BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut - Manfaat Nilai Abnormalitas Ankle Brachial Index (ABI) DALAM Mendeteksi Jumlah Stenosis Arteri Koroner Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSHAM Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

  Sindroma koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan simptom yang disebabkan oleh iskemik miokard akut. Sindroma koroner akut (SKA) yang menyebabkan nekrosis miokardium disebut dengan infark miokard (Thygensen dkk, 2007; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

  SKA secara klinis dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris tak stabil, IMA NSTE maupun IMA STE (Bender dkk, 2011). Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut, yaitu ; adanya nyeri dada khas infark, dijumpai elevasi segmen ST yang persisten atau adanya left bundle branch block (LBBB) yang dianggap baru, peningkatan marker (enzim jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin), serta dijumpainya abnormalitas wall motion regional yang baru pada pemeriksaan ekokardiografi (Van de Werf dkk, 2008)

  SKA yang tidak disertai dengan elevasi segmen ST digolongkan ke dalam angina pektoris tak stabil dan IMA NSTE. Apabila dijumpai peningkatan enzim jantung, maka penderita digolongkan ke dalam IMA NSTE, sedangkan jika enzim jantung normal maka kondisi ini disebut angina pektoris tak stabil (Van de Werf dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

  2.2 Definisi dan epidemiologi Peripheral Arterial Disease (PAD)

  Terminologi peripheral arterial disease (PAD) secara umum merujuk kepada gangguan yang merusak atau menghambat aliran darah ke ekstremitas atas maupun bawah yang biasanya disebabkan oleh proses atherosklerosis namun dapat juga akibat proses thrombosis, emboli, vaskulitis dan displasia fibromuskular (Greager dkk, 2009)

  Prevalensi PAD cukup bervariasi tergantung kepada populasi penelitian, metode diagnostik yang digunakan serta keluhan dan gejala yang muncul. Diagnosa PAD ditegakkan sekitar 4% pada populasi usia sama atau lebih dari 40 tahun dan meningkat menjadi 15 sampai 20% pada kelompok usia di atas 65 tahun dan lebih sering diderita oleh jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan.

  Sebuah review yang sistematik tentang studi potong lintang, retrospektif dan prospektif melaporkan bahwa 62-90% pasien dengan PAD ternyata juga memiliki keterlibatan koroner (Golomb dkk, 2006). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 50% dari pasien PAD memiliki gejala yang mengarah pada PJK dan 90% diantaranya memiliki kelainan pada rekaman EKG (Tierney, 2000).

  Kondisi yang serupa juga ditemukan pada populasi penderita PJK, dimana ternyata 40% diketahui memiliki bukti gejala PAD yang signifikan (Dieter dkk, 2003). Penelitian lain memperlihatkan bahwa 42% pasien PJK diketahui memiliki keterlibatan PAD walaupun separuh diantaranya ternyata tidak bergejala (Poredos dkk, 2007). Tabel 1. Ko-prevalensi antara kejadian CAD, PAD dan CVD

2.3 Faktor resiko PAD

  Faktor-faktor resiko yang dapat dimodifikasi yang telah lama dihubungkan dengan proses atherosklerosis pada koroner ternyata juga memberikan kontribusi terhadap kejadian atherosklerosis pada sirkulasi perifer. Merokok, DM, hipertensi, dan dislipidemia meningkatkan resiko kejadian PAD. Data yang diambil dari studi- studi observasional ( mencakup the Edinburg Artery Study, the Framingham Heart

  Study , dan the Cardiovascular Heart Study) membuktikan peningkatan resiko PAD

  sebesar dua hingga tiga kali lipat pada kelompok perokok. Merokok bahkan terbukti meningkatkan resiko terkena PAD lebih besar dari pada PJK.

  Pasien dengan DM sering memiliki obstruksi PAD yang luas dan berat serta kecenderungan yang tinggi untuk mengalami kalsifikasi arteri terutama di area distal seperti arteri peroneal dan tibialis. Resiko terkena PAD meningkat dua sampai empat kali lipat pada penderita DM dengan kecenderungan amputasi yang lebih tinggi.

