Hak dan Keadilan dalam Utilitarianisme B

Bentham dan Mills :
Hak dan Keadilan dalam Utilitarianisme
Oleh: Sukron Hadi
Pengantar
Utilitarianisme lahir sebagai bentuk flsaaat moral dan politik yang matang
dibidani oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Paham ini hadir untuk mengkritisi
tradisi hukum kodrat (natural law) yang berkibar di Inggris Raya pada saat itu.[1]
Natural law merupakan sistem hukum yang merujuk pada aturan yang dianggap
berasal dari Tuhan dan hal-hal metafsika lainnya yang menurut Bentham, produkproduk hukumnya bertentangan dengan kebutuhan empiris manusia.
Menurut Bentham, manusia pada dasarnya dipimpin oleh dua penguasa yang
berdaulat:
kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain).[2] Manusia selalu
menghindari penderitaan dan terus mengejar kesenangan. Itulah kebutuhan empiris
manusia. Moralitas dan hukum harus disandarkan pada kenyataan itu. Oleh sebab
itu moral dan produk hukum harus memiliki tujuan memaksimalkan kesenangan
dan kebahagiaan manusia secara luas. Filsaaat moral dan politik utilitarianisme
tidak bersandar pada keberadaan tuhan, roh-roh dan hal-hal metafsis lainnya.
Kebutuhan manusialah yang menjadi pusat pertimbangan pembentukan hukum dan

Sekularitas ini, bagi Kymlicka, menjadi salah satu
dari 2 macam daya tarik dari ajaran utilitarianisme.[3]

moralitas.

Joh Sturat Mill (1806-1873) seorang murid Bentham, sependapat bahwa
manusia pada dasarnya mengejar kebahagiaan. Namun ia mengkritisi pendapat
pendahulunya yang cenderung mengukur kesenangan yang dibutuhan manusia
dengan cara kuantitatia.[4] Menurut Mill, kualitas kesenangan dan kebahagiaan juga
harus diperhatikan, karena ada kebahagian yang kualitasnya lebih tinggi dan lebih
rendah.[5] Kualitas kesenangan baca novel-novel Pramoedya A. Toer, jelas lebih
bermutu daripada kesenangan nonton sinetron kejar tayang.
Meskipun Mill mengkritik Bentham, prinsip-prinsip ajaran moral dan hukum
bagi keduanya bersiaat hedonistik, meskipun bukan hedonistik yang egoistis, karena
bagi mereka prinsip utilitarinisme adalah the greatest happinest oa the greatest
number. Individu dalam mencapai kesenangan perlu mempertimbangkan kondisi
orang lain dan masyarakat luas. Tapi tetap saja, mereka menjadikan kesenangan
(happiness) sebagai puncak moral, adapun jenis kebaikan-kebaikan lain hanya
menjadi sarana untuk mencapai kesenangan tersebut.
Tindakan, dalam utilitarianisme, dianggap benar jika tindakan itu
menghasilkan semakin besar kuantitas kesenangan, serta semakin banyak orang
mampu menikmati kesenangan tersebut. Jadi dalam paham ini bentuk tindakan,
norma dan produk hukum, apabila konsekuensinya memenuhi kaidah tersebut,

akan dinilai benar, dan dinilai buruk jika tidak memenuhi kaidah tersebut .

Hal

inilah yang menurut Kymlicka ajaran konsekuensialisme
dalam utilitarianisme[6] menjadi penting dan menjadi
daya tarik kedua dari dua macam daya tarik ajaran
utilitarianisme.[7]
Selain memiliki dua daya tarik, sekularisme dan
konsekuensialisme; utilitarianisme menurut Amartya Sen
memiliki ciri penting lain, yakni welfarisme . Welaarisme dalam
pandangan utilitarian ini membatasi keputusan-keputusan permaslahan negara ke
dalam kemanaaatan atau kebaikan negara secara umum. Selain itu, utilitarianisme
memiliki ciri penting lain, yakni ‘sum-ranking’ (peringakat penjumlahan), yang mana
dalam utilitarianisme perlu adanya penjumlahan derajat utility masyarakat yang
berbeda-beda untuk menghasilkan tingkat kebahagiaan yang paling tinggi.[8]
Meskipun utilitarianisme memiliki beberapa daya tarik yang memberikan
sumbangan penting pada flsaaat moral, namun ketika utilitarianisme sebagai
flsaaat politik yang menjadi
dasar bagi pengambilan keputusan-keputusan

