BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Usia Saat Menarche dengan Pola Siklus Menstruasi dan Dismenorea Remaja Putri di SMP Shafiyyatul Amaliyyah Medan

  1. Menarche

  1.1. Defenisi menarche

  Menarche adalah menstruasi pertama yang menjadi pertanda

  kematangan seksual pada remaja wanita (Dariyo, 2004). Menarche merupakan menstruasi pertama yang terjadi pada masa awal remaja di tengah masa pubertas sebelum memasuki masa reproduksi. Seiring dengan perkembangan biologis maka pada usia tertentu seseorang mencapai tahap kematangan organ-organ seks yang ditandai dengan menstruasi pertama.

  Menarche merupakan suatu tanda yang penting bagi seorang wanita yang

  menunjukkan adanya produksi hormon yang disekresikan oleh hipotalamus dan kemudian diteruskan pada ovarium dan uterus (Sukarni & Wahyu, 2013).

  1.2. Usia menarche Umumnya remaja mengalami menarche pada usia 12-16 tahun

  (Kusmiran, 2011). Secara normal menarche terjadi pada usia 11-16 tahun (Suryani & Widyasih, 2010). Wiknjosastro dkk (2008) berpendapat bahwa usia seorang remaja mengalami menarche yaitu pada umur 11-13 tahun.

  Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, rata-rata usia

  menarche pada perempuan usia 10-59 tahun di Indonesia adalah 13 tahun dengan kejadian lebih awal pada usia kurang dari 9 tahun.

  8

  1.3. Gangguan menarche

  Menarche adalah salah satu kejadian yang penting dalam masa

  pubertas. Gangguan – gangguan yang dapat terjadi menurut Wiknjosastro dkk (2008) meliputi :

  1.3.1. Menarche dini Pada menarche dini terjadi haid sebelum umur 10 tahun.

  Hormon gonadotropin diproduksi sebelum anak berumur 8 tahun. Hormon ini merangsang ovarium sehingga ciri-ciri kelamin sekunder, menarche dan kemampuan reproduksi terdapat sebelum waktunya.

  1.3.2. Menarche tarda

  Menarche tarda adalah menarche yang baru datang setelah

  umur 14 tahun. Pubertas dianggap terlambat jika gejala-gejala pubertas baru datang antara umur 14-16 tahun. Pubertas tarda dapat disebabkan oleh faktor herediter, gangguan kesehatan, dan kekurangan gizi.

  1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi usia menarche

  Menarche dipengaruhi oleh beberapa faktor. Status sosial ekonomi

  keluarga mempunyai peranan penting dalam hal percepatan usia menarche saat ini. Tingkat sosial ekonomi keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga di dalam hal kecukupan gizi terutama gizi anak perempuan. Nutrisi yang semakin baik menyebabkan menarche terjadi lebih awal. Selain itu, rangsangan audio visual juga memberikan pengaruh terhadap onset menarche. Rangsangan berupa percakapan maupun tontonan dari film-film berlabel dewasa, vulgar, atau mengumbar sensualitas akan merangsang sistem reproduksi dan genital untuk lebih cepat matang sehingga menyebabkan menarche dini. Pada anak perempuan yang menderita cacat mental dan mongolisme akan mendapat menarche pada usia yang lebih lambat (Sukarni & Wahyu, 2013).

  2. Siklus menstruasi

  2.1. Defenisi siklus menstruasi Siklus menstruasi merupakan rangkaian peristiwa yang secara kompleks saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan di endometrium, kelenjar hipotalamus dan hipofisis, serta ovarium (Bobak et al, 2004). Menstruasi yang terjadi setiap bulannya disebut sebagai siklus menstruasi. Fluktuasi kadar estrogen dan progesteron dalam sirkulasi (plasma) yang terjadi selama siklus ovarium menyebabkan perubahan- perubahan mencolok di uterus. Hal ini menyebabkan timbulnya daur haid atau siklus menstruasi (Sibagariang dkk, 2010).

  Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Wiknjosastro dkk, 2008).

