pembunuh dan meluputkan mereka dari bencana besar yang dari Lahatala. Dengan demikian, jelas bahwa pengorbanan Yesus merupakan sebuah pengorbanan untuk menebus dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia. 15 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Injil Matius Ps.1-10, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

  2008), 300 16 17 Gerald Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus alkitab (Yogyakarta:Kanisius, 1996), 439-440 Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama: Dari Kanon sampai doa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 145

  Dari teks Matius 26:36-46, penulis menemukan bahwa dalam upaya untuk menebus kesalahan terkandung juga unsur pengalihan kesalahan atau yang disebut sebagai “pengkambinghitaman.” Pertanyaannya, apakah korban Yesus juga merupakan korban penebus kesalahan yang “dikambinghitamkan”? Dalam penelitian mengenai ritus Oli Somba rupanya ditemukan bahwa orang yang disiapkan untuk menjadi korban persembahan adalah seorang budak belian. Telah dijelaskan pada bab 2 bahwa status budak belian adalah termasuk dalam kelompok kelas terendah dari masyarakat setempat dan tugas mereka hanyalah mengikuti setiap perintah dari kelompok kelas atas tanpa ada perbantahan. Status budak belian dalam konteks masyarakat Aramaba kurang lebih sama dengan status Yesus sebagai korban dalam karya keselamatan Allah. Mereka sama-sama menjadi pihak yang dalam ketaatan penuh tetap menjalankan amanat dari penguasa bagi mereka. Mereka tidak dapat membantah apa yang telah ditugaskan kepada mereka karena itu adalah sebuah perintah yang wajib untuk dijalankan. Mirisnya ialah keduanya merupakan pihak yang sama sekali tidak bersalah atas peristiwa yang harus ditanggung oleh mereka. Korban Oli Somba bahkan merupakan seorang budak dari kampung yang berbeda dengan kampung yang bermasalah. Jika kita lihat dalam ayat ke 39 yang berisikan doa Yesus yang pertama, di situ nampak bahwa sepertinya terjadi “penolakan” dari Yesus terhadap penderitaan yang akan segera dialaminya. Namun, penolakan itu berubah menjadi ketaatan seperti yang tertera dalam ayat ke 42, “pa,lin evk deute,rou avpelqw.n proshu,xato le,gwn( Pa,ter mou( eiv ouv du,natai tou/to parelqei/n eva.n mh. auvto. pi,w( genhqh,tw to. qe,lhma, souÅ

  .” LAI menerjemahkan kalimat tersebut: “..., Ya BapaKu jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu.” Di sini nampak bahwa Yesus yang diawal doa-Nya merasa gentar dan takut kemudian memantapkan hati-Nya dengan berserah penuh kepada Allah. Hal ini menjelaskan bahwa penderitaan tidak dapat dielakkan dan bahwa Yesus

  18

  bersedia untuk memasukinya. Dalam kematian yang akan dimasuki Yesus terdapat suatu dimensi lain, yaitu suatu pengorbanan sebagai imam demi orang lain. Itulah dimensi terselubung yang terdapat dalam ketakutan dan kegentaran Yesus. Yesus menyambut

  19

  penderitaan dan kematian-Nya sebagai Hamba Tuhan (Yes. 53). Kepasrahan Yesus memperlihatkan ketidakberdayaan-Nya untuk tidak menjalankan misi-Nya menebus dosa- dosa manusia. Budak korban Oli Somba pun dalam kesetiaan dan kepasrahannya menunjukkan ketidakberdayaan atas tugasnya untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Mereka yang tidak bersalah harus menanggung kesalahan yang dilakukan orang lain menjadikan diri mereka seolah- olah “kambing hitam”.

