Analisis Semiotika Visual Kekacauan Bata

UNIVERSITAS INDONESIA

KEKACAUAN BATAS (CHAOS OF BOUNDARY)
DALAM ENAM KARYA SENI RUPA AGUS SUWAGE:
SEBUAH ANALISIS SEMIOTIKA VISUAL
[penulis hanya mengunggah bab pembahasan,
untuk bab pendahuluan dan penutup dapat menghubungi via surel]

UJIAN AKHIR SEMESTER
Mata Kuliah: Sejarah Kesenian Indonesia
Pengajar: Muhammad Wasith Albar, S.S., M.Hum.

MUTYA WIDYALESTARI
NPM. 1106005162

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM SUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
29 DESEMBER 2013

1) Manusia = Binatang

Karya Pertama: Double Happiness

Judul: Double Happiness
Dimensi: 150 cm X 200 cm
Media: cat minyak, kanvas, cat akrilik
Tahun pembuatan: 2003
Sudah sejak lama Suwage tertarik kepada binatang, terutama anjing dan babi. Baginya,
mereka adalah hewan-hewan yang pintar dan lucu. Tak heran ia sering memasukkannya
sebagai komponen dalam karya lukis maupun isntalasi. Sebut saja lukisan Double Happiness
di atas. Sebelum mulai menganalisisnya dalam metode semiotika visual, patut diketahui
bahwa Double Happiness pernah diulang menjadi lukisan Suwage lainnya yang berjudul The
Kiss, sebuah fragmen atau potongan gambar dari Double Happiness dengan sudut miring
yang dibuat satu tahun setelahnya.

Judul: The Kiss
Dimensi: 145 cm X 140 cm
Media: Cat minyak, kanvas, cat akrilik
Tahun pembuatan: 2004
Dalam The Kiss, kita mendapat kesan bahwa terjalin hubungan yang baik sebab terdapat dua
orang yang memakai topeng babi sedang berciuman. Dalam Double Happiness, karya itu

diperbesar dan menampilkan komponen lain yang hampir luput dari mata: dua orang tersebut
sama-sama sedang menggenggam pisau di balik punggung. Double Happiness sendiri, secara
etimologis, dapat diartikan sebagai “kebahagiaan ganda”. Kebahagiaan yang pertama
barangkali ciuman yang dilakukan, sementara yang kedua adalah diam-diam menutupi niat
untuk membunuh satu sama lain.
Adapun topeng babi yang berciuman melambangkan keharmonisan. Bahwa babi sebagai
hewan yang kerap dimusuhi di negara mayoritas umat Islam ini justru lebih tahu tentang
kasih sayang ketimbang makhluk yang memusuhinya. Ciuman sendiri adalah sebuah aktivitas
untuk menunjukkan afeksi, melambangkan saling pengertian dan luapan rasa cinta, atau rasa
saling percaya1. Bayangkan, apabila tidak memakai topeng babi, mungkinkah dua orang
tersebut dapat mempertemukan bibirnya masing-masing? Tentu tidak. Kita bisa mengirangira bahwa ada jarak di antara wajah keduanya apabila topeng babi itu dilepas.

1

Lihat William Cane, 1994, The Art of Kissing, New York: St. Martin's Grifn.

Yang menarik adalah komposisi warna. Pemilihan babi sebagai desain untuk topeng sangat
pintar, sebab babi adalah satu dari beberapa hewan yang diketahui berwarna merah muda.
Merah muda adalah warna yang lembut, warna yang melambangkan rasa cinta. Sementara
itu, selain topeng babi, kita perhatikan bahwa warna-warna lainnya, entah itu latar belakang

atau baju kedua manusia cenderung monokrom, bernuansa gelap dan tanpa gairah.
Selain itu, simak baik-baik bahwa yang berciuman adalah babi. Binatang. Yang katanya tidak
punya akal pikiran. Sementara yang memegang pisau dan siap membunuh adalah tangan
manusia. Betapa di sini terdapat kekontrasan makna dan komparasi yang bermuatan kritik.
Bahwa binatang adalah hewan yang penuh kebaikan sementara manusia selalu dirundung
oleh niat untuk berbuat jahat.
Suwage seolah-olah ingin menjelaskan bahwa sudah saatnya kita belajar pada hewan, yang
mungkin memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak kita punya. Hewan yang lucu, pintar, dan
penuh kasih sayang—yang salah satunya adalah babi.