individualistik yang politis maupun menjadi dasar bagi institusi sosial atau negara
untuk menelurkan hukum dan regulasi, ajaran utilitarianisme terkesan tidak dapat
diterima oleh akal sehat (intuisi) dan asas keadilan karena menenggelamkan hak
individu demi kebahagiaan masyarakat luas.
Ada dua hal penting yang perlu disampaikan dalam pembahasan
utilitarianisme sebagai jalan masuk menuju pembahasan hak dan keadilan dalam
utilitariansime. Yakni makna utility yang terkandung dalam utilitarianisme. Dan
kedua, adalah bagaimana kaum utilitarian mengaplikasikan ajaran-ajaran
utilitarianisme dalam ranah politis. Pada pembahasan kedua ini, kemudian diikuti
kritik-kritik yang dilancarkan kepada pemikir utilitarian, yang kemudian dalam
kesempatan ini, penulis merasa perlu untuk memberikan argumentasi dan
tanggapan terhadap kritik yang diarahkan kepada utilitarianisme, terutama terkait
hak dan keadilan.

Perkembangan Defnisi Utility
Utilitarianisme merupakan sebuah aaham yang memperjuangkan prinsip
utility. Prinsip utility (useaulness/kemanaaatan) secara umum adalah sebuah
tindakan dianggap benar jika menghasilkan lebih banyak kebahagiaan daripada
tindakan lain, dan tindakan dianggap salah jika tidak demikian.[9] Tujuan flsaaat
moral dan politik utilitarianisme klasik untuk memaksimalkan utility dan beberapa

ajaran utilitarianisme menjadi standar ajaran (prinsip-prinsip) utilitarianisme
penganut utilitarianisme hingga saat ini. Namun yang mengalami perkembangan
dari ajaran utilitarianisme adalah salah satunya mengenai utility. Sudah disinggung
di atas, defnisi utility utilitarianisme klasik terkesan hedonistik. Memenuhi prinsip
utility artinya memaksimalkan happiness atau pleasure semaksimal mungkin.
Happiness dan pleasure menjadi kondisi mental tertinggi yang mesti dipenuhi.

Defnisi lain yang ditawarkan teoritisi utilitarian adalah utility yang bersandar
pada pengalaman yang non-hedonistik. Utilitarian ini mengkritisi pandangan
utilitarianisme klasik yang terlampau mendefnisikan utility pada keadaan mental
dalam satu bentuk paling tinggi, seperti kebahagiaan, padahal banyak bentuk
kebaikan lain yang memunculkan perasaan yang sama bernilainya seperti
kebahagiaan yang lahir dari pengalaman-pengalaman, seperti jatuh cinta, dll.[10]
Jadi, dalam defnisi utility kedua ini, tindakan dianggap benar jika dari tindakan itu
menghasilkan lebih banyak kebahagiaan. Kebahagian yang diukur dari pengalaman
real, bukan dari perasaan mental.
Pengalaman sendiri memiliki dua variasi, yakni pengalaman oradinary dan
extraordinary. Pengalaman ordinary merupakan pengalaman yang biasa dilakukan
sehari-hari oleh masyarakat umum. Adapun pengalaman extraordinary merupakan
pengalaman yang jarang dilakukan sehar-hari oleh masyakat umum, sehingga

ketika seseorang mengalami pengalaman extraordinary ini merasa ia telah
mengalami pengalaman yang spesial.[11]
Dua defnisi utilty yang menyandarkan pada pengalaman mental (hedonistik
tapi tidak egoistik) dan pengalaman kehidupan ini menurut Nozick, kurang-lebih,
utility dapat dicapai dengan cara sederhana, cukup diinjeksi obat saraa terlarang
dan masuk ke mesin pengalaman, maka masyarakat akan merasakan satu jenis
kesenangan paling tinggi, nge-fy, dan dengan masuk ke mesin pengalaman orang
bisa merasakan jenis kesenangan dari pengalaman-pengalaman yang bermacam
rupa.[12]
Pandangan ketiga mengenai defnisi utility adalah sebagai terpenuhinya
preaerence satisaaction (kepuasan preaerensi/keinginan). Menurut pandangan ini,
tindakan dianggap benar ketika tindakan tersebut memenuhi keinginan dari
maksimal orang. Apapun jenis preaerensinya. Simulasi dari ajaran pandangan ini,
seperti berikut: bayangkan, kita memesan makan siang, sebagian ada yang
menginginkan pizza dan sebagian lagi menginginkan gado-gado. Maka jika dari kita
lebih banyak memesan pizza maka kita harus memenuhi preaerensi yang terbanyak
itu. tidak peduli apakah pizza itu lebih bergizi atau kurang bergizi dari gado-gado,
tidak peduli apakah nantinya pizza itu beracun atau tidak, yang penting preaerensi
terbanyak terpenuhi. Jika seperti itu maka utility akan terpenuhi. Keputusan yang
lahir karena hanya sekedar memenuhi preaerensi, akan cenderung salah dan tidak

