makalah intermediate training peran kade
MAKALAH
“Peran kader HMI dalam Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang
Diridhai Allah SWT”
(TEMA H)
Disusun:
Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Intermediate Training (LK II)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) CABANG JOMBANG
Oleh :
Abdul Haris Kurniawan
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
KOMISARIAT TARBIYAH STAIN PONOROGO
CABANG PONOROGO
2014
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan
rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sehingga kita dapat
menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi dan Rasul, Sang Revolusioner sejati, yakni Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan menuju kehidupan
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Peran Kader HMI
dalam Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT”
ini untuk memenuhi syarat mengikuti Intermediate Training (LK II) Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jombang.
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada kanda-kanda, ayundaayunda, dan kawan-kawan yang telah memberikan dukungan moril dan materil
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu, saran, koreksi, dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan dari kawan-kawan.
Meskipun makalah ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti
Intermediate Training (LK II), semoga makalah ini bermanfaat sebagai penambah
wawasan kita tentang peran kita sebagai kader HMI dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Ponorogo, November 2014
Penulis
Abdul Haris Kurniawan
DAFTAR ISI
JUDUL
HALAMAN
KATA PENGANTAR………………………………………………………….…....i
DAFTAR ISI……………………………………………………................................ii
BAB I………………………………………………………………………………….
PENDAHULUAN…………………………………………………………………....
A. Latar Belakang……………………………………………………….
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………..
1. Tujuan Umum………………………………………………………..
2. Tujuan Khusus………………………………………………………
BAB II…………………………………………………………………………………
PEMBAHASAN……………………………………………………………………
A. Peran Kader HMI……………………………………………………………
B. Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT……………………..
C. Tantangan yang Dihadapi HMI……………………………………………...
1. Lingkungan yang berubah………………………………………………..
2. Tantangan Internal………………………………………………………..
3. Tantangan Eksternal………………………………………………………
D. Peran Kader HMI dalam Mewujudkan
Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT……………………….
BAB III…………………………………………………………………………………
PENUTUP…………………………………………………………………………….
A. Kesimpulan………………………………………………………………………
B. Saran……………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan HMI pada saat ini, organisasi yang didirikan
pada tanggal 5 Februari 1947 ini diibaratkan seperti besi yang sedang berkarat.
Hal ini terjadi dikarenakan peran organisasi sebagai organisasi perjuangan
yang mampu mencetak kader sebagai kader yang menanamkan didalam
dirinya lima kualitas insan cita kini telah memudar. Memudarnya peranan
HMI
ini
disinyalir—salah
satunya—karena
kurangnya
pengetahuan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam di kalangan
anggota dan pengurus. Hampir-hampir tidak ada perbedaan pengetahuan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan agama Islam seorang anggota
HMI sebelum dan sesudah masuk HMI. Hal ini disebabkan karena minimnya
pembinaan maupun program maupun implementasinya yang berkaitan dengan
pembinaan jiwa dan semangat beragama di kalangan HMI. Semestinya
seorang mahasiswa yang masuk HMI harus mendapatkan nilai tambah atau
nilai lebih tentang agama Islam.1
Lain daripada itu, perbuatan jelek yang dilakukan beberapa orang
kader, anggota, dan alumni HMI berdampak dan membawa akibat yang
negatif pada semua kader termasuk kader yang baik maupun alumni HMI 2
serta lingkungan masyarakat pada umumnya.
HMI adalah suatu gerakan pembaharuan untuk membebaskan umat
Islam dan bangsa Indonesia dari keterbelakangan. Pemikiran keislamankeindonesiaan HMI menampilkan Islam yang bercorak khas Indonesia.
Pemikiran ini akan mendatangkan perubahan sesuai dengan kebutuhan
kontemporer menuju masa depan yang baru yang dicita-citakan seluruh rakyat
Indonesia, yaitu masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Namun
HMI sudah berbalik menjadi tidak mengikuti, hanya menjadi kader olah
mengolah pejabat yang mencari keuntungan pribadi tanpa memikirkan apa
yang diperbuatnya telah merugikan orang lain.
Dalam setiap organisasi khususnya HMI, kader memiliki peran sentral,
dimana kader sebagai agen dalam rangka menerapkan cita perjuangan HMI
yang sesuai dengan tujuan HMI yaitu terbinanya insan akademis, pencipta,
pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
1
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal 86.
2
Ibid, hal 103.
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT sehingga dibutuhkan kader
yang berwawasan keislaman, keindonesiaan, dan kemahasiswaan dengan
kualitas lima insan cita dan bersifat independen, penuh semangat dan militansi
yang tinggi dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai
Allah SWT.
B. Rumusan masalah
Dengan bertolak pada landasan masalah diatas, maka penulis mencoba
mencoba merumuskan dalam butir-butir masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian kader HMI?
2. Apa pengertian masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT?
3. Bagaimana tantangan yang dihadapi HMI?
4. Bagaimana peran HMI dalam mewujudkan masyarakat adil makmur
yang diridhai Allah SWT?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui pengertian kader HMI.
2. Untuk mengetahui pengertian masyarakat adil makmur yang diridhai
Allah SWT.
3. Untuk mengetahui tantangan yang dihadapi HMI.
4.
Untuk mengetahui peran kader HMI dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
2. Tujuan Khusus
Sebagai syarat untuk mengikuti Intermediate Training (LK 2) Tingkat
Nasional Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jombang pada
tanggal 28 November-7 Desember 2014 dengan tema H “Relevankah HMI
dipertahankan? Sebuah otokritik terhadap peran HMI dalam pembangunan
bangsa”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran Kader HMI
Terlihat dalam tubuh organisasi, kader memiliki fungsi tersendiri yaitu
sebagai tenaga penggerak organisasi, sebagai calon pemimpin, dan sebagai
benteng organisasi. Secara kualitatif, kader mempunyai mutu, kesanggupan
bekerja dan berkorban yang lebih besar daripada anggota biasa. Kader itu
adalah anggota inti. Kader merupakan benteng dari “serangan” dari luar serta
penyelewengan dari dalam. Ke dalam tubuh organisasi, kader merupakan
pembina yang tidak berfungsi pemimpin. Kader adalah tenaga penggerak
organisasi, yang memahami sepenuhnya dasar dan ideologi perjuangan. Ia
mampu melaksanakan program perjuangan secara konsisten di setiap waktu,
situasi, dan tempat. Terbawa oleh fungsinya itu, untuk menjadi kader
organisasi yang berkualitas, anggota harus menjalani pendidikan, latihan, dan
praktikum. Pendidikan kader harus dilaksanakan secara terus menerus dan
teratur, rapi dan berencana, yang diatur dalam pedoman perkaderan. Kongres
ke-8 HMI tahun 1966 merumuskan pengertian kader adalah tulang punggung
organisasi, pelopor, penggerak, pelaksana, penyelamat cita-cita HMI masa
kini dan yang akan datang dimanapun berada, tetap berorientasi kepada asas
dan syariat islam.3
Definisi dan pengertian diatas, setidaknya terdapat tiga ciri yang
terintegrasi dalam diri seorang kader. Pertama, seorang kader bergerak dan
terbentuk dalam organisasi. Kader mengenal aturan permainan organisasi
sesuai dengan ketentuan yang ada, seperti NDP dalam pemahaman yang
integralistik dengan Pancasila dan UUD 1945. Dari segi operasionalisasi
organisasi, kader selau berpegang dan mematuhi AD/ART HMI, pedoman
perkaderan, dan ketentuan lain. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen
yang tinggi secara terus menerus, konsisten dalam memperjuangkan dan
melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader mempunyai bakat dan
kualitas sebagai tulang punggung yang mampu menyangga kesatuan
kumpulan manusia yang lebih besar. Jadi, fokus seorang kader terletak pada
kualitas. Kader HMI adalah anggota HMI yang telah menjalani proses
perkaderan sehingga memiliki ciri kader, yang integritas kepribadian yang
utuh, beriman, berilmu, dan beramal shaleh sehingga siap mengemban tugas
3
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal. 10.