  Kelainan metabolisme lipid juga dikaitkan dengan prevalensi PAD dimana peningkatan kolesterol total dan LDL menimbulkan keluhan klaudikatio intermitten dan gejala PAD. Analisa dari Framingham Heart Study menyimpulkan bahwa rasio timbulnya gejala klaudikasio meningkat seiring dengan kenaikan 40 mg/dl total kolesterol.

  PAD memiliki korelasi yang kuat terhadap resiko kejadian kardiovaskular mayor karena sering dikaitkan dengan proses atherosklerosis baik di serebral maupun koroner.

2.4 Patogenesis disfungsi endothel sebagai penanda resiko atherosklerotik

  Pada kondisi normal, lapisan endothel berfungsi untuk mempertahankan keadaan homeostasis pembuluh darah melalui rangkaian interaksi kompleks dengan sejumlah sel di dinding dan lumen pembuluh darah. Secara spesifik, lapisan endothel mengatur tonus pembuluh darah dengan cara menjaga keseimbangan produksi vasodilator (termasuk didalamnya NO (Nitric Oxide)) dan vasokonstriktor. Di samping itu, lapisan endothel juga mengatur kekentalan darah dan sistem pembekuan darah dengan cara menghasilkan faktor-faktor penting yang mengatur aktivitas platelet, kaskade pembekuan darah dan sistem fibrinolitik (Vita dkk, 2002 a; Gokce dkk, 2002 b; Libby dkk, 2002 c) Tabel 2. Fungsi normal lapisan endothel dalam mempertahankan homeostasis pembuluh darah

  Namun, adanya faktor-faktor resiko tradisional penyakit kardiovaskular seperti merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes dan penuaan terbukti berkaitan dengan produksi berlebihan dari Reactive Oxygen Species (ROS) atau stress oksidatif yang dapat mengurangi ketersediaan NO yang dapat mencetus kerusakan di tingkat sel. Akibatnya efek vasodilatasi endothel akan menghilang sehingga dimulailah proses inflamasi kronik yang ditandai dengan berkurangnya faktor-faktor antitrombotik dan meningkatnya produk vasokonstriktor sehingga lapisan endothel berubah menjadi lapisan yang pro-trombotik (Tomasian dkk, 2000 a;Cai dkk, 2000 b)

  Munculnya disfungsi endothel dapat dianggap sebagai sindroma klinis yang dapat meramalkan angka kejadian kardiovaskular (Zeiher dkk, 1991).

  Terminologi disfungsi endothel merujuk kepada gangguan luas pada fenotip endothel yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan gejala klinis atherosklerosis. Disfungsi endothel, yang ditandai dengan terganggunya ketersediaan NO, dapat dianggap berperan dalam kejadian iskemik otot jantung. Disfungsi endothel memegang peranan penting dalam pathogenesis sindroma koroner akut (SKA). Ketidak stabilan plak merupakan proses yang dapat mempermudah pecahnya plak yang akan diikuti dengan rangkaian efek inflamasi yang kompleks yang mencakup komponen plak di tingkat seluler dan berbagai mediator inflamasi. Berkurangnya efek anti inflamasi akibat kerusakan lapisan endothel akan memperberat ketidak stabilan plak ( Libby, 2001 ). Sehingga dapat disimpulkan keadaan disfungsi endothel memiliki kontribusi dalam meningkatkan kerapuhan plak, yang dapat mencetuskan pecahnya plak tersebut dan cenderung membentuk thrombus yang pada akhirnya menjadi faktor penting yang bertanggung jawab dalam patofisiologi SKA.

  Gambar 1. Patofisiologi dan mekanisme terjadinya disfungsi endothel

2.5 Ankle Brachial Index (ABI)

  2.5.1 Definisi ABI

  Ankle Brachial Index (ABI) merupakan rasio atau perbandingan antara tekanan darah sistolik yang diukur pada pergelangan kaki dengan arteri brachialis. Pertama kali diperkenalkan oleh Winsor pada tahun 1950 yang kemudian diusulkan sebagai metode diagnosis PAD yang bersifat non-invasif. Kemudian dari studi-studi yang terus dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir telah berhasil membuktikan bahwa ABI bukan hanya sekedar metode diagnostik, namun juga sebagai salah satu indikator atherosklerotik sistemik dan juga sebagai penanda prognostik untuk kejadian kardiovaskular dan gangguan fungsional walaupun tanpa disertai gejala klinis PAD (Aboyans, 2012)

  Walaupun masih dijumpai beberapa kontroversi yang memperdebatkan batas nilai ABI yang dapat digunakan untuk mendiagnosa PAD, namun nilai ABI ≤ 0,9 terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas 90% untuk mendiagnosa PAD

  >

  dibandingkan dengan angiografi sehingga direkomendasikan oleh American Heart

  Association (AHA) untuk mendeteksi proses atherosklerosis pada pembuluh darah sistemik ( Michael dkk, 2012).