tepat, dan bisa jadi preaerensi mayoritas merupakan preaernsi yang melanggar hak
orang atau kelompok lain dan tidak mengindahkan tanggung jawab. Dalam model
ini kemungkinan selalu ada pihak yang dirugikan.[13]
Yang terakhir, utility didefnisikan sebagai terpenuhinya inaormed preaerence
(preaerensi berpengetahuan dan rasional). Menurut pandangan ini, utilitarianisme
bertujuan memenuhi preaerensi yang didasarkan pada inaormasi yang lengkap,
pertimbangan yang tepat dan menolak preaerensi yang irrasional dan keliru.
Menurut Kymlicka pandangan terakhir ini nampak yang paling benar dan pantas
untuk dibicarakan dan diperdebatkan lebih jauh. Namun tetap saja defnisi terakhir
ini masih mengundang kritik. Karena akan ada kemungkinan preaerensi
berpengtahuan dan rasional berbenturan dengan jenis preaerensi yang

berpengetahuan dan rasional lain.[14] Dan sering juga hasil dari keputusan yang
memaksimalkan preaerensi cenderung tak bisa diterima oleh intuisi tentang
keadilan.

Utilitarianisme Tindakan dan Aturan
Banyak tantantangan yang dihadapi oleh utilitarianisme sebagai teori moralpolitik yang memperjungkan prinsip utility. Pertama, sumber daya yang terbatas
untuk menciptakan utility bagi segenap warga dan bagaimana cara menciptkannya.
Kedua, inaormed preaerence orang mungkin saling bertentangan. Bagaimanakah

utilitarianisme beroprasi dalam situasi seperti ini?
Untuk menjawab tantangan pertama di atas, berangkat dari pertanyaan
siapa yang berkewajiban mewujudkan prinsip utilitarianisme sebesar dan semeluas
mungkin? Ada dua golongan utilitarian yang berbeda pandangan dalam
menentukan ‘siapa’ tersebut[15]. Yakni, golongan utilitarianisme tindakan (act
utilitarian), golongan ini mengajarkan comprehensive moral utilitarianism, yang
menyatakan bahwa semua manusia berkewajiban bertindak berdasarkan prinsipprinsip utilitarian[16], bahkan dalam tingkat personal, semua orang berperan
sebagai U-Agen. Artinya, menurut pandangan ini setiap orang dalam bertindak
memiliki kewajiban untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan apakah
tindakannya meningkatkan utility sebesar dan semeluas mungkin, atau sebaliknya.
Pandangan kedua adalah dari golongan utilitarianisme aturan (rule utilitarianism)
yang mengajarkan political utilitarianism. Isi ajarannya bahwa hanya lembaga sosial
dan pemerintahlah yang wajib bertindak berdasarkan prinsip-prinsip utilitarianisme.

Adapun mengenai apa yang dimaksud dengan ‘bertindak menurut prinsip-prinsip
utilitarianisme’, menurut pandangan utilitarianisme tindakan, hal tersebut berarti
bahwa pelaku (agen) ketika ingin bertindak dan membuat keputusan maka secara
langsung harus melakukan pertimbangan berdasaskan asas utilitarian terlebih
dahulu. Pandangan ini juga disebut utilitarianisme langsung (direct utilitarianism).
Adapun pandangan utilitarianisme aturan, mengajarkan bahwa kita tidak harus

melakukan pertimbangan utilitarian dalam setiap akan bertindak dan memutuskan
sesuatu, yang penting hasil dari keputusan dan tindakan itu tidak melanggar asas
memaksimalkan utility. Artinya dalam paham kedua ini kita bisa menggunakan
pertimbangan non-utilitarian demi memaksimalkan utility. Ajaran demikian juga
disebut utilitarianisme tidak langsung (indirect utilitarianism).
Tantangan kedua yang belum terjawab adalah, inaormed preaerence orang
mungkin saling bertentangan, mana yang lebih didahulukan dan standar moral apa
yang menjadi pijakan dalam memutuskan masalah ini? Ada dua argumentasi.
Pertama argumen egalitarian, argumen ini diwariskan dari Bentham dan Mill, yang
mempelakukan semua manusia dengan keistimewaan yang sama, artinya jika
menggunakan prinsip egalitarian ke dalam ajaran utilitarianisme kontemporer,
maka preaerensi-preaerensi (yang inaormed) yang bertentangan harus diberi bobot