dan amanah dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.4
Mengingat fungsi HMI sebagai organisasi kader, maka seluruh
aktivitasnya harus dapat memberi kesempatan berkembang bagi kualitaskualitas pribadi anggota-anggotanya. Sifat kekaderan HMI dipertegas dalam
pasal 4 Anggaran Dasar HMI yaitu Terbinanya insane kademis, pencipta,
pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Tujuan HMI ini telah
memberi tuntunan kemana perkaderan HMI diarahkan. Anggota HMI yang
merupakan human material yang dihadapi HMI untuk dibina dan
dikembangkan menjadi kader HMI, adalah mereka yang memiliki kualitaskualitas sebagai: a) mahasiswa, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat
pendidikan intelektual tertentu, calon sarjana, dan potensial menjadi
intelegensia, b) kader yaitu mereka yang memiliki kesediaan untuk berlatih
dan mengembangkan kualitas pribadinya guna menyongsong tugas masa
depan umat Islam dan bangsa Indonesia, c) pejuang, yaitu mereka yang ikhlas,
bersedia berbuat dan berkorban guna mencapai cita-cita umat Islam dan
bangsa Indonesia pada waktu sekarang dan yang akan datang.5 Pada
hakekatnya, tugas pokok HMI adalah tugas perkaderan yang mana semua
kegiatannya hendaklah menggambarkan fungsi kekaderannya sehingga
membentuk profil kader yang ideal, yaitu Muslim intelektual profesioanl.
Tujuan HMI sebagai tujuan umum yang hendak dicapai oleh HMI
menjadi garis arah dan titik sentral seluruh kegiatan dan aktivitas perkaderan
HMI. Konsekuensi dari tujuan itu maka dengan sendirinya tujuan merupakan
ukuran/norma dari semua kegiatan HMI. Dengan demikan kegiatan-kegiatan
HMI benar-benar relevan dengan tujuannya. Bagi anggota, tujuan organisasi
merupakan titik pertemuan persamaan kepentingan yang paling pokok dari
4
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal 11.
5
Ibid, hal 12.
seluruh anggota. Oleh karena itu peranan anggota dalam pencapaian tujuan
organisasi adalah sangat besar dan menentukan.6
B. Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT
Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Kehidupan masyarakat
yang adil, makmur, dan sejahtera merupakan dambaan dan impian bagi semua
orang. Masyarakat yang demikian tidak pernah lepas dari peran civil society
yang berakhlak-ul-karimah. Secara analitis konsep civil society berakar pada
suatu bangunan pemikiran--yang nantinya menjadi model--mengenai manusia
dan masyarakat. Bangunan tersebut dapat ditelusuri kembali pada benih-benih
awal yang dibangun oleh para filsof Stoa (Filsafat Alam). Mereka merupakan
jajaran pemikir yang merumuskan manusia sebagai makhluk yang memiliki
kebebasan dan kesederajatan. Oleh alam, menurut mereka, manusia
dianugerahi kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat digunakan untuk
mencapai kebaikan dan keutamaan. Cicero misalnya, beranggapan bahwa
kebaikan dapat direalisasikan oleh semua manusia, karena ia secara inhern
telah memiliki potensi tersebut.7
Dengan demikian, konsep civil society harus dipahami dalam kerangka
tradisi liberal. Civil Society bukanlah entitas sosial yang terdiri dari kumpulan
manusia. Ia juga bukan manifestasi dari sistem komunal yang dikenal luas
dalam masyarakat tradisional. Civil society merupakan ruang publik yang
berisikan
manusia
sebagai
individu-individu
dengan
segala
atribut
intrinsiknya. Oleh karenanya, civil society, memiliki karakteristik yang juga
terdapat dalam konsep manusia sebagai individu. Jika individu sebagai ruang
pribadi, civil society, merupakan ruang publik. Karena itu, di dalam civil
society juga harus terdapat kebebasan, kesederajatan, dan nilai-nilai lain yang
terkait seperti otonomi, kesukarelaan atau keseimbangan. Ciri-ciri tersebut
6
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal 137.
7
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal 3.
harus terwujud dalam gerak anggota yang ada di dalamnya maupun dalam
relasi suatu civil society dengan civil society lain dan bahkan dalam
hubungannya dengan negara.8
Kebebasan yang terdapat dalam civil society ini merupakan sebuah
prasyarat menuju kebebasan dari segala dominasi dan hegemoni kekuasaan
serta kebebasan untuk berpartisipasi dalam berbagai proses kemasyarakatan
secara sukarela dan rasional. Dalam kehidupan bernegara, kebebasan tersebut
tentu hanya bisa terwujud dalam suatu sistem kekuasaan yang demokratis.
Dalam konteks inilah gagasan civil society memiliki signifikansi politik.
Penciptaan sistem demokrasi tidak bisa didasarkan semata pada “niat baik”
pemegang kekuasaan negara. Upaya tersebut harus dilakukan oleh
masyarakat, khususnya melalui penguatan potensi-potensi yang ada, sehingga
dapat menjembatani hubungan antara individu dan masyarakat di satu pihak,
dan negara serta institusi pemegang kekuasaan lainnya di pihak lain. Karena
itu, upaya pemberdayaan potensi-potensi masyarakat hingga menjadi kekuatan
civil society pada dasarnya mengarah kepada penciptaan pola kekuasaan
masyarakat demokratis.
Namun berkaitan dengan upaya penguatan civil society, Muslim
Indonesia—sebagai
mayoritas—menjadi
sangat
penting
untuk
dipertimbangkan. Upaya penguatan civil society di Indonesia tidak bisa
mengabaikan pentingnya faktor umat Islam. Bahkan dalam beberapa hal
tertentu, bisa dikatakan bahwa keberadaan Muslim merupakan basis
perubahan politik dan sosial di Indonesia. Begitu pula dalam upaya penguatan
civil society, Muslim menduduki posisi terdepan yang bisa diharapkan sebagai
pengimbang dari kekuatan negara yang cenderung dominatif. Dengan
ungkapan lain, Muslim di Indonesia memiliki prasyarat—setidaknya secara
kuantitatif—bagi pertumbuhan dan penguatan civil society di Indonesia.9
8
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal 5.