  2.5.2 Fisiologi ABI

  Gelombang tekanan darah akan menjadi semakin kuat dan berbanding lurus dengan jauhnya jarak dari jantung, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik yang progresif dan sebaliknya akan menurunkan tekanan darah diastolik. Hal ini dikarenakan pantulan mundur gelombang dari tahanan arteriol distal yang memperkuat gelombang antegrade. Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa pantulan gelombang terjadi pada tempat yang berbeda di sepanjang bantalan pembuluh darah, dengan beberapa tahanan di sepanjang pembuluh darah arteri (Safar dkk, 2009)

  Pada ekstremitas bawah, proses remodeling yang terjadi pada struktur pembuluh darah akan menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal yang ditandai dengan meningkatnya ketebalan dinding tetapi tanpa perubahan diameter lumen. Penebalan pada dinding ini yang dihasilkan dari peningkatan tekanan hidrostatik pada ekstremitas bawah saat berjalan ( posisi vertikal ) sudah mulai terjadi pada tahun kedua kehidupan dan dapat menerangkan kenapa nilai ABI 1 pada bayi baru lahir

  <

  dan meningkat secara bertahap mencapai nilai ABI usia dewasa pada umur 2 atau 3 tahun (Katz dkk, 1997). Dan oleh karena itu, baik gelombang pantulan maupun perubahan ketebalan dan kekakuan dinding pembuluh darah memberikan kontribusi pada peningkatan tekanan darah sistolik.

  Beberapa variabel seperti usia, tinggi badan, kelompok etnis dan bahkan urutan pengukuran diketahui dapat mempengaruhi hasil ABI. Pada dua kelompok studi didapati bahwa nilai ABI pada kaki kanan rata-rata 0,03 lebih tinggi dibandingkan kaki kiri. Hasil ini mungkin disebabkan oleh urutan pengukuran ( biasanya kaki kanan diukur terlebih dahulu) dan mengakibatkan pengurangan sementara tekanan sistemik dari waktu ke waktu. Nilai ABI diperkirakan meningkat seiring pertambahan usia sebagai akibat kekakuan arteri. Beberapa studi potong lintang menunjukkan bahwa nilai ABI menurun seiring pertambahan usia, kemungkinan karena meningkatnya prevalensi dan progresivitas PAD (Smith dkk, 2005).

  Pada populasi tanpa adanya bukti klinis keterlibatan kardiovaskular, dijumpai hubungan yang searah antara tinggi badan dan nilai ABI. Kelompok orang dengan tinggi badan yang lebih akan memiliki nilai ABI yang lebih besar sebagai konsekwensi dari meningkatnya tekanan darah sistolik seiring dengan jarak yang lebih jauh dari jantung. Oleh karena perhitungan ABI merupakan sebuah rasio, maka nilainya tidak terpengaruh oleh kenaikan ataupun penurunan tekanan darah.

  2.5.3 Nilai ABI sebagai penanda progresivitas PAD

  Perjalanan alami PAD mencakup penurunan nilai ABI seiring perjalanan waktu. Dari serangkaian pemeriksaan pasien yang dilakukan di laboratorium vaskular, nilai ABI mengalami penurunan rata-rata 0,06 tiap 4,6 tahun. Tingkatan ABI juga dapat digunakan untuk memprediksi kejadian yang mengenai ekstremitas bawah dimana tekanan darah sistolik di bawah atau sama dengan 50 mmHg sering dihubungkan dengan angka amputasi yang tinggi (Norgren dkk, 2007).

  Pasien PAD memiliki ketahanan untuk latihan berjalan dan tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah dibandingkan kelompok pasien tanpa PAD. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa nilai ABI yang rendah dikaitkan dengan gangguan fungsional dan penurunan kapasitas latihan fisik yang lebih besar dibandingkan populasi dengan nilai ABI yang tinggi.