2) Pain = Pleasure
Karya Kedua: Freestyle

Judul: Lifestyle
Dimensi: 118 cm X 155 cm
Media: tinta, grafit di atas kertas
Tahun pembuatan: 2013
Bisa dibilang, ini adalah salah satu karya Suwage yang sedikit “nakal” dan “nyeleneh”.
Secara sintaksis, gambar tersebut memperlihatkan dua kerangka manusia (kelamin tidak
diketahui) yang sedang bersenggama. Tidak seperti kerangka manusia pada umumnya,

mereka berdua memiliki tulang ekor yang panjang seperti anjing. Selain babi, Suwage yang
mengaku sebagai pecinta hewan ini sebetulnya juga pecinta anjing. Dalam Lifestyle,
kemungkinan besar ia turut memasukkan unsur tersebut, yakni lewat “doggy style sex” atau
bersetubuh dengan gaya seperti anjing sedang bercumbu, yakni satu kerangka berlutut dengan
empat tungkai di atas tanah, sementara kerangka satunya ‘menusuk’ dia sambil berdiri.
Warna yang dipilih adalah monokrom, mungkin campuran antara hitam, putih, dan abu-abu.
Sebuah balon teks bernuansa komikal dengan huruf kapital bertuliskan “TERUSKAN!!
MAKIN SAKIT MAKIN BAIK” seolah-olah menunjukkan bahwa kerangka (yang
semestinya sudah menjadi benda mati) dapat berbicara dan merasakan senang maupun sakit.

Tulisan yang menyertai foto, dipastikan akan membentuk bagaimana persepsi pengguna
tanda dan memengaruhi pemikirannya. Apabila tidak terdapat “caption” dalam karya Suwage
di atas, dapat dipastikan pengguna hanya menangkap kerangka yang sedang melakukan seks.
Suwage saya akui secara cerdik telah menggunakan ornamen kesukaannya (kerangka) dalam
lukisan ini ketimbang manusia sungguhan atau potret diri yang biasa ia lakukan, sehingga
tidak memancing seruan-seruan negatif berbau pornografi atau tidak etis.
Di samping itu, keterangan tambahan dalam balon teks sebetulnya bersifat sebagai elemen
penting yang membantu pengguna memahami pesan yang ingin disampaikan sang seniman.
Hadirnya kalimat “makin sakit makin baik” menandakan suatu denaturalisasi. Lazimnya,
sakit seharusnya menimbulkan rasa putus asa, bukannya nikmat.

Akan tetapi, secara semantik denotasi, kalimat tersebut bisa diartikan sebagai seruan seorang
masokis. Masokis (nomina) menyukai baik penyiksaan verbal (kata-kata pedas, sarkatis,
sindiran, hinaan) maupun fisik (pukulan, ikatan). Ia menganggap rasa sakit (pain), baik di
hati maupun luka di badannya, adalah sebuah kenikmatan (pleasure) yang tak bisa
dipisahkan. Diperkiraan ada sejenis endorphin (hormon kebahagiaan) yang berfungsi si sini2.
Seks atau hubungan intim pada mamalia, pada dasarnya hadir untuk melestarikan makhluk
hidup agar tidak punah. Hubungan ini pada perkembangannya lebih banyak dilandasi oleh
rasa untuk ‘bersatu’ dengan orang yang dicintai, terlepas dari sesama jenis atau bukan.
Namun, tidak sembarang melepaskan, karena seperti orang-orang bilang, apalah artinya seks
jika hanya ‘melepaskan’? Apalah artinya hubungan badan tanpa cinta? Itu sama seperti
kenikmatan