9
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal 11.
Berdasarkan paparan kalangan intelektual-aktivis Muslim modernis
muncul kecenderungan untuk melihat civil society sebagai sebuah konsep
yang dihasilkan dari ideologi sekular yang jauh dari kehidupan spiritual.
Karena itu, istilah masyarakat madani yang diperkenalkan di Indonesia
dianggap bukan merupakan terjemahan dari civil society. Ada perbedaan
ideologis antara civil society dan masyarakat madani, sebab diyakini bahwa
masyarakat madani memiliki landasan spiritual dan religius karena kembali ke
teks-teks agama, dan hal tersebut tidak dapat ditemukan dalam civil society.10
Menurut Nurcholish Madjid, konsepsi civil society ini sudah diterapkan
terlebih dahulu ketika zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika itu Nabi
manyatukan kalangan Muslim, Nasrani, dan Yahudi dengan satu kesepakatan
yang disebut Piagam Madinah yang kemudian diteruskan oleh Sahabat Umar
Ibn Khatab sebagai salah satu kelanjutan wujud pelaksanaan cita-cita
masyarakat madani yang diteladankan Nabi. Hal ini membuktikan bahwa
Islam menunjukkan peradaban yang sudah modern dalam hal sosial-politik
serta menjadi referensi bagi umat Islam di zaman sekarang. Pada prinsipnya,
fungsi utama daripada hukum Islam adalah untuk menciptakan kebaikan
manusia di dunia dan di akhirat, atau dengan kata lain untuk menciptakan
kesejahteraan umat manusia, karena hukum Islam berorientasi pada keadilan
dan kesetaraan manusia.11
Tetapi, barangkali cukup safe untuk mengatakan bahwa agama—Islam
khususnya--akan dibutuhkan manusia, dan dengan demikian ia tetap berperan.
Sebab sebagaimana dikatakan oleh Julian Huxley: “manusia selalu concerned
tentang nasibnya – artinya, tentang kedudukan dan peranannya di dalam alam
raya, bagaimana ia mempertahankan kedudukan itu, dan bagaimana pula ia
memenuhi peranan tersebut. Semua masyarakat manusia mengembangkan
jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini – alat-alat untuk
mengerahkan ide-ide dan emosinya serta untuk membina sikap-sikap batin,
pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konsepsi
10
Ibid, 163.
Srijanti, Purwanto S. K., Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat
Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal 42.
11
mereka tentang nasib mereka. Semua alat sosial yang berkenaan dengan nasib
itu, dia kira, dapatlah secara sepenuhnya dimasukkan ke bawah judul agama.12
Tuntunan Al-Quran meletakkan titik berat utama pada kebajikan sosial
yang didasarkan pada agama dan moralitas, bertentangan dengan falsafahfalsafah sosial sekuler yang berakarkan keduniawian dan mempunyai
pendekatan materialistis yang dibangun dalam kefanaan sebagai dasar sistemsistem nilainya. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah theosentris dan
ethico-religious yang dilestarikan dalam upaya kebajikan.13
Secara garis besar, masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT
dapat diartikan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang berkepercayaan dalam kehidupan sehari-hari yang di
dalamnya terdapat hubungan antara sesama manusia, hubungan kepada
negara, dan hubungan kepada Tuhan. Sebagai kader sebuah organisasi yang
berasaskan Islam yang mana dalam kegiatannya selalu berlandaskan ajaran
Islam, kita harus menerapkan dari apa yang telah menjadi tujuan daripada
organisasi itu.
C. Tantangan yang Dihadapi HMI
1. Lingkungan yang Berubah
Di penghujung abad ke-20, kita dihadapkan pada perubahan-perubahan
multi dimensi yang cepat dan tidak pernah terjadi. Perubahan-perubahan ini
seakan-akan merupakan penjungkir balikan tatanan kehidupan sebelumnya.
Perubahan itu terjadi pada sistem nilai, termasuk pertimbangan moral yang
bersifat imperatif. Sebagai contoh kecil, baru satu dekade yang lalu pemudapemuda jika keluar malam hari akan pulang menjelang tengah malam. Pada
saat ini menjelang tengah malam mereka baru keluar rumah.
Perubahan multi dimensi itu juga menghinggapi tatanan masyarakat lain
di bidang sosial ekonomi, politik, budaya, pendidikan, moral keagamaan.
Tidak ada yang tidak berubah. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
12
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997), hal 126.
13
Dr. Muhammad Faiz-Ur-Rahman Ansari, Konsepsi Masyarakat Islam Modern
(Bandung: Risalah, 1983), 166
Berarti perubahan itu, maupun proses globalisasi adalah sesuatu yang tidak
terelakkan.
Memasuki millennium baru ini, akan tumbuh masyarakat dunia baru
dengan ciri yang berbeda dengan ciri-ciri masyarakat lama. Dalam konteks ini,
bangsa Indonesia sedang membangun sebuah masyarakat baru yang mana
tidak bisa terelakkan tidak mengandung dua dimensi. Dimensi tersebut adalah
dimensi ideal dan dimensi pragmatis. Idealisme ini penting untuk memberikan
arah serta menjaga agar bangsa kita tidak kehilangan sense of being dan sense
of purpose. Singkatnya, jati diri atau khittah sebagai bangsa, kita juga harus
pragmatis mengingat upaya untuk mewujudkan yang ideal bisa memerlukan
waktu yang lama, bahkan merupakan upaya yang tidak ada hentinya.
Semua tantangan ini menuntut diperlukannya sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas. Kualitas yang diperlukan ini terutama SDM yang
memiliki tingkat kecerdasan dan keterampilan yang tinggi, mantap dalam
wawasan dan semangat kebangsaannya, sehat dan kuat kondisi jasmani dan
rohaninya, serta memiliki akhlak dan budi pekerti yang luhur.14
Berdasarkan paparan dia atas, HMI sebagai organisasi perjuangan yang
mana harus memperjuangkan pribadinya agar mencapai nilai kualitas yang
sudah ditentukan, merupakan sebuah kesiapan serta memiliki kemampuan
dengan beragam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai dengan predikat
yang disandangnya, HMI harus mampu menampilkan sikap dan perilaku yang
positif, kreatif dan konstruktif, sesuai dengan ciri khas kemahasiswaannya,
keislamannya, dan keindonesiaannya, yang senantiasa melibat dan tertanam
kuat pada dirinya.
2. Tantangan Internal
Berdasarkan perannya, HMI sebagai organisasi perjuangan, setiap saat
HMI dihadapkan kepada berbagai tantangan yang datang silih berganti.