yang sama, karena itu tindakan yang dibenarkan secara moral adalah yang bisa
memaksimalkan utility setiap orang. Tindakan yang memaksimalkan utility setiap
orang merupakan standar moral.[17]
Pandangan kedua adalah yang Rawls sebut utilitarianisme teleologis.
Berbeda dengan pandangan sebelumnya, pandangan teleologis menyatakan bahwa
memaksimalkan utility merupakan hal yang utama merupakan telos yang harus
dituju, bukan aaktor turunan dari egalitarian. Pandangan ini menyatakan bahwa

kewajiban kita bukanlah untuk memperlakukan orang secara sama, melainkan
membawa keadaan bernilai atau memaksimalkan keadaan menjadi lebih baik.
Manusia dipandang hanya sekedar bagian dari jaringan pemaksimalan utility. Pusat
perhatian utilitarianisme jenis kedua, teleologis, ini berbeda dengan jenis
utilitarianisme egelitarian yang pusat perhatiannya pada manusia. Teleologis
memusatkan perhatiannya pada telos, keadaan (kebaikan).[18]

Kritik Terhadap Utilitarianisme
Utilitarianisme sebagai flsaaat moral dan politik mengundang banyak kritik.
Banyak pengkritik menilai bahawa utilitarianisme tidak mengindahkan hak dan
melanggar intuisi kita tentang prinsip keadilan. Dalam tulisan ini, hanya akan
dipaparkan kritik atas utilitarianisme dari John Rawls, Kymlicka dan Amartya Sen.
Kritik yang dilancarkan Rawls terhadap utilitarianisme adalah terkait
penolakannya terhadap prinsip keadilan dan bentuk teleologis dari utilitariansme.
[19] Dalam kritik pertama Rawls, teori keadilan utilitarianisme dianggap cenderung
mereduksi keadilan individu ke dalam keadilan masyarakat luas. Sehingga
utilitarianisme tidak memedulikan bagaimana total kepuasan itu didistribuskian
secara aairness dalam tingkat individual masyarakat. Konsekwensi dari aaham ini
adalah, dalam terciptanya kebaikan masyarakat umum, akan ada individu atau
kelompok tertentu yang preaerensi dan haknya terkorbankan.

Selain itu, Rawls juga keberatan dengan bentuk teleologis dalam ajaran
utiltarianisme. Di sini, teleologis dalam utilitarianisme, diartikan Rawls bukan saja
pada baik dan buruknya tindakan ditentukan oleh tujuan, tapi juga terlampau
memprioritaskan the good (manaaat) daripada the right (hak). Bagi Rawls, hak
adalah yang utama. Hak individu atau kelompok kecil individu tidak boleh dirampas
demi mencapai kebaikan bagi maksimal orang. The right tidak boleh disisihkan untu
mencapai the good.
Senada dengan Rawls, Amartya Sen juga menilai bahwa utilitarianisme tidak
mengindahkan hak individu yang penting dibela. Selain hak, kebebasan individu
juga tidak dihargai dalam utilitarianisme. Hak dan kebebasan dalam utilitarianisme
dihargai (secara tidak langsung) jika berpengaruh pada pencapaian prinsip utiliy
atau dapat mencapai the good. Sen juga menilai bahwa penghitungan jumlah
preaerensi masyarakat dalam ajaran utilitarian, cenderung akan mengahsilkan
kebaikan yang tidak distributia. Metode sum-ranking akan memungkinkan adanya

individu atau sekelompok individu yang tidak memperoleh manaaat dari hasil ini.
[20]
Kymlicka berbeda pandangan dengan Rawls yang menyatakan bahwa
utilitarianisme (yang absah) pada dasarnya merupakan teori moral yang teleologis.
Ada dua bentuk utlitarianisme, teleologis dan egalitarian.