  2.5.4 ABI sebagai penanda resiko kardiovaskular.

  Pengukuran ABI dapat memberikan nilai yang melambangkan kejadian atherosklerosis sistemik dan dikaitkan dengan faktor-faktor resiko atherosklerotik dan prevalensi penyakit kardiovaskular pada bantalan pembuluh darah yang lain. Nilai ABI yang rendah telah lama dihubungkan dengan banyak faktor resiko tradisional kardiovaskular seperti hipertensi, DM tipe 2, dislipidemia, riwayat merokok dan faktor resiko kardiovaskular yang baru dikembangkan seperti C-Reactive Protein, homosistein, interleukin-6 dan penyakit ginjal kronik (Allison dkk, 2006).

  Hubungan yang kuat dan konsisten antara nilai ABI yang rendah dengan prevalensi CAD dan CVD telah dibuktikan pada beberapa populasi studi prospektif yang melibatkan individu dengan keterlibatan penyakit kardiovaskular. Prevalensi kejadian CAD diantara pasien-pasien PAD berkisar antara 10,5 sampai 71% dibandingkan dengan 5,3 sampai 45,4% pada populasi tanpa PAD.

  Disamping korelasinya dengan nilai ABI yang rendah beberapa penelitian juga telah mengevaluasi hubungan antara nilai ABI yang tinggi, sebagai indikator kalsifikasi pembuluh darah, dengan faktor-faktor resiko tradisional kardiovaskular. Allison dan kawan-kawan membuktikan bahwa nilai ABI 1,4 dihubungkan dengan

  >

  kejadian stroke dan gagal jantung kongestif namun tidak dengan kejadian angina maupun infark miokard (Allison dkk, 2008).

2.5.5 Peranan ABI sebagai prediktor kejadian kardiovaskular

  Walaupun ABI merupakan pengukuran yang menggambarkan derajat keparahan atherosklerotik pada ekstremitas bawah, namun dapat juga digunakan sebagai indikator atherosklerotik di bagian lain sistem pembuluh darah. Sehingga nilai ABI telah diinvestigasi menjadi salah satu alat predictor pada beberapa kelompok studi di Eropa dan Amerika Utara. Hasil dari studi-studi ini telah menunjukkan bahwa nilai ABI yang rendah berkaitan erat dengan meningkatnya resiko infark miokard, stroke dan penyebab kematian kardiovaskular (Leng dkk, 1996; Van der Meer dkk, 2004 (a); Resnick dkk, 2004 (b)) Disini terlihat bahwa nilai ABI yang rendah, sebagai indikator atherosklerotik, dapat mempertajam tingkat akurasi prediktor resiko bila dikombinasikan dengan sistem penilaian stratifikasi resiko yang telah ada.

  Sebuah meta analisis yang membandingkan 16 populasi studi prospektif menelusuri bahwa nilai ABI memberikan informasi tentang resiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas terlebih bila dikombinasikan dengan Framingham Risk

  Score (FRS). Nilai ABI

  ≤ 0,9 dikaitkan dengan peningkatan dua kali lipat angka total kematian, kematian akibat kejadian kardiovaskular dan infark miokard dibandingkan dengan menggunakan FRS sendiri. Penambahan nilai ABI menyebabkan diberlakukan klasifikasi ulang pada tiap kategori resiko baik pada pria maupun wanita. Sebagai contoh wanita dengan resiko rendah (FRS 10%) atau resiko

  <

  menengah ( FRS 10-19%), namun dengan nilai ABI yang abnormal, menyebabkan wanita tersebut dikelompokkan menjadi resiko tinggi.

  Penderita dengan diagnosa penyakit kardiovaskular yang telah ditegakkan namun memiliki nilai ABI yang rendah, memiliki resiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan nilai ABI normal (Aboyans dkk, 2005; Agnelli dkk, 2006).