Tantangan itupun akan selalu muncul terlebih-lebih di masa depan, yang
14
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal. 111.
bentuk dan wujudnya jauh lebih besar dan berat. Berdasarkan uraian
Agussalim Sitompul, tantangan yang dihadapi HMI dari internal meliputi:
a. Masalah eksistensi dan keberadaan HMI. Walaupun HMI ada tetapi
seolah-olah tidak ada karena tidak mampu melaksanakan fungsi dan
peranannya sebagaimana mestinya.
b. Masalah relevansi pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan
perbaikan dan perubahan yang mendasar terhadap berbagai masalah
yang muncul yang dihadapi bangsa Indonesia.
c. Masalah peran HMI sebagai organisasi perjuangan yang sanggup
tampil dalam barisan terdepan sebagai avant garde, kader pelopor
bangsa dalam mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai
perubahan yang sangat dibutuhkan masyarakat.
d. Masalah efektifitas HMI untuk memecahkan masalah yang dihadapi
bangsa, karena banyak organisasi yang sejenis maupun yang lain
dapat tampil lebih efektif dan dapat mengambil inisiatif terdepan
untuk memberi solusi terhadap problem yang dihadapi bangsa
Indonesia.
Sebagai jawabannya, menuntut pemecahan yang bersifat teoritis dan
praktis, akan tetapi semuanya bersifat konseptual, integratif, dan
inklusif. Sebab pendekatan yang tidak konseptual, parsial, dan eksklusif
tidak akan melahirkan jawaban yang efektif. Untuk itu dibutuhkan ide
dan pemikiran dari anggota aktivis, kader, dan pengurus HMI di seluruh
jenjang organisasi.15
3. Tantangan Eksternal
Berbagai tantangan eksternal juga dihadapkan kepada HMI yang
tidak kalah besar dan rumitnya dari tantangan internal, antara lain:
a. Tantangan menghadapi perubahan zaman yang jauh berbeda dari
abad ke-20 dan yang muncul pada abad ke-21 saat ini.
15
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal. 113.
b. Tantangan terhadap peralihan generasi yang hidup dalam zaman
dan situasi yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan
khususnya yang dijalani generasi muda bangsa.
c. Tantangan untuk mempersiapkan kader-kader dan alumni HMI
yang akan menggantikan alumni-alumni HMI yang saat ini
menduduki di berbagai posisi strategis dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena regenerasi atau
pergantian pejabat-pejabat, suka tidak suka, mau tidak mau pasti
berlangsung.
d. Tantangan menghadapi golongan lain yang mempunyai missi
lain dari umat Islam dan bangsa Indonesia.
e. Tantangan menghadapi perubahan dan pembaharuan di segala
aspek kehidupan manusia yang terus berlangsung sesuai dengan
semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena itu menghadapi tantangan itu HMI dengan segenap aparatnya
harus mampu menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi
yang tinggi. Apakan HMI mampu menghadapai tantangan itu, sangat
ditentukan oleh pemegang kendali organisasi sejak dari PB HMI,
Pengurus Badko, Cabang, Komisaria, Korkom, dan lembaga-lembaga
kekaryaan, serta segenap anggota-anggota HMI, maupun alumninya
yang tergabung dalam KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta
penyempurna mission sacre HMI. Peralihan zaman dan peralihan
generasi saat ini sangat menentukan bagi eksistensi HMI di masa-masa
mendatang.
D. Peran Kader HMI dalam Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang
Diridhai Allah SWT
Pemuda adalah tonggak perubahan suatu tatanan kemasyarakatan. Di
tangan pemuda lah, masa depan bangsa sangat digantungkan. Bagaimana
bentuk perubahan yang ditimbulkan pemuda itu tergantung pada kualitas
individunya. Perubahan yang diinginkan tentunya mengarah ke perubahan
yang lebih baik. Sehingga dibutuhkan kuatlitas individu pemuda yang kuat
dan mandiri serta mempunyai moral yang baik. Sebagai bagian dari pemuda,
kader HMI sangatlah potensial dalam mewujudkan perubahan tersebut.
Implementasi mission HMI untuk menjawab tantangan yang dihadapi
bangsa,
dapat
dilakukan
dengan
menerapkan
pemikiran
keislaman-
keindonesiaan HMI. Pemikiran HMI yang berkembang dalam kurun waktu 58
tahun, menampakkan relevansinya dengan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Pada saat ini akan ditelusuri bagaimana partisipasi dan peran yang
diambil HMI dalam ikut membentuk kepribadian, identitas bangsa Indonesia
di tengah realitas sosial budaya dengan ciri pertumbuhan, perkembangan, dan
kemajemukan. Atas konsep independensinya, peran HMI akan dicoba
diungkapkan dalam upaya persatuan dan kesatuan nasional dari seluruh
komponen bangsa, maupun latar belakang sosial budaya, politik, dan
keagamaan. Pancasila sebagai konvergensi nasional dijadikan sebagai
platform untuk menuju integritas nasional yang harmonis.
Dengan berasaskan Islam, HMI diharapkan mampu mencetak kaderkader yang mempunyai semangat perjuangan sebagai pemimpin yang dapat
mengamalkan nilai-nilai keislamannya di kehidupan masyarakat. Karena di
dalam nilai-nilai tersebut merupakan suatu prasyarat untuk menuju civil
society yang berkepercayaan dan berakhlak-ul-karimah sesuai dengan yang
telah diajarkan di dalam agama Islam sehingga nantinya akan mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kader HMI sebagai bagian dari pemuda mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam membangun umat dan bangsa. Dia mempunyai kesempatan dan
peluang yang lebih dikarenakan semua tingkah polah yang dilakukan kader
HMI selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan berlandaskan Islam.
Namun itu semua harus dibarengi dengan ketekunan dan kegigihan dalam
memperjuangkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
ajaran-ajaran Islam setiap anggotanya. Karena masyarakat yang diidamidamkan sebagai civil society yang berakhlak-ul-karimah membutuhkan
manusia-manusia yang berkualitas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan kepercayaan sebagai pemimpin di dalamnya.
Manusia diciptakan sebagai khalifah fi-l-ardh di muka bumi. Oleh karena
itu kita sebagai kader HMI yang secara akademisi mempunyai intelektual
yang lebih serta mengemban amanah organisasi yang luhur diharapkan
mampu menghayati dan menerapkan ajaran-ajaran di dalamnya. Sehingga
cita-cita masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT dapat dicapai.
B. Saran
Kita sebagai kader HMI mengemban missi keumatan dan misi kebangsaan
untuk kembali membangun tradisi HMI dengan gerakan intelektualnya, karena
HMI adalah organisasi kader. Peran HMI sebagai organisasi perjuangan harus
selalu kita laksanakan, berjuang untuk membela kaum mustadh’afin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ansari, Muhammad Faiz-Ur-Rahman. Konsepsi Masyarakat Islam
Modern. Bandung: Risalah, 1983.
2. Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:
Penerbit Mizan, 1997.