Kymlicka lebih
menyandarkan utilitarianisme pada pandangan yang pertama, egalitarian. Bagi
Kymlicka pandangan teleologis nampak absurd, terutama pada pertanyaan untuk
siapa sebenarnya keadaan yang baik tersebut, kenapa kita manusia riil perlu
(sebagai sarana) kewajiban moral demi memaksimalkan utility yang moralstruktural tersebut. Bukankah lebih konkrit jika utility dilihat sebagai hasil, bukan
sebagai dasar pertimbangan kita bertindak? Bukankah akan berhenti menjadi teori
moral jika utilitarianisme diinterpretasikan seperti ini? dan juga pandangan yang
kedua ini bertentangan dengan hakikat teori moral utilitarianisme yang sekuler,
yang menganggap moralitas penting karena manusia itu penting.[21]
Kymlicka tidak begitu saja mengiyakan pandangan utilitarian sebagai teori
moral yang memperlakuan orang secara sama. Ia justru membeberkan salah taasir
teori utilitarianisme atas pertimbangan yang sama bagi semua demi pemuasan
utility. Kaum utilitarian menganggap bahwa semua sumber kebahagiaan, atau
setiap bentuk preaerensi harus dihargai secara sama, jika menghasilkan utility yang
sama. Apa iya, semua bentuk preaerensi patut dihargai secara sama?
Mengutip Dworkin, Kymlicka menyebut ada dua bentuk preaerensi yang tidak
memadai (unlegitimed), meskipun siaatnya inaormed. Yakni, Preaererensi eksternal.
Preaerensi ada dua macam, personal dan eksternal. Preaerensi personal adalah
preaerensi atas barang-barang, sumber daya, kesempatan dan sebagainya, yang
diinginkan orang untuk dirinya sendiri. Preaerensi eksternal adalah preaerensi atas
sumber daya dan kesempatan yang orang ingin tersedia untuk orang lain.
Preaerensi eksternal kadang membawa pengaruh yang berbahaya. Karena mungkin
kelompok kulit putih yang rasis lebih menginginkan orang kulit hitam mendapat
pelayanan dan sumber daya kesehatan yang lebih sedikit. Lantas apakah preaerensi
seperti ini perlu diperhitungkan? Tentu kaum utilitarian punya prosedur preaerensi
seperti apa yang harus diperhitungkan atau diabaikan. Maka perlu, dua preaerensi
yang tidak egalitarian seperti ini disingkirkan.[22] Bentuk preaerensi yang tidak
memadai kedua, yakni selfsh preaerence, atau preaerensi yang mementingkan diri
sendiri. Bentuknya yakni menginkan mendapatkan sumber daya yang lebih banyak
dibanding orang lain. Hal ini tentu bentuk preaerensi yang tidak aair, irrasional dan
unegalitarian.
Pemikir utilitarian, Richard Mavyn Hare, berpendapat bahwa perlu kita
memasukan semua inaormed preaerence dalam penjumlahan, meskipun ada
inaormed preaerence tidak aair. Hal ini demi mendapat perlakuan yang sama atas
semua preaerensi dan memperlakukan hal yang sama pada semua orang
(egalitarian). Tentu bentuk egalitarian dari preaerensi yang selfsh seperti ini
menurut intuisi akan keadilan kita, tak bisa diterima. Contoh lain yang tidak bisa
diterima intuisi akan keadilan kita adalah mengenai hak kepemilikan dari hasil
alokasi pengalokasian sumberdaya. Bagi J.L Mackie, sejauh orang lain mendapatkan

sumber daya mereka secara aair, maka sumber daya yang semula dialokasikan
kepada saya adalah kepunyaan saya. Ini berarti tidak ada orang lain yang memiliki
klaim keadilan yang sah terhadap sumber daya itu. Sedangkan menurut Hare,
sumber daya itu merupakan milik saya jika atau sampai orang lain tidak dapat
menggunakannya dengan baik. Dan menurut Hare, jika ada tetangga yang
menginginkan sebagian dari sumber daya yang dialokasikan ke saya, meskipun
tetangga tersebut mendapat bagian, kita tetap harus mempertimbangkan
preaerensi tetangga kita tersebut. Karena Hare memperlakukan kepentingan orang
lain sebagai kepentingannya sendiri.[23]
Kymlicka menunjukan konsep tentang perhatian yang sama kaum utilitarian
bertentangan dengan gagasan keadilan Rawls. Bagi Rawls, ciri yang membedakan
dengan jelas pengertian kita tentang keadilan adalah bahwa kepentingan yang
melanggar keadilan tidak mengandung nilai. Sehingga kehadiran preaerensi yang
tidak sah tidak dapat mendistorsi klaim kita satu sama lain.[24]
Kymlicka menilai kaum utilitarian gagal dalam mengenali pertalian-pertalian
khusus antara individu dengan yang lainnya, yang di dalamnya selalu terselip hak
dan kewajiban, meski mereka sudah menyingkirkan jenis preaerensi-preaerensi yang
tidak sah. Kymlicka tertarik dengan utilitarianisme aturan yang memiliki ajaran
indirect utilitarianisme, meskipun secara metode tidak rinci dan juga rapuh kritik.
Bagi utilitarianisme ini, dalam memaksimalkan utility kita tidak harus menjadi Uagen. Kita bisa menggunakan pertimbangan non-utilitarian demi tercapainya tujuan
maksimalisasi utility. Namun ajaran ini, memiliki keyakinan bahwa menjalani
tanggung jawab dan menghargai hak itu merupakan sarana demi tercapainya
termaksimalkannya utility. Di sini Kymlicka keberatan, baginya hak dan tanggung
jawab harus dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan perlu disikapi secara
khusus, bukan sebagai sarana pemaksimalisasian utility. Menurut Kymilicka, kita
perlu memainkan intuisi kita tentang asas keadilan ketika kita menilai tindakan dan
keputusan apa yang sekiranya melanggar atau tidak melanggar asas keadilan,
seperti mengabaikan hak orang lain dan menyepelekan tanggung jawab.