sekresi,

yakni

perasaan

lega


karena

sudah

‘membuang’

sesuatu

(Mangunhardjana, 1997: 208—109).
Jangan lupakan mengenai penambahan tulang ekor di kedua kerangka. Jadi, apakah berarti
manusia di sini telah disamakan dengan binatang? Bisa jadi.
Sekitar dua tahun yang lalu, Suwage pernah menuangkan ide yang sama dalam karya instalasi
tiga dimensinya, membuat pesan yang ingin ia sampaikan menjadi semakin terkesan “real”.

2

Secara biokimia, endorphin merupakan penghilang rasa sakit alami yang dimiliki otak
dan diproduksi langsung untuk merespon rasa sakit. Ini mirip seperti morfn dan candu
lainnya. Lihat Dr. Sheigo Haruyama, 2011, The Miracle of Endorphin, Bandung: Qanita.


Judul: Happiness is a Warm Gun
Dimensi: 134 cm X 120 cm X 160 cm
Media: Seng, akrilik, besi, dan kotak lampu LED
Tahun pembuatan: 2011
Instalasi tersebut dipajang dalam pameran pertama Suwage di Amerika Serikat, tepatnya di
Galeri New York sejak tanggal 3 Maret hingga 23 April 2011, yang bertajuk “The End is Just
the Beginning is the End”. Hampir seluruh karya seni yang dipajang ketika itu mengadung
unsur kerangka dalam berbagai bentuk dan makna. Warna-warna yang dipakai bernuansa
sendu, kelabu, namun terkesan teduh dan sedikit membawa kesan kesepian, kebimbangan,
atau pengembaraan.
Sebagaimana dilansir oleh trfineart.com, karyanya ini memang bertemakan sebuah meditasi
tentang kelahiran, kehidupan, kematian, dan alam semesta, pencarian transeden tentang
dogma dan ideologi. Mereka bahkan menambahkan bahwa "these works give us an insight
into the artist;s own inner world of dreams that hover bertween past and future, life and
death."3
Suwage tak hanya menunjukkan gejala pain = pleasure tersebut pada kerangka, ia juga
menggambarkan hal serupa pada sebuah vespa.

3


http://www.trfneart.com/exhibitions/agus-suwage-the-end-is-just-beginning-is-the-end.
Diunduh pada 26 Desember 2013 pukul 21:07 WIB.

Judul: Teruskan!! Makin Sakit Makin Baik
Dimensi: 200 cm X 250 cm
Media: Minyak di atas linen
Tahun pembuatan: 2009
Tak hanya itu, Suwage bahkan memanifestasikan “quote” andalannya itu ke dalam potret
dirinya sendiri.

Judul: Teruskan Semakin Sakit Semakin Baik
Dimensi: 150 cm X 145 cm
Media: cat minyak di atas kanvas
Tahun pembuatan: 2004

3) Hitam = Putih
Karya Ketiga: Yin Yang
Too much yin becomes yang.
Too much yang becomes yin.
—Yin Yang Theory


Judul: Yin Yang
Dimensi: 24 cm X 30 cm X 10 cm
Media: foto, papan seng, motor
Tahun pembuatan: 2003
Secara sintaksis, instalasi Yin Yang memperlihatkan sebuah kepala berwana kuning yang
diperebutkan oleh dua tubuh tanpa kepala yang masing-masing berwarna putih dan hitam dari
atas sampai bawah. Ekspresi si kepala tampak kesakitan dan kesulitan. Ia tampak bingung.
Berpikir-pikir akan lebih baik jika ‘mendarat’ di tubuh yang mana. Di belakang aksi
perebutan itu, tampak sebuah katrol yang digerakkan motor. Sekarang terlihat bahwa si
kepala kuning sebetulnya tidak bisa pindah ke tubuh manapun karena ia terjebak dalam
kaitan katrol yang terus berputar-putar.
Menilik dari ilmu simbologi, kepala melambangkan pola pikir, sebab di dalamnya ada otak
yang fungsi utamanya sudah jelas untuk berpikir. Selain itu, tanpa otak, tubuh tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Semua sistem saraf digerakkan oleh otak. Manusia akan
menjadi mayat hidup tanpa organ satu itu. Bahkan jantung yang katanya sumber kehidupan
manusia pun digerakkan oleh perintah rumit yang diberikan otak. Emosi manusia, apa yang