3. Prasetyo, Hendro. Munhanif, Ali. dkk, Islam & Civil Society. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
4. Sitompul, Agussalim. 44 INDIKATOR KEMUNDURAN HMI. Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2005.
5. Srijanti, Purwanto S. K, Wahyudi Pramono, Etika Membangun
Masyarakat Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
“Peran kader HMI dalam Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang
Diridhai Allah SWT”
(TEMA H)
Disusun:
Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Intermediate Training (LK II)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) CABANG JOMBANG
Oleh :
Abdul Haris Kurniawan
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
KOMISARIAT TARBIYAH STAIN PONOROGO
CABANG PONOROGO
2014
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan
rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sehingga kita dapat
menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi dan Rasul, Sang Revolusioner sejati, yakni Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan menuju kehidupan
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Peran Kader HMI
dalam Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT”
ini untuk memenuhi syarat mengikuti Intermediate Training (LK II) Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jombang.
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada kanda-kanda, ayundaayunda, dan kawan-kawan yang telah memberikan dukungan moril dan materil
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu, saran, koreksi, dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan dari kawan-kawan.
Meskipun makalah ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti
Intermediate Training (LK II), semoga makalah ini bermanfaat sebagai penambah
wawasan kita tentang peran kita sebagai kader HMI dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Ponorogo, November 2014
Penulis
Abdul Haris Kurniawan
DAFTAR ISI
JUDUL
HALAMAN
KATA PENGANTAR………………………………………………………….…....i
DAFTAR ISI……………………………………………………................................ii
BAB I………………………………………………………………………………….
PENDAHULUAN…………………………………………………………………....
A. Latar Belakang……………………………………………………….
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………..
1. Tujuan Umum………………………………………………………..
2. Tujuan Khusus………………………………………………………
BAB II…………………………………………………………………………………
PEMBAHASAN……………………………………………………………………
A. Peran Kader HMI……………………………………………………………
B. Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT……………………..
C. Tantangan yang Dihadapi HMI……………………………………………...
1. Lingkungan yang berubah………………………………………………..
2. Tantangan Internal………………………………………………………..
3. Tantangan Eksternal………………………………………………………
D. Peran Kader HMI dalam Mewujudkan
Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT……………………….
BAB III…………………………………………………………………………………
PENUTUP…………………………………………………………………………….
A. Kesimpulan………………………………………………………………………
B. Saran……………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan HMI pada saat ini, organisasi yang didirikan
pada tanggal 5 Februari 1947 ini diibaratkan seperti besi yang sedang berkarat.
Hal ini terjadi dikarenakan peran organisasi sebagai organisasi perjuangan
yang mampu mencetak kader sebagai kader yang menanamkan didalam
dirinya lima kualitas insan cita kini telah memudar. Memudarnya peranan
HMI
ini
disinyalir—salah
satunya—karena
kurangnya
pengetahuan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam di kalangan
anggota dan pengurus. Hampir-hampir tidak ada perbedaan pengetahuan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan agama Islam seorang anggota
HMI sebelum dan sesudah masuk HMI. Hal ini disebabkan karena minimnya
pembinaan maupun program maupun implementasinya yang berkaitan dengan
pembinaan jiwa dan semangat beragama di kalangan HMI. Semestinya
seorang mahasiswa yang masuk HMI harus mendapatkan nilai tambah atau
nilai lebih tentang agama Islam.1
Lain daripada itu, perbuatan jelek yang dilakukan beberapa orang
kader, anggota, dan alumni HMI berdampak dan membawa akibat yang
negatif pada semua kader termasuk kader yang baik maupun alumni HMI 2
serta lingkungan masyarakat pada umumnya.
HMI adalah suatu gerakan pembaharuan untuk membebaskan umat
Islam dan bangsa Indonesia dari keterbelakangan. Pemikiran keislamankeindonesiaan HMI menampilkan Islam yang bercorak khas Indonesia.
Pemikiran ini akan mendatangkan perubahan sesuai dengan kebutuhan
kontemporer menuju masa depan yang baru yang dicita-citakan seluruh rakyat
Indonesia, yaitu masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Namun
HMI sudah berbalik menjadi tidak mengikuti, hanya menjadi kader olah
mengolah pejabat yang mencari keuntungan pribadi tanpa memikirkan apa
yang diperbuatnya telah merugikan orang lain.
Dalam setiap organisasi khususnya HMI, kader memiliki peran sentral,
dimana kader sebagai agen dalam rangka menerapkan cita perjuangan HMI
yang sesuai dengan tujuan HMI yaitu terbinanya insan akademis, pencipta,
pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
1
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal 86.
2
Ibid, hal 103.
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT sehingga dibutuhkan kader
yang berwawasan keislaman, keindonesiaan, dan kemahasiswaan dengan
kualitas lima insan cita dan bersifat independen, penuh semangat dan militansi
yang tinggi dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai
Allah SWT.
B. Rumusan masalah
Dengan bertolak pada landasan masalah diatas, maka penulis mencoba
mencoba merumuskan dalam butir-butir masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian kader HMI?
2. Apa pengertian masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT?
3. Bagaimana tantangan yang dihadapi HMI?
4. Bagaimana peran HMI dalam mewujudkan masyarakat adil makmur
yang diridhai Allah SWT?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui pengertian kader HMI.
2. Untuk mengetahui pengertian masyarakat adil makmur yang diridhai
Allah SWT.
3. Untuk mengetahui tantangan yang dihadapi HMI.
4.
Untuk mengetahui peran kader HMI dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
2. Tujuan Khusus
Sebagai syarat untuk mengikuti Intermediate Training (LK 2) Tingkat
Nasional Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jombang pada
tanggal 28 November-7 Desember 2014 dengan tema H “Relevankah HMI
dipertahankan? Sebuah otokritik terhadap peran HMI dalam pembangunan
bangsa”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran Kader HMI
Terlihat dalam tubuh organisasi, kader memiliki fungsi tersendiri yaitu
sebagai tenaga penggerak organisasi, sebagai calon pemimpin, dan sebagai
benteng organisasi. Secara kualitatif, kader mempunyai mutu, kesanggupan
bekerja dan berkorban yang lebih besar daripada anggota biasa. Kader itu
adalah anggota inti. Kader merupakan benteng dari “serangan” dari luar serta
penyelewengan dari dalam. Ke dalam tubuh organisasi, kader merupakan
pembina yang tidak berfungsi pemimpin. Kader adalah tenaga penggerak
organisasi, yang memahami sepenuhnya dasar dan ideologi perjuangan. Ia
mampu melaksanakan program perjuangan secara konsisten di setiap waktu,
situasi, dan tempat. Terbawa oleh fungsinya itu, untuk menjadi kader
organisasi yang berkualitas, anggota harus menjalani pendidikan, latihan, dan
praktikum. Pendidikan kader harus dilaksanakan secara terus menerus dan
teratur, rapi dan berencana, yang diatur dalam pedoman perkaderan. Kongres
ke-8 HMI tahun 1966 merumuskan pengertian kader adalah tulang punggung
organisasi, pelopor, penggerak, pelaksana, penyelamat cita-cita HMI masa
kini dan yang akan datang dimanapun berada, tetap berorientasi kepada asas
dan syariat islam.3
Definisi dan pengertian diatas, setidaknya terdapat tiga ciri yang
terintegrasi dalam diri seorang kader. Pertama, seorang kader bergerak dan
terbentuk dalam organisasi. Kader mengenal aturan permainan organisasi
sesuai dengan ketentuan yang ada, seperti NDP dalam pemahaman yang
integralistik dengan Pancasila dan UUD 1945. Dari segi operasionalisasi
organisasi, kader selau berpegang dan mematuhi AD/ART HMI, pedoman
perkaderan, dan ketentuan lain. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen
yang tinggi secara terus menerus, konsisten dalam memperjuangkan dan
melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader mempunyai bakat dan
kualitas sebagai tulang punggung yang mampu menyangga kesatuan
kumpulan manusia yang lebih besar. Jadi, fokus seorang kader terletak pada
kualitas. Kader HMI adalah anggota HMI yang telah menjalani proses
perkaderan sehingga memiliki ciri kader, yang integritas kepribadian yang
utuh, beriman, berilmu, dan beramal shaleh sehingga siap mengemban tugas
3
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal. 10.