  Untuk menjelaskan tentang korban sebagai “pengkambinghitaman” seperti yang penulis sebutkan di atas, maka penulis mengutip beberapa pendapat yang disampaikan oleh para ahli. Rene Girard misalnya, melihat hal semacam itu dengan istilah

  “kambing hitam” (Scapegoat). Istilah ini diambil dari tradisi Yahudi yang terdapat dalam kitab Perjanjian Lama. Kambing hitam yang disebut azazel itu dilepaskan ke padang belantara sebagai kurban bagi dosa kolektif komunitas. Oleh karena itu, mekanisme kambing hitam seperti yang dipahami Girard adalah mekanisme yang menyembunyikan kekerasan yang nyata. Jadi, dengan menjalankan ritus korban, orang-orang mengiyakan bahwa kambing hitam itu penyebab kekerasan, bukan masyarakat. Itulah selimut kekerasan yang melingkupi kesucian

  20

  agama. Salah satu pokok pemikirannya didasarkan pada analisis agama primitif yang melihat kekerasan sebagai pengganggu stabilitas sosial dan perlu untuk melakukan penebusan karena hal itu. Girard berusaha untuk menganalisis sistem ini dan menyimpulkan bahwa saat penebusan terjadi bukan dengan sendirinya menghilangkan pelaku kekerasan, melainkan mengkambinghitamkan seseorang atau sesuatu demi suatu komunitas yang melakukan 18 19 J.T.Nielsien, Tafsiran Aliktab..., 110 20 M. H. Bolkestein, Kerajaan Yang Terselubung, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 294 Sindhunata, Kambing Hitam,..., 206 kesalahan. Sistem inilah yang akhirnya melahirkan rantai kekerasan karena penebusan tidak begitu saja menghentikan kekerasan. Ketika mekanisme korban kambing hitam telah bekerja, dan komunitas terselamatkan, maka komunitas tersebut akan menyadari dan memahami bahwa korban tersebut adalah penyelamat. Melalui bad violence dan good

  

violence , korban menjadi sebuah misteri, memiliki kekuatan yang dahsyat, secara potensial

  berbahaya akan tetapi murah hati (potentially dangerous but generous), transendent tetapi menjadi dekat, singkat kata menjadi kudus. Girard menyimpulkan bahwa korban kambing hitam bagi masyarakat adalah makhluk ilahi yang memiliki kekuatan untuk disembah,

  21 bagaikan leluhur yang terus melindungi, memberi, memberkati, dan juga menghukum.

  Atas dasar itulah, Girard tidak setuju terhadap anggapan bahwa dalam praktik ritual itu korban seakan berperan sebagai “penebus.” Menurutnya, korban itu sendiri suci dan tak bersalah dan ia terpaksa dikorbankan untuk “menebus” ketidaksucian dan kesalahan dari

  22 mereka yang mengorbankannya. Korban hanyalah sebagai tempat penyaluran kekerasan.

  Girard dengan demikian meninggalkan anggapan tradisional yang berpendapat bahwa suatu tindakan ritual dimaksudkan misalnya sebagai persembahan kepada “yang ilahi, ” lalu memohon, agar dicukupilah kebutuhan dan perlindungan bagi hidupnya, seperti hujan, kesuburan tanah, berhasilnya panenan, penolakan wabah, dan bencana alam. Baginya, hanya ada satu alasan yang mendorong manusia melakukan tindakan korban, yakni kekerasan internal yang mengacaukan masyarakat. Tujuan ritus korban hanyalah mengharmoniskan

  23

  kembali masyarakat yang dikacaukan oleh kekerasan itu. Girard menelanjangi agama beserta mitos dan ritusnya. Penelanjangan itu dilakukan dengan tetap yakin akan keunggulan agama, dan dengan cita-cita agar pada masa kini pun, orang tak berhenti mencari dan menciptakan mitos dan ritus baru yang dapat mengefektifkan agama menghadapi masalah 21 Syukurniat Zebua, 22 “Perjamuan Kudus,..., 54 23 Sindhunata, Kambing Hitam,..., 101 Sindhunata, Kambing Hitam,..., 207 lama: kekerasan. Teori Girard memang merupakan apologetisme agama dalam zaman

  24 modern.

  Dari pemaparan di atas ditemukan bahwa kata kambing hitam merujuk pada konsep kekerasan dari kata korban itu sendiri. Artinya bahwa di dalam tindakan mengorbankan terjadi “perubahan” pada objek pengorbanan. Korban dalam ritus persembahan yang tadinya mengandung makna sacrifice berubah menjadi victim dalam pengertian sebagai korban kekerasan. Lalu, apakah pemaparan di atas sudah menunjukkan kebenaran akan adanya unsur “pengkambinghitaman” dalam karya penebusan yang dilakukan oleh Yesus? Hal senada juga dipertanyakan oleh Groenen, apakah Yesus menjadi ”kambing hitam” yang dibebani dengan dosa orang, supaya mereka sendiri dapat menganggap diri-Nya tidak bersalah? Benar bahwa Yesus menjadi korban atas dosa-dosa manusia tetapi dalam kenyataannya Yesus seolah menjadi kambing hitam atas sesuatu yang jelas bukan akibat dari perbuatannya.