menyebabkan ia berniat buruk atau jahat konon digerakkan pula oleh fungsi otak, sebelum
nantinya membuat hormon dan tubuh beraksi sesuai perintah. Jadi, adalah hal yang ajaib

melihat tubuh-tubuh itu dapat memperebutkan sesuatu tanpa kepala yang memandonya.
Yin Yang ( 阴 阳 ), yang menjadi judul instalasi ini, menurut mitologi Cina adalah sebuah
terminologi yang melambangkan hitam dan putih, positif dan negatif, terang dan gelap, lelaki
dan perempuan, segala sesuatu yang selalu berlawanan dan tidak akan pernah bersatu tapi
sesungguhnya saling melengkapi.
Kata saling melengkapi di sini patut digarisbawahi. Yin tidak akan berarti tanpa Yang,
begitupula Yang tidak akan eksis tanpa Yin. Ini bisa dianalogikan seperti pembela kebenaran
dan pelaku kejahatan. Di antara keduanya berlaku hukum setara yang meski berbeda tapi
sebetulnya saling melengkapi dan secara tidak sadar saling membutuhkan. Secara alami, di
mana ada Yin, di situ pasti ada Yang, begitupula sebaliknya. Mereka selalu hadir bersamaan.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan di bawah ini.

Kembali ke instalasi Suwage. Perdebatan anatara Yin dan Yang yang memperebutkan kepala
sebetulnya tidak perlu. Tidak akan pernah ada pemenang di antara keduanya. Suwage ingin
mengatakan bahwa dirinya, sama seperti manusia fana lainnya, selalu mengalami pergulatan
tiada akhir untuk memilih kanan atau kiri, hitam atau putih, benar atau salah. Ia bingung

sebab ia pun dalam posisi tidak bisa memilih. Manusia selalu akan terjebak di tengah-tengah.
Kebenaran dan kesalahan selamanya relatif. Memilih yang satu berarti mengabaikan yang
lain.

Perhatikan baik-baik kepala Suwage. Warna yang dipihnya bukan abu-abu (gabungan hitam
dan putih) melainkan kuning. Mengapa? Dalam kultus Indonesia, warna kuning
melambangkan kematian, sebagaimana selalu diwakilkan oleh bendera warna serupa yang
ditampilkan ketika ada seseorang yang ‘berpulang’. Kepala itu sendiri sebetulnya bisa saja
sudah mati. Sebagaimana tubuh tidak bisa berfungsi tanpa kepala, kepala pun tidak bisa
melaksanakan niatannya tanpa tubuh. Jadi, Suwage sedang menggambarkan dirinya atau
manusia lain yang sedang dilema, mereka tidak bisa memilih, sebab kepala hanya ada satu
dan badan yang memperebutkannya ada dua.
Patut diketahui pula bahwa Yin Yang melambangkan keharmonisan dan keseimbangan.
Sebagai seorang peranakan Cina, mustahil Suwage tidak mengetahui hal itu ketika membuat
instalasi ini. Kalau sudah begitu, yang bisa ia lakukan untuk membuat segalanya tetap
seimbang hanyalah dengan tidak memilih, dan terus merasakan sakit karena diperebutkan
oleh dua eksistensi yang tak akan pernah kalah ataupun mengaku kalah.