dan amanah dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.4
Mengingat fungsi HMI sebagai organisasi kader, maka seluruh
aktivitasnya harus dapat memberi kesempatan berkembang bagi kualitaskualitas pribadi anggota-anggotanya. Sifat kekaderan HMI dipertegas dalam
pasal 4 Anggaran Dasar HMI yaitu Terbinanya insane kademis, pencipta,
pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Tujuan HMI ini telah
memberi tuntunan kemana perkaderan HMI diarahkan. Anggota HMI yang
merupakan human material yang dihadapi HMI untuk dibina dan
dikembangkan menjadi kader HMI, adalah mereka yang memiliki kualitaskualitas sebagai: a) mahasiswa, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat
pendidikan intelektual tertentu, calon sarjana, dan potensial menjadi
intelegensia, b) kader yaitu mereka yang memiliki kesediaan untuk berlatih
dan mengembangkan kualitas pribadinya guna menyongsong tugas masa
depan umat Islam dan bangsa Indonesia, c) pejuang, yaitu mereka yang ikhlas,
bersedia berbuat dan berkorban guna mencapai cita-cita umat Islam dan
bangsa Indonesia pada waktu sekarang dan yang akan datang.5 Pada
hakekatnya, tugas pokok HMI adalah tugas perkaderan yang mana semua
kegiatannya hendaklah menggambarkan fungsi kekaderannya sehingga
membentuk profil kader yang ideal, yaitu Muslim intelektual profesioanl.
Tujuan HMI sebagai tujuan umum yang hendak dicapai oleh HMI
menjadi garis arah dan titik sentral seluruh kegiatan dan aktivitas perkaderan
HMI. Konsekuensi dari tujuan itu maka dengan sendirinya tujuan merupakan
ukuran/norma dari semua kegiatan HMI. Dengan demikan kegiatan-kegiatan
HMI benar-benar relevan dengan tujuannya. Bagi anggota, tujuan organisasi
merupakan titik pertemuan persamaan kepentingan yang paling pokok dari
4
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal 11.
5
Ibid, hal 12.
seluruh anggota. Oleh karena itu peranan anggota dalam pencapaian tujuan
organisasi adalah sangat besar dan menentukan.6
B. Masyarakat Adil Makmur yang Diridhai Allah SWT
Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Kehidupan masyarakat
yang adil, makmur, dan sejahtera merupakan dambaan dan impian bagi semua
orang. Masyarakat yang demikian tidak pernah lepas dari peran civil society
yang berakhlak-ul-karimah. Secara analitis konsep civil society berakar pada
suatu bangunan pemikiran--yang nantinya menjadi model--mengenai manusia
dan masyarakat. Bangunan tersebut dapat ditelusuri kembali pada benih-benih
awal yang dibangun oleh para filsof Stoa (Filsafat Alam). Mereka merupakan
jajaran pemikir yang merumuskan manusia sebagai makhluk yang memiliki
kebebasan dan kesederajatan. Oleh alam, menurut mereka, manusia
dianugerahi kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat digunakan untuk
mencapai kebaikan dan keutamaan. Cicero misalnya, beranggapan bahwa
kebaikan dapat direalisasikan oleh semua manusia, karena ia secara inhern
telah memiliki potensi tersebut.7
Dengan demikian, konsep civil society harus dipahami dalam kerangka
tradisi liberal. Civil Society bukanlah entitas sosial yang terdiri dari kumpulan
manusia. Ia juga bukan manifestasi dari sistem komunal yang dikenal luas
dalam masyarakat tradisional. Civil society merupakan ruang publik yang
berisikan
manusia
sebagai
individu-individu
dengan
segala
atribut
intrinsiknya. Oleh karenanya, civil society, memiliki karakteristik yang juga
terdapat dalam konsep manusia sebagai individu. Jika individu sebagai ruang
pribadi, civil society, merupakan ruang publik. Karena itu, di dalam civil
society juga harus terdapat kebebasan, kesederajatan, dan nilai-nilai lain yang
terkait seperti otonomi, kesukarelaan atau keseimbangan. Ciri-ciri tersebut
6
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal 137.
7
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal 3.
harus terwujud dalam gerak anggota yang ada di dalamnya maupun dalam
relasi suatu civil society dengan civil society lain dan bahkan dalam
hubungannya dengan negara.8
Kebebasan yang terdapat dalam civil society ini merupakan sebuah
prasyarat menuju kebebasan dari segala dominasi dan hegemoni kekuasaan
serta kebebasan untuk berpartisipasi dalam berbagai proses kemasyarakatan
secara sukarela dan rasional. Dalam kehidupan bernegara, kebebasan tersebut
tentu hanya bisa terwujud dalam suatu sistem kekuasaan yang demokratis.
Dalam konteks inilah gagasan civil society memiliki signifikansi politik.
Penciptaan sistem demokrasi tidak bisa didasarkan semata pada “niat baik”
pemegang kekuasaan negara. Upaya tersebut harus dilakukan oleh
masyarakat, khususnya melalui penguatan potensi-potensi yang ada, sehingga
dapat menjembatani hubungan antara individu dan masyarakat di satu pihak,
dan negara serta institusi pemegang kekuasaan lainnya di pihak lain. Karena
itu, upaya pemberdayaan potensi-potensi masyarakat hingga menjadi kekuatan
civil society pada dasarnya mengarah kepada penciptaan pola kekuasaan
masyarakat demokratis.
Namun berkaitan dengan upaya penguatan civil society, Muslim
Indonesia—sebagai
mayoritas—menjadi
sangat
penting
untuk
dipertimbangkan. Upaya penguatan civil society di Indonesia tidak bisa
mengabaikan pentingnya faktor umat Islam. Bahkan dalam beberapa hal
tertentu, bisa dikatakan bahwa keberadaan Muslim merupakan basis
perubahan politik dan sosial di Indonesia. Begitu pula dalam upaya penguatan
civil society, Muslim menduduki posisi terdepan yang bisa diharapkan sebagai
pengimbang dari kekuatan negara yang cenderung dominatif. Dengan
ungkapan lain, Muslim di Indonesia memiliki prasyarat—setidaknya secara
kuantitatif—bagi pertumbuhan dan penguatan civil society di Indonesia.9
8
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal 5.