Hak dan Keadilan Utilitarianisme: Tanggapan atas Kritik
Dari kritik di atas, dapat disimpulkan bahwa ada 3 kritik utama yang
dilancarkan Rawls, Sen dan Kymlicka. Pertama: utilitarianisme dinilai anti hak dan
kebebasan individu. Kedua: utilitarianisme menyisihkan tanggung jawab demi
kebaikan
bersama.
Ketiga:
teori
keadilan
utilitarianisme
tidak
dapat
mendistribusikan preaerensi-preaernsi secara aair. Namun, jika kita mencermati
pemikiran Mill dalam karya-karyanya, terutama Utilitarianism dalam Bab V, secara
seksama, maka dapat dikatakan utilitarianisme mendukung hak dan kebebasan
individu; membicarakan tanggung jawab; dan memiliki kaidah dalam distribusi
secara aairness.
Utilitarianisme lahir sebagai respon terhadap moralitas, hukum dan politik
yang tidak menghargai manusia sebagi organisme yang bebas dan memiliki
seperangkat hak. Moralitas teologis dan hukum kodrat di Inggris Raya pada masa

itu menciptakan seperangkat peraturan yang tidak mendasarkan pada tujuan
manusia. Utilitarianisme lahir untuk menyikapi itu, ingin mereaormasi moral dan
hukum. Moralitas dan hukum, bagi utilitarianisme, harus sesuai dengan kebutuhan
manusia, karena manusia penting. Bagi utilitarianisme klasik, kebahagiaan adalah
tujuan utama manusia, penderitaan adalah hal yang dihindari manusia; dan
kebutuhan manusia adalah leluasa mencapai tujuan hidupnya: kebahagian.

Salah satu kritik yang dilancarkan kepada utilitarianisme adalah bahwa
paham ini dianggap tidak mengindahkan kebebasan dan hak individu demi
kebaikan dunia atau mayoritas masyarakat. Padahal, bagi Mill, disebut tindakan
baik oleh mayoritas adalah tindakan yang dimaksudkan bukan untuk kepentingan
masyarakat atau dunia, tapi untuk manusia-manusia sendiri, di mana manusiamanusia menjadi unsur utama dari dunia atau masyarakat luas.
“The great majority oa good actions are intended, not aor the beneft oa the
world, but aor that oa individuals, oa which the good oa the world is made up; …”[25]
Manusia bagi utilitarianisme itu penting, apapun jenis kelaminnya,[26]
sehingga moralitas dan hukum harus bersandarkan pada kepentingan manusia
yang memiliki kebebasan dan hak. Tindakan atau hukum dianggap baik, bagi
utilitarianisme, adalah tindakan dan hukum yang memiliki konsekuensi kebaikan
dan kebahagiaan manusia. Oleh sebab itu, tindakan atau hukum yang mereduksi
individu ke dalam kebaikan bersama merupakan sesuatu yang harus dihindari. Bagi
Mill, satu orang dihitung satu, tidak dihitung lebih, dan tidak kurang. Ini artinya hak
dan kebebasan individu harus diperhatikan secara sama, tidak boleh tenggelam
dalam kebaikan yang siaatnya kumulatia.
Selain hak dan kebebasan, utilitarianisme dikritik karena dianggap telah
menyepelekan tanggung jawab, itu mengapa utilitarianisme oleh Rawls dan
Kymlicka dinilai melanggar prinsip keadilan. Berbicara keadilan, Mill melihat
keadilan bukanlah suatu yang abstrak, diyakini banyak orang secara alamiah dan
kemudian begitu saja dianggap ada. Namun melihatnya sebagai rangkaian ide-ide
yang dipersatukan oleh konsep hak. Dalam konsep hak ini, Mill memperkenalkan
konsep kewajiban sempurna dan kewajiban tidak sempurna. Dalam kewajiban
sempurna, terkait erat dengan hak orang lain.[27]
Dalam utilitarianisme Mill, hak dan kewajiban merupakan satu paket
pembahasan dalam konsep keadilan. Itu mengapa, tidak begitu benar jika
mengatakan bahwa utilitarianisme merupakan paham yang menyalahi intuisi kita
tentang keadilan. Dan mungkin saja ada benarnya menilai utilitarianisme
melanggar intuisi tentang keadilan. Ya, utilitarianisme Mill memang melanggar
intuisi Kantian dan para pendukung hukum kodrat yang memiliki cara pemahaman
yang berbeda tentang keadilan dengan Mill, bahkan Mill, teorinya, berangkat dari
kritik atas pemikiran mereka.
Menempatkan hak dan kewajiban sebagai satu paket dalam konsep keadilam
utilitarianisme Mill, memiliki implikasi di mana pertalian-pertalian khusus, seperti