  Kisah Yesus bersama para murid-Nya di Taman Getsemani ini menunjukkan bahwa Ia mengalami guncangan yang sangat hebat. Secara psikis, Yesus menderita dan bahkan secara terang-terangan Ia menyatakan kesedihan dan ketakutan-Nya. Sepenggal doa yang Ia sampaikan dalam ketakutan dan kesedihan mengandung makna yang sangat mendalam. Doa Yesus ini merupakan gerakan dari apa yang mungkin terjadi menuju ke apa yang perlu terjadi. Ada beberapa pandangan yang disampaikan oleh para teolog berkaitan dengan ketakutan dan kesedihan yang dirasakan oleh Yesus. Nielsien menegaskan bahwa perasaan yang dialami oleh Yesus itu sangat manusiawi. Hal in membuktikan bahwa ternyata Yesus Kristus adalah manusia sejati dan mematahkan pemahaman aliran anti-doketisme yang menyatakan bahwa Yesus bukanlah manusia sejati. Stevan Leks juga menuliskan berapa hal terkait perasaan sedih yang dialami oleh Yesus. Pertama, Yesus tahu apa yang akan terjadi dan semuanya itu tampak di hadapan-Nya secara mengerikan. Kedua, Yesus sedih sekali 24 Sindhunata, Kambing Hitam,..., 209 memikirkan bahwa sebentar lagi Ia akan ditinggalkan semua orang yang selama ini begitu dekat dengan-Nya. Ketiga, Yesus memikirkan kematian- Nya sebagai “orang terkutuk”

  25

  (Gal.3:13). Keempat, Yesus merasa tidak cukup baik, padahal Ia maha baik. Selain itu, Steven Leks juga menuliskan tentang doa yang disampaikan oleh Yesus. Di dalam Injil Matius maupun Lukas tercatat bahwa sebanyak dua kali Yesus menyampaikan doa-Nya. Ada ungkapan “mungkin” dan “tidak mungkin”. Menurutnya, Allah rupanya “bungkam,” tidak menanggapi doa Yesus sehingga Yesus mengerti bahwa cawan itu tidak akan dijauhkan dari pada-Nya. Dalam keadaan itu, Yesus menyatakan diri siap untuk taat kepada Allah, kata-Nya,

  26 jadilah kehendakMu.

  Penggambaran singkat mengenai perasaan dan pergumulan yang dialami Yesus dalam teks Matius 26:36- 46 memperlihatkan adanya unsur “penolakan” atau “keengganan” dari Yesus dalam menghadapi penderitan yang akan dialaminya itu. Semuanya itu Ia sampaikan dalam doa yang menunjukkan kedekatan-Nya dengan Bapa. Namun, doa itu disampaikan dengan kesadaran penuh bahwa Ia tidak bisa menghindarkan diri dari penderitaan yang akan dialami-Nya. Pada akhirnya, dalam ketaatan yang penuh dan kesadaran bahwa Ia hanyalah pihak yang tidak bisa menyampaikan nada perbantahan kepada Allah yang telah memerintahkan Dia untuk masuk dalam peristiwa pengorbanan. Di sini penulis melihat bahwa Ia hanyalah korban atas sebuah aturan yang telah dibangun dari Kerajaan Allah dan Ia siap bertindak sebagai hamba yang taat kepada kedaulatan Allah. Hal ini kemudian membuktikan bahwa dalam peristiwa pengorbanan Yesus juga terkandung makna “kambing hitam” karena terjadi pengalihan korban. Manusia yang seharusnya menjadi korban dengan mengalami penderitaan dan murka Allah, digantikan dengan pengorbanan seorang yang tak berdosa, yakni Yesus.