  Pada studi HOPE ( Heart Outcomes Prevention Evaluation) yang melibatkan pasien dengan CAD, stroke dan DM tipe 2, ABI dengan nilai pada kisaran 0,6 sampai 0,9 dihubungkan pada resiko infark miokard (RR 1,4), dan kematian akibat penyakit kardiovaskular (RR 1,6) dibandingkan dengan kelompok nilai ABI normal (Albert dkk, 2009). Studi yang lain yaitu Cardiovascular Heart Study membuktikan bahwa pasien dengan nilai ABI

  ≤ 0,9 memiliki peningkatan resiko kejadian gagal jantung kongestif ( RR 1,3) dan moralitas akibat penyakit kardiovaskular (RR 1,5). Lebih lanjut pada pasien PAD, penurunan nilai ABI 0,15 dihubungkan dengan

  > peningkatan 2 kali lipat angka mortalitas (Criqui dkk, 2008).

  Nilai ABI paska latihan juga memiliki nilai prediktor yang kuat, dimana pada pasien dengan nilai ABI normal saat istirahat namun dengan nilai ABI abnormal setelah latihan dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas ( Sheikh dkk, 2011).

2.6 Cara pengukuran ABI

2.6.1 Keadaan yang berkaitan dengan pengukuran ABI

a) Kondisi pasien

  Posisi tubuh dan kondisi lutut atau pinggang yang tertekuk ternyata mempengaruhi hasil pengukuran ABI. Penelitian yang dilakukan oleh Gornik dan kawan-kawan membuktikan bahwa tekanan pada lengan tidak berbeda pada saat pasien dalam keadaan berbaring atau duduk selama lengan berada pada posisi sejajar dengan jantung. Perbedaan posisi lebih mempengaruhi tekanan pada pergelangan kaki karena bila pasien berada pada posisi duduk maka tekanan di pergelangan kaki akan menjadi lebih tinggi karena posisi pergelangan kaki yang lebih rendah dari pada jantung. Nilai ABI pada posisi duduk rata-rata lebih tinggi 0,35 dibandingkan pada posisi berbaring. Sebelum pemeriksaan ABI dilakukan, pasien hendaknya diistirahatkan selama 5 hingga 10 menit. Masa rehat yang lebih lama tidak dianjurkan pada pengaturan klinis pemeriksaan ABI. Walaupun setelah masa istirahat, pengukuran pada anggota gerak yang pertama cenderung memberikan tekanan sistolik yang lebih tinggi dibandingkan anggota gerak selanjutnya. Selain posisi pasien dan jeda istirahat, merokok juga mempengaruhi hasil pengukuran ABI, dimana bila pasien merokok 10 menit sebelum pemeriksaan dapat menurunkan nilai ABI dibandingkan bila nilai ABI diukur setelah 12 jam tidak merokok (Yataco dkk, 1998).

b) Ukuran manset

  Penelitian tentang pengukuran tekanan darah di arteri brachialis menyoroti pentingnya ukuran manset yang memadai untuk mencegah ketidak-akuratan pemeriksaan. Namun informasi tentang ukuran manset yang tepat untuk pengukuran tekanan sistolik pada pergelangan kaki masih belum tersedia. Jika mengacu pada konsep yang sama dimana manset pada lengan juga digunakan pada pergelangan kaki, maka lebar dari manset harus setidaknya 40% dari lingkar pergelangan kaki. Manset harus berada dalam keadaan beersih dan kering. Cara melilit manset ( spiral atau parallel ) juga mempengaruhi tekanan darah sistolik pergelangan kaki dimana cara melilit secara spiral memberikan hasil yang lebih rendah (Mundt dkk, 1995) Meskipun pemeriksaan ABI merupakan metode yang bersifat non-invasif, aman dan dapat ditolerir oleh sebagian besar pasien, namun penekanan akibat manset yang dikembangkan harus dihentikan bila pasien merasa nyeri. Selain itu, pengembangan manset harus dihindari pada bekas luka graft karena berpotensi meningkatkan resiko thrombosis pada graft.