  Menstruasi atau haid adalah perdarahan vagina periodik yang terjadi dengan terlepasnya mukosa rahim. Menstruasi merupakan peluruhan dinding rahim yang terdiri dari darah dan jaringan tubuh. Dengan kata lain menstruasi merupakan suatu proses pembersihan rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, dan sel-sel yang tidak terpakai karena tidak ada pembuahan atau kehamilan. Menstruasi adalah proses normal pada perempuan dewasa (Sibagariang dkk, 2010).

  2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme menstruasi

  2.2.1. Faktor enzim Dalam fase proliferasi estrogen mempengaruhi tersimpannya enzim-enzim hidrolitik dalam endometrium. Jika tidak terjadi kehamilan maka dengan menurunnya kadar progesteron, enzim-enzim hidrolitik dilepaskan dan merusak bagian dari sel-sel yang berperan dalam sintesis protein. Karena itu, timbul gangguan dalam metabolisme endometrium yang mengakibatkan regresi endometrium dan perdarahan (Wiknjosastro dkk, 2008).

  2.2.2. Faktor vaskular Saat fase proliferasi, terjadi pembentukan sistem vaskularisasi dalam lapisan fungsional endometrium. Pada pertumbuhan endometrium ikut tumbuh juga arteri-arteri, vena- vena, dan hubungan di antara keduanya. Dengan regresi endometrium, timbul statis dalam vena-vena serta saluran-saluran yang menghubungkannya dengan arteri, dan akhirnya terjadi nekrosis dan perdarahan dengan pembentukan hematoma, baik dari arteri maupun vena (Kusmiran, 2011).

  2.2.3. Faktor prostaglandin Endometrium mengandung prostaglandin E2 dan F2.

  Dengan adanya desintegrasi endometrium, prostaglandin terlepas dan menyebabkan kontraksi miometrium sebagai suatu faktor untuk membatasi perdarahan haid (Kusmiran, 2011).

  2.3. Faktor risiko yang mempengaruhi variabilitas siklus menstruasi

  2.3.1. Berat badan Berat badan atau perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi. Penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan.

  Kondisi patologis seperti berat badan yang kurang/kurus dan

  anorexia nervosa dapat menimbulkan amenorrhea (Kusmiran, 2011).

  2.3.2. Stres Pada keadaan stres terjadi pengaktifan HPA aksis, mengakibatkan hipotalamus menyekresikan CRH. Sekresi CRH akan merangsang pelepasan ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk menyekresikan kortisol. Kortisol menekan pulsatil LH, dimana peran hormon LH sangat dibutuhkan dalam menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Pengaruh hormon kortisol menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang mengakibatkan siklus menstruasi menjadi tidak teratur (Guyton, 2006).

  2.3.3. Aktivitas fisik Tingkat aktivitas fisik yang sedang dan berat dapat mempengaruhi fungsi menstruasi. Atlet wanita seperti pelari, senam balet memiliki risiko untuk mengalami amenorrhea, anovulasi, dan defek pada fase luteal. Aktivitas fisik yang berat menyebabkan disfungsi hipotalamus yang menyebabkan gangguan pada sekresi GnRH sehingga menurunkan level estrogen (Ganong, 2008).

  2.3.4. Diet Diet dapat mempengaruhi fungsi menstruasi. Vegetarian berhubungan dengan anovulasi, penurunan respon hormon pituitary, fase folikel yang pendek, tidak normalnya siklus menstruasi (kurang dari 10kali/tahun). Diet rendah lemak berhubungan dengan panjangnya siklus menstruasi dan periode perdarahan. Diet rendah kalori seperti daging merah dan rendah lemak berhubungan dengan amenorrhea (Kusmiran, 2011).

  2.4. Fisiologi siklus menstruasi Siklus menstruasi normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan 1 saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormon sepanjang siklus menstruasi disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi (Wiknjosastro dkk, 2008).

  Tidak lama setelah menstruasi terjadi, pada fase folikuler dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat dan menekan produksi FSH. Folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi. Estrogen mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus mengakibatkan terjadinya ovulasi (Wiknjosastro dkk, 2008).