4) Kematian = Kehidupan

Karya Keempat: Cleaning the Mirror #2

Judul: Cleaning the Mirror #2
Dimensi: 119 cm X 91,5 cm
Media: cat minyak dan aspal di atas seng
Tahun pembuatan: 2010
Dilihat dari judulnya, Cleaning the Mirror dapat diartikan sebagai “membersihkan cermin”.
Cermin, menurut KBBI adalah (1) kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air
raksa dsb. sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda yang ditaruh di depannya,
biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek dsb; (2) kiasan: sesuatu yang menjadi teladan
atau pelajaran; (3) kiasan: sesuatu yang membayangkan perasaan (isi hati, keadaan batin,
dsb).
Jadi, cermin secara denotatif adalah kaca bening yang memantulkan bayangan seseorang,
sementara ia juga memiliki dua arti kiasan/konotatif yakni sebagai (1) teladan dan (2) refleksi
isi hati.
Jika diartikan secara gamblang, manusia dalam lukisan tersebut sedang bercermin dan
melihat dirinya dalam bentuk kerangka. Jadi, manusia itu adalah kerangka dan kerangka
adalah manusia itu.
Aktivitas membersihkan cermin dapat diartikan sebagai aksi untuk “melenyapkan” atau
“menghapuskan” kotoran. Kotoran di sini berarti wujud si manusia sebagai kerangka. Dapat
dipahami bahwa kebanyakan manusia masa kini tidak familiar dengan kematian, mereka

takut dengannya, mereka berusaha melupakan dan menganggapnya tidak ada, atau hanya
sekadar kotoran yang mesti dihapuskan eksistensinya.
Tapi mari kita lihat pose si kerangka. Tidak seperti si manusia yang berdiri tegap, kerangka
ini menekuk sebelah kakinya, tampak santai seperti sedang berolah raga. Ia bahkan tidak
peduli jika dirinya dihapus.
Kelakuan kerangka ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah olok-olok, bahwasanya, meski
dihapus dari cermin, ia akan selalu ada di sana, kematian akan selalu menunggu saatnya tiba.
Seberapa kuat manusia melupakan, ia adalah kepastian yang akan tiba.
Akan tetapi, kalau dilihat baik-baik, apakah di sana betul-betul ada benda yang bisa disebut
cermin? Manusia itu tidak menggosok benda datar, ia justru menggosok—membersihkan—si
kerangka! Ia bahkan memegang tulung rusuknya agar kerangka itu tidak jatuh berkelotakan
ketika sedang dibersihkan. Jadi, manusia itu “secara sadar” ingin menghapuskan jadi dirinya
yang satu lagi, yakni sebagai kerangka, atau dengan kata lain, sebagai orang gempal yang
suatu hari nanti akan jadi kerangka kurus kering tanpa daging, yang dengan kata lain: mati.
Apabila kita melihat komposisi warnanya, baju manusia itu berwarna abu-abu, menyaru
dengan warna latar belakang, sementara kerangka tersebut dipulas dengan warna terang
sehingga terlihat jelas oleh mata. Bisa ditafsirkan, keberadaan manusia hampir pudar
sementara si kerangka, semakin dibersihkan ia semakin terang. Jadi, kematian itu nyata,
justru kehidupanlah yang tidak pasti. Hal ini pula yang dijadikan Suwage terhadap judul
karyanya yang lain yakni: Death is Certain, Life is Not.