2.6.2 Langkah-langkah pengukuran ABI ( Aboyans dkk, 2012 )

  • Pasien harus diistirahatkan setidaknya 5-10 menit dalam kondisi berbaring di dalam ruangan yang nyaman dan temperatur yang cukup.
  • Pasien tidak boleh merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum pengukuran.
  • Pemilihan ukuran manset mancakup minimal 40% dari diameter lingkar pergelangan kaki.
  • Manset tidak boleh diletakkan pada bagian distal graft ( dapat meningkatkan resiko thrombosis ) atau bila dijumpai luka ulserasi.
  • Sama halnya dengan pengukuran tekanan darah di lengan, manset harus membungkus pergelangan kaki. Batas bawah manset diletakkan 2 cm di atas .

  malleolus medialis

  • Sebuah alat handheld Doppler 8-10 MHz digunakan dan pada probe Doppler diberikan gel sebagai sensor.
  • Setelah alat Doppler diaktifkan, probe diletakkan pada daerah pulsasi dengan membentuk sudut kemiringan 45-60 terhadap permukaan kulit. Probe dapat digerakkan di sekitar area pulsasi sampai bunyi sinyal yang paling jelas terdengar.
  • Manset kemudian dikembangkan secara perlahan sampai 20 mmHg di atas batas aliran sinyal menghilang ( tidak terdengar lagi ) dan kemudian manset dikempeskan perlahan untuk mendeteksi tingkat tekanan dimana sinyal aliran muncul kembali.
  • Deteksi aliran darah brachial selama pengukuran tekanan sistolik di lengan juga harus menggunakan alat Doppler.
  • Urutan yang sama dalam pengukuran tekanan darah sistolik pada tiap anggota gerak harus diberlakukan dengan urutan yang dianjurkan adalah lengan kanan, arteri tibialis posterior kanan, arteri dorsalis pedis kanan, arteri tibialis posterior kiri, arteri dorsalis pedis kiri dan lengan kiri.

  • Pada akhir pemeriksaan, pengukuran tekanan darah sistolik di lengan kanan harus diulang kembali dan tekanan darah sistolik pada pengukuran pertama dan kedua diambil reratanya. Jika terdapat perbedaan hasil pengukuran tekanan darah sistolik di lengan kanan 10 mmHg, maka hasil pengukuran yang kedua lah yang

  > digunakan.

  • Tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan digunakan sebagai pembagi

  ( denominator ) sedangkan tekanan darah sistolik tertinggi antara tibialis posterior dan dorsalis pedis tiap ekstremitas bawah digunakan sebagai pembilang ( numerator ).

  • Nilai ABI pada setiap pergelangan kaki dihitung dengan membagi tekanan darah sistolik tertinggi antara tekanan darah sistolik arteri tibialis posterior atau arteri dorsalis pedis dengan tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan.
  • Ketika nilai ABI digunakan untuk alat diagnostik untuk menilai pasien dengan keluhan mengarah kepada PAD, maka nilai ABI harus dilaporkan secara terpisah pada tiap pergelangan kaki.
  • Jika nilai ABI digunakan sebagai penanda prognostik kejadian dan mortalitas kardiovaskular, maka yang dipakai adalah nilai ABI terendah dari kedua pergelangan kaki.
  • Nilai normal ABI berkisar pada 0,9 sampai 1,4 sehingga bila hasil pengukuran menunjukkan kisaran

  ≤ 0,9 maka dapat dipertimbangkan sebagai penegakan diagnosa PAD.

  • Pasien dengan nilai ABI ≤ 0,9 atau ≥ 1,4 harus dipertimbangkan memiliki peningkatan resiko kejadian dan mortalitas kardiovaskular walaupun tanpa adanya keluhan dan gejala PAD serta faktor resiko kardiovaskular.

  Tabel 3. Kriteria diagnosa PAD berdasarkan klasifikasi nilai ABI

  Gambar 2. Cara perhitungan ABI (Ankle Brachial Index)

2.7 Kerangka Teori

  Hipetensi, DM, Merokok, Hiperlipidemia Disfungsi Endothel

  Atherosklerosis Perifer (PAD) Koroner (SKA)

  Penanda atherosklerotik sistemik  pemeriksaan ABI ABI normal ABI abnormal

  Angiografi Koroner

One Vessel Disease Multivessel Disease

2.8 Kerangka konseptual

  Sindroma Koroner Akut ( STEMI, NSTEMI, UAP )

  Pemeriksaan ABI ABI Normal Variabel ABI abnormal Independen : ABI Angiografi koroner Variabel Konfounding :

  Hipertensi, DM, Merokok, EF, Multivessel

  One Vessel Disease

  Hiperkolesterolemia, Trop T Disease