antara piutang (yang memiliki hak untuk dibayar) dan penghutang (yang memiliki
tanggung jawab untuk membayar), dan pertalian-pertalian khusus lainnya antara
suami-istri, orang tua-anak, guru-murid, dll.; tidak akan terjadi seperti yang
ditakutkan oleh Kymlicka, di mana hak dan tanggung jawab secara absah dapat
ditenggelamkan demi kebaikan bersama.
Juga, apa yang ditakutkan Dworkin tentang prinsip utilitarianisme
memungkinkan untuk memaklumi preaerensi yang irrasional dan egoistis, tidak
akan terjadi dalam utilitarianisme Mill. Memahami keadilan, dalam utilitarianisme
Mill, perlu disandingkan secara bersamaan dengan pemahaman tentang siaat
alamiah manusia, yang menurut Mill berbeda dengan hewan.[28] Manusia mampu
berempati dan memahami bahwa manusia lain—anak-anaknya, tetangganya dan
seluruh masyarakat di negara ia tinggal—memiliki hak yang sama dengannya untuk
bahagia. Selain itu manusia lebih cerdas, pikirannya mampu melampaui
kepentingannya sendiri (egoistis), ia menyadari bahwa dirinya merupakan bagian
dari suatu keluarga, komunitas dan warga negara. Oleh sebab itu, keadilan
berkorelasi dengan utility. Tindakan atau hukum dianggap adil ketika dapat
menjangkau hak manusia luas, dapat membahagiakan masyarakat luas, bukan
hanya satu individu, satu keluarga atau satu komunitas saja.
Masalahnya, asumsi Mill tersebut memiliki impilikasi—seperti yang para
pengkritik utiltarianisme sampaikan—bahwa dalam sebuah tindakan, regulasi atau
hukum berdasarkan prinsip utilitarian, memungkinkan ada beberapa orang atau
kelompok yang hak, preaerensi atau kebahagiannya terenggut demi terpenuhinya
hak dan kebahagiaan masyarakat luas. Kondisi tersebut memang tidak dapat
dihindarkan di tengah kondisi masyarakat yang plural di mana setiap individu dan
kelompok memiliki preaerensi-preaerensi yang berseberangan. Kedilan dalam
utilitarianisme nampak cenderung tidak aairness dan pendistribusiaannya tidak
deliberative.
Mill sendiri meyakini bahwa memungkinkan ada kondisi di mana beberapa
orang yang haknya terenggut demi masyarakat luas.[29] Hal ini bukan berarti
utilitarianisme, seperti yang dituduhkan para pengkritik utilitarianisme, selalu tidak
mengindahkan hak dan asas persamaan sama sekali. Mill, seperti yang sudah
disinggung di atas, merupakan pemikir utilitarian yang ingin menghindari kondisi
menenggelamkan beberapa individu atau suatu komunitas demi kebahagiaan
masyarakat luas, meskipun itu tidak dapat dihindarkan dalam utilitarianisme Mill.
Menariknya, Mill sendiri dianggap tidak konsisten sebagai pemikir utilitarian,
karena memperhitungkan hak sebagai sesuatu yang penting untuk dibela. Namun,
bagi penulis, Mill seharusnya tidak hanya dilihat sebagai seorang pemikir utilitarian
utama yang melengkapi pemikiran Bentham terkait perdebatan kebahagiaan
sebagai kuantitas atau kulaitas, tapi juga melihat teori utilitariansime Mill sebagai
teori utilitarianisme yang memiliki corak berbeda dengan utilitarinasme yang sudah
terlanjur dianggap sebagai teori telologis. Utilitarianisme dinilai tidak mengindahkan
hak individu demi kebahagiaan masyarakat luas, tapi Mill tidak demikian. Hak wajib
dilindungi demi terciptanya keadilan sebagai utility.