  Pada fase luteal setelah ovulasi, sel-sel granulosa membesar membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein), kemudian folikel menjadi korpus luteum. Luteinized granulose cells dalam korpus luteum membuat progesteron banyak, dan luteinized theca cells membuat estrogen banyak sehingga kedua hormon ini meningkat pada fase luteal (Wiknjosastro dkk, 2008). Hormon progesteron mempunyai pengaruh terhadap endometrium yang telah berproliferasi menyebabkan kelenjar- kelenjarnya berlekuk-lekuk dan bersekresi. Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi yang menyebabkan kadar estrogen dan progesteron menurun, sehingga terjadi degenerasi serta perdarahan dan pelepasan endometrium yang disebut menstruasi (Sukarni & Wahyu, 2013).

  2.5. Siklus Ovarium Terdapat 3 fase pada siklus ovarium yaitu fase folikular, fase ovulasi, dan fase luteal. Perkembangan folikular mencakup rekrutmen folikel primordial menjadi stadium antral. Seiring dengan berkembangnya folikel antral, sel stroma disekitarnya ditarik untuk menjadi sel teka.

  Selama siklus ovarium, sekelompok folikel antral yang dikenal sebagai

  cohort memulai fase pertumbuhan semisinkron sebagai akibat kondisi

  maturasi mereka sewaktu terjadinya peningkatan FSH pada fase luteal lanjut siklus sebelumnya. Peningkatan FSH yang memicu perkembangan folikel ini disebut jendela seleksi (selection window) siklus ovarium. FSH akan memicu aromatase dan perluasan antrum milik folikel yang sedang berkembang. Folikel dalam cohort yang paling responsif terhadap FSH adalah yang paling mungkin untuk menjadi folikel pertama yang menghasilkan estradiol dan memulai ekspresi resptor LH. Setelah muncul reseptor LH, sel granulosa praovulasi mulai menyekresikan progesteron dalam jumlah sedikit. Hal ini memberikan umpan balik positif pada hipofisis untuk mulai menghasilkan atau meningkatkan pelepasan LH.

  Seiring dengan perkembangan folikel dominan, produksi estradiol dan inhibin meningkat, menyebabkan penurunan FSH fase folikular dan kegagalan folikel lain untuk mencapai stadium folikel de graaf. Sekresi LH mencapai puncaknya 10-12 jam sebelum ovulasi. LH menginduksi matriks ekstraseluler ovarium sehingga oosit yang matur dapat dilepaskan bersama sel kumulus yang mengelilinginya dengan menembus epitelium permukaan. Setelah ovulasi, folikel dominan/folikel de graaf menjadi korpus luteum melalui suatu proses yang disebut luteinisasi. Selama luteinisasi, sel teka-lutein dan sel granulosa-lutein mengalami hipertrofi dan meningkatkan kapasitas mereka untuk menyintesis hormon. Produksi progesteron oleh ovarium mencapai puncak pada fase midluteal yaitu setinggi 25-50 mg/hari. Korpus luteum akan mengalami regresi 9-11 hari pascaovulasi melalui mekanisme luteolisis akibat menurunnya kadar LH dalam sirkulasi pada fase luteal akhir. Regresi korpus luteum dan penurunan steroid dalam sirkulasi memberikan sinyal bagi endometrium untuk memulai proses molekular yang akhirnya menimbulkan menstruasi (Cunningham et al, 2012).

  2.6. Perubahan histologik pada ovarium dalam siklus menstruasi Ovarium terbagi atas dua bagian yaitu korteks dan medulla.

  Korteks terdiri atas stroma yang padat, dimana terdapat folikel-folikel dengan sel telurnya. Folikel dapat dijumpai dalam berbagai tingkat perkembangan, yaitu folikel primer, sekunder, dan folikel yang telah masak (folikel de graaf). Terdapat juga folikel yang telah mengalami atresia. Di dalam korteks juga dapat dijumpai korpus rubrum, korpus luteum, dan korpus albikans (Wiknjosastro dkk, 2008).