5) Surga = Neraka

Karya Kelima: Paradiso-Inferno PP

Judul: Paradiso-Inferno PP
Dimensi: 200 cm X 100 cm
Media: Print digital di atas kanvas
Tahun pembuatan: 2003
Pradiso-Inferno PP merupakan sebuah lukisan yang terdiri atas dua panel simetris yang
masing-masing memiliki ukuran (2 X 1) meter. Ia berasal dari potret Suwage sendiri yang
sedang menggunakan topeng babi, hampir bugil, sedang menghadap belakang, dan
mempertontonkan gerakan sedang membuka celana dalam kepada kamera. Gestur
menojolkan belahan bokong dapat dipahami sejak dulu sebagai bentuk ejekan atau hinaan
kepada seseorang. Nilainya hampir sama seperti orang yang memeletkan lidah atau
memberikan jempol terbalik.
Keduanya hampir identik, kecuali bahwa warna terang dalam panel Paradiso diubah jadi
warna gelap di panel Inferno, begitu pula sebaliknya. Satu-satunya perbedaan, selain pada
caption ‘paradiso/inferno’ adalah letak kobaran api dalam celana dalam Inferno dan lingkaran
halo yang mengambang di atas kepala Paradiso.
Ornamen-ornamen ini melambangkan dua esensi yang berbeda, yakni surga dan neraka. Halo
adalah sepotong image yang diambil dari malaikat sementara api adalah potongan stereotip
umum yang dipunyai orang-orang tentang neraka dan setan yang mendiaminya.

Sementara itu, PP adalah singkatan yang umum diketahui publik Indonesia sebagai “pulangpergi”. Misalnya jika ada orang yang berkata “saya butuh tiket ke Semarang PP” berarti dia
butuh tiket ganda, yakni untuk pergi ke Semarang dari lokasi dia berada sekarang, dan tiket
kedua dari Semarang ke lokasi awalnya. Oleh karena itu, Paradiso-Inferno PP dapat dimaknai
sebagai orang yang pulang pergi, dari neraka menuju surga, dan kembali lagi, dari surga
menuju neraka. Begitu terus. Tak ada habisnya. Seolah-olah orang bisa bebas bolak-balik
neraka-surga. Ini bertentangan dengan doktrin agama secara umum bahwa surga dan neraka
tidak bisa dimasuki atau ditinggalkan semudah itu.
Suwage, dalam lukisan ini bukan ingin membandingkan perbedaan surga dan neraka. Ia
justru ingin menyamakan keduanya. Bahwa tidak ada beda antara surga dan neraka. Hanya
gelap dan terang. Hanya beda persepsi. Hanya dua sisi mata uang. Hanya seperti cermin. Ini
dibuktikan dengan postur Suwage di kedua foto yang persis sama.
Postur dua orang Suwage yang melambangkan surga dan neraka, jika dilihat baik-baik,
tampak seperti orang yang saling mengejek satu sama lain. Seperti dua orang yang saling
memusuhi. Jadi, bokong itu bukan diarahkan pada pengguna tanda, tetapi pada masingmasing ‘alter-ego’nya. Mereka, kedua orang itu tidak sadar bahwa sebenarnya mereka serupa,
sejenis, tetapi mereka tidak melihatnya karena mereka saling membelakangi dan terlalu sibuk
untuk saling membenci satu sama lain.
Sekarang kita beralih pada topeng babi yang dikenakan Suwage. Sudah bukan rahasia lagi
bahwa seniman satu ini sangat tergila-gila pada si mamalia berwarna merah muda itu. Di sini
Suwage ingin mengatakan bahwa kelakuan saling mendiskriminasi tidak berguna, kekanakkanakkan, seperti babi yang saling mengejek. Padahal, kalau mereka mau saling berhadapan
dan melihat satu sama lain dengan lebih saksama dan lama, mereka akan sadar bahwa mereka
tak ubahnya esensi yang persis sama. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pengulangan karya
tersebut dalam ‘tatoo’ di kedua lengan bagian dalam sang seniman sendiri.