Mungkin Kymlicka ada benaranya. Ia memberikan saran supaya
utilitarianisme tidak melanggar prinsip keadilan, dengan cara dijejali pendekatan
teori pembagian yang aair (a theory oa aair share) milik Rawls.[30] Meski demikian
utilitarianisme Mill, sebagai teori, telah memiliki argumen yang kokoh dalam
memposisikan semua manusia memiliki kebebasan dan hak yang sama penting
untuk dibela demi terciptanya keadilan sebagai utility, terlepas ia mempunyai
kelemahan tidak memiliki aormula dalam pembagian kebahagiaan secara
deliberative.

Kesimpulan dan Penutup
Utilitarianisme sebagai teori moral dan politik bagi para pengkritiknya dinilai
tidak dapat diterima oleh intiusi kita tentang keadilan karena tidak mengindahkan
hak, tanggung jawab dan kebebasan. Namun penilaian itu tidak begitu benar
karena jika kita merujuk ke pemikiran Mill, di mana utilitarianisme memposisikan
manusia begitu penting. Dalam utilitarianisme Mill, moralitas, hukum positia dan
regulasi lembaga sosial atau negara harus menjadikan manusia sebagai
pertimbangan. Manusia di sini tidak dipandang atomistik, namun manusia yang
memiliki tanggung jawab, kebebasan dan hak individu yang penting untuk dibela
demi terciptanya keadilan untuk masyarakat luas.
Namun, utilitarianisme sebagai teori keadilan akan jatuh kepada keadilan
tidak aairness. Karena memungkinkan bisa menyisihkan hak beberapa individu atau
suatau kelompok tertentu dalam masyarakat, demi kebahagiaan masyarakat luas.
Terutama dalam masrakat yang plural. Hal tersebut tentu saja tidak dinginkan oleh
Mill. Namun Mill tidak memiliki jalan keluar dari situasi ini.
Oleh karenanya, memanaaatkan utilitarianisme sebagai pertimbangan dalam
bertindak, membentuk hukum atau membuat regulasi tidak hanya melihat
konsekuensinya saja, apakah dapat memberikan kebahagiaan bagi masyarakat luas
atau sebaliknya; namun juga harus mempertimbangkan apa yang dikatakan Mill,
setiap manusia yang padanya melekat hak, tanggung jawab dan kebebasan, harus
diperlakukan secara sama. Semua manusia harus menjadi bahan pertimbangan
dalam bertindak, membentuk hukum dan regulasi, terlepas dari jenis kelamin, suku,
proaesi, ideologi, agama, kepercayaan dan latar belakang lainnya.

Daftar Pustaka
1. Bentham, Jeremy, An Introduction to The Morals and Legislation. Kitchener,
Batoche Book, 2000.
2. Bertens, K, Etika, Jakarta, Gramedia, 2000
3. Bhattacharjee, Amit dan Mogilner, Cassier, Happiness arom Ordinary and
Extraordinary Experiences. Journal oa Consumer Research. Hlm. 7
http://brown.edu/academics/philosophy/ethical-inquiry/sites/brown.edu.acade
mics.philosophy.ethical-inquiry/fles/uploads/Mogilner%20Happy
%20Experiences.pda diakses 20 Mei 2014

4. Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, United
State, Oxaord University Press, 1990.
5. Mill, John Stuart, Considerations oa Representative Government. The Floating
Press, 2009. Edisi pertama tahun 1861
6. Mill, John Stuart, Utilitarianism. The Floating Press, 2009
7. Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial; Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas;
Dua Teori Filsaaat Modern. Jakarta, Gramedia, 2005.
8. Sen, Amartya, Development as Freedom. Oxaord University Press, 2001
9. Shapiro, Ian, Asas Moral Politik dalam Politik, diterjemahkan oleh Theresia
Wuryantari dan Trisno Sutanto, Jakarta, YOI, 2006.
10.Singer, Peter, Practical Ethics (2nd edition). Cambridge University Press,
1993[31]