  Terdapat 2 juta oosit dalam ovarium manusia saat lahir, dan sekitar 400.000 folikel saat awitan pubertas. Dalam kondisi normal hanya 400 folikel yang akan dilepaskan selama masa reproduksi seorang wanita.

  Folikel-folikel lainnya mengalami atresia melalui proses kematian sel yang dinamakan apoptosis (Cunningham et al, 2012).

  Perkembangan folikel dipengaruhi oleh FSH. Mula-mula sel disekeliling ovum berlipat ganda dan kemudian di antara sel-sel itu timbul suatu rongga yang berisi cairan yang disebut likuor folikuli. Ovum sendiri terdesak ke pinggir, dan terdapat di tengah tumpukan sel yang menonjol ke dalam rongga folikel. Tumpukan sel dengan ovum yang berada di dalamnya disebut kumulus ooforus. Antara ovum dan sel-sel disekitarnya terdapat zona pellusida. Sel-sel lainnya yang membatasi ruangan folikel disebut membrana granulosa. Dengan tumbuhnya folikel, jaringan ovarium sekitar folikel terdesak ke luar dan membentuk dua lapisan, yaitu teka interna yang banyak mengandung pembuluh darah dan teka eksterna yang terdiri dari jaringan ikat yang padat. Seiring dengan bertambah matangnya folikel, dan oleh karena pembentukan cairan folikel makin bertambah maka folikel makin terdesak ke permukaan ovarium, malahan menonjol keluar. Sel-sel pada permukaan ovarium menjadi tipis, folikel kemudian pecah dan ovum terlepas ke rongga abdomen. Ini adalah proses ovulasi (Wiknjosastro dkk, 2008).

  Sel-sel dari membrana granulosa dan teka interna yang tinggal di ovarium membentuk korpus rubrum yang berwarna merah akibat perdarahan waktu ovulasi, dan bekuan darah dengan cepat diganti oleh sel luteal yang kaya lemak dan berwarna kekuningan sehingga membentuk korpus luteum. Bila terjadi kehamilan, korpus luteum akan bertahan dan biasanya tidak terjadi lagi periode haid sampai setelah melahirkan. Bila tidak terjadi kehamilan, korpus luteum mulai mengalami degenerasi sekitar 4 hari sebelum haid berikutnya dan akhirnya digantikan oleh jaringan ikat yang membentuk korpus albikans (Ganong, 2008).

  2.7. Perubahan histologik pada endometrium dalam siklus menstruasi Siklus menstruasi menurut Wiknjosastro dkk (2008) terjadi dalam 4 fase endometrium yaitu:

  2.7.1. Fase deskuamasi atau menstruasi Endometrium dilepaskan dari dinding uterus disertai perdarahan selama 3-4 hari.Hanya stratum basale yang tinggal utuh.

  2.7.2. Fase regenerasi atau pascahaid Endometrium yang meluruh berangsur-angsur sembuh dan ditutup kembali oleh selaput lendir baru yang tumbuh dari sel-sel epitel endometrium. Tebal endometrium ± 0,5 mm. Fase ini dimulai sejak menstruasi dan berlangsung ± 4 hari.

  2.7.3. Fase intermenstrum atau proliferasi Tebal endometrium ± 3,5 mm dan berlangsung dari hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid. Fase proliferasi terdiri atas fase proliferasi dini, madya, dan akhir. Fase proliferasi dini berlangsung antara hari ke-4 sampai ke-7. Epitel permukaan endometrium yang tipis dan adanya regenerasi epitel, terutama dari mulut kelenjar. Fase proliferasi madya berlangsung antara hari ke-8 sampai ke-10 dan merupakan fase transisi. Epitel permukaannya berbentuk torak dan tinggi. Kelenjar-kelenjarnya berkeluk dan bervariasi. Fase proliferasi akhir berlangsung pada hari ke 11 sampai ke-14. Permukaan kelenjar tidak rata dan banyak mitosis.

  Inti epitel kelenjar membentuk pseudostratifikasi.