9
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal 11.
Berdasarkan paparan kalangan intelektual-aktivis Muslim modernis
muncul kecenderungan untuk melihat civil society sebagai sebuah konsep
yang dihasilkan dari ideologi sekular yang jauh dari kehidupan spiritual.
Karena itu, istilah masyarakat madani yang diperkenalkan di Indonesia
dianggap bukan merupakan terjemahan dari civil society. Ada perbedaan
ideologis antara civil society dan masyarakat madani, sebab diyakini bahwa
masyarakat madani memiliki landasan spiritual dan religius karena kembali ke
teks-teks agama, dan hal tersebut tidak dapat ditemukan dalam civil society.10
Menurut Nurcholish Madjid, konsepsi civil society ini sudah diterapkan
terlebih dahulu ketika zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika itu Nabi
manyatukan kalangan Muslim, Nasrani, dan Yahudi dengan satu kesepakatan
yang disebut Piagam Madinah yang kemudian diteruskan oleh Sahabat Umar
Ibn Khatab sebagai salah satu kelanjutan wujud pelaksanaan cita-cita
masyarakat madani yang diteladankan Nabi. Hal ini membuktikan bahwa
Islam menunjukkan peradaban yang sudah modern dalam hal sosial-politik
serta menjadi referensi bagi umat Islam di zaman sekarang. Pada prinsipnya,
fungsi utama daripada hukum Islam adalah untuk menciptakan kebaikan
manusia di dunia dan di akhirat, atau dengan kata lain untuk menciptakan
kesejahteraan umat manusia, karena hukum Islam berorientasi pada keadilan
dan kesetaraan manusia.11
Tetapi, barangkali cukup safe untuk mengatakan bahwa agama—Islam
khususnya--akan dibutuhkan manusia, dan dengan demikian ia tetap berperan.
Sebab sebagaimana dikatakan oleh Julian Huxley: “manusia selalu concerned
tentang nasibnya – artinya, tentang kedudukan dan peranannya di dalam alam
raya, bagaimana ia mempertahankan kedudukan itu, dan bagaimana pula ia
memenuhi peranan tersebut. Semua masyarakat manusia mengembangkan
jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini – alat-alat untuk
mengerahkan ide-ide dan emosinya serta untuk membina sikap-sikap batin,
pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konsepsi
10
Ibid, 163.
Srijanti, Purwanto S. K., Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat
Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal 42.
11
mereka tentang nasib mereka. Semua alat sosial yang berkenaan dengan nasib
itu, dia kira, dapatlah secara sepenuhnya dimasukkan ke bawah judul agama.12
Tuntunan Al-Quran meletakkan titik berat utama pada kebajikan sosial
yang didasarkan pada agama dan moralitas, bertentangan dengan falsafahfalsafah sosial sekuler yang berakarkan keduniawian dan mempunyai
pendekatan materialistis yang dibangun dalam kefanaan sebagai dasar sistemsistem nilainya. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah theosentris dan
ethico-religious yang dilestarikan dalam upaya kebajikan.13
Secara garis besar, masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT
dapat diartikan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang berkepercayaan dalam kehidupan sehari-hari yang di
dalamnya terdapat hubungan antara sesama manusia, hubungan kepada
negara, dan hubungan kepada Tuhan. Sebagai kader sebuah organisasi yang
berasaskan Islam yang mana dalam kegiatannya selalu berlandaskan ajaran
Islam, kita harus menerapkan dari apa yang telah menjadi tujuan daripada
organisasi itu.
C. Tantangan yang Dihadapi HMI
1. Lingkungan yang Berubah
Di penghujung abad ke-20, kita dihadapkan pada perubahan-perubahan
multi dimensi yang cepat dan tidak pernah terjadi. Perubahan-perubahan ini
seakan-akan merupakan penjungkir balikan tatanan kehidupan sebelumnya.
Perubahan itu terjadi pada sistem nilai, termasuk pertimbangan moral yang
bersifat imperatif. Sebagai contoh kecil, baru satu dekade yang lalu pemudapemuda jika keluar malam hari akan pulang menjelang tengah malam. Pada
saat ini menjelang tengah malam mereka baru keluar rumah.
Perubahan multi dimensi itu juga menghinggapi tatanan masyarakat lain
di bidang sosial ekonomi, politik, budaya, pendidikan, moral keagamaan.
Tidak ada yang tidak berubah. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
12
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997), hal 126.
13
Dr. Muhammad Faiz-Ur-Rahman Ansari, Konsepsi Masyarakat Islam Modern
(Bandung: Risalah, 1983), 166
Berarti perubahan itu, maupun proses globalisasi adalah sesuatu yang tidak
terelakkan.
Memasuki millennium baru ini, akan tumbuh masyarakat dunia baru
dengan ciri yang berbeda dengan ciri-ciri masyarakat lama. Dalam konteks ini,
bangsa Indonesia sedang membangun sebuah masyarakat baru yang mana
tidak bisa terelakkan tidak mengandung dua dimensi. Dimensi tersebut adalah
dimensi ideal dan dimensi pragmatis. Idealisme ini penting untuk memberikan
arah serta menjaga agar bangsa kita tidak kehilangan sense of being dan sense
of purpose. Singkatnya, jati diri atau khittah sebagai bangsa, kita juga harus
pragmatis mengingat upaya untuk mewujudkan yang ideal bisa memerlukan
waktu yang lama, bahkan merupakan upaya yang tidak ada hentinya.
Semua tantangan ini menuntut diperlukannya sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas. Kualitas yang diperlukan ini terutama SDM yang
memiliki tingkat kecerdasan dan keterampilan yang tinggi, mantap dalam
wawasan dan semangat kebangsaannya, sehat dan kuat kondisi jasmani dan
rohaninya, serta memiliki akhlak dan budi pekerti yang luhur.14
Berdasarkan paparan dia atas, HMI sebagai organisasi perjuangan yang
mana harus memperjuangkan pribadinya agar mencapai nilai kualitas yang
sudah ditentukan, merupakan sebuah kesiapan serta memiliki kemampuan
dengan beragam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai dengan predikat
yang disandangnya, HMI harus mampu menampilkan sikap dan perilaku yang
positif, kreatif dan konstruktif, sesuai dengan ciri khas kemahasiswaannya,
keislamannya, dan keindonesiaannya, yang senantiasa melibat dan tertanam
kuat pada dirinya.
2. Tantangan Internal
Berdasarkan perannya, HMI sebagai organisasi perjuangan, setiap saat
HMI dihadapkan kepada berbagai tantangan yang datang silih berganti.