  25 26 Steven Leks, Tafsir Injil Matius, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 558 Steven Leks, Tafsir Injil..., 564

  Sindhunata memaparkan bahwa korban manusia memang mengandung resiko dari bahaya asimilasi. Karena sama-sama manusia, maka siapa yang dikorbankan bisa persis sama dengan siapa yang digantikan. Manusia yang dikorbankan biasanya diambil dari kaum marginal, misalnya para tawanan perang, para budak, anak-anak, kaum cacat, dan kaum remaja. Memang ada juga korban raja. Kalaupun hal itu terjadi, biasanya raja yang dipilih adalah raja “marginal,” artinya raja yang dianggap terjauh dari masyarakat dan pergaulan sehari-hari. Sama halnya dengan korban binatang. Keduanya diusahakan tidak ada hubungannya dengan pengorbanan. Alasannya supaya tidak ada kemungkinan untuk terjadinya pembalasan dendam. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran primitif di zaman dulu yang hidup di bawah bayang-bayang balas dendam. Oleh karena itu, balas dendam harus dihentikan dengan cara mengadakan praktik korban yang tidak menimbulkan resiko balas

  27

  dendam. Tindakan kekerasan ini kemudian disembunyikan dalam alasan-alasan religius-

  28 teologis, yakni bahwa tindakan itu dikehendaki yang ilahi sebagai tindakan itu suci.

  Pandangan seperti ini seolah menelanjangi makna penebusan yang dikerjakan dalam berbagai agama. Ada unsur negatif bahkan sangat kejam perlakuan dari orang-orang beragama bahkan Tuhan pun seolah menjadi pelaku kekejaman tersebut. Jika pandangan seperti ini dipertahankan, maka apakah korban Yesus benar dilandasi atas dasar kasih Allah kepada manusia, tetapi di pihak lain menunjukkan kekejaman Allah terhadap Anak-Nya? Apakah kasih Allah harus dinyatakan kepada manusia dengan cara “mengkambinghitamkan” Anak-Nya?

  Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Girard tentang makna penyatuan masyarakat yang terkandung dalam ritual pengorbanan.

  Sekalipun unsur pengalihan kekerasan tetap ada dalam ritual dimaksud, namun tidak ada jalan lain untuk menertibkan kembali keadaan yang telah hancur akibat kekerasan itu sendiri 27 28 Sindhunata, Kambing Hitam,..., 110 Sindhunata, Kambing Hitam,..., 111 dengan jalan melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh manusia dalam bentuk pemberontakan kepada Allah dengan melakukan dosa sebenarnya sudah tidak terampuni lagi.

  Namun, oleh karena kasih Allah kepada manusia sehingga Ia menempuh jalan tersebut untuk menarik kembali manusia ke jalan yang benar.

  Dengan memakai kacamata dari ritus Oli Somba, maka dapat disimpulkan bahwa Yesus adalah korban penebus kesalahan atau dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia dengan cara “pengkambinghitaman.” Betapa pun mulia-Nya pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus terhadap manusia, namun tidak dapat disangkali bahwa Yesus yang menebus manusia adalah juga korban “kambing hitam.” Dosa yang seharusnya ditanggung oleh manusia dialihkan kepada Yesus sehingga Ia pada akhirnya mengalamai penderitaan yang sangat menyedihkan. Hal ini memperlihatkan bahwa tujuan Allah yang begitu mulia dan penuh dengan kasih dilandasi dengan sebuah kenyataan bahwa Yesus, Anak Allah menderita dan pada akhirnya mati di kayu salib.

  Kekerasan yang dilakukan oleh pembunuh dalam konteks masyarakat Aramaba diakhiri dengan melakukan kekerasan baru, yakni dengan mengorbankan darah seorang budak. Demikian pun manusia yang melakukan kekerasan dalam hal ini pemberonntakan terhadap Allah diakhiri dengan kekerasan baru yakni mengorbankan Yesus. Keduanya melakukan dengan kerelaan dan kepasrahan atas dasar ketaatan kepada yang transenden. Hal ini sama dengan persembahan korban di wilayah Mediterania dan dalam konteks Yahudi.

  Darah dari para korban dijadikan sebagai penggugah hati para dewa sehingga mengampuni mereka dari segala kesalahan mereka. Darah melambangkan penebusan dosa manusia. Darah yang dikambinghitamkan.