Bahwasanya, surga dan neraka sama seperti tangan kanan dan tangan kiri, yang meski
keduanya tidak bertemu tapi berasal dari ‘tubuh’ yang sama.
Selain tatoo, Suwage juga memproduksi ide tersebut dalam model yang lebih ‘elegan’. Dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Judul: Pradiso-Inferno #5
Dimensi: 136 cm X 89 cm X 3,5 cm
Media: Cat minyak, daun perak dan bitumen/aspal di atas seng, serta aluminium
Tahun pembuatan: 2012

6) Pelindung = Penganiaya
Karya Keenam: Monumen yang Menjaga Hankamnas

Judul: Monumen yang Menjaga Hankamnas
Dimensi: 320 cm X 260 cm X 260 cm
Media: grafit pada resin, kuningan berlapis emas, kain, baja, botol-botol bir, lampu-lampu
LED, kotak akrilik, dan lampu-lampu flourescent
Tahun pembuatan: 2012
Secara felt-axis4, mula-mula kita hanya akan menyadari tumpukan botol bir dengan warna
hijau yang terang benderang, yang dibentuk seperti kerucut atau piramida, dan makin ke atas
makin kecil. Namun, tepat di puncak gunungan botol, kita akan mendongak dan melihat, di
sana terdapat satu sosok kerangka bersayap yang berdiri gagah sambil membawa sebilah
pedang.

4

Saat melihat sesuatu, secara tidak sadar, kita membuat referensi garis vertikal dan
horizontal. Secara intuitif kita bisa melihat, memeriksa, dan menemukan apakah sesuatu
seimbang atau tidak dari referensi tersebut. Referensi itulah yang disebut felt-axis. Teori
ini sering pula digunakan dalam teknik fotograf.

Warna dominan hijau menyimbolkan seragam tentara yang juga identik dengan warna hijau.
Selain itu, hijau terang adalah warna paling umum yang biasa terdapat pada desain botol bir.
Meski terdapat pula warna-warna lainnya yang beredar, hijau menyala tetap memiliki
strereotip paling kuat sebagai warna botol untuk menunjukkan bir. Bir di sini hanya berperan
sebagai makna denotasi, sementara secara konotasi, ia melambangkan sifat mabuk-mabukan.
Dan orang mabuk adalah orang yang limbung, pening, dan tergopoh-gopoh dalam berjalan,
mengemudi, atau aktifitas lainnya. Adapun aktivitas yang dimaksud di sini adalah aktifitas
dalam menjaga hankamnas.
Tetapi, apakah HANKAMNAS itu sendiri? Melihat tahun pembuatannya, pada 2012, di
Indonesia, terdapat banyak aksi menolak RUU Hankamnas (Rancangan Undang-undang
Pertahanan dan Keamanan Nasional) baik dari masyarakat sipil, buruh, mahasiswa, Komnas
HAM, maupun bermacam-macam LSM karena isinya yang tidak berpihak pada rakyat.
Kembali ke padanan mabuk yang limbung dan bimbang, beberapa pasal dalam RUU dinilai
masih bias dan multitafsir, sehingga tidak sepatutnya disahkan menjadi UU tanpa melalui
kajian dan diskusi yang lebih mendalam terhadap pihak terkait. Sebut saja pasal 54E yang
mengatur kuasa khusus yang dimiliki unsur Kamnas yaitu berupa hak menyadap, menangkap,
memeriksa, dan memaksa. Hal-hal itu jelas merupakan pelanggaran kemanusiaan. Tidak
heran alasan penolakan yang dikemukakan demonstran kebanyakan tentang pelanggaran
HAM, terbelenggunya demokrasi, serta pengebirian hak rakyat untuk bebeas berpendapat,
sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 5. Mayjen (Purn) TB
Hasanuddin yang juga merupakan mantan Sekretaris Militer Presiden, dalam suatu
wawancara bahkan menagatakan bahwa "banyak pasal karet lainnya yang dapat
diselewengkan oleh penguasa demi kepentingan politiknya"6.
Dari bahan baku penyusun piramida dan esensinya yang disebut “monumen”, kita bergeser
pada komponen instalasi lainnya, yakni malaikat itu sendiri. Pada lain kesempatan, dalam
salah satu pameran di Nadi Gallery, Suwage merubah pose malaikat tersebut menjadi “gaya
preman” yakni duduk dengan satu kaki terangkat dan pedang terhunus, seperti yang bisa
dilihat di bawah ini.