Tantangan itupun akan selalu muncul terlebih-lebih di masa depan, yang
14
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal. 111.
bentuk dan wujudnya jauh lebih besar dan berat. Berdasarkan uraian
Agussalim Sitompul, tantangan yang dihadapi HMI dari internal meliputi:
a. Masalah eksistensi dan keberadaan HMI. Walaupun HMI ada tetapi
seolah-olah tidak ada karena tidak mampu melaksanakan fungsi dan
peranannya sebagaimana mestinya.
b. Masalah relevansi pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan
perbaikan dan perubahan yang mendasar terhadap berbagai masalah
yang muncul yang dihadapi bangsa Indonesia.
c. Masalah peran HMI sebagai organisasi perjuangan yang sanggup
tampil dalam barisan terdepan sebagai avant garde, kader pelopor
bangsa dalam mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai
perubahan yang sangat dibutuhkan masyarakat.
d. Masalah efektifitas HMI untuk memecahkan masalah yang dihadapi
bangsa, karena banyak organisasi yang sejenis maupun yang lain
dapat tampil lebih efektif dan dapat mengambil inisiatif terdepan
untuk memberi solusi terhadap problem yang dihadapi bangsa
Indonesia.
Sebagai jawabannya, menuntut pemecahan yang bersifat teoritis dan
praktis, akan tetapi semuanya bersifat konseptual, integratif, dan
inklusif. Sebab pendekatan yang tidak konseptual, parsial, dan eksklusif
tidak akan melahirkan jawaban yang efektif. Untuk itu dibutuhkan ide
dan pemikiran dari anggota aktivis, kader, dan pengurus HMI di seluruh
jenjang organisasi.15
3. Tantangan Eksternal
Berbagai tantangan eksternal juga dihadapkan kepada HMI yang
tidak kalah besar dan rumitnya dari tantangan internal, antara lain:
a. Tantangan menghadapi perubahan zaman yang jauh berbeda dari
abad ke-20 dan yang muncul pada abad ke-21 saat ini.
15
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2008), hal. 113.
b. Tantangan terhadap peralihan generasi yang hidup dalam zaman
dan situasi yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan
khususnya yang dijalani generasi muda bangsa.
c. Tantangan untuk mempersiapkan kader-kader dan alumni HMI
yang akan menggantikan alumni-alumni HMI yang saat ini
menduduki di berbagai posisi strategis dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena regenerasi atau
pergantian pejabat-pejabat, suka tidak suka, mau tidak mau pasti
berlangsung.
d. Tantangan menghadapi golongan lain yang mempunyai missi
lain dari umat Islam dan bangsa Indonesia.
e. Tantangan menghadapi perubahan dan pembaharuan di segala
aspek kehidupan manusia yang terus berlangsung sesuai dengan
semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena itu menghadapi tantangan itu HMI dengan segenap aparatnya
harus mampu menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi
yang tinggi. Apakan HMI mampu menghadapai tantangan itu, sangat
ditentukan oleh pemegang kendali organisasi sejak dari PB HMI,
Pengurus Badko, Cabang, Komisaria, Korkom, dan lembaga-lembaga
kekaryaan, serta segenap anggota-anggota HMI, maupun alumninya
yang tergabung dalam KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta
penyempurna mission sacre HMI. Peralihan zaman dan peralihan
generasi saat ini sangat menentukan bagi eksistensi HMI di masa-masa
mendatang.
D. Peran Kader HMI dalam Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang
Diridhai Allah SWT
Pemuda adalah tonggak perubahan suatu tatanan kemasyarakatan. Di
tangan pemuda lah, masa depan bangsa sangat digantungkan. Bagaimana
bentuk perubahan yang ditimbulkan pemuda itu tergantung pada kualitas
individunya. Perubahan yang diinginkan tentunya mengarah ke perubahan
yang lebih baik. Sehingga dibutuhkan kuatlitas individu pemuda yang kuat
dan mandiri serta mempunyai moral yang baik. Sebagai bagian dari pemuda,
kader HMI sangatlah potensial dalam mewujudkan perubahan tersebut.
Implementasi mission HMI untuk menjawab tantangan yang dihadapi
bangsa,
dapat
dilakukan
dengan
menerapkan
pemikiran
keislaman-
keindonesiaan HMI. Pemikiran HMI yang berkembang dalam kurun waktu 58
tahun, menampakkan relevansinya dengan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Pada saat ini akan ditelusuri bagaimana partisipasi dan peran yang
diambil HMI dalam ikut membentuk kepribadian, identitas bangsa Indonesia
di tengah realitas sosial budaya dengan ciri pertumbuhan, perkembangan, dan
kemajemukan. Atas konsep independensinya, peran HMI akan dicoba
diungkapkan dalam upaya persatuan dan kesatuan nasional dari seluruh
komponen bangsa, maupun latar belakang sosial budaya, politik, dan
keagamaan. Pancasila sebagai konvergensi nasional dijadikan sebagai
platform untuk menuju integritas nasional yang harmonis.
Dengan berasaskan Islam, HMI diharapkan mampu mencetak kaderkader yang mempunyai semangat perjuangan sebagai pemimpin yang dapat
mengamalkan nilai-nilai keislamannya di kehidupan masyarakat. Karena di
dalam nilai-nilai tersebut merupakan suatu prasyarat untuk menuju civil
society yang berkepercayaan dan berakhlak-ul-karimah sesuai dengan yang
telah diajarkan di dalam agama Islam sehingga nantinya akan mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kader HMI sebagai bagian dari pemuda mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam membangun umat dan bangsa. Dia mempunyai kesempatan dan
peluang yang lebih dikarenakan semua tingkah polah yang dilakukan kader
HMI selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan berlandaskan Islam.
Namun itu semua harus dibarengi dengan ketekunan dan kegigihan dalam
memperjuangkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
ajaran-ajaran Islam setiap anggotanya. Karena masyarakat yang diidamidamkan sebagai civil society yang berakhlak-ul-karimah membutuhkan
manusia-manusia yang berkualitas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan kepercayaan sebagai pemimpin di dalamnya.
Manusia diciptakan sebagai khalifah fi-l-ardh di muka bumi. Oleh karena
itu kita sebagai kader HMI yang secara akademisi mempunyai intelektual
yang lebih serta mengemban amanah organisasi yang luhur diharapkan
mampu menghayati dan menerapkan ajaran-ajaran di dalamnya. Sehingga
cita-cita masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT dapat dicapai.
B. Saran
Kita sebagai kader HMI mengemban missi keumatan dan misi kebangsaan
untuk kembali membangun tradisi HMI dengan gerakan intelektualnya, karena
HMI adalah organisasi kader. Peran HMI sebagai organisasi perjuangan harus
selalu kita laksanakan, berjuang untuk membela kaum mustadh’afin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ansari, Muhammad Faiz-Ur-Rahman. Konsepsi Masyarakat Islam
Modern. Bandung: Risalah, 1983.
2. Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:
Penerbit Mizan, 1997.
3. Prasetyo, Hendro. Munhanif, Ali. dkk, Islam & Civil Society. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
4. Sitompul, Agussalim. 44 INDIKATOR KEMUNDURAN HMI. Jakarta: CV
Misaka Galiza, 2005.
5. Srijanti, Purwanto S. K, Wahyudi Pramono, Etika Membangun
Masyarakat Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.