  Menghubungkan pengalaman, konteks, dan teks Alkitab dengan menggunakan perspektif poskolonial merupakan sebuah pekerjaan yang baru bagi penulis dan tidak mudah untuk dilakukan. Dalam keterbatasan itu, penulis pada akhirnya menemukan bahwa hal ini sangat menarik karena menolong penulis untuk memberi pemahaman baru terhadap makna pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus sebagaimana diceritakan dalam teks Alkitab. Dari perspektif korban dalam ritus Oli Somba sebagai sebuah pengalaman dalam lingkup masyarakat Aramaba, penulis berusaha untuk menafsirkan teks Matius 26:36-46. Korban dalam ritus Oli Somba dan Yesus sebagai sebagai korban sama-sama memiliki makna yang saling berhubungan sesuai dengan konteksnya masing-masing.

  Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Matius 26:36-46 memperlihatkan ketidakberdayaan seorang manusia dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi penderitaan. Dalam ketidakberdayaan tersebut, Ia menghampiri Allah, Bapa-Nya, untuk berdoa menyerahkan seluruh pergumulan berat yang dialami-Nya. Teks ini menunjukkan bagi pembaca bahwa sebenarnya di dalam mengahadapi pengorbanan-Nya, Yesus mengalami guncangan dan konflik batin yang sangat hebat. Bahkan Ia harus menyampaikan doa-Nya hingga tiga kali dengan harapan Allah “menoleh” dan memberi sedikit kelegaan kepada-Nya. Ada harapan untuk bisa terlepas dari ancaman penderitaan, tetapi ada kepasrahan dan ketaatan untuk tetap menghadapi dan menjalani semua proses tersebut.

  Dari peristiwa yang dikisahkan ini, penulis berusaha untuk menemukan makna pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus dengan perspektif korban dari ritus Oli Somba.

  Berdasarkan makna korban dalam ritus Oli Somba penulis menemukan tiga makna untuk memahami kembali pengorbanan Yesus. Pertama, Yesus sebagai korban penyatuan masyarakat dalam hal ini umat manusia (pendamaian). Kedua, Yesus sebagai bentuk korban permohonan kepada Allah. Ketiga, Yesus sebagai korban penebus kesalahan dengan cara

  “pengkambinghitaman.” Ketiga makna tersebut sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas pada akhirnya menunjukkan bahwa ada keterkaitan atau kesamaan dalam upaya pemaknaan korban, baik dari ritus Oli Somba maupun Yesus sebagai korban. Meskipun demikian, penulis menemukan bahwa ada perbedaan yang terkandung dalam makna pengorbanan tersebut. Yesus yang memberi diri-Nya untuk dikorbankan oleh Allah demi menebus segala dosa dan kesalahan manusia hanya dilakukan sekali dan untuk selamanya. Ia menderita dan mati satu kali, tetapi penderitaan dan kematian-Nya bermakna hingga kini. Allah tidak secara terus menerus memberikan korban untuk menebus kesalahan manusia. Atau dengan kata lain, Allah tidak menyediakan korban lain setelah Yesus untuk menebus manusia yang setiap harinya berdosa kepada-Nya. Hal seperti ini tidak ditemukan dalam korban dalam ritus Oli Somba karena dalam konteks tersebut setiap kali orang melakukan kejahatan, maka ada budak yang harus dikorban. Jadi, jika setiap hari terjadi pembunuhan, maka setiap hari pula ada korban yang harus dicurahkan darahnya demi kesejahteraan bersama.

Dokumen yang terkait

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 1 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 0 14

HALAMAN JUDUL - Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 7 125

1 Bab 1 Memahami Ulang Yesus Sebagai Korban (Mat.26:36-46): Perspektif Poskolonialis Oli Somba Dalam Agama Suku Aramaba Terhadap Yesus Sang Korban 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami U

0 0 12

13 Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba dalam Komunitas Masyarakat Aramaba 2.1 Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Ulang Yesus sebagai Korban (Mat.26:36-46):Perspektif Poskolonial

0 1 24

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 21

37 Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan dalam Matius 26:36-46 3.1 Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Ulang Yesus sebagai Korban (Mat.26:36-46):Perspektif Poskolonialis Oli Somba dalam Agama Suku Aram

0 1 19

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 20