5

Bunyinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
6
Senin, 01 Oktober 2012. Laporan Aldi Gultom dalam
http://www.rmol.co/read/2012/10/01/79996/Sekali-Lagi,-Seputar-Penolakan-RUUKamnas-. Diunduh pada 26 Desember 2013 pukul 20:29 WIB.

Untuk mengamati si malaikat lebih dekat, kita bisa melihat figur yang persis sama dengan
lukisan Suwage yang berjudul: Malaikat yang menjaga Hankamnas—yang dibuat pula pada
tahun yang sama.

Judul: Malaikat yang Menjaga Hankamnas #3
Ukuran: 117 cm X 87 cm X 3,5 cm
Media: Cat minyak dan daun emas di atas seng dan aluminium
Tahun pembuatan: 2012
Malaikat tersebut tersusun tanpa daging alias hanya berupa kerangka. Dalam versi tiga
dimensinya (yang ‘nangkring’ di atas monumen) ia dibuat dari campuran grafit dan resin.
Sayapnya berwarna emas dan seluruh tengkoraknya dibalut oleh kain putih, hanya dua

rongga mata yang dibiarkan terbuka. Di tangannya tergenggang pedang ramping berwarna
emas pula.
Secara umum, gambaran tentang malaikat semestinya figur yang rupawan dengan halo di atas
kepala, bersayap dan berbaju putih. Tetapi apa yang ditampilkan Suwage justru kebalikannya.
Sebagai kerangka saja, ia sudah tampil mengerikan. Apalagi, tulang manusia semestinya
berwarna putih atau kuning gading, bukan warna asap (abu-abu kehitaman). Lilitan kain di
mukanya semakin menambah gahar karena ekpresinya tidak terbaca. Selain itu, ia juga
menggenggam pedang. Pedang di sini dapat diartikan sebagai ancaman atau kesiapan untuk
melawan siapapun yang menghadang.
Jadi, di sini Suwage seolah ingin mengatakan, mengkritik, menyetujui aksi protes, bahwa
bagaimana mungkin RUU Kamnas disahkan jadi UU, sementara baik isi maupun orangorangnya masih mabuk dan labil? Kekerasan yang dilakukan oleh POLRI dan TNI di
beberapa daerah Indonesia, katakanlah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Kuningan, atau
Madura, atau tindak kekerasan yang mereka lakukan terhadap demo buruh, apa itu yang
disebut menjaga keamanan? Itu semua terjadi, padahal sudah ada UU TNI-POLRI. Bagi
Suwage, mereka cuma berdalih sebagai orang-orang suci (malaikat) yang mempertahankan
negara, padahal sebetulnya hanya penganiya (kerangka pembawa pedang) yang berlagak
punya kuasa (sayap emas) dan sedang mabuk dalam menara konyol buatannya sendiri (botol
bir) tanpa tahu bahwa apa yang dilakukannya justru sebaliknya. RUU Kamnas bukan hadir
untung memperkuat pertahanan negara, tapi justru pertahanan hagemoni dan supremasi egois
aparat negeri ini. Seniman adalah satu dari banyak pihak yang pada masa Orde Baru paling
merasakan susahnya “bebas” di bawah legalitas dwi-fungsi ABRI. Lewat instalasinya yang
‘nyentrik’ ini, Suwage terkesan ingin mengejek mereka dengan idiom Barat yang sedang
ngetren saat itu, yakni: “Go home (Indonesian politics), you are drunk.”7

7

Terjemahan bebas: "Pulanglah (subjek), Anda sedang mabuk". Padanan lainnya dalam
bahasa Inggris: "Let's call it a day" ("Kita hentkan sampai di sini"—terjemahan bebas).

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63