  2.7.4. Fase sekresi atau prahaid Fase ini dimulai sejak ovulasi dan berlangsung dari hari ke- 14 sampai ke -28. Endometrium berubah menjadi panjang berkeluk- keluk, dan mengeluarkan getah. Fase ini terdiri dari fase sekresi dini dan sekresi lanjut. Fase sekresi dini yaitu endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena kehilangan cairan dan terdapat beberapa lapisan yaitu stratum basale, stratum spongiosum, dan stratum kompaktum. Fase sekresi lanjut yaitu endometrium tebalnya 5-6 mm dan sangat ideal untuk nutrisi serta perkembangan ovum.

  3. Pola Siklus Menstruasi Panjang siklus menstruasi yang normal yaitu 28 hari dari onset perdarahan sampai episode perdarahan berikutnya. Terdapat variasi dari panjang siklus menstruasi, yaitu pada interval 24-35 hari dan masih dianggap normal. Lamanya perdarahan dan jumlah darah yang keluar bervariasi luas. Lamanya perdarahan berada dalam rentang normal 2-8 hari. Rata-rata jumlah darah yang keluar disetiap siklus menstruasi yaitu 30 ml, normalnya 25-60 ml (Alvero & Schlaff, 2007).

  Jumlah darah yang keluar secara normal dapat berupa sekedar bercak sampai 80 ml dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang meliputi ketebalan endometrium, pengobatan, dan penyakit yang mempengaruhi mekanisme pembekuan darah (Ganong, 2008). Pada wanita yang lebih tua dan anemi defisiensi besi biasanya jumlah darah haidnya lebih banyak. Jumlah darah haid yang lebih dari 80 cc dianggap patologik. Darah haid tidak membeku, ini mungkin disebabkan oleh fibrinosilin (Wiknjosastro dkk, 2008).

  Pola siklus menstruasi dikategorikan sebagai keteraturan dari siklus menstruasi (Hooff et al, 1998). Siklus menstruasi yang teratur adalah siklus menstruasi yang berada dalam interval 23-35 hari dengan perbedaan maksimum 7 hari antara siklus menstruasi yang terpendek dan yang terpanjang. Sedangkan siklus menstruasi yang tidak teratur didefenisikan sebagai periode menstruasi yang berada di luar interval 23-35 hari dengan perbedaan lebih dari 7 hari antara siklus menstruasi yang terpendek dan yang terpanjang (Impey & Child, 2008; Attarchi, 2013).

  Keteraturan siklus menstruasi disebabkan karena adanya ovulasi. Ovulasi umumnya terjadi 14 ± 2 hari sebelum hari pertama menstruasi yang akan datang.

  Untuk dapat mengetahui keteraturan siklus menstruasi, maka seorang wanita setidaknya mempunyai catatan tentang siklus menstruasinya selama 6 bulan (Wiknjosastro dkk, 2008).

  4. Dismenorea Dismenorea atau Dysmenorrhea berasal dari bahasa Yunani. Dys yang berarti sulit, nyeri, abnormal, meno berarti bulan, dan rrhea berarti aliran.

  Dismenorea berarti nyeri pada saat menstruasi. Hampir semua wanita mengalami rasa tidak enak pada perut bagian bawah saat menstruasi. Uterus atau rahim terdiri atas otot yang juga berkontraksi dan relaksasi. Pada umumnya kontraksi otot uterus tidak dirasakan, namun kontraksi yang hebat dan sering menyebabkan aliran darah ke uterus terganggu sehingga timbul rasa nyeri (Sukarni & Wahyu, 2013).

  Dismenorea dibagi atas dua tipe yaitu dismenorea primer dan dismenorea sekunder. Dismenorea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa adanya kelainan ginekologik. Nyeri biasanya dirasakan beberapa saat atau 1 hari sebelum menstruasi, namun nyeri paling berat dirasakan selama 24 jam pertama menstruasi dan mereda pada hari kedua (Morgan & Hamilton, 2009). Sedangkan dismenorea sekunder disebabkan oleh adanya kelainan ginekologik seperti salpingitis kronika, endometriosis, adenomiosis uteri, stenosis servisis uteri, dan lain-lain (Wiknjosastro dkk, 2008).

  Dismenorea pada remaja umumnya adalah dismenorea primer yang terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Dismenorea sekunder umumnya terjadi pada wanita yang berusia lebih dari 25 tahun (Sukarni & Wahyu, 2013). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada dismenorea primer pada remaja di sekolah menengah pertama.

  4.1. Penyebab dismenorea Pelucutan (withdrawal) progesteron meningkatkan ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2) yang dapat terinduksi untuk menyintesis prostaglandin dan menurunkan ekspresi 15-hidroksiprostaglandin dehidrogenase (PGDH), yang mendegradasi prostaglandin. Hasil bersihnya adalah peningkatan produksi prostaglandin oleh sel stroma disertai peningkatan kepadatan reseptor prostaglandin pada pembuluh darah dan sel-sel yang mengelilinginya (Cunningham et al, 2012).

  Dismenorea disebabkan oleh adanya kontraksi miometrium yang dirangsang oleh prostaglandin F (PGF 2α ) yang diproduksi dalam jumlah

  2

  banyak pada endometrium perempuan yang mengalami dismenorea sehingga menyebabkan kontraksi miometrium secara berlebihan dan iskemia uteri. Sebagian besar prostaglandin dilepas dalam 2 hari pertama siklus menstruasi, bersamaan dengan bertambahnya rasa yang tidak nyaman (Rudolph et al, 2006).

  Terdapat beberapa faktor yang memegang peranan sebagai penyebab dismenorea (Wiknjosastro dkk, 2008), yaitu : (1) faktor kejiwaan, pada remaja yang secara emosional tidak stabil mudah timbul dismenorea, (2) faktor konstitusi seperti anemia, penyakit menahun, (3) faktor obstruksi kanalis servikalis. Pada wanita dengan uterus dalam hiperantefleksi dapat menyebabkan terjadinya stenosis kanalis servikalis sehingga menyebabkan dismenorea, (4) faktor alergi. Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi antara dismenorea dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith menduga bahwa sebab alergi adalah toksin haid.

  Selain itu, faktor risiko penyebab dismenorea yakni menarche dini (kurang dari 11 tahun), tidak pernah melahirkan (nullipara), darah menstruasi yang banyak, merokok, riwayat nyeri menstruasi pada keluarga, dan obesitas (Morgan & Hamilton, 2009).

  4.2. Gejala dismenorea Gejala utama nyeri dismenorea adalah terkonsentrasi di perut bagian bawah, di daerah umbilikalis atau daerah suprapubik perut. Hal ini juga sering dirasakan di perut kanan atau kiri. Nyeri terasa tajam, menusuk, terasa diremas atau sangat sakit. Sifat rasa nyeri kejang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas (Wiknjosastro dkk, 2008), hipersensitivitas terhadap suara, cahaya, bau, sentuhan, pingsan, dan kelelahan (Sukarni & Wahyu, 2013).

  4.3. Intensitas dismenorea Intensitas ringan yaitu terjadi sejenak, dapat pulih kembali, tidak memerlukan obat, rasa nyeri hilang sendiri, dan tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari. Intensitas sedang dimana penderita memerlukan obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakit, namun tidak perlu meninggalkan pekerjaannya sehari-hari. Intensitas berat dimana penderita merasakan rasa sakit yang hebat sehingga tidak mampu melakukan tugas harian, harus beristirahat, memerlukan obat dengan intensitas tinggi (Manuaba dkk, 2010) dan dapat disertai dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, pingsan, diare, mual dan sakit perut (Manuaba, 1999).

  4.4. Dampak dismenorea pada remaja Dismenorea merupakan keluhan ginekologis yang paling lazim terjadi dan menyerang hampir 75% wanita (Datta et al, 2009). Menurut

  Wiknjosastro dkk (2008), dismenorea menyebabkan penderita harus beristirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari, untuk beberapa jam atau beberapa hari. Dampak lain yang diakibatkan oleh dismenorea berupa gangguan aktivitas seperti tingginya tingkat absen dari sekolah dan keterbatasan kehidupan sosial (Zukri et al